Anda di halaman 1dari 322

Bukik Setiawan, Rahkman Ardi, Visi Puspita (Editor)

Guru yang
Tak Pernah Pergi
Inspirasi Pak Ino

Penerbit
IKA Psikologi Unair

JUDUL BUKU:

Guru yang Tak Pernah Pergi, Inspirasi Pak Ino


Oleh: Bukik Setiawan, Rakhman Ardi & Visi Puspita (Editor)
Copyright 2010 by Ikatan Alumni Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

Penerbit
Ikatan Alumni Fakultas Psikologi Universitas Airlangga
Desain Sampul & Foto:
Dimas Aryo Wacaksono

Diterbitkan melalui:
www.nulisbuku.com
2

Penulis
@absurdaus, @ardinouv, @arieswnugroho, @ayubiianda,
@Bukik, @c1ndhy, @charismania, @child_smurf, @dekdea,
@dian_wirawan, @DonSemaun, @Eviee___, @handy_talkie,
@indiradhe, @IniGagat, @IniOnik, @junerodhian, @lila_amh,
@metakarina, @NotJustDimas, @sukasukariza, @tyodeh
A. Ditya Wardhana, Afi Motik, Agatha Stefani, Agnes Dovin,
Kurnianti, Ahim, Alma, Amalia Jiandra, Anandita Kuma, Anfield
Gang, Anindita, Anita Widi Astuti, Ardinov, Ari Pratiwi, Asri,
Astri Dita Nuriani, Aui.is.Me, Birgita Pertiwi (Tiwin), Bobby
Hartanto, Botak Sakti, Bukik Setiawan, Citra Prawita, Dana
Oktiana, Desty, Devi Krisnahapsari, Dewi Hargiyanto, Dewi
Syarifah, Dimas Ade Irawan, Dimas Aryo Wicaksono, Dimas
Maheswara, Dita, Duniatanpasuara, Dwi Krid, Dyah Hanung
Wardhani, Edwin Nobo, Elga Andina, Fatma Puri Sayekti,
Fransiscus Aprilian S, Grace Susilowati Man, Hanggara
Hardiansyah, Hasan Bisri BFC, Hengki Setiawan, Herlida, Ika
Widyarini, Indah Sri Astuti, Is Harjatno, Iwan W. Widayat, Iwe
04, James W. Sasongko , Jony Eko Yulianto, Josephine Antonia,
Josephine MJ Ratna (Vivien), Kasih Kumala, Kinanti Alfisyahri,
Lila, Listya Yuanita, Maria Eko Sulistyowati, Marini, Mega SR,
Meynar, Miefaza, Mirza Abdillah, Mita - Psikologi 2008, Mumuk
Ismuharto, Nay, Nur Desthi, Petite, Phebe Illenia S., Pita Adiati,
Puspita Dian Arista, Putri PS, Ridho, Rovien Aryunia, Rudi Cahyo,
Rullyta Indrianti, Sanich Desvi Rachmania, Santi, Sekar Kirana
Hermianto, Selly Leonita, Siro, Syahani Rahmawati, Tita, Visi
Puspita, Wati, Widi, Wiwin Hendriani, Yulistiyani Rahayu,
ZankDJYes 06, Zatul Farrah

PENGANTAR

Sometimes you'll never know the value of a moment until it becomes a


memory ~Dr.Seuss
Buku ini adalah lontaran panah ide yang terlepas dari
kegalauan kami karena meninggalnya ayah, guru dan sahabat
kami, Ino Yuwono. Kedukaan yang dalam dialami banyak
orang. Beberapa orang menulis kedukaan tersebut di media
sosial. Tweet dengan tagar #InoYuwono mengalir deras
pada hari meninggalnya Pak Ino (Tercatat di Topsy.com ada
1048 tweet). Status Facebook pun banjir dengan berita,
kenangan, dan inspirasi mengenai Pak Ino. BBM menyebar
dari satu orang ke orang lain. Beberapa orang pun
menuliskannya di blog.
Pada malam hari pertama, kami berada di depan laptop
memperhatikan kedukaan teman, kakak, dan adik kami. Ada
banyak kutipan yang bernas. Ada yang bercerita pengalaman
mengesankan, ada yang menyimpulkan pelajaran. Dua
hingga tiga hari itu seperti mendapat kiriman banjir pelajaran
dari Pak Ino. Beberapa hal sudah kami ketahui, tapi banyak
lagi yang baru kami sadari. Meski kami dekat dengan Pak
Ino, pada kenyataanya masih banyak pelajaran yang baru
kami ketahui. Kami belajar banyak dari banyak orang.
Ditengah banyaknya pelajaran tersebut, kami merasa sayang
bila pelajaran itu berlalu begitu saja. Status di Facebook dan
Twitter akan segera hilang dalam beberapa hari ke depan.
Sekali membaca, sedih dan kemudian terlupakan. Kami
kemudian mengajak orang yang memasang status di Facebook
dan Twitter untuk menuliska pengalaman, atau inspirasi dari
Pak Ino di blog. Penulisan di blog membuat pelajaran dari
4

Pak Ino bisa diakses lebih banyak orang dan lebih tahan
lama.
Gayung bersambut, beberapa orang bersedia melakukannya
baik dengan menulis di blog sendiri maupun di kolom
komentar blog yang menulis mengenai pelajaran dari Pak
Ino. Jadi tidak heran bila menemui komentar yang
panjangnya 3 halaman A4, lebih panjang dari pada
tulisannya. Antusiasme yang begitu besar.
Obrolan dengan satu-dua orang teman akhirnya tercetus ide
agar tulisan di blog tersebut dikumpulkan dan diterbitkan
menjadi buku. Bahkan ketika masih membicarakan obrolan
ini, ada tweet dan pesan Facebook yang mengusulkan ide yang
sama. Akhirnya kami pun bertekad untuk menjadikan
tulisan-tulisan di blog tersebut menjadi buku.
Tapi apakah menulisnya harus di blog? Datanglah
pertanyaan tersebut. Kami pun memperluas lingkupnya,
boleh ditulis di blog, boleh di tulis di catatan Facebook.
Mengapa harus dipublikasikan dulu di blog dan Facebook
baru kami terima? Publikasi secara personal dengan sendiri
membuat setiap teman penulis mempertimbangkan kualitas
dari tulisannya. Kami berharap adanya penyuntingan secara
mandiri oleh teman-teman.
Alhamdulillah banyak tulisan yang masuk. Lebih dari 30
tulisan yang panjangnya 170 halaman A4 dengan beragam
sudut pandang, pelajaran, tema hingga gaya penulisan hanya
dalam 3 hari. Kami baca tulisan tersebut satu per satu.
Aktivitas yang menyenangkan sekaligus menyedihkan. Kami
seolah-olah terus menerus diingatkan dengan sosok Pak Ino.
Kami bersyukur karena semakin mengenal Pak Ino. Tulisantulisan tersebut menggambarkan Pak Ino sebagai sosok yang
5

manusiawi sekaligus monumental. Sosok Pak Ino


sebagaimana adanya dengan kelebihan dan kelemahannya
menjadi
monumental,
karena
setiap
perjumpaan
meninggalkan kesan mendalam.
Tantangan bagi kami selaku tim penyunting adalah
bagaimana menyunting banyak tulisan ini menjadi sebuah
buku. Bagaimana semua tulisan bisa dimuat tanpa membuat
buku terlalu tebal? Bagaimana semua sudut pandang bisa
terwakili tanpa membuat isinya bertele-tele?
Demi sebuah buku yang bernas sekaligus menampung
semua cerita, maafkan kami bila semena-mena dan tega
dalam melakukan penyuntingan. Kami memangkas tulisan
sesuai dengan bobot yang terkandung didalamnya. Kami
mempertahankan poin-poin puncak dalam tulisan dan
memangkas bagian-bagian lain. Kami juga memangkas cerita
atau pengalaman yang muncul berulang pada beberapa
tulisan. Sungguh bukan demi kepuasan kami, tapi demi
kenyamanan pembaca buku dalam mengenal dan
mempelajari sosok Pak Ino.
Buku ini bukan mengenai pemikiran-pemikiran Pak Ino.
Bukan pula menggambarkan perjalanan hidup Pak Ino.
Bahkan mungkin tidak menggambarkan Pak Ino secara
lengkap. Buku ini berisi inspirasi Pak Ino yang terpatri di
hati murid-muridnya. Pengalaman mengesankan, kutipan,
atau cerita-cerita yang didengar, dialami atau disaksikan oleh
para murid beliau. Ada yang baru saja terjadi tapi ada juga
pengalaman yang terjadi belasan tahun yang lalu.
Inspirasi yang terpatri di hati para murid menunjukan bahwa
meskipun Pak Ino telah meninggal, tapi sosoknya sebagai
pendidik tidak pernah pergi. Ia selalu ada dalam hati.
6

Buku ini persembahan para muridnya yang bersyukur dan


bangga pernah dididik, sedikit atau banyak, oleh Pak Ino.
Sebuah buku yang menjadi media untuk memudahkan
murid-muridnya mengingat nilai-nilai yang telah diajarkan
Pak Ino.
Pada akhirnya, kami mempersembahkan buku ini untuk
semua orang Indonesia yang punya semangat belajar luar
biasa dan berdedikasi di dunia pendidikan. Kami tidak punya
harapan tinggi-tinggi terhadap buku ini selain bisa
menghidupkan nilai dan keyakinan Pak Ino dalam
memajukan pendidikan Indonesia.
Bila ada kekurangan, tentu berasal dari kemampuan kami
menyunting dan kami minta maaf untuk itu. Bila ada yang
luar biasa, sumbernya berasal dari tulisan teman-teman dan
pengalaman luar biasa yang diberikan Pak Ino.
Terima Kasih

Tim Editor

Pilihan Perjalanan Pembaca Buku


Kata Pengantar
Buat pembaca yang ingin tahu latar belakang dan tujuan
buku. Abaikan bila tidak ingin tahu
Sepucuk Surat & Puisi Buat Guru
Buat pembaca yang ingin segera mengetahui sosok Pak
Ino sebagai pendidik tapi belum punya banyak waktu
buat membaca
Kisah Inspiratif Guru
Buat pembaca yang ingin menikmati perjalanan
pengalaman murid diajar oleh Pak Ino atau pengalaman
kerja pada rekan kerjanya
Sosok Guru yang Tak Pernah Pergi
Buat pembaca yang ingin mengetahui prinsip & filosofi
kehidupan Pak Ino sebagai pendidik. Lebih sesuai buat
pembaca yang suka dengan tulisan analisis
Tak Kenal Tetap Sayang Guru
Buat pembaca yang ingin mengetahui sosok Pak Ino
dari sudut pandang orang lain

Serpihan Kisah Guru


Buat pembaca yang punya banyak waktu untuk
menyelusuri lebih dalam kesan para murid mengenai
Pak Ino
Kisah Jenaka Guru
Buat pembaca yang suka cerita ringan jenaka dengan
tetap mendapatkan pelajaran
Kutipan Inspiratif Guru
Buat pembaca yang saat baca tulisan ini hanya punya
waktu 5 menit. Dijamin tetap menohok isinya

DAFTAR ISI
Kata Pengantar

Sepucuk Surat

10

Puisi Buat Guru

15

Kisah Inspiratif Guru

23

Sosok Guru yang Tak Pernah Pergi

155

Tak Kenal Tetap Sayang Guru

185

Serpihan Kisah Guru

201

Kisah Jenaka Guru

256

Kutipan Inspiratif Guru

318

10

11

Akhir perjalanan hidupku adalah


Awal sebuah perjalanan baru
Setelah beberapa kali maut nyaris menghampiriku, kini akhir
perjalanan telah kujelang. Aku telah sampai pada akhir dari
sebuah perjalanan. Aku tidak pernah menyesal maupun
malu. Akhir perjalanan ini adalah awal sebuah perjalanan
baru bagiku.
Teman, aku akan mengatakan secara tegas tentang apa yang
kuyakini. Keyakinan yang memanduku selama perjalanan
hidup dari awal hingga saat ini di ujung akhir. Aku tak akan
bicara panjang lebar. Bukan sebagai wasiat tapi mungkin
engkau bisa mengambil pelajaran.
Aku telah mengalami banyak kejadian, tidak semua, tapi
apapun yang aku alami adalah pilihanku. Aku jalani setiap
pilihan seutuhnya. Aku menghidupkan setiap pilihan
sehidup-hidupnya. Mungkin ada keraguan, mungkin ada
penyesalan. Mungkin ada kekeliruan, tapi tak cukup besar
sebagaimana keyakinanku dalam menjalani pilihanku.
Hidup adalah mengenai tujuan sekaligus cara kita
menjalaninya. Kesedihan terbesarku adalah ketika
menyaksikan banyak orang menjalani hidup tanpa
menjalaninya. Orang menjalani kehidupan yang menjadi
pilihan orang lain, tidak menjadikan hidup sebagai bagian
dari diri. Hidup seolah sebagai beban dari orang lain yang
dibebankan kepadanya.

12

Jangan heran bila dalam banyak perjumpaan aku banyak


bertanya. Bertanya mengenai tujuan-tujuan dari pilihan
tindakanmu. Untuk apa kuliah? Untuk apa belajar? Untuk
apa bekerja? Untuk apa hidup? Banyak orang terkejut
bahkan terganggu atas pertanyaan sederhanaku ini. Banyak
orang yang mengabaikan pertanyaan itu karena hidup tidak
menjadi bagian dari dirinya.
Mengapa aku tanyakan pertanyaan sederhana itu? Hidup
adalah anugerah bagimu, sebagaimana engkau adalah
anugerah bagi sesama dan kehidupan. Bagaimana bisa
mensyukuri anugerah bila kita tidak tahu kemana kita akan
menuju dalam hidup?
Namun pertanyaan sederhana mengenai tujuan hidup
seringkali tidak menemukan jawaban. Banyak orang tetap
memilih untuk tidak menjawab pertanyaan itu, apalagi untuk
menjalani jawabannya. Orang memang lebih nyaman
menjalani apa yang sudah dijalani bertahun-tahun meski ia
tidak tahu kemana arah tujuan.
Ada banyak orang yang tidak menyukai cara mengajarku.
Mereka mengatakan caraku mengajar itu biadab. Sayangnya,
cara-cara yang disebut biadab itu yang lebih sering membuat
orang berani meninggalkan kenyamanannya. Cara-cara
biadab itu yang justru menyebabkan orang tergerak untuk
menjadi lebih beradab.
Bukannya aku menyukai cara-cara biadab itu. Aku tahu
banyak yang membenci karena caraku itu. Aku tahu banyak
orang menghindariku. Aku tahu banyak orang bicara
seperlunya denganku. Aku juga tahu ada orang-orang yang
mentertawaiku. Aku hadapi konsekuensinya, selama sebuah
cara bisa membuat orang menjadi lebih terdidik.
13

Aku mencintai pendidikan. Aku suka mendidik. Berapapun


biaya yang dibutuhkan untuk melakukannya. Meski aku
seolah menjadi monster ganas yang ditakuti orang. Meski
aku seolah berada di puncak gunung, sendiri, dan sepi.
Cintaku pada pendidikan melampui itu semua. Mendidik
adalah panggilan hidupku!
Selama perjalanan hidup, aku telah melakukan banyak
tindakan. Aku nikmati beragam suasana dalam perjalanan
itu. Ada kalanya tawa bahagia menjadi warna. Tak jarang
kesepian datang menyergapku seperti disergap sekawanan
serigala yang lapar. Tapi aku nikmati kesepian itu
sebagaimana aku menikmati tawa bahagia. Terima kasih
telah bersedia menjadi teman, kala tawa menjadi warna,
ketika sepi datang menggigit.
Teman, selama perjalanan ini aku telah bertemu engkau.
Mungkin pada suatu belokan, pada jalan lurus terbentang,
pada turunan curam, atau jalan mendaki yang tajam. Setiap
momen perjumpaan mempunyai warnanya sendiri. Engkau
mungkin mengenalku pada suatu momen, tapi mungkin tak
mengenalku di momen yang lain. Begitulah aku, begitulah
kehidupan yang beragam ini. Aku mungkin seperti apa yang
kau bayangkan sekaligus apa yang tidak kau bayangkan.
Bila dalam perjumpaan tersebut, ada pelajaran, ambil dan
manfaatkan. Bila dalam perjumpaan tersebut, ada perbedaan,
jadikanlan sebagai cermin.
Janganlah sesekali berusaha meniruku. Engkau adalah
keagungan kehidupan sejati. Engkau adalah anugerah bagi
kehidupan. Jadilah dirimu, jalani jalanmu. Apa artinya
manusia bila tidak menjadi dirinya sendiri.

14

Kebanggaanku dalam hidup bukanlah karena jasa-jasaku


pada kehidupan. Kebanggaanku terbesar adalah pilihanku
untuk menempuh jalanku sendiri. Meski terjal. Meski sendiri.
Meski sepi. Apapun akibatnya, aku bangga mengatakan
bahwa inilah jalanku.
Sekarang aku sudah di akhir perjalananku. Aku tidak lagi
menentukan pilihan. Engkaulah yang mempunyai pilihan.
Memaafkan kesalahanku atau membiarkan kesalahanku
menjadi ganjalan dalam hatimu. Mengambil pelajaran dari
perjalananku atau melupakan pelajaran seiring waktu
berjalan.
Aku tidak pergi meninggalkanmu. Aku melanjutkan
perjalananku. Akhir perjalanan hidupku adalah awal sebuah
perjalanan baru. Sapalah aku bila kita berjumpa dalam
perjalanan yang sama di lain waktu. Aku akan dengan senang
hati meluangkan waktuku untuk berbicara denganmu.
Dari hati yang terdalam
Temanmu..

Ch. Ino Yuwono

Catatan Editor: Surat ini dibacakan oleh wakil alumni pada saat
Penghormatan Terakhir Ino Yuwono oleh Fakultas Psikologi
Universitas Airlangga

15

16

Ada yang Pergi, Tapi Tak Hilang:


Mengenang Tuan Guru Ino Yuwono
Oleh Hasan Bisri BFC
sebilah waktu menebas leher jaman
lepas penanggalan dalam gerimis hujan
di sudut sepi duka melenggang
ada yang pergi, tapi tak hilang, sayang
darimana kumulai melidahkan segenap kenangan
sementara kelu menukas selaksa ingatan
dulu, ya dulu sekali
ketika kami bersama-sama menyampan
ada teguran ombak dan keraguan
kami angkat tangan dan berteriak:
akan jadi apakah kita jika selamanya menyusu induk kami?
mesti tak serupa Jangkung yang membagi senyuman
dan juga kelapangan jiwa
atau kelembutan Maramis yang meneteskan cahaya
gemerutuk gerahammu menggigit pikiran dangkal kami
lalu tegas berkata:
di luar negeri, fakultas teknik menjadi induk psikologi
lalu mesti ragu apalagi?
5 tahun kemudian aku berangkat ke Australia
dan Negeri Sakura
dan kau tidak pura-pura
ada yang pergi, tapi tak hilang, sayang
waktu lalu dan seperti kereta cepat berlari
secepat kau mengganti rokok dan menghembuskan asapnya
kami menjadi lebih dewasa
17

dibanting dari kasar kata-kata


atau tawa ejekanmu di kala hari:
psikolog iku mung kembange ban
onok gak onok podho ae
kami tertawa, dan kau tertawa
membalikkan badan seraya berjalan
seperti tokoh kartun yang kusuka
tapi ada mutiara dibalik cambukan kata-kata
maka tak segan kubawa pulang
dan kutimang dalam tidur dan jaga
siapa tahu jadi bekal hari tua
ada yang pergi, tapi tak hilang, sayang
kini, ketika rimbun hujan temampang
dan suara duka bersahut-sahutan
ucap apalagikah yang mesti kusuarakan
kata apalagikah yang mesti kusampaikan
semuanya telah dicatat dan digariskan
pada akhirnya kemuliaan tak bisa dikalahkan
oleh api kremasi
meski abu telah diterbangkan angin
kebaikan demi kebaikan akan diwariskan
pada generasi yang sentiasa merindu pengajaran dan
kebenaran
Jakarta, Desember 2012
Hasan Bisri BFC adalah angkatan 83. Puisinya sudah tersebar di
24 antologi baik dalam maupun luar negeri. Puisi-puisinya
dibacakan secara langsung di TPI ( sekarang MNCTV ) saat
reformasi dan periode 2005 2006 seminggu sekali. Dibacakan
langsung pula di Indosiar dan TV Edukasi. Antologi tunggalnya
adalah Jazirah Api ( 2011 ).
18

Tentang Waktu dan Sang Guru


Oleh Aui.is.Me - Aiuisme.blogspot.com
Duka tak pernah mengenal waktu.
Ya, waktu yang itu.
Yang terkadang terlalu deras memburu.
Seakan tak mampu menanggung sedetikpun kata tunggu.
Dan duka pun tak pernah menunggu.
Hingga sehari yang lalu.
Sehari yang lalu.
Pagi masih begitu biru.
Ketika haru mengetuk-ngetuk pintu kamarku.
Mengantarkan jutaan gelembung awan, lalu menjejalkan
semuanya pada dalam mataku.
Yang tak perlu menunggu waktu untuk meleleh menjadi
bulirbulir hujan, masih pada mataku.
Sehari yang lalu.
Waktu tak mau menunggu.
Duka mengambil singgasana di sampingku.
Demi menggantikan kealpaan sang guru.
Sehari yang lalu.
Senyumnya tersebar dalam getir manis kenangan yang
semerta membanjir pada lini kalaku.
Senyum itu.
Senyum yang sama yang kunikmati adanya setiap pagi,
bertahun yang lalu.
Senyum yang sama yang masih selalu membayangiku.
Pada acapkali aku mengenangnya dalam sebuah kisah lucu.
19

Senyum yang sama yang selalu tersungging pada tiap


kecupan di tangan dalam sekali temu.
Sehari yang lalu.
Segala kata tumpah ruah laksana hujan pada bulan
Desember yang tak pernah mengenal nanti untuk dijatuhkan.
Segala kata yang pernah kau ucapkan.
Segala kata tentangmu yang kami kenangkan.
Kata-kata bualan.
Kata-kata perhatian.
Kata-kata pesan.
Kata-kata gurauan.
Kata-kata sindiran.
Segala kata yang kekal dalam kenangan.
Segala kata yang kami simpan rapi dalam bilik keabadian.
Segala kata yang mengungkap betapa adamu begitu
berkesan.
Segala kata yang mengisahkan tiadamu yang amat
memilukan.
Sehari yang lalu.
Ratusan kilo dari ragamu.
Air mataku tak mampu mengendalikan dirinya untuk tak
memperburuk wajahku.
Sehari yang lalu.
Pagi masih begitu biru.
Duka hadir tanpa mengenal waktu.
Dan waktu tak mau mengenal kata tunggu.
Pun maut yang hanya tahu mengabdi untuk membawa
kembali sang guru kembali pada-Mu.
Hari ini, ia telah pergi.
Benar-benar pergi.
Meninggalkan sebaris senyum dalam bilik memori kami.

20

Mewariskan barisan ilmu yang menganak sungai pada segala


penjuru bumi.
Pada kepala manapun ilmunya pernah menjadi sebuah semi.
Hari ini, raga guru kami telah kembali.
Namun dimanapun ia berada, jiwanya adalah ilmu tak
pernah mati.
Dan esok, kami akan mengenang anda dalam senyuman
bangga.
Kami akan bahagia pernah mengenal anda.
Kan kami abadikan petuah dan ilmu dalam nyata.
Tersenyumlah disana.
Tersenyumlah senantiasa bersamaNya.
Bahagialah, guru. Karena kami telah bisa.
Adamu kan abadi dalam segala amal, ilmu, petuah dan kata
yang senantiasa kami jaga.
Teruntuk guruku, ayah, pembimbing dan pendidik sejatiku.
Bapak Ino Yuwono. :')

21

Tinggal Cerita
(08 Des 2012)
Oleh Sanich Desvi Rachmania 12
Aku tahu dia, tapi tidak benar-benar tau.
Aku baru di sini, baru saja menginjakkan kaki di dimensi
asing ini.
Siapa dia? Mengapa sangat dielu-elukan akan segala
keabdiannya.
Setiap langkah disiplinnya dihormati, segala nasehatnya
diiyakan, semua pengajarannya diikuti, tentu saja
kharismanya dikagumi.
Tapi siapa? Siapa dia?
Bahkan Tuhan tidak memberiku kesempatan untuk bertemu
dan sekadar saling sapa.
Cerita tentangmu saja sudah cukup berkharisma, bagaimana
jika aku bertemu dan merasakan tuntunanmu?
Namun, belum tanya itu ditempa jawab kau pergi jauh
meninggalkan hari untuk selamanya.
Aku iri pada mereka yang mengenalmu.
Hanya tinggal cerita yang mampu menghapus tanyaku
Tentang kau yang hebat, pengajaranmu yang hebat,
nasehatmu yang hebat, dan kharismamu yang hebat.
Waktu memang terus bergulir mengganti masa. Kecuali
Tuhan, yang ada memang untuk tak ada.
Dimensi baruku ini kehilangan seorang legenda, aku dan
mereka yang baru tentu sedih tak mendapat kesempatan
merasakan pengajaranmu.
Dan kini aku tahu dia! Meski tetap tidak benar-benar tahu.
Dia ayah, guru, sahabat, dan panutan yang hebat dan
berkharisma. Itu kata mereka..
Maafkan kami yang asal memuji tanpa mengenalmu terlebih
dahulu.
Tuhan.. aku tau Kau tau. Dia hebat, bukan?
22

Beri dia tempat yang terhebat pula di sana, dan segalanya


tentang yang terhebat.
Itu pantas untuk dia yang mengabdikan ilmu dengan ikhlas.
Selamat jalan Pak Ino Yuwono
Meski menyesal aku mengenalmu hanya lewat cerita, namun
aku bangga menjadi calon anak didikmu.

23

24

Guru Tak Pernah Pergi


Oleh Ardinov Ardinov.com

Ekaterinburg. Tengah Malam 4 Desember 2012

@ ardinouv you told me often about Pak Ino the most. Now with
these thousands miles I wonder how tough this loss for you. We love
him either (message by @ andianinda)
Tweet di atas ditulis keponakanku, Ninda, 3 jam yang lalu.
Sepanjang aku di Surabaya sejak kepulanganku dari Rusia
tahun 2011 hingga keberangkatan ke Polandia tahun 2012,
aku memang banyak bercerita tentang interaksiku dengan
beliau kepada orang-orang terdekatku, begitu juga ibu dan
bapakku. Perhatian, perdebatan, dan diskusi tiada akhir
selalu menarik untuk diceritakan kembali.
Pagi ini message bertubi-tubi datang dari mahasiswa dan
temanku bahwa Pak Ino telah tiada. Tidak percaya, tapi
semua rekan hampir serempak mengabarkan berita. Lebih
dari 6000 mil aku berada. Lemas. Mood-ku seharian remuk.
Aku yakin perasaan ini tak hanya aku yang merasakan.
Semua yang mengenal Pak Ino dari dekat pasti merasakan
dalamnya kehilangan.
Baru dua minggu lalu aku bicara dengan beliau via Skype.
Waktu itu beliau hanya memakai kaos kutang, begitu santai
dan banyak tertawa. Dia menanyakan sekolah dan
aktivitasku. Aku antusias bercerita layaknya bercerita dengan
bapakku sendiri. Beliau juga banyak bercerita soal keadaan
fakultas kami.

25

Semasa kuliah S1, aku nyaris tak pernah berinteraksi dengan


beliau. Interaksi dekatku dengan Pak Ino baru dimulai sejak
2006. Bukik dan Samian adalah orang yang banyak
memperkenalkan diriku dan minatku kepadanya. Interaksiku
dengan beliau sedikit banyak merubah hidupku.
Kadang agak sulit bagiku untuk mengikuti jalan pikiran Pak
Ino yang liar dan meloncat-loncat. Amunisi pengetahuannya
terlampau banyak, namun banyak hal baru yang aku
dapatkan dari beliau. Obrolan yang khas Pak Ino karena
selalu ada bumbu chaosophy, psikologi non-mainstream,
sekaligus juga yang mainstream.
Pak Ino adalah salah satu orang yang selalu mendorongku
untuk belajar di luar negeri. Seputar tahun 2006-2008,
berkali-kali dia bilang, Kamu mesti sekolah di luar. Biar
tahu orang bule itu sama kayak kita. Biar ga minder. Soal
etos kadang kita lebih. Lain itu biar punya wawasan yang
berbeda. Biar tahu budaya belajar yang berbeda. Pak Ino
awalnya ingin sekali aku mengambil jurusan sejarah dan
mengkaji soal collective unconsciousness masyarakat Jawa. Aku
sempat mendaftar di Leiden University, Belanda tahun 2007
untuk sekolah di jurusan Javanologi, tapi conditional offer letter
tak kutindaklanjuti, karena beberapa alasan. Beliau beberapa
kali agak menyayangkan.
Pak Ino adalah ensiklopedia berjalan. Isi harddisk
komputernya seperti perpustakaan. Bisa kuminta sesuka hati.
Tak terhitung siapa saja yang sudah dibagi . Bukik, Samian,
Ucok, Aryo, Mbak Wiwin adalah beberapa dari mereka yang
jadi penikmat isi harddisk Pak Ino.
Pertengahan tahun 2008, aku diterima beasiswa di salah satu
perguruan tinggi di Rusia. Banyak orang mengernyitkan dahi.
Tujuan kebanyakan orang Indonesia bersekolah adalah di
26

Australia, Amerika, dan Eropa Barat. Eropa Timur, terutama


Rusia, distereotipekan komunis dan sarang mafia. Yang ingin
berangkat kesana dianggap anomali. Beberapa kolega sempat
mengernyitkan dahi ketika tahu tujuan sekolahku. Pak Ino?
Tidak sama sekali. Dia mendukung penuh. Dia mengatakan
pada banyak orang bahwa Psikologi butuh diversifikasi ilmu
pengetahuan dari banyak sumber, jangan semua ke Australia
atau ke Amerika, kalau bisa pun harus ada yang ke India
ataupun ke Afrika Selatan.
Jujur, sebenarnya aku sendiri sempat ragu berangkat garagara beberapa informasi di media yang menyebutkan
kerasnya medan di Rusia. Banyak orang bilang setelah
mendapatkan sekolah di Rusia, restu ibu bakal jauh lebih
sulit untuk didapatkan. Lagi-lagi aku diyakinkan Pak Ino dan
juga Mbak Ira untuk berangkat. Dan benar, terlepas dari
hidupku di Rusia yang setelah berangkat ternyata agak pahit,
setengah sulit dan super irit, aku merasa dibesarkan secara
mental disana. Aku pun lulus master dengan selamat. Bisa
jadi tanpa penguatan hati dan dukungan penuh beliau ketika
itu, mungkin aku tidak akan pernah menginjakkan kaki di
Rusia. Dan justru karena aku pernah menginjakkan kaki di
sini, sekarang aku menikmati buahnya, aku dipercaya untuk
mengajar di perguruan tinggi tempat aku dulu belajar di
Rusia. Pak Ino, aku dedikasikan pencapaian yang kudapatkan
disini kepadamu.
Pak Ino tak hanya dikenal dari obrolan yang berat. Bayangan
yang paling jelas muncul di kepalaku adalah kepalanya yang
melongok di ruang UP3 gedung lama ataupun di ruanganku
di gedung baru. Lalu biasanya Pak Ino mulai memanggil,
Di, kopi iki karek njupuk wae. Iki ono kopi jahe, kopi nescafe. Iki
enak iki!, Di, wis mangan?, Di, tahu isi iki lho!, Di, ayo
rokokan sek!, Di, arek-arek nyantrik ta? Atau tiba-tiba dering
telponku berbunyi di jam sibuk, Di, mampir neng kelasku Di.
27

Arek-arek nggowo gethuk iki. Ayo ndaang!, Di ayo mangan di,


ajaken Dewi, Sam, Aryo, karo Ucok. Mbak Wiwin yang
ruangannya disebelahku juga selalu diperhatikan soal urusan
logistik oleh Pak Ino. Begitu sering Pak Ino juga melongoklongok di ruangan Mbak Wiwin untuk menawarkan
makanan dan juga melempar-lempar pertanyaan liar. Mbak
Dewi Syarifah tentunya hari ini menangis tanpa henti dan
matanya bengkak, karena aku tahu begitu sayangnya Pak Ino
terhadap dia (dan pasti juga sebaliknya). Ini ibarat bapak ke
anak.
Pak Ino punya perhatian besar dengan dosen muda di
Psikologi Unair dan juga terhadap fakultas secara umum.
Aku ingat pagi-pagi hari Kamis entah bulan apa, pastinya
tahun ini, tiba-tiba teleponku berdering, lalu Pak Ino
setengah bergetar menahan sedih bilang, Di, Bukik beneran
mengundurkan diri. Coba kau bicara dengan Bukik. Cuma
Samian, kamu, dan Aryo yang mungkin dia mau sedikit
mendengarkan. Kita kehilangan besar kalau itu benar. Aku
juga masih ingat ucapan yang pernah beliau katakan di meja
seberang kepada Mbak Ira dan Ucok, Ayo tak ajari statistik,
mumpung aku belum mati.

28

Aku ingat ketika mampir di Trawas dan dibayari pijat garagara badanku yang kecapean. Masih membekas bagaimana
kenangan perjalanan terakhirku dengan Pak Ino di Medan
ketika pernikahan Ucok. Pagi hari di hotel di Danau Toba,
badanku dibalik oleh beliau karena sulit bangun gara-gara
efek obat tidur. Disana juga beliau memberiku obat
tambahan untuk sangu (persediaaan) diriku yang akan
sekolah lagi. Pak Ino tahu problem susah tidurku.
Pak Ino adalah orang yang bisa mengesankan orang di
pertemuan pertama. Bulan April 2012, aku memperkenalkan
Pak Ino dengan temanku yang berasal dari Rusia. Malam
setelah perkenalan dengan beliau, kawanku bilang bahwa ia
ingin bicara lebih banyak dengan Pak Ino. Aku tanya
kepadanya apa yang membuat ia tertarik bertemu Pak Ino.
Temanku bilang, Orang-orang Indonesia yang kukenal ratarata berjabat tangan dengan tangan yang lemah. Cara dia
berjabat tangan kuat dan erat. Dia tipe orang yang percaya
dengan dirinya. Entah kenapa aku ingin banyak bicara
dengan dia.
29

Pak Ino adalah orang yang setia dan berdedikasi. Bulan


Februari 2012, ia pernah bercerita tentang semua yang
pernah terjadi di fakultas, Di, dulu aku pernah mengalami
masa yang berat di fakultas. Dosen-dosen keluar dari
fakultas. Aku ditekan, tapi aku bertahan disini, walaupun
berat. Kamu harus tahu tiap detail sejarah di fakultas kita,
termasuk konflik yang dulu-dulu. Sekarang masa itu udah
lewat, tapi arahnya mesti diperjelas. Kalian yang muda yang
mestinya bikin jelas.
Pak Ino pernah mengeluh karena banyak mahasiswa
psikologi yang cuma sekolah sekedarnya dan tidak paham
body of knowledge psikologi. Beliau seringkali frontal
mengkritik sistem pendidikan kita yang mekanis dan
birokratis.
Yang paling masuk di kepalaku adalah pesannya, Di
kamu simpan uang baik-baik. Cari duit. Bukan buat kamu.
Buat anakmu nanti. Kamu rela anakmu dididik sama-sama
orang-orang yang ga punya dedikasi dan integritas kayak
begitu!
Pak Ino adalah inspirator dan profesor tanpa gelar. Ia tidak
peduli dengan kenaikan pangkat. Untuk seusianya Pak Ino
punya golongan pangkat dan jabatan yang tidak tinggi. Beliau
tidak pernah pusing dan justru malas mengurus tetek bengek
administrasi kenaikan pangkat. Tapi dimata semua pengajar
disini, dialah THE REAL PROFESSOR. Beliau ibarat
ensiklopedi berjalan. Pengetahuannya soal isu indigenous jawa,
filsafat, sejarah, dan psikologi tak perlu diragukan. Dia
adalah orang pertama yang mendorong dan jadi inspirasiku
untuk belajar sejarah.
Terakhir aku bertemu dengan Pak Ino di Indonesia, ia
memberikan aku buku. Satu buku tipis tentang filsafat Jawa
30

dan satu buku tua bersampul coklat pudar dari Cornell


University soal budaya Jawa. Dia berpesan agar aku selalu
kembali pada akarnya. Buku itu belum kubaca dan kutinggal
di Polandia.
Dua bulan sebelumnya ada kata-kata dari Pak Ino yang
sekarang terngiang-ngiang dikepalaku, Di aku banyak punya
buku bagus, Kamu ambil apa yang kamu suka. Engkok nek
aku mati, wis gak ono sing moco meneh soale.
Pak Ino, aku bangga pernah dekat denganmu. Aku bangga
pernah jadi anak didikmu. Selamat jalan The Great Inspirator!
Jasadmu akan segera dikremasi seperti apa yang pernah
kamu katakan kepada kami. Hari ini kamu telah pergi, tapi
sesungguhnya guru tak pernah pergi, karena guru itu selalu
ada tempatnya di hati kami. Vi vsegda s nami vnutri nas. Vi
vsegda zhivoi! I miss you more than these words could ever say.

31

Sugeng Sare ya Bapak!


Oleh Dimas Aryo Wicaksono

Bagi saya butuh kekuatan besar untuk menorehkan tulisan


ini, bukan apa-apa, Saya tahu bapak pasti tidak ingin melihat
saya terus terlarut dalam kesedihan, tapi memang begitu
berat bisa melepaskan bapak. Baru sekitar seminggu kemarin
ketika diajak temen-temen untuk kasih materi tentang AMT
saya bercerita tentang salah satu figur yang sangat
berpengaruh dalam hidup saya, iya figur itu adalah Bapak
Ino Yuwono. Bagi saya cerita tentang pak Ino lebih dari
sekedar interaksi dosen-mahasiswa, tapi juga sudah seperti
interaksi bapak-anak, mungkin ini juga yang dirasakan oleh
anak didiknya yang sangat dekat dengan beliau. Bapak, tidak
hanya berpengaruh ketika semasa saya kuliah, atau ketika
saya meniti karir pertama sebagai dosen dan melanjutkan
studi, tapi beliau juga yang sangat berpengaruh dalam
bagaimana saya mempersiapkan keluarga saya.
"Yok, kamu itu harapan papamu, kalau kamu kayak gini
kesiapa papamu harus berharap", itu adalah kata-kata yang
paling saya dengerin ketika saya harus menghadapi IP yang
satu koma. Pada saat itu juga saya berpikir, kalau saya gak
niat kuliah gimana nanti saya bisa menghidupi keluarga.
Bapak juga yang membuat saya pada akhirnya bisa
menikmati psikologi. Beliau juga yang membuat saya tidak
pernah melupakan momen sidang skripsi saya, dimana ketika
itu Pak Ino membuka pintu lebar-lebar dan meneriaki semua
orang yang lewat, "ayo-ayo iki sidange ayok, melu dan takon
lho yo"...alhasil ada mas bukik, bu ike, pak bagus, mas ardi,
mas teguh dan pak ino sendiri, dan kesemuanya tanya dalam
sidang saya...merasa berat? tidak sama sekali Pak, justru satu
32

kebanggaan bagi saya bisa berdiskusi dengan orang-orang


hebat tersebut.
"Yok, nggak penting kamu nanti sekolah apa, tapi yang
paling penting kamu bisa belajar hidup di negeri orang, itu
adalah pesan Pak Ino ketika saya sedang berjuang untuk
melanjutkan studi saya. Dan benar, pernyataan beliau juga
yang membuat saya bisa bertahan dan menikmati semua
proses ketika saya mencari sekolah hingga berjuang di negeri
orang. Kekuatan dari pernyataan Bapaklah yang membuat
saya belajar gak penting bahwa saya bisa dapet nilai apa, tapi
bagaimana saya bisa belajar tentang hidup.
Bapak selalu memiliki cara yang unik untuk mendidik saya,
termasuk ketika mendidik saya menjadi seorang konsultan.
Pernah suatu waktu kita berdua sedang melakukan presentasi
tentang proposal proyek yang kami ajukan pada suatu
perusahaan. Perjanjiannya saya hanya sebagai asrot (asisten
sorot) pada kesempatan itu, tapi tiba-tiba seakan-akan
memberikan bola liar ke saya, beliau bilang ke audiens pada
waktu itu yak, untuk metode yang akan kita gunakan,
silahkan Pak Aryo yang menyampaikan, bola liar sudah
dioperkan, jadi saya harus bisa menggiringnya, untuk Bapak
juga mengajarkan saya untuk bagaimana kita bisa mengeles
dan bersilat hehehe
Pak Ino, bagi saya dan mungkin juga bagi sebagian orang
yang dekat dengannya adalah seorang Bapak. Saya teringat
betul, bagaimana beliau meracuni saya untuk mengajak
istri saya (pada waktu itu masih calon) untuk studi lanjut.
pokoke Tya kudu mbok ajak yok, nek nggak ngono isok
soro engkok awakmu, dan kata yang sama juga dia utarakan
ke Tya. Saya meyakini Bapak tidak ingin nantinya saya dan
Tya memiliki cara pandang tentang hidup yang berbeda.
Sungguh betapa Bapak ikut serta menyiapkan saya
33

membentuk keluarga kecil saya. Bahkan, hari terakhir ketika


saya bertemu Bapak, dia berpesan Yok, iki onok kerjoan
lumayan isok sampek 3 tahun, awakmu isok nabung dan
ninggali bojomu nek awakmu sekolah maneh, tapi terus ojok
lali tahun kedua ngono bojomu ajaken melu sekolah. Itu
adalah kata-kata terakhir Bapak yang masih terngiang
ditelinga saya, Betapa Bapak begitu peduli tentang masa
depan anak didiknya, hal serupa juga diutarakan ke sahabat
saya Ucok.
Bapak selalu berusaha menstimulasi anak didiknya dengan
pertanyaan-pertanyaan liar yang bikin kita deg-degan kalau
ditanyain. Walaupun kadang beliau sudah memiliki
jawabannya, tapi tidak mudah buat kita untuk mendapatkan
jawabannya dari beliau. Setidaknya Pak Ino ingin melihat
bahwa kita berusaha untuk mencari jawaban dari pertanyaan
yang beliau ajukan. Bapak juga hobi banget mengimingimingi buku-buku bagus, tapi juga tidak mudah bagi kita
untuk mendapatkannya, kadang kita kepikir kayaknya emang
hobinya yang menstimulus dan ngiming-ngimingi kita
konsisten dengan namanya I know you want know
(dibaca: ino yuwono). Tapi beberapa bulan yang lalu, sekitar
awal tahun ada kejadian yang tidak biasa, yaitu bapak
membagi-bagi buku yang dimilikinya, saya dan ucok
dipanggil keruangannya untuk memilih buku yang kita suka,
akhirnya kita pilih sesuai kompetensi kita, ucok memilih
buku-buku tentang organisasi dan teori organsasi, kalau saya
ambil buku-buku tentang sumber daya manusia. Seakan-akan
beliau sudah menunjukkan tanda bahwa sudah saatnya aku
membagikan buku-buku ini.
Banyak orang yang geleng-geleng dengan kebiasaan bapak
yang merokok, tapi beliau pernah bilang sama saya yok,
ngerokok ini adalah sumber kesenanganku, ga mungkin aku
disuruh berhenti, makanya saya tidak pernah berusaha
34

untuk menghentikannya karena saya memang berpikir bahwa


saya tidak mungkin memisahkan dia dari sumber
kesenangannya. Selain merokok, bapak juga hobi banget
sama makan, lontong kikil, bakso, soto, tahu campur dan
gorengan adalah beberapa makanan yang doyan banget
disantap sama bapak, kita selalu berbagi info tentang tempat
makan yang enak, pernah suatu hari ketika saya baru pulang
dari sekolah beliau bilang, sejak awakmu sekolah, aku gak
tau nemu panggon makan sing enak yok, bahkan pak Ino
memilih untuk berkendara sepeda motor ke kantor biar bisa
mampir-mampir beli makanan. Pada suatu malam telepon
saya berdering, pak Ino menelepon saya, yok-yok aku mau
tanya sesuatu, ini pasti kompetensimu (rasanya udah degdegan pak Ino mau tanya apa nih, saya memang selalu
khawatir ketika pak Ino bertanya dan saya tidak tahu
jawabannya, dan saya hanya khawatir kalau beliau nanti akan
kecewa dengan saya). Dia melanjutkan pertanyaannya yok,
ibuku iku lagi pengen tahu campur, tahu campur sing enak
iku nang endi yo? Ojok ngomong sing nang kalasan,
rasanya lega bahwa Pak Ino ternyata lagi tanya tentang
sesuatu yang bener-bener kompetensi saya, yaitu soal
makanan. Hobi pak Ino tentang makanan juga yang bikin
kita di departemen PIO hobi cari makan, dan membudaya
seperti yang biasa disebut mbak Dewi makan jauh
Hari itu, 5 Desember 2012 adalah hari terakhir saya melihat
wajah bapak, sebelum peti mati Bapak ditutup. Terakhir kali
saya melihat Bapak, saya melihat Bapak tersenyum pada
saya. Senyuman itu seakan-akan memberikan kekuatan
tersendiri bagi saya. Senyuman itu seakan-akan memberikan
pesan sama halnya apa yang disampaikan Ibu Ino kepada
saya, Bapak selalu bersama kita yok. Senyuman itu lebih
dari kata-kata atau sentilan yang selama ini Bapak berikan ke
saya, terima kasih bapak sudah tersenyum pada saya ketika
terakhir kali saya melihat Bapak. Terima kasih atas segala
35

dukungan dan perhatian yang Bapak berikan kepada saya,


terima kasih telah mengajarkan kepada saya tentang
bagaimana menjalankan kehidupan.
Sugeng sare ya bapak, tidur yang nyenyak dan damai, selamat
menikmati perjalanan baru. Bapak tidak akan sendirian,
karena suatu hari nanti kita pasti akan berkumpul lagi.
Murid, Anak, Sahabat dan Kolega
Aryo Wicaksono.

36

Untuk Pak Ino, Guru yang Luar Biasa


Oleh Wiwin Hendriani WiwinHendriani.com

Dear Pak Ino,


Ternyata Jumat kemarin adalah pertemuan terakhir saya
dengan Bapak.
Seperti biasa, Bapak melongok ke bilik saya sambil menyapa,
Halo Win
Sapaan yang sangat khas.
Tapi berbeda dari biasanya, hari itu sapaan Bapak tidak
diikuti dengan rangkaian pertanyaan yang berbau ilmiah, atau
kritik tentang sesuatu.
Bapak hanya bertanya, Lagi apa kamu? dan setelah itu
tersenyum mendengar jawaban saya, berdiri agak lama di
sebelah dinding bilik, lalu pergi.
Pak Ino, tahukah Bapak, kalau ada orang yang dulu sangat
saya takuti di fakultas ini, bahkan mungkin sempat saya
benci, namun kemudian menjadi begitu saya hormati, itu
adalah Bapak.
Setiap pertanyaan sulit Bapak adalah jalan bagi saya untuk
belajar lebih banyak. Setiap kritik yang Bapak berikan adalah
pemacu bagi saya untuk melakukan sesuatu dengan lebih
baik. Bahkan setiap ejekan yang Bapak lontarkan pun
menjadi cermin bagi saya untuk mengkoreksi diri. Saya akan
selalu merindukan sapaan Bapak, pertanyaan Bapak, kritik
dan ejekan Bapak, semuanya.
37

Selamat jalan Pak Ino


Beristirahatlah dalam damai
Segala kebaikan Bapak akan selalu menjadi kenangan buat
saya.
I love you, Pak Ino
Salam,
Wiwin.

38

Beberapa Obrolan Ringan Bersama


Pak Ino
Oleh Wiwin Hendriani WiwinHendriani.com

Ayo Win, arep tak takoni opo meneh? | Whuaaa.. Sik


Pak, bentar Pak, jangan sekarang Saya masih bunek sama
laporan penelitian | Kapan? | Ntar Sabar ya Pak Tar
saya bilang Bapak kalau sudah siap ditanyai lagi. Kan
pertanyaan Bapak kelas berat. Bikin saya mikir berkali-kali
lipat | Hahaha Tapi bikin kamu jadi belajar to? | Iya
memang, hehehe
Dan di hari lain yang saya janjikan: Pak Inooo. saya sudah
siap ditanyai Pak! Hayo Bapak mau tanya apa? | Wuuu
gayamu Win! | Hahahaha.
***
Win, kamu butuh kopi nggak? | Masih ada Pak, masih
punya | Ini lho, kalo kamu butuh, ambil aja di mejaku.
Lemon tea, jahe juga ada | Hot chocolatenya ada nggak
Pak? | Wuuu kon iku, coklat ae sing digoleki |
Hehehehe Lha enak lho Pak | Larang iku Win |
Memang, makanya saya minta Bapak, hehe | Sik durung
tuku meneh
***
Wiiin kamu mau kue nggak? Ini aku baru dikasih sama
mahasiswa, ambil aja mana yang kamu suka | Makasih ya
Pak (setelah mengambil 1 potong dari kardus yang
disodorkannya) | Ayo ambil lagi, ini masih banyak |
39

Sudah Pak, cukup. | Ambilkan sekalian untuk Bukik dan


anakmu, mereka pasti seneng (Sungguh sosok Bapak yang
sangat perhatian)
***
Kamu ini pinter ternyata | Memang. Bapak aja yang
nggak perhatian sama saya | Terus, kenapa nggak kamu
manfaatkan? Kenapa malah sekolah di sini, nggak sekolah ke
luar? | Karena ini pilihan saya Pak. Karena saya memang
nggak pengen sekolah ke luar negeri. | Tapi kan kualitasnya
lebih bagus | Tapi bukan berarti juga yang sekolah di
dalam kualitas ilmunya pasti lebih jelek Pak Kan
tergantung orangnya juga, mau belajar apa enggak (Dan ia
pun tersenyum mendengar kata kuncinya: BELAJAR)
***
Wiiiin.. Reneo dilut! | Ya Pak! (sambil jalan ke ruang Pak
Ino waktu masih di gedung lama) | Iki lho, kon butuh jurnal
opo, mumpung aku lagi mbukak (membuka link ke
beberapa perpustakaan universitas di Amerika yang Pak Ino
punya aksesnya). Kon lak perkembangan se Iki wocoen,
lek butuh tak downloadne pisan | Waaah, iya Pak! Maumau! | Wuuu kon iku, mau-mau ae | Hehehe Ya
kan nggak tiap hari Bapak nawarin jurnalnya | Wis, opo
meneh Nek aku gak sayang, gak tak wehi Win (Iya
Pak saya juga sayang sama Bapak)
***
Beberapa bulan lalu, sepulang dari nikahan Ucok di Siantar
(satu perjalanan jauh yang awalnya dikhawatirkan tidak akan
kuat dilalui Pak Ino dengan kondisi kesehatannya):

40

Halo Win | Halo Pak Ino Wah, masih sehat Pak? |


Iyo, wong-wong podho mabuk kabeh. Mabuk duren! |
Bapak juga? | Yo enggak Gak wani akeh-akeh aku
mangane Win! | Sapa aja yang mabuk? | Yo Ardi, Rudi,
Untung aku nggowo obat | Jadi bukan Bapak yang ditolong,
tapi malah Bapak yang nolong orang sama obatnya Bapak? |
Hahahaha.. Iyo! | Kalo gitu bener berarti, untung Bapak
jadi ikut berangkat ya Pak? Hehehe
***
Win, kon gelem ta, Damai sekolah dididik sama orang-orang
yang nggak punya integritas sebagai pendidik? Yang
punyanya gelar tok tapi ilmunya nggak ada? Sekolah dhuwur
tapi ngomong ae mbelgedhes Opo meneh ijazahe tuku. |
Hehehe ya enggak Pak | Makane nabungo
asuransi Biar nanti anakmu bisa sekolah ke luar, dapet
ilmu yang bener | Iya Pak, diusahakan | Tenanan iki
Win! | Lho iya, tenanan Pak
Dan akhirnya, obrolan-obrolan ringan yang ngangeni itu
sudah nggak akan ada lagi ya Pak Ino

41

Saya (TIDAK) Benci Pak Ino!


