Anda di halaman 1dari 19

DIABETES MELLITUS

1.

Definisi
Menurut American Diabetes Association (ADA), diabetes melitus merupakan

suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi


karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Hiperglikemia
kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi dan
kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh
darah.
2.

Klasifikasi
Klasifikasi Etiologi Diabetes Melitus
1. Diabetes Melitus Tipe 1 (destruksi sel beta, umumnya menjurus ke
defisiensi insulin absolut) :
a. Proses imunologik
b. Idiopatik
2. Diabetes Melitus Tipe 2 (bervariasi mulai yang predominan resistensi
insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang predominan sekresi
insulin bersama resistensi insulin).
3. Diabetes Melitus Tipe Lain
a. Defek genetik fungsi sel beta:
-

Kromosom 12, HNF-1 alfa ( dahulu MODY 3 )

Kromosom 7, glukokinase ( dahulu MODY 2 )

Kromosom 20, HNF 4 alfa ( dahulu MODY 1 )

DNA mitokondria

b. Defek genetik kerja insulin


c. Penyakit eksokrin pankreas
-

Pankreatitis

Trauma/pankreatektomi

Neoplasma

Cystik fibrosis

Hemochromatosis

Pankreatopati fibro kalkulus

d. Endokrinopati
-

Akromegali

Sindrom Cushing

Feokromositoma

Hipertiroidisme

e. Karena obat/zat kimia


-

Vacor, pentamidin, asam nikotinat glukokortikoid, hormon tiroid


tiazid, dilantin, interferon alfa

f. Infeksi
-

Rubella kongenital, Cyto-MegaloViru (CMV)

g. Imunologi (jarang) : antibodi anti reseptor insulin


h. Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM
-

Sindrom Down, sindrom Klinefelter, sindrom Turner, Huntington,


Chorea, Sindrom Prader Willi

4. Diabetes Melitus Gestasional (Kehamilan)


3.

Etiologi
Etiologi dari DM dapat tejadi karena berbagai aspek seperti disebabkan oleh

munculnya fenomena autoimunitas, yang disebabkan oleh adanya mutasi akibat


insersi virus variola, coxsackie B4, rubela ataupun paparan zat kimia yang bersifat
sitotoksik nitrofenilurea atau sianida dari singkong basi, hal ini yang terjadi pada DM
type I. Pada DM type II terjadi kelainan genetik pada kromosom 7, 12 & 20 yang
menyebabkan insufisiensi enzim glukokinase dan penurunan ekspresi gen hepatocyt
nuclear factor 1 alpha dan 4 alpha yang dapat menghambat sintesa proinsulin.

4.

Patofisiologi
1. Diabetes Mellitus tipe I ( IDDM )
DM tipe I ( IDDM ) atau DM bergantung insulin, biasanya disebabkan
oleh munculnya fenomena autoimunitas, dimana telah terjadi molecular
mimicry dari sel-sel beta pankreas (langerhans) yang disebabkan oleh adanya
mutasi akibat insersi virus variola, coxsackie B4, rubella ataupun paparan zat
kimiawi yang bersifat sitotoksik nitrofenilurea, atau sianida dari singkong
basi. Mutasi yang tejadi pada genom sel beta langerhans di pankreas akan
menyebabkan terjadinya kelainan ekspresi protein yang disandi oleh gen-gen
yang terletak di kromosom 6 baik lengan panjang maupun di sentromer. Pada
lengan p atau panjang terdapat gen-gen yang menyandi HLA A, B8 dan B18
serta Cw3 sedangkan pada sentromer disandi HLA DR3 dan DR4. Pada
IDDM terjadi defisiensi insulin yang berat, sehingga penderita memerlukan
terapi insulin untuk menghindari terjadinya ketoasidosis.
2. Diabetes Mellitus tipe II ( NIDDM )
Pada DM tipe II ( NIDDM ) atau DM tidak bergantung insulin, paling
sedikit ada dua kondisi patologis. Pertama, adanya penurunan kemampuan
insulin untuk berfungsi pada jaringan perifer untuk menstimulasi metabolisme
glukosa dan menghambat pengeluaran glukosa dari hati, suatu keadaan yang
dinamakan resistensi insulin. Obesitas menyebabkan resistensi insulin dan
obesitas merupakan faktor resiko utama terjadinya NIDDM. Kedua, ketidak
mampuan kelenjar endokrin dipankreas untuk mengkompensasi secara penuh
penanganan resistensi insulin ini (defisiensi insulin relatif ).
Pada DM tipe II didapat kelainan kromosomal 7, 12, 20, dimana kelainan
kromosomal 7 mengakibatkan terjadinya insufisiensi enzim glukokinase
sehingga terjadi hambatan pada proses stimulasi sel beta langerhans di
pankreas. Kelainan kromosom 12 dan 20 berdampak pada terjadinya
penurunan ekspresi gen hepatocyt nuclear factor 1a dan 4a akan
mengakibatkan terjadinya hambatan fosforilasi dan kaskade kinase di sel
langerhans yang akhirnya akan menghambat sintesa proinsulin.

