Blok 14 - Gout
Blok 14 - Gout
Riwayat penyakit
Umur
Jenis kelamin
Nyeri sendi
a. Lokasi nyeri
b. Punctum maximum
c. Sebab timbul nyeri (untuk membedakan nyeri mekanis dengan inflamasi)
d. Onset, durasi/lama nyeri
5. Kaku sendi
6. Bengkak sendi dan deformitas
a. Bengkak
i. Perubahan warna
1
iii. Waddle gait: gaya berjalan Trendelenburg bilateral sehingga pasien akan
berjalan dengan pantat bergoyang
iv. Histerikal/psikogenik: tiada pola tertentu
v. Paraparetik spastik: kedua tungkai melakukan gerakan fleksi dan ekstensi
secara kaku dan jari-jari kaki mengcengkeram kuat sebagai usaha agar
tidak jatuh
vi. Paraparetik flaksid (high stepping gait = steppage gait): gaya berjalan
seperti ayam jantan, tungkai dinagkat vertical terlalu tinggi karena terdapat
foot drop akibat kelemahan otot tibialis anterior
vii. Hemiparetik: tungkai yang parese akan digerakkan ke samping dahulu baru
diayun ke depan kerana coxae dan lutut tidak dapat difleksi
viii. Ataktik/serebelar (broad base gait): kedua tungkai dilangkahkan ke depan
secara bergoyang-goyang ke depan dan ditapakkan secara ceroboh secara
berjauhan satu sama lain
ix. Parkinson (stopping, festinant gait): gerak berjalan dilakukan perlahan,
setengah diseret, tertatih-tatih dengan jangkauan yang pendek-pendek.
Tubuh bagian atas fleksi ke depan dan selama gerak berjalan, lengan tidak
diayun
x. Scissor gait: gaya berjalan dengan kedua tungkai bersikap genu velgum
sehingga lutut yang satu berada di depan lutut yang lainnya secara
bergantian.
2. Sikap atau posture badan
3. Deformitas
4. Perubahan kulit
5. Kenaikan suhu sekitar sendi
6. Bengkak sendi
7. Nyeri raba
8. Pergerakan
9. Krepitus
10. Bunyi lainnya
11. Atrofi dan penurunan kekuatan otot
12. Goyah atau instability
13. Gangguan fungsi
Evaluasi sendi satu per satu harus dilakukan. Dalam kasus ini, sendi yang terkena adalah sendi
lutut dan jari kaki.
1. Sendi lutut
3
2. Pergelangan kaki
3. Kaki1
Penunjang
Analisis cairan sendi merupakan pemeriksaan yang sangat penting di bidang reumatologi. Dua
alasan terpenting dari analisis cairan sendi adalah untuk identifikasi infeksi sendi dan diagnosis
artropati kristal. Pada umumnya cairan sendi diperoleh dari lutut, walaupun dapat juga dari sendisendi lainnya seperti bahu, siku dan pergelangan kaki.
Nilai Normal
Rata-rata
pH
7.3-7.43
7.38
Jumlah leukosit/mm3
13-180
63
0-25
PMN
Limfosit
0-78
24
Monosit
0-71
48
Sel synovia
0-12
1.2-3.0
1.8
Albumin (%)
56-63
60
Globulin
37-44
40
Hyaluronat g/dl
0.3
Noninflamasi
(Grup I)
Inflamasi
(Grup II)
Purulen
(Grup III)
Biasanya >4
Biasanya >4
Biasanya >4
Warna
Xantokrom
Xantokrom
putih
atau Putih
Kejernihan
Transparan
Translusen
opak
atau Opak
Viskositas
Tinggi
Rendah
Sangat rendah
Bekuan musin
Sedang sampai
baik
Sedang sampai
buruk
Buruk
Bekuan spontan
Sering
Sering
Sering
3.000 50.000
50.000 300.000
> 70 %
> 90%
Jumlah
mm3
Polimorfonuklear
< 25%
b. Mikroskopis
Jumlah dan hitung jenis leukosit
Kristal MSU diperiksa dengan mikroskop cahaya atau mikroskop
polarisasi. Kristal MSU membentuk batang dengan ukuran sekitar 40
i. Nyeri dan kekakuan pada satu atau lebih sendi, terutama sendi-sendi
tangan, pergelangan tangan, kaki, lutut, tulang belakang bagian atas atau
bawah, paha dan bahu. Timbul nyeri yang mungkin disertai rasa kesemutan
atau baal, terutama pada malam hari
ii. Pembengkakan sendi yang terkena, disertai penurunan rentang gerak.