Oleh Agatha Stefani - Randomnyes.blogspot.com

Saya benci Pak Ino! Mungkin bukan awal yang manis bagi
sebuah obituari, namun jika saya boleh jujur, kesan itulah
yang saya dapatkan setelah interaksi pertama saya dengan
beliau di suatu perkuliahan.
Dan mungkin saya punya beberapa alasan untuk tidak
menyukai beliau. Pak Ino kerap memanggil saya Ndut
well saya memang gendut sih. Beliau pernah menolak
mentah-mentah untuk menjawab pertanyaan saya seputar
PIO di luar kelas. Dan gara-gara itu saya malu bukan main
sampai nangis. Di suatu perkuliahan, Pak Ino pernah
mengata-ngatai almamater saya yang berlokasi dekat
Kuburan Cina sebagai SMA yang seram sehingga membuat
saya yang berbadan besar ini juga tampak menyeramkan. Pak
Ino juga pernah mengancam akan melempar saya dengan
sandal karena saya terlalu banyak bertanya pada beliau di
suatu perkuliahan, Kamu minta saya jelaskan lagi? Tak
lempar pakai sandal!
Di perkuliahan terakhir yang beliau ajar, Pak Ino masih
sempat menyepak kaki saya ketika tidak bisa memecahkan
masalah sepele tentang validitas dan reliabilitas.
Cruel? A bully? Hateable? Tidak juga. Sebab semua 'kejahatan'
itu dilakukan Pak Ino demi kebaikan. A greater good.
Karena berbagai ucapan beliau malah membuat saya
melakukan banyak refleksi diri. Ungkapan bernada satir yang
sering Pak Ino lontarkan berkali-kali membuat saya tertohok
42

dan malu pada diri sendiri. Cukup banyak pembelajaran saya


peroleh dari beliau.
Saya belajar untuk belajar dengan benar. Beberapa kali Pak
Ino menyindir kami para mahasiswa sebagai calon Sarjana
Power Point yang jarang membaca buku, yang memang
kenyataannya seperti itu. Sayasebelum ditampar telak
dengan pernyataan itumemang kolektor sejati materi
kuliah yang terangkum dalam power point; kaum yang jarang
menyentuh buku apalagi membacanya dengan nggetu. Karena
beliaulah sekarang saya lebih bersemangat untuk bertekun
membaca kitab-kitab ilmu berbahasa asing. Saya belajar
untuk benar-benar memahami materi dan tidak menerapkan
auto-delete-mode dalam pembelajaran.
Saya belajar bahwa teori itu penting, penting sekali dan akan
mempermudah praktek. Tanpa teori, kita cuma sekumpulan
domba tak bergembala yang dilepas di padang tanpa tau
arah.
Saya belajar bahwa orang yang belajar psikologi (dianggap)
memiliki kekuatan super. Saya mengikuti kuliah
Psikodiagnostik dengan asal-asalan; asal lulus. Tapi saya ingat
ucapan keras Pak Ino pada kuliah Asas-Asas Manajemen
tentang beratnya titel Sarjana Psikologimaupun mahasiswa
psikologikarena sebagian besar orang masih menganggap
psikolog sebagai cenayang dan penentu nasib orang lewat
berbagai skor asesmen psikologi. Psikolog dianggap orang
dengan kekuatan super, yang ucapannya bisa memutus hidup
seseorang.
Beliau bercerita tentang hasil psikotesnya yang dibawah ratarata. He told us he was a debil. (Really, sir?) Seandainya orang tua
beliau saat itu benar-benar percaya pada hasil psikotesnya,
43

seharusnya beliau tidak akan pernah mengenyam ilmu


sampai Amerikakarena hanya anak ber-IQ jongkok.
Berapa banyak itu orang tua percaya anaknya goblok
akhirnya pasrah atau marah-marah? Berapa banyak orang
gak bisa kerja karena IQ dari hasil psikotes nya rendah?
Makanya saya nggak mau itu ngetes-ngetes. Saya cuma bisa
menyarankan. Apa orang ini diterima kerja di perusahaan
atau jabatan tertentu atau tidak disarankan.
Wasn't his exact words thou, but that's what he said. As he told us
this story, I scribed my note with Uncle Bens quote, with great power,
comes great responsibility. And I agreed with Pak Ino about this.
Ucapan ini begitu mengena bagi saya yang juga bekerja
sebagai tenaga serabutan untuk suatu lembaga psikologi yang
sering memberikan psikotes ke sekolah-sekolah. Setiap kali
akan melakukan skoring terhadap psikotes anak-anak SMA
ini, saya ingat bahwa saya punya tanggung jawab yang besar
untuk menentukan nasib si anak ini. Sebisa mungkin saya
lakukan skoring dengan hati-hati dan teliti.
Saya belajar untuk tidak cuma jadi kembang ban. Di suatu
perkuliahan saya pernah bertanya pada beliau, Kalau
semester ini kita bacaannya buku-buku manejemen gini Pak,
terus apa bedanya dong kami anak PIO sama anak
Manajemen? Beliau menjawab,
Tidak ada! Kalian ini kan cuma kembang ban; onok gak popo,
gak onok yo gak popo. Makanya kalian harus belajar supaya bisa
jadi lebih dari mereka yang sama-sama belajar organisasi dan
manajemen!
Jawaban Pak Ino terkait kembang ban ini memang ucapan
standarnya. Namun kali itu, saya yang sudah mengambil
beberapa mata kuliah peminatan PIO benar-benar merasa
44

terusik dan berkali-kali membuat saya bertanya, Lapo aku


biyen njupuk peminatan PIO lek pas kerjo mek dadi kembang ban?
Tapi pada akhirnya saya sadar, ucapan itu adalah cambuk
bagi kamibagi sayauntuk menjadi sosok yang lebih dari
sekadar kembang ban yang harus terus belajar supaya
memiliki nilai tambah, agar nantinya tidak akan jadi kuli di
negeri sendiri.
Pak Ino membuat saya bertanya pada diri sendiri, Ngapain
aja aku selama kuliah ini? Tujuh semester dengan sisa enam
bulanan untuk menggarap skripsi dan saya merasa saya
belum layak lulus ataupun menyandang gelar sarjana.
Membaca tagar #InoYuwono di linikala dan mengingatingat kembali perkataan beliau di berbagai perkuliahan
membuat saya merasa tertampar berkali-kali.
"Semester berapa kamu? Berapa banyak buku yang sudah
kamu baca? Shame on you!"Teringat minimnya jumlah buku
terkait perkuliahan dan psikologi yang pernah saya baca
yang sangat sedikit jumlahnya. Teringat KHS yang walau
dihiasi beberapa huruf yang mengimplikasikan nilai bagus
rasanya lebih layak untuk disebut KHS Ajur bin Bosok.
"Berapa nilai Statistik kamu? Berapa sih IPmu? Nilai A
kalian itu Ajur, B-nya Bosok!"
Terbersit rasa takut menjadi TKI (Tenaga Kuli Indonesia) di
negara sendiri karena minimnya kualitas diri.
"Ya seperti ini kondisi work-force di Indonesia. Kalo kalian
males kalian bisa jadi TKI di negara sendiri. Tenaga Kuli
Indonesia!"
Dan rasa malu luar biasa karena merasa hebat jadi
mahasiswa psikologi yang dibekali teori-teori motivasi dan
kepribadian tapi tidak bisa mengaplikasikannya dengan tepat.
45

"Jam saya ini Rolex. Kenapa saya pakai? Kata kamu tadi apa?
Maslow? Aktualisasi diri? Self-esteem? Self-confidence? Mbelgedes
semuanya! Saya pakai jam ini karena saya mau kok!" Kata
bapak sambil teratawa culas. "Kenapa tidak tanya langsung
ke saya alasannya apa? Main analisa tok sembarangan pakai
teori."
Ah Shame on me. Really, shame on me, Sir. Saya layak
mendapat statement itu dari beliau. Saya merasa selama kuliah
saya tidak menggunakan waktu saya dengan baik dan sudah
waktunya bagi saya untuk memanfaatkan waktu yang sempit
ini untuk jadi mahasiswa calon sarjana yang baik.
Dan sayapun lupa kenapa di awal perkuliahan dulu saya
membenci Pak Ino. Terlalu banyak pelajaran dan bekal
hidup yang beliau berikan. Terlampau banyak bekal positif
beliau berikan lewat ucapan kejamnya. Beliau tidak layak
dibenci. Somehow he made us love him, and he did it in his own way
by making us hating him.
Saya akan merindukan Bapak dan segala sindiran yang
membuka cakrawala yang Bapak lontarkan.
Although you are now gone, parts of you still lives with us, Pak. May
God rests your soul!

Dari mahasiswa yang mungkin tidak ia ingat, Ernestine.

46

Pak Ino yang Annoying


Oleh Elga Andina - Jurnalsipeneliti.wordpress.com

Suatu hari di kelas Psikologi Niaga, Pak Ino menampilkan


sebuah video iklan deodoran. Dalam tayangan tersebut
terlihat seorang laki-laki mencium ketiak perempuan yang
telah menggunakan produk yang diiklankan. Pak Ino
menjelaskan, Iklan ini annoying, kan? Tapi, karena annoyinglah orang jadi selalu ingat. Kisah ini terjadi hampir 8 tahun
yang lalu.
Bagi saya, Pak Ino juga annoying karena cara bicaranya yang
sarkastis, leluconnya yang mungkin bagi sebagian orang
terlalu kasar, dan kritikannya yang tajam namun tepat
sasaran. Beliau memang annoying, karena sifat-sifat tersebut,
beliau ditakuti (dalam arti yang sebenarnya) oleh banyak
mahasiswa psikologi. Bahkan pada jaman saya dulu, ada
mahasiswa yang beralih jurusan dari Psikologi Industri
Organisasi (PIO) karena tidak sanggup berhadapan dengan
Pak Ino. haha.
Akan tetapi, guru seperti Pak Ino adalah salah satu guru
terbaik buat saya. Kalau boleh dicari pembandingnya, Pak
Ino itu seperti Severus Snape dalam kisah Harry Potter.
Karakternya keras bahkan terkesan jahat, namun
sebenarnya ia melakukan yang terbaik yang ia bisa untuk
membantu Harry. Begitu juga Pak Ino di mata saya. Cara
bicaranya yang pedas, kadang sedikit menghina (bagi yang
terhina ya) selalu ada pelajaran yang perlu direnungkan.

47

Sebenarnya, tidak banyak yang bisa saya ingat dari pelajaran


PIO yang bapak ajarkan. Malah saya lebih banyak belajar
mengembangkan kepercayaan diri. Pernah suatu kali, beliau
bercerita bahwa IQ orang Indonesia tidak kalah dengan
orang luar, Saya sudah membuktikannya, begitu katanya.
Dengan begitu, tidak ada alasan bagi kita untuk merasa
rendah diri. Buat saya, itu merupakan motivasi yang besar
untuk percaya pada kemampuan sendiri.
Sayang sekali ya, Bapak tidak berhasil membuat saya sakit
hati. Bapak memang annoying, sehingga membuat saya susah
melupakan. Tumbuh dengan mendengarkan celotehan bapak
di kelas maupun di lorong-lorong kampus Psikologi telah
membuat saya yang sekarang ini. Terima kasih, Pak. You
made me what I am today.
Disadur dan dikembangkan dari My annoying teacher
(http://s4kuramochi.blogspot.ru/2012/12/my-annoying-techer.html)

48

Kembangan Ban
dan Pak Ino yang Menyebalkan
Oleh Iwe 04

Saya memulai menulis ini di kala menempuh macetnya


perjalanan dari Grati menuju Surabaya, dikala kepadatan dan
kesibukan kantor yang luar biasa di akhir tahun, dan di kala
menahan sakit akibat duri ikan bandeng yang tersangkut di
tenggorokan.
Menyebalkan. Menyebalkan adalah mendapatkan sesuatu
yang tidak diduga (unpleasant) ketika kita tidak siap. Das sollennya ingin menikmati makan enak dengan nyaman dan perut
kenyang tapi das sein-nya malah dapat duri menancap di
tenggorokan. Ditambah macet dan masih terngiang
setumpuk pekerjaan yang harus diselesaikan sebelum
deadline akhir tahun. Huff.. sebal yang sempurna.
Perasaan menyebalkan ini hampir sama dengan yang sempat
saya rasakan saat pertama kali bertemu dengan Pak Ino,
hanya saja tarafnya saat itu lebih besar. Saya masih ingat
ketika saya dan teman-teman baru mengikuti awal kuliah di
kampus. Layaknya mahasiswa baru, semangat dan harapan
kami membumbung tinggi. Beberapa dosen tampak di depan
kelas. Salah satunya dengan dosen yang memegang sebatang
rokok dan bersandar di pintu. Sejenak dia mengamati wajahwajah kami lalu tersenyum-senyum. Entah apa yang
dipikirkannya. Satu hisapan kemudian dia berteriak kepada
seisi kelas, Kenapa masuk psikologi???.

49

Supaya bisa menolong orang pak, jawab seorang dari


kami.
Caranya bagaimana?
Yaa.. Melalui ilmu psikologi yang kita dapatkan, sahut
seorang teman yang lain.
Sang dosen semakin tersenyum lebar, Jika dibandingkan
dengan seluruh ilmu yang ada di seluruh dunia yang
diibaratkan sebuah mobil, menurut kalian Psikologi itu
bagian apanya?
Spion! jawab kami. Salah! ujarnya. Jok!. Ngawur!!.
Lampu!. Tambah ngawur!!! Ayo mana yang dari SPMB?
Biasanya pinter-pinter!.
Kamu! Dari SPMB bukan? Dari tampangnya kelihatan
pinter, tunjuknya kepada seorang mahasiswa. Mahasiswa itu
mengangguk. Coba kamu jawab!pinta sang dosen.
Berpikir sejenak, mahasiswa itu menjawab,Ban pak! Karena
psikologi bisa mengarahkan hidup seseorang menjadi lebih
baik. Naah, hampir betul jawabannya. Lumayaan. Yang
lain, kalau jawab itu kayak dia ini. Pikiren! Ojo ngawur! kata
sang dosen.
Tiba-tiba seorang teman dengan optimistis dan meyakinkan
menjawab, Setir pak! Psikologi yang menentukan mau
kemana hidup seseorang...
Tawa sang dosen membahana. Hahaha... Rungokno Fen,
psikologi iku setir jarene, ujarnya kepada dosen lain yang ikut
tersenyum. Jawaban kalian salah semua! Gak ono sing
bener!! Ngawur kabeh. Cuma satu yang hampir benar tadi,
sambungnya sambil terkekeh mengejek kami.
50

Kalian tahu? Ilmu psikologi gak hanya lebih dari sekedar


kembangannya ban. Ono gak po po, gak ono yo gak po po. Jadi
kalau yang tadi jawab mau tolong orang, mau bantu orang,
kalian salah besar masuk sini!!! kata sang dosen sambil
mengacungkan jarinya. Mumpung masih di awal,
mengundurkan diri saja, masuk ke Fakultas lainnya. Ngapain
kalian kuliah di sini? Daripada kalian menyesal lebih baik
mundur sekarang. Kalau perlu aku yang daftarkan kalian ke
fakultas lain. 100% dijamin diterima.
Gimana? Ada yang mau gak? Psikologi iku cuma kembangan ban.
Nyesel gak masuk psikologi? tanyanya kepada kami semua.
Tengok kiri tengok kanan, saya melihat perubahan ekspresi
pada wajah kami. Melongo, masam, dan sedikit geram. Itulah
yang disebut sebal. Sangat menyebalkan mendapat
berondongan pertanyaan seperti itu di awal kami kuliah.
Apalagi dari seorang dosen congkak yang terus berasap
sedari tadi dengan tersenyum culas memandang kami. Oh,
Tuhan apa salah kami? Bukannya di awal seperti ini dosen
seharusnya memberikan kami motivasi positif untuk
menyongsong dunia perkuliahan? Justru yang kami dapatkan
malah bully sadis nan pesimistis. Duh..
Belakangan saya tahu bahwa nama dosen tersebut Ino
Yuwono. Dosen yang dikenal lama sebagai sosok sarkas,
tiran, dan menyebalkan. Tak heran banyak mahasiswa yang
takut dan menghindari kehadirannya. Baik menghindari
sosoknya atau menghindari lontaran pertanyaan menjebak
darinya. Bahkan konon ada dosen yang juga memilih
menghindarinya.
Namun memang begitulah originalitas seorang Ino Yuwono.
Jarang rasanya melihat seorang dosen yang mampu
menjelma menjadi sosok yang begitu menyebalkan
51

sepertinya. Menyebalkan dalam arti luas. Menyebalkan


karena memang ingin mengejek dan menjatuhkan.
Menyebalkan karena ingin memaksa kita berpikir lebih keras.
Atau bisa juga gabungan dari keduanya.
Terserah bagaimana kita menilainya. Namun satu yang jelas,
Pak Ino itu memang menyebalkan.
Mengapa? Karena beliau sering melemparkan pertanyaanpertanyaan tajam di kala kita belum siap dengan jawabannya.
Meskipun kita sudah menyiapkan jawaban, ternyata kita
masih belum siap, ketika beliau melemparkan pertanyaan
lanjutannya. Luar biasanya, seringkali pertanyaan yang ia
ajukan adalah pertanyaan yang simpel. Tapi mampu
membuat kita berpikir berkali-kali sebelum menjawabnya.
Berbeda dengan kita, Pak Ino tidak pernah sebal ketika kita
mengajukan pertanyaan kepada beliau. Bahkan pertanyaan
yang kita anggap paling sulit sekalipun. Beliau selalu punya
jawabannya dan sekaligus sudah siap dengan pertanyaan
balik untuk kita. Tak peduli sesering mungkin kita bertanya,
beliau tak pernah lelah menjawabnya. Tampaknya beliau
sangat menikmatinya. Kadang saya iri dengan Pak Ino.
Memiliki samudra pengetahuan yang begitu luas.
Begitulah Pak Ino. Seperti ditakdirkan menjadi sosok
menyebalkan. Bahkan di saat kepergiannya. Saya (dan
mungkin beberapa teman lainnya) tidak siap ketika beliau
berpulang. Saya belum siap dengan jawaban atas pertanyaan
beliau, bagaimana kalau aku pergi untuk selamanya?
Namun tampaknya pertanyaan tersebut tidak perlu dijawab.
Biarkan begitu agar saya bisa memikirkan jawabannya setiap
hari. Agar menjadi pengingat saya atas semua pesan-pesan

52

beliau. Saya mungkin hanya perlu mengikhlaskan dan


melepaskan kepergian beliau.
Mengenai kembangan ban tadi, saya mungkin setuju
dengan Pak Ino. Psikologi mungkin memang kembangan
ban. Tetapi di saat mobil itu melaju dan semakin kencang,
kembangan ban itu bisa menjadi penentu kesuksesan yang
tidak terelakkan.
Ambil contoh perlombaan mobil supercepat Formula One.
Amati bagaimana signifikannya faktor kembangan ban di
dalamnya. Salah memilih kembangan ban, bisa-bisa
menurunkan performa mobil. Fatal akibatnya. Itulah
tantangan psikologi. Harus bisa menjadi kembangan ban
yang dibutuhkan oleh dunia yang berputar cepat. Dan pasti
bisa terwujud. Lihat saja nanti, Pak Ino. Selamat jalan Pak
Ino. Saya akan merindukan sosokmu yang menyebalkan.
Terima kasih atas semua pelajaran yang kau berikan.
Beristirahatlah dengan tenang..

8 Desember 2012

53

Ketika Guru Lain Pergi,


Guru Ini Tetap Bersama Muridnya
Oleh Bukik Setiawan Bukik.com

Setiap orang punya guru, orang yang memberi pelajaran


hidup, orang yang menginspirasi kita buat mengubah jalan
hidup. Bagiku, Pak Ino adalah guru kehidupanku.
Aku seharusnya tidak diajar Pak Ino. Dulu aku mengambil
peminatan Psikologi Sosial di Fakultas Psikologi Unair.
Perjumpaan terjadi karena MPK (Model Pengambilan
Keputusan) jadi mata kuliah wajib yang harus diambil. Pak
Ino adalah dosen PJMK untuk mata kuliah itu. Dari ruang
kelas itulah perubahan mulai terjadi.
Aku masuk kelas tersebut sebagai seorang aktivis dengan
kepongahan masa muda. Aktivis sosial yang punya
pandangan minor terhadap dosen Psikologi Industri dan
Organisasi (PIO). Bahwa PIO adalah kapitalis, pemeras
keringat rakyat. Pandangan itu mewarnai pertanyaan,
tanggapan dan kritikanku terhadap beliau. Tanggapan beliau?
Beragam, ada yang sependapat, tapi seringkali bertolak
belakang, bahkan tidak jarang mengejek.
Pada akhirnya aktivis sosial itu, aku, mendapat pukulan telak
ketika berbicara mengenai misi hidup. Untuk apa hidup?
Untuk apa kuliah? Dapat nilai bagus? Buat apa bekerja?
Sekedar mengejar uang? Pertanyaan-pertanyaan tersebut
tidak kusangka keluar dari seorang dosen PIO. Pertanyaan
apa itu? Apa hubungannya sama mata kuliah MPK? Absurd
memang.
54

Tapi pertanyaan dan diskusi tersebut yang meneguhkan aku


untuk serius kuliah. Aku meninggalkan belajar dari fotocopy
catatan teman, dan mulai membaca buku teks bahasa inggris.
Aku bodoh Bahasa Inggris. Tapi berkat beliau aku bisa tahan
baca buku tebal bahasa inggris, berulang-ulang. Iya berulangulang biar benar-benar paham. Pusing? Iya. Ngantuk? Jelas.
Muak? Sering. Tapi memang inilah pilihanku, kuliah untuk
belajar, bukan untuk mendapat nilai bagus.
Awalnya dari fotocopy catatan menjadi buku teks, selanjutnya
dari buku teks ke berbagai bacaan lain mulai jurnal dan
novel-novel bermutu. Aku merasa terus dikejar, terus
ditantang oleh Pak Ino untuk selalu belajar melampui batasbatas normatif. Belajar bukan sekedar karena kuliah, tapi
belajar karena kita hidup. Belajar apa saja, bukan sekedar apa
yang diajarkan.
Mulailah petualangan intelektualku. Aku mengenal Capra
dan Teori Fisika Kuantum berkat Pak Ino. Tidak puas
dengan penjelasannya. Aku baca buku-bukunya Fritjof Capra
hingga The Dancing Wu Li Masters dari Gary Zukav yang
bahasanya sangat teknis. Aku mencoba belajar memahami
konsekuensi penemuan Fisika Kuantum terhadap psikologi
dan kehidupan.
Pak Ino mengajarkan psikologi bukan sekedar pengukuran
kuantitatif terhadap perilaku manusia, tapi penghayatan
terhadap pengalaman hidup. Buat yang mengenal Pak Ino
terlebih dahulu, pandangan ini mungkin aneh karena Pak
Ino adalah jagoan statistik, jagoan bikin alat ukur. Aneh
memang kalau memandang Pak Ino dari kulit luarnya.
Pak Ino adalah paradoks. Ia mengubah orang dengan caracara yang ajaib. Bisa dengan cara positif, tapi bisa juga
dengan cara negatif. Bisa dengan cara sopan, tapi bisa juga
55

dengan cara kurang ajar dan kasar. Ia bisa memberi pujian,


sebagaimana ia memberi kritik. Ia bisa memberi hadiah,
sebagaimana ia memberi hukuman. Tujuannya? Agar orang
belajar. Titik.
Pengaruh Pak Ino terlihat di skripsi dan tesisku. Bukan
materi atau topiknya. Pak Ino tidak mendikte topik. Tapi
pengaruhnya pada semangat belajar itu. Aku mengerjakan
skripsi dengan topik Repertory Grid, topik asing di Indonesia.
Aku belajar dari Google dan diskusi dengan banyak orang.
Tesisku mengenai Appreciative Inquiry, sebuah pendekatan
yang belum dikenal banyak orang pada waktu itu (tahun
2005). Aku juga belajar dari Google dan diskusi dengan
banyak orang.
Pak Ino mendukung penuh semua orang yang mau belajar.
Ketika awal aku mengembangkan Appreciative Inquiry, Pak
Ino adalah suporter utama. Ia mendukung bukan hanya
dengan omongan, tapi dengan tindakan. Ia memberi
kesempatan padaku agar bisa menerapkan Appreciative
Inquiry. Ia menemaniku belajar menjadi fasilitator workshop
Appreciative Inquiry (SOAR). Ia mendampingiku ke tempat
workshop bahkan sampai Jakarta, meskipun setelah itu
beliau harus istirahat memulihkan staminanya selama
beberapa hari.
Aku tidak pintar. Aku tidak kaya. Tapi aku punya semangat
dan keyakinan untuk belajar. Semangat dan keyakinan yang
dipicu oleh Pak Ino dengan cara yang beragam. Pak Ino
adalah pendukung ketika aku merasa ragu. Pak Ino adalah
pengkritik terhebat ketika aku merasa berpuas diri. Ia tetap
mendampingi muridnya meskipun tidak paham topik yang
dipelajari murid. Ketika guru lain pergi, Pak Ino memilih
tetap berada disamping muridnya.
56

Beberapa tahun yang lalu, Departemen PIO memutuskan


membuka program studi S2 Magister Perubahan dan
Pengembangan Organisasi (MPPO). Pak Ino ingin MPPO
bukan menjadi sekedar S2, tapi sebagai sebuah penanda
keseriusan kami dalam mempelajari Psikologi Organisasi.
Orang masuk MPPO bukan sekedar ingin mendapat gelar,
tapi menghayati hidup dan mengalami perubahan nyata.
Impian Pak Ino ini yang dengan susah payah kuterjemahkan
dalam kurikulum dan proses belajar. Aku dan Pak Ino
bergantian mendampingi perkuliahan meski diakhir pekan.
Aku dan Pak Ino mendiskusikan mana yang sudah bagus
dan mana yang perlu dikembangkan.
Mimpi Pak Ino adalah menjadikan kampus sebagai tempat
pembelajaran seumur hidup. Visi ini yang beliau sampaikan
ketika di workshop Kusuma Agro Wisata. Kampus adalah
tempat dimana orang-orang yang punya kemauan belajar
bisa belajar terus. Tempat dimana para alumni kembali untuk
berbagi pengetahuan dan belajar kembali. Tempat dimana
orang-orang didalamnya mencintai belajar.
Ia mencintai kampus Psikologi Unair lebih dari yang disadari
kebanyakan orang. Ia punya bisnis di luar kampus agar bisa
menyekolahkan anaknya sampai ke luar negeri. Ia tidak
pernah meninggalkan perkuliahan begitu saja. Bahkan ia
tidak meninggalkan kampus ini meski beberapa orang,
termasuk aku, memilih untuk meninggalkan kampus. Ia
mencintai kampus dengan hati, jiwa, dan raganya.
Keputusanku mengundurkan diri dari kampus pun disikapi
secara paradoks oleh Pak Ino. Pada satu sisi, ekspresi
wajahnya menunjukkan keberatan yang teramat sangat. Tapi
disisi lain, ia terus mendorongku untuk mengikuti kata hati,
Ikuti kata hatimu. Maaf Pak Ino, aku mengecewakanmu
untuk satu urusan ini. Tapi semangat Pak Ino akan terus
57

kubawa, belajar sepanjang hayat, baik untuk diriku sendiri


maupun untuk orang-orang disekitarku.
Sampai terakhir bertemu, sekitar 1 bulan yang lalu, Pak Ino
masih menunjukkan kegelisahannya mengenai kualitas
pendidikan di Indonesia. Masih ngomel-ngomel panjang lebar.
Begitulah Pak Ino, Ia adalah orang yang peduli pendidikan
yang ditunjukkan dengan cara-cara ajaib.
Masih banyak lagi pelajaran dan kenangan bersama Pak Ino.
Tapi aku sudah tidak sanggup menuliskannya.
Terakhir, tadi malam Pak Ino masih memberi pelajaran
terakhir padaku melalui Facebook (foto terlampir).

58

Selamat jalan Pak Ino. Selamat Jalan Christophorus Daniel


Ino Yuwono.
Mohon maaf buat semua kesalahanku. Aku akan berusaha
memenuhi janjiku padamu, belajar bahasa Inggris dan belajar
di luar negeri. Terima kasih buat persahabatan, perhatian,
kata-kata keras, pencerahan dan semuanya. Terima kasih
buat gorengan yang engkau bawakan pada sore-sore di ruang
Cattel.
Buat teman-teman, maafkan semua kesalahan beliau dan
mohon doanya agar beliau damai di sisi-Nya

Damai di bumi. Damai di hati


Murid, Anak dan Sahabat

Bukik

59

Panggilan
Oleh Dwi Krid - Nightmareideas.posterous.com

"Kik, kembali pada tulisan kuno ya, semua ada waktunya. Ada
waktu untuk menanam ada waktu untuk memanen, ada waktu
untuk bertemu ada waktu untuk berpisah."
Ino Yuwono kepada Bukik Setiawan, 3 Desember 2012, 17:52
WIB
Pagi ini, 4 Desember 2012, saya melihat dosen saya - yang
usai mengajar Penelitian Kualitatif - terdiam saat menerima
panggilan telepon. Saya kurang tahu itu panggilan telepon
tersebut berasal dari siapa, namun panggilan tersebut
mengisyaratkan sebuah panggilan lain: kepulangan salah
seorang dosen senior di tempat saya belajar saat ini: Pak
Ino.
Gelombang emosional mulai terlihat di linikala Twitter saya;
beberapa berduka, beberapa sangsi sambil menunggu
kepastian. Saya dan teman-teman berkumpul di lantai
pertama gedung perkuliahan, sampai akhirnya kabar
kepulangan Pak Ino benar adanya. Para dosen bergegas,
meluncur ke kediaman beliau, sedangkan para mahasiswa termasuk saya - disediakan bus universitas. Ada kehilangan
yang terpancar dari mata teman-teman saya, ada pula air
mata. Pilu semakin menjadi saat saya dan teman-teman tiba
di rumah beliau. Beberapa dosen sembab. Dua atau tiga
teman saya meledak tangisnya. Beliau terbaring, diam; saya
bahkan belum sempat melihat wajah Pak Ino karena beliau
akhirnya dibawa masuk ke dalam mobil ambulans.
60

Menoleh ke belakang, saya masih melihat mata yang


berkaca-kaca. Ada pelukan. Ada sedu. Kehilangan itu
memang nyata: sebuah panggilan untuk beliau, sekaligus
sebuah kepergian untuk orang-orang yang ditinggalkannya,
termasuk keluarga di tempat Pak Ino mengajar: para dosen,
karyawan, serta kami sebagai mahasiswa beliau. Didikan Pak
Ino yang keras - tuntutan beliau agar kami membaca buku,
bukan slide Power Point - pasti menjadi kesan mendalam buat
saya dan teman-teman. Terlepas dari segala kritik, saya yakin
Pak Ino sayang pada semua mahasiswa dan mantan
mahasiswa beliau, yang sampai pagi ini menjadi rekan kerja
sebagai sesama dosen.
Menutup tulisan ini, komentar terakhir Pak Ino di status Pak
Bukik diambil dari Kitab Pengkhotbah, atau mungkin lebih
tepatnya, kutipan yang dibacanya dalam Zahir - salah satu
novel gubahan Paulo Coelho - yang juga menjadi salah satu
favorit saya.
Selamat menerima panggilan, terima kasih, dan selamat jalan.

61

JANGAN PULANG!
Oleh Josephine MJ Ratna Vivien

JANGAN PULANG! Perintah Pak Ino.


Pokoknya kalau bisa, kamu jangan pulang. Ngapain? Di
sana lebih enak dan dihargai Vien, kalimat yang selalu
beliau sampaikan jika saya pulang kampung. Dan jawaban
saya Ya dilihat nantilah, Pak, khan saya memang harus
pulang dulu.
Bukan Pak Ino namanya kalau ia menerima begitu saja
jawaban saya. Pernyataan lanjutannya sebenarnya menguji
seberapa saya meyakini jawaban saya. Lihat nanti apa?!?
Sudah jelas! Kerja di sini soro-soro padahal kamu pinter bisa
santai di sana dan dihargai. Ya memang pajakmu besar tapi
yo gak popo bukune akeh, apik-apik, ya nggak? Lagian anakmu
pinter-pinter, ngapain di sini dikuliahi dosen yang ngga
update ilmunya, nggak mutu, percuma. Di sana anakmu
lebih berkembang dan mandiri. Biasanya setelah
pembicaraan ini, Ibu Ino (saya panggil Tante Liliek)
menimpali, Wes tha, wong belum perlu diputuskan atau
semacam itu saya tidak ingat pastinya. Intinya untuk
membawa kami ke pembicaraan yang lebih ringan.
Pak Ino adalah salah satu dosen pembimbing skripsi S1 saya
dengan alasan klasik biar urusan statistik tidak salah. Seolah
mengetahui persis tujuan saya, Pak Ino sering mengeluarkan
ancaman, Jangan pikir aku dosen pembimbingmu, kamu
bisa lulus gampang yo! Tak etrek-etrek kamu sampe elek!
disertai pandangan sinis dan merendahkan yang diikuti
dengan pertanyaan yang tak kalah menyeramkan. Wedhi,
62

tha? tambahnya. Aku menjawab, Lha ayo Pak diajari, nek


saya sampe keliru ya salah yang ngajar to Pak, kok nggak bisa
bikin saya ngerti. Pak Ino adalah pembimbing yang selalu
serius menunjukkan dimana kesalahan saya dalam analisa
data ataupun juga menunjukkan apa yang harus saya baca
untuk dapat menulis lebih baik.
Awal mula kedekatan saya dengan Pak Ino, karena kebetulan
menjadi asisten dosen Asas Asas Manajemen yang
dikomandani oleh Pak Handoko Sasmito, teman dekat Pak
Ino. Kedua dosen ini setali 3 uang dalam membagi ilmu dan
tekanan untuk selalu mengupayakan yang terbaik. Laopo
kamu ke sini? Belum lagi ditambah dengan ucapan sayang
yang disambung dengan cium tangan, berpelukan atau
bahkan ketika saya sudah alumni mulai berani untuk cipika
dan cipiki.
Hubungan kami sempat sedikit terputus ketika saya
melanjutkan studi di Australia, kurang setahun setelah saya
lulus dari Psikologi Unair (program studi saat itu). Dan saya
kembali berdekatan dengan Pak Ino, saat anaknya Reza ingin
studi di Australia dan memilih Psikologi. Hal ini membuat
Pak Ino mengatakan kepada saya, Wah repot anakku milih
Psikologi di universitasmu dulu lagi. Salahmu ini Vien
Jika saya kebetulan diminta sebagai alumni Unair untuk
mampir dan sharing dengan adik kelas, saya selalu mencari
Pak Ino dengan tujuan utama menjadi polisi rokok. Yang
terjadi Pak Ino dengan gayanya yang khas lebih dulu lantang
menyapa, Ngapain kamu ke sini Vien! Percuma! sambil
menghembuskan asap rokok. Saya kalah set sambil
mengambil nafas panjang. Hentakan sapaan lalu diikuti
dengan intonasi suara lebih rendah, Kamu mau bicara apa
sama mahasiswa elek-elek iki. Beberapa otake main. Cuma elek
63

Vien. Ayu-ayu jamanmu, begitu cara


membandingkan situasi dengan sarkasmenya.

Pak

Ino

Saya balas, Tetep ayu sampe sekarang to, Pak?


Pak Ino menjawab, Iyo, pancet, tuek lan lemu tapine dan
kami tertawa bersama. Wes sanao, jok lali aku punya buku
baru, copy-en, apik, cocok buat klinis.
Pak Ino selalu mempertanyakan saya saat menekuni bidang
klinis dengan gayanya yang seolah meremehkan. Tetapi
jangan terkecoh dengan pengetahuan Pak Ino tentang
Psikologi Klinis. Ia tidak kalah jago terutama bila membahas
kepribadian manusia yang patologis yang menghambat
pengembangan diri dan profit perusahaan.
Suatu malam jam 20.00, tiba-tiba rasa kangen luar biasa
kepada Pak Ino membuat saya rela menerjang hujan angin
menuju Pondok Tjandra. Aku menelpon, Pak Ino, di
rumah? Aku mampir ya?
Jawab Pak Ino, Kamu janji-janji thok, ayo tak tunggu,
banyak buku ku nih.
Malam itu, kami bertiga dengan Tante Liliek terus bercerita
tentang apa saja. Kami tertawa, ngakak, berandai-andai dan
seolah sungguh tidak ada jarak. Hampir 2 jam saya di sana
dan setiap saya menunjukkan bahasa tubuh saya mau pulang
karena waktu sudah larut, Pak Ino malah memulai dengan
cerita baru. Sampai akhirnya hampir pukul 23.00, saya
terpaksa memotong pembicaraan dan mohon diri.
Dan keesokan harinya menjelang siang, Halo, Vien. Ini
Tante Liliek. Pak Ino masuk ICU, Vien Jantung saya
berdebar dan langsung saya meninggalkan kantor menuju
Rumah Sakit Premier (d/h Surabaya Internasional).
64

Kebetulan saya berpraktek di sana, maka saya diijinkan


masuk ke ICU. OMG, malam sebelumnya kami begitu
bahagia dan tertawa lepas. Dan siang itu sosok Pak Ino
terbaring lemas dengan mata tertutup dan selang tergantung.
Saya baru sadar telah menjadi salah satu faktor penyebab ini.
Maafkan saya, Tante Liliek, kataku. Tetapi ia berkata
Vien, Pak Ino sueneng sekali kamu datang tadi malam.
Pak Ino tidak boleh terlalu excited, tidak boleh over the top.
Emosi yang naik turun secara mendadak menyebabkan
kondisi jantungnya tidak stabil. Saya gemetar dan menangis
di depan Pak Ino. Saya memegang tangannya. Pak Ino
membuka mata, tersenyum, dan untuk pertama kali saya
melihat dia menangis, Aku wes tuek Vien. Kamu kapan
mau studi lagi?
Ya ampun, beliau masih menanyakan dan memikirkan saya.
Pak Ino, ayo sembuh dulu, nanti aku janji sekolah lagi,
jawabku. Setelah kondisi membaik dan dipindahkan ke ruang
perawatan, Pak Ino yang nakal mulai kelihatan usilnya dan
berkata, Vien, ojo kuatir, aku isin nek matek ono kowe. Saya
meyakini jika beliau mulai usil itu artinya sehat.
Setelah gagal berkali-kali dan berulang-ulang saya meminta
referensi Pak Ino untuk melanjutkan studi S3, saya akhirnya
berhasil dan berangkat Januari 2011. Saya kabarkan berita
baik ini dan mengundang Pak Ino dalam perpisahan
sederhana. Namun entah mengapa rupanya undangan lewat
SMS tidak diterima beliau. Pak Ino merasa sangat sedih
karena saya seolah melupakannya. Luapan kekecewaan
disampaikan lewat FB saat saya mengupload foto-foto di
album Friends Made My Day. Saat itu saya baru mengerti
mengapa Pak Ino tidak hadir. Ah Pak Ino, I am so sorry, I
would never abandon you.
65

Di salah satu foto di album tersebut yang saya upload bulan


Agustus 2012, Pak Ino menyatakan bahwa jika ada
pertemuan lagi takutnya beliau sudah gone forever. Sejak saat
itu saya sering melihat Pak Ino online dan seolah mengecek
satu persatu keadaan anak didiknya.
Sesekali kami online, chatting dan kembali ke pesan utamanya
kepada saya, JANGAN PULANG! Apakah ini perintah
Pak Ino yang terakhir buat saya dan keluarga? Saya belum
bisa menentukan apakah akan menuruti perintah atau
melanggarnya. Yang pasti hati saya masih di Indonesia.
Mungkin maksud Pak Ino adalah, teruslah belajar. Kalau
ini arti Jangan Pulang!mu, saya pastikan I will always learn.
Atau maksudnya adalah Jangan Pulang! saat engkau pergi
selamanya Pak? Apakah itu maksudnya Pak? Konsisten
dengan perkataannya Pak Ino pergi saat saya tidak berada
di Indonesia dan saya diminta untuk tidak pulang apapun
maknanya.
Yang selalu mengasihi dan menghormatimu,
Josephine MJ Ratna Vivien (Hengki, Ignas dan Mika)
Di Perth Australia
7 Desember 2012

66

Di Balik Sepi Sang Inspirator


Oleh Sekar Kirana Hermianto Notes Facebook

Hari Selasa, tanggal 4 Desember, ketika saya membuka mata


di pagi hari, saya merasa ada yang aneh dan
membingungkan. Malamnya saya bermimpi sangat aneh.
Saya bertemu dengan seekor burung hitam, dan anehnya,
sekeliling orang di sekitar saya mendadak gegap gempita,
riuh-rendah, dan bahagia. Entah mengapa perasaan saya
berubah aneh. Saya memang memiliki kemampuan yang
lebih dibandingkan orang-orang lain, sehingga ketika ada
orang yang saya kenal akan pergi meninggalkan dunia, saya
pasti akan selalu diberi semacam "tanda" oleh Yang Maha
Kuasa. Saya sudah merasa ketakutan karena saya merasa
akan ada yang "pergi". Entah apa yang saya pikirkan pada
saat itu, mendadak badan saya panas tinggi. Kepala saya
terasa berat. Jantung ini berdegup dengan tempo yang tidak
semestinya. Akhirnya hari itu saya izin sakit dalam satu mata
kuliah pagi dan beristirahat. Anehnya, mata ini masih susah
juga untuk terpejam.
Akhirnya saya memutuskan untuk membuka twitter. Scroll
pertama di iPad saya masih berupa celotehan kawan-kawan.
Scroll kedua, jantung saya terasa hampir berhenti berdetak.
Kaget. Shock. Benar-benar tidak percaya. Yang saya baca
pertama kali adalah tweet milik teman saya @ramadhanicitra;
"selamat jalan, Pak Ino....". Sangat simple, kan? Saya panik.
Saya langsung bertanya sana-sini. Saya mengecek recent update
BBM, scroll twitter, dan ada satu dua tweet dengan kalimat
yang hampir sama. Kabarnya masih simpang siur. Saya
bertanya dengan Abang Herison, saya bertanya kepada
teman-teman lain, saya bertanya kepada senior, dan mencari
67

informasi sana-sini. Selang beberapa saat, FIX saya mulai


yakin bahwa Bapak Ino Yuwono, guruku, dosenku,
inspiratorku, inspirator dari inspiratorku telah tiada.
Bapak Ino Yuwono adalah sosok yang selalu dielu-elukan
keberadaannya. Klise memang. Saya seperti mahasiswa
lainnya, takut pada beliau. Saya menolaknya di tatapan
pertama. Saya menolaknya untuk singgah di kehidupan saya.
Saya tidak terbiasa dengan rasa takut dengan seorang guru
atau dosen, karena pola pikir labil khas anak ABG. Bagi saya
ada rumus bahwa dosen killer + kasih nilai susah + hobi
nggojlog orang lain = LAMA LULUS. Itulah alasan utama
mengapa saya menolaknya untuk hadir di kehidupan saya,
mentah-mentah.
Saya ingat ketika mengambil mata kuliah Asas-Asas
Manajemen. Beliau menjadi PJMK sekaligus pengajar di
mata kuliah tersebut. Di dalam kelas suara beliau yang begitu
menggelegar, ditambah dengan acara nilai kuis E semua,
membuat saya tertekan. Saya sampai tidak berani ijin ke
kamar mandi. Saya menahan pipis, menahan sakit perut,
tidak berani bolos. Saya merelakan diri membaca buku
Morgan demi beliau, walau tetap saja nilai yang keluar di
KHS adalah D. Saya marah, emosi, dan kalut. Saya
membenci beliau seketika. Sejak saat itu, saya pun tidak
pernah peduli. Mau ada beliau atau tidak, toh kehidupan saya
masih baik-baik saja.
Sampai kemudian saya berada dalam fase depresi untuk
mengejar IPK 3 koma yang masih tak sampai. Pada fase
tersebut, datanglah seorang dosen yang baru pulang dari
Rusia, Kak Rahkman Ardi. Saya mengenal beliau karena
beliau juga menggantikan direktur lama tempat magang saya,
yaitu UP3 (Unit Penelitian dan Publikasi Psikologi).
68

Sekedar tahu saja tempat magang saya di GL (gedung


psikologi lama), bersebelahan sekat dengan tempat Pak Ino.
Walaupun bersebelahan sekat, saya tak pernah menegur
beliau . Toh siapa sih, Pak Ino itu? Bapakku bukan. Kakekku
juga bukan. Nggak ada dia, aku tetep bisa makan enak, buang
air kecil tak perlu pakai ditahan, apapun juga tetap berjalan
seperti biasanya dan tidak perlu keluar keringat dingin seperti
layaknya di kelas. Intinya saya putuskan untuk masa bodoh
dengan kehadiran beliau.
Kak Ardi bukanlah hanya seorang direktur, dosen, dan guru
buat saya, namun sudah menjadi seorang kakak, sekaligus
sahabat berbagi dikala sedih. Karena kami sangat dekat, Kak
Ardi sering bercerita tentang kehidupan beliau di Rusia,
termasuk anteseden beliau pergi ke Rusia. Hal yang
membuat saya tertegun adalah ketika beliau berkata, "Pak
Ino adalah orang yang memberikan aku keyakinan disaat aku
bimbang dengan keputusanku mengambil S2 di Rusia."
Seketika pertahanan saya retak. Hanya sedikit sih retaknya.
Sering berjalannya waktu, saya terbiasa satu ruangan dengan
Pak Ino. Saya terbiasa mendengar beliau berbincang-bincang
dengan Kak Ardi. Yang paling saya ingat waktu beliau
memanggil Kak Ardi, "Di! Kopi, Di! Enak iki kopine,
ambilen ae." Tawaran makanan dan minuman kepada Kak
Ardi akhirnya menyebabkan munculnya perasaan positif
terhadap beliau. Itupun bukan tanpa sebab, karena apapun
akhirnya hal tersebut membuat anak magang UP3 sering
kecipratan upeti dari Pak Ino yang diberi ke Kak Ardi.
Pada suatu hari, tim UP3 hangout bersama-sama. Tentu saja
bukan masalah pekerjaan yang kami diskusikan, melainkan
bergosip. Salah satu orang yang kecipratan bahan gosip
adalah Pak Ino Yuwono. Berbagai komplain diungkapkan
teman-teman terutama tentang asap rokok, teguran beliau
69

karena kegaduhan kami yang terlalu, dan berbagai macam


keadaan yang menjengkelkan saat itu. Satu kalimat yang
membuat saya bergetar adalah ketika Muhammad Riza, biasa
dipanggil Ijoet, senior sekaligus sahabat saya berkata, "Pak
Ino, kok kayak semacam kesepian, ya?" Seketika pertahanan
yang kemarin sedikit retak menjadi sangat retak dan mulai
rapuh. Belum lagi saya mendengar kabar bahwa Pak Bukik,
salah satu dosen yang selalu dibanggakan Pak Ino yang juga
saya senangi karena spirit beliau, mengundurkan diri dari
Fakultas.
Entah teman-teman lain sadar atau tidak, setelah itu diamdiam saya mulai mengamati Pak Ino. Saya mulai
memperhatikan gerak-geriknya, mencoba menduga apa yang
dia pikirkan, menebak arti air muka, senyum dan tawanya.
Ada yang berbeda. Ia tidak selepas dulu. Wajahnya semakin
terlihat lelah, menua, dan semangatnya memudar. Ada yang
lain dengan senyum dan tawanya. Ada kesedihan dan luka
yang mendalam. Pak Ino sedang terluka. Saya berkeyakinan,
jika Pak Ino menetap di gedung lama dikarenakan jerih
payah beliau untuk mengusir segala luka di hatinya. Mungkin
agar lebih dekat dengan Kak Ardi yang selalu ada di UP3.
Mungkin juga untuk mengusir segala penat dan sepi dengan
mendengarkan hingar-bingar mahasiswa-mahasiswa magang
yang selalu penuh tawa, keributan, dan huru-hara, walaupun
mungkin sedikit menjengkelkan.
Beliau kadang datang jam setengah 8 pagi, ketika toko buku
Etude mulai dibuka, dan kadang pulang jam 6 sore, ketika
kami semua sudah tutup lapak. Ia datang dan pulang dalam
diam dan tanpa senyum. Aku seperti melihat luka itu, walau
aku tidak tahu. Semua terlalu dalam untuk ditelusuri akarnya.
Ketika kami semua harus pindah ke gedung baru, saya justru
melihat beliau dengan semangat yang semakin pudar. Ada
rasa iba dan cemas yang menyelimuti diri saya. Saya takut
70

beliau sudah menyerah dan memasrahkan semua


keadaannya. Semua itu sengaja ditutupinya, namun jelas
terlihat berbeda. Saya seperti melihat di mata beliau, setajam
apapun beliau menatap.
Dan flash backwards tentang sosok Pak Ino dulu, membuat
kesedihan saya memuncak 98%. Saya ingat dulu Pak Ino
selalu memutarkan lagu-lagu yang tenang, ceria, kalem, easy
listening sebelum memulai pelajaran Asmen. Itulah menurut
saya soft-side dari beliau. Saya yakin Pak Ino melakukannya
bukan tanpa alasan.
Saya mulai menaruh rasa hormat terhadap beliau, walau saya
tetap takut menyapa. Bukan karena saya tidak peduli, tapi
karena saya takut ditolak. Beliau adalah orang yang luar
biasa. Sementara siapa saya? Saya hanyalah mahasiswi
depresi yang mendulang impiannya ke tempat tertinggi.
Beliau adalah orang yang menginspirasi banyak orang hebat
yang menjadi inspirasi saya untuk tetap menjadi diri saya
sendiri, mencapai impian, dan menggapai setinggi apapun ia
berada.
Saya ingin kuliah S2 di luar negeri, menjadi seorang
konsultan dan memberikan kontribusi untuk kesejahteraan
manusia, serta mengambil keputusan besar untuk lebih maju
karena terinspirasi dari Kak Ardi dan Pak Bukik. Sedangkan
mungkin tanpa pak Ino yang menginspirasi mereka, saya
tidak akan punya cita-cita ini. Bahkan sampai sekarang saya
bak mahasiswi depresi dengan IPK 2 koma sekian, yang
kadang masih berkhayal ingin lulus tanpa melewati sidang
skripsi, yang otaknya kosong tanpa ilmu yang berarti. Palingpaling yang saya harapkan adalah menikah dengan
pengusaha kaya raya dan bisa keliling dunia dan foya-foya.