Perbedaan antara DM tipe 1 dengan DM tipe 2


Tabel 1. Perbandingan antara DM tipe 1 dengan DM tipe 2
DM tipe 1

DM tipe 2

Nama Lama

DM Juvenil

DM dewasa

Umur (th)

Biasa < 40 (tapi tak selalu) Biasa > 40 (tapi tak selalu)

Keadaan Klinik saatBerat

Ringan

diagnosis

5.

Kadar Insulin

Tak ada Insulin

Insulin cukup atau tinggi

Berat Badan

Biasanya kurus

Biasanya gemuk/normal

Pengobatan

Insulin, diet, olahraga

Diet,olahraga,tablet,Insulin

Gejala Klinis
Gejala khas
-

Poliuri

Polidipsi

Polifagi

Berat badan menurun cepat tanpa penyebab yang jelas

Gejala tidak khas


-

Kesemutan

Gatal di daerah genital

Keputihan

Infeksi sulit sembuh

Bisul yang hilang timbul

Penglihatan kabur

Cepat lelah

Mudah mengantuk , dll

6.

Diagnosis

I. Pemeriksaan Penyaring
Pemeriksaan penyaring berguna untuk menyaring pasien DM, TGT (toleransi
glukosa terganggu), dan GDPT (glukosa darah puasa terganggu), sehingga kemudian
dapat ditentukan langkah yang tepat untuk mereka. Peran aktif para pengelola
kesehatan sangat diperlukan agar deteksi DM dapat ditegakkan sedini mungkin dan
pencegahan sekunder dapat segera diterapkan. Pemeriksaan penyaring perlu
dilakukan pada kelompok dengan salah satu faktor risiko untuk DM, yaitu:
kelompok usia dewasa tua (> 45 tahun)
kegemukan {BB (kg)> 110% BB idaman atau IMT > 23 (kg/m2)}
tekanan darah tinggi (> 140/90 mmHg)
riwayat keluarga DM
riwayat kehamilan dengan BB lahir bayi > 4000 gram
riwayat DM pada kehamilan
dislipidemia (HDL < 35 mg/dl dan atau Trigliserida > 250 mg/dl).
pernah TGT atau GDPT
Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa
darah sewaktu, kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan Tes
Toleransi Glukosa Oral (TTGO) standar (lihat skema langkah-langkah diagnostik
DM)
Untuk kelompok risiko tinggi yang hasil pemeriksaan penyaringnya negatif,
pemeriksaan penyaring ulangan dilakukan tiap tahun, sedangkan bagi mereka yang
berusia > 45 tahun tanpa faktor risiko, pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap
3 tahun.
Pasien dengan Toleransi Glukosa Terganggu dan Glukosa Darah Puasa
Terganggu merupakan tahapan sementara menuju DM. Setelah 5-10 tahun kemudian
1/3 kelompok TGT akan berkembang menjadi DM, 1/3 tetap TGT dan 1/3 lainnya
kembali normal.