Sendi mungkin tampak mengenai deformitas
iii. Dapat membentuk nodus Haberden di sendi antarphalang distal.
e. Perangkat diagnostic
i. Diagnostic klinis dapat ditunjang dengan atroskopi (visualisasi sendi
melalui suatu optic fiber), magnetic resonance imaging, dan CT scan2-3
2. Artritis rematoid
a. Suatu penyakit peradangan kronik yang menyebabkan degenersi jaringan ikat.
Biasanya jaringan ikat yang pertama kali terkena kerusakan adalah jaringan ikat
yang membentuk lapisan sendi, iaitu membrane sinovium. Pada AR, peradangan
berlangsung terus menerus dan meyebar ke struktur-struktur sendi di sekitarnya
termasuk tulang rawan sendi dan kapsul fibrosa sendi. Akhirnya, ligamentum dan
dan tendon iktu meradang.
b. Peradangan ditandai oleh penimbunan sel darah putih, pengaktifan komplemen,
fagositosis ekstensif, dan pembentukan jaringan parut. Pada peradangan kronik,
membrane sinovium mengelamai hipertrofi dan menebal sehingga terjadi
hambatan aliran darah yang menyebabkan nekrosis sel dan respons peradangan
berlanjut. Sinovium yang menebal kemudian dilapisi oleh jaringan granular yang
disebut pannus. Pannus dapat menyebar ke seluruh sendi sehingga semakin
merangsang peradangan dan pembentukan jaringan parut. Proses ini secara lambat
merusak sendi dan menimbulkan nyeri hebat serta deformitas.
c. AR adalah penyakit autoimmune yang timbul pada individu-individu yang rentan
setelah respons imun terhadap agen pencetus yang tidak diketahui.
d. Penyebab AR:
i. Bakteri
ii. Mikoplasma
iii. Virus
e. Gambaran klinis:
i. Awitan AR dirandai oleh gejala umum peradangan berupa demam, rasa
lemah, nyeri tubuh, dan pembengkakan sendi
ii. Terjadi nyeri dan kekakuan sendi, mula-mula disebabkan oleh peradangan
akut
dan
kemudian
akibat
pembentukan
jaringan
parut.
Sendi
7
Gout merupakan penyakit dominan pada pria dewasa, sedangkan pada perempuan jarang sebelum
menopause. Pada tahun 1935 dr. Van der Horst telah melaporkan 15 pasien AP dengan kecacatan
(lumpuh anggota gerak) dari suatu daerah di Jawa Tengah. Rata rata pasien gout yang berobat
telah menghidap penyakit ini selama 5 tahun. Hal ini mungkin disebabkan banyak pasien gout
yang berobat sendiri. Satu study yang lama di Massachusetts mendapatkan lebih dari 1% dari
populasi dengan kadar asam urat kurang dari 7 mg/100ml pernah mendapat serangan artritis gout
akut.
PATOFISIOLOGI
Pathogenesis
Awitan (onset) serangan gout kaut berhubungan dengan perubahan asam urat serum, meninggi
atau menurun. Pada kadar urat serum yang stabil, jarang mendapat serangan. Pengobatan dini
dengan alupurinol yang menurunkan kadar asam urat serum dapat mempresitasi serangan gout
akut. Pemakaian alcohol berat oleh pasien gout dapat memfluktuasi konsentrasi urat serum.
Penurunan urat serum dapat mencetuskan pelepasan kristal monosodium urat (MSU) dari
depositnya dalam tofi (crystals shedding). Pada beberapa pasien gout atau yang mengalami
hiperuresemia asimptomatik kristal urat ditemukan pada sendi metatarsophalangeal (MTP) dan
lutut yang sebelumnya tidak pernah mendapat serangan akut. Dengan demikian, gout sama
seperti pseudogout, dapat timbul dalam keadaan asimptomatik. Juga didapat bahwa 21% dari
pasien gout sebenarnya mempunyai kadar asam urat yang normal. Terdapat peranan temperature
(suhu), pH dan kelarutan urat untuk timbul serangan gout akut. Menurunnya kelarutan sodium
urat pada temperature lebih rendah pada sendi perifer seperti kaki dan tangan, dapat menjelaskan
mengapa kristal MSU diendapkan pada kedua sendi tersebut. Predeleksi untuk pengendapan
Kristal MSU pada MTP 1 berhubungan juga dengan trauma ringan yang berulang ulang pada
daerah tersebut.