71

Pak Ino menyadarkan dan mengingatkan saya bahwa hidup


ini perjuangan keras, Kalau mau jadi orang, jangan mau
enaknya saja. Apa nikmatnya hidup tanpa usaha. Beliau
adalah founding father dari Fakultas Psikologi. Sejarah
perjalanan fakultas tentang bagaimana beliau tetap bertahan
disaat koleganya memilih hengkang telah membuat beliau
menjadi sosok yang legendaris. Saya memang hanya sekali
diajar beliau, namun diam-diam pelajaran hidup dari beliau
selalu saya ambil. Terlepas dari pelajaran tersebut terkadang
saya curi dengar ketika beliau berbincang-bincang dengan
Kak Ardi di sekretariat UP3 (sembari mengambil air galon di
ruangan secara diam-diam), atau dari beberapa buku yang
iseng saya baca ketika tergeletak di ruang kerja beliau.
Kisah saya yang mencintai dan menyayangi beliau adalah
dalam diam. Tidak berani saya ungkapkan. Ini seperti cinta
tak terbalas yang akhirnya harus saya lupakan karena terlalu
banyak kekurangan dalam diri saya yang sulit untuk beliau
terima keberadaannya.
Dan ketika Pak Ino pergi, saya yakin dunia pun ikut berduka.
Bumi kehilangan salah satu makhluk terbaiknya. Makhluk
yang tulus mencintai dan memberi. Saat itu saya ingat, hujan
deras, menandakan kesedihan semesta. Tidak ada angin
berhembus. Yang ada hanyalah titik hujan, gemuruh guruh,
dan ucapan dukacita di lini masa. Lihatlah, bahkan dunia ini
mencintaimu, namun nampaknya, Tuhan lebih mencintaimu
sehingga Ia ingin memberimu kebahagiaan di surga sana.
Tuhan memberimu isyarat, sehingga engkau minta
jenazahmu diabukan. Mungkinkah jauh dalam dirimu
mengatakan jika engkau dimakamkan kau menjadi sendirian?
Saya yakin engkau tak ingin sendirian dan kesepian. Mungkin
engkau tak ingin sekedar dilalui orang lalu-lalang di
pemakaman dengan hanya namamu yang tersisa pada nisan.
72

Kau diperabukan karena ingin menyatu dengan alam,


berteman dengan angin, air, awan, debu, pasir, pohon,
bunga, rerumputan, sehingga kau menjadikan kami bisa lebih
dekat denganmu, memudahkan kau untuk memberi isyarat
pada kami, bahwa kau tetap ada, di sekitar kami.
Pak, bahagialah bersama kasih Tuhan di surga, menarilah,
tersenyumlah karena kau adalah teladan, seorang ksatria yang
menang syahid di medan perang. Bersatulah dengan semesta
dalam pangkuan Sang Pencipta kembali. Farewell Mr. Ino
Yuwono.
"I'd rather die tomorrow, then i'm living a thousand years without
knowing you...." (John Smith, Pocahontas, 1995)

73

Ino Yuwono, Guru Sejatiku


Oleh Dewi Syarifah

Hari ini aku menangis lagi. Saat aku merasa sudah ikhlas,
sudah rela walaupun masih terasa sesak di dada bahwa
guruku, bapakku #Ino Yuwono telah pergi untuk selamanya.
Aku harus menerima kenyataan, hari ini aku berangkat ke
kampus tidak akan lagi bertemu dengan Pak Ino. Selasa, 4
Desember 2012 ternyata akhir dari semua guyonan beliau
tentang kematian. Akhirnya pada hari itu Pak Ino benarbenar pergi, benar-benar meninggalkan kami untuk
selamanya. Beliau seringkali menanyakan Wik, kalo aku
mati, kamu nangis gak? Bahkan sekitar setahun lalu, ketika
Pak Ino dalam kondisi kritis di ICCU, di tengah
kekhawatiran kami, beliau bilang Kamu kok nangis Wik,
kamu sedih ya kalo aku mati? Sambil mengusap kepalaku,
sambil tersenyum Bapak bilang, Anak wedokku (anak
perempuanku). Wis ojo nangis, tenang aja, aku belum mati,
kalo aku mati saja kamu nangisnya Aku sangat tahu, Pak
Ino tidak pernah takut dengan kematian, beliau sangat siap
kapan saja dipanggil oleh Yang Kuasa.
Pertama kali aku tahu Pak Ino berawal dari perkuliahan
peminatan PIO, aku lupa mata kuliah apa tepatnya. Cerita
dari mulut ke mulut mengesankan bahwa Pak Ino adalah
dosen killer yang akan selalu membuat suasana kelas tegang
dan menakutkan. Memang benar, awalnya aku takut karena
beliau selalu memberi pertanyaan-pertanyaan yang bagiku
sulit untuk dijawab. Apalagi dulu aku memang tergolong
mahasiswa yang biasa-biasa saja, tidak menonjol dan tidak
terlalu banyak bergaul. Sekitar tahun 2004, aku magang di
LP3T. Sejak itulah aku mulai lebih mengenal Pak Ino.
74

Kebiasaan Pak Ino yang selalu minta dibuatkan kopi atau teh
membuat kami semakin dekat selayaknya Bapak dan anak.
Beliau sering bilang, Kalo bukan Dewi yang bikin, tehnya
gak enak. Dari kedekatan itu saya menemukan ternyata di
balik sosok Pak Ino yang katanya killer, beliau adalah orang
yang luar biasa baik dan perhatian. Sosok killer itu
sebenarnya hanya kedok beliau, memang dengan cara itulah
beliau mendidik. Mendidik untuk disiplin dan bertanggung
jawab. Mendidik untuk memiliki tujuan dan menjadi diri
sendiri. Beliau sosok yang unik yang hidup dengan cara yang
beliau pilih, walaupun cara tersebut terkadang membuat
orang lain menjauhinya.
Pak Ino adalah guru sejati. Guru yang sangat peduli dengan
kualitas pendidikan yang sebenarnya. Beliau mengajar bukan
sekedar melaksanakan tugas mengajar, namun beliau
mengajar dengan semangat mendidik, dengan totalitas dan
integritas sebagai pendidik. Beliau sering mempertanyakan
apa sebenarnya tujuan hidup kita, apa tujuan kita
mempelajari sesuatu, apa tujuan ini, apa tujuan itu.
Pertanyaan-pertanyaan mendasar yang bahkan kita tidak
pernah memikirkannya, apalagi memikirkan jawabannya.
Sudah menjadi kebiasaan, jika ada mahasiswa yang
melakukan pelanggaran atau tidak bisa menjawab
pertanyaan, Pak Ino tak segan untuk menghukumnya, salah
satunya dengan meminta dia membelikan buku untuk
disumbangkan ke perpustakaan atau sejumlah makanan
untuk dibagikan. Mungkin sepintas tindakan Pak Ino terlihat
kejam. Namun di balik itu, justru beliau mengingatkan kita
supaya kita lebih disiplin dan selalu bertanggung jawab
dengan apa yang kita lakukan, apa yang kita pilih.
Kenangan tentang Pak Ino masih terus melintas di pikiran.
Ingat guyonan beliau yang sering bikin aku dan teman-teman
tertawa lepas. Ingat beliau sering membawakan makanan
75

untukku dan teman-teman. Bahkan seringkali beliau sengaja


membawa makanan dari rumah dan dengan bangganya
beliau bilang, Iki masakanku dhewe lho Wik. Pernah suatu
siang beliau membawa nasi goreng dalam kotak makan kecil,
Kamu sudah makan Wik? Ini lho aku bawa nasi goreng
masakanku sendiri, buat kamu saja. Lho Pak, jangan
semua, trus Bapak makan apa? ayo Pak makan sama-sama,
kataku. Wis ta, itu buat kamu aja, kata Pak Ino. Ingat juga
dulu saat-saat anggota Departemen PIO mulai sibuk dengan
tugas dan urusan masing-masing, beliau berusaha
menciptakan momen yang dapat mengumpulkan kami
kembali dengan membawakan lontong mie pagi-pagi dan
mengajak kami makan bersama. Itulah bentuk perhatiannya
terhadap orang-orang terdekatnya.
Tidak hanya kenangan yang masih terus melintas di pikiran,
banyak kata-kata dan pesan Pak Ino yang juga masih
terngiang-ngiang di telinga. Wik, kamu kalo gak ngerti
tentang sesuatu, tanya aja ke aku pasti aku bantu, kamu kan
anakku. Ayo kamu ndang sekolah lagi, kalo aku mati, siapa
nanti yang oprak-oprak kamu untuk sekolah lagi. Wik,
segera siapkan masa depan untuk anakmu, terutama untuk
pendidikannya.
Ada penyesalan dalam diriku. Akhir-akhir ini, justru ketika
Pak Ino merasa kesepian, aku terlalu sibuk dengan tugas dan
urusanku. Aku selalu menunda-nunda untuk sekedar
ngobrol dengan beliau. Seandainya saja aku diberi
kesempatan mengulang waktu.
Pak, banyak sekali pengalaman dan kesan indah bersama
Bapak. Bapak adalah guru yang tak tergantikan. Saya sangat
kehilangan Bapak, kehilangan yang mendalam. Maafkan saya
selama ini belum bisa memenuhi harapan Bapak. Semoga
semangat, totalitas dan integritas Bapak sebagai pendidik
76

dapat kita tauladani dan dapat memotivasi kita untuk


mengikuti jejak Bapak sebagai pendidik sejati. Selamat jalan
Pak.. Semoga Bapak mendapat tempat terbaik di sisi-Nya

77

Andai Masih Boleh


Oleh Wiwin Hendriani WiwinHendriani.com

Dear Pak Ino,


Kemarin jasad Bapak telah diperabukan. Dan sekarang,
mungkin Bapak telah mulai menyusuri perjalanan Bapak
yang baru, seperti yang tertulis dalam surat itu.
Tadinya saya sempat berpikir, setelah selama beberapa hari
sejak Selasa lalu mata saya tak berhenti sembab, maka tangis
di saat Upacara Penghormatan Terakhir untuk Bapak
kemarin adalah juga tangis saya yang terakhir. Saya pikir
semua akan segera kembali normal sudahnya. Tapi ternyata
tidak. Bayangan akan masa-masa sepi Bapak di kampus
beberapa waktu yang lalu akhirnya datang lagi.
Pak, andai masih boleh menyesali sesuatu yang paling
mengganjal bagi saya dengan kepergian Bapak, satu hal saja,
tidak banyak, itu adalah sedikitnya waktu yang bisa saya
berikan untuk menemani Bapak di saat-saat yang tidak
menyenangkan itu. Saya tahu waktu itu Bapak sedih, saya
tahu Bapak kecewa, saya tahu Bapak berusaha mengatasi
tekanan itu dengan tetap bertahan di Gedung Lama, sendiri.
Tapi Pak, saya yakin Bapak paham, itu juga bukan waktu
yang mudah untuk saya hadapi. Ada banyak hal yang harus
saya pikirkan, saya tenangkan, saya siapkan, terkait dengan
keputusan keluarnya Mas Bukik dari kampus. Sementara
pada saat yang sama beruntun ada beberapa pekerjaan yang
juga harus saya selesaikan. Nyaris energi saya habis waktu
itu. Di sisa yang masih ada, saya hanya sempat berbicara
78

dengan Ardi, memintanya untuk sering menengok dan


menemani Bapak di GL. Agar Bapak ada teman ngobrol,
agar Bapak tidak benar-benar sendiri dengan kesedihan dan
kekecewaan Bapak.
Dan saya semakin merasa bersalah ketika ingat bahwa begitu
kita ketemu, yang justru Bapak khawatirkan adalah keluarga
kami. Sambil berusaha menutupi kesedihan, Bapak berulang
kali bertanya, apakah Mas Bukik sudah membicarakan betul
keputusannya dengan saya, apakah kami sudah
membahasnya dengan baik, apakah kami sudah menyiapkan
rencana yang matang jika dia sudah keluar apa yang akan dia
lakukan sebagai ganti dari pekerjaannya. Dan berulang kali
pula saat itu saya katakan sudah. Saya ingin saat itu Bapak
tidak khawatir. Kekhawatiran yang akan berpengaruh pada
kondisi kesehatan Bapak. Saya ingin Bapak terus sehat, terus
bersemangat seperti sebelumnya, meskipun mas Bukik sudah
tidak di kampus lagi.
Pak Ino, maafkan jika kata-kata saya tidak cukup
menenangkan buat Bapak saat itu. Maafkan jika saya katakata saya tidak mampu meringankan beban pikiran Bapak
sehingga Bapak tetap merasa terpukul seperti yang sempat
diceritakan oleh Bu Liliek dan beberapa orang teman yang
lain. Maafkan atas terbatasnya waktu saya untuk bisa lebih
banyak mengobrol dengan Bapak, mengurangi sepi yang
Bapak rasakan di kala itu.
Maafkan saya, Bapak
Tapi saya juga lega. Setidaknya di bulan-bulan terakhir ini,
saya, Ardi, Ucok, Ayok, Ira, dan Dewi masih bisa melakukan
beberapa hal bersama Bapak, berdiskusi ini-itu, membuat
Bapak tertawa lebar, bertanya dan menjawab pertanyaanpertanyaan Bapak, juga mendengarkan berbagai pesan dan
79

nasehat yang Bapak berikan. Makan siang terakhir bersama


Bapak di kantin Sastra hari itu, tidak akan saya lupakan.
Selamat menempuh perjalanan yang baru ya Pak. Tuhan
tahu Bapak orang yang baik. Karenanya saya yakin Bapak
akan mendapatkan tempat dan perjalanan yang baik pula di
sana

80

OTAK GAK CUKUP


Oleh Fatma Puri Sayekti (@fatmapuri)

Guruku, Pak Ino. Rasanya masih sangat membekas peristiwa


sekitar 2-3 bulan lalu dimana merupakan komunikasi antara
aku dan Pak Ino untuk terakhir kalinya. Pak Ino secara tidak
langsung telah memberitahuku bahwa aku harus menguasai
apa yang aku tulis. Aku harus bertanggung jawab
terhadapnya, dan aku harus yakin terhadap kemampuan
diriku sendiri. Dosen tidak akan mampu membuat
mahasiswanya pintar jika mahasiswa sendiri tidak mau
berjuang untuk dirinya sendiri.
Jujur, aku memang tidak terlalu dekat dengan beliau. Beliau
mengajar Psikologi Industri dan Organisasi (PIO),
sedangkan
aku
mengambil
peminatan
Psikologi
Perkembangan saat S1. Awal mula interaksiku dengan beliau
adalah ketika proposal tesisku diuji oleh beliau dan seorang
dosen lain yang kemudian menjadi dosen pembimbing
tesisku.
Jeng jeeengg. Sehari sebelumnya aku baru mendapat kabar
bahwa salah 1 pengujiku digantikan oleh Pak Ino. Mampus
deh, mampus! pikirku waktu itu. Aku rasa hampir setiap
mahasiswa yang akan diuji oleh beliau akan membatin,
Mampus dah gue! :) Rasanya sebelum ujian saja sudah bisa
membayangkan bagaimana suasana akan cukup kacau di
dalam ruang ujian nanti. Bukan kacau karena apa-apa, tapi ya
karena mahasiswa tidak mampu menjawab pertanyaan beliau
yang kadang sebenarnya cukup sederhana tapi dalam.
Misalnya, mengapa pakai metode penelitian ini, bermanfaat
81

gak penelitianmu, seberapa penting temamu untuk diangkat,


atau apa yang kamu mau cari dalam penelitianmu.
Tanpa disangka, Pak Ino sangat sabar dan justru memberi
banyak masukan untuk arah penelitianku. Tidak ada
pembantaian sama sekali. Malah beliau berkata pada calon
dosen pembimbingku kalau juga tertarik untuk membimbing
aku. Walau sebenarnya dalam hatiku waktu itu, ada suara
antara mampus gue dan alhamdulillah. Mampus gue
karena nanti aku harus banyak berinteraksi dengan beliau.
Alhamdulillah ya karena aku malah ditawari dibimbing
beliau tanpa kuminta. Ilmu beliau ini layaknya profesor,
walau tanpa gelar profesor.
Tapi namanya juga Pak Ino, bimbingan dengan beliau nggak
gratis. tepat setelah aku keluar dari ruang ujian proposal.
Aku diminta membelikan 1 lusin donat J-Co untuk para staf
TU di kampus. Pak Ino kalau soal makanan tak pernah
egois. Makanan itu untuk dimakan bersama-sama, bahkan
mungkin cuma untuk orang lain. Beliau juga demi menjaga
kesehatannya, tak mau lagi makan makanan manis.
Pernah suatu hari ada kejadian yang cukup menyentil egoku.
Waktu itu aku bersama dengan beberapa temanku menemui
beliau di ruangannya, di Gedung Lama Psikologi lantai 2.
Setelah selesai urusan utama kami, melihat Pak Ino yang di
mejanya terdapat sebuah novel, temanku nyeletuk,
Pak Ino, ini lho Fatma juga suka baca buku
Mm itu novel apa Pak? tanyaku.
Nih, Pak Ino menunjukkan sampul novelnya kepadaku.
Paulo Coelho ya Pak? Iya, kayaknya pernah denger,
hehehe, jawabku bodoh.
82

OTAKMU GAK AKAN NYAMPE BACA NOVEL


INI! seru beliau yakin.
Oya? tanyaku tidak percaya. Aku sedikit tersinggung.
Kalau novel aja, aku kan pasti bisa ngerti isinya apa, pikirku
agak sewot.
Beberapa hari setelahnya, aku meminjam salah 1 novel Paulo
Coelho yang berjudul Brida dari temanku, Mbak Pita. Dan
sumpah, novel lain yang biasanya aku mampu menyelesaikan
membaca dalam beberapa jam saja, Brida malah nangkring
dengan anteng di mejaku untuk beberapa hari, tanpa aku
sentuh. Aku baca beberapa halaman awal dan aku sudah
pusing, ini cerita macam apa. Gaya bahasanya juga tidak
biasa. Setelah aku cek di rak bukuku, ternyata buku-buku
yang selama ini aku banggakan bahwa aku telah
membacanya, 80% isinya cuma buku haha-hihi, percintaan,
dan tangis-tangisan.
Seketika kebangganku runtuh. AKU MATI BERSAMA
KESOMBONGANKU. Bukan masalah selera bacaan
adalah hak setiap manusia, dan aku tidak harus setuju dengan
selera kalian, begitu juga kalian tidak harus setuju dengan
seleraku. Bukan itu. Pak Ino, lagi-lagi secara tidak langsung,
mengatakan bahwa masih banyak hal-hal di luar sana yang
tidak aku ketahui, tidak aku kuasai. Hasil akhirnya, kita tidak
harus menjadi pintar, tapi menjadi manusia pembelajar,
sepanjang hayat. Orang yang sudah merasa cukup, akan
berhenti belajar. Itu sebenarnya yang membuat orang mati.
Dan aku merasa baru bisa me-review dan mengevaluasi
diriku sendiri, justru saat Pak Ino sudah tiada. Mungkin aku
terlambat, mungkin juga tidak.
Selamat jalan guruku, selamat jalan Pak Christophorus
Daniel Ino Yuwono. Perjalanan belum berakhir ketika kau
83

tiada. Dan memang sebenarnya kau tidak benar-benar tiada,


karena semangatmu belajar dan mengajar selalu ada di
hatiku, di hati kami, para muridmu.
Fatma Puri Sayekti (@fatmapuri)

84

Apa kabar di atas sana, Pak?


Oleh Dana Oktiana

Hai, Pak.. Apa kabar di sana?


Saya menulis ketika butiran abu ragamu telah menyapu langit
malam ini. Ketika tawamu telah menjadi gelak yang dimiliki
seluruh semesta.
Saya memang tidak banyak berinteraksi dengan Pak Ino.
Tidak seperti teman-teman yang mengambil peminatan
Psikologi Industri Organisasi yang punya banyak cerita dan
pengalaman bersamamu, saya hanya banyak mendengar
kisah Pak Ino dari mereka. Tentang cara Pak Ino dalam
menularkan ilmu, tentang cara Pak Ino ketika
menyampaikan pengajaran di dalam kelas, tentang cara Pak
Ino meramu teori menjadi contoh nyata dalam kehidupan.
Tidak seperti para dosen muda yang begitu banyak
mendapat kesempatan baik untuk menyerap ilmu dan kasih
sayang yang Bapak miliki, saya hanya bisa menjadi
pendengar ketika Pak Ino berdiskusi dengan mereka atau
menyampaikan berbagai wejangan.
Tidak seperti para mahasiswa cerdas yang seakan selalu haus
dan Pak Ino layaknya tetes embun yang selalu memberi
kesegaran, saya lagi-lagi hanya selalu mencuri dengar apa saja
yang Pak Ino sampaikan.

85

Entah beruntung, ataukah merugi. Tapi semua karena


pilihan. Hasil dari pilihan yang saya buat.
Semua bermula saat saya baru saja menginjakkan kaki di
kampus itu. Belum genap seminggu. Saya dan teman-teman
angkatan 2005 masih berstatus mahasiswa baru. Dalam
sebuah program pengenalan kampus, Bapak menyapa kami
dengan lantang, Sebelum ini semua dilanjutkan, saya mau
tanya, kalian ini kenapa masuk psikologi?! Buat apa?! Satu,
dua, tiga teman yang Bapak tunjuk kemudian menjawab
sesuai versinya. Lagi-lagi Bapak seakan menertawakan dan
meyakinkan bahwa kami semua salah jurusan. Pertemuan 5
menit pertama itu membuat saya kemudian mencari tahu
siapa nama Bapak dan mata kuliah apa saja yang Bapak
ajarkan.
Selanjutnya, saya hanya mengenal Pak Ino melalui mata.
Ketika saya kebetulan sedang duduk di lobi kampus dan
Bapak berjalan lewat dengan tegap. Bukannya Pak Ino
sedikit bongkok? Ya, itu hanya raganya. Saya melihat Pak
Ino sebagai sosok yang tegap dalam pribadinya.
Selanjutnya, saya hanya mengenal Pak Ino melalui telinga.
Ketika saya mendengar keluh kesah, geregetan, kesal, dan
tawa para kakak angkatan setelah keluar kelas mata kuliah
yang Pak Ino ajarkan.
Banyak mendengar tentang cara Bapak mengajar dan
berbicara, membuat saya begitu arogan untuk memasang
pagar tanda saya tidak akan cocok dengan Bapak.
Selain kedua mata kuliah itu, seingat saya tidak ada lagi.
Pilihan yang saya buat memang menjauhkan saya dari Bapak.
Pilihan saya untuk menjadi bagian dari peminatan Psikologi

86

Klinis memang tidak mutlak karena menghindari Pak Ino,


tapi memang sedikit-banyak begitulah adanya.
Setelah menjadi warga kampus dalam waktu yang tidak
sebentar, saya merasa ada yang berbeda darimu, Pak. Cerita
orang bagaimana Pak Ino di dalam kelas, agak berbeda
dengan Pak Ino yang bersahabat di luar kelas.
Memang tetap berkelakar, memang tetap bernada intimidasi.
Tapi berbeda.
Mengikuti beberapa kegiatan di kampus, membuat saya
banyak berinteraksi dengan Pak Ino. Menjadi bagian dari
kepanitiaan Shared Learning MPPO dan menjadi bagian dari
keluarga besar LP3T, adalah kesempatan yang diberikan
Allah untuk lebih dekat denganmu. Tampaknya semesta
ingin saya merubah pikiran. Menunjukkan saya bahwa pagar
yang tadinya saya bangun karena penilaian cepat dan sepihak
tentang Pak Ino sudah saatnya diruntuhkan.
Kata siapa dia bersahabat di luar kelas, toh saya juga sering
dapat semprotan dan jadi bahan ejekannya. Bukan pernah,
tapi sering.
Banyak juga cemoohan dan ucapan bernada sinis yang saya
terima darinya. Kamu itu tau apa? Kamu itu anak Klinis,
ngapain ikut-ikut acaranya PIO?
Tidak banyak cerita denganmu, Pak.
Beberapa yang ada cukup membuat saya terus ingat. Seperti
saat saya sedang cerita pada seorang teman di LP3T. Cerita
biasa tentang kehidupan krisis masa remaja. Ketika saya
merasa dijauhi beberapa orang, merasa tidak disukai, dan
mempertanyakan apa salah saya. Sungguh saya tidak
menyangka Pak Ino yang saat itu sedang berdiri tidak jauh
87

dari tempat saya duduk bersama seorang teman, kemudian


menyahut, Siapa emang yang suka sama kamu? Apa ada?
Belum sempat saya menjawab karena kaget, Pak Ino
kemudian melanjutkan kalimatnya, Ya terus emang kenapa
kalo nggak ada yang suka? Nggak usah dicari-carilah, ya
biarin aja yang pada nggak suka. Kamu ya jalan aja. Gitu aja
kok bingung, Dan! Saya yang masih melongo ditinggalkan
pergi oleh Pak Ino begitu saja.
Ucapan Pak Ino saya terima dengan sakit hati. Sampai saya
lupa, dan ingat kembali. Ada pesan dibalik nada sinisnya.
Terimakasih, Pak! Kalimat sederhana yang membuat saya
berpikir untuk tidak menjalani hidup orang lain. Jangan
terperangkap dan hidup bersandar pada apa kata orang lain.
Jangan biarkan omongan orang mengecilkan saya sehingga
tidak mendengar kata hati. Pak Ino seakan ingin membuat
saya punya keberanian untuk mengikuti kata hati.
Kalimat itu, lengkap dengan nada suaramu, terngiang
kembali saat saya tak henti melihat share teman-teman di
Facebook dan Twitter tentang kepergianmu 4 Desember lalu.
Berbagai peristiwa kecil seperti saat Pak Ino lewat di lobi
kampus dan menyapa, Halo, Dan!, atau saat Pak Ino
menawari saya untuk mengambil secangkir kopi, kembali
memenuhi kepala. Saat saya menjadi orang yang ikut
mengingatkan untuk berhenti merokok dan Pak Ino malah
menjawab, Kalo aku nggak ngerokok, kamu kasih apa
emangnya? Duh, Pak!
Pak Ino, Bahkan sampai ketika kau tiada, kau tetap
menginspirasi kami semua. Kau membuat kami kembali
menggerakannya tangan untuk menuliskan sebuah karya.
Semoga seusia seperti yang Pak Ino wasiatkan.
88

Saya tidak pernah menyesal dengan pilihan saya, Pak. Saya


punya cerita yang saya ciptakan sendiri. Saya mengambil
keputusan hidup saya, menjalaninya, membuat dan
menikmati ceritanya. Selalu ada risiko, tapi selalu berusaha
kuat dan berdiri lagi ketika terjatuh karena harus
menanggung.
Saya percaya bahwa Pak Ino cuma pura-pura galak. Pak Ino
memilih cara ini karena memang punya tujuan. Satu hal yang
Bapak tidak pernah lupa adalah berbagi. Ilmu dan apa saja
karena Pak Ino memang sudah mengalami dan
mendapatkannya duluan dibanding kami semua. Pak Ino
tidak bisa bohong kalo bapak itu orang baik.
Sekarang, lagi-lagi Pak Ino telah menjadi orang yang pertama
mencobanya. Saya dan kami semua rindu denganmu.
Dengan semangat berbagimu, saya percaya bahwa jika
memang bisa, Pak Ino pasti akan menceritakan tentang
bagaimana keadaan di sana. Melihat bintang dan semesta
dari sudut pandang berbeda.

Pak Ino, baik-baik sajakah di sana?

Kematian membuat hidup berputar. Setiap manusia hadir di


dunia dengan perannya masing-masing. Tugas Bapak sudah
selesai dan Tuhan merindukan Pak Ino untuk berada di sisiNya.

89

TENTANG PAK INO


Oleh Mita - Psikologi 2008

Tentang Pak Ino. Tak banyak, memang, ingatanku tentang


beliau. Tak pula aku mengenalnya dengan baik seperti para
Dosen dan teman-teman yang punya ratusan ingatan tentang
beliau. Tapi setidaknya masih ada yang melekat di hati dan
benakku. Dan seperti kata Pak Bukik, sebelum memori ini
terlepas, terkelupas dari benak, lebih baik kutuliskan.
Sekaligus akan menjadi saksi tentang sosok seorang yang
begitu inspiratif.
Aku telah mendengar cerita-cerita seram tentang beliau
sejak awal semester dari salah satu kakak tingkat yang
kukenal, dan semakin banyak cerita seiring bertambahnya
jumlah semester yang kulewati. Tanpa sadar aku berharap
tidak akan pernah masuk kelas Pak Ino. Tapi sebuah takdir
mempertemukan pada kuliah PMDO. Aku merasa excited
sebenarnya. Aku ingin membuktikan langsung betapa
seramnya beliau. Walau jujur perasaan ngeri juga tidak bisa
dipungkiri kuat terasa. Begitu pertemuan pertama PMDO
dimulai, begitu beliau berbicara, aku justru makin semangat.
Kengerian masih terasa, tapi tak sekuat sebelumnya. Entah
kenapa, setiap kali masuk kelas PMDO perasaan ngeri
muncul terlebih dahulu. Tapi begitu Pak Ino memulai kelas,
aku seakan merasakan semangat yang baru setiap kali. Di
balik ucapan-ucapan kerasnya, entah mengapa aku
merasakan sesuatu. Di balik pertanyaan-pertanyaan
memburu sinisnya, aku melihat kilatan di mata beliau. Cara
beliau memandang murid-muridnya, aku rasakan berbeda.
Aku ingat ketika aku pernah mencoba mengangkat tangan
untuk menjawab pertanyaan di kelas PMDO. Beliau
90

memandangku tepat di mata. Serius, diam, mendengarkan


sampai selesai. Ada sesuatu di cara beliau memandang setiap
muridnya, terutama yang berani mengungkapkan pendapat.
Tapi entah, aku juga tak memahami ekspresi itu, aku hanya
mampu merasakannya.
Tentang Pak Ino. Salah satu yang kuingat adalah tantangan
untuk membaca buku. Sumpah, macam tertampar rasanya!
Aku jadi ingat dan tersadar bahwa aku sudah lama
meninggalkan kebiasaanku membaca buku. Apalagi ketika
beliau mengatakan tentang Sarjana Power Point. Haduh,
malunya minta ampun. Sejak saat itu aku berjanji, bahwa aku
akan membaca buku lagi. Bahasa Indonesia atau Bahasa
Inggris, sudah hajar saja! Kemudian aku mulai membaca
textbook PMDO-ku. Aku tertantang belajar. Setiap habis
membaca aku menuliskannya lagi, bab per bab, karena
begitulah caraku belajar. Suatu saat ada kuis PMDO online
yang diadakan mendadak. Saat itu aku sedang berada di
Jember, dan kuis itu berbatas waktu. Aku bingung, cemas.
Aku tak membawa satupun catatan, apalagi buku. Akhirnya
mau tak mau aku nekat mengerjakan kuis online PMDO di
warnet. Ragu-ragu mengerjakan, tapi di akhir aku cukup
terkejut. Aku lulus! Passing the grade, meski mepet. Seketika itu
juga entah kenapa aku gembira. Berkah membaca! Yaah,
meskipun aku ternyata dapet D juga di akhir kuliah PMDO
tapi pelajaran itu tertanam di diriku. Secara tidak sadar,
pengalaman itu menjadi penguatan untuk terus membaca.
Aku merasakan benar ajaran itu pada saat mengerjakan
skripsi, yang hasilnya Alhamdulillah memuaskan. Aku
membaca setiap jurnal berbahasa Inggris yang temanya
sejenis, mencari dari berbagai sumber, membaca buku-buku.
Paling tidak, untuk tugas pamungkasku ini aku
memaksimalkan kemampuanku dan pengetahuanku diawali
dan melalui membaca, dan tentunya tak mengandalkan
power point! J
91

Tentang Pak Ino. Satu yang tak bisa dan aku tahu tidak akan
pernah bisa aku lupakan adalah pertanyaan beliau, suatu
siang, di kelas PMDO.
Hei, Mbak! Kamu punya pacar? Tanya beliau.
Punya, Pak. Jawabku.
Pernah kamu ngucapin terima kasih sama pacarmu? Beliau
bertanya sinis.
Dengan bangga aku menjawab, Sering, Pak.
Bener? Ah, paling karna kamu dikasi sesuatu! Kemudian
beliau memandang ke teman-teman yang ada di kelas,
Pernah gitu kamu terima kasih sama pacarmu hanya karena
keberadaannya di sisimu, fisik atau nonfisik? Tanpa syarat?
Bukan karena kamu dikasih sesuatu?
Sederhana memang. Tapi bagiku itu dalam artinya. Tidak
mudah mengingat orang ketika keberadaannya secara fisik
jauh dari kita. apalagi berterima kasih padanya hanya dengan
keberadaannya! Tidak mudah berterima kasih pada orang
yang jelas-jelas ada di samping kita secara fisik. Apalagi
menyadari arti orang yang jauh secara fisik!
Dari situ aku belajar untuk lebih menyadari keberadaan
orang lain (terutama yang berarti bagi hidup kita),
menghargainya meski mereka jauh. Menghargai dan
bersyukur karena hanya dengan keberadaan mereka di dunia
ini saja kita bisa belajar merasakan segalanya. Kita bahagia,
sedih, bangga, kecewa, marah, tangis, tawa. Semuanya. Karna
pesan dari Pak Ino itu, aku memiliki cara pandang baru yang
lebih indah.

92

Tentang Pak Ino. Bahkan kepergian beliau pun membuat


aku dan banyak orang lain belajar lebih banyak lagi. Paling
tidak bagiku. Aku belajar sesuatu yang lebih luas dari
pesanmu tentang berterima kasih, Pak. Kepergianmu justru
membuat pelajaran itu semakin kuat melekat. Engkau,
bahkan dengan kepergianmu, memberikan arti mendalam
bagi banyak orang termasuk aku. Dan melalui tulisan ini,
ijinkan aku mengucapkan apa yang tak sempat kuucapkan.
TERIMA KASIH, PAK INO! Terima kasih, karena engkau
mengajarkan padaku arti berterima kasih seutuhnya. Selamat
jalan, Pak. Selamat istirahat.

93

Mimpi
Oleh @arieswnugroho di Notes Facebook

Beliau mengajarkan banyak hal yang tidak dapat dihitung


buat saya. Pelajaran yang paling besar adalah bagaimana
menerima dan menghadapi rasa takut dan berani mengambil
sikap atas sudut pandang dengan dasar-dasar yang tepat.
Terutama ketika saya harus menerima kenyataan bahwa akan
disidang oleh beliau. Selalu teringat di tengah sidang beliau
akan berbicara dengan keras, Mbelgedhes!!! Mosok kayak gitu
prosesnya? Endi se bukumu??? dan lain sebagainya. Mungkin
sidang dengan Pak Ino akan seperti digebukin orang-orang 1
kampung. Tapi percayalah, saat kita sudah hancur
berantakan, saat itulah beliau mulai merekonstruksi sudut
pandang kita terhadap tugas atau penelitian kita, hingga kita
bisa melihat ini semua arahnya ke mana dan akan seperti apa.
Saat mengajar di kelas beliau bisa dibilang killer. Tapi
percayalah, itu hanya berlangsung 10-15 menit pertama dari
kuliah, sisanya adalah kehangatan seorang ayah yang
mengajarkan kehidupan kepada anak-anaknya. Pahit
memang, tapi itulah kenyataan dan kadang kita terlalu takut
untuk menerima kenyataan tersebut. Beberapa pelajaran
yang beliau ceritakan di kelas seperti istilah beliau,England
rules the waves, Indonesia waves the rules, ketika menyikapi
hukum yang tidak ditegakkan di Indonesia. Ironi, tapi
begitulah kenyataannya. Atau MY WAY OR NO WAY
ketika ada orang yang mempertanyakan metode beliau
mengajar anak-anaknya. Atau konsep yang agak lain daripada
yang lain seperti Chaotic Organization.

94

Saya akan terus teringat bagaimana passion beliau ketika


mengajar. Saya tidak akan lupa bagaimana harapanharapannya pada rekan-rekan dosennya di masa yang akan
datang atau ketika beliau bercerita, semua yang saya ajarkan
pasti akan kalian lupakan, tapi bagaimana saya mengajarkan
disiplin, itu yang akan terus kalian bawa, saat kami mulai
terlihat resah dan gelisah mendengar apa yang akan terjadi
selama 1 semester ke depan. Saya tak bisa menghilangkan
kenangan ketika pada mata kuliah Teori Organisasi beliau
mengusir hampir setengah kelas kami dengan KPRS dan
memanggil 1 kelas dengan angkatan baru dan angkatan
veteran karena di kelas tersebut sudah ada 3 generasi yang
belum berhasil lulus. Saya lulus dengan nilai C pada mata
kuliah itu, tapi saya sangat bangga dengan nilai itu dan tidak
berniat mengulang.
Saya akan selalu mengingat meja beliau yang kadang
mengalunkan lagu My Way dari Frank Sinatra, sambil
menulis sesuatu di laptopnya sambil rokok dan minum kopi.
Saya tak bisa lupa ketika saya lewat depan mejanya di kantor
dosen lama dan beliau tiba-tiba memanggil saya, Ris, aku
punya lagu bagus, paduan suaramu latihan ini nggak? dan
beliau kemudian menyetelkan lagu Time To Say Goodbye
seraya bilang, Cocok buat sidangmu. #jleb
Banyak sekali pelajaran berharga yang beliau ajarkan baik di
kelas ataupun di luar kelas. Rasa terima kasih yang berulangulang tidak cukup untuk mengutarakan rasa terima kasih
saya dan kehilangan kami atas sosok beliau. Saya rasa
Indonesia telah kehilangan salah satu pendidiknya yang
inspiratif. Saya yakin beliau akan selalu hidup dalam
semangat kita. Semangat generasi muda yang suka belajar
dan mendidik lingkungan di sekitarnya menjadi lingkungan
yang lebih baik lagi untuk generasi yang lebih baik lagi.
95

Semoga Bapak tenang di sana, kami yang di sini akan terus


melanjutkan perjuangan Bapak untuk generasi yang lebih
baik lagi.

96

IN MEMORIAM
Oleh Visi Puspita - Visipuspita.tumblr.com

Pak Ino, mungkin Bapak baru hapal nama saya sepekan yang
lalu, gara-gara teman saya menunjuk saya maju ke depan
kelas untuk menjelaskan apa itu definisi perspektif. Bapak
selalu bilang, Gak usahlah kamu itu sok gaya-gayaan pakai
istilah aneh-aneh. Sistemik lah, apa lah. Gunakan saja katakata yang kamu paham artinya, daripada mbelgedes kayak
begitu itu!
Saya tahu Pak, perspektif itu apa. Yang saya tidak tahu
adalah bagaimana menjelaskan itu dengan bahasa saya
sendiri, dengan bahasa yang dipahami oleh rekan-rekan
sekelas. Saya belum bisa mencapai kemampuan yang Bapak
punya, menjelaskan hal-hal rumit dengan kata-kata yang
sederhana. Saya ingat, Bapak pernah bilang begini untuk
menjelaskan prinsip manajemen, Intinya kamu itu kalau
hidup ya harus punya tujuan yang jelas. Kalau kamu aja
nggak tahu tujuan hidupmu, gimana kamu bisa menentukan
mau hidup seperti apa?
Pak Ino, saya akui bapak adalah orang yang berpengaruh
terhadap perkembangan diri saya, terutama dalam bidang
akademis. Kalau bukan karena saya mengambil mata kuliah
Asas-Asas Manajemen (Asmen) saat saya semester 3 dulu,
mungkin sampai sekarang saya tetaplah mahasiswa yang
hobinya menyalin file powerpoint dosen dan menjadikannya
patokan untuk belajar. Bapaklah dosen yang membuat saya
sadar kalau baca buku itu penting sekali, karena banyak
sekali hal yang tidak disampaikan dosen, namun tercantum
di dalam buku.
97

Banyak orang berkilah, Lho, belajar itu kan bukan cuma


dari buku, Pak. Saya setuju, percuma kan Pak kalau
membaca saja tanpa bisa memaknai apa yang sudah dibaca.
Nah, hanya saja Bapak mau kami-kami yang masih
mahasiswa ini sadar sendiri. Saya ingat kata Bapak,
Sebenarnya apa yang kamu alami di kehidupan sehari-hari
itu lho ilmu yang kamu kejar ijazahnya.
Saya ingat kuliah Asmen pertama saya. Saat itu saya merasa
bergejolak karena semua perkataan Bapak. Saya tidak berani
duduk di depan ataupun di pinggir jalan tempat dosen lewat.
Saya cuma berharap Bapak tidak pernah menanyai saya yang
aneh-aneh, seperti, Kamu mau nikah umur berapa?, Apa
kriteria calon suamimu?, Apa tujuanmu menikah? karena
saya tidak punya jawaban yang saya yakini untuk pertanyaan
itu.
Saya ingat kuliah Psikometri yang tiba-tiba didatangi Bapak.
Bapak memarahi dosen yang mengajar kelas saya, karena
kami sekelas tidak ada yang bisa menjawab pertanyaan yang
Bapak berikan. Padahal itu semua dasar dari apa yang harus
kami pahami secara keseluruhan mengenai pengukuran
psikologi. Padahal itu semua salah kami, kenapa malas baca
buku padahal sudah disuruh dan bahkan bukunya pun
disebarkan lewat e-mail.
Saya ingat kuliah PMDO pertama saya. Bapak bilang masih
memberlakukan aturan yang sama. Ujian esai tidak boleh ada
tip-ex atau coretan, kalau ketahuan mencontek atau titip
presensi satu kelas langsung dapat E, kalau terlambat harus
pilih mau push up, bayar seratus ribu, atau bawa makanan
untuk teman-teman sekelas.
Saya ingat waktu Toko Buku Etude bertetangga dengan
ruangan Bapak. Berkali-kali saya dengar Bapak bertanya
98

kepada anak-anak bimbingan Bapak, Kamu itu mau lulus


kapan? atau Ini kan sudah pernah saya ajarkan di kelas.
Kamu ingat kan, walaupun tidak lulus?
Saya ingat kuliah MSDM terakhir bersama bapak tanggal 3
Desember 2012 lalu. Bapak bertanya, apa sih kaitannya
validitas dan reliabilitas?
Saya dan teman-teman saya menjawab sekenanya karena
sudah banyak lupa. Untungnya nilai psikometri saya memang
BC, Pak. Jadi saya tidak punya beban harapan dari orang
yang ingin paham hal-hal terkait psikometri lalu minta
diajari. Saya sampai saat membuat tulisan ini masih belum
bisa menemukan penjelasan, Apa maksudnya kalau
reliabilitas skala itu diketahui 0,44? Padahal Bapak sudah
berusaha memberikan petunjuk sambil tersenyum ramah dan
tertawa-tawa santai. Duh, maaf Pak, saya waktu itu
menjawab, Hasil bacaan saya sudah banyak yang expired,
Pak.
Lho, aku itu kuliah berapa puluh tahun yang lalu, tapi aku
masih ingat jelas karena aku menggunakannya selama
bekerja, begitu jawaban bapak. Bapak berkali-kali bilang,
Kamu tahu kan rumus ini? sambil menulis-nulis di
whiteboard, Ini kan gampang, sih. Ini begini, lalu diapakan?
Ah ya sudahlah. Yang penting kamu tahu kan, ke depannya
harus apa? Kamu paham kan maksudnya Fendy (Prof.
Fendy yang mengajar MSDM bersama Pak Ino di kelas.red)
itu apa?
Kamu tahu, kalau kamu punya gelar sarjana psikologi itu
orang-orang berharap kamu bisa menerapkan ilmu psikologi
untuk masyarakat.

99

Tahun 2015 nanti semua ahli profesi dari negara manapun


bebas masuk ke Indonesia. Kalo kamu nggak mau jadi kuli
di negaramu sendiri, makanya belajaro sing nggenah.
Saya itu ndak suka penelitian, saya sukanya ngajar. Biar aja
pangkat saya nggak naik-naik.
Walaupun bapak tidak pernah jadi profesor, Bapak berjasa
besar dalam mendidik orang-orang yang telah dan nantinya
akan menjadi profesor di Fakultas Psikologi.
Selamat jalan Pak Ino, terima kasih banyak atas ilmunya.

100

The Guru and The Inspiration


Oleh A. Ditya Wardhana - Daily-insights.posterous.com

Aku memang tidak banyak memiliki momen bersama Pak


Ino. Aku pernah merasa lumayan untung kehilangan satu
semester yang mana kelasnya banyak dididik Pak Ino, tapi
sekarang malah berasa itu kerugian besarku selama kuliah.
Sekarang jadi menyesal karena tidak cukup di-bully Pak Ino.
Ibaratnya ada fase perkembanganku yang belum beres
sebagai anak PIO.
Luar biasanya, walau hanya sedikit kesempatanku benarbenar mengalami didikannya, namun sudah cukup
menginspirasi beberapa hal dalam hidupku. Sampai-sampai
dalam ucapan terima kasih di skripsiku aku menuliskan,
Mungkin bapak tidak begitu mengenal saya, namun bapak benarbenar sudah menginspirasi saya.
Pak Ino pernah menanyakan ini pada kelas Teori Organisasi
yang saya ikuti: kalian ini kuliah, menurut kalian penting mana
belajar teori atau praktek? dan lebih dari setengah kelas
menjawab Ya praktek Pak, apa gunanya ngerti teori kalau gak
ngerti prakteknya. Sementara aku diam aja karena gak yakin
juga apa jawaban yang benar. Pak Ino jawab Ya itu bodohnya
kalian, semuanya Cuma pingin tau praktisnya aja. Pemahaman
konsep ama teori itu penting! Kalian bisa main-main sendiri sama
prakteknya kalau tau teori dan kosepnya dengan baik. Kalian gak
akan bingung kalau ada revisi atau perubahan metode baru.
Satu pertanyaan sekaligus jawaban itu yang bikin aku tidak
peduli walau ditempat kerjaku sekarang aku selalu
dibilang too school-wise. In fact it helps me a lot, karena
101

membuat aku bisa tetap main-main


meninggalkan konsep yang benar.

tapi

tidak

Cara Pak Ino yang sarkas, sadis atau apalah, sejujurnya


membuat aku bisa menemukan kepercayaan diri.
Menginspirasiku bagaimana cara bersikap dan membawa
diri, sinisme dan sarkastiknya aku tiru hingga membuat aku
memiliki diferensiasi di duniaku sekarang.
Aku ingat bagaimana Pak Ino menguji skripsiku, sebelum
menyatakan lulus ia berkata, kamu ini antara pinter tapi
keliatan bodo, atau bodo tapi keliatan pinter!. Lalu aku
bertanya, maksudnya apa pak? Dijawab lagi, ya gak
pentinglah artinya apa, pikiren dewe. Sampai sekarang aku masih
gak tau jawabannya, mana aku yang sebenarnya. Yang jelas
itu membuat aku berpikir ulang sebelum berargumen.
Sampai akhir hayatnya, Ia masih menginspirasi bagaimana
pentingnya kita menjalani hidup. What legacy will we left when
were gone?
I will always remember you Pak Ino, I will stay on school-wise no
matter what my bosses says. Perginya Pak Ino mengingatkanku
untuk kembali baca-baca dan belajar psikologi lagi setelah
sekarang lumayan jauh ke bidang lain.
It is funny how you always try to be mean to us but we keep on loving
you, I guess youve failed on that.
Good Bye Pak Ino Yuwono, A Lecture, A Guru, An Inspiration
Your stories will remain live through generations.