Adanya TGT sering berkaitan dengan resistensi insulin. Pada kelompok TGT
ini risiko terjadinya aterosklerosis lebih tinggi daripada kelompok normal. TGT
sering berkaitan dengan penyakit kardiovaskular, hipertensi dan dislipidemia.
Tabel 2. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan
diagnosis DM (mg/dl)

Kadar glukosa darah

Bukan DM

Belum pasti DM

DM

< 110

110 - 199

200

< 90

90 199

200

< 110

110 - 125

126

< 90

90 109

110

sewaktu(mg/dl)
Plasma vena
darah kapiler
Kadar glukosa darah
puasa(mg/dl)
Plasma vena
darah kapiler

II. Langkah-langkah untuk Menegakkan Diagnosis Diabetes Melitus


Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah, tidak
dapat ditegakkan hanya atas dasar adanya glukosuria saja. Dalam menentukan
diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara
pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis DM, pemeriksaan yang dianjurkan adalah
pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena.
Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM
berupa poliuria, polidipsia, polifagia, lemah, dan penurunan berat badan yang tidak
dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah
kesemutan, gatal, mata kabur dan impotensia pada pasien pria, serta pruritus vulvae
pada pasien wanita. Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu > 200
mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar

glukosa darah puasa > 126 mg/dl juga digunakan untuk patokan diagnosis DM.
Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru
satu kali saja abnormal, belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis klinis DM.
Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan mendapatkan sekali lagi angka abnormal,
baik kadar glukosa darah puasa > 126 mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu > 200
mg/dl pada hari yang lain, atau dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO)
didapatkan kadar glukosa darah pasca pembebanan > 200 mg/dl.
Cara Pelaksanaan TTGO (Tes Toleransi Glukosa Oral) :
1. 3 (tiga) hari sebelum pemeriksaan makan seperti biasa (karbohidrat cukup).
Kegiatan jasmani seperti yang biasa dilakukan
2. Puasa paling sedikit 8 jam mulai malam hari sebelum pemeriksaan, minum air
putih diperbolehkan
3. Diperiksa kadar glukosa darah puasa
4. Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1, 75 gram/kgBB (anakanak), dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum dalam waktu 5 menit
5. Diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa
6. Selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak
merokok
Kriteria diagnostik Diabetes Melitus* dan gangguan toleransi glukosa :
1. Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) 200 mg/dl atau
2. Kadar

glukosa

darah

puasa

(plasma

vena)

126

mg/dl

Puasa berarti tidak ada masukan kalori sejak 10 jam terakhir atau
3. Kadar glukosa plasma 200 mg/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa 75
gram pada TTGO**
*

Kriteria diagnostik tersebut harus dikonfirmasi ulang pada hari yang lain,
kecuali untuk keadaan khas hiperglikemia dengan dekompensasi
metabolik akut, seperti ketoasidosis, berat badan yang menurun cepat.

** Cara diagnosis dengan kriteria ini tidak dipakai rutin di klinik. Untuk
penelitian epidemiologis pada penduduk dianjurkan memakai kriteria

diagnostik kadar glukosa darah puasa. Untuk DM Gestasional juga


dianjurkan kriteria diagnostik yang sama.
7.

Komplikasi
Dalam perjalanan penyakit DM, dapat terjadi komplikasi akut dan menahun.

A.

B.

Komplikasi akut :

ketoasidosis diabetik

hiperosmolar non ketotik

hipoglikemia
Komplikasi menahun
1.

2.