Penelitian Simkin didapatkan kecepatan difusi molekul urat dari ruang ruang synovia ke dalam
plasma hanyalah separuh dari kecepatan air. Dengan itu, konsentrasi urat dalam cairan sendi
seperti MTP-1 menjadi seimbang dengan urat dalam plasma pada siang hari selanjutnya bila
10
cairan sendi diresorbsi waktu berbaring, akan terjadi peningkatan kadar urat local. Fenomena ini
menerangkan mengenai onset gout akut pada malam hari pada sendi yang berkaitan. Keasaman
dapat meningkatkan nukleasi urat in vitro melalui pembentukan protonated solid phases.
Walaupun kelarutan solid urat bertentangan terhadap asam urat, biasanya kelarutan ini meninggi,
pada penurunan pH dari 7,5 menjadi 5,8 dan pengukuran pH serta kapasitas buffer pada sendi
gout, gagal untuk membentuk adanya asidosis. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan pH secara
tidak langsung mempengaruhi pembentukan kristal MSU sendiri.
Peradangan atau inflamasi merupakan reaksi penting pada AP terutama gout akut. Reaksi ini
merupakan reaksi pertahanan tubuh non spesifik untuk menghindari kerosakan jaringan akibat
agen penyebab. Tujuan dari proses inflamasi adalah:
Peradangan pada AP akut adalah disebabkan oleh penumpukan agen penyebab yaitu kristal MSU
pada sendi. Mekanisme peradangannya masih belum dikenalpasti. Hal ini diduga oleh peranan
mediator kimia dan selular. Pengeluaran berbagai mediator peradangan akibat aktivasi melalui
berbagai jalur, antara lain aktivitas komplemen (C) dan cellular.
Aktivasi Komplemen
Kristal urat dapat mengaktifkan system komplemen melalui jalur klasik dan jalur alternative.
Melalui jalur klasik, terjadi aktivasi komplemen C1 tanpa peran immunoglobulin. Pada kadar
MSU meninggi, aktivasi system komplemen melalui jalur alternative terjadi apabila jalur klasik
terhambat. Aktivasi C1q melalui jalur klasik menyebabkan aktivasi kolikrein dan berlanjut
dengan mengaktifkan Hageman factor (factor XII) yang penting dalam reaksi cascade koagulasi.
Ikatan partikel dengan C3 aktif (C3a) merupakan proses opsonisasi. Proses opsonisasi partikel
mempunyai peranan penting agar partikel tersebut mudah dikenal, yang kemudian difagositosis,
dan dihancurkan oleh netrofil, monosit atau makrofag. Aktivasi komplemen C5 (C5a)
menyebabkan peningkatan aktivasi proses kemotaksis sel neutrophil, vasodilatasi serta
pengeluaran sitokin IL-1 dan TNF. Aktivitas C3a dan C5a menyebabkan pembentukan membrane
11
attack complex (MAC). MAC merupakan komponen akhir proses aktivasi komplemen yang
berperan dalam ion channel yang bersifat sitotoksik pada sel pathogen mahupun sel host. Hal ini
membuktikan bahwa jalur aktivasi komplemen cascade, kristal urat menyebabkan proses
peradangan melalui mediator IL-1 dan TNF serta sel radang neutrophil dan makrofag.
Aspek Selular Arthritis Gout
Berbagai sel dapat berperan dalam proses peradangan pada AP, antara lainnya adalah sel
makrofag, neutrophil sel sinovium, dan sel radang lainnya. Makrofag pada sinovium merupakan
sel utama dalam proses peradangan yang dapat menghasilkan berbagai mediator kimiawi seperti
IL-1, TNF, IL-6 dan GM-CSF (Granulated-Macrophage Colony-Stimulating Factor). Mediator
ini menyebabkan kerosakan jaringan dengan berbagai cara sehingga menimbulkan respons
fungsional sel dan gene expression. Respons fungsional sel tersebut antara lain berupa
degranulasi, aktivasi NADPH oksidase gene expression, sel radang melalui jalur signal
transduction pathway dan berakhir dengan aktivasi transcription factor yan menyebabkan gene
berekspresi dengan mengeluarkan berbagai sitokin dan mediator kimiawi lain.
Signal transduction pathway melalui 2 cara; yaitu dengan mengadakan ikatan dengan reseptor
(cross-linked) atau dengan langsung menyebabkan gangguan non specific pada membrane sel.
Ikatan dengan reseptor (cross-link) pada sel membrane akan bertambah kuat apabila Kristal urat
berikatan dengan opsonin. Kristal urat megadakan ikatan cross-link dengan berbagai reseptor,
seperti reseptor adhesion molecule (Integrin), non-tyrosine kinase, reseptor FC, komplemen dan
sitokin. Aktivasi reseptor melalui tirosin kinase dan second messenger akan mengaktifkan
transcription factor. Transkripsi gen sel radang ini akan mengeluarkan berbagai mediator
kimiawi antara lain IL-1. Pengeluaran berbagai mediator ini akan menimbulkan reaksi radang
local ataupun sistemik dan menimbulkan kerosakan jaringan.