102

Terima Kasih Ibu


Oleh Fransiscus Aprilian S. - Ceritaciscus.wordpress.com @ciscuss

Kisah ini terjadi saat kuliah MSDM yang diajar oleh Pak Ino.
Materi yang dibahas adalah tentang job description. Semua
berjalan seperti biasanya, Pak Ino ceramah di depan kelas,
mahasiswa duduk manis sambil mendengarkan Pak Ino
menjelaskan materi dengan gayanya yang sangat khas. Sedikit
mengerikan namun tetap menarik.
Gambaran dosen killer memang masih sangat terlihat jelas
dalam diri Pak Ino, meskipun ia sudah tidak bisa lagi
membohongi usia. Ya! benar jika Pak Ino memang sudah
terlihat tua dan sedikit rapuh, sesekali batuk-batuk dan
kemudian menghirup semacam obat yang selalu ia bawa.
Namun, hal itu tidak bisa melunturkan kehebatan Pak Ino
dalam mengajar, ia masih sangat cakap dalam menjelaskan
materi.
Pak Ino pernah menyuruh beberapa mahasiswa untuk
menuliskan apa saja yang biasa dilakukan oleh seorang ibu.
Satu-per-satu mahasiswa yang ditunjuk mulai menulis
pekerjaan apa saja yang biasa dilakukan oleh seorang ibu.
Saya sempat terheran saat Pak Ino menyuruh menuliskan
pekerjaan yang biasa dilakukan seorang ibu, sama sekali tidak
bisa memahami apa yang ada dalam pikiran Pak Ino saat itu.
Setiap mahasiswa yang disuruh Pak Ino untuk menuliskan
apa saja yang biasa dilakukan oleh seorang ibu malah
kebingungan. Bukan karena tidak tahu apa saja yang biasa
dilakukan ibu, namun karena begitu banyaknya yang biasa
103

dilakukan oleh seorang ibu, mulai dari bangun tidur sampai


menjelang tidur. Sampai akhirnya Pak Ino menghentikan
kegiatan itu dan membuat suasana kelas kembali tenang
karena Pak Ino sudah mengambil alih kelas. Pak Ino
menyuruh kami untuk menganalisis pekerjaan seorang ibu di
papan tulis. Gimana? Cuma gitu aja ta yang dilakukan ibumu di
rumah?, dengan serentak kami menjawab Tidak Pak!, tapi
cuma itu saja yang bisa dituliskan karena begitu banyaknya
yang dilakukan oleh ibu. Pak Ino mengatakan bahwa kami
bisa menganalisis pekerjaan seorang CEO, manager, dan
yang lainnya, namun kami tidak bisa menganalisis pekerjaan
seorang ibu yang setiap hari bersama dengan kami. Sungguh
mengejutkan bagiku ketika Pak Ino mengutarakan hal itu,
sama sekali tak terduga.
Singkatnya, Pak Ino mencoba membuat kami lebih
menghargai seorang ibu. Seseorang yang sering kami lihat,
sering bersama kami, namun kami tidak mengetahui apa saja
yang dilakukan oleh seorang ibu. Sekarang udah tahu gimana
pekerjaan ibu? Pernah kalian bilang terimakasih ke ibu kalian?
Berapa kali? Pertanyaan-pertanyaan yang membuat saya
secara pribadi terdiam membisu, tidak tahu harus berkata
apa lagi, Sangat tidak diduga jika Pak Ino mengatakan hal ini
di kelas MSDM. Satu pelajaran moral dari seorang Pak Ino
yang biasanya dianggap kaku, sak karepe dewe dan kejam.
Sebuah pelajaran yang tidak terduga dari Pak Ino. Seorang
seperti Pak Ino bisa menjadi mellow dengan berbicara tentang
ibu. Saya tidak bisa lagi menuliskan bagaimana diri saya saat
itu, pada intinya apa yang Pak Ino lakukan adalah luar biasa.
Saya akan selalu saya ingat pelajaran ini.

Selamat jalan Pak Ino


104

Pelajaran Tanggung Jawab


dari Dosen Killer
Oleh Kasih Kumala - Kasihkumala.blogspot.com

Beliau adalah sosok dosen dengan karakter yang keras, atau


lebih sering disebut sebagai killer. Saya mempunyai
pengalaman melihat bagaimana kerasnya karakter beliau.
Pada waktu itu, saya beserta teman-teman yang lain
mendapatkan tugas pada mata kuliah tertentu sebut saja X.
Tugasnya menurut saya memang aneh, karena menyuruh
mahasiswanya mencari tanda tangan beberapa perangkat
desa tempat kami tinggal. Tugas tersebut juga mewajibkan
kami untuk mendapatkan tanda tangan dosen wali masingmasing setelah mendapatkan tanda tangan dari perangkat
desa.
Menyadari bahwa kami harus bertemu Pak Ino tentu saja
membuat kami ketar-ketir. Benar saja, apa yang kami
takutkan terjadi. Pak Ino melempar kertas tugas tersebut
sambil berteriak, "Tugas macam apa ini! Tugas ini gak
penting! Saya nggak mau tanda tangan!" Mendengar suara
beliau dengan nada tinggi itu memang menggetarkan
jantung. Takut? Tentu saja, tapi bercampur kagum. Beliau
menunjukkan ketegasannya.
Rasa kagum saya bertambah ketika saya menemani teman
saya dari LPM Insight yang ingin mewawancarai Pak Ino.
Kalimat yang beliau lontarkan dalam wawancara tersebut
akhirnya dijadikan judul oleh artikel teman saya, yaitu "Kalau
105

Tidak Killer, Kalian Malas Belajar Pastinya". Sejak saat itu,


saya tidak pernah percaya bahwa dosen killer akan
membunuh karakter, bahkan hal tersebut justru
membangunkan semangat untuk membentuk karakter yang
lebih baik.
Takut? Boleh, tapi dari ketakutan itu manusia akan
mengambil salah satu dari dua pilihan, yaitu menguasai
ketakutan atau dikuasai ketakutan. Beliau mencoba melatih
semua mahasiswanya agar dapat menguasai ketakutan.
Begitulah cara Pak Ino bekerja yang kerap membuat
mahasiswa merinding mendengar namanya.
Pernah ada pengalaman lucu bersama teman-teman sewaktu
meminta tanda tangan KRS bersama beliau. Setelah saya
mendapat tanda tangan beliau, giliran teman saya, sebut saja
Bunga, menyodorkan KRS beserta KHSnya. Pak Ino
memperhatikan isi KHS Bunga dan tertarik dengan nilai A
pada mata kuliah Statistik II. Beliau tiba-tiba bertanya pada
Bunga mengenai Statistik II. Sayangnya Bunga tidak bisa
menjawab. Pertanyaan tersebut kemudian bergulir bak bola
liar yang kebetulan dilemparkan kepada saya yang saat itu
masih ada di dalam ruangan beliau. Saya dengan polosnya
menjawab, "Saya belum ambil Statistik II, Pak. Saya baru
ambil Statistik II untuk semester ini," sambil menyodorkan
KRS yang memang tertera mata kuliah Statistik II.
Mendengar jawaban saya, sontak beliau tertawa lebar sambil
berkata, "Wooh, bejomu, Nduk, ora sido tak takoki!"
(Keberuntunganmu, Nduk, ndak jadi saya tanyai).
Hal tersebut membuat kami semua yang ada di ruangan
beliau ikut tertawa, bahkan tamu beliau yang ada disana pun
ikut tertawa melihat kami yang awalnya ketakutan berubah
tertawa. Begitulah beliau, beliau telah membuat kami terpacu
untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya.
106

Saya merasa Tuhan telah berbaik hati karena memberi saya


kesempatan untuk bertemu dengan sosok Ino Yuwono dan
belajar dari beliau tentang arti tanggung jawab. Beliau tidak
hanya sekedar menjadi dosen, tapi juga bapak yang benarbenar menggiring mahasiswanya untuk memasuki jalan yang
terbaik. Beliau ibarat penggembala yang menggiring dombadomba pulang agar tak tersesat. Beliau tak mengharapkan
IPK bagus dari mahasiswa-mahasiswanya bila tak mampu
bertanggung jawab atas nilai yang didapatkannya. Ia adalah
guru yang justru membentuk kualitas kepribadian muridnya
dan bukan berdasarkan nilai IPK belaka. Pak Ino memang
keras, karena ia punya prinsip, mimpi, dan peduli pada
pendidikan.
Tulisan-tulisan saya ini tidak begitu berarti jika belum
membaca hashtag #InoYuwono. Opa, Semoga kepergianmu
tidak hanya meninggalkan duka yang mendalam, tapi
meninggalkan
jejak-jejak
semangat
yang
mampu
menginspirasi mereka semua yang akan selalu
menyimpanmu dalam ingatan mereka. Terima kasih atas
semangat yang kau pancarkan dalam tubuh rentamu.
Kepergianmu mengajariku ilmu baru tentang akhir
kehidupan, sekedar menjadi kenangan atau menjadi
legenda seperti dirimu. God bless you. :)

107

SANG JURAGAN SISIR:


30 Tahun Merenda Persahabatan
Oleh Yulistiyani Rahayu

Aku mengenal Mas Ino, demikian biasa aku memanggil


setelah tidak menjadi mahasiswinya lagi, di saat aku masih 18
tahun, sebagai mahasiswi Psikologi Unair angkatan pertama
tahun 1983. Persahabatan kami dimulai pada semester ke 2
melalui mata kuliah Statistik dan Aliran-Aliran Psikologi dan
diteguhkan dengan nilai D dan E hampir seluruh kelas, yang
saat itu berjumlah 60 orang. Maka muncullah julukan
Juragan Sisir, saking banyaknya nilai E yang ditebarkan.
Sebagai angkatan pertama, fasilitas belajar tentu masih sangat
minim. Tidak ada materi dalam bentuk handout sebagaimana
teman-teman FISIP lainnya; tidak ada buku dalam bahasa
Indonesia. Semua buku berbahasa Inggris. Begitu sulit
membaca buku Filsafat Aliran-aliran Psikologi dalam bahasa
Inggris, padahal ketika itu aku sudah mengantongi sertifikat
lulus Book 1 6 dari LIA (Lembaga Indonesia Amerika
dibawah foundation Pemerintah Amerika).
Sosok Ino Yuwono menjadi semakin menakutkan, karena
setiap kami naik tingkat, setiap itu pula beliau akan
mengikuti. Tidak ada tempat untuk lari darinya, selain
terpaksa mencintainya bila tidak ingin molor kuliah.
Semester 2, IP meluncur gara-gara Statistik dan Aliran-aliran
Psikologi. Pak Agus sebagai Dosen Wali membatasi
pengambilan kredit, tapi aku memaksa mengambil lebih. Ada
target belajar yang aku tetapkan, karena aku bukan anak
108

orang berlebih. Pak Agus ragu-ragu memutuskan. Aku


bilang, Bapak, Kewiraan aku target B, Bahasa Inggris A.
Ini semata-mata untuk memotivasi diriku sendiri. Juragan
Sisir ternyata mendengar obrolan itu. Pak Ino menyahut,
Sombongnya, berapa kau target untuk mata kuliahku?
Psikologi Belajar? Diagnostik? Merasa marah, tertantang,
malu maka spontan aku menjawab, B! dengan yakin.
Bener ya, ayo salaman! Kalau kau dapat nilai dibawah B kau
harus traktir aku bakso, tapi kalau kau yang menang aku beri
kau Rp. 10.000,-, jawab Pak Ino. Berapakah nilai Rp.
10.000 pada tahun itu? Banyak sekali. Sebagai gambaran
uang semesteranku Rp.42.000,Sebuah kegilaan menerima tantangannya, karena aku harus
bersiap menerima akibatnya. Maka dimulailah pergulatan
panjang, penderitaan belajar tiada henti, belajar bersama,
diskusi bersama bagi yang menerima tantangan. Bagiku
sendiri masih ada tambahan yang lain yaitu memberi les
untuk membayar kuliah dan beli buku, berantem dengan ibu
karena aku sering pulang malam (jam 23.00), dan tidak
membantu pekerjaan rumah. Ada lagi tugas yang
menjengkelkan: menerjemahkan kode etik psikologi dari
buku Anastesi DITULIS TANGAN! Berlembar-lembar!
ampun Inooooooooo! Begitu berat tugasmu ketika itu.
Di sisi lain, tampaknya Beliau sendiri melakukan introspeksi
dalam mengajar. Hanya beberapa orang yang berani
mengambil mata kuliahnya. Maka dalam bentuk lingkaran,
dimulailah membahas Psikologi Belajar juga Psikologi
Diagnostik dengan mengacu HANYA 1 buku saja untuk tiap
mata kuliah. Setiap dari kami WAJIB memegang 1 fotokopi
buku, hasil menyisihkan uang jajan. Maka sang juragan mulai
mengajari cara membaca buku textbook, lembar demi lembar,
dijelaskan dengan analogi yang sederhana. Ani dan Faruq
yang ketika itu memiliki cerita menjadi sasaran empuk,
109

ketika membahas teori Pavlov. Demikian pula Anita dan Pak


Ogah. Beliau selalu punya sasaran, siapa-siapa yang akan
dijadikan korban percontohan. Perlahan-lahan kami mulai
mengerti cara membaca buku dan memahaminya. Kelas
mulai hidup, kami mulai bisa menjawab, mulai bisa bertanya.
Dalam 1 semester sang juragan hanya berhasil menyelesaikan
6 Bab dari 11 Bab (kalau tidak salah). Bukan sebuah prestasi
kalau dilihat dari jumlah!
Tapi apa yang terjadi kemudian? Horeeee! Kami bisa
MEMBACA, sungguh-sungguh bisa MEMBACA. Ajaib.
Tanyakanlah pada seluruh angkatan 83 bagaimana
penderitaan itu dimulai dan bagaimana kami memetik
hasilnya. Mulai dari saat itu kami melahap habis semua buku
yang diberikan. Semuanya. Tidak ada protes. Tidak ada
keluhan. Pada saat itu kami sudah kaya dengan koleksi buku,
meskipun fotokopi. Kalau Prof. Maramis datang dari
Amerika, beliau akan membawa buku bagus-bagus, maka
kami akan mendaftarkan diri, Aku! Aku! Aku! Punyalah
kami koleksi buku lagi. Ketika Pak Jangkung pulang dari
Inggris membawa seabrek buku, makin kayalah diri kami.
Suatu kali, sebelum beliau berangkat ke Amerika untuk studi
S2-nya, di perpustakaan peninggalan Alm. Lauw Tjiang Lok,
beliau bertanya, Kok kalian sekarang tidak ada yang protes
diberi Pak Jangkung berapapun buku yang harus dibaca?
(Bukik, rasanya aku lebih beruntung darimu karena aku
dapat ilmu membaca)
Lalu bagaimana dengan perjanjianku? Untuk 2 mata kuliah
itu aku mendapat B. Bahagiaku luar biasa. Dunia jadi milikku
sepenuhnya. Maka dengan Yamaha Bebek, aku
membonceng Ani dan dengan scooter cokelat tua, Sang
Juragan membonceng Pak Jangkung. Kami makan bakwan
Kalidami sepuasnya, harganya kurang dari 10.000 kukira.
Kenyang dan nikmat luar biasa! Sebuah perjanjian sederhana
110

yang mewarnai kehidupanku selanjutnya hingga usia 48


tahun lebih.
Itulah awal persahabatanku dengan Mas Ino Yuwono,
sebelum kami merenda persahabatan bersama sepanjang 30
tahun dalam tawa, kesedihan, airmata, ejekan terhadap diri
sendiri, dan juga semangat pantang menyerah dalam
menjalani kehidupan yang kadang-kadang tidak bersahabat.
Jadi, kalau ada orang yang bertanya padaku, kenapa aku bisa
membaca buku bahasa Inggris dan menerjemahkan dengan
cepat, itu karena sang juragan Ino Yuwono. Kalau ada orang
yang bertanya kenapa aku bisa membaca buku yang beratberat, itu karena Ino Yuwono. Kalau ada yang berkomentar
bahasa tulisku bagus, itu juga karena dia. Bahkan kegilaankegilaan dan semangat untuk tahan terhadap penderitaan,
juga semangat untuk rajin membaca, juga karena dia. Maka
begitulah, ketika mengenal Mirza Abdillah dan Faiz yang
memborong semua bukuku, maka aku relakan dengan
kalimat, Balikin, cuma itu hartaku!
Ketika anakku kemudian mendapat beasiswa AFS ke
Amerika dan kemudian beasiswa Erasmus Mundus ke Turki,
maka beliau adalah orang yang mendapat urutan untuk
kubagi kebahagiaan dan keharuanku. Dia tahu dengan
sesungguhnya, di atas kertas aku tidak mungkin
menyekolahkan anakku ke Luar Negeri. Tapi semangat itu,
sikap tahan banting, kerja keras dan kejujuran serta integritas
yang dicontohkannya padaku, kuwariskan juga pada anakanakku. Ia mengajari kami untuk jujur, maka aku dan kukira
teman-teman angkatan 83 lainnya tidak pernah mencontek
selama masa kuliah. Tidak percaya? Silahkan tanya pada
angkatan 83 yang anda kenal. Maka akupun mengajari anakanakku untuk berlaku jujur, Bukan hasil yang penting,
proses belajar itulah yang penting!
111

Yulis, my mind, my soul sangat baik dan sehat, tapi kerandaku


semakin tua dan lemah. Kalau Gusti Allah menghendaki, aku
sudah siap.
Yul, Im still ok, so..so, dont worry. Just feel tired.
Begitu beberapa bunyi beritamu padaku. Tidak seorangpun
tahu, barangkali dirimu memang sudah merasa begitu lelah
dalam semangat dan pengabdianmu. Tapi Gusti Allah Maha
Tahu karena itu telah menuntaskan tugasmu. Aku tahu kau
tidak ingin aku menangisi kepergianmu berkepanjangan.
Bukankah telah kau wariskan banyak hal kebaikan padaku?
Badanmu hanyalah keranda akan tetapi pemikiranpemikiranmu, sikapmu, segala kedirianmu akan tetap hidup
di hati para sahabat-sahabatmu, juga di hatiku.

Thanks GOD for letting you to be part of my life

Yulis
(Mengenangmu : 6 Desember 2012)

112

Pak Ino yang Praktis - Filosofis


Oleh Mirza Abdillah

Berinteraksi pertama kali dengan Pak Ino ketika mengambil


mata kuliah MPK (Metode Pengambilan Keputusan). Mata
kuliah ini cukup menarik karena dua hal, selain buku ajar
yang cukup menarik yang diulas oleh Kuntoro
Mangkusubroto dengan gaya teoritis-sistematis, dosen
pengajarnya adalah Ino Yuwono yang mengulas proses
pengambilan keputusan secara praktis-filosofis. Maka
pertanyaan Pak Ino pertama adalah Apa itu masalah?;
seperti yang teman-teman lain alami serentetan percobaan
jawaban dilontarkan hasil dari Pak Ino menunjuk satu-satu
mahasiswa yang ikut dengan julukan ajaib, Ndut, opo
jawabanmu!, Koen perek, opo iku masalah? Ketika tidak ada
jawaban yang mendekati, maka pertanyaan selanjutnya
Kalian punya masalah atau tidak?, Apa masalahmu?
Sampai pada, Apakah masalah itu harus diselesaikan?
tanya beliau dengan gaya pongah dan menantang kognisi
berpikir. Tidak sampai disitu, Pak Ino memiliki pendekatan
dengan menurunkan contoh pada kasus unik. Misale, bojomu
impoten permanen utowo frigid, masalah ga?, Yok opo
nyeleseknoe?, Apakah harus diselesaikan? yang disusul
dengan tertawa terbahak-bahak a la beliau sambil
menghembuskan asap rokoknya.
Interaksi yang lebih intesif di luar kelas dan kampus terjadi
12 tahun yang lalu, ketika beliau masih usia 40-an dengan
Mitsubishi Lancernya. Pak Ino waktu itu sebagai trainer di
sebuah perusahaan swasta. Selain Bu Yulistiani Rahayu, Bu
Dyah Adzani Ambarwati dan Pak Endy Fatah Yusuf, gaya
semau gue Pak Ino memberikan warna pada style saya di
113

dalam kelas-kelas di perusahaan saya bekerja baik pada sesi


training, sosialisasi, coaching, couseling maupun mentoring
beberapa orang di tempak kerja -tentunya kapasitas kognitif
saya sangat jauh dari mirip apalagi sebanding. Sempat pada
suatu waktu di 12 tahun yang lalu, Pak Endy menyeletuk
Wah, gayane wes koyo Pak Ino.
Bertemu terakhir dengan Pak Ino tahun 2008, ketika saya
ada kesempatan sharing session mengenai Targeted Selection
Interview di kampus. Bertemu beliau kembali, saya haus akan
filosofi praktis dari beliau. Selain filosofi masalah, kali ini
saya berkesempatan olahraga otak mengenai apa itu
motivasi?. Saya meringis saja pada waktu itu tanpa
menjawab apa-apa ketika retoric question dilemparkan
mengenai apa itu motivasi. Tidak lama kemudian pak Ino
memberikan clue-nya. Motivasi itu aku entuk opo! itu
filosofis menurut beliau. Bener gak, Za? seolah-olah
meminta konfirmasi yang tidak perlu. Nang kelas iku,
mahasiswa diajarin jurus macem-macem tentang motivasi,
tak takoni opo iku motivasi gak ono seng iso jawab. Ketawanya
memecah keheningan di ruangan khususnya yang memiliki 2
exhaust untuk mengakomodasi asap rokok. Lebih dari 4
tahun tidak ketemu beliau, seolah-olah saya harus berani
memikirkan sendiri hal-hal secara sederhana yang aplikatif di
tempat kerja. Banyak teori yang sulit-sulit mampu
dibahasakan dengan sederhana oleh beliau. Kira-kira siapa
yang bisa jadi pengganti beliau jadi perpustakaan praktisfilosofis mengenai manusia dan kehidupan?
Hal lain yang saya amati mengenai Pak Ino ketika bertemu
terakhir dan melihat di berbagai media sosial mengenai Pak
Ino, beliau semakin humanis. Beliau menikmati sekali
berinteraksi dengan siapa saja yang mampu memuaskan
olahraga kognisinya atau setidaknya enak untuk dijadikan
bahan ledekan.
114

Obrolan mengenai beliau sempat saya lakukan dengan Prof.


Djamaludin Ancok ketika saya mengambil mata kuliah beliau
di UGM. oh, kamu muridnya Ino? Apa kabarnya Pak Ino?
Kesan Prof. Ancok mengenai Pak Ino sangat baik, dia itu
pintar.
Mendapat predikat sebagai muridnya Pak Ino membuahkan
hasil yang baik yaitu nilai A pada 2 mata kuliah Pak Ancok:
Organizational Behavior dan Strategic Leadership. Dan
tentunya, thesis juga A.
In a nutshell, Pak Ino was one of my best mentors who coloring my life
and career.
Hope there will be thousands of Ino Yuwono soon after his leaving!
You? You? You? You? You? You? You? You? You?
Me? Sure!
Your mentee,

Mirza Abdillah

115

Kebencian yang Merindukan


Oleh Siro

Saya membenci Pak Ino. Benci dari atas hingga bawah.


Kanan kiri, depan belakang. Saya benci keotoriterannya. Saya
benci caranya merokok, saya benci caranya berbicara dan
yang membuat saya sangat benci adalah kepelitannya
dalam memberi nilai. Hanya karena pak Ino, di transkrip
Ijazah saya tercantum satu mata kuliah dengan nilai D. Ya
nilai D inilah akhirnya menempel di selembar kertas yang
mana kertas ini akan saya pergunakan melamar pekerjaan
kesana kemari. Sungguh merusak.
Bukan sekali dua kali saya mengulang mata kuliah ASMEN.
Saya mengulang empat kali. Dan belum bisa dinyatakan
lulus. Teringat semua perjuangan saya dalam mengambil
mata kuliah ini. Saya harus lari-lari di pagi hari, karena
Asmen adalah mata kuliah yang SELALU diletakkan di jam
pertama. Saya juga harus siap mental untuk dihukum karena
mendapatkan nilai jelek di setiap kuis yang diadakan oleh
Pak Ino. Dan yaaa... beragam kebencian yang banyak dan
susah untuk diceritakan.
Tapi saya paham, kebencian saya adalah kebencian yang
absurd. Saya adalah mahasiswi yang selalu dibuat nyaman
dengan sistem perkuliahan yang gampang. Hanya membaca
handout, ngopy materi dari dosen, dan ujian kemudian
mendapat nilai AB.
Dengan Pak Ino semuanya jadi susah. Tidak ada ngopy
materi. Tidak ada handout. Tidak ada catatan. Yang ada hanya
belajar textbook. Berat memang awalnya. Hanya untuk mata
116

kuliah 2 SKS, saya harus membaca buku Bahasa Inggris.


Saya harus lembur beberapa malam untuk menghafalkan
tiap-tiap bab dari textbook.
Yang lebih miris lagi adalah ketika saya sudah mati-matian
belajar dengan inggrisan itu tiba- tiba keesokan harinya
kuis dibatalkan. Kenapa dibatalkan? Karena ada yang
berbuat curang. Ya ada satu mahasiswa yang ketauan
contekan ketika mengerjakan kuis, jadilah satu kelas
dianggap tidak mengikuti kuis. Saya geram luar biasa saat itu.
Dan Pak Ino menjelaskan bahwa seperti inilah mental para
koruptor di negeri ini. Satu orang pingin enaknya sendiri,
tapi semuanya yang menanggung kerugian.
Tidak hanya itu beliau adalah orang yang sangat inspiratif. Ia
selalu menceritakan tentang bobroknya sistem pendidikan di
Indonesia. Tentang rendahnya kualitas lulusan perguruan
tinggi di negeri kita jika dibandingkan dengan negara- negara
tetangga. Juga tentang keinginannya agar para peserta didik
tidak hanya mengejar nilai tapi juga mengejar Ilmu.
Saya rindu dengan cara mengajarnya yang membencikan
itu. Dengan pertanyaan- pertanyaan ringan yang sangat tidak
bermutu (menurut saya). Kamu 10 tahun lagi jadi apa?,
Kamu punya banyak uang buat apa?, Kamu punya
pasangan ingin yang seperti apa? dan sebagainya yang saya
pikir tidak ada hubungannya sama sekali dengan ASMEN.
Perkataan yang paling saya ingat adalah pendapatnya beliau
mengenai kenaikan uang SPP untuk mahasiswa baru.
Menurutnya wajar-wajar saja tarif pendidikan mahal di Unair
toh dibarengi dengan peningkatan fasilitas yang menunjang.
Ia mengutuk mahasiswa- mahasiswa yang berdemo menolak
kenaikan tarif SPP. Dengan santainya ia mengumpamakan
pendidikan itu seperti nasi pecel. Nasi pecel itu banyak. Ada
117

yang mahal, ada yang murah. Kalau gak mampu beli yang
mahal, ya beli aja yang murah. Sama juga dengan sekolah.
Kalau gak mampu di Unair ya cari sekolah lain yang murah.
Kenapa meski repot?
Ahh.. sungguh saya sangat rindu...
Maafkan karena hari ini saya terlalu pengecut untuk bolos
dari kerja demi mengantarkan Sang Maestro ke tempat
peristirahatannya yang terakhir. Sangat rindu dengan tatapan
elangnya. Rindu suara batuknya. Rindu ketegasannya
untuk tidak memberikanku dispensasi nilai.
Sangat disayangkan banyak adik-adik angkatan yang tidak
merasakan sensasi kuliah bersama Pak Ino. Ah Pak Ino,
saya yakin seyakin-yakinnya bahwa tidak ada yang bisa
menggantikan posisimu sebagai dosen ter-killer. Hanya
mampu berharap, semoga sistem pendidikan di Fakultas kita
tercinta bisa tetap dinamis. Ada ataupun tiada dirimu.
Saya mahasiswi yang selamanya akan merindumu dengan
kebencianku. Selamat Jalan Pak Ino.

118

Selamat Jalan Sahabat


Oleh Rudi Cahyo RudiCahyo.com

Satu teman sekaligus ayah telah mendahului, Pak Ino


Yuwono. Dengan hilangnya beliau, maka hilang juga teman
ngobrol dengan bahan-bahan yang super nyeleneh dan
berbobot.
Manifestasinya bisa sama, yaitu bekerja, tetapi dasarnya
berbeda Yuwono, 2012 Itu kata-kata yang belakangan ini beberapa kali diucapkan
oleh Pak Ino. Sering diucapkan, karena memang lagi klop
dengan penelitian dari dua mahasiswa bimbingannya yang
membahas tentang abdi dalem dan budaya Jawa. Klop
dengan apa? Klop dengan tulisanku, Pekerja Tipe Dion,
Doni dan Dino. Bahkan dua mahasiswanya dipasrahkan
padaku tentang metode penelitian kualitatif di skripsinya.
Ngobrol dengan Pak Ino memang begitu menyenangkan,
segar dan berbobot. Dan bukan cuma ngobrol. Secara
personal, Pak Ino juga orang yang penuh perhatian.
Pernah suatu ketika beliau datang ke sebuah acara di lantai 3
Fakultas Psikologi Unair. Dari lantai puncak sampai bawah,
dia membawakan sepiring kecil jenang (jajanan tradisional)
khusus buatku. Juga masih terngiang ketika pagi atau tatkala
aku baru datang di kampus, beliau dengan cerita
menyambut, Aku punya teh baru, Kamu mau teh apa
kopi?, Bawa pulang teh ini, seduh dengan air mineral,
jangan air biasa. Begitulah wujud perhatian beliau.
119

Bukan cuma kepadaku, Pak Ino juga senang dengan para


dosen muda dan mahasiswa yang mau belajar. Karena itu,
perhatiannya kepadaku, bukan berarti tanpa sejarah yang
panjang. Cieh, biar kelihatan seru.
Mulai dekat dengan Pak Ino adalah ketika aku terlibat
dengan kegiatan-kegiatan unit terapan di Fakultas Psikologi
Unair, yaitu Lembaga Pengajian dan Pengembangan
Psikologi Terapan (LP3T). Sejak aku jadi pembicara di
berbagai kegiatan itu, aku mulai menemukan kesetaraan
dengan Pak Ino. Dia mulai mengenalku.
Kami semakin dekat, karena ada kesukaan yang sama waktu
itu. Kebetulan, ketika Pak Ino membaca tulisan Capra, aku
juga sudah membacanya. Ketika dia bergumam, curhat
bagaimana mengajarkan chaos di organisasi, aku menjelaskan
tentang bentuk fraktal organisasi. Beliau jatuh hati kepadaku
hehehe.
Aku masih ingat ketika pertama kali diterima bergabung
dengan Fakultas Psikologi Unair. Waktu itu aku belum
punya laptop atau komputer di kantor. Pak Ino dengan
senang hati memintaku berada satu ruang dengannya.
Menyuruhku memakai komputernya, sedangkan dia
memakai laptopnya. Tak akan aku lupakan itu.
Namun jatuh hatinya Pak Ino berlevel. Pak Ino memang
punya anak kesayangan. Ada beberapa mahasiswa yang
disayangnya. Karena itu, jika ada mereka, aku bukan apa-apa.
Bahkan hanya sebungkus kerupuk saja, beliau bisa bilang,
Kamu tidak ku kasih. Cuma Kem sama De aja yang aku
kasih. Tapi kalau mereka tidak ada, aku pasti ditimangtimang hehe. Itulah yang membuat sukanya Pak Ino terlihat
moody.
120

Belakangan ini kehangatan sikap Pak Ino makin terasa. Jika


dia tahu sedikit dari apa yang ia baca, segera ia menemuiku
dan mengajak berdiskusi. Begitu juga ketika ada minuman
atau makanan baru, dia langsung memanggil dan menawari.
Kini kehangatan itu telah pergi berbarengan dengan
kembalinya Pak Ino kepada Tuhan. Ketika berada di
rumahnya, dan menatap jasadnya, aku bergumam di dekat
kepalanya, Pak Ino, sudah sering aku berdiskusi tentang
kebahagiaan dengan Pak Ino. Tapi aku belum pernah
bertanya, apakah Pak Ino bahagia?.
Ku lepas engkau, Pak Ino. Selamat jalan. Semoga Tuhan
menerima segala amal baik dan mengampuni dosamu. Aku
akan mengenangmu, sampai kelak aku pasti akan menyusul.

121

Kau Selalu Ada di Hati Kami Semua


Oleh Marini - Rinicheche.com

Aku ingat awal pertemuanku dengan Pak Ino, kira-kira 20


tahun yang lalu. Ia bertanya, Sopo sing psikologi pilihan
kedua? Aku mengacungkan tangan. Kenapa? katanya lagi.
Soalnya mau pilih kedokteran tapi gak diterima, dan saya
pilih ini soalnya mirip-mirip kedokteran, jawabku polos.
Ooo, Pelarian. Kon goblok bee. Kaget, kaget, dan kaget.
Gila ini dosen, baru kali ini aku dikatain goblok, batinku.
Setelah itu jantungku selalu berdetak bila akan bertemu
dengan Pak Ino. Untuk mengambil mata kuliah beliau, jujur
aku juga takut. Ketika aku mengambil skripsi dan
mengajukan judul, ternyata keluarlah nama dosen
pembimbingku Ino Yuwono. Bisa dibayangkan pasti
bagaimana rasanya. Dosen yang menakutkan itu malah jadi
pembimbingku.
Judul opo iki? Elek! kata Pak Ino.
Ini sudah bagus pak! Jawabku
Goblok! katanya
Nekat aku langsung bicara spontan, Ajarin lho
Ajaib ternyata pak Ino membantu aku membuat judul yang
baik. Disitu timbul respekku terhadap beliau. Dia benarbenar membantu aku untuk menyelesaikan studiku. Beliau
bahkan men-donwload-kan buku untukku. Jaman itu internet
masih barang mahal di Indonesia. Che aku punya buku
122

baru, mau? Pak Ino sangat peduli pada anak didiknya. Aku
tentunya sangat senang diperhatikan oleh Pak Ino.
Che, kamu bimbingan ke tempatku mau? Soalnya aku
sibuk. Aku gak sempet ke kampus, kata Pak Ino. Gak
papa Pak, jawabku. Tapi bimbingannya di atas jam 9
malam atau sebelum jam 7 pagi bisa? Bisa! sahutku.
Alhasil aku jika bimbingan skripsi ke rumah beliau biasanya
pada malam hari atau ketika subuh. Disitulah awal aku kenal
dekat dan akrab dengan Bu Lilik, istri beliau.
Pada saat ujian skripsi S1, aku lulus dan mendapat nilai A.
Pak Ino sangat senang dan bangga sekali. Dipeluknya
pundakku sebagai tanda kebanggaan dan kebahagiaan beliau
atas kelulusanku. Setelah kelulusanku, ia mengajak aku untuk
bergabung dengan Ino Yuwono Associate.
Pak Ino adalah satu-satunya dosen yang kuundang ketika
aku menikah. Aku bangga sekali memperkenalkan beliau
dengan orang tuaku. Soal kehidupan rumah tanggaku dia
pernah bilang, Kamu harus bisa nyimpan uang, keuangan
rumah tangga kamu yang kendalikan. Gajine bojomu kudu iso
mbok olah digawe nguripi anak bojo. Sekolah anakmu kudu apik
mutune. Ia begitu menunjukkan peduli dengan kehidupan
anak-anakku dan juga keluargaku.
Pak Ino adalah bak ayahku dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai orang tua ia kerap memberikan aku pesan. Ia pernah
sedikit mengancamku untuk melanjutkan sekolah lagi,
Kamu harus kuliah lagi, Che. Kalo kamu gak kuliah lagi aku
gak akan bantu kamu lagi! Merasa diancam begitu aku
langsung daftar.
Berkali-kali beliau keluar masuk rumah sakit karena
bermasalah dengan jantungnya. Kebetulan dokter jantung
123

beliau sama dengan dokter jantung orangtuaku. Menurut


dokter jantungnya, Pak Ino itu bandel dan susah dikasih
tahu, tapi bagusnya Pak Ino itu selalu ngomong ke saya kalo
mau pergi keluar kota. Dia minta sangu obat.. Disaat beliau
terbaring sakit, aku dan suami selalu menyempatkan
membesuk dan menemani walaupun kadang cuma sebentar.
Pak Ino adalah tempatku bertanya dan berbagi. Suatu saat
aku pernah diminta untuk memegang salah satu RGA di
Fakultas Psikologi, yaitu LP3T. Sebelum aku mengambil
keputusan, aku berkomunikasi dengan beliau terlebih
dahulu. Pak ino mengatakan, Ambil! Kamu mampu. Nanti
aku yang bantu kamu dari belakang. Dia menambahkan,
Kalo kamu jadi pemimpin, jangan cuma namanya aja.
Kamu harus bisa jadi bagian dari mereka. Setiap ada
masalah serius di lembaga tersebut, aku pasti berdiskusi
dengan Pak Ino untuk mencari solusi terbaik. Pak Ino
kemudian biasanya ke Mas Bukik karena memang Mas Bukik
juga pernah menduduki posisi ini. Saat aku menjadi direktur
LP3T, Pak Ino juga sering memperkenalkan aku dengan
jejaring yang ia punya di luar dunia pendidikan. Ia
mengatakan, Kamu harus meluaskan silaturahmi, supaya
nanti kalo kamu susah banyak yang bantu.
Pernah suatu saat aku mendapatkan job dari pertamina. Pak
Ino menemaniku di kampus hingga malam. Pak Ino
membatu aku membenahi semua persiapannya. Aku tak bisa
melupakan bagaimana Pak Ino bilang, Che, kamu ada uang
lebih? Kasih anak buahmu makan. Ia menambahkan,
Kalau kamu punya uang lebih, kamu harus ingat anak
buahmu. Ajak mereka makan. Bagi mereka perhatian kamu
itu melebihi segalanya, walaupun itu cuma nasi bungkus atau
indomie.

124

Pak Ino pernah berkata, Che, kamu gak takut keruanganku


terus? Gak Pak, jawabku. Kamu nanti dianggap masuk
kubuku, katanya. Aku gak takut pak, sahutku. Terus
terang aku lebih takut kehilangan Pak Ino ketimbang dijauhi
oleh beberapa orang koleganya.
Aku pernah menangis di ruang beliau. Aku bercerita kepada
beliau bagaimana aku pernah diminta untuk lebih menjaga
jarak dengan beliau oleh koleganya sendiri. Aku tak bisa. Pak
Ino yang bisa membuat aku seperti ini, dan bukan mereka.
Aku tau che. Kamu susah posisinya, karena beberapa orang
gak seneng sama aku di dalam sana!
Seminggu sebelum beliau berpulang untuk selamanya, aku
sempat menelpon beliau. Beliau bilang, Aku kesel che. Aku
kok saiki gampang kesel yo che... Dungakno aku isik onok umur yo
che. Saat ini, aku selalu terlintas dengan apa yang Bapak
ucapkan. Apakah Bapak sudah benar-benar merasa capek
dengan semua ini? Apakah Bapak memang sudah tau bahwa
waktu Bapak tinggal sedikit?
Diruang Adijasa, aku melihat tubuh Bapak yang tertidur
lelap. Aku tidak kuasa menahan air mataku. Suamiku dan
semua orang yang menyayangimu menangis. Begitu banyak
orang yang menyayangimu. Aku sentuh tangan bapak yang
dingin dan membeku. Aku goyang tangan Bapak, tapi Bapak
tidak mau bergerak lagi. Bapak sudah benar-benar pergi
meninggalkan kita semua. Selamat Jalan Guruku Tercinta.
Selamat jalan Sahabatku tercinta. Semoga Damai engkau
disana. Kau selalu ada di hati kami semua.

125

Zahir
Oleh Alma Psikologi 2001

Ada satu peristiwa menarik yang saya di ingat ketika masih


menjadi mahasiswa Magister Profesi (Magpro) Psikologi
Unair angkatan ke-5 (selain insiden Prof. Dyson tentunya
). Begini ceritanya. Pada suatu hari, pak Ino mengajar
Mata Kuliah Matrikulasi yang membahas tentang macammacam teori kepribadian (sebetulnya nggak membahas sih,
lebih tepatnya bercerita tentang satu buku yang baru ia baca,
buku yang dikarang oleh penulis dari Brazil).
Zahir, Pak? tanya saya
Kok kamu tahu? balik tanya pak Ino
Iya, soalnya saya pernah baca buku itu, saya juga punya
bukunya yang lain.
Oke, kalo begitu tugas membaca buku Zahir dan membuat
resume yang dikaitkan dengan teori kepribadian dan
berterima kasihlah buat temenmu yang sok tau itu.
Seketika itu pula ke-48 pasang mata mahasiswa Magpro V
menoleh dan menatap tajam dengan perasaan benci ingin
melenyapkan saya dari muka bumi ini (- __-), dan buruknya
selama 1 semester saya dipanggil Zahir oleh Beliau.
---------

126

Proposal apa ini! Sampah! Ucapnya sambil membuang


proposal TA ke tempat sampah di kubikalnya yang bau
rokok.
@#&*@^, teriak saya dalam hati.
Saya tahu bahwa Pak Ino kurang menguasai topik tentang
Knowledge Management (KM) & Learning Culture (LC) yang
menjadi judul dalam proposal TA saya. Saya mengetahui
bahwasanya Pak Ino telah berusaha dengan keras
mempelajari dan mengunduh banyak buku mengenai KM &
LC dan semua itu ia lakukan agar dapat membimbing saya
dalam koridor yang tepat. Tapi, mbok yao jangan sampai
buang proposal saya ke tempat sampah (-__-).
Hebatnya lagi, koleksi Jurnal dan e-Book-nya tentang KM dan
LC lebih banyak dari yang saya miliki.
Ini loh Ma, aku baru download buku tentang RoadMap
KM. Ucapnya sambil memamerkan e-book yang baru ia
unduh.
Wah, hebat Pak. Boleh minta?
Nggak! Nggak boleh! Cuma cewek cantik yang boleh minta.
Kamu cari sendiri sana. Jawabnya dengan santai.
Apes nian nasib saya (-__-)
--------Aku nggak tau apa-apa soal TA-mu loh, Ma. Ucap beliau
ketika mau menandatangani TA saya.
Aku nggak mau tanggungjawab waktu sidang nanti, Pak
Ino menambahkan.
127

Siap Pak, segala konsekuensi saya yang tanggung. Jawab


saya
Baguslah
Dan apa yang terjadi Sodara-Sodara? Yaaa....., tebakan Anda
betul semua. Saya disuruh sidang ulang oleh Pak Seger, Mas
Bukik dan Prof. Andreas Budihardjo.
Setelah Pak Seger selesai mengucapkan kalimat yang amat
sangat menyayat hati itu (lebay mode ON), Pak Ino
menimpali dihadapan para penguji.
Pola pikirmu itu masih seperti mozaik, Ma. Terpecah-pecah
dan kurang fokus dalam melihat suatu masalah.
Ucapkan beliau itu yang masih saya ingat, dan menjadi
tantangan buat saya sampai saat ini.
--------Itu yang saya lihat dan rasakan ketika dibentuk oleh beliau.
Bagaimana beliau memeluk saya dengan kesungguhan hati
dengan cara menghardik, membuang ke tempat sampah
proposal TA (iya, membuang dalam arti harfiah) hingga
menyatakan bahwa saya harus menjalani sidang ulang.
Sedih, kecewa, marah hingga menangis banyak saya rasakan.
Namun anehnya, setelah mengalami perlakuan yang bengis
bin sadis tersebut, motivasi saya untuk belajar dengan benar
semakin menyala. Insight ini muncul setelah saya renungi
kembali dalam-dalam dan banyak berdiskusi dengan beliau.
Saya juga menangkap bahwa hal tersebut merupakan salah
satu cara beliau dalam mendidik murid-muridnya agar
menjadi pribadi yang lebih matang dan dewasa dalam
menghadapi perubahan.
128

Dalam hati, saya merasa bahwa sikapnya ini merupakan


wujud dari kecintaannya dalam menjalani profesi sebagai
seorang pendidik dan saya yakin bahwa ilmu dan
pengalaman yang telah ia bagikan akan, dan terus, menjadi
panduan dan inspirasi bagi saya dalam menjalani kehidupan
didunia nyata.
Pak Ino telah menyentil Ego saya yang paling dalam dengan
caranya yang khas dan pada masa itu pak Ino telah menjadi
Zahir dalam proses pencarian jati diri saya. Possunt quia posse
videntur.
Requiescat in Pace my beloved Guru, thanks for all the little things
that you have shown to me.

regards,
alma01

PS:
Zahir; dalam bahasa arab berarti melihat, ada, tak mungkin
diabaikan. Jorge Luis Borges menjelaskan bahwa Zahir
adalah seseorang atau sesuatu yang sekali kita mengadakan
kontak dengannya maka lambat laun akan memenuhi
seluruh pikiran kita sampai kita tidak bisa berpikir tentang
hal-hal lain. (Encyclopaedia of the Fantastic, 1953)

129

Beliau Tidak Benar-benar Pergi


Oleh Dita - Estehjumbo.tumblr.com

Pokoknya kalau IP kalian dibawah 2,75 kalian harus beli


buku yang saya suruh itulah pesan pertama beliau pada
waktu menjadi dosen waliku.
Masih terekam jelas suatu peristiwa saat aku menyerahkan
KRS-ku untuk semester 8.
Ini kenapa kamu ngambil TO lagi? Kamu nggak belajar ya
makanya ngulang? kata Pak Ino
Belajar Pak, tapi nggak bisa Bahasa Inggris jadi kesusahan
belajarnya.
Kalau kamu nggak bisa Bahasa Inggris kenapa kamu nggak
belajar sama Halida, Johan, Fikar, atau siapa temenmu yang
bisa.
Sudah les Bahasa Inggris Pak.
Terus kenapa masih ngulang? Mending kamu keluar ajalah
dari tempat lesmu kalau nggak dapet apa-apa.
Dapet pacar Pak!
Beliau tertawa mendengar jawabanku, Oh ini mesti garagara kamu pacaran terus.
Tiba tiba ada salah satu dosen lewat dan menyahuti
obrolan kami, Iyo pak seneni ae arek iku, galau terus. Mari putus
iku lho pak, statuse galau.
130

Pak Ino tertawa, gimana gimana ceritanya?


Aku garuk garuk kepala, ndak usah dong pak
Ayolah ceritaJarang jarang saya mau dengerin beginian.
kenapa kamu putus, cowokmu selingkuh ? jawab Pak Ino.
Masa iya cerita ke bapak. Kan malu, kataku.
Tiba tiba salah satu karyawan datang menghampiri pak Ino
untuk menyampaikan sesuatu. Pak Ino malah berucap, wes
engko ae, aku jek onok urusan karo arek iki.
Ayo cerita dong! lanjut Pak Ino
Aku menghela nafas panjang dan akupun mulai bercerita
tentang masalahku.
Kamu masih mau sama cowok model begitu?
Sayang, Pak.
Makan itu sayang. Sudah jelas cowok kayak begitu.
Harusnya kamu bersyukur putus dari cowokmu itu, kata
Pak Ino.
Aku diam.
Pelajaran apa yang bisa kamu ambil dari dia? tanya Pak
Ino.
Buat nggak terlalu percaya sama orang pak
GUOBLOK!!! Kalau kamu nggak percaya sama orang,
nanti pas kamu jadi pemimpin, bakalan hancur organisasimu
kalau anak buahmu nggak kamu percaya.
131

Pak aku diam sebentar, tadi aku bilangnya buat nggak


terlalu percaya Pak bukan nggak percaya
Oh iya ta? beliau tertawa.
Dit, jangan selalu mengunakan perasaanmu lah, pakai
logikamu. Gunakan akal berpikirmu biar kamu nggak
tersesat.
Justru itu pak, aku pakai dua-duanya makanya aku tersesat.
Pak Ino ketawa lagi Ya sudahlah gini aja, masalah yang
kamu hadapi ini, nggak seberapa dibandingkan masalah yang
kamu hadapi nanti di dunia kerja. Kalau masalah gini aja bisa
ngebuat keok, gimana nanti ?
Iya pak.
Hidup itu pilihan dan kamu yang menentukan pilihanmu
itu. Kamu mau hidup bahagia atau sebaliknya. Wanita itu
harus kuat. Kamu harus kuat biar nanti anak anakmu
bangga.
Bapak, aku tidak tahu hari itu bapak berbeda dari biasanya.
Biasanya kalau kita bertemu dalam suasana lain, mesti aku
diejek-ejek, digoblok-goblokin, dijitak, tapi hari itu beda.
Hari itu, pertama kalinya semenjak jadi anak walimu, Bapak
mengajakku bicara panjang lebar, mendengarkan ceritaku,
dan memberiku nasehat. Hari itu Bapak seperti bapakku
sendiri. Hari itu, Aku heran sekaligus takjub, seorang Ino
Yuwono yang terkenal killer dan keras bisa seperti itu. Ini
mungkin biasa bagi orang lain, tapi menurutku itu istimewa.
Waktu berlalu begitu cepat sampai akhirnya masuk tahun
2012. Pak Ino masih menandatangani KRS terakhirku. Ia
132

ketika itu masih menceritakan dengan bangga tentang Pak


Sam, Pak Bukik, Mas Aryo dan Mas Ardi. Beliau begitu
bersemangat menceritakan mereka.
Cepet dikelarin skripsinya. Nggak usah lama lama. Tahun
ini selesai.
Iya pak, Janji. Tahun ini selesai.
Bulan November 2012, aku masih bertemu Bapak. Pak Ino
keluar ruangan dosen dan menghampiriku. Hey ayo,
katanya mau lulus tahun ini? Kapan? ucap Pak Ino sembari
berlalu dari hadapanku tanpa sempat aku menjawab.
Bapak waliku, Terimakasih banyak untuk setiap ilmu dan
pelajaran yang bapak berikan. Terimakasih sudah mau
mendengarkan ceritaku waktu itu. Aku akan merindukan
bapak. Rindu bapak bilang GOBLOK, dijitak, dan rindu
dengan tawa khas bapak. Aku bangga pernah mengenal
bapak. Maaf untuk belum menyelesaikan skripsiku tahun ini
sesuai janjiku, tapi secepatnya akan segera aku selesaikan :)

DITA

133

Si Bocah Tua Nakal


Oleh Dimas Ade Irawan

A Little Flashback
Ino Yuwono, kami memanggilnya si Bocah Tua Nakal,
bukan karena kami tidak menghormatinya, tapi karena kami
kagum dengan pribadi dan tingkah lakunya.
Dibalik kesan killer-nya di kelas, si Bocah Tua Nakal bisa jadi
sangat jahil, mulai dari ngenyek mahasiswa, nyindir pedes,
sampai guyonan gak penting lainnya. Cara tertawanya yang
khas selalu ia tunjukkan setiap ia merasa puas melakukan
penghinaan dan pengolokan pada mahasiswanya. Oh iya, si
Bocah Tua Nakal juga adalah salah satu dari tiga dosen di
Psikologi yang kalau misuh terlihat sangat ikhlas dan
sepenuh hati.
Si Bocah Tua Nakal punya cara ngajar yang nyentrik dan
aneh pada jaman S1 dulu. Saat dosen yang lain menyuruh
kami membaca textbook yang tebal-tebal, si Bocah Tua Nakal
malah menyuruh kami membaca novel. Ada yang disuruh
membaca Chicken Soup-lah, novel ini, novel itulah, aku
kebagian novel Jurassic Park-nya Michael Crichton dan The
Celestine Prophecy.
Si Bocah Tua Nakal juga suka bikin aturan ketat yang nyeleneh
diterapkan di kelasnya. Mulai dari HP harus di-silent, siapa
yang HP-nya bunyi ketika di kelas harus bayar denda 50 ribu,
uangnya buat beli makanan untuk anak sekelas. Tidak boleh
titip absen. Ketahuan titip absen yang titip dan dititipi
langsung dapet E, kalau yang dititipi tidak mengaku, maka
134

sekelas langsung dapet E. Mengetik tugas salah ketik 5 kali,


langsung dapet E.
Jika bertemu dengan si Bocah Tua nakal ini untuk bertanya
tentang suatu materi, jangan pernah dengan kepala kosong.
Si Bocah Tua Nakal tidak akan menanggapi. Buku opo jurnale wis mbok woco durung? Lapo takok nek koen durung moco. Aku
emoh nanggepi wong males! Tapi si Bocah Tua Nakal juga orang
yang tidak pernah malu untuk mengakui kalau ia belum
menguasai sesuatu. Aku gak sepiro paham masalah iku, jajal
takoo nyang Bukik opo Rudi. Timbangane aku salah njelasno ne.
Si Bocah Tua Nakal juga senang jika mahasiswanya aktif
dalam kelas. Tapi kalau terlalu aktif dan banyak bertanya hal
tak penting dia juga bisa sangat sengak, Malu bertanya itu
memang sesat dijalan, tapi kalo kamu terlalu banyak
bertanya, itu namanya malu-maluin. Wocoen bukune, begitu
katanya.