Makroangiopati atau makrovaskular


-

Pembuluh darah jantung (penyakit jantung koroner)

Pembuluh darah tepi ( gangren perifer )

Pembuluh darah otak (stroke)

Mikroangiopati atau mikrovaskular


-

Retinopati diabetik

Nefropati diabetik

3.

Neuropati Diabetik

4.

Rentan infeksi, seperti misalnya tuberkulosis paru, ginggivitis, dan


infeksi saluran kemih

5.
8.

Gangren diabetik atau kaki diabetik (gabungan 1 sampai dengan 4)

Tata Laksana
Ada empat cara pengelolaan DM :
1. Edukasi
2. Perencanaan makan
Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang
seimbang dalam hal karbohidrat, protein dan lemak yang sesuai dengan
kecukupan gizi baik yaitu :
1) Karbohidrat sebanyak

60 - 70 %

2) Protein sebanyak

10 - 15 %

3) Lemak sebanyak

20 - 25 %

Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stress


akut dan kegiatan jasmani. Untuk kepentingan klinik praktis, penentuan
jumlah kalori dipakai rumus Broca yaitu Barat Badan Ideal = (TB-100)-10%,
sehingga didapatkan:
1)

Berat badan kurang = < 90% dari BB Ideal

2)

Berat badan normal = 90-110% dari BB Ideal

3)

Berat badan lebih = 110-120% dari BB Ideal

4)

Gemuk = > 120% dari BB Ideal.

Jumlah kalori yang diperlukan dihitung dari BB Ideal dikali kelebihan


kalori basal yaitu untuk laki-laki 30 kkal/kg BB, dan wanita 25 kkal/kg BB,
kemudian ditambah untuk kebutuhan kalori aktivitas (10-30% untuk pekerja
berat). Koreksi status gizi (gemuk dikurangi, kurus ditambah) dan kalori
untuk menghadapi stress akut sesuai dengan kebutuhan.
Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut diatas
dibagi dalam beberapa porsi yaitu :
1) Makanan pagi sebanyak

20%

2) Makanan siang sebanyak

30%

3) Makanan sore sebanyak

25%

4) 2-3 porsi makanan ringan sebanyak 10-15 % diantaranya.


3. Latihan jasmani
Dianjurkan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu) selama
kurang lebih 30 menit yang disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi
penyakit penyerta.
Sebagai contoh olah raga ringan adalah berjalan kaki biasa selama 30
menit, olehraga sedang berjalan cepat selama 20 menit dan olah raga berat
jogging.

4. Intervensi farmakologis
a. Obat Hipoglikemik
1) Sulfonilurea
Obat golongan sulfonylurea bekerja dengan cara :
- Menstimulasi penglepasan insulin yang tersimpan.
- Menurunkan ambang sekresi insulin.
- Meningkatkan sekresi insulin sebagai akibat rangsangan
glukosa.
Obat golongan ini biasanya diberikan pada pasien dengan BB
normal dan masih bisa dipakai pada pasien yang beratnya sedikit lebih.
Klorpropamid kurang dianjurkan pada keadaan insufisiensi renal
dan orangtua karena resiko hipoglikema yang berkepanjangan,
demikian juga gibenklamid. Glukuidon juga dipakai untuk pasien
dengan gangguan fungsi hati atau ginjal.
2) Biguanid
Preparat yang ada dan aman dipakai yaitu metformin. Sebagai obat
tunggal dianjurkan pada pasien gemuk (imt 30) untuk pasien yang
berat lebih (imt 27-30) dapat juga dikombinasikan dengan golongan
sulfonylurea
b. Insulin
Indikasi pengobatan dengan insulin adalah :
a)

Semua penderita DM dari setiap umur (baik IDDM maupun


NIDDM) dalam keadaan ketoasidosis atau pernah masuk kedalam
ketoasidosis.

b)

DM dengan kehamilan/ DM gestasional yang tidak terkendali


dengan diet (perencanaan makanan).