Manifestasi Klinik
Terdiri daripada artritis gout akut, interkritikal gout dan gout menahun dengan tofi.
1. Stadium artritis gout akut
12
a. Radang sendi pada stadium ini sangat akut dan timbul sangat cepat dalam
b.
c.
d.
e.
f.
g.
PENATALAKSANAAN
Non-medicamentosa
1. Memberikan edukasi
2. Pengaturan diet. Penurunan kadar asam urat pada stadium interkritik dan menahun dapat
dicapai dengan pemberian diet rendah purin di samping pemakaian obat allopurinol
bersama obat orikosurik yang lain.
3. Istirehat sendi1
Medicamentosa
Pengobatan dilakukan secara dini untuk mengelakkan kerosakan sendi ataupun komplikasi lain,
misalnya kerosakan ginjal. Pengobatan pada artritis gout akut bertujuan untuk menghilangkan
nyeri dan peradangan dengan obat-obatan. Antara obat-obat yang diberi adalah:
1. Kolkisin (obat anti-inflamasi); oral, 3-4 kali, 0,5-0,6 mg tiap jam atau 1,2 mg sebagai
dosis awal diikuti 0,5-0,6 mg tiap 2 jam sampai gejala penyakit hilang atau gejala saluran
cerna timbul,4 dengan dosis maksimal 6 mg.1 pemberian harus dimulai secepatnya pada
awal serangan dan diteruskan sampai gejala hilang atau timbil efek samping.
2. Obat anti inflamasi non steroid (OAINS) dipreskripsi dengan dosis yang berbeda
tergantung pada jenis OAINS yang dipakai. OAINS yang paling sering dipakai adalah
indometasin, 100-200 mg/hari, diberikan 2 kali.5
14
3. Kortikosteroid diberikan apabila OAINS dan kolkisin tidak efektif atau merupakan
kontraindikasi. Diberi pada artritis gout akut yang poliartikular, secara oral atau parenteral
4. Hormone ACTH
5. Obat penurun asam urat seperti alupurinol atau obat urikosurik tidak boleh diberikan pada
stadium akut.
6. Alupurinol menurunkan kadar asam urat, pengobatan jangka panjang dapat menurunkan
frekuensi serangan, menghambat pembentukan tofi, memobilisasi asam urat dan
mengurangi besarnya tofi. Terutama berguna untuk mengobati pirai kronik dengan
insufisiensi ginjal dan batu urat dalam ginjal, namun dosis awal harus dikurangi. Dosis
untuk penyakit pirai ringan 200-400mg/hari, 400-600mg/hari untuk penyakit yang lebih
berat. Untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal dosis cukup 100-200 mg sehari
7. Probenesid; 2 kali sehari, 250 mg/hari selama seminggu diikuti dengan 2 kali 500 mg/hari
8. Sulfinpirazon; 2 kali sehari, 100-200 mg/hari, ditingkatkan sampai 400-800 mg kemudian
dikurangi sampai dosis efektif minimal.
9. Ketorolac; oral 5-30 mg, intramuscular 30-60 mg; IV 15-30 mg. Jangan diberikan lebih
dari 5 kali sehari karena kemungkinan tukak lambung dan iritasi lambung besar sekali.4
KESIMPULAN
Penyakit arthritis gout disebabkan oleh deposit kristal MSU pada pada jaringan atau akibat
supersaturasi asam urat di dalam cairan ekstraselular. Seringkali menyerang pria dewasa, ia
mengakibatkan sendi yang terbabit mengalami inflamasi, nyeri, terasa hangat dan merah.
Disebabkan sifatnya yang boleh hilang dalam masa beberapa jam atau hari, pasien sering
memilih untuk membiarkan atau berobat sendiri sehingga akhirnya penyakit mereka sampai ke
stadium akut menahun yang lebih sulit untuk dirawat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. 5th edition. Vol III. Jakarta: InternaPublishing. 2009. h. 2445-563.
2. Corwin EJ. Buku saku patofisiologi. Jakarta: EGC. 2001. h. 306-309
15
3. Robbins SL, Kumar V, Cotrans RS. Buku ajar patologi. 7 th ed. Vol II. Jakarta: EGC. 2007.
h.464-6
4. Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Farmakologi dan terapi. 5th edition. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2009. h.241-4
5. MIMS edisi bahasa Indonesia. 12th edition. Jakarta: Gramedia. 2011. h.167
16