A Little Fast Forward


Pengalaman terdekatku dengan si Bocah Tua Nakal adalah
saat aku dibimbing olehnya dalam pengerjaan tesisku.
Berikut beberapa kata-kata dari si Bocah Tua Nakal yang
berhasil aku rekam dalam otakku:
Aku mau jadi pembimbingmu dengan syarat. Tesismu yang
sudah jadi nanti aku kasihkan ke empat orang external reader.
Bukan cuma buat ngukur apa tesismu layak disebut thesis,
tapi juga buat ngukur apakah aku pantas disebut sebagai
pembimbing tesis yang baik. Wani gak koen? Nek wani ayo
digarap bareng.

135

Nyong, pahami tesismu seperti cerita silat yang seneng


kamu baca. Jangan belajar jurus-nya duluan. Pelajari Kokuat
(inti)-nya dulu
Kelebihanku dari kamu cuma soal aku sudah pernah nyoba
dan salah nerapin ini. Jadi aku tahu persis dimana letak
masalahmu. Coba kamu bengkokan sedikit pemahamanmu,
pasti lebih gampang kamu terapkan. Pertanyaannya kamu
ngerti gak harus membengkokan di area mana?
Bedanya yang jago akademis sama yang jago praktis cuma
masalah pemahaman. Si jago akademis paham konsepnya
dengan baik dan praktisi paham prakteknya di lapangan. Nek
iso digabungno kan apik. Akademisi yang juga praktisi. Jadi
benar-benar paham konsepnya dan tahu kapan harus
membengkokkan konsep. Akademisi sing cuma ngerti teori
dan gak tau praktek iku gak apik, apalagi praktisi yang cuma
tau praktik tapi gak paham teori dengan baik, bakal ajur
organisasine.
Jangan harap gara-gara aku jadi pembimbingmu terus kamu
dapat kemudahan buat lulus. Kualitasmu itu sama dengan
kualitasku.
Kalau
kualitasmu
jelek
berarti
aku
pembimbingmu ya jelek juga kualitasnya.
Aku pengen kamu bangga dapat gelar master. Bukan mastermaster-an tapi bener-bener master. Jadi ojo kaget kalo nanti
pas ujian kuliat kamu belum siap dapet gelar master, aku
minta kamu ujian ulang.
Goblok koen, ojok ngisin-ngisini Nyong, awakmu iku calon master,
mosok jawab ngene ae jek bingung?

136

Fast Forward Again


Sabtu, 8 Desember 2012, 6.50 WITA
Im on my way to see you

Hari ini aku khusus terbang ke Surabaya untuk bertemu


dengan si Bocah Tua Nakal, tapi pertemuan kali ini akan
terasa sangat berbeda dengan pertemuan-pertemuan kami
sebelumnya. Aku pergi kali ini untuk mengucapkan
terimakasihku yang sedalam-dalamnya atas semua yang telah
dia berikan kepadaku. Hari ini aku menemuinya bukan untuk
memberikan penghormatan terakhirku, karena rasa hormat,
bangga, dan cintaku padanya tidak akan pernah berakhir.
Semua akan selalu ada dan tersimpan dalam hati bersama
semua kenangan dan ilmu yang telah diberikannya.
Selamat jalan Bocah Tua Nakal. Semoga damai selalu
bersamamu. Aku dan semua muridmu akan selalu
merindukanmu.
Terimakasih Nyong. Terimakasih sudah jadi bagian indah
dalam perjalanan hidupku ya Nyong! SMS terakhir yang
kuterima dari Pak Ino ketika aku mengucapkan selamat
ulang tahun kepada beliau tanggal 25 Juli 2012. Seharusnya
aku yang mengucapkan terimakasih kepada Pak Ino waktu
itu. Terimakasih Pak Ino sudah membantuku membentuk
jalan indah hidupku sampai saat ini. Sekali lagi terimakasih

137

Untuk Guru yang Telah Pergi


Oleh Duniatanpasuara

Satu semester melewati perkuliahan dengan beliau, saya baru


merasakan bagaimana menjadi mahasiswa itu seharusnya,
Membaca dan Belajar!! Saya seolah dibangunkan dari tidur
saya untuk segera lari mengejar semuanya. Selama ini saya
hanya berada pada sebuah kenyamanan yang membuat saya
tidak maju dan berkembang. Beliaulah yang pertama
mengusik kenyamanan itu, hingga saya menyadari bahwa
saya berada jauh dibelakang. Memang diperlukan banyak
energi, banyak waktu, banyak nafas yang tersengal, dan
kegigihan untuk mencapai semua ketertinggalan itu.
Semester selanjutnya semakin banyak perkuliahan yang
mempertemukan saya dengan beliau, karena memang saya
memilih peminatan dimana beliau menjadi ikon dari
peminatan tersebut. Sampai saat semester ini, saya bertemu
dalam dua mata kuliah Teori Organisasi dan MSDM. Sebuah
ketakutan dan juga persiapan yang matang mengawali awal
perkuliahan karena saya tidak mau menghasilkan sesuatu
yang mengecewakan. Saya telah siap untuk membaca kitabkitab bahasa inggris dan juga siap menghadapi suasana
perkuliahan yang sudah bisa saya bayangkan. Suasana
perkuliahan beliau tidak selalu santai dan tidak bisa
diprediksi. Hal-hal itulah sebenarnya yang membuat kuliah
menjadi lebih berarti justru karena banyak hal yang tidak bisa
ditebak.
Namun, perubahan pada beliau telah saya rasakan hampir
satu semester ini pada dua mata perkuliahan. Beliau tidak
sekeras dahulu. Beliau lebih banyak tersenyum dan bercanda.
138

Beliau lebih banyak mengerti dan lebih banyak berdiskusi.


Saya merasakan hal itu.
Hingga suatu pagi di kelas MSDM, tiba-tiba beliau muncul
tanpa membawa apapun. Pada saat itu saya mengira bahwa
beliau akan marah dan akan mem-bully kami yang tidak bisa
menjawab pertanyaan dari dosen yang ada di kelas, tapi hal
itu tidak terjadi. Yang beliau lakukan adalah memberikan
wejangan-wejangan kepada kami tentang dunia kerja dan
tentang apa yang harus kita lakukan agar kita tidak terlena
dengan keadaan. Saat itu, beliau juga mengajarkan kepada
kami beberapa rumus statistik yang sepanjang ingatan saya
tidak pernah beliau lakukan. Hari itu saya merasa bahwa
beliau menjadi seorang ayah yang tidak menginginkan anakanaknya gagal dalam kehidupan. Hari itu ternyata adalah hari
terakhirnya untuk menyapa kami semua. Hari terakhirnya
untuk memberikan kami nasihat. Hari terakhirnya untuk
menyadarkan kami akan pentingnya belajar dan memahami.
Bapak, saya akan terus mengingatmu dan semua pesanmu.
Engkau memberikan pelajaran kepada saya bahwa
bagaimana orang itu akan tetap dikenang walau sudah tiada.
Bukan dengan mengikuti kemauan orang lain tetapi karena
prinsip kuat yang engkau pegang. Dengan pilihan yang
dipertanggungjawabkan, dengan cara-cara yang tidak biasa
dan dengan niat baik serta kebaikan dibalik semua tindakan.
Selamat jalan Bapak. Api semangatmu akan selalu saya jaga
untuk kebaikan.
And yes... It was your way.

139

Terimakasih, Pak
Oleh Edwin Nobo - @PemudaSehat

The ending is always a surprise -Daniel Wallace, Big FishSemua cerita pasti memiliki akhir. Dalam cerita tentang
kehidupan akhir tersebut adalah kematian. Semua tahu jika
pada akhirnya semua orang pasti akan meninggal. Namun
tidak akan ada yang mengetahui kapan dan bagaimana
seseorang akan meninggal. Hal itu membuat setiap kematian
selalu menjadi kejutan. Inconvenient Surprise yang selalu
membawa perasaan kehilangan.
Jujur saya tidak terlalu mengenal Pak Ino secara pribadi.
Kami hanya beberapa kali berinteraksi, kebanyakan diruang
kuliah dan beberapa interaksi diluar kuliah. Tetapi dari yang
sedikit itu, Pak Ino membawa pengaruh yang cukup besar
terhadap cara saya memandang hidup.
Sebagai Dosen, semua tahu beliau adalah pengajar yang
berdedikasi. Dengan semua sikap skeptisnya, dengan segala
kedalaman ilmunya. Beliau berhasil memaksa kami
memahami konsep. Membaca habis semua bab buku
berbahasa inggris. Menolak membagikan powerpoint
presentasi, hingga memaksa kami belajar sesuatu tentang
konsekuensi.
Materi tentang konsekuensi ini pernah kami anggap sebagai
hal yang sangat konyol karena segala kesalahan, baik itu tidak
bisa menjawab kuis, terlambat masuk kuliah, tidak bisa
menjawab pertanyaan ketika presentasi, hukumannya sama,
membawa makanan untuk seisi kelas di pertemuan
berikutnya. Mungkin sekarang hukuman itu terasa tidak
140

terlalu berat, tapi dulu ketika kami masih mahasiswa yang


punya uang saku pas-pasan, sekali kena hukuman itu bisa
berarti kami harus puasa dan mati-matian menghemat uang
bulanan. Kenyataannya metode beliau lumayan berhasil
memaksa mahasiswa paling malas sekalipun membaca buku.
Pertanyaan-pertanyaan skeptisnya membuat kami sadar
bagaimana untuk benar memahami dasar permasalahan
sebelum kami mengambil keputusan. Kami harus benarbenar paham konsep dasar sebelum kami berpikir tentang
penerapannya.
Apabila sedang berada diluar kelas, sosok beliau tidak terlalu
menakutkan, bahkan sangat egaliter dan tidak nyungkani
untuk diajak bergaul.
Beliau bahkan mengajari saya bagaimana memperlakukan
wanita. Ketika itu ada seorang mahasiswi yang sedang
menangis pasca meluapkan kemarahannya di akhir sebuah
acara kepanitiaan. Pak Ino mendatanginya dan dengan
lembut menenangkannya. Saya yang berada disebelahnya
kagum dan malu. Kagum dengan sikap beliau. Saya merasa
malu karena saya yang sedari tadi berada di sebelah
mahasiswi tadi hanya diam dan bingung, padahal sebenarnya
mahasiswi itu pacar saya. Pak Ino waktu itu melihat saya
yang kebingungan dan berkata kepada saya, Iki lho Bo, ojok
dijarno ae!. Hal itu memberi saya pelajaran berharga.
Sosok Pak Ino mengingatkan saya kepada Master Yoda
dalam film Starwars atau Master Sifu dalam film Kungfu
Panda. Paling ekstrim, sosok beliau kadang mirip dengan
Viru Sastrabudhi, atau Virus dalam film 3 Idiots, keras dalam
mendidik dan disiplin. Saya pribadi yakin sosok beliau ada
diatas ketiga tokoh tersebut dan saya mengidolakan pak Ino.
141

Terkadang cara beliau mengajar menyakitkan. Bagi yg


pernah merasakan pengalaman diajar beliau pasti merasakan
tamparan beliau. Beliau juga menampar kita dengan
kepergiannya yang tiba-tiba. Tapi saya menyadari sometimes we
need a slap in a face sebagaimana kata Paul Arden. Terkadang
kita memang butuh tamparan yang membangunkan kita.
The ending is always a surprise, tapi juga epic. Hari ini saya
melihat ratusan orang berjubel menghadiri pernghormatan
terhadap beliau. Artinya bukan hanya saya yang merasakan
pengaruh beliau. Pak Ino sudah menginspirasi banyak orang.
Mereka bangga pernah menjadi murid bapak. Saya bangga
pernah menjadi murid bapak.
Selamat Jalan Pak. Terimakasih atas semua pelajaran dan
ilmunya

PS: post ini di tuliskan sepenuhnya oleh @pemudasehat

142

Surat Yang Tidak Akan Pernah Sampai


Oleh Grace Susilowati Man Gracesusilowatiman.wordpress.com

Pertemuan pertama di kelas Asas-asas Manajemen (Asmen),


aku cuma merasa takut. Tapi apa daya, mataku rabun jauh
sehingga aku terpaksa nekat duduk di depan. Setelah kuliah
dimulai, aku baru merasakan kekuatan Bapak yang
sesungguhnya. Jujur Pak, buku Management The Basic yang
Bapak gunakan untuk mata kuliah Asmen adalah buku
pertama yang serius aku baca ketika kuliah di Psikologi. Itu
juga buku kuliah pertamaku yang paling lecek gara-gara
dicoret-coret. Aku merasakan takut, deg-degan, penasaran, tapi
nggak rela sekalipun bolos secara sengaja dalam kuliah Bapak.
Bapak punya magnet dalam membawakan perkuliahan.
Aku juga ingat keberanian Bapak memberikan nilai E untuk
mahasiswa sekelas, hanya gara-gara ada satu anak yang
bersuara saat tes mingguan hanya tersisa 1,5 menit. Kami
sekelas protes, Mengapa tes dibatalkan dan kami mendapat
nilai E hanya karena satu anak. Aku mendapatkan pelajaran
hidup dari Bapak yang pertama di hari itu. Bapak ingin
mengajarkan soal tanggung jawab sosial manusia atas semua
perilakunya. Bapak mengatakan, Satu perilakumu dapat
menyebabkan banyak orang lain susah. Bapak memberikan
contoh bahwa koruptor berbuat demi kepentingan
pribadinya dan tidak memikirkan konsekuensi bagi rakyat.
Bapak tidak ingin kami seperti itu, oleh karenanya mendidik
kami dengan nilai E sekelas. Aku marah dengan Bapak
waktu itu karena mendapatkan nilai E, tetapi sekaligus aku
kagum dengan nasihat Bapak.
143

Setelah selamat dari Asmen, aku nekat mengambil mata


kuliah PMDO. Di kelas ini, aku pun selalu bersembunyi dari
Bapak. Aku takut ditanya berapa IPK-ku. Aku takut juga
dengan berbagai pertanyaan lanjutan yang tidak kalah
menohok seperti, Dengan IPK segitu, sudah berapa buku
yang kamu baca sampai habis? (Jujur pak, cuma buku
Asmen di mata kuliah Bapak). Atau pertanyaan Bapak,
Berapa nilai statistikmu? Kalo bagus, apa itu mean?
Jangan dijawab rata-rata! Itu cuma bahasa Indonesianya,
dan sebagainya. Ya, aku takut sama Bapak. Sampai suatu
saat, Bapak bertanya kepadaku, Gimana ujian PMDOmu?
Isok? Aku kaget ternyata diantara 50 anak lebih di kelas
PMDO, Bapak sadar kalau aku adalah salah satu mahasiswa
Bapak.
Bapak benar bahwa manusia itu paradoks, ketika kecil ingin
dewasa, ketika dewasa ingin jadi anak kecil dan bertingkah
laku seperti anak kecil. Bapak lihat dari atas sana kan? Waktu
Bapak masih hidup, banyak sekali mahasiswa yang ngerasani
kekejaman Bapak di dalam kelas. Tapi sekarang ketika
Bapak sudah tiada, maka di twitter, di blog pribadi, di
Fakultas, bahkan di kamar masing-masing, semua orang
justru terpaku mengenang Bapak sambil meneteskan air
mata. Im one of them, Sir.
Sekarang, Bapak sudah pergi selamanya. Tidak akan ada lagi
yang memberikan inspirasi berbalut kata-kata setajam
pedang. Atau warning bahwa kita akan menjadi kuli di negeri
sendiri. Benih-benih inspirasi yang Bapak tabur mulai
tumbuh di hati kami. Entah kapan akan berbuah. Mungkin
buahnya dapat menjadikan Indonesia lebih baik seperti
impian Bapak. Rest in Peace, Pak Ino. Biar kami yang
mengambil tongkat estafetmu.

144

Terima Kasih, Pak Ino


Oleh Rovien Aryunia Rovien.com

Tulisan ini adalah bentuk penghormatan kepada guru hidup saya.


Awal pertemuan saya dengan Pak Ino adalah di tahun 2007
di Workshop Appreciative Inquiry yang digagas oleh Mas
Bukik. Saya belum mengenal beliau saat itu. Namun saya
tahu, beliau memiliki karakter yang kuat dan tegas.
Agustus 2010, saya kembali berjumpa dengan beliau pada
saat wawancara Calon Mahasiswa MPPO. Pertanyaan beliau
begitu mudah, namun setiap jawaban saya didebat habis
olehnya. Sehingga saya memutuskan untuk mengalah, diam
dan mencoba memahami apa isi dari kalimat yang
disampaikannya. Toh saya tidak akan menang melawannya
:D
Matrikulasi dengan beliau, saya masih bingung dengan
materi yang beliau sampaikan. Apalagi saya bukan berlatar
Psikologi plus juga hanya mantan mahasiswa dengan
pencapaian nilai sangat rata-rata. Pemikiran beliau yang
meloncat-loncat membuat saya harus berpikir keras
merangkaikan menjadi suatu gambar yang utuh. Satu hal
yang saya kagum dari Pak Ino, seluruh pertanyaan saya,
beliau bisa menjawab dengan pendekatan praktisi, bukan
akademisi.
Setiap pulang kuliah, saya bercerita pada suami, tentang
bagaimana sedikitnya ilmu yang saya miliki saat berhadapan
dengan beliau. Aneh! Pak Ino bisa menjawab seluruh
pertanyaan saya dari banyak sudut pandang. Jawaban beliau
menunjukkan betapa luasnya pengetahuan dan pengalaman
145

yang beliau miliki. Saya pun bertekad untuk belajar banyak


dari beliau.
September 2010, badai besar datang dalam kehidupan saya.
Kuliah MPPO yang terlanjur saya ambil, serta tugas-tugas
yang disiapkan oleh para pengajar banyak sekali dikaitkan
dengan tempat kerja. Saya (tiba-tiba) berstatus tidak bekerja
saat itu. Tugas yang dibuat dengan menganalisa suatu
kondisi di tempat kerja semakin mengiritasi diri saya secara
emosional. Saat itu, Pak Ino menunjukkan sisi humanisnya.
Beliau memahami ketika saya butuh waktu untuk
menganalisa disaat emosi saya tidak mendukung.
Saya ingat materi-materi yang beliau share kepada kami pada
kuliah pengembangan diri yang seolah menjadi jawaban
kondisi saya saat itu, terutama terkait kekuatan untuk
bertahan dan berdamai dengan keadaan. Materi tersebut
sangat menyentak saya dengan cara yang lain. Pendekatan
beliau memberikan motivasi yang sangat unik. Beliau paham
betul karakter saya yang tidak akan tersentuh dengan model
motivator salam super :D
November 2010, saya ingat betul ketika sering datang
terlambat karena interview. Beliau memberikan ijin kepada
saya, seolah ia paham betul arti pekerjaan yang menjadi
kebutuhan saya saat itu.
Desember 2010, saya diterima kerja disebuah perusahaan
local family business. Perubahan kembali terjadi, jadwal kuliah
Sabtu tidak bisa saya hadiri karena tempat kerja yang baru
menetapkan 6 hari kerja dan tidak memfasilitasi karyawannya
untuk mengikuti kuliah pada jam kerja. Saya diskusi dengan
Pak Ino. Sisi kebapakan beliau begitu tampak. Beliau
menyampaikan, Tidak apa-apa Rowen, yang penting kamu
146

belajar sungguh-sungguh. Semuanya bisa diatur. Pak Ino,


terima kasih atas pengertiannya :).
Banyak pesan kehidupan yang saya dapatkan dari beliau,
spirit belajar yang tidak boleh padam, membaca-membacamembaca, kekuatan menghadapi segala sesuatunya,
keberanian untuk selalu mempertanyakan status quo, berpikir
kritis dalam melihat sebuah fenomena, dan memahami
situasi yang sebenarnya.
Maret 2012, mata kuliah Kepemimpinan, Strategy
Management sampai Penguatan Kompetensi pun dilalui.
Saatnya penyusunan tesis. Saya mendapat banyak sekali
tantangan dari Pak Ino. Satu hal yang sampai hari ini saya
belum mendapatkan jawabannya yaitu padanan employee
engagement dalam budaya Jawa.
Saya baru tersadar dari tulisan-tulisan mengenai beliau,
ternyata
sehebat
apapun
kita
sebagai
seorang
OD (Organization Development), kita harus kritis dan kembali
ke budaya setempat yang menjadi akar. Tidak secara mudah
menerima sebuah tools baru dan menganggap tools tersebut
pasti baik untuk dijalankan.

Terima kasih Pak Ino.


Semoga Tuhan memberikan ketenangan dan tempat terbaik
disana.

147

Mengenang Dosenku Chris Ino Yuwono


Oleh Tita - Tisnovijanti.blogspot.com

Rabu 5 Desember 2012 saya menerima pesan dari rekan


masa kuliah yang menginformasikan bahwa Bapak Ino
Yuwono telah berpulang karena serangan jantung. Kaget
mendengarnya, walaupun saya pernah dengar beliau berapa
kali masuk rumah sakit karena bermasalah dengan
jantungnya.
Ingatan saya menerawang ke jaman masa kuliah di Psikologi
Unair 1984. Masa itu, Psikologi Unair masih merupakan
program studi Psikologi FISIP. Saya merupakan angkatan ke
dua sejak lahirnya program studi tersebut. Boleh dikatakan
itu angkatan babad alas dengan segala keterbatasan fasilitas
yang minim. Dengan rasa bangga menjadi mahasiswa
Psikologi Unair, saya melalui semester pertama perkuliahan
dengan kesan biasa-biasa aja. Semester II mulailah saya
mendapat mata kuliah yang lebih spesifik, salah satunya
adalah Statistik Psikologi 1 dimana Pak Ino adalah dosen
pengajar mata kuliahnya.
Pertama kali masuk kuliah tersebut agak kaget dan takut
dengan dosen yang bernama Pak Ino. Beliau meminta kami
mencari referensi buku karangan Guilfford dan Fergusson.
Kami menyebutnya dengan buku biru dan merah. Bisa
dibayangkan dengan kemampuan bahasa Inggris yang paspasan, kami dituntut untuk mempelajari buku statistik yang
berbahasa Inggris pula. Dengan terbata-bata dan susah
payah mengikuti mata kuliah tersebut saya akhirnya
mendapatkan hasil yang patut dibanggakan, yaitu nilai sisir
alias E. Mayoritas sekelaspun mendapat nilai D ataupun E.
148

Mau tidak mau saya harus mengulang mata kuliah tersebut


dan bertemu lagi dengan Pak Ino. Tetapi di semester
berikutnya saya menjadi lebih siap dan mulai tahu apa yang
diinginkan oleh beliau dari anak didiknya. Saya mulai
menyukai pelajaran Statistik. Pelajaran yang paling kuingat
sampai saat ini adalah mengenai skala N.O.I.R..yaitu skala
Nominal yang diskrit, Ordinal, Interval dan Ratio. Apa itu
Standard Deviasi atau standard error of measurement. Cara
Pak Ino mengajar membuat saya sampai detik ini tetap
mengingatnya.
Beliau juga memaksa kami untuk belajar menggunakan
Kalkulator Casio 3300FX. Ingat celotehan beliau pada kami
muridnya, Ayo nabung beli kalkulator, jangan pakai
kalkulator bakul jamu. Jaman itu program Microstat apalagi
program SPSS belum familiar. Saya sangat terkesan dengan
kuliah beliau, walau saya lulus mata kuliah tersebut dengan
nilai C.
Selanjutnya pertemuan dengan beliau berlanjut saat beliau
menjadi dosen pengampu mata kuliah Metode Penelitian
Psikologi. Mata kuliah ini memudahkan kami untuk
membuat skripsi, karena setidaknya dengan mata kuliah ini,
maka Metodologi Penelitian bisa kita persiapkan lebih dulu.
Untuk mata kuliah ini, saya mendapat nilai B dari beliau. Saat
itu saya merasa bangga. Itu juga berarti saya bisa melanjutkan
skripsi saya.
Pak Ino pernah menyindir kami soal penilaian mata kuliah
tersebut, Gampang aja saya memberi nilai buat kalian, kalau
hasil kerjamu saya taruh diatas kipas angin melayang berarti
tidak lulus. Atau artinya tugas metode penelitian yang kita
buat tidak ada isinya atau landasan teorinya kurang berdasar.

149

Interaksi saya dengan Pak Ino berlanjut saat beliau menjadi


salah satu dosen penguji skripsi, meskipun beliau bukan
dosen pembimbing saya tetapi Pak Ino dengan tangan
terbuka membantu memecahkan kesulitan saya terkait
metodologi penelitian dan olah data statistik. Tahun 1990
saya kemudian resmi dinyatakan lulus ujian skripsi.
Seiring dengan berjalannya waktu, saya lama tidak
berinteraksi langsung dengan beliau. Berkomunikasi hanya
melalui SMS setiap natal dan ulang tahun beliau yang jatuh
pada bulan Juli. Hingga pada bulan Agustus 2009 saya
mengikuti pelatihan Quantum Learning yang diadakan oleh
rekan-rekan APIO yang dimotori oleh Bukik, yang ketika itu
menjadi salah satu dosen muda potensial di Fakultas
Psikologi Unair. Saat itu, saya sempat berbicara lama dengan
Pak Ino, bagaimana beliau membantu dosen-dosen muda
untuk mendapatkan beasiswa tanpa harus menunggu
bantuan dari pemerintah, Kesuwen Ta'! kata beliau. Beliau
menginginkan kemajuan di Psikologi Unair. Jangan terpaku
pada beasiswa yang bahasa pengantarnya bahasa Inggris.
Kurang variatif nanti pola pikirnya. Siap sekolah, ya
berangkat aja semua!, tukas beliau. Beliau cukup senang
karena akhirnya ada salah satu dosen muda yang mendapat
beasiswa belajar di Rusia dengan menggunakan bahasa
pengantar Bahasa Rusia.
Yang tertancap di memoriku tentang Pak Ino adalah dia
yang nyentrik, yang penuh kritik sarkasme namun
membangun untuk murid muridnya. Selamat Jalan Pak Ino!
Semoga damai di sisi Tuhan!

150

Dia Tidak Pernah Membenci


Oleh Selly Leonita, Psi UA 2007

Janganlah sesekali berusaha meniruku, engkau adalah keagungan


kehidupan abadi. Surat wasiat Ino Yuwono
Sampai detik saya menuliskan ini, saya masih belum percaya,
bahwa seorang Ino Yuwono, Sang Bapak telah tiada. Saya
masih berharap, beliau ada di rumahnya yang damai,
menikmati hari sebagai dosen killer di Psikologi Unair seperti
biasa. Ya seperti sebelum 4 Desember tiba.
Saya kenal Pak Ino sejak awal saya masuk di Psikologi. Saya
adalah salah satu dari beberapa anak walinya di angkatan
2007. Dan saya tidak tahu apapun tentang beliau saat itu.
Waktu yang terus bergulir dan yang saya dengar selama saya
menjadi maba (mahasiswa baru) Pak Ino adalah Dosen terkiller di Psikologi. Banyak kasak kusuk tentang entah itu cara
mengajar beliau, cara beliau menghancurkan hati anak
bimbingan skripsinya dan banyak hal lainnya. Namun yang
paling penting saat itu, saya belum tahu apapun tentang Pak
Ino.
Hingga akhirnya tiba pada suatu waktu, dimana saya, anak
walinya yang tak tahu tentang Dosen Walinya ini harus
meminta tanda tangan beliau untuk pengisian KRS. Yap,
saya masih ingat, saat itu Psikologi masih ada di gedung
lama, dan ruangan Pak Ino di ruangan dosen notok belok
kanan dan paling pojok.
Seperti biasa, Pak Ino duduk sendiri memelototi Toshiba
yang sedang menyala.
151

Pak Ino permisi, mau minta tanda tangan KRS, Pak,


kataku.
Beliau menoleh, menatap saya, dan sejurus kemudian
terucaplah sebuah kalimat dari bibirnya, Kamu kalau mau
minta tanda tangan saya, nyanyi dulu. Mati aku! nyanyi?
dalam hatiku. Belum pernah saya sebelumnya meminta tanda
tangan dan harus bernyanyi.
Ini ada banyak lagu, kamu pilih yang mana? kata Beliau.
Setelah saya mencari lagu yang kiranya tidak
mempermalukan saya, saya memilih lagu lawas, Kemesraan.
Suara saya perlahan, tidak perlu keras-keras, karena tempat
saya bernyanyi di ruang dosen bukan di tempat karaoke. Dan
bla bla bla selesailah satu lagu Kemesraan tadi, dan Beliau
berkata, Nah, suara kamu bagus gitu loh. Heh, Yok, Ayok,
ini minta tanda tanganku ta suruh nyanyi dulu Yok.
Mungkin memalukan memang, tapi mau bagaimana lagi,
inilah Pak Ino.
***
Prosesi permintaan tanda tangan dengan pak Ino masih
lancar-lancar saja, sampai akhirnya saya masuk di semester 7.
Dimana saya mulai mengambil skripsi dan dua mata kuliah
dimana Pak Ino sebagai dosen pengajarnya.
Judul skripsi saya mungkin mengundang kontra, Pengaruh
Hubungan Seksual terhadap Stres Kerja. Saya sendiri juga
bingung, demi apa coba dulu saya mengambil tema seperti
itu. Dan yang paling ciamik adalah Pak Ino, dosen wali saya
itu, bertambah status menjadi dosen pembimbing skripsi
saya.

152

Dengan judul skripsi seperti itu, saya sendiri sempat


bingung, harus memulai semua dari mana? Saya bukan
mahasiswa yang pintar, atau mungkin selalu beruntung
selama ini. Mendapat dosen pembimbing seperti Pak Ino
jujur cukup menyeramkan buat saya. Hingga akhirnya saya
menghadap beliau, dan.... semua berjalan lancar, Pak Ino
bukan dosen killer yang menyeramkan, monster atau apapun
hal-hal mengerikan itu. Pak Ino adalah sosok pengajar yang
tidak ingin mahasiswanya bodoh. Pak Ino tidak pernah pelit
berbagi ilmu dengan mahasiswanya. Saat bimbingan skripsi,
beliau memberikan referensi buku-buku yang mendukung
tugas akhir saya, sangat membantu. Hanya saja cara yang
beliau tunjukkan berbeda dengan dosen lainnya.
Lalu bagaimana dengan bimbingan skripsi? Siapa bilang
bimbingan skripsi saya menyeramkan. Semua itu salah. Ya
walau kadang saat di kelas saya sering dijadikan bahan
olokan karena judul skripsi saya yang unik, aneh, atau
apapunlah itu. Bimbingan skripsi saya dengan Pak Ino,
sangat mengasyikkan. Sebenarnya saya tidak pernah
menghabiskan waktu yang lama saat bimbingan skripsi,
mungkin hanya sekitar 10 20 menit, namun saya baru
keluar dari ruangan beliau 2 jam kemudian.
Mungkin banyak orang bertanya-tanya apa yang kami
lakukan. Kami ngobrol ngalor ngidul. Pak Ino menceritakan
bagaimana kehidupan beliau saat dulu kuliah diluar negeri.
Atau ngobrol tentang pohong keju yang biasa dibawakan
Chacha, atau kami sama-sama tertawa setelah tahu kami
sama-sama berbintang Leo, sehingga kami bisa saling
mencocok-cocokan.
Ah, perjalanan singkat skripsi saya rasanya benar-benar
kurang kalau saya harus mengenal beliau lebih dalam. Dua
mata kuliah, TO & MSDM pun rasanya masih kurang
153

apabila harus diajar Pak Ino. Bagi saya, Pak Ino bukan hanya
dosen. Beliau adalah teman saya. Teman saya saat tiba-tiba
ingin ke kampus dan ngobrol ngalor ngidul tidak jelas. Beliau
bukan hanya guru, beliau adalah pendidik, pembawa
kebiasaan.
Hampir semua mahasiswa PIO mengetahui, TO & MSDM
yang selalu sarat akan kuis dan bacaan buku-buku tebal
berbahasa inggris. Pak Ino mengajarkan hal baik dimulai
dengan memberikan kebiasaan. Biasakan membaca semua
dari sumber asli, bukan hanya dari powerpoint yang di
presentasikan dosen, kata Pak Ino. Pak Ino tidak ingin anak
didiknya menjadi sarjana power point. Mendapat nilai A,
namun sebenarnya tidak mengerti tentang apa yang di
pelajarinya. Pak Ino membiasakan proses dari yang
terbawah, belajar dari sumbernya.
Jangan sebut nama Pak Ino Yuwono kalau beliau tidak
menerapkan disiplin di dalam kelasnya. Tidak ada coretan,
tidak ada tip-ex, tidak ada kesalahan tulis, tidak ada
menyontek. Semua hal, kebiasaan baik itu beliau tanamkan
saat ada di kelasnya. Beliau, seorang pencetus, pendidik dan
legenda.
Dua semester bukan waktu yang cukup untuk mengenal
beliau dengan dekat, saya senang bisa berbagi cerita dengan
Pak Ino. Ada satu hal yang benar-benar berharga buat saya.
Saat upacara Yudisium. Sebagai dosen wali seharusnya Pak
Ino menyerahkan pin kepada saya. Namun Pak Ino tidak
bersedia datang. Ya, saya telepon beliau saat itu
Pak Ino, ayo dong Pak. Saya nggak mau kalau saya
diwakilkan. Kan dosen walinya Pak Ino, kalau gitu Pak Ino
yang harus datang lah, kataku dengan melas.
154

Aduh Sel, males aku. Kamu sama Ayok aja deh. Atau kamu
pilih siapa? Seger? Sam? Ntar ta bilangane mereka.
Gak mau pak, pokoknya Pak Ino, gak mau yang lain. Titik.
Dan pada saat hari H, beliau menghubungi saya,
Sel, aku udah di kampus C ini. Kamu dimana?
Lha? Pak Ino, kan yudisiumnya di kampus B, gedung baru
pak..?
Loh, iya to.. waduh kamu ini, yawes aku kesana
Pak Ino hadir, beliau hadir di upacara Yudisium saya. Betapa
bangganya ketika nama saya dipanggil. Saat itu nama saya
dipanggil terakhir. Beliau maju ke depan dan merangkul saya.
Bapak saya, dosen, pendidik, dan teman ngobrol saya hadir
dan menyerahkan pin IKA UNAIR kepada saya. Saya
bangga dan sangat berterima kasih.
Pak Ino bukan hanya dosen bagi saya. Pak Ino adalah
seorang inspirator yang tidak minta bayaran. Pak Ino ada
sumber ilmu yang terus mengucur dan tak pernah enggan
membagikannya. Pak Ino adalah Bapak bagi semuanya. Pak
Ino adalah pembawa ketegangan sekaligus keceriaan. Pak
Ino adalah warna lain disaat semua berwarna senada.
Surabaya, 8 Desember 2012

Selly Leonita, Psi UA 2007

155

156

Tentang Menjadi Pendidik


Oleh Iwan W. Widayat di Notes Facebook

Hari ini adalah hari dimana telah dilangsungkan prosesi


penghormatan terakhir bagi mahaguru kami, Pak Ino
Yuwono, yang wafat empat hari lalu. Ratusan orang telah
hadir untuk memberikan penghormatan sejak di rumah duka
empat hari lalu, selama disemayamkan di rumah
persemayaman, hingga penghormatan terakhir di gedung
Fakultas Psikologi hari ini, sebelum diperabukan.
Telah banyak kisah ditulis tentang Pak Ino, telah banyak
kesan ditorehkan untuk mengenangkan kebajikan yang
beliau tebarkan. Tidak saja oleh para mahasiswa semester
satu yang baru kenal dengan beliau kemaren sore, tapi juga
oleh para alumni sejak angkatan pertama yang telah benarbenar menuai buah pendidikan yang beliau tanam bertahun
lalu. Bahkan orang-orang yang tidak secara langsung
mengenal beliau pun turut memetik pelajaran dari beliau.
Seorang yang besar memang akan dikenangkan dengan
beribu kisah tentang kebajikan, keteladanan, integritas dan
juga dedikasi yang tulus atas peran yang dipilih dan
dijalaninya dalam panggung sejarah. Namun sayangnya,
terkadang kita baru sadar telah memiliki orang besar yang
ketokohannya patut diperhitungkan, justru setelah beliau
meninggalkan kita.
Ini adalah pertama kalinya Fakultas Psikologi kehilangan staf
pengajar karena wafat. Pertanyaan besar yang menghantui
pikiran saya adalah, apakah setiap dosen yang meninggal
nantinya akan diperlakukan sama dan diberikan
157

penghormatan yang sama seperti beliau oleh para mahasiswa


dan alumni? Apakah saya akan mendapat perlakuan yang
sama jika saya yang meninggal? Mending jika saya meninggal
dalam keadaan masih aktif sebagai staf pengajar, mungkin
masih ada yang ingat dengan saya. Lha kalau meninggalnya 5
atau 10 tahun setelah pensiun? Seberapa banyakkah alumni
atau mahasiswa yang akan melayat saya? Seberapa banyak
kisah akan dituliskan mengenai saya? Seberapa banyakkah
orang yang merasa kehilangan dengan kepergian saya?
Sungguh ini pelajaran berharga mengenai bagaimana menjadi
seorang pendidik. Pendidik yang bisa memberi inspirasi dan
mengetuk jiwa peserta didiknya, bahkan hingga jauh setelah
lulus dari bangku kuliah. Saya jadi ingat pertanyaan reflektif
dari Pak Jangkung Karyantoro pada saat pembinaan dosen
muda, what kind of lecture you prefer to be? Kamu akan
menjadi dosen yang kayak gimana? Apakah saya akan
menjadi dosen yang sangat ditunggu-tunggu kapan
pensiunnya dan kapan matinya, ataukah menjadi dosen yang
tidak akan pernah lekang di hati para mahasiswa, meski telah
pensiun atau mati.
Pak Ino telah memilih jalannya, menjadi lecturer
sebagaimana ia dikenal dan akhirnya dikenang oleh banyak
orang. Beliau telah membuktikan dedikasinya kepada dunia
pendidikan dan menunjukkan kualitas perannya sebagai
seorang pendidik. Memang kita bisa dengan mudah
mengatakan Good teacher explain, Great teacher Inspire tapi
prakteknya sungguh tidaklah mudah. Pertama-tama kita
harus punya kesungguhan sebagai pendidik, bukan sekedar
sebagai pengajar (apalagi sekedar sebagai pegawai
kemendikbud golongan III atau IV). Mendidik dan
mengajar, meskipun keduanya saling terkait dan tak
terpisahkan, namun memiliki tujuan yang berbeda. Dalam
bahasa Ki Hadjar Dewantara, pengaruh pengajaran
158

umumnya memerdekakan manusia atas kehidupan lahiriah,


sedangkan kemerdekaan hidup batiniah terdapat dalam
pendidikan. Pendidikan juga sangat erat kaitannya dengan
kebudayaan, karena pendidikan pada hakekatnya adalah
proses pembudayaan. Dengan demikiandalam bahasa Pak
Inomendidik adalah menjadikan manusia menjadi
beradab.
Pak Ino adalah teladan yang baiksekaligus ekstrem
dalam menjadikan pendidikan sebagai wadah pembudayaan.
Fokus beliau adalah kepada hasil dan proses pendidikan,
bukan melulu pada cara mengajar. Jika suatu cara mengajar
tertentu dianggap merupakan proses yang perlu dalam
mencapai hasil pendidikan yang ideal (baca: menjadikan
peserta didik lebih berbudaya dan beradab), maka beliau
akan lakukan. Dan itu menjadi style beliau, menjadi brand
beliau, yang terkenal diantara para mahasiswa sekaligus
terkenang diantara para alumni. Beliau pernah menyentil
saya dengan suatu pertanyaan sulit (terus terang agak sulit
menjawabnya, karena itu bersifat kasuistik), Wan.. koen lak
wong pendidikan ta, oleh gak menggunakan cara-cara biadab,
untuk membuat orang jadi beradab... Saya menjawab
normatif saja, bahwa itu boleh saja, kalo Pak Ino yang
melakukannya, karena beliau pasti akan melakukannya
dengan tulus untuk mendidik dan membangun karakter
mahasiswa, bukan justru untuk membunuh karakternya..
Ibarat belajar main golf (saya bukan pemain Golf, hanya
melihat saja dari film Tin Cupnya Kevin Costner), orang
harus fokus pada posisi target (bukan pada bolanya),
kemudian mengayunkan tongkat hingga bola melesat jauh ke
arah target. Fokus pada tujuan, kemudian menentukan cara
yang tepat untuk mencapainya. Disini, hasil dan proses
menjadi sama-sama penting. Untuk itu pertanyaan mendasar
Pak Ino pada setiap kesempatan selalu berkaitan dengan
159

tujuan dari pilihan tindakan kita. Mengapa kamu ngotot


melanjutkan studi ke Jerman, kok tidak ke India atau Jepang?
Mengapa memilih studi psikologi, bukannya sejarah atau
arkeologi, sesuai dengan passion kamu? Pertanyaanpertanyaan sulit yang sebenarnya mendasar sekali, karena
jawaban dari pertanyaan itu akan menentukan bagaimana
cara mencapainya.
Pak Ino juga adalah teladan yang baik tentang kegigihan dan
ketekunan dalam belajar. Bukannya merasa semakin tua,
semakin ahli dan tidak lagi perlu belajar. Bukan juga merasa
semakin tua sudah tidak kuat lagi belajar atau baca buku
banyak-banyak. Beliau adalah penggemar bacaan-bacaan
bermutu. Beliau juga pemburu e-book dan e-journal yang
handal, bukan cuma untuk dibagi-bagikan kepada orang lain
agar kelihatan baik hati, tapi terlebih adalah untuk dibaca.
Sekali lagi, untuk dibaca. Tak jarang beliau kemudian berbagi
apa yang telah dibacanya, kepada para kolega, kepada para
mahasiswa di kelas ataupun kepada para alumni yang datang
bertandang ke bilik beliau di kampus. Dari situ lalu ada
diskusi-diskusi,
perdebatan-perdebatan,
dan
timbul
kegelisahan pemikiran yang meresahkan. Begitulah cara
beliau belajar dan membuat orang lain juga belajar: dengan
memantikkan api yang lalu mengobarkan rasa penasaran
untuk mencaritau informasi dan belajar lebih dalam. Selalu
ada topik-topik yang baru untuk diperdebatkan dengan
beliau.
Pernah suatu saat saya berdiskusi dengan beliau tentang
cetbang Majapahit. Bahwa perang di Jawa pertama kali yang
menggunakan meriam adalah perang antara Raden Wijaya
dengan Jayakatwang dari Kadhiri. Meriam kecil (cetbang)
yang digunakan adalah milik pasukan Tar-Tar yang menjadi
sekutu Raden Wijaya saat itu. Inilah cikal bakal cetbang
Majapahit. Meriam itu pula yang dipakai pasukan Tar-Tar
160

ketika menyerbu Romawi pada periode yang hampir


bersamaan. Teknologi meriam ini akhirnya berkembang
pesat di Romawi Timur (Bizantium). Ketika penjelajah
Eropa datang ke Banten dan Sunda Kelapa beberapa abad
kemudian, mereka sudah punya meriam-meriam besar,
mengalahkan cetbang-cetbang kita. Kesimpulan saya adalah
bahwa kita kalah dalam teknologi metalurgi dibandingkan
bangsa-bangsa Eropa. Apa kata komentar Pak Ino? Koen
ngawur ae.. lha prasamu wong Jowo nggawe keris iku gak nggawe
teknologi metalurgi tinggi ta? Iku malah luwih maju metalurgine
timbangane wong Eropa. Kamu tau kenapa? Kamu tau
bahannya keris? Mereka pake logam dari meteorit, tidak
sembarangan bisa didapat dan tidak sembarangan orang bisa
buat. Apane sing luwih maju Eropa iku. Sejurus setelah itu,
saya langsung cari buku tentang keris di gigapedia, dan
ternyata keris yang bagus memang pamornya terbuat dari
kandungan logam yang ada dalam meteorit, yang artinya
bahwa orang jaman dulu memiliki keahlian mengolah logamlogam luar angkasa, dan Pak Ino tahu hal itu, dibandingkan
saya yang katanya orang Jawa. Pelajaran penting dari hal itu
adalah, terkadang kita memandang remeh potensi bangsa
sendiri, dan lupa bahwa sebagai bangsa kita juga memiliki
kekhasan yang patut digali untuk menjelaskan berbagai
fenomena psikologis, sebagai pembanding dari gagasangagasan Barat. Hal itu yang belakangan ini beliau dengungdengungkan, bahwa kita harus kembali kepada akar-akar
budaya sendiri, untuk menemukan penjelasan yang lebih
kontekstual dan membumi terhadap berbagai fenomena
psikologis. teko endi nek pohon rodok ke kiri, orangnya cenderung
ke masa lalu.. mbelgedhes aa.. opo bedane karo primbon jowo...
whewww..
Saya juga selalu kagum dengan reading habit beliau yang luar
biasa. Ketika mewajibkan mahasiswanya untuk membaca,
pada dasarnya beliau juga suka membaca. Mulai Fritjof
161

Capra, hingga Dan Brown dan Khoo Ping Hoo. Disini saya
melihat ada keteladanan. Tidak sekedar nyuruh-nyuruh baca,
tapi yang nyuruh gak pernah baca atau malah gak suka baca.
Berkaitan dengan kebiasaan membaca ini, memang bukan
setahun dua tahun ini saja beliau ngotot meminta
mahasiswanya untuk membaca. Tidak hanya membaca, tapi
terutama adalah membaca buku (bukan fotokopian catatan,
atau print-print-an power point). Tidak hanya membaca buku,
tapi yang lebih penting adalah membaca buku-buku yang
bermutu. Jaman saya kuliah tahun 1994, pengaruh kebijakan
Pak Ino selaku (mantan) Ketua Program Studi Psikologi
masih cukup terasa. Ada satu program yang disebut dengan
PWBB (Program Wajib Beli Buku), dimana setiap mata
kuliah memiliki paling tidak satu buku acuan pokok yang
dipakai di kelas. Bukunya bahasa Inggris. Semua mahasiswa
diwajibkan membeli buku yang direkomendasikan oleh
pengajar, tidak boleh fotokopi, dan semuanya berbahasa
Inggris. Kalau ketahuan masuk kelas bawa buku fotokopian,
atau buku asli tapi yang tembre, pasti akan dilempar oleh
beliau, Buku ecek-ecek ngene kon gowo mrene..
Beruntunglah waktu itu buku berbahasa Inggris masih relatif
terjangkau, karena kurs dollar juga masih sekitar 2000an,
sehingga tidak terlalu memberatkan. Sebagai gambaran,
buku-buku yang dipakai mahasiswa semester 1 pada waktu
itu adalah Psychology: Themes and Variation karya Weiten,
harganya Rp. 55.000, atau Exploring Social Psychology karya
Myers, harganya Rp. 33.900, terus ada lagi Physiology of
Behavior karya Carlson, harganya Rp. 57.900, dan masih
banyak lagi. Sebagai bandingan, harga mie duk-duk waktu itu
adalah Rp. 1000 per porsi dan angkot lijn P, JoyoboyoKarang Menjangan taripnya Rp. 300. Buku asli full colour
yang wajib beli itu memberikan keasyikan tersendiri untuk
dibaca (dan juga menjadi kebanggaan mahasiswa tua
beberapa tahun kemudian, ketika mengulang suatu mata
162

kuliah), terutama buku Weiten yang menjadi buku pokok


mata kuliah Psikologi Umum I dan II, dimana pengajarnya
adalah Pak Ino. Meskipun harus berdampingan dengan
kamus, dan buku catatan (untuk mencatat kata penting),
namun setelah 2 semester berdarah-darah, akhirnya terbiasa
juga membaca text-book Bahasa Inggris, bahkan buka usaha
translate-an buat nambah uang saku.
Antara pertengahan tahun 1995 hingga awal-awal 1996
kampus psikologi dilanda perpecahan. Proses transisi dari
Jurusan di bawah FISIP menjadi Fakultas yang mandiri
setahun sebelumnya masih menyisakan persoalan yang
memuncak pada perseteruan, hingga mundurnya beberapa
dosen. Isu-isunya mengatakan bahwa kebijakan pimpinan
yang baru tidak sejalan dengan beberapa dosen senior. Isu
yang lebih ngeri mengabarkan adanya perseteruan antar
bendera dan ada keterlibatan organisasi intelektual yang
berbasis agama, dimana Rektor Unair waktu itu menjadi
salah satu pendirinya. Benar tidaknya teori konspirasi ini,
saya tidak pernah tahu. Yang jelas, belakangan saya baru
tahu bahwa krisis-krisis tersebut telah ikut menghambat Pak
Ino untuk melanjutkan studi doktoralnya ke luar negeri. Ada
rumor yang mengatakan bahwa ijin belajarnya dipersulit
karena beliau ada dalam daftar orang-orang yang tidak
disukai para petinggi negeri. Inilah barangkali alasan kenapa
beliau selalu mendorong murid-muridnya untuk sekolah
lebih tinggi, kalau perlu ke luar negeri, agar mendapatkan
pendidikan yang bermutu. Concern beliau terhadap
pentingnya pendidikan, tidak hanya ditunjukkan dengan
mendorong para kolega junior untuk melanjutkan studi,
bahkan anak-anak dari pembantu rumah tangga beliau pun
beliau yang menyekolahkan.
Beberapa tahun terakhir ini situasi politik kampus memang
sudah lebih kondusif, dan beliau tak henti mendorong
163

dosen-dosen muda untuk mencari peluang dan kesempatan


belajar ke luar negeri. Perbedaan pandangan dengan para
kolega, bahkan dengan pimpinan pada masa lalu, memang
sempat membuat beliau terlempar dari pusaran aktivitas
kampus. Namun hal itu tak mengecilkan tekad beliau untuk
terus mengabdikan diri sebagai pendidik. Saya takjub bahwa
seorang yang aktivitas dan kajiannya berada di seputar
bidang industri dan organisasi seperti beliau, justru memiliki
visi pendidikan yang demikian luhur, dan telah lama
menerapkan ajaran Ki Hadjar Dewantara bahwa manusia
tidak saja perlu diajar supaya pinter, tapi juga perlu dididik
supaya beradab..
Di penghujung tulisan ini, saya kutip catatan Pak Ino yang
tadi pagi dibacakan pak Made (Ketua Apsilangga) dalam
upacara penghormatan terakhir di Fakultas:
Aku mencintai pendidikan. Aku suka mendidik. Berapapun
biaya yang dibutuhkan untuk melakukannya. Meski aku
seolah menjadi monster ganas yang ditakuti orang. Meski
aku seolah berada di puncak gunung, sendiri dan sepi.
Cintaku pada pendidikan melampaui itu semua. Mendidik
adalah panggilan hidupku.
Selamat jalan, Pak Ino..
Integritas dan totalitas bapak dalam mendidik akan selalu
menjadi teladan dan inspirasi bagi saya.