DM yang tidak berhasil dikelola dengan obat hipoglikemik oral dosif


maksimal. Dosis insulin oral atau suntikan dimulai dengan dosis rendah
dan dinaikkan perlahan - lahan sesuai dengan hasil glukosa darah pasien.
Bila sulfonylurea atau metformin telah diterima sampai dosis maksimal

tetapi tidak tercapai sasaran glukosa darah maka dianjurkan penggunaan


kombinasi sulfonylurea dan insulin.
9.

Pencegahan
a. Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada orang-orang yang
termasuk kelompok risiko tinggi, yakni mereka yang belum menderita, tetapi
berpotensi untuk menderita DM. Tentu saja untuk pencegahan primer ini
harus dikenal faktor-faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya DM dan
upaya yang perlu dilakukan untuk menghilangkan faktor-faktor tersebut.
Penyuluhan sangat penting perannya dalam upaya pencegahan primer.
Masyarakat luas melalui lembaga swadaya masyarakat dan lembaga sosial
lainnya harus diikutsertakan. Demikian pula pemerintah melalui semua jajaran
terkait seperti Departemen Kesehatan dan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan perlu memasukkan upaya pencegahan primer DM dalam
program penyuluhan dan pendidikan kesehatan. Sejak masa prasekolah
hendaknya telah ditanamkan pengertian tentang pentingnya kegiatan jasmani
teratur, pola dan jenis makanan yang sehat, menjaga badan agar tidak terlalu
gemuk, dan risiko merokok bagi kesehatan .
b. Pencegahan Sekunder
Maksud pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat
timbulnya penyulit dengan tindakan deteksi dini dan memberikan pengobatan
sejak awal penyakit. Deteksi dini dilakukan dengan pemeriksaan penyaring,
namun kegiatan tersebut memerlukan biaya besar. Memberikan pengobatan
penyakit sejak awal berarti mengelola DM dengan baik agar tidak timbul
penyulit lanjut DM.
Dalam mengelola pasien DM, sejak awal sudah harus diwaspadai dan
sedapat mungkin dicegah kemungkinan terjadinya penyulit menahun.

Penyuluhan mengenai DM dan pengelolaannya memegang peran penting


untuk meningkatkan kepatuhan pasien berobat.
c. Pencegahan Tersier
Kalau kemudian penyulit menahun DM ternyata terjadi juga, maka
pengelola harus berusaha mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut dan
merehabilitasi pasien sedini mungkin, sebelum kecacatan tersebut menetap.
Sebagai contoh aspirin dosis rendah (80 - 325 mg) dapat dianjurkan untuk
diberikan secara rutin bagi pasien DM yang sudah mempunyai penyulit
makro-angiopati.
10.

KRITERIA PENGENDALIAN
Untuk dapat mencegah terjadinya komplikasi kronik, diperlukan pengendalian

DM yang baik. DM terkendali baik tidak berarti hanya kadar glukosa darahnya saja
yang baik, tetapi harus secara menyeluruh kadar glukosa darah, status gizi, tekanan
darah, kadar lipid dan HbA1C seperti tercantum pada tabel 3.
Untuk pasien berumur > 60 tahun, sasaran kadar glukosa darah lebih tinggi
dari pada biasa (puasa < 150 mg/dl dan sesudah makan < 200 mg/dl), demikian pula
kadar lipid, tekanan darah, dan lain-lain, mengacu pada batasan kriteria pengendalian
sedang.
Hal ini dilakukan mengingat sifat-sifat khusus pasien usia lanjut dan juga
untuk mencegah kemungkinan timbulnya efek samping dan interaksi obat.
Tabel 3. Kriteria Pengendalian DM

Glukosa

darah

Baik

Sedang

Buruk

80 - 109

110 - 139

>140

110 - 159

160 - 199

>200

puasa

(mg/dl)