164

Sang Christophorus, Sang Daniel,


Sang Professor: Ch Daniel Ino Yuwono
Oleh Jony Eko Yulianto - Jonyekoyulianto.com

Psikologi Airlangga berduka. Almamater kebanggaan saya


baru saja kehilangan dosen terbaiknya. Cristophorus Daniel
Ino Yuwono. Beliau pergi dengan segudang prestasi, jasa,
kharisma, dan teladan keilmuan yang sedemikian kuat. Beliau
pergi sebagai salah satu pendiri fakultas, dewan pakar
Asosiasi Psikologi Industri Organisasi Indonesia, kepala
departemen Psikologi Industri dan Organisasi, konsultan
profesional bidang Psikologi Industri Organisasi dan,
(meminjam terminologi Rahkman Ardi), sebagai profesor
tanpa gelar.
Jika fakultas hendak memberikan penghargaan life-time
achievement untuk guru terbaik yang pernah ada, tidak keliru
apabila gelar agung itu disematkan kepadanya. Betapa tidak,
ia telah mendidik banyak orang yang pada akhirnya juga
berhasil menjadi guru yang tidak kalah hebat. Beberapa
mahasiswanya kini sukses menjadi dosen, baik di Airlangga,
maupun di institusi yang lain. Sebagian mahasiswanya
bahkan dipercayakan menjadi dekan dan pimpinan program
studi. Bahkan, ada juga yang sukses menjadi profesor.
Ino Yuwono adalah Christophorus. Tidak banyak yang tahu,
nama ini diambil dari seorang Santo yang berasal dari
Kanaan. Santo yang rendah hati, dan tercatat sebagai seorang
pekerja keras. Christoporus dikenal karena keinginannya
yang kuat untuk menjadi pelayan yang militan. Suatu ketika
165

ia bertemu dengan seorang raja yang berkuasa dan membuat


semua rakyatnya takut. Christophorus pun ingin menjadi
pelayan raja. Namun setelah ia menjadi pelayan raja, ia
mengetahui bahwa sang raja rupanya takut dengan iblis.
Maka Christophorus memutuskan ia ingin menjadi pelayan
Iblis. Tak dinyana, Iblis takut dengan Yesus. Ia pun ingin
menjadi pelayan Yesus. Yesus pun memintanya untuk
berpuasa dan berdoa. Namun, Christophorus menolak. Ia
merasa tak sanggup. Maka, Yesus pun memintanya untuk
menolong setiap orang yang ingin menyeberang sungai
dengan
aliran
arus
yang
deras.
Christophorus
menyanggupinya.
Suatu saat seorang anak kecil datang dan meminta tolong
Christophorus untuk menyeberangkannya. Christophorus
pun menggendongnya dan berjalan menyeberangi sungai
deras itu. Ketika sampai di tengah sungai, ia mendapati arus
semakin deras. Namun ia tak menyerah. Sampai di ujung sisi
sungai yang lain, anak itu berkata bahwa ia adalah Yesus.
Yesus senang dengan apa yang Christophorus lakukan.
Yesus berkata bahwa keberaniannya menerjang bahaya
sesungguhnya telah menggambarkan bentuk pelayanannya
kepada Yesus. Setelah itu Yesus menghilang.
Ino Yuwono adalah Daniel. Tidak ada yang tidak
mengenalnya. Ratusan ribu manusia telah memilih
menggunakan nama indah Daniel. Daniel adalah seorang
pemuda Ibrani yang berdomisili di Babilonia. Ia sosok yang
terkenal cerdas dan penuh integritas. Ia adalah satu diantara
empat pemuda yang berani menolak perintah Raja
Nebukadnezar untuk menyembah patung buatannya dan
mengingkari Tuhannya. Ia berani tak memperdulikan
perintah Raja Darius yang memberikan larangan untuk
berdoa kepada Tuhan disaat Daniel memiliki kebiasaan
untuk berdoa tiga kali sehari. Ia dihukum masuk ke goa
166

singa. Namun Daniel mampu menaklukkan Singa. Ia mampu


menafsirkan mimpi Raja Nebukadnezar dan Raja Belsazyar
dengan pertolongan Tuhan. Sekalipun interpretasi mimpinya
adalah bencana dan berbagai kejadian pahit yang harus
dialami rajanya. Daniel tidak minum anggur dan makanan
yang tak kudus. Ia hanya makan sayur. Ia adalah satu-satunya
intelektual kelas wahid yang tetap dipakai di 4 pemerintahan
berbeda raja Babilonia: raja Nebukadnezar, Raja Darius, Raja
Belsazyar dan Raja Koresh.
Saya sangat percaya, bukan tanpa alasan bapak Ino Yuwono
memilih dua nama tersebut sebagai nama baptisnya. Ia tahu
persis dan menyadari sepenuhnya bahwa ia memiliki
panggilan hidup untuk mengajar sebagai bentuk
pelayanannya kepada Tuhan. Ia adalah Christophorus. Tak
peduli seberapa besar arus sungai yang harus ia lewati untuk
mengantarkan anak-anak didiknya kepada tujuan, ia tak akan
menyerah. Ia tak akan membiarkan anak-anaknya menyerah
dan terhanyut ke dalam arus yang kejam. Itu sebabnya ia
tetap bertahan, tak mau pergi di saat semua koleganya
pendiri fakultas memilih hengkang. Ini tidak semata-mata
karena pekerjaan. Ini tentang pelayanan. Ini untuk Tuhannya.
Ino Yuwono adalah intelektual. Ia disegani. Ia adalah Daniel.
Sebagaimana Daniel yang mampu menafsirkan mimpi
Nebukadnezar dan Beltsazyar, ia berusaha menerjemahkan
visi fakultas ke dalam cara mengajarnya. Sekalipun cara
mengajar yang tidak populer, kasar, bahkan cenderung
sarkastik dan seakan diinterpretasikan sebagai bencana oleh
para anak didiknya. Saat saya aktif di Unit Penelitian dan
duduk di sebuah spot yang bersebelahan dengan ruangannya
di gedung fakultas lama, tak jarang saya mendengar suaranya
yang lantang. Ia mendidik semua mahasiswa bimbingannya
dengan sangat keras. Ia tak segan menyuruh mahasiswa
167

bimbingan tesisnya kembali pulang karena salah menjawab


mana yang tepat: "yang valid pasti reliabel" atau "yang
reliabel pasti valid".
Ia adalah Daniel, yang tetap diakui kapabilitasnya sebagai
ilmuwan psikologi sejati. Tak peduli siapapun yang menjadi
pimpinan tertinggi. Ia tetaplah memiliki pesona
sebagai leader. Ia tetap mempesona dengan kharismanya. Ia
adalah Daniel, yang tak mau menjilat untuk kepentingan
popularitasnya. Ia berketetapan menjadi Daniel yang
memilih untuk dibenci, ketimbang harus disukai namun
dengan penghormatan semu.
Suatu kali saya sedang bertugas membagikan kuesioner
evaluasi dosen sebagai petugas jaminan mutu fakultas. Saya
mendapati ia berkata kepada para mahasiswa di kelas Teori
Organisasi, "Jika kalian tak suka dengan cara mengajar saya,
silahkan rating saya dengan nilai rendah. Tak masalah bagi saya
ditempatkan sebagai dosen yang berada di peringkat
terbawah", sambil melirik pada saya.
Namun, tiga periode bekerja bersama Mbak Ira, tidak pernah
saya mendapati hasil evaluasi beliau di peringkat bawah.
Sebaliknya, Pak Ino selalu ada di jajaran dosen terbaik.
Mahasiswanya telah jatuh cinta rupanya. Entah karena
memang cinta, atau karena memang cinta yang terkondisi
karena memang terlalu sakit, sebagaimana terjadi pada
penderita "Stockholm Syndrome". Haha.. Evaluasi kualitatifnya
pun positif. Tak ada yang meragukan kapasitas
intelektualnya. Tak ada keluhan mengenai materi yang
kurang jelas. Kecuali beberapa yang mengomel mengenai
J'Co dan semua upeti yang harus dibawa. Hehe..
Ino Yuwono. Di mata saya, ia adalah guru. Ia memiliki
kemampuan hardskill, kualitas interpersonal, pedagogis,
168

bahkan andragogis dengan sama baiknya. Ia tahu cara


menemukan potensi anak didiknya, untuk kemudian dididik,
dan dimatangkan. Ia adalah matahari. Departemen PIO
dipimpinnya selama beberapa tahun dan menjelma sebagai
kekuatan yang disegani. Ia mampu mengayomi dan
membuat sebuah tim kerja dalam departemen yang solid.
Kekuatan yang sangat saya mampu rasakan, bahkan sebagai
mahasiswa dengan peminatan non-PIO saat itu.
Di luar institusi, ia adalah respected scholar yang tak
terbatahkan. Fathul Himam, pengajar yang tergabung di
departemen PIO UGM yang notabene supervisee dari John W.
Cresswell, pernah mengatakan pada saya, "Jika ada sarjana
dari Psikologi Airlangga peminatan Psikologi Industri-Organisasi dan
melanjutkan masternya di UGM dengan peminatan yang sama, saya
pastikan ia salah mengambil keputusan. Bukankah Unair punya
Yuwono?"
Kini, ia telah pergi. Namun memang benar bahwa ia
sesungguhnya tak pernah mati. Sang Christophorus, Sang
Daniel, ia masih hidup dan tinggal di hati kami..

Rest in Peace, Guru..

169

Moksanya Sang Pendekar Pendidikan:


A Tribute for Ino Yuwono
Oleh Bobby Hartanto Desember 20120

Salah satu buku yang gemar dibaca oleh Mas Ino adalah
buku-buku silat ala Kho Ping Hoo. Dia bilang dari bukubuku itu banyak pelajaran tentang konflik, dendam,
kesantunan, penghormatan dan yang paling penting tentang
kekerasan hati untuk belajar supaya jadi pendekar tak
terkalahkan.
Namun umumnya pendekar jago untuk dirinya sendiri.
Jarang ada kisah yang bercerita tentang pendekar yang
mampu menghasilkan generasi penerus yang juga jadi
jagoan. Ino lah si pendekar yang jarang itu. Tidak hanya dia
yang jagoan, tapi dia juga telah menghasilkan jagoan-jagoan
lain yang jumlahnya tidak sedikit.
Perjumpaan pertama saya dengan Sang Pendekar ini terjadi
dalam sebuah konferensi Asosiasi Psikologi Industri
Organisasi di Bandung. Saya sempat menyaksikan beliau
menjadi moderator untuk sebuah sesi. Di situ saya
menyaksikan bagaimana lugasnya beliau sebagai moderator.
Ada seorang peserta yang mengajukan pertanyaan yang
diawali dengan pembukaan yang sangat panjang lebar.
Pendekar satu ini lalu berdiri, membawa mic mendatangi si
penanya dan berkata: Jadi pertanyaannya apa mas??
Langsung, straight to the point. Jurus yang langsung mematikan
kembangan lawan.

170

Dalam banyak cerita-cerita silat sering digambarkan


bagaimana seorang yang tadinya biasa-biasa saja, namun
dengan pengamatan dan kemauan belajar yang luar biasa bisa
menjadi pendekar tak terkalahkan di kolong langit. Mereka
bisa banyak belajar dari hal-hal sekitarnya dan mengubahnya
jadi sesuatu yang sangat dahsyat. Mungkin kita pernah tahu
jurus ular, harimau, tendangan angin putting beliung, dsb.
Itu juga yang beliau ceritakan pada saya pada waktu bicara
tentang pembuatan alat ukur diagnostik. Berawal dari
kesukaan atau pengamatan terhadap para pemain kartu
domino di kampus Unair, beliau mengatakan bahwa
sebenarnya permainan domino ini bisa dijadikan alat ukur
diagnostik. Dalam permainan ini, kita bisa melihat
bagaimana orang mengambil keputusan, membuat perkiraan,
menggunakan strategi tertentu, sampai dengan masalah
integritas untuk mengintip kartu orang lain atau tidak.
Sebuah ide yang menurut saya liar, bersahaja tapi bukan
tidak mungkin diwujudkan kelak.
Sang Pendekar ini juga sangat teliti. Tidak dibiarkannya
dirinya lengah atas segala hal yang tampaknya tidak
berbahaya, tapi bisa mendatangkan malapetaka di kemudian
hari. Pernah dia berkata bahwa istilah predicting dalam
meramalkan perilaku manusia tidak tepat. Begitu banyak
variabel yang mempengaruhi manusia sehingga sungguh sulit
membuat prediksi tentang manusia itu sendiri. Istilah yang
lebih tepat digunakan menurut beliau adalah forecasting.
Karena dalam forecasting variabel yang berperan sangatlah
banyak dan sulit untuk digambarkan dinamikanya. Misalnya
pada forecasting tentang cuaca. Meramalkan perilaku manusia
dengan istilah prediction hanya meredusir kompleksitas
manusia itu sendiri.
Pendekar yang baik juga selalu tahu mengapa dia melakukan
sesuatu hal. Semua perilakunya bertujuan, bukan asal. Beliau
171

pernah berpesan pada saya untuk tetap berkecimpung di


dunia pendidikan dan mendidik dengan benar, supaya saya
bisa dengan tenang menjawab pertanyaan tegas beliau,
Kalau bukan dari kita yang mulai, whos gonna teach your
children in the future? Mampus! Jurus mematikan lagi Mas.
Ketika semua orang mengkhawatirkan pendidikan anaknya
kelak, dan ribut dengan semua wacana, Pendekar satu ini
justru sudah berbuat. Menyiapkan pendekar-pendekar
pendidikan masa depan.
Pendekar dalam cerita silat tidak selalu mencari musuh.
Mereka juga membina persahabatan. Demikian juga
pendekar yang satu ini. Saya dan istri pernah diajak untuk
makan dim sum terenak di Surabaya katanya. Tapi harus pagi
dan beliau terlambat bangun. Akibatnya karena kelaparan
kami makan breakfast di hotel, dan beliau muncul, langsung
mengajak makan bareng. Wah akhirnya kami makan dim
sum dengan perut yang masih kekenyangan. Tapi memang
enak luar biasa. Obrolan selama makan dengan beliau selalu
menyenangkan.
Bentuk persahabatan yang lain dari Sang Pendekar ini adalah
melalui telepon. Hanya menyapa, menanyakan kabar, kondisi
kesehatan, bergurau, apa masih setia mendidik, dsb. Tapi
mendengar suaranya saja sudah menyegarkan jiwa.
Antusiasme yang tak kunjung padam untuk mencerdaskan
orang lain (ini lah janji dalam pembukaan UUD 45).
Soal berbagi ilmu, Pendekar yang luar biasa ini tidak pernah
pelit dan tidak pernah takut orang lain akan lebih cerdas dari
dia. Koleksinya ilmunya mulai dari yang biasa sampai yang
aneh-aneh macam fisika kuantum, relativitas, dan
sebagainya. Harddisk-nya dengan rela diberikan untuk saya
memilih sendiri mana yang mau di-copy.
172

Salah satu ciri utama pendekar adalah berani. Soal ini ndak
perlu ditanya lagi. Beliau berani adu jurus dengan siapapun,
memberi kritik dengan lugas, menerima kenyataan yang
pahit dengan kepala tegak. Pun tidak malu untuk mengakui
keterbatasannya.
Pendekar ini juga ternyata orang yang sangat religius.
Diceritakannya kepada saya tentang konsep TriTunggal yang
ruwet itu dengan sangat sederhana tapi jleb.
Dalam cerita-cerita silat Jawa kuno, banyak tokoh-tokoh
sakti yang tidak mati namun mengalami moksa. Jasad
kasarnya hilang, tapi bisa muncul atau menghilang semau
mereka. Saat ini Sang Pendekar Pendidikan ini telah moksa,
dia dan jasadnya pergi, namun semua ajarannya tetap tinggal
di hati setiap orang yang pernah mengenalnya.
Selamat jalan Pendekar Pendidikan. Semoga langit selalu
memberkati.

173

I MISS YOU TOO, PAK


Oleh James W. Sasongko - JWsasongko.com

Yes James, I miss u so much for a stimulating conversation.


Unfortunately, tmrw I hv to go to hospital at 10:00 WIB. I dont
know when it wl be finished. Thank.
Itu jawaban SMS dari Pak Ino tanggal 27 Agustus 2012. Itu
SMS terakhir dari dia yang masih ada di handphone saya.
Waktu itu, saya menanyakan apakah saya bisa ketemu dan
ngobrol. Akhirnya memang kami sepakat bertemu siang hari
tanggal 19 September 2012. Itu juga menjadi pertemuan saya
yang terakhir dengannya.
Saya bukanlah orang yang dapat setiap hari berinteraksi
dengan Pak Ino. Saya hanya murid, yang tidak lagi punya
jadwal rutin bertemu dia. Namun komunikasi dengan Pak
Ino selalu terjaga, Jarak antar pertemuan sangat lama, tapi
pasti kami mencari waktu untuk bertemu. We, in a effectively
chaotic way, have managed to find ways to meet from time to time for
one purpose: A stimulating conversation.
Dalam obrolan terakhir itu, kami bicara soal topik-topik
kegemaran kami, antara lain systems thinking, organizational
development, Marvin Weisbord dan sebagainya. Yang selalu
saya sukai ketika berbicara dengan Pak Ino tentang topik ini
adalah bagaimana pemikiran-pemikiran ini kemudian saya
gunakan dalam pekerjaan dan kehidupan saya. Obrolan pun
biasanya jadi melebar kemana-mana. Berbeda dengan
obrolan melebar umumnya, yang identik dengan obrolan
yang tidak jelas. Obrolan dengan Pak Ino selalu mengarah ke
satu hal: Kejujuran melihat diri dan kehidupan.
174

Itulah istimewanya ngobrol dengan Pak Ino. Sejak dulu,


sebagai guru, dia dengan cara uniknya mengajak muridnya
untuk belajar mendalam tentang konsep-konsepnya, bukan
sekadar mencatat ringkasan bermodal transparansi atau
powerpoint. Lalu, ketika muridnya sudah belajar tentang
konsep-konsep itu dengan serius, dia mengajak muridnya
untuk menghayati sekaligus mempertanyakan keberadaan
konsep-konsep itu dalam kehidupan.
Dalam obrolan terakhir itupun, kesimpulan obrolan saya
dengan Pak Ino adalah soal belajar ilmu silat. Setelah
ngobrol selama sekitar dua jam tentang realita penerapan
organizational learning di pekerjaan saya, obrolan pun berujung
pada cerita silat karya Ku Lung, Chin Yung dan Liang Yi
Sen. Kami waktu itu sepakat bahwa membaca kitab ilmu
silat itu kalah penting dibanding jam terbang berlatih
silatnya. Ini diskusi panjang, tapi intinya kami berdua
sepakat bahwa orang Asia punya pola belajar observasionalritual, dimana belajar terjadi efektif melalui observasi dan
mengulang dalam tindakan dulu, baru pemahaman
terbentuk. Ini sesuai dengan akar dan budaya orang Asia
yang umumnya lebih visual dan bertumpu pada pengalaman
behavioral. Bukan sebaliknya, seperti kebanyakan model
pendidikan dimana pemahaman diharapkan muncul dari
literal-verbal melalui mencerna informasi dulu baru
menerapkannya.
Obrolan dengan beliau biasa dimulai dengan hal-hal berat
yang dibicarakan dalam humor-humor jujur nan satir, lalu
berujung pada sebuah makna menjadi siapa diri kita. Sebuah
makna yang sangat dekat dengan akar kita masing-masing,
dan sekaligus larger-than-life karena begitu luas dan dalam
untuk direnungkan. Itulah obrolan dengan seorang Ino
Yuwono.
175

Kalau saya mundur ke belakang, saat pertemuan pertama di


kelas pertama Pak Ino, dia tanya ke saya: SMA mana kamu
dulu? Dan ketika saya jawab, komentar dia adalah, Kok
goblok kamu, sekolah di Indonesia? Harusnya kuliah di
Amerika sana! HahahahaAku dulu kuliah keterima di
jurusan kimia, tapi milih psikologi soale wedhoke ayu-ayu. Nek
niat sekolah, golek sekolah sing genah. Nek gak, golek sing
nggarai seneng ae! Dan kemudian dia masuk ke pesan yang dia
ingin sampaikan, yaitu bahwa sekolah psikologi itu sama
sekali tidak memberikan alasan kita untuk sombong dan sok
bangga jadi psikolog, karena manusia akan tetap hidup tanpa
psikologi sekalipun. Dia mengajak kami semua belajar
psikologi untuk menjadi hidup, bukan sekedar bergelar
psikologi dan sok pintar diagnosa sana dan sini. Jujur, lucu,
satir, menusuk jauh ke dalam diri kita, dan memberikan
makna yang luas dan dalam. Itu obrolan pertama kami.
Dan perasaaan yang sama tetap muncul hingga obrolan
terakhir dengan dia.
Itu membuat dia adalah orang yang ngangenin. I never said this,
but I also miss u too, Pak Ino. And thats why I called you. And now,
I will miss you even more for all the meaningful conversation we ever
had, and will never again.
I will continue to have stimulating conversations with other people Pak,
and your spirit will stay alive in the way it has been.

176

Ino Yuwono. Titik.


Oleh Hengki Setiawan di Notes Facebook

Kepergian Ino Yuwono, dosen Fakultas Psikologi Unair,


sang profesor kehidupan, begitu mengagetkan bagi banyak
orang. Termasuk saya yang sebenarnya tidak ada hubungan
langsung dengan beliau. Saya hanya kenal melalui istri saya,
Josephine MJ Ratna, mantan mahasiswinya, yang sekarang
jadi mantan pacar saya.
Waktu jaman kuliah saya masih ingat mengantarkan pacar
saya ke rumah Pak Ino di Pondok Candra yang dulu rasanya
seperti di ujung dunia. Dari situlah saya mengenal dosen
yang dibenci tapi sekaligus dicintai oleh mahasiswanya ini.
Pertemuan-pertemuan berikutnya terjadi dalam berbagai
kesempatan. Saya masih ingat sekali cara ketawanya dan gaya
merokoknya. Dan saya masih ingat terakhir sempat bicara
dengan Pak Ino tahun lalu melalui telpon ketika saya di
Australia.
Terus terang saya tidak belajar banyak dari Pak Ino, hanya
mendengar kebaikannya dari istri saya. Dan tulisan-tulisan
yang ada di blog dan facebook setelah kematiannya.
Wow, Pak Ino ternyata memang luar biasa. Ciyus, saya baru
tahu mendalam tentang sang raja tega ini dari tulisan-tulisan
itu.
Tapi yang pasti, kepergian sang dosen humanis ini, memberi
pelajaran penting bagi kita semua tentang pentingnya
membangun personal branding. Pak Ino menginspirasi saya
177

untuk sharing tentang bagaimana membangun personal


branding.
Ino Yuwono adalah contoh personal branding yang sangat
kuat!.
Sama seperti produk, kita harus punya merk. Merk lah yang
membedakan dengan yang lain. Untuk mempunyai merk
pribadi yang kuat, paling tidak ada dua hal yang harus
diperhatikan: nama dan positioning.
Coba pikirkan lima nama tokoh atau selebriti yang gampang
diingat.
Sebagain besar yang Anda pikirkan pasti namanya terdiri dari
dua kata!.
Coba kita lihat. Di deretan tokoh, kita bisa sebutkan:
Soichiro Honda, Steve Jobs, Bill Gates, Mother Teresa,
Mahatma Gandi, Nelson Mandela, Dahlan Iskan dll. Di
dunia olah raga, mulai dari Muhammad Ali, Rudy Hartono,
David Beckham, Cristiano Ronaldo sampai Bambang
Pamungkas. Di kalangan artis dan seniman: John Lennon,
Brad Pitt, Whitney Houston, Christine Hakim, Rhoma
Irama, Dewi Persik, Cinta Laura, Luna Maya dll.
Sang Guru yang nama aslinya Christophorus Daniel Ino
Yuwono ini juga lebih dikenal sebagai Ino Yuwono. Titik.
Kalau nama anda cuma terdiri dari satu kata atau lebih dari
dua kata, sekarang saatnya untuk memikirkan nama populer
Anda. Karena tidak mungkin merubah nama yang sudah
tertera di akte kelahiran Anda.

178

Mengapa harus dua kata?. Kalau satu kata, takutnya merk


Anda ada yang menyamai. Kalau lebih dari dua kata susah
diucapkan dan diingat.
Kalau nama Anda hanya satu kata, mungkin bisa ditambah
dengan nama belakang Bapak atau Ibu Anda. Kalau lebih
dari dua kata, coba pilih nama yang unik dan mudah diingat.
Hindari nama pasaran, tapi hindari juga nama yang susah
diucapkan dan dieja. Ingat, nama Anda adalah merk Anda!.
Bukan hanya nama yang unik, Ino Yuwono juga punya
positioning yang kuat.
Positioning berkaitan dengan persepsi apa yang diharapkan
muncul ketika mendengar sebuah nama.
Positioning harus spesifik dan unik apalagi di area yang sudah
begitu banyak yang menggeluti. Contoh yang menarik adalah
penyanyi dangdut. Begitu banyak pesaingnya, sehingga para
penyanyi dangdut harus menawarkan sesuatu yang beda,
maka muncullah penyanyi dangdut dengan goyang ngebor,
goyang gergaji, goyang kayang dan macam-macam lagi.
Jadi, kurang tepat kalau Anda hanya ingin dikenal sebagai
psikolog, programer, akuntan atau penyanyi. Harus digali
lebih lanjut: psikolog apa? Akuntan yang bagaimana? Atau
penyanyi dengan keunikan apa?
Positioning harus dibuat dengan mempertimbangkan gairah,
kelebihan dan kekurangan Anda. Gairah dan kelebihan akan
memberi arah ke mana kira-kira positioning Anda. Gairah dan
kelebihan harus dipupuk, kekurangan harus dihilangkan atau
dikurangi.

179

Penting juga untuk mempertimbangkan persepsi orang saat


ini. Kalau selama ini orang menganggap Anda (dan memang
kenyataannya demikian) sebagai orang yang suka dan bisa
menyanyi, akan lebih gampang untuk mengembangkan
kemampuan ini.
Pak Ino tidak ingin hanya sekedar menjadi dosen. Tapi
dosen yang berbeda. Bukan sekedar dosen killer. Ino
Yuwono adalah sang raja tega tapi sekaligus humanis. Dosen
yang pelit memberi nilai tapi royal bagi-bagi makanan.
Sebuah kombinasi yang rasanya mustahil.
Tapi itulah kenyataannya. Dan itulah Ino Yuwono. Titik.

Hengki Setiawan
Creativity Booster - Founder of CreathinX Australia

180

My Class My Rules! My Class My Way!


My Way or No Way Ino Yuwono
Oleh Dimas Aryo Wicaksono

Saya mendapatkan kutipan diatas dari kicauan seorang teman


@dekdea, jadi inget tentang berbagai cerita teman-teman
tentang berbagai macam hukuman yang diberikan oleh Pak
Ino semasa kita semua diajarkan oleh beliau. Bahwa dari
hukuman itu semakin mengokohkan kesan angker dan
killernya Pak Ino, mungkin semua sepakat. Tapi, ada satu hal
dari beberapa hukuman yang telah diberikan itu yang bisa
kita tarik benang merahnya, dan itu sering beliau sampaikan
kepada saya, Ini semua tentang konsekuensi yok, biar
mereka semua tahu bahwa apa yang mereka lakukan itu pasti
aka nada konsekuensi, demikian yang beliau ajarkan kepada
saya tentang bagaimana memberikan hukuman. Ada
beberapa cerita tentang bagaimana Pak Ino memberikan
hukuman kepada mahasiswanya, dan sekali lagi ini semua
tentang konsekuensi.
Paper tanpa cacat
Saya ingat betul, ketika itu saya masih mahasiswa yang belum
ambil peminatan PIO tapi sedang mengambil mata kuliah
PIO (pengantar). Seperti pada umumnya, mata kuliah ini
memberikan tugas kepada mahasiswanya untuk membuat
sebuah makalah tentang bab-bab di buku teks Muchinsky dan
Dipboye. Tapi ada satu hal yang tidak umum di tugas tersebut,
Pak Ino mensyaratkan bahwa dalam makalah yang kami
kumpulkan tiap minggu itu tidak boleh ada salah ketik 5
kata. Wew 5 kata? Dari belasan halaman, bagaimana kita
181

bisa sadar gak salah ketik? Wong nulis inventaris barang yang
cuman satu halaman saja tulisan psikologi bisa jadi psikolgi?
Tapi ya itulah syaratnya. Pak Ino selalu memiliki aturannya
sendiri. Alhasil yang terjadi adalah kita memiliki divisi khusus
yang menyunting atau editor, tapi bukan editor yang
bertugas membuat makalah itu lebih smooth atau enak dibaca,
tapi mantengin tulisan-tulisan yang salah ketik dan jangan
sampe lebih dari lima, karena kalau tidak akan berdampak
pada pengurangan nilai.
Apa yang ingin disampaikan? Beliau menyampaikan
Bayangno nek awakmu neng perusahaan, terus nulis laporan sitiksitik salah ketik, opo yo nggak ngisin-ngisini?, bener juga sih,
beliau hanya ingin bahwa kita melatih dari dini untuk lebih
disiplin. Setidaknya dalam menulis laporan, kita memeriksa
terlebih dahulu. Awalnya memang hanya ingin menghindari
salah ketik, tapi kan pada akhirnya kita baca lagi dan
mengubah yang tidak sesuai.
Nyonto Siji, E kabeh
Mungkin kalau aturan yang satu ini hampir dirasakan oleh
semua mahasiswanya, dan ternyata kalau dengar-dengar
cerita dari angkatan-angkatan sebelumnya aturan ini adalah
aturan yang paling konsisten. Diberlakukan saat ujian, begitu
ada satu yang ketahuan nyonto (nyontek) maka satu kelas
nilainya E. Walaupun kadang beliau memodifikasi dengan
cara begitu satu ketahuan nyonto, maka waktu ujiannya akan
dikurangi 5 menit untuk satu kelas.
Well, Pak Ino menerapkan betul apa yang disebut biarkan
lingkungan yang menghukummu jika kamu hanya
mementingkan keinginanmu sendiri hanya karena sebuah
nilai, karena yang terjadi adalah begitu kamu nyonto maka
teman sekelasmu yang akan menghukummu. Dan ternyata
182

"it works!", setidaknya membuat mahasiswa memikirkan


konsekuensinya.
Setipo, Coretan, Salah langsung dikurangi!
Kali ini pak Ino beraksi dalam ujian, kalau ujiannya itu
sifatnya esai maka hukum yang berlaku adalah ada setipo atau
coretan dalam lembar ujian anda maka nilainya dikurangi
atau parahnya langsung E (kalau kata bu Yulis, hobi nilai E
bikin pak Ino di angkatan 83 dibilang juragan sisir).
Bagaimana dengan ujian MC? Tenang. Pak Ino ada cara.
Kalau ujiannya MC maka yang berlaku adalah jawaban salah
nilainya dikurang 0,25.
Kenapa? Beliau punya alasan kalau yang setipo atau coretan
pikiran negatifnya adalah ketika mahasiswa mengganti
jawabannya maka bisa jadi dia dapet bisikan setan (dibaca:
contekan) dari temen-temen disekitarnya, tapi kalau dari sisi
positifnya beliau hanya ingin bahwa mahasiswanya dalam
menjawab pertanyaan ujian itu dipikirkan dulu matangmatang sebelumnya. Sama halnya dengan ketentuan nilai
minus pada model soal MC, beliau hanya menekankan kalau
jawaban yang asal-asal itu selalu ada konsekuensinya. Dia
pernah cerita sama saya, nek gak ngene arek-arek gak sinau yok,
mereka kudu mikirin dulu jawabannya, jangan buru-buru njawab.
Hukuman adalah Denda
Nah, kalau yang ini adalah hukuman yang mungkin gak
difavoritkan mahasiswa. Denda bisa berbagai macam
bentuknya. Ada cerita tentang ini, bahwa bukan rahasia
umum lagi bahwa Pak Ino memiliki cara untuk mendidik
anak walinya, pernah suatu waktu pada awal semester dua
saya melakukan perwalian, Yok, kamu tuliskan besar-besar di
KRS-mu target yang ingin kamu capai semester depan berapa (saya
183

lupa berapa pada waktu itu, kalau ga salah sih pasangnya 2,7
-hehe serasa masang nomer togel-). Aturan ini berlaku bagi
semua anak walinya. Celakanya, semester berikutnya saya
tidak bisa memenuhi target tersebut, dan beliau meminta
saya untuk membeli buku sebagai konsekuensi karena saya
tidak memenuhi target. Buku itu buat dia? Ternyata tidak
karena beliau meminta saya untuk membacanya dan
menceritakan ke beliau. Cerita tentang target dan perwalian
ini juga disampaikan oleh rekan saya Is, bahkan karena
langganan sampek-sampek Pak Ino bosen mendenda dia
dengan buku dan hanya meminta Is untuk push up.
Tapi ada satu hal yang menarik ketika dengan Is, karena pak
Ino juga memberikan tantangan bahwa kalau Is berhasil
meraih targetnya dia akan memberikan hadiah buat Is (saya
tidak tahu apakah Is berhasil melewati tantangan itu atau
tidak). Tapi saya belajar dari situ bahwa pak Ino menerapkan
aturan secara fair, bahkan dia mungkin berpikir bahwa
mungkin Is bisa dimotivasi secara ekstrinsik.
Hukuman adalah denda yang lain adalah kalau dulu sih,
beliau punya aturan kalau ada bunyi telepon genggam di
kelas, maka dendanya adalah 50 ribu. Biyuh buat mahasiswa
ya bukan duit yang sedikit tuh. Duitnya kemana? Duitnya
dibalikin lagi ke mahasiswa ketika kami mengadakan
gathering. Ya, pada akhirnya beliau mengganti dendanya
dengan membawa makanan. Hal ini diberlakukan ketika
mahasiswa tersebut telat masuk atau gak bisa jawab
pertanyaan. Kalau telat masuk beliau selalu memberi pilihan
boleh masuk tapi membawa makanan, atau gak usah masuk
sekalian dan gak absen. Terus makanannya untuk pak Ino?
Tentu tidak, makanannya adalah untuk kelas, bahkan juga
untuk orang-orang disekitarnya, langganan setia yang
mendapat makanan ya mas agus Sinyo Nyooooo iki lho ono
184

panganan, teriak Pak Ino. Selain itu ya saya, ucok, mbak ira,
mas ardi, mas sam, rudi dan mas bukik.
Saya melihat ada pola yang menarik dari cara Pak Ino
memberlakukan denda makanan ini, mungkin bagi tementemen mahasiswa merasa menu makanannya sangat variatif
mulai dari j-co, libby, sampe jajan pasar, pohong pedas dan
bahkan nasi jagung. Kenapa variatif? Karena pak Ino selalu
melihat taraf kemampuan mahasiswanya, kalau style-nya anak
orang kaya ya siap-siap aja makanannya yang mentereng itu,
tapi kalau anak kos ya beruntunglah dengan nasi jagung.
Walaupun nyarinya gak seberapa susah. Tapi apapun
makanannya, kita makannya bareng-bareng kok.
Well, itu mungkin sedikit cerita tentang Pak Inos Rules in
his class, bergantung pada bagaimana kita memaknainya
apakah hukuman itu sebagai sebuah ancaman atau justru
bahwa hukuman adalah tentang belajar menerima
konsekuensi.
Once again, selamat jalan bapak
Cerita dari muridmu, anakmu, sahabat dan rekan kerjamu
Aryo Wicaksono

185

186

Saya yang Tidak Mengenalnyapun


Mendapat Inspirasi Darinya
Oleh Dimas Maheswara

Pertama kali saya mendengar nama Pak Ino adalah sewaktu


PPKMB. Waktu itu saya sudah diwanti-wanti oleh sohib
saya, hati-hati dengan dosen yang namanya Pak Ino.
Orangnya pintar, tapi agak aneh, "Pokoknya jangan sampai
kamu dapat dosen wali beliau", begitu katanya. Di situ saya
mulai penasaran dengan sosok Pak Ino ini.
Setelah itu, mulailah acara pembagian dosen wali, dan
ternyata nama dosen wali saya adalah Pak Tino. Nyaris saja,
namanya sangat mirip. Waktu itu saya merasa beruntung
dosen wali saya bukan beliau, karena saya melihat temanteman saya yang menjadi anak wali Pak Ino semuanya
kebingungan ditanya-tanyai oleh beliau. "He kamu, ngapain
kamu masuk psikologi?"
"Biar jadi lebih dewasa, Pak."
"Halah omong kosong itu. Kamu, kenapa?"
"Biar bisa lebih mengerti orang lain, Pak."
"Lha mbok pikir dukun?"
Itulah sekilas pertanyaan yang bisa saya ingat. Waktu itu
dalam hati saya mbatin, "Wih, untung yo gak kena orang
ini." Pokoknya waktu itu saya merasa beruntung karena saya
"aman" dari yang namanya Pak Ino ini.
187

Setelah pembagian dosen wali, acara dilanjutkan dengan


perkenalan tentang apa itu psikologi, dan kebetulan
pembawa materinya waktu itu adalah Pak Ino. Harapan saya
dan teman-teman seangkatan pasti dengan materi ini, kami
jadi lebih mengerti apa itu psikologi dan mengapa kami
harus belajar psikologi. Tapi sayangya tidak, kami justru
kebingungan. Bagaimana tidak, sewaktu beliau memberi
materi, beliau malah mengeluarkan kata-kata seperti ini,
"Psikologi iku ilmu gak jelas, lapo kok sinau barang sing gak
ketok wujude. Psikologi iku mek kembange ban. Lek gak onok yo
gak opo-opo. Jadi jangan bangga kamu masuk psikologi. Wes
gak usah kuliah nang psikologi. Metu ae. Anakku kabeh gak
onok sing mlebu psikologi, gak tak olehi." Beliau juga bercerita
seperti ini, "Dulu saya dites IQ, hasilnya hanya 70. Namun
dengan IQ 70, saya bisa diterima kuliah di Amerika.
Makanya itu, jadi psikolog itu berat, kalau kamu salah
diagnosis, kamu akan menghancurkan hidup seseorang.
Coba kalau saya dulu percaya sama psikologi dan hasil tes
itu, saya gak akan jadi seperti ini sekarang." Bayangkan saja,
kami yang cuma anak baru, sudah diteter hal-hal seperti itu,
betapa kami tambah bingung dalam menghadapi kuliah ini.
Pendapat saya waktu itu begini, "Orang ini pake logika
banget sih, padahal untuk mengerti manusia itu kan harus
pake perasaan, gak cuma logika aja." Itu adalah pendapat
saya waktu masih jadi maba, yang belum tahu apa-apa soal
ilmu psikologi.
Selang beberapa waktu, saya sudah tidak lagi memikirkan
tentang Pak Ino. Tapi setiap kali bertemu beliau di kampus,
saya heran. Bagaimana mungkin orang seaneh itu begitu
disungkani oleh orang-orang. Mengapa sepertinya banyak
orang yang menganggap beliau adalah seorang yang hebat,
padahal pendidikan terakhirnya hanya master. Heran juga
mengapa ada orang yang bisa tertawa-tawa dengan orang
188

seserius itu. Di situ saya menjadi penasaran lagi dengan


sosok Pak Ino.
Semakin hari, saya menjadi tahu jawaban dari pertanyaanpertanyaan saya tersebut. Suatu ketika ada yang mengatakan
kepada saya begini, "Pak Ino itu termasuk salah satu pakar
PIO di Indonesia lho." Dari situ saya mengerti, mengapa
orang ini begitu dianggap hebat. Ada juga orang yang
mengatakan, "Pak Ino itu, masio kereng-kereng ngono, tapi
beliau itu orangnya care sekali sama mahasiswanya. Cuma
beliau, orang yang bisa membuat mahasiswa berandalan yang
nggak niat kuliah, bisa bikin karya ilmiah." Dari cerita
tersebut, saya hanya bisa bilang "Wow". Saya sungguh tidak
menyangka, dibalik sosoknya yang terlihat cuek itu, ternyata
beliau adalah orang yang peduli. Dari situ, kekaguman saya
pada beliau mulai tumbuh. Saya yang tadinya menghindari
diajar beliau, sejak saat itu justru ingin diajar beliau karena
sangat penasaran dengan sosok Ino Yuwono.
Namun hal yang paling membuat saya ngefans berat dengan
Pak Ino adalah cerita yang disampaikan oleh Pak Ayok. Jadi
suatu ketika, ada acara di Fakultas mengenai bagaimana
kuliah sambil berorganisasi. Pembicara waktu itu adalah Pak
Dimas Aryo. Beliau menceritakan kisahnya bagaimana
selama kuliah, ia lebih sering berorganisasi daripada kuliah.
IPK-nya pun jauh dari kata baik. Namun, di semester V, ia
sadar betul bahwa ia harus mengubah sikapnya tersebut. Pak
Ayok bertanya pada peserta seminar, "Kalian tahu siapa yang
menyadarkan saya jadi seperti ini?" Anak-anak kebingungan.
Lalu Pak Ayok menjawabnya, "Orang itu adalah Pak Ino".
Begitu saya mendengar nama Pak Ino, saya begitu terkesan
dan penasaran akan cerita selanjutnya. "Iya, Pak Ino itu
meskipun kereng begitu, ia sangat care dengan mahasiswanya,"
ujarnya sambil tersenyum. Beliau melanjutkan ceritanya,
"Dulu dosen wali saya Pak Ino. Tiap semester saya dan Pak
189

Ino selalu bikin target IP, kalau tidak bisa memenuhi target,
didenda. Sampai akhirnya semester depan, Pak Ino bosen,
karena saya kena denda terus. IP saya selalu di bawah target
karena saya terlalu banyak ikut organisasi. Beliaulah yang
menyadarkan saya. Saya pun sadar, dan akhirnya di semester
V IP saya menjadi 3,5, dan sampai lulus, IP saya berhasil di
atas 3." Saya benar-benar terkesima. Belum selesai rasa
kagum saya, ternyata masih ada cerita lanjutan lagi dari Pak
Ayok, "Sampai akhirnya saya lulus, saya jadi penjaga di
PMPM. Setelah itu saya ditawari jadi dosen, dengan syarat
harus bisa sekolah di luar negeri. Namun saya terhambat
masalah TOEFL, karena TOEFL saya di bawah 550. Tapi
Pak Ino terus mendorong saya untuk sekolah di luar negeri.
Ajaibnya, tiba-tiba ada yang menawari untuk les TOEFL
gratis. Dan saya akhirnya tahu bahwa yang ngelesi saya
adalah Bu Ino." Sewaktu Pak Ayok selesai berkata seperti
itu, kekaguman saya terhadap Pak Ino benar-benar mencapai
puncak. Begitu pedulinya ia terhadap mahasiswanya, sampaisampai ia berbuat hal demikian untuk kebaikan
mahasiswanya. Lagi-lagi saya berpikir, di balik sosoknya yang
garang, ternyata hatinya sangat baik. Saya benar-benar
kagum terhadap beliau.
Saya sangat kagum pada beliau, dan saya sangat penasaran
terhadap beliau. Saya yang tadinya menghindari beliau,
sekarang ingin rasanya saya diajar oleh beliau, walaupun
hanya satu semester saja. Namun Tuhan berkehendak lain.
Pak Ino telah tiada. Sungguh sedih hati saya pada waktu itu.
Pak Ino memang ajaib. Ia dapat menginspirasi orang
walaupun ia tidak mengenalnya. Ia dapat membuat orang
sedih akan kepergiannya, walaupun orang tersebut tidak
kenal dengannya. Yang tidak mengenalnya saja merasa
kehilangan, apalagi yang pernah mengenalnya.

190

Walaupun saya belum pernah diajar Pak Ino, namun saya


sedikit banyak bisa merasakan spirit yang ada dalam dirinya.
Dari mana? Dari dosen-dosen yang pernah diajar olehnya.
Entah itu dari cara mengajarnya ataupun pemikirannya.
Selamat jalan Pak Ino. Terima kasih atas segalanya yang kau
berikan kepada kami. Kami semua menyayangimu. Semoga
engkau diterima di surga-Nya.

191

Surat untuk Seorang Guru


yang Tidak Kukenal
Oleh Phebe Illenia S.

Dear pak Ino,


Saya tidak mengenal Bapak, baik secara personal maupun di
kelas. Saya bukan mahasiswa didikan Bapak. Mungkin Bapak
juga tidak mengenal saya. Mengetahui nama saya mungkin
juga tidak. Kita sama-sama tidak mengenal satu sama lain.
Yang saya tahu, saya sering mendengar cerita tentang kekiller-an Bapak. Yang katanya Pak Ino suka kasih
pertanyaan, suka mengejek, galak, bahkan minta mahasiswa
bawakan makanan ke kelas. Saya memang tidak mengambil
PIO sebagai mayoring saya. Tapi untuk mengambil mata
kuliah yang Pak Ino ajar pun saya sudah tidak mau karena
takut duluan.
Pak, saya cuma pernah diajar sekali sama Bapak, itu pun
karena kebetulan. Waktu itu, mata kuliah Kode Etik (kalau
tidak salah ingat ya, pak). Dosen di kelas saya tidak masuk
sehingga kelas saya digabung dengan kelas bapak. Begitu
tahu yang mengajar adalah bapak, rasanya langsung mau
kabur saja. Tapi karena banyak teman, saya memutuskan
masuk kelas bapak. Di sana saya pilih tempat duduk yang
mepet tembok di belakang, takut kalau nanti ditanya-tanya.
Sewaktu saya masuk kelas, saya lihat Pak Ino sedang
menyetel lagu-lagu lawas sambil duduk menunggu murid
dari kelas saya masuk. Entah kenapa waktu saya sudah
duduk, suasananya sejuk, tenang, dan tidak menakutkan.
Walaupun begitu, persepsi saya terhadap Bapak tidak
192

berubah. Saya tidak mau mengambil mata kuliah yang Bapak


ajar.
Pak Ino, saya tidak mengenal Bapak. Tapi entah kenapa saat
Bapak sudah tiada, saya sungguh merasa kehilangan. Bukan
saja kehilangan seorang dosen berkualitas, tapi juga sebagai
inspirator terbesar yang pernah ada. Sekarang saya sadar
bahwa Bapak memperlakukan murid-muridnya bukan tanpa
tujuan, tapi justru dengan tujuan yang lebih besar yang
selama ini ada di pikiran Bapak. Bapak memperlakukan
murid dengan sangat keras, tapi tidak sekeras dunia luar
memperlakukan kita. Saya menyesal bahwa saya tidak pernah
mengambil mata kuliah Bapak dan tidak berusaha mengenal
Bapak sedikit pun.
Pak, saya bersyukur pada Tuhan, walaupun semasa Bapak
hidup saya tidak mengenal bapak, saya masih diberi
kesempatan untuk mengenal bapak lewat cerita dan
testimoni teman-teman. Walaupun saya baru tahu hal
tersebut setelah Bapak tiada, setidaknya saya dapat
mengubah persepsi saya tentang Bapak. Satu kelas yang
Bapak ajar buat saya mungkin juga adalah kesempatan yang
Tuhan berikan agar saya mengalami didikan bapak sekali
saja. Mungkin agak terlambat, tapi Bapak telah memberikan
jejak-jejak pada saya untuk memiliki semangat belajar yang
lebih, untuk membaca lebih banyak buku (kalau bisa sampai
habis ya, pak), untuk menjalani seutuhnya pilihan dan
kehidupan saya.
Saya teringat satu kalimat terakhir di surat bapak, Sapalah
aku bila kita berjumpa dalam perjalanan yang sama di lain
waktu. Aku dengan senang hati berbicara denganmu.
Sampai jumpa kembali di lain waktu. Saat itu tiba, saya
dengan senang hati mau bercerita dengan Bapak. Yang
193

banyak tidak apa-apa ya, pak. Terima kasih, Pak Ino. Sampai
jumpa.. :)

Dari murid yang tidak anda kenal,


Phebe Illenia S.

194

Dari yang Tak Pernah Kenal,


Beruntung Mereka yang Mengenalmu
Oleh ~ Anindita ~ @frappiocoffee

Dear Pak Ino,


Apa yang sedang Bapak lakukan sekarang? Apa Bapak
sedang bersenang-senang? Atau justru sedih melihat
pendidikan negeri ini yang belum menjadi seperti harapan
bapak?
Perkenalkan Pak, saya Anindita, mahasiswa angkatan tua di
Unair juga. Tapi bukan di Fakultas Psikologi.
Saya percaya semua yang terjadi di dunia ini memang sudah
diatur, sudah direncanakan, tinggal kita saja menjalankan
skenario-Nya. Seperti yang terjadi beberapa hari belakangan.
Kita memang tidak pernah bertatap muka Pak Ino, tapi pagi
itu linimasa saya dipenuhi dengan twit tentang
#InoYuwono. Ya kebetulan saya memang saling follow
dengan beberapa mahasiswa Bapak, juga dengan rekan kerja
Bapak yaitu @bukik.
Kabar pertama yang saya dengan tentang Bapak justru kabar
duka, bahwa Bapak sudah berpulang, kembali ke rumahNya. Namun seketika saya tersadar, Bapak bukan sosok
manusia biasa. Bapak adalah pendidik yang luar biasa. Saya
mengikuti twit-twit tentang Bapak yang terus mengalir. Juga
membaca satu-persatu postingan tweet dan blog yang
menceritakan tentang Pak Ino. Ditakuti dan dihindari
195

sekaligus juga dikagumi. Ah, Bapak memang paradoks yang


luar biasa .
Kekaguman saya melihat penghormatan-penghormatan yang
diberikan pada Bapak membuat saya jadi merinding, bahkan
sampai ikut menangis kala membaca tulisan tentang Bapak.
Seandainya bapak mengajar saya, bisa jadi saya tipe-tipe
mahasiswa yang Bapak habisi di dalam kelas. Saya malas
membaca buku, saya mahasiswa powerpoint seperti yang
Bapak katakan pada teman-teman saya.
Saat ini saya sedang berjuang menyelesaikan skripsi saya,
namun saya tidak ingin lulus jadi sarjana powerpoint. Bapak
seperti menegur saya lewat tulisan teman-teman saya. Ya,
saya malu pada diri sendiri karena kurang gigih mengerjakan
skripsi. Kemudian Bapak mengingatkan saya esensi
terpenting dari semua proses ini. Bukan hanya sekedar lulus
sidang skripsi, tapi saya ingin lulus karena saya memang
pantas lulus.
Terimakasih Pak Ino karena telah memberikan saya
pencerahan, justru di saat Bapak sudah pergi..
Beruntung mereka yang mengenal Bapak, berinteraksi secara
langsung, dan mendapat transfer ilmu dari Bapak. Ada rasa
iri dan penyesalan, karena saya belum pernah bertatap muka
dengan Bapak secara langsung. Karena saya tidak sempat
belajar dari orang hebat seperti Pak Ino.
Saya sangat setuju bahwa Unair, kampus-kampus lain dan
penjuru negeri ini membutuhkan lebih banyak lain sosok
seperti Pak Ino Yuwono. Biarkan sekarang giliran kami
yang bertitel generasi penerus bangsa meneruskan
perjuangan Bapak.
196

Selamat beristirahat Bapak Christoporus Daniel Ino


Yuwono. Anda hidup di hati kami, selamanya.

~ Anindita ~
@frappiocoffee

197

Pak Ino yang Tidak Saya Kenal


Oleh Botak Sakti Guraru.org

Bermula dari TL Pak @bukik, tentang kepergian seseorang


dalam #InoYuwono, saya terbawa untuk menelusuri tentang
siapa #InoYuwono tersebut. Sebuah nama yang bahkan
baru saya dengar bersamaan saya membaca TL tersebut.
Sebuah nama yang sosoknyapun belum mampu saya tangkap
gambaran secara fisiknya.
Kenapa saya tertarik menelusuri sosok ini. Jujur saja,
semalam saya baru mengintip sedikit. Dan hari ini, saya
menekuni kalimat demi kalimat untuk mencari konfirmasi
dari penilaian-penilaian terhadap sosok ini yang tersebar di
TL. Nyatanya, saya benar-benar terpaku dengan berbagai
cuplikan kisah, ucapan, dan perilaku sosok istimewa ini.
Maka, meski saya tidak mengenalnya secara langsung, tapi
izinkan saya menuliskan kesan ini untuk saya bagikan kepada
rekan-rekan. Hal ini 'terpaksa' saya lakukan karena menurut
hemat saya sosok ini benar-benar mampu menginspirasi,
minimal bagi saya yang tidak mengenalnya secara langsung.
Beruntunglah mereka yang mendapatkan pembelajaran dari
Beliau, apalagi secara langsung. Namun setidaknya, kita
semua bisa belajar tentang bagaimana bersikap.
Selamat jalan, Pak Ino! Trims untuk Pak @bukik atas TLnya, mohon perkenan untuk share di sini!

198

Terima Kasih Pak Ino


Oleh Amalia Jiandra Cumelo.blogspot.com

Mungkin jika menganut pepatah, "tak kenal maka tak


sayang". Saya tidak kenal dekat beliau, mungkin tidak
sesayang mereka yang sangat kehilangan, tetapi saya tahu
bahwa beliau orang yang hebat. Seperti kata Mas Iman, Pak
Ino adalah outlier yang berada di kurva kanan. Menyimpang
tetapi layang di jadikan panutan.
Saya tidak menyesal tidak begitu mengenal Pak Ino. Banyak
teman-teman atau adik angkatan saya yang menyayangkan
belum pernah diajar oleh beliau. Apapun, menurut saya,
sebenarnya secara tidak langsung dan tanpa kita sadari, kita
pernah merasakan diajar Pak Ino. Bagi siapapun yang pernah
diajar oleh Pak Sam, Pak Bukik, Mas Aryo, Pak Fendy, maka
beliau-beliau adalah titisan Pak Ino. Aku menyebut titisan
karena ada pemikiran dan gaya mengajar yang hampir sama
dengan pak Ino. Telat masuk membawakan jajanan untuk
satu kelas, mencontek langsung dapet nilai E, kuis yang
rasanya lebih mencekam daripada UTS dan UAS. Bagaimana
nilai A itu percuma jika ternyata kita tidak tau dasar ilmu itu
sendiri. Iya, mereka memang murid pak Ino. Jadi wajar
ketika murid mencontoh gurunya. Apalagi guru yang
memang mempunyai jiwa mendidik seperti beliau.
Terimakasih Pak Ino telah menanamkan nilai kehidupan.
Nilai akademik bukanlah segala-galanya. Yang lebih penting
yaitu bagaimana menjadi bermakna. Terimakasih telah
menanamkan bibit. Semoga bibit itu terus tumbuh dan
akhirnya menghasilkan tunas baru lagi yang tak kalah
unggulnya. Tidak hanya berhenti sampai sini saja.
199

Ino Yuwono: Pendidik, Sahabat, Ayah, dan


Orang Asing
Oleh Nur Desthi - Nurdesthi.blogspot.com

Saya tidak kenal langsung dengan Pak Ino Yuwono. Saya


hanya kenal nama.
Mama saya kenal beliau. Beberapa orang yang saya kenal
juga kenal beliau.
Diawali dengan status YM @ardinouv mengabarkan
meninggalnya pak Ino Yuwono, bersambung dengan saya
yang mengabari mama, dan dilanjutkan dengan serangkaian
kabar-mengabar lewat telpon. Mama ingin memastikan
berita itu karena mama yang masih belum percaya dengan
berita yang saya dapat. Memang sih, beberapa bulan lalu
mama sempat menyambangi beliau yang masuk rumah sakit
karena penyakit jantungnya. Tapi tetap saja mama tidak
percaya.
Di timeline twitter saya penuh tweet dengan tagar
#InoYuwono yang kebanyakan dari pak @bukik dan hasil
retweet beliau. Saya baca satu-satu hasil pencarian tagar
#InoYuwono. Saya memang tidak mengenal langsung pak
Ino, tapi lewat tweet yang membanjiri timeline dan belasan
artikel di blog tentang pak Ino, saya jadi mulai merasa
mengenal beliau.
Sepertinya pak Ino itu tipe orang yang bisa meninggalkan
kesan yang mendalam pada setiap orang yang pernah beliau
temui. Entah itu negatif (banyak yang bilang beliau dosen
strict dan killer) ataupun positif (banyak juga yang
200

menghormati dan sayang banget dengan beliau). Yang


manapun, pasti memberikan kesan mendalam.
Sepertinya pak Ino itu tipe orang yang lebih memilih
menikmati hidup dengan caranya. Walau sudah tahu
jantungnya tidak begitu sehat, tetap saja rokoknya tidak
pernah lepas. Belum lagi mama cerita kalau pak Ino waktu
muda dulu bilang kalau tua nanti semoga tidak sakit diabetes,
matinya lama, larangannya banyak, jadi tidak bisa menikmati
hidup; mending sakit jantung, matinya cepat, ga pakai sakit.
Kamis, saya dan mama akhirnya sempat melayat ke
persemayaman sementara pak Ino di Adiyasa. Bertemu
dengan teman mama, mereka berbagi sedikit cerita,
sementara saya makan nasi contong pelan-pelan. Banyak
cerita, tapi yang menarik adalah delapan W yang bikin saya
penasaran. Wareg, waras, wasis, wani, wismo, widodo,
weling, wangsul. Sayangnya saya kurang tahu bisa ngobrol
delapan W ini dengan siapa. Orang yang bikin istilah delapan
W ini saja sudah tidak ada.
Hari ini, pak Ino dikremasi. Hari ini juga saya baca surat
wasiat Pak Ino. Menyentuh, tapi juga menohok. Membuat
saya jadi berpikir lagi tentang tujuan hidup. Berpikir lagi
tentang bagaimana saya menjalani hidup. Berpikir lagi
bagaimana saya ingin dikenang saat saya mati nanti.

Farewell Sir, You'll Always be Remembered

201

202

Love At The First Sight


Oleh Mega SR - Mammuuthus.blogspot.com

Entah kenapa kebanyakan mahasiswa berkata beliau orang


yang mengerikan, bermulut kasar, dan sebagainya. Sebaliknya
saya melihat sebuah dedikasi tanpa batas di balik sikap kasar
beliau. Dedikasi yang sangat luar biasa untuk para
mahasiswanya. Dedikasi yang seringkali dianggap negatif
oleh para mahasiswanya. Dedikasi tanpa batas yang belum
saya lihat pada dosen lainnya. Dedikasi yang membuat saya
kagum dan hormat pada beliau.
Sampai pagi tadi saya mendengar sebuah kabar duka. Beliau,
dosen yang saya hormati dan kagumi, telah kembali ke
pangkuan Yang Maha Kuasa. Rasanya saya ingin menangis
di perpustakaan siang itu. Tapi tangis saya pecah pagi ini
setelah kemarin menghadiri upacara penutupan peti. Beliau
sangat-sangat dikagumi dan disayangi semua orang.
Saya tidak akan pernah lupa kelas pertama dan terakhir saya
dengan beliau. Meski hanya sebentar, tapi sangat membekas
hingga sekarang.
Rest In Peace, guru kami, bapak kami, kakek kami, Ino
Yuwono.

203

Youre one of my dot Sir..


Oleh Meynar - Lovearning.tumblr.com

Im wondering my lifes such like a dot picture. Just like a


kindergaten class, they do this things to capture their
favourite pictures. and so do I, loves to connecting dot by
dot, to form my desired picture of life. One dot is depute of
one critical moment or one special person which/who
contribute in my stage of life. How short the time theyve
been stayed in my life it really doesnt matter. But how they
could give a massive impact to see and learn about life for
me is became the important things.
Sebenernya panggilan dosen killer kepada beliau tersebut
sangat memancing keingin tahuan saya tentang siapa dia.
Pertama kali ikut kelasnya, kalau tidak salah TO, cuma satu
kesan yang ada di otak saya, Hes kind of grumpy old man.
Sesegera mungkin saya membayangkan beberapa semester
ke depan, dimana akan sangat banyak bertatap muka dengan
beliau. Sanggupkah saya? Harus saya membiasakan diri
dengan kuliah berasap rokok, kata-kata keras bernada
sengak, rules of the game nya yang superb, dan segala macam
bentuk sarkasme beliau.
Well, pertanyaan tersebut segera terjawab dengan mudahnya
:). Yang saya rasakan ternyata lebih dari sekedar sanggup.
Tidak ada kelas yang membosankan sama sekali! Sudah
dibuktikan melalui banyak cerita dari teman-teman
sebelumnya. He have some magical way to create a soulful
atmosphere in every class he taught. True story!

204

Saya memang tidak memiliki kedekatan khusus dengan


beliau. Tapi saya merasa sangat beruntung pernah disentuh
oleh beliau walau hanya sebentar. Beliau mengingat nama
saya, karena beliau memang teramat perhatian terhadap
setiap mahasiswanya TANPA TERKECUALI.
Terkadang ada beberapa anggapan yang menimbulkan
sedikit kesombongan pada orang yang belajar psikologi,
misal belajar psikologi pasti dengan mudah bisa mengerti
karakter orang. Cukup banyak orang di luar sana yang
menyematkan gelar dukun bagi lulusan Psikologi. Jadi bukan
hal yang mengherankan ketika banyak orang menganggap
kita tukang ramal dan sebagainya. Nah back to main topic,
kuliah yang banyak membahas dan mempelajari tentang
karakter manusia itu ya Psikologi Kepribadian. Disinilah
momen bersama Pak Ino terjadi. Suatu saat di kuliah
Psikologi Kepribadian II, beliau mengawali dengan
membuka topik astrologi. Setelah puas membahas tentang
astrologi, di tengah-tengah kuliah mulailah ia melontarkan
beberapa pertanyaan usil kepada kami semua. Pertanyaan
beliau sederhana namun sangat esensial. Apa tujuan kamu
belajar psikologi kepribadian? As usual, this kind of random
question for anybody, then he call my name. Dan segeralah saya
menjawab secara sotoy, buat menghargai orang lain Pak.
Beliau tidak mengiyakan maupun membenarkan. Lebih
tepatnya hanya memoles jawaban saya, Belajar Psikologi
kepribadian itu berguna kalau kamu berhasil menghargai
orang lain Tanggapan tersebut membuat saya semakin
mengidolakan beliau. Kata-kata beliau tersebut saya ingat
dengan baik dan benar-benar menjadi value saya untuk
menjalani kehidupan. Nothing but superb thanks Sir.
Sudah teramat jelas tidak hanya saya saja yang mengalami
rindu tak berkesudahan ini. Teman-teman yang lain pasti
merasakan hal yang sama, karena tidak ada yang tidak
205

kehilangan beliau. Tidak ada yang tidak akan merindukan


kuliah, ngobrol atau hanya sekedar bersenda gurau dengan
beliau. Magis memang :)
Berkat Pak Ino, saya bisa mengetahui perbedaan itu benerbener indah (bukan hanya tagline semata) dan ada untuk
dihargai. Bukan untuk mencondongkan apa atau siapa yang
lebih baik, lebih unggul, dsb. Masing-masing memiliki warna
dan kekuatan tersendiri dan penting untuk memaknainya.
Siapa diri kita dan apa yang ingin kita lakukan dalam hidup,
semua pasti berbeda satu sama lain. Penting untuk
mengetahuinya untuk kemudian beranjak menghargai. Baik
menghargai milik kita sendiri atau yang lain.
Menjadi S.Psi memang berat Bapak :) Tidak hanya sekedar
sebagai penerjemah teori kepribadian saja. Engkau sungguh
mengajarkan lebih dari itu, bukan sekedar ilmu sosial semata.
Kami yang sempat tersentuh oleh kehadiranmu baik hanya
sebentar ataupin lama, hanya merasa beruntung
mendapatkan ilmu kehidupan dalam beragam bentuk dan
pemaknaan..
I dont care how shorts time to know you, I just feel you give a big
impact to me, to act as human, to act as myself. And absolutely youre
always be one of my dot to complete my picture of life.
So Long and farewell my dearest teacher..

Thank You :)

206

Ino Sang Challenger


Oleh Asri

Banyak hal yang saya ambil pelajaran dari beliau terutama


adalah bagaimana beliau menginginkan anak didiknya benarbenar bisa memahami apa yang dikerjakan. Jika tidak paham,
beliau selalu meminta agar kita selalu belajar dan belajar.
Meski profesi endingnya praktisi, bukan berarti kita tak perlu
belajar teori.
Beliau mengajarkan pada saya arti konsistensi. Bagaimana
beliau menceritakan banyak kasus dan praktek yang tidak
seharusnya terjadi di lapangan, dan beliau memegang teguh
konsistensi pada kebenaran. Lagi-lagi beliau selalu saja
menantang otak saya untuk berpikir. Seringkali pertanyaan
beliau sangat sederhana, namun justru mengajak otak bekerja
lebih keras untuk benar-benar memahami, dan akhirnya agar
tidak sembarangan bersikap dan bertindak.
Saya jujur tidak mengira ketika beliau dulu bersedia
meluangkan waktunya di hari Sabtu untuk bimbingan
dengan saya. Saya juga tidak menyangka ketika beliau
bersedia membantu memberikan beberapa teori statistik
untuk bahan diskusi metode analisis data tesis saya. Saya
memang diminta untuk mencari sendiri, karena prinsip
beliau kalau tidak paham silahkan cari dan baca dulu. Hanya
saja waktu itu, saya sudah mencari banyak dan menurut
beliau tidak sesuai. That's way, beliau juga mencari untuk
membantu saya.
Saya masih ingat ketika saya pernah ngotot bernegosiasi untuk
sidang dan akhirnya beliaupun menyetujui. Waktu itu beliau
207

mengatakan bahwa saya pasti tidak lulus dan besar


kemungkinan mengulang ujian. Tapi tak apalah, karena saya
tahu kualitas tesis saya sendiri juga, dan itu fair bagi saya.
Hingga akhirnya benar saya mengulang juga dan kembali
dibimbing oleh beliau.
Di ujian tesis beliau tak membantu tapi tak juga
menjatuhkan. Beliau hanya mengajak saya berpikir kritis dan
self-evaluation, yang waktu itu membuat saya sebenarnya
ingin berkaca-kaca, tapi saya tahan.
Pak Ino, sungguh saya merasa berhutang budi sekali.
Keinginan saya untuk terus belajar kepada Bapak dan
mendulang ilmu sebenarnya masih terus mengalir, layaknya
orang kehausan. Ketika Bapak menawarkan saya bergabung
di proyek assessment, saya sangat senang sekali. Namun,
sayang belum terlaksana karena terpotong oleh kekecewaan
Bapak terhadap saya yang tidak konsisten. Maaf dan maaf.
Tidak konsisten karena kebijakan.
Bagi saya, pak Ino sosok yang kritis dan membakar otak
untuk berani menerima tantangan yang lebih. Sungguh, saya
bersyukur bisa mengenal sosok guru besar dan langka bagi
seperti Bapak.

-Asri-

208

Jangan Jadi Tuhan Untuk Orang Lain


Oleh Ridho Magpro 2007

Aku sudah sering mendengar mengenai dosen yang akan


mengisi 2 SKS ku depan ini. Egois, kapitalis, bengis, sadis,
dan 'is 'is yg lainnya. Aku yang biasanya suka malu-maluin,
gak tau malu, dan percaya diri tanpa dasar seketika harus
berpikir lebih dalam, ketika beliau bertanya kepada para
mahasiswa di kelas, "Tujuan pendidikan iku opo seh? Ayo
sopo sing iso njawab? seketika suasana hening. "Jare wong
pendidikan, pertanyaan gampang ae kok diem semua. Ayo
kamu, Ndut!
Jawaban yang meluncur dari beberapa mahasiswa belum bisa
membuat celaannya terhenti, "iku sing mburi lemu dewe. Akeh
sing lemu yo neng kelas iki" Hahaha, padahal yang ditunjuktunjuk ini ya mahasiswi yang pernah beliau ajar di S1
Psikologi dulu. Seketika tatapannya menuju padaku, Ayo
kon sing ngguyu iku, iso ta? Seketika jawaban seadanya
meluncur. Beliau tersenyum dan berkata, "Gak ono sing
bener, bagaimana bisa seorang psikolog pendidikan gak tau
apa itu tujuan pendidikan?" Kami terdiam. Beliau lalu
menambahkan ...pendidikan itu, tentang bagaimana
membuat manusia itu menjadi makhluk yang utuh, memiliki
ilmu untuk melengkapi kekurangannya dan kekurangan
orang lain Cukup simpel namun mengena bagiku mungkin
juga buat mahasiswa yg lain.
Aku memang tidak dekat dengan beliau. Namun ternyata
beliau masih mengingatku. Ini kuketahui saat bertemu di
depan meja resepsionis gedung lama Fakultas Psikologi. Aku
yang kebetulan bertemu sambil menenteng ijazah disapanya.
209

Setelah obrolan soal pekerjaan saya berlalu, beliau tersenyum


sambil menepuk pundakku dan mengatakan, "Kamu kalau
sudah punya ilmu, jangan menjadi Tuhan untuk orang lain"
Saya terdiam, lalu beliau pun hilang dari pandangan.
Seketika itu pula, aku teringat kejadian beberapa waktu yang
lalu saat membuat laporan psikologis salah satu klien kami.
Aku sempat merasa bersalah, namun disisi lain ada keinginan
untuk bangkit dan lebih awas dalam melakukan apapun.
Kejadian singkat, namun hingga detik ini masih membekas
dan menjadi salah satu prinsip hidupku. Bagiku kata-kata
seorang psikolog mungkin ringan, namun memiliki efek yg
besar untuk orang lain.
Trims Pak Ino Yuwono.
Aku tidak dekat, namun mengenal kalimatmu dengan sangat
baik.
Inspirasi bisa datang dari coretan dan guratan, namun bagiku
bapak telah membuat sebuah lukisan yg takkan pernah
memudar.

210

Makanan & Koko Ino Yuwono


Oleh Dewi Hargiyanto

Saat ini dan seterusnya, aku pasti akan teringat Koko Ino
kalau melihat bubur Madura. Aku tahu makanan ini adalah
kesukaanmu, Ko. Karenanya saat aku syukuran selesai S3
dan anakku lulus kuliah, maka aku pesenkan bubur Madura
ini. Aku ingat saat sebelum kardus nasi kuning dan bubur
Madura dibagikan, masih di ruang makan, Koko langsung
mengambil dan memakannya. Pertama kali, senang rasanya
melihat Koko makan bubur Madura. Aku ingat sebelum
pulang untungnya masih ada buburnya jadi kubawakan ke
ruanganmu biar di bawa pulang untuk mbak Lilik, istrimu.
Dulu aku pernah tahu mbak Lilik juga menyukainya, maka
sering kubawakan dengan santan terpisah agar tidak basi di
rumah.
Koko Ino, kutahu kau sangat pencinta makanan. Saat ada
nasi pecel enak, kau rekomendasikan dan bahkan kau ajak
aku makan bersama teman-teman di sana. Ada bakso yang
enak juga kau rekomendasikan dan lalu mengajak kita semua
ke sana. Bahkan dari mulai penjual gorengan enak, Koko
tahu tempatnya. Penjual lumpia di kampus bahkan ingatnya
sama Koko. Sharing tempat makan dan juga info tentang
makanan adalah khas koko banget. Disatu sisi hobi Koko
memberikan referensi makanan juga sering membuatku geli
karena biasanya nanti akan ditambah embel-embel, Jo
mangan wik.. Wis lemu! Tapi dimanapun ada makanan
enak, Koko pasti sampaikan kepadaku. Ah, rasanya sepi
sekali sekarang ini karena nggak ada orang yang teriak
tentang makanan.
211

Oh ya ada lagi! Minuman! Di meja koko pasti ada sejumlah


kopi dengan segala merk, mulai dari teh segala rasa dan jenis.
Koko selalu menawari siapapun. Tahukah Ko? Karyawan
Psikologi Unair pasti akan merindukan tawaran kopimu? Ah
koko, kalau aku boleh ibaratkan koko adalah makanan
komplit dan spesial. Kalau koko itu permen, maka koko
adalah nano-nano. Beragam rasa, namun jadi satu dan
membuat Koko menjadi khas. Demikian pula koko yang
kadang pelit, kadang loman, kadang kasar, kadang halus,
kadang sabar, kadang nggak sabaran, kadang sakit kadang
membanggakan kesehatannya. Ah Ko Selamat jalan.
Masih banyak hal tentangmu. Terimakasih telah mewarnai
kelas kehidupanku.
Doaku untuk kedamaianmu

212

Kubersyukur Mengenalmu, Sir


Oleh Josephine Antonia - Josephineantonia.blogspot.com

Rabu, 5 Desember 2012, ketika kami (saya, Phebe, & Ni


Putu) melayat ke Adi Jasa, kami sempat berbincang sedikit
dengan Bu Liliek, istri Pak Ino. Bu Liliek mengatakan, Pak
Ino tidak mau ketika meninggal merepotkan orang.
Kepergiannya yang mendadak dan di rumah, mungkin inilah
yang dikehendakinya.
Pengalaman yang tidak aku lupakan adalah ketika aku masih
semester II, pertengahan tahun 2007. Aku yang saat itu
menjadi ketua panitia Welcome Party UKMKK, bermaksud
meminta pak Ino menjadi donatur. Aku dan Esther, dengan
takut-takut, masuk ke ruangannya pak Ino. Pak Ino menolak
mentah-mentah proposal kami. Saat itu yang ada di
pikiranku, wah pelit amat dosen ini. Tapi belakangan aku
baru menyadari, itu cara pak Ino agar kami berusaha.
Penolakan proposal itulah, yang kemudian membawaku
pada pengalaman berjualan, mulai dari di acara wisuda
sampai di pasar, tanpa gengsi. Pak Ino bisa saja memberi
sumbangan, tapi itu tidak mendorong kami untuk berusaha.
Dalam hati, aku menyesal mengapa dulu tidak mengambil
lebih banyak mata kuliah yang diasuhnya, mengapa aku tidak
berinteraksi lebih banyak, mengapa aku ikut-ikutan
menganggap beliau killer. Aku sebenarnya berencana tahun
depan akan melanjutkan kuliah Magister Profesi, dan
mengambil peminatan PIO. Sejujurnya, aku memilih PIO
salah satunya juga karena ada pak Ino, aku penasaran dan
ingin belajar banyak dan berdiskusi dengan beliau, termasuk
213

tentang filsafat & sejarah, yang baru akhir-akhir ini aku


tertarik.
Kini, aku masih meneteskan air mata, tapi bukan air mata
kesedihan lagi, melainkan air mata haru. Aku percaya pak
Ino berbahagia di tempat terindah. Apalagi Gusti Allah
memanggil Pak Ino di saat yang indah, masa Advent. Aku
percaya Pak Ino bangga pada kita yang sudah berhasil,
maupun yang masih berusaha, dan yang mengerjakan PR
darinya. Aku bersyukur, mengenal sosok yang berintegritas,
walau hanya sekejap :)
Nanti jam 10, akan diadakan upacara penghormatan terakhir
untuk Pak Ino di fakultas.. Aku dan teman-teman SKK akan
menyanyikan lagu kesukaan pak Ino, yang kebetulan juga
lagu kesukaanku, yang biasa aku nyanyikan ketika aku sedang
membutuhkan kekuatan... Mazmur 23 :)
Rest in peace Sir Christophorus Daniel Ino Yuwono :)

214

Beliaulah Sebenar-benarnya Guru


Oleh Astri Dita Nuriani - Astriditanuriani.tumblr.com

Saya mencoba mengikuti kelas-kelasnya, menghadapi


ketakutanku kepada dosen berkarakter keras ini. Saya mulai
memahami bahwa beliau tidak killer ataupun jahat. Beliau
hanya keras. Beliau ingin murid-muridnya benar-benar
paham dan mengerti apa yang sedang mereka pelajari.
Mungkin caranya sedikit berbeda dengan kebanyakan orang,
akan tetapi justru itu yang membuatnya berkesan.
Suatu kali seusai ujian, beliau pernah bertanya pada saya,
Aku kereng ta? Kereng yo aku mau? Beliau menanyakan soal
aturan tidak boleh ada coretan sama sekali dalam ujian essay
kali itu. Sekali ada coretan, nilainya adalah E.
Jawabku, hmmm.. yo enggak seh. eh, sithik lah paaak..
Maksudku itu biar kalian yang sudah mahasiswa ini
berpikir matang-matang sebelum menjawab. Pikirkan apakah
yang akan kalian tulis itu sudah baik dan benar atau tidak.
Sudah yakin kah kalian dengan jawaban itu. Ojok koyok arek
SD rek, nulis sak karepmu dewe, sahut beliau.
Di kesempatan lain, beliau berkata pada saya, Kita itu harus
keras pada hidup, agar hidup tidak keras pada kita.
Pak, kami semua mencintaimu. Bahagialah di sana, ilmu dan
kebaikanmu akan tetap hidup di hati kami semua.
Farewell, the best Engkong sedunia :)
I love you so much, and Ill always missing you.
215

Pecutan Sang Guru


Oleh Puspita Dian Arista Pusz.wordpress.com

Komentar-komentar beliau yang mengejutkan itu yang


membuat aku agak takut dan deg-degan dengan beliau.
Ngapain kamu kok mukamu kayanya takut sekali? Saya gak
gigit kok cuma ya hati-hati saja, komentar Pak Ino sambil
tertawa khas (ah senyum khas beliau ini yang selalu membuat
aku menitikkan air mata sampai sekarang). Sejak saat itu aku
janji pada diri sendiri untuk lebih berani, aktif dan banyak
membaca agar bapak nggak menilai saya sebagai penakut lagi.
Dia pernah berkata, Kalian ini mau jadi calon Psikolog, iku
abot jenengmu (nama kalian itu jadi berat). Jangan sampai
lulusan Unair Cuma jadi Sarjana powerpoint. Benar saja, di
kelas itu aku tidak pernah sekali pun membaca powerpoint atau
membacanya saat mau ujian. Menurut beliau sarjana itu
bacaannya buku, jurnal penelitian dan kami harus
membiasakan diri untuk membaca buku-buku bahasa inggris
yang tebalnya melebihi novel Harry Potter kelima. Pak Ino
juga menjadwalkan kuis lisan setiap minggunya dan apabila
dalam satu semester itu tidak lulus kuis sebanyak 3 kali maka
anak tersebut dinyatakan tidak lulus dalam mata kuliah itu.
Tidak tanggung-tanggung, materi untuk kuis bisa 2 sampai 4
chapter berbahasa Inggris, sehingga mengulang mata
kuliahnya Pak Ino sebanyak 2 sampai 4 kali pun menjadi hal
yang lumrah bagi mahasiswa.
Ia kerap bertanya pada setiap anak di kelas, Coba berapa
buku yang habis kamu baca sampai kamu lulus jadi sarjana?
Banyak dari kami hanya menjawab 4 sampai 6 buku dan
paling banyak mungkin hanya 10. Hal ini membuat beliau
216

sangat gregetan, Kalau nggak baca, kalian itu akan dibodohi


terus rek sama orang luar dan bisa jadi budak di negeri
sendiri. Semangat belajar dan membaca ini yang terus ia
tanamkan ke semua anak mahasiswanya.
Bagi sebagian mahasiswa yang tidak suka caranya mungkin
akan merasa kesal dengan peraturan-peraturan yang ia
terapkan. Namun paksaan beliau akan pentingnya membaca
dan mengerti esensi apa yang terkandung di suatu bacaan
(plus hukuman saat tidak bisa memecahkan pertanyaan
beliau), dilakukan tak lain hanya untuk kebaikan anakanaknya semata.
Minimal satu bulan itu kalian harus baca satu buku lah.
Ngga malu kamu katanya sarjana tapi planga-plongo!

217

Pak Ino Ingin Kita Selalu Belajar


Oleh Lila Psikologi 06 - Lilalilulelo.blogspot.com

Pak Ino ingin kita belajar. Seperti yang rekan-rekan


mahasiswa tahu pertanyaan yang sering beliau tanyakan
adalah, Berapa banyak buku yang sudah kamu baca? Satu
kelas langsung toleh toleh kanan kiri, saling melirik teman,
dan kemudian tertunduk takut. Biasanya kemudian beliau
sendiri yang kemudian menjawab, Pasti 1 aja gak sampe!
Memang sarjana sekarang itu cuma sarjana powerpoint! Kalau
kalian kuliah di luar negeri pasti sudah commiting suicide karena
tidak pernah baca buku! Beliau ingin kita baca buku. Setiap
mata kuliahnya beliau mewajibkan kita untuk minimal
membaca satu buku sampai selesai sepanjang masa
perkuliahan. Biar kita dapat ilmu, yang menurut beliau jauh
lebih penting dari sekedar nilai.
Pak Ino ingin kita belajar. Peraturan ujian dari tiap mata
kuliah yang diajar Pak Ino adalah tidak boleh dihapus,
dicoret, atau distipo. Kalau itu terjadi maka jawaban otomatis
salah. Beliau ingin kita belajar dan menguasai materi
sebelumnya. Orang menguasai materi tidak ragu-ragu dalam
menjawab sehingga tidak perlu repot-repot menghapus.
Beliau juga ingin mengajarkan bahwa dunia di luar kuliah
sering kali tak mentolerir kesalahan. Kesalahan kecil yang
kita lakukan akan menjatuhkan kita lebih keras daripada
sekedar nilai jelek. Itu kenapa kita harus sangat berhati-hati,
disiplin, waspada dan tidak ceroboh dalam bertingkah laku
dan mengambil keputusan.

218

Pak Ino ingin kita belajar. Mahasiswa yang datang terlambat


pasti di suruh membawa upeti-upeti yang biasanya makanan
yang akan dibagikan kepada seluruh kelas. Terkesan
memberatkan, tapi sebenarnya beliau ingin mengajarkan
bahwa ada konsekuensi dalam setiap tindakan. Ada harga
yang harus di bayar untuk setiap kesalahan. Disiplinlah agar
kita tidak dirugikan oleh tindakan kita sendiri di kemudian
hari.
Pak, kami akan selalu merindukan Bapak. Saya sangat
bangga pernah mengenal dan diajar oleh orang
semengagumkan bapak.

Until we meet again...


RIP Pak Christophorus Daniel Ino Yuwono

219

Thanks for the Inspiration You Gave to Me


Oleh Birgita Pertiwi (Tiwin) - Psikologi 2001

Terakhir bertemu dengan Pak Ino adalah saat beliau menjadi


seorang juri sebuah lomba di Universitas Widya Mandala di
Februari 2012. Saat itu statusku adalah konsultan di Pusat
Layanan Psikologi yg dimiliki UWM. Satu kelompok yang
akhirnya memenangkan juara 3 di lomba tersebut adalah
anak2 magang di Pusat Layanan Psikologi-ku itu. Pada
waktu itu aku menyapa beliau dan seperti biasa beliau
langsung menyentuh kepalaku sambil bertanya, "lapo koen
disini?" Akupun menjawab, "Kerja Pak!" Dan kemudian ia
mengatakan buat apa aku meninggalkan pekerjaanku
terdahulu, yang notabene sudah terlihat enak. Sebelumnya aku
bekerja di perusahaan besar dan terkenal, di Jakarta.
Dikarenakan beliau juga mengenal orang tuaku, beliau saat
itu juga berkata "Bapakmu iku lapo to? Kok koen dikongkon
muleh... ibumu pisan?" Kembali saat itu aku hanya tersenyum,
karena aku tidak ingin berpanjang lebar lagi berbincang
dengan beliau.
Kemarin, saat mendengar beliau sudah meninggal. Ada
perasaan sedih yang sangat dalam yang muncul dalam diriku.
Pak, sekarang saya sudah kembali bekerja di sebuah
perusahaan terkenal dan berkembang di Jakarta. Aku
kembali mengambil keputusan untuk mencari apa yang aku
inginkan dan berusaha mengembangkan potensi yang aku
miliki. Aku berusaha meyakinkan kembali orang tuaku atas
apa yang aku inginkan dan harapkan atas pekerjaan. Disini
aku -sampai saat ini- masih mampu mengaktualisasikan
220

diriku di pekerjaan yang aku jalani sekarang. Semoga saja


Bapak sudah tau ya Pak. Pasti Bapak senang juga.
Bapak tau? Bapak yang mengajarkan kepadaku untuk tidak
mudah merasa puas atas apa yang sudah saya dapatkan.
Bapak yang membuat saya menyadari bahwa saya memiliki
potensi yang belum saya kembangkan. Nilai-nilai yang bapak
tanamkan membuatku berani berhenti dari kenyamanan
untuk mencari yang lebih baik. Banyak kata-kata Bapak yang
selalu menjadi pemicuku untuk ingin berusaha mendapatkan
yang lebih baik, baik kata-kata yang baik atau yang kasar
sekalipun (namun aku lebih banyak ingat yang kasar daripada
yang baik, mungkin banyak juga yang begitu).

221

----Oleh Syahani
@haniirahma

Rahmawati,

Psikologi

Unair

2010

Sebagai seorang mahasiswa yang masuk psikologi sebagai


pilihan keempat, pada awal perkuliahan saya tidak tahu akan
saya bawa kemana gelar S.Psi ini nantinya begitu lulus.
Hingga kemudian saya bertemu dengan Pak Ino di semester
3, tepatnya pada kuliah Asas-Asas Manajemen. Ia mengubah
cara pandang saya terhadap pentingnya memiliki tujuan
ketika kuliah.
Saat itu beliau mengatakan, "Kalian ini sekarang kuliah
penginnya cuma cepat lulus, mengejar nilai bagus dan gelar.
Bener nggak?". Ia bertanya kepada saya, "Mbak, kamu.
Kamu kuliah ini mau mengejar ilmu atau gelar?" Deg, Saya
yang sudah mendengar reputasi beliau langsung tertegun
ketika ditanya seperti dan dengan tegang menjawab, "Mmm..
dua-duanya pak."
Beliau memaksa saya untuk memilih salah satu, hingga saya
menjawab, "Untuk mengejar ilmu Pak." Jawaban saya
kemudian ditanggapi beliau dengan tantangan, "Kalau kamu
memang mau mengejar ilmu, kamu kuliah disini sampai
kamu paham betul dengan semua konsep teorinya, nanti
saya carikan guru yang bagus, tapi nggak dapet gelar. Berani
kamu?"
Deg. Lagi-lagi tertohok. Saya pun menjawab, "Ya jangan
paak.. Nanti nggak bisa kerja". "Itu namanya kamu mengejar
gelaaar", jawab beliau sambil menekan puncak kepala saya
dengan gemas. Itu pelajaran pertama sekaligus paling
222

berkesan yang saya peroleh dan masih dapat saya ingat


dengan detail mengenai beliau, apa tujuanmu kuliah. Saya
merasa tertantang untuk membuktikan pada beliau, "Pak,
saya bisa berubah. Saya akan berusaha menjadi mahasiswa
yang mengejar ilmu, tidak hanya gelar. Saya akan
membuktikan pada Bapak".
Pelajaran berikutnya kemudian mengalir masuk dalam mini
hardisk saya melalui pelajaran Asmen maupun Teori
Organisasi. Pertanyaan-pertanyaan sederhana beliau dalam
perkuliahan seperti, "Mbak, buat apa kamu kuliah? Untuk
apa kamu hidup? Buat apa kamu berkeluarga? Apa yang
beliau katakan memotivasi saya untuk belajar,
mengembangkan diri, dan memiliki tujuan dalam setiap hal
yang saya lakukan. Jika mengutip dari apa yang pernah Pak
Bukik katakan, beliau ingin memastikan bahwa setiap hal
yang dilakukan anak didiknya bermakna, paling tidak untuk
dirimu sendiri.
Satu hal yang paling saya sesalkan setelah Bapak pergi.
Beberapa kali saya pernah terlambat masuk kelas Bapak dan
memutuskan untuk membolos karena tidak ingin terkena
hukuman membawa makanan untuk teman-teman sekelas.
Saya takut bapak dengan warning tegas yang Bapak berikan,
"Terlambat masuk kelas saya, wajib membawa makanan
untuk sekelas. Makanannya harus berkelas, minimal J-Co
lah." Saya tidak menyadari betapa penting dan berharganya
pelajaran bapak dibandingkan beberapa rupiah yang akan
saya keluarkan bila dihukum. Saya tidak menyadari betapa
sedikitnya waktu yang disisakan oleh Tuhan untuk Bapak
mengajar di kampus ini dan betapa banyaknya hal yang
masih ingin saya pelajari dari Bapak. Maafkan mahasiswimu
ini ya pak..

223

Au Revoir,
Oleh Petite - Bruinemelodique.blogspot.com

Pagi ini baca lagi tagar #InoYuwono di twitter.


Hehe, kejadian ini nyata rupanya. Segitunya, memang
segitunya saya ga percaya dan agak ga mau percaya bahwa
Pak Ino sekarang sudah tinggal jasadnya saja. Beliau kembali
duduk manis di pangkuan Tuhan, tersenyum senyum
mungkin.
Semakin menyadari Pak Ino memang pergi, semakin sering
saja bayangan ekspresi wajahnya. Bagaimana khas matanya
mengerling, memandang kita dengan pertanyaan-pertanyaan
dalam soal konsep, soal masa depan dan hidup yang sedang
kita jalankan.
Bagaimana gayanya tertawa, terkekeh setelah bercanda
menjahili mahasiswa di kelas PIO. Bagaimana ia tertawa
dengan binar sedih tentang masa depan universitas dengan
misi visi yang dianggapnya melangit namun tanpa amunisi
dan berisi mahasiswa-mahasiswa pemalas. Bagaimana beliau
segitunya berusaha tidak menunjukkan kasih sayangnya pada
kami, dengan bilang,
*setelah survey kecil dosen pio, dikelas*
"Minggu depan gantian bukan saya yang ngajar"
"Lhooo pak enakan bapak aja yang ngajaaaar"
*membunyikan pret dari mulutnya*
224

"Saya ini orangnya jahat, kamu nulis baik itu kan soalnya
saya lagi ngajar dikelas ini"
"Ya tapi bapak lagi aja pak yang ngajar.."
*terdiam sejenak*
"Bagaimanapun dosen dosen muda itu harus dikasih
kesempatan belajar.. gantian lah, kalo ga, kapan mereka bisa
belajar --Sudah sana kalian boleh pergi"
"Sini sini buku absennya, tak absene siji-siji sambil liat
wajahmu, nanti kalo aku mau ngusili ben enak, terkekeh
khas Pak Ino.
Dan beberapa yang lain.. sungguh beliau berusaha keras
hanya untuk membuat kami berpikir dan belajar lagi, supaya
kami lebih punya arti, supaya kami nanti dihargai dan
bertanggung jawab atas akhiran "S. Psi" dibelakang nama
kami.
"Saya ga ngurus lah kalian mau jadi apa, wong kamu ndak
sekolah disini aja ngga ngaruh kok buat saya, saya masih bisa
ngajar"
"Kamu baca buku satu semester berapa? Ga sampe 5 toh?
Mbelgedes ! Gitu mau saingan sama orang luar? Shame on you."
"Ngono jare kate ganyang Malaysia, wong karo Malaysia ae kalah.
orang sana itu minimal baca buku lah ndak kaya kalian"
"World class university.. pret, bullshit kan menurut saya. Lek aku
dadi rektor koen koen iki tak jejeg-i kabeh, wong ga ono sing
iso bahasa inggris, yokan?"

225

"Grammar salah 5? Coret! Pake stipo? coret ! Ada anak


nyontek, satu aja, sak kelas E !---hahaha, enak toh jadi aku."
"Heh, Sam, yak opo arek-arek iki? Reliabilitas ae ga ngerti
Sam.. ngono jare statistik oleh A. Ajur kan aku bilang-hahaha"
Dan terlalu banyak yang lain. Iya, memang sebanyak itulah
beliau berusaha membagi rata kasih sayangnya, atas satu
kepedulian mendalam tentang dunia pendidikan yang
menjadi cinta, semangat.
Gitu kok sempet-sempetnya pak Ino ngasih kita ekspresiekspresi arogan, ngenyek lah.. supaya apa sih pak?
Kita itu udah taunya, bapak baik. Aksi jadi sok jahat juga
enggak ngaruh.
Percuma pak, hehehe, apa yang dari hati, pasti sampai ke
hati.
Yawes Pak Ino itu.
Niat tulus bapak sampai di hati kami dan semua yang kenal
bapak.
Wong pak ino aslinya mau baik kok.
Bapak mau aksi jahat kayak apa juga ndak ngaruh buat kami
:p
Duh pak, sedih ini lho. Berkat bapak kayak gitu, kami jadi
takut-takut mau bilang langsung kalo kami ini suayang lho.
Kalo kami sering rasan-rasan bapak itu sok galak padahal
unyu. Kami seringkali ingin nawarin bantuan, tapi ketakutan.
Hehehe :') sedih. Padahal saya Cuma mahasiswa biasa yang
226

bertemu pak Ino hanya ketika kelas PIO dan beberapa kali
di lorong-lorong kampus, dan tidak pernah diingat namanya.
Dulu saya dan teman-teman sempat nyeletuk,
"Duh TO kalo ga sama pak Ino ga wenak yo, wingi lho bab
2 sebanyak itu ae isok langsung paham kalo sama dia, piye
coba lek ga onok pak Ino?"
Kejadian sekarang.
Pun pak Ino sudah seringkali mengingatkan kami untuk
disiplin belajar dan membaca buku, biar tidak tergantung
seperti ini. -- 07.43
12.14
Sudah di bus, perjalanan dari rumah duka adi jasa menuju
kampus B unair.
Akhirnya liat pak Ino untuk terakhir kali. Pake setelan jas
hitam dan sarung tangan putih.
Pucat dan diam.
Tidur yang tenang pak, tentu saja kita semua akan bertemu
lagi suatu nanti kan? Au revoir pak Ino J Nanti di surga ga
usah pura-pura jahat lagi ya.
"...Dan pagi, takkan
sebagaimana mestinya.

terisi

lagi,

lonceng

bertingkah

Membangunkan orang tanpa berbagi sedikit asmara untuk


memulai hari
Tidurlah, malam terlalu malam, tidurlah, pagi terlalu pagi.."
payung teduh
227

even before he go to sleep:


Yawes gini ajalah, kalian ndak ngerti reliabilitas ini kan
dosa, kalian lakukan penebusan dosa ya, Senin minggu
depan kalian bawa surat tanda donor darah untuk menebus
dosa, kan nyelamatin nyawa berapa orang itu kelas
MSDM terakhir pak Ino, 3 desember 2012
"...semua ada waktunya. Ada waktu menanam ada waktu
memanen. Ada waktu bertemu ada waktu berpisah." -- C.D.
Ino Yuwono komen di facebook Pak Bukik, 3 desember
2012
So long Pak Ino.
Merci beaucoup, monsieur.
---Jadi begini, intinya, pak Ino itu aksinya ektrim kiri, hatinya
kanan. Pak Ino itu penuh dengan kasih sayang, saya yang
mengenalnya terlalu sedikit dan terlalu sebentar, dan tidak
termasuk yang pernah mengobrol secara personal saja
merasakannya.
Ada istilah, apa yang dari hati, pasti sampai kehati, apa
yang baru saja saya alami itu cukup menjelaskan istilah itu.
Semua ucapan, peringatan keras Pak Ino, sama sekali tidak
membekas luka. Sebaliknya, saya dan banyak orang justru
mungkin jatuh hati, pesan dari hati Pak Ino saya rasa sampai
ke hati kita semua kan? Beliau berusaha membagi rata kasih
sayangnya, atas satu kepedulian mendalam tentang dunia
pendidikan yang menjadi cinta, semangat.
Saya juga percaya, Pak Ino adalah golongan yang mati muda.
Muda itu mengejar mimpinya, muda itu di jiwa. Pak Ino
228

sekali menjelaskan sebuah istilah, good people die young. Pak Ino
juga aktor di panggung dunia pendidikan. Panggung yang
dibuatnya sendiri. Saya yakin setiap yang mendengarnya
berbicara saat di atas panggung akan otomatis menyimpan
kesan. Malam ini saja, teman saya yang tidak kenal Pak Ino
dan cuma baca di timeline twitter bilang, Pak Ino ini benarbenar buat aku jadi fansnya, Win.
Lalu dalam kitab agama saya, kitab Al-quran, surat ke 103
yaitu Al Asr yang berisi 3 ayat, yang artinya:
1.

Demi masa

2.

Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian

3.

Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan


kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan
saling menasihati untuk kesabaran.

Lagi-lagi saya percaya pak Ino adalah golongan ber-iman itu,


yang tidak sedikitpun merugi dengan menghabiskan waktu
tanpa makna. Beliau berusaha sekali menyadarkan manusia
lainnya untuk menjadi benar untuk mencari arti.
Tuhan, tempatkan dia di surga terbaikmu.