Glukosa
(mg/dl)

darah

jam

4 - 5,9

6-8

>8

< 200

200 - 239

>240

< 130

130 - 159

>160

< 100

100 - 129

>130

> 45

35 - 45

< 35

< 200

200 - 249

>250

< 150

150 - 199

>200

18,5 - 22,9

23 - 25

> 25 atau

Hb A1c (%)

Kolesterol total (mg/dl)

Kolesterol

LDL

(mg/dl)

tanpa PJK
Dengan PJK
Kolesterol HDL (mg/dl)

Trigliserida (mg/dl) tanpa


PJK
Dengan PJK
BMI = IMT

18,5

wanita
Pria
Tekanan darah (mmHg)

20 - 24,9

25 - 27

> 27 atau < 20

< 140/90

140 - 160

> 160/95

/ 90 - 95

<

BAB III
ILUSTRASI KASUS
I. Identitas Pasien
Nama
Umur

:
:

Ny. E
52 tahun

Alamat

jl. Tarandam 7 Nomor 8

Pekerjaan

Ibu Rumah Tangga

II. Latar Belakang Sosial, Ekonomi, Demografi, Lingkungan Keluarga, dan


Kebiasaan
c. Status Ekonomi Keluarga

a.Status Perkawianan : Kawin


b. Jumlah anak
: 2 orang
:
Cukup, penghasilan suami pasien dari

berdagang dan usaha kontrakan rumah + Rp 2.000.000/bulan,


d. Riwayat makan sehari-hari :
Makan pagi : 1 piring lontong
Makan siang : 1 piring nasi, 1 lauk pauk, sayur (kadang-kadang)
Makan sore : 1 piring nasi, 1 lauk pauk
e.KB :
Tidak ada
f. Kondisi Rumah
:
Rumah permanen
Listrik ada
Sumber air : air sumur
Jamban : 1 jamban leher angsa, di dalam rumah
Sampah diangkut oleh petugas
Jumlah penghuni 3 orang ( pasien, suami dan 1 orang anaknya)
Kesan : Higiene dan sanitasi cukup baik
g. Kondisi Lingkungan Keluarga

Pasien tinggal di lingkungan perkotaan yang cukup padat penduduknya.


III.Aspek Psikologis di Keluarga
Pasien tinggal bersama suami dan 1 orang anak nya
Hubungan dengan keluarga baik, hubungan dengan suami dan anak baik.
Faktor stress dalam keluarga tidak ada
IV. Riwayat penyakit dahulu / Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang menderita sakit seperti ini
V. Keluhan Utama
letih-letih yang meningkat sejak 3 hari yang lalu.
VI. Riwayat penyakit sekarang
Letih-letih sejak 1 bulan terakhir, meningkat sejak 3 hari yang lalu.
Riwayat BAK sering (+), jumlah urin banyak, frekuensi lebih dari 4 kali

dalam 1 malam, sejak 8 tahun yang lalu.


Riwayat sering merasa lapar (+) sejak 8 tahun yang lalu.

Riwayat sering merasa haus (+) sejak 8 tahun yang lalu.


Riwayat gatal-gatal pada daerah lipat paha, kemaluan, dan lipatan payudara

tidak ada
Riwayat keputihan tidak ada
Riwayat mata terasa kabur ada sejak 1 tahun terakhir (+)
Riwayat nyeri dada (-)
Riwayat batuk-batuk lama (-), riwayat keringat malam hari (-)
Riwayat melahirkan anak dengan berat badan lahir > 4 kg (-)
Riwayat penurunan berat badan ada. Berat badan pasien turun sekitar 5 kg

dalam 5 bulan terakhir


Pasien sudah dikenal menderita diabetes mellitus tipe 2 sejak 8 tahun terakhir,
control tidak teratur.

VII.Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Umum
Keadaan Umum
:
Kesadaran
:
Tekanan darah
:
Nadi
:
Nafas
:
BB/TB
:
Edema
:
Anemis
:
Sianosis
:
BB Ideal
:
BMI
:

Baik
Compos Mentis Kooperatif
130/80
88 x
36,7 0 C
58kg / 155 cm
(-)
(-)
(-)
49,5 kg
22,9

Kulit
Kelenjar Getah Bening
Kepala
Rambut
Mata
Telinga
Hidung
Tenggorokan
Leher
Dada : Paru
: Inspeksi
Palpasi

: Sianosis (-), turgor baik


: Tidak ada pembesaran KGB
: Normochepal
: Hitam, tidak mudah dicabut
: Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
: Tidak ditemukan kelainan
: Tidak ditemukan kelainan
: Tidak ditemukan kelainan
: JVP 5-2 cmH2O
: Simetris kiri dan kanan
: Fremitus kiri sama dengan fremitus kanan

Perkusi :
Auskultasi :
Jantung :Inspeksi :
Palpasi
:
Perkusi

Perut

Punggung
Alat kelamin
Anus
Ekstrimitas

Auskultasi :
:Inspeksi :
Palpasi
:
Perkusi :
AuskultasI :
:
:
:
:

VIII.Laboratorium
Darah
GDR

Sonor
Vesikuler, Rhonki (-), wheezing (-)
Iktus tidak terlihat
Iktus teraba 1 jari medial linea midsternalis sinistra
RIC V
Batas jantung atas RIC II, batas jantung kanan linea
sternalis kiri, batas jantung kiri 1 jari medial linea
midclavikularis sinistra RIC V
Irama reguler, Bising (-)
Tidak tampak membuncit
Hepar dan lien tidak teraba
Timpani
Bising usus (+) normal
Nyeri ketok dan nyeri tekan CVA (-)
Tidak ada kelainan
Tidak dilakukan pemeriksaan
Refleks fisiologis (+/+), Reflek Patologis (-/-), Edema
(-/-).

: 263 gr%

IX. Diagnosa Kerja


Diabetes melitus tipe 2 tidak terkontrol.
X. Manajemen
a. Promotif
Edukasi kepada pasien engenai penyakit DM, penyebabnya, pengertian
bahwa penyakit DM tidak dapat disembuhkan tapi dapat dikontrol dengan

perubahan gaya hidup dan obat-obatan


Edukasi kepada pasien megenai jenis bahan makanan yang boleh dimakan

dan yang perlu dihindari


Edukasi kepada keluarga karena anggota keluarga juga memiliki resiko

tinggi untuk terkena DM


b. Preventif
Menjaga kadar gula darah untuk menghindari kerusakan mikrovaskuler

seperti pada mata, ginjal dan jantung


Pemeriksaan berkala terhadap organ target
Olah raga 3-4 kali seminggu selama jam

c. Kuratif
Terapi farmakologis
- Glibenclamid 2x1 tab p.o
- Bioneuron 1x1 tab p.o
d. Rehabilitatif
Mengobati komplikasi yang telah terjadi
Kontrol Teratur di Puskesmas, dan datang kembali bila obat habis

Dinas Kesehatan Kodya Padang


Puskesmas Seberang Padang
Dokter
Tanggal

: Doan Atrya
: 26 Desember 2014

R/ Glibenklamid tab
S 1ddtab 1

No. X

R/ Bioneuron
S 1 dd tab I

No. X

Pro : Ny. E
Umur : 52 tahun
Alamat : Jl. Tarandam 7 nomor 8

DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo, Aru W. Setiohadi, Bambang. Alwi, Idrus, dkk. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid III. Edisi IV. Jakarta : FKUI. 2006
2. Cheng, Alice Y.Y. Canadian Diabetes Association Clinical Practice
Guidelines Expert Committee. Elsevier. 2013
3. Loghmani, Emily. Diabetes Mellitis : Type 1 And Type 2. Minneapolis.
2005
4. American Diabetes association. Diabetes Care volume 36. 2013

Anda mungkin juga menyukai