229

Pak, I Miss You. But I Let You Go


Oleh Ahim

Selama kuliah sudah tak terhitung berapa kali beliau


"mengejek" saya, mulai bentuk tubuh, dikatai "goblok",
sampai mengomentari kaos saya yang tidak pernah ganti.
Beliau pernah bilang, "Him kaosmu kok ga ganti-ganti. Koen
ga duwe liane ta? Heh rek urunan ta! Tukokno hem (kemeja) arek
iki!" Ya begitu lah Pak Ino, komentarnya spontan dan jujur.
Beberapa kali dia juga memberi komentar yang
menyenangkan seperti, "koen kok pinter saiki," atau suatu
hari beliau bilang, "koen kok iso oleh bojo ayu?"
Belakangan saya baru menyadari berdasarkan komentarkomentar beliau, Pak Ino itu selalu memberi perhatian atas
mahasiswanya. Bisa-bisanya beliau menyadari kalo saya
hampir setiap kuliah memakai kaos hitam yang sama,
sementara teman lain tidak menyadarinya. Bisa-bisanya
beliau tahu siapa pacar saya saat itu.
Beliau mengkritik saat beliau merasa seseorang perlu diberi
masukan agar berkembang. Di satu sisi beliau tidak ragu
memuji. Di titik itu saya merasa beliau adalah orang paling
tulus yang pernah saya jumpai selama hidup saya.
Cara Pak Ino mengomentari suatu hal dengan jujur dan
tulus, walaupun 'nylekit' sedikit banyak mempengaruhi
perilaku saya sekarang saat di kantor. Saya jadi mudah
menyatakan ketidaksukaan pada hal-hal yang saya anggap
tidak tepat. Saya menjadi 'pembangkang kecil-kecilan' atas
aturan di kantor yang saya anggap terlalu birokratis.
230

Pertemuan terakhir saya dengan Pak Ino,terjadi bulan januari


2012. Saat itu saya menghampirinya untuk meminta referensi
beliau dalam rangkap aplikasi beasiswa studi di Amerika
(saya ga lolos sih... ;)) Saat itu Pak Ino menempati
ruangannya di lantai 2 gedung psikologi. Ia seperti biasa
membaca jurnal di komputer sambil merokok. Beliau
menawari saya rokok, tapi saya menolaknya. Saya pun
mengutarakan jika saya ingin mendapat referensi dari beliau
untuk beasiswa di Amerika. Dari situ beliau banyak bercerita
soal pengalaman beliau kuliah di Amerika. Beberapa nasehat
yang beliau berikan, "koen kudu kuliah nang luar, ben koen eruh
banyak budaya kita yang kita lupakan padahal sebenernya itu
baik. Koen bakal sadar kalo wong Jowo itu saapik apike wong
dibanding orang luar." Beliau juga mengatakan, "Engkok
njupuko kuliah sing biasa-biasa ae. Ojo angel-angel luluse, karena
kuliah itu yang kamu cari apa sih, kalo pelajaran bisa kamu
liat di internet, googling, beli jurnal. Akeh dolen ae, karena yang
kamu harus liat itu budayanya. Dari situ kamu belajar
hidup."
Membaca surat wasiat #InoYuwono sore ini,membuat saya
yakin atas sikap, perilaku, keputusan yang saya punya selama
ini sebagai sebuah PILIHAN. Saya sepakat atas seluruh poin
yang diwasiatkan beliau tentang PILIHAN HIDUP. Kadang
memang ada perilaku saya yang dipandang agak kurang pas
di kantor hanya karena tidak sepakat dengan 'kenormalan'
yang diciptakan 'para dewa' di kantor. Dan itu membuat saya
mungkin tidak mendapat cukup atensi dalam karir. Saya
sadari itu adalah konsekuensi. dan tulisan wasiat
#InoYuwono telah meneguhkan saya pada pilihan-pilihan
saya. Beliau menginspirasi saya..
Bagi saya beliau bukan cuma dosen, beliau adalah guru
kehidupan.
231

Surat wasiat beliau akan saya cetak dan saya simpan sebagai
inspirasi KEBERANIAN untuk memilih, mengkritik, dan
menjadi berbeda. Membangun determinasi pada hal-hal yang
kita cintai dengan penuh ketulusan,seperti cinta beliau pada
dunia pendidikan..

-Ahim-

232

Tak Kenal Maka Tak Sayang


Oleh Miefaza Miefaza.com

Yang ga bisa jawab, Keluar! ikuti mata kuliahnya tahun


depan!, katanya sambil menghisap sebatang rokok yang
dipegang dengan cara yang sangat unik menurutku. Tak
banyak orang yang kuketahui memegang rokoknya dengan
cara itu. diselipkan diantara jari manis dan jari tengahnya.
Betul saja, karena tidak bisa menjawab, aku pun keluar dan
harus mengulang mata kuliah itu semester depan. Setelah itu,
tak banyak momenku untuk berhadapan dengannya lagi.
Aku sudah cukup kecewa saat itu.
Kata-katanya selalu pedas. Menyayat hati. Selalu membuat
orang merasa tertampar. Mungkin Kesan pertama terhadap
bapak satu ini adalah Orang yang akan menyulitkan
kehidupan akademik saya di kampus.
Beberapa orang memilih untuk menjauhi dan tidak
berhadapan dengannya, termasuk saya salah satunya. Tapi
aneh, beberapa kali aku melihatnya bersama temanku yang
lainnya, mereka bisa tertawa. Bagaimana Caranya?
Bagaimana Mungkin?, tanyaku dalam hati. Jujur sebenarnya
aku ingin seperti mereka. Dapat bercanda dengan Pak Ino.
Sayangnya saat itu mentalku tak sebaja teman-temanku.
Mentalku masih mental krupuk yang langsung hancur begitu
dikepruk. Aku tak berani mencoba lagi untuk berkenalan
dengan dirinya lebih dalam. Ini mungkin yang aku cukup
sesali sekarang, Tak bisa kuambil ilmu dari Pak Ino. Tak bisa
ku ketahui sendiri pribadi aslinya yang menarik. Tak bisa
kucontoh sikap disiplinnya.
233

Berbahagialah bagi yang sudah dekat mengenal dirinya..


Menyerap Ilmunya.. dan tertawa dengan guyonannya..
Hari sabtu ini merupakan hari penghormatan terakhir untuk
Pak Ino Yuwono, yang diadakan di Fakultas Psikologi Unair.
Aku masih sempat mendekati peti matinya dan
menyentuhnya. Aku mencoba untuk tetap tersenyum. Pada
saat terakhir Bu Retha memberikan salah satu kutipannya,
entah kenapa emosi ini membuncah. Air mata ingin mengalir
rasanya. Hei, padahal aku tak cukup banyak mengenal
dirinya! Rasanya pengalaman yang diliputi rasa takutku lebih
banyak daripada pengalaman indah dan menyenangkan
bersamanya.
Tapi kenapa saat itu aku ingin menangis. Kenapa ingin
kuteteskan air mataku untuknya?
Mungkin sebenarnya aku sangat mengaguminnya. Orang
yang sangat berkarakter dan berilmu. Mungkin juga sebagian
perasaanku berisi kekecewaan. Kekecewaan karena tak dapat
mengenalnya lebih jauh.
Kupikir, tak akan ada cara memberikan penghormatan
terakhir yang pantas bagimu. Karena penghormatan terakhir
untuk seorang guru adalah dengan menerapkan semua
ilmunya agar bermanfaat.
Selamat jalan Pak Ino Yuwono

234

Santi Bikin Kopi


Oleh Santi

Santi,bikin kopi!, Santi, bikin teh!, Santi fotokopi! kata


Pak Ino waktu di LP3T. Dipikir besok kamu kerja S1 gak
bikin kopi, akhirnya kubuat teh sambil ngomel. Waktu
berlalu, aku kerja di perusahaan asing. Eh, ternyata vice
presdir-ku juga sama, Santi, bikin teh!, Santi, bikin kopi!,
Santi, fotokopi! Dari hal sekecil itu justru aku jadi anak
kesayangan bos. Aku tidak pernah kena marah karena dia
tahu bahwa apapun yg kita kerjakan akan mendapatkan hasil
sekecil apapun itu. Thank you Pak Ino yang memberikan
pelajaran bahwa apapun pekerjaan kita, sekecil apapun
kerjaan kita pasti ada sesuatu yg lebih besar dibaliknya.

235

Petuah yang Menguatkan


Oleh Nay

Pak Ino, masih saya ingat saat pak Ino mengajar kepribadian
dan menanyai saya,Pacaran berapa kali? Aku jawab, Satu
kali pak. Kata Pak Ino, Pacaran itu beberapa kali, biar
kamu tahu kepribadian macam-macam orang.
Benar, setelah itu aku berpacaran beberapa kali dan lebih
tahu karakter dan kepribadian orang lain. Saya jadi tahu
bahwa dunia ini luas dan masih banyak yang bisa kita
lakukan selagi masih muda. Pak Ino juga pernah
mengatakan jangan takut melangkah dan meninggalkan
masa lalu yang tidak membuat kita bahagia
Terimakasih banyak atas petuahnya.
Saya masih ingat Petuah Pak Ino, Jadi Psikolog itu jangan
merasa menjadi Tuhan, karena yang tahu nasib kita hanya
Tuhan!
Bapak, petuah dan kritikan Bapak memang pedas, dan
mungkin ada yang sampai takut saat dikatakan goblok ,
gak becus, dll. Namun karena semua itulah, kami bisa
memahami arti hidup yang sebenarnya dan kami bisa
memahami kepribadian dengan cara yang lebih variatif.
Saya segenap hati berterimakasih dan berdoa agar Pak Ino
diterima di sisi-Nya. Kami akan merindukan petuah bapak
untuk selalu menguatkan langkah kami.

236

See Ya Later, Sir..


Oleh Afi Motik - Afimotik.blogspot.com

Cara pandang Pak Ino terhadap perilaku manusia tidak


sebatas teori saja. Mungkin kedekatan saya dengan beliau
tidak seperti kawan yang lain, tapi pak Ino jelas salah satu
orang yang berpengaruh pada cara berpikir saya.
Setelah baca surat wasiat Pak Ino Yuwono, saya jadi semakin
menghayati,
apa
sebenarnya
makna
pertanyaanpertanyaannya dulu. Pertanyaan yang sederhana, namun
sangat sulit dijawab. Tujuan hidup. Apa sebenarnya tujuan
hidup kita? Saya sendiri sampai saat ini belum menemukan
jawabannya. Masih tetap berusaha survive dan mempelajari
banyak hal secara perifer saja karena saking banyaknya hal
yang bisa diserap dari akses pengetahuan yang tak terbatas
seperti sekarang.
Pak Ino mungkin tidak memiliki gelar profesor, tapi jauh
lebih peduli pada pendidikan dibandingkan banyak profesor
lain. Caranya lebih membukakan mata untuk melihat banyak
kemungkinan yang berbeda dibandingkan pendidik
kebanyakan yang cenderung berpatok pada teori-teori yang
sudah mapan. Teori yang sudah mapan memang diperlukan,
tapi selanjutnya dibutuhkan pertanyaan. Dan dari pak Ino
saya belajar bahwa tidak semua hal di dunia ini
menggunakan logika dan rasionalitas. Keseimbangan dengan
emosi, ini merupakan salah satu hal yang diperlukan. Begitu
pula halnya dengan perusahaan.
Keramahan dan perhatian pak Ino memang luar biasa.
Sampai beberapa saat setelah saya lulus magister pun, beliau
237

sempat bercerita bahwa topi yang saya berikan dulu saat S-1
sudah diberikan ke anaknya yang berada di Australia dan ia
suka dengan topi itu. Padahal topi rajut itu juga cuman topi
biasa saja sih.
Saya bangga pernah mengenal sosok yang sudah meluangkan
hidupnya untuk mendidik dan bukan sekedar mejabarkan
teori kepada seluruh anak didiknya.

238

Sebuah Penyesalan
Oleh WS

Saya sebenarnya tidak mengenal Pak Ino terlalu dalam.


Semenjak saya masuk dan mendengar beliau memberikan
materi untuk PPKMB 2011, saya mulai mengaguminya.
Banyak cerita yang saya dapat, dari kisah killer-nya Pak Ino,
lucunya beliau, hingga kalimat-kalimat beliau yang sangat
berbobot dan bermakna. Aku rela kok disindir dan dimaki,
karena aku tahu yang beliau lakukan adalah membentuk
setiap mahasiswanya menjadi pribadi yang kuat mental dan
cerdas.
Dari yang sekedar tahu, mengenal, hingga yang benar-benar
sayang sangat berduka kehilangannya. Pak Ino, meski hanya
mendengarmu dari orang lain, atau diam-diam menguping
pembicaraanmu, saya sangat beruntung bisa tahu Bapak.
Bapak aku boleh berbangga karena memiliki waktu berjumpa
denganmu. Yesus pernah berfirman agar kita hidup menjadi
garam dan terang dunia. Dan Bapak telah menggenapi
firman Tuhan itu. Goodbye, Mr. Ino. Have a nice trip to
heaven!

From Your Secret Admirer,


WS

239

Terima Kasih pun Tak Cukup


Oleh Rullyta Indrianti

Q: "Nilai statistik I, II mu opo, ndut?" (Nilai statistik I, II


mu apa, ndut?
A: "Mm, dua-duanya A, Pak"
Q: "Aku takon yo, opo iku mean?" (Aku tanya ya, apa itu
mean?)
A: "Mmmm, rata-rata pak"
Q: "Nilai A-mu iku mbiyen singkatane AJUR yo!" (nilai Amu dulu itu singkatannya hancur yo!)
Percakapan singkat itu terjadi saat aku duduk di semester 3.
Aku ingat sekali waktu itu aku sedang mengikuti mata kuliah
PMDO. Dosen yang seharusnya mengajar berhalangan hadir
dan kelasku diisi oleh dosen yang dijuluki sebagai dosen
'killer' di kampusku.
Hampir setiap hari aku jadi bulan-bulanan pak Ino,
panggilan 'ndut' pun melekat padaku. Selayaknya orang
normal, aku harusnya sakit hati atas setiap perkataan Pak
Ino, tapi entah mengapa, aku bersemangat ketika bertemu
Pak Ino. Aku tak sabar mengikuti mata kuliah peminatan
PIO, walau aku mengakui bahwa degup jantungku pun juga
ikut kencang saat Pak Ino bertanya ini itu padaku.
Aku mengagumi sosok Pak Ino sebagai seorang pendidik
dan sosoknya sebagai seorang ayah. Dia bisa dengan sangat
baik memerankan dua peran besar tersebut dalam satu
240

waktu. Kini, pendidik yang juga kuanggap sebagai ayah itu


telah pergi. Meninggalkanku dengan segala kenangan dan
petuah hidupnya. Satu yang sangat kuingat, 2 hari sebelum
kepergiannya, beliau datang ke mimpiku. Aku masih ingat
apa yang kuucapkan dalam mimpiku, "Pak, aku kangen
sampeyan, kangen dimarahin, kangen dinasehatin, kangen
dijelek-jelekin gara-gara aku baca textbook Indonesia, bukan
Inggris". Pak Ino hanya membalas dengan senyuman teduh,
tenang dan bersahaja, sangat berbeda dengan wajahnya saat
di kampus. Ternyata itulah pertemuanku terakhir dengan
Beliau.
Kata terima kasih pun tak cukup untuk segala ilmu dan
prinsip hidup yang kau berikan. Sampai kapan pun aku tak
akan pernah menyesal karena telah mengenalmu. Selamat
jalan Pak Ino.

241

Guru dengan Segudang Minat


Oleh Wati Psikologi 1987

Aku lupa tepatnya kapan aku pergi ke kampus untuk


melegalisasi ijazahku. Mungkin sekitar dua tahun yang lalu.
Seperti biasa jika aku ke kampus, aku selalu menyempatkan
diri untuk SMS Pak Ino dan mas yang lain yang sudah
menjadi pengajar disana, dengan harapan bisa
bersilaturahim.
Haloo Mbok Dhe, itu sebutannya padaku sejak jaman
kuliah. Aku masih ingat beliau bilang, Aku ancen njaluk sing
cedhek cendelo, cek isok rokok'an. Aku menyahut, Woalah pak,
sampeyan iku yo ijik gurung kapok tah bulak balik ngamar? Dia
cuma tertawa saja dan menjawab, Mati iku lak wes ancene wes
wayahe yo mosok karena rokok'an tok tah mbok dhe?
Laopo arep legalisir ijazah, mbok dhe? sekolah opo awakmu?
tanya Pak Ino. Aku sebenernya malu untuk berterus terang
karena bukan belajar psikologi, akhirnya bicara dengan
beliau karena tahu beliau gila belajar apa saja.
Aku sekolah Akupunktur pak, ujian kompetensi beberapa
bulan lagi butuh legalisir ijazah, kataku. Ah aku iso njaluk
treatment awakmu ae yo? Fen, iki lho mbok dhe iso akupunktur,
awakmu iso njaluk treatment mbok dhe ae, sahutnya.
Pak Ino adalah guru yang selalu menyemangati muridmuridnya untuk selalu belajar dan begitulah cara beliau
membanggakan murid-nya.

242

Aku sependapat dengan teman-teman bahwa komputer pak


Ino adalah perpustakaan. Ketika beliau tahu aku belajar
akupunktur. Aku dibukakan "perpustakaannya" Jangan kaget
ya, literaturnya soal akupunktur jauh lebih banyak dariku.
Iki lho aku nduwe, koen wes duwe gurung? katanya. Temenan
tah pak, iki oleh tak copy? jawabku. Aku yang memang selalu
mengantongi USB, dengan semangat meng-copy beberapa
literatur yang memang aku belum punya.
Pak Ino ketika itu bercerita tentang minatnya terhadap
Palmistri. Aku sempat minta dibaca garis tanganku dan aku
merasa apa yang dia baca itu benar adanya. Guruku yang
satu ini memang agak gendheng karena kaya minat dan
pengetahuan.
Selasa pagi 4 Desember 2012 aku mendapatkan kabar bahwa
Pak Ino telah tiada. Aku tak percaya dan berkecamuk hebat,
karena Senin malam beliau masih mengomentari status FB
ku. Aku coba telepon Mas Fendy, ternyata benar adanya. Air
mata terus berurai, menyesali mengapa reunian psikologi 87
di Shangrila, 1 Desember lupa mengundang beliau. Aku
ingat pertemuan terakhir di Boncafe Manyar, ia sempat
mengatakan, Ayo ketemuan sak durunge aku game over berkecamuk berkelebat di kepalaku.
Selamat
wangsul
pak
guruku
yang
"gendheng",
ke"gendheng"anmu bener-bener membuatku membuka mata,
menginspirasiku untuk bekerja keras. Aku masih harus
banyak belajar lagi agar sepertimu. Kebaikan, kejudesan, kekiller-anmu akan aku kenang selalu dalam setiap langkahku.

Salam Duka,
Wati (Psi-87)
243

Agnes Dovin Kurnianti


Sebenarnya sejak awal kuliah, aku sudah banyak mendengar
hal besar dari seorang Ino Yuwono. Namun rasa kagum dan
salutku terhadap Pak Ino dimulai ketika aku bergabung
kuliah beliau pada 2 semester akhir masa perkuliahanku di
Unair. Saat itu aku bukan anak PIO, tapi dikarenakan
penasaran terhadap cara mengajar beliau, maka aku
mengambil beberapa mata kuliah beliau sambil mengerjakan
skripsi.
Di kelas setiap kali beliau selesai menerangkan, beliau selalu
bertanya kepadaku dengan gaya bahasanya yang khas, Wes
ngerti, ndut? Jujur aku tidak pernah sekalipun tersinggung
dengan panggilan-panggilan yang beliau lontarkan, apapun
itu. Aku merasa dengan caranya beliau justru memberikan
perhatiannya kepada mahasiswa-mahasiswanya
Walau sebentar mengenal sosok beliau dari dekat, namun
aku tidak akan melupakan semua hal yang beliau ajarkan
tentang kehidupan terutama bagaimana cara beliau
menyentuh hidupku sebagai manusia.
Selamat jalan Bapak. Aku yakin Bapak sudah tersenyum
tenang disana. Love u, Sir!

Hanggara Hardiansyah (@hanggara_h)


Wo! Wo! Mbak-mbakmu ayu-ayu, tantemu ayu-ayu, raimu
kok uelek ngono. Lek sikapmu podo eleke koyok raimu yo
percuma ae koen urip wo. Kene, aku njaluk rokokmu!
Suwun Pak Ino, semoga sikapku bisa semakin baik setiap
harinya, sehingga hidupku tidak percuma.
244

Ashes to ashes. Dust to dust. But your spirit keep remains


within us. So long dear good Sir. Have a safe journey.

Herlida
Kenangan tak terlupakan ketika diberi uang Pak Ino untuk
membeli rujak manis. Saya diajarkan bagaimana cara
mengolah hal kecil yang bisa menguntungkan. Beliau rela
memberi modal sampai modal itu kembali. Pak Ino pernah
berjanji memberikan saya rujak manis, namun beliau
menggantinya dengan bakso di kampus. Pak Ino membantu
saya memutuskan apa pekerjaan yg menurut saya enjoy.
Maafkan kesalahan saya selama ini Pak Ino.
Selamat jalan Pak Ino kenanganmu tidak akan terlupakan

Citra Prawita
Pak Ino, sosok guru di dalam maupun di luar ruangan kelas.
Beliau tidak hanya kaya akan ilmu pengetahuan tapi juga
ilmu kehidupan. Setiap kata yg beliau lontarkan bisa
meninggalkan kesan tersendiri ataupun memberikan
pelajaran yang sangat berarti bagi lawan bicaranya. Ia adalah
sosok jenius yang sangat rendah hati. Mampu menyatu
dengan berbagai kalangan. Ia adalah dosen senior dengan
banyak ilmu yang masih mau sekedar menyapa, memulai
percakapan sederhana, mengajak diskusi, ataupun bermain
pingpong dengan mahasiswanya. Sosok yang sangat
berkarakter dan memberikan makna bagi banyak orang.
Meskipun mungkin selama menjadi anak didiknya saya tidak
begitu banyak melakukan interaksi dengan beliau. Namun
interaksi yang tidak banyak itu mampu memberikan
pembelajaran yang cukup besar bagi saya dan cukup
245

membuat saya mengagumi beliau. Selamat jalan Pak Ino.


Semoga bapak mendapat tempat terbaik disisi-Nya. Kami
akan selalu mengenang jasa bapak dan menjadikan bapak
sebagai panutan. Terima kasih untuk semua ilmu dan
teladannya.

Widi
Pak Ino memberikan perubahan dalam diri saya, mungkin
bukan dengan cara yang sopan, tapi keras bahkan dengan
kritikan tajam. Masih segar di ingatan saya ketika hasil UAS
mata kuliah teori organisasi saya diberi nilai D oleh beliau.
Beliau bilang, goblok kamu. Kata2 tersebut kemudian
menjadi pemicu saya untuk terus belajar. Berawal dari
mengulang 1 semester mata kuliah tersebut, saya mulai
belajar sungguh-sungguh membaca textbook yang tebal dan
memahami isinya. Dari proses tersebut saya baru merasakan
nikmatnya proses belajar, bahwa membaca textbook sama
menyenangkannya dengan membaca novel.
Terima kasih Pak Ino, semoga bapak diberikan tempat
terbaik di sisi Tuhan

Anita Widi Astuti


hmm, kayaknya udah tidak ada kata-kata selain selamat jalan
Pak Ino, bahagia disana. Dia bukan cuma dosen yang
mengajar mata kuliah tertentu tapi sangat menginspirasi
banyak orang. Saya merasa sangat terinspirasi saat harga diri
kita terkoyak. Pertanyaannya nonjok banget, Anita,
menurut kamu aktualisasi diri ada nggak sih?, Ya ada lah!
Jawabku. Bapak menjawab tidak ada, Itu cuma teori!
246

Suasana kelas mengalir apa adanya, kita lebih banyak tanya


jawab tentang kehidupan dan bukan cuma apa yang ada di
diktat. Bahkan dosen di kampus depok pun tidak ada yang
nyentrik seperti beliau. Belum ada yang bisa menginspirasi
sedemikian hebatnya.

Zatul Farrah
Dulu waktu jadi mahasiswa PIO, mengambil mata kuliah
Pak Ino adalah hal yang paling menakutkan, karena itu saya
sering duduk di bangku belakang. Entah kenapa Pak Ino
sering menyadari dan saya akhirnya mendapat pertanyaan,
kalau ga bisa siap-siap aja mendapat komentar pedas. Sampe
akhirnya ketika saya ujian skripsi, Pak Ino menjadi penguji
saya, memang beliau ingin jadi penguji saya dan sudah
disampaikan jauh-jauh hari sebelumnya. Untungnya saya bisa
menjawab pertanyaan bapak walaupun tegang. Kalau
diingat-ingat kegalakan Pak Ino tidak ada apa-apanya
ketimbang kejamnya dunia kerja. Untung dulu sering
digalakin Pak Ino jadi lebih tough ketika berhadapan dengan
permasalahan pekerjaan dan lingkungan kerja.

Devi Krisnahapsari
Walau hanya 1 semester saya diajar mata kuliah Pskologi
Umum di Psikologi Ubaya, namun saya masih teringat katakata beliau. Saya pernah diusir karena datang terlambat. Pak
Ino bilang, Bagaimana kamu bisa mencintai dan
menghargai dirimu sendiri bila dengan waktu saja kamu bisa
melupakan, ingat satu saat kamu akan ingat kata-kata saya
ini.
247

Selamat jalan Pak Ino, semua sangat kehilanganmu, tapi


Tuhan lebih mencintaimu. Rest in peace!

Ari Pratiwi
Aku tidak pernah diajar Pak Ino di kelasnya, tapi ada
beberapa hal yang aku ingat. Ketika beliau baru pulang dari
luar negeri. Waktu itu aku masih terhitung maba. Aku
bertanya-tanya, siapa dosen yang jarinya patah itu? Lalu
kalau tidak salah hidungnya juga. Guyonan orang-orang
bahwa nyawanya ada banyak, sehingga hal-hal semacam itu
tidak akan membuatnya mati.
Beberapa semester setelahnya, aku baru mengenal beliau
setelah aku magang di LP3T. Beliau sebagai penasihat LP3T
ketika itu memberiku perintah ini dan itu. Waktu itu deadline
sangat ketat dan aku tolak perintah beliau itu. Tepatnya aku
lupa perintahnya apa. Beliau langsung berkomentar pedas
yang menyatakan kok bisa-bisanya aku tidak mau menuruti
perintahnya. aku bilang, Lha bos saya Bu Antin. Beliau
langsuung tertawa keras dan memanggil Bu Antin, Sopo arek
iki, Tin? Jare anak buahmu! Bu Antin hanya senyumsenyum. Dalam hati saya sempat takut beliau marah. Beliau
bertanya,Kamu anak apa, kok saya nggak pernah lihat?
Saya jawab, saya anak perkembangan. Terus beliau bilang,
Pantesan kok saya nggak pernah lihat. Coba kamu anak PIO,
pasti sudah saya ajar ya! Tapi dari situlah beliau jadi
beberapa kali memberikan topik yang ajaib untuk
diperdebatkan.
Termasuk juga karena hari ulang tahun saya yang sama
dengan beliau. Beliau bilang, Kamu harus traktir aku
Haagen Daz kalau ulangtahun, Jaman itu (bahkan sampai
248

sekarang) ice cream itu termasuk mahal di kantong. Jadi maaf


pak Ino, sampai sekarang saya belum bisa mentraktir bapak.

Anfield Gang
Saya alumni angkatan Sastra Inggris 90 Unair. Meski Pak
Ino bukan dosen saya, saya terkesan dengan caranya
menyapa saya duluan dan seulas senyumnya yang senantiasa
bersahabat. Selamat jalan sang guru yang rendah hati.
Ilmumu yang tanpa pamrih Insya Allah jadi penerang
jalanmu ke hadirat Allah SWT. Amin

Maria Eko Sulistyowati


Saya mahasiswa angkatan 85 di Psikologi Unair. Saya
mengenal Pak Ino lewat mata kuliah Statistik, dimana mata
kuliah tersebut merupakan momok mahasiswa. Saya merasa
tidak cukup percaya diri untuk mengikuti mata kuliah
tersebut sehingga sering duduk dibelakang dan menunduk
terus. Selama dulu di kelas, saya selalu berharap semoga saya
tidak pernah ditanya beliau. Saya takut dengan gelegar suara
dan komentarnya.
Sampai saya lulus, saya tidak merasa sebagai mahasiswa yang
diingat beliau. Setelah sekian lama ketika saya berada di
airport tiba tiba dari belakang ada orang yang tiba-tiba
nyeletuk, Mbak, mana celana jeansnya? Saya menoleh
kaget. Pak Ino dibelakang saya dan senyum-senyum. Beliau
ternyata ingat sekali dengan saya. Pada kesempatan lain jika
bertemu sebelum asyik bicara asyik, beliau akan bilang,
Mana celana jenas dan sepatu kets kamu? Beliau sangat
249

ingat sekali dengan penampilan tomboi saya ketika masih


kuliah.
Saya tidak pernah lupa dengan beliau, karena beliau
mengajarkan manajemen dengan cara yang mudah dipahami
oleh mahasiswa. Hal tersebut benar-benar saya sadari ketika
saya bekerja seperti sekarang ini. membuat mudah
mempelajari manajemen.

Listya Yuanita
Saya merasa istimewa berkat pak Ino. Saya adalah mahasiswa
biasa-biasa saja saat kuliah. Tidak menonjol. Tidak dekat
dengan dosen. Begitupun selama saya menjadi salah satu
konsultan di biro konsultan yang dinaungi pak Ino, saya
bukan tipikal orang yang menonjol. Namun Pak Ino dengan
fasih menyebut nama panggilan saya yang tidak banyak
orang tau, "Anik" . Saya begitu terpesona. Baru kali itu saya
dikenali orang yang menurut saya setingkat dengan tokoh
yang menjadi panutan banyak orang. Sekarang saya
menyadari bahwa perhatian yang tulus seperti yang Pak Ino
berikan pada saya, akan membuat orang merasa istimewa.
Saya selalu berusaha terapkan itu di lingkungan kerja saya
sekarang.

250

Indah Sri Astuti


Waktu anakku menelponku, aku sedang dikantor.
"Ma, pak Ino meninggal...", kata anakku. Dan tanpa pakai
komando air mata langsung menetes. Entah kenapa, aku jadi
sedih sekali dan menangis.
Padahal ketika aku kuliah , aku tidak terlalu akrab dengan
beliau. Gaya kami bisa dibilang gak "klop". Lewat anakku aku
banyak mendengar cerita tentang Pak Ino. Hampir setiap
pulang liburan Laras selalu cerita tentang Pak Ino, Pak Ino,
dan Pak Ino. Entah mengapa aku juga selalu mendorong
Laras untuk ambil PIO, meskipun dia juga menolak keras
dengan alasan 'serem' bertemu Pak Ino. Perasaan yang 25
tahun lalu aku rasakan.
Selamat jalan pak Ino. Kritikan pedasmu telah berbuah
manis dalam perjalanan hidupku. Terima kasih telah
mencambukku. Menantang egoku dan menjadikan aku
tangguh. Semoga Tuhan memberikan tempat terbaik bagimu
disisi-Nya.

Putri PS
Saya baru merasakan diajar Pak Ino ketika mengambil mata
kuliah Asas Manajemen (Asmen) pada semester tiga. Beliau
hanya mengajar tiga kali di kelas saya. Kesan pertama ketika
beliau memasuki kelas saya, jujur saya takut, takut menjadi
sasaran beliau. Melihat sosoknya yang jauh dari raga muda,
saya berkata Kapan sih orang ini pensiun?. Pemikiran yang
penuh dosa, saya akui. Tapi, pikiran itu segera terganjar

251

dengan berjalannya waktu yang saya nikmati ketika


menjumpai beliau di kelas.
Daya ingat saya rendah, saya tak mampu mengingat sebaik
dan sama persis dengan apa yang diingat teman-teman
mengenai kalimat-kalimat yang beliau utarakan di kelas kala
itu. Satu yang saya ingat betul, beliau berkata bahwa beliau
menginginkan sarjana Fakultas Psikologi Unair lulus sebagai
mahasiswa yang berpedoman buku, bukan lulus sebagai
mahasiswa powerpoint. Berkali-kali beliau menekankan
pentingnya membaca dan membaca. Itu yang saya ingat.
Sisanya, saya menyukai candaan-candaan beliau yang kerap
kali menggoda beberapa mahasiswa di kelas.
Tapi jujur, ingatan minim itu mampu mengubah saya. Saya
jadi gemar membaca. Buku Asmen yang setebal itu saya
tuntaskan. Bisa jadi itu adalah buku pertama dan satusatunya yang penuh coretan, kumal, dan lipatan di sana-sini.
Bahkan saya begitu bersemangat mencatat kembali apa yang
saya pelajari untuk lebih memudahkan jika sewaktu-waktu
saya butuhkan. Dan semangat itu bukan karena rasa takut
saya akan Pak Ino, namun lebih kepada bagaimana ketika itu
juga saya merasa bahwa membaca itu perlu, bukan wajib.
Dan atas usaha dan kesadaran saya waktu itu, saya
mendapatkan nilai yang menurut saya merupakan nilai
pertama yang worth it dalam transkrip nilai saya. Nilai yang
memberikan hasil sebanding dengan usaha yang saya
lakukan. Nilai yang menyadarkan saya akan pentingnya
pendisiplinan diri, bukan karena orang lain. Ya, karena diri
sendiri.
Saya tak terlalu mengenal beliau, tapi saya merasa kehiangan
sekali. Beliau bijaksana, bukan killer. Saya menangis
mengingat betapa menyesalnya saya mengharapkan beliau
252

pensiun dikabulkan oleh Tuhan dengan cara-Nya. Saya luar


biasa kehilangan.
Setiap kalimat yang beliau lontarkan, bahkan pada saat
bercanda pun memiliki makna yang begitu dalam, menancap
dan melekat di hati pendengarnya. Kalian berharap saya
pensiun? Walaupun saya pensiun saya nggak akan berhenti
ngajar. Saya nggak suka penelitian, saya lebih suka ngajar.
Biar, walaupun pangkat saya nggak naik begitu kata beliau
sekali waktu. Betapa beliau membangkitkan semangat kami
semua untuk menuntut ilmu dengan sebaik-baiknya niat dan
cara. Beliau memiliki maksud dan tujuan yang begitu hebat
di balik kedisiplinan yang beliau junjung tinggi, sama halnya
dengan bagaimana orang tua menginginkan yang terbaik bagi
anaknya melalui cara mereka masing-masing.
Berhari-hari timeline Twitter dipenuhi tagar #InoYuwono.
Tentang kalimat-kalimat beliau, gaya khas beliau, tentang
memori-memori warga Psikologi bersama Pak Ino.
Selamat jalan, Pak Ino Yuwono, Mr. Frederickson. Kau akan
tenang di sana bersama doa-doa dari kami, yang
mencintaimu dari sini. Kami akan tenang di sini dengan
sejuta kenangan bersamamu yang tak tertandingi hebatnya.
Doakan kami sukses menjadi sebaik-baiknya mahasiswa yang
mengabdi pada ilmu.

Good Bye, Sir...

253

@IniGagat
Semua yang pernah mengenyam pendidikan strata 1 di
Fakultas Psikologi Unair pasti mengenal sosok satu ini. Dia
adalah salah satu legenda yang pernah ada di Psikologi
Unair. Bahkan ada anggapan bukan mahasiswa Psikologi
Unair kalau tak mengenal beliau. Beliau adalah sosok
fenomenal yang ikut membangun karakter Fakultas
Psikologi hingga seperti saat ini, dengan gaya mengajar yang
nyentrik membuat beliau mengena di hati para
mahasiswanya. Beliau mengajar dengan cara biadab agar
semua menjadi beradab. Banyak yang menyukai gaya beliau
tapi tak sedikit pula yang tidak menyukainya. Ada semacam
jargon diantara para mahasiswa beliau, "I Know You Want
No" sebagai plesetan dari Ino Yuwono.
Jalan hidup dan cara hidupnya yang nyentrik menginspirasi
banyak orang. Beliau paham akan "sangkan paraning dumadi"
asal dan kembalinya kehidupan. Bagi beliau umur harus
berbanding lurus dengan dedikasi terhadap hidup. Baginya
hidup itu sekali dan hidup adalah anugerah. Anugerah bagi
sang pelaku hidup dan anugerah bagi orang-orang
disekitarnya. Pertanyaan beliau sederhana, namun sulit
dijawab oleh kita yang belum mampu memaknai hidup.
Beliau mengisi hidup dengan manfaat dan akhirnya menjadi
pendidiklah jalan hidupnya. Beliau mencinta belajar,
mencintai mengajar, mencintai mendidik, mendedikasikan
hidup agar berguna bagi orang lain.
Selamat jalan Pak. Terima kasih telah memberi kuliah
tentang kehidupan bagi kami semua.

254

Desty Psikologi 2011

Dalam sebuah buku catatan segalaku, tertulis:


22/8/2011
PSIKOLOGI itu opo? Kembangnya ban, gak jelas :p
Ilmu gak jelas
Ilmu terbuka
Ilmu perilaku
Kritis, sistematis, logis
Ya, siapa lagi kalo bukan Pak Ino yang menyebut psikologi
itu kembangnya ban.
Ingatanku kembali saat PPKMB 2011. Saat itu perkenalan
dosen, para dosen diperkenalkan satu persatu. Ada seorang
dosen yang membuatku berfokus padanya, Pak Ino.
Orangnya sipit, putih, berpostur besar tinggi, dan 'sak karepe
dhewe'. Terlintas di pikiranku, "Wah, jangan sampai di ajar
sama bapak ini,"
Entah sebagai perwakilan apa aku lupa, Pak Ino kemudian
berbicara di depan mahasiswa. Dengan lantangnya beliau
berbicara:
"Psikologi iku opo rek? Ha? Kenapa kamu masuk psikologi?
Psikologi iku ilmu gak jelas, kembange ban! Hiasan ban! Kon
gak enek lho gak popo! Ban iso terus munyer tanpa onok kembange."

255

"Saya dulu sewaktu kecil ditest IQ dan dapat nilai dibawah


rata- rata, dianggap anak autis. Kalau saya mempercayai hasil
tes itu. Saya gak akan bisa jadi seperti sekarang ini!"
"Istri saya tidak belajar psikologi, tapi istri saya lebih pintar
dari saya soal psikologi,"
"Ayo, mumpung masih belum kadung, pindaho ae."
WOW... Fantastis. Jleb di hati. Pikiranku sempat tergoyahkan
untuk pindah jurusan. Haha dasar maba.
Di akhir acara, ada pertemuan maba dengan dosen wali. Aku
menoleh ke kelompok maba yang mendapatkan dosen wali
Pak Ino. Suara Pak Ino yang menggelegar membuatku kaget.
Satu per satu beliau menanyai mabanya, "Kenapa kamu
masuk Psikologi?" Beruntung aku nggak dapat doswal Pak
Ino :D, pikirku waktu itu.
4 Desember 2012. Pak Sam dalam kuliah Asmen saat itu
sedang menjelaskan materi. Tiba-tiba ponselnya berbunyi
dan seketika beliau meloncat dari meja tempat duduknya dan
berlari, "Pak Ino sakit rek. Titip absennya ya!"
Kami sekelas turun. Beberapa mahasiswa dan dosen berdiam
di lobi lantai 1. Pak Ino dikabarkan meninggal. Deg. Hari itu
pikiranku melayang-layang. Aku masih belum percaya.
Pak, aku belum pernah diajar Bapak, tapi Bapak sudah
dipanggil Tuhan lebih dulu. Rest In Peace ya Pak. You're
irrepleaceable. Aku berjanji akan jadi lulusan psikologi yang
bukan cuma kembangnya ban saja. Kata-kata Bapak saat
PPKMB adalah inspirasi yang kuat bagiku.

256

257

Secuplik Episode tentang Pak Ino


Oleh ZankDJYes 06

Part 1 (Maba Edition)


Saya bukan mahasiswa peminatan Psikologi IndustriOrganisasi. Tapi alhamdulillah, Insya Allah saya termasuk
salah satu mahasiswa yang beruntung, pernah mendapat
kesempatan berinteraksi dan belajar bersama Pak Ino,
meskipun tidak banyak.
Awal saya mengetahui sosok Pak Ino adalah ketika
perkenalan dosen di acara SD/PC tahun 2006. Saya masih
Maba. Ketika awal tau, saya cuma membatin, O, itu to yang
namanya Pak Ino. Karena berdasarkan info awal yang saya
dapat dari salah satu mbak fasilitator, konon, Pak Ino inilah
salah satu dosen yang paling ditakuti. Hmm, oke, masuk dan
melekatlah info itu ke dalam memori saya.
Waktu berjalan, perkuliahan semester pertama, kedua,
berlalu. Banyak sekali cerita-cerita yang tak biasa tentang
sepak terjang Pak Ino dalam mengajar. Cerita itu saya dapat
dari kakak-kakak angkatan yang telah, sedang, atau akan
mengikuti kelas beliau. Tak semuanya negatif, ada juga cerita
positif, konyol, dan seru. Informasi-informasi itu tercerna,
teraduk jadi satu dalam memori saya, tapi satu yang tetap
kuat tertancap, Pak Ino (masih) dosen killer.
Memasuki semester III, mulai masuk pengenalan mata
kuliah peminatan. Waktu itu salah satu mata kuliah yang saya
ambil adalah Psikologi Industri dan Organisasi. Mata kuliah
ini jika didasarkan pada peta alur mata kuliah, sebenarnya
258

ada di kelompok mata kuliah di semester 4. Tapi, saya


memutuskan mengambil mata kuliah ini di semester 3
karena:
Di semester itu, mata kuliah ini termasuk kelas besar, jadi
misalnya nanti salah satu tim dosen pengajar adalah Pak Ino,
itu akan membantu mencairkan ketegangan, karena banyak
teman. (well, alasan yang GJ gak jelas- mungkin).
Waktu itu saya mikir gini, Sudahlah segerakan saja ambil
mata kuliah ini, toh, kamu tak akan bisa lari dari mata kuliah
ini, semakin segera, semakin tidak terbayang-bayang oleh
gambaran ini-itu tentang ngerinya di ajar Pak Ino, Lebih
cepat lebih baik. Waktu itu beberapa teman seangkatan saya
yang seharusnya bisa ambil mata kuliah ini memilih untuk
tidak ambil dengan alasan, takut ketemu Pak Ino.
Dan, tibalah harinya, pertemuan pertama mata kuliah. Kalau
saya tidak salah ingat kelas saya waktu itu sebenarnya diisi
oleh Pak Bukik, tapi ketika kontrak awal perkuliahan, Pak
Ino yang masuk kelas. Kelas saya waktu itu di ruang 301 GL.
Suasana hening.
Cek akehe Kik arek-arek njupuk mata kuliah iki! Durung eruh
paling arek-arek iki! itu komentar pertama beliau, alih-alih
berbicara kepada Pak Bukik.
Coba, angkat tangan, siapa saja yang berniat dan berencana
masuk peminatan IO (industri-organisasi? lanjut beliau.
Belum sempat semua teman angkat jari, beliau melanjutkan
lagi, Lek nggak sugih, nggak usah masuk IO, dari pada kamu
gak bisa bayar upeti. Di IO kalian akan diajar dengan caracara biadab. Jadi saran saya yang punya niat ambil IO,
batalkan saja. Itu lebih baik bagi kalian. Beliau
mengucapkan itu sambil memamerkan senyum seringainya
259

tanpa beban, sementara kami yang sebagian besar mahasiswa


tahun kedua yang berada di ruang tersebut berasa membeku,
meskipun AC tidak terlalu dingin.
Beliau kemudian menembakkan berapa pertanyaan dan ini
yang paling saya ingat, Ngapain kalian masuk Psikologi?,
Apa yang kalian harapkan dengan mengambil mata kuliah
ini (Psikologi Industri-Organisasi)? 5-6 detik tidak ada
jawaban beliau melanjutkan, Jangan dikira kalian akan
mudah melalui mata kuliah ini. Saya pastikan tidak sampai
25% dari kalian yang bisa lulus dengan tanpa mengulang.
Saya sudah menyiapkan bank soal ujian UTS maupun UAS
dengan tingkat kesulitan tinggi. Soalnya MC, dengan pilihan
jawaban yang tidak akan pernah kalian bayangkan. Wes.,
beliau selesai, meninggalkan kelas, dan kuliah dimulai.
WEERRRR,,, butuh waktu 5-10 menit untuk benar-benar
bisa tuning pada materi selanjutnya yang dijelaskan oleh Pak
Bukik. Itupun tak bisa 100%. Dari seluruh hal yang
disampaikan pada pertemuan pertama itu, 75% yang terserap
adalah 5-10 menit adegan preambule tadi.
Sampai waktu pulang, dalam perjalanan, belukar di kepala
saya kembali bergejolak gara-gara pertanyaan, Ngapain kamu
masuk psikologi? dan Apa yang kamu harapkan darinya.
Well, dari dua pertanyaan itu yang di kemudian hari saya
pahami bahwa betapa pentingnya kamu tahu dan paham apa
yang kamu lakukan. Dan ternyata itulah sebenarnya materi
pertama yang saya dapatkan tentang konsep Motivasi dan
AMBAK.
Tambahan kesan yang masuk dikepala saya pada sosok Pak
Ino setelah pertemuan di kelas itu; Awas, Berbahaya!!!.

260

Part 2 (Jeweran yang Tak kan Terlupakan)


Salah satu dari sangat sedikit interaksi langsung saya dengan
Pak Ino adalah ketika saya di semester 5. Ini interaksi
episode kedua, setelah hampir satu tahun episode pertama
(kelas IO, semester 3) berlalu. Bagi saya ini adalah Episode
yang kayaknya akan paling sulit terlupakan seumur hidup.
Episode kali ini bersetting di ruang Cattel, waktu ujian lisan
mata kuliah Psikologi Eksperimen. Waktu itu saya
berkelompok bersama 2 teman saya Mei (@meibiyess) dan
Yuli (@YuliHapsari89). Seharusnya waktu itu yang menguji
adalah Pak Samian, tapi, well, mungkin memang karena
bejonya kelompok kami, jadinya kami dapat door prize
istimewa.
Sebelum masuk ruang Cattel, kami bertiga sudah berasa
panas-dingin, mengamati satu kelompok sebelum kami,
melalui kaca Cattel, yang tampak khusuk menunduk,
sementara Pak Samian berbicara. Yang dihadapi kelompok
sebelum kami, masih Pak Samian sendiri, meskipun di dalam
ruangan ada sosok-sosok lain. Itupun sudah membuat kami
komat-kamit baca doa_semoga_lancar. Sosok Pak Ino
belum ada. Dan kami tidak punya bayangan akan bertemu
dengan beliau.
Then, tibalah saatnya maju ke medan perang. Masuk ruang
Cattel, suasana hening, asap rokok mengepul mengisi
seluruh ruangan. Di dalam ruangan, ada Pak Samian, dan
berturut di sebelah kirinya (sisi barat) ada Pak Bagus dan Pak
Teguh, duduk mengelilingi meja bundar. Kami segera
menempati tiga kursi kosong di depan Pak Samian, dan
tersisa 1 satu kursi kosong di sebelah kanannya. Pak Samian
tampak asyik berkutat dengan MacBook-nya.
261

Tanpa mengalihkan pandangan dari kotak ajaibnya itu, beliau


memulai, Apa judul laporanmu? Ceritakan!. Oke, sudah.
Salah satu dari kami telah selesai bercerita. Wes, biar Pak
Teguh aja yang ngasih pertanyaan, aku tak leren, sek. Okey,
ini suasana ruangan mulai hangat. Pertanyaan 1, 2, lewat,
meskipun dengan jawaban yang mungkin masih dianggap
lalala-yeyeye a.k.a belepotan). Lalu pertanyaan selanjutnya,
kami perlu waktu untuk berdiskusi. Di tengah diskusi kami,
saya yang waktu itu duduk paling pojok barat dan
menghadap pintu tiba-tiba mulai mules melihat sosok Pak
Ino yang santai tapi pasti sedang menuju ruang Cattel. Pak
Teguh yang menyadari kedatangan Pak Ino, sudah
merekahkan seringai ceria, dan, Wah, tepak iki, mastere teko,
wes aku tak leren gak sido takon, biar Pak Ino aja yang
melanjutkan, Ya Pak, Ya...
Pak Ino sudah ada di pintu, saya mlongo. Teman-teman saya
menoleh melihat Pak Ino, lalu kami berpandang-pandangan
sambil koor dalam hati eng, ing, eeeng,. Saya cuma bisa
mengucap sholawat sambil diam-diam berdoa, semoga Pak
Ino hanya mampir dan tidak tertarik memberi pertanyaan
kepada kami. Tapi Alhamdulillah, Tuhan Maha Baik, karena
doa saya waktu itu tidak dikabulkan.
Ono opo iki, Ujian a, Sam? Wah, tepak iki, santapan empuk,
yoopo-yoopo iki mau? Pak Samian tetap diam. Pak Teguh
memberi penjelasan singkat tentang apa yang telah ia
tanyakan kepada kami.
Ujian opo, koen iki?, tanya Pak Ino kepada kami.
Eksperimen, Pak, jawab kami serentak tanpa tenaga.
Oke, saiki aku yo, sing takon. Gak isok jawab, wes ben
ngulang ae, Sam.

262

And here we go. Pertanyaan pertama, Opo iku eksperimen?


Kami berdiskusi 5-10 detik, dan dengan sedikit was-was saya
mencoba menjawab, salah satu metode penelitian dalam
pendekatan kuantitatif, Pak. Pertanyaan pertama lewat,
meskipun ada kesan kurang puas di wajah Pak Ino
mendengar jawaban kami.
Pertanyaan kedua dan turunannya, Mengapa kalian
melakukan eksperimen?, Apa bedanya eksperimen sama
penelitian kuantitatif lainnya?
Dan berikut adalah jawaban-jawaban yang dapat skor dongdeng
Untuk menjawab pertanyaan penelitian, Pak... kalo
eksperimen biasanya judul penelitiannya berbunyi pengaruh
bla bla terhadap bla bla dst dst,
(suer, kalo ingat jawaban-jawaban culun masa muda dulu
rasanya pengen sobek-sobek muka dah, uuuisin puol!!)
Komentar Pak Ino, Mbelgedhees, moco buku opo, koen? Duwe
buku ta gak? Salah kabeh jawabanmu. Piye ngene iki. Wes E
wae yo, Lalu Yuli dengan takut-takut mengangkat tangan,
Pak, saya boleh coba jawab.Yo, mengapa melakukan
eksperimen?, beliau mengulang pertanyaan.Untuk menguji
hipotesis, Pak, jawab Yuli sambil nyengir tidak yakin.
Pak Ino menyahut, Untung ae koncomu siji iki jawabane
lumayan, iso mundak D lah, Terus, sak iki, wes ngerti ta
kalian tentang opo iku eksperimen? Kamu, paling pojok,
gimana?, dan yang ada di pojok itu adalah saya, sottharasotthara, dan detik itu, tubuh dan otak saya berasa ngefreeze.Em, kalo dari yang disampaikan oleh Pak Samian di
kelas, Insya Allah mengerti, Pak, saya menjawab sambil
nunduk.
263

NGERTI?? sekali lagi beliau mengulangi pertanyaannya


dengan nada yang sedikit naik, yang tidak saya sadari. Saya
yang sudah los-losan, plong-plongan, hanya mengikuti insting,
dan dalam kondisi yang tidak 100%, mengangguk lemah.
Lalu, Pak Ino berdiri dari kursinya, menghampiri kursi saya,
langsung pegang telinga saya, dan weeeek eweek eweeeek, daun
telinga saya dijewer, ditariknya naik turun.
Jawaban mbelgedhes kayak gitu, ngomong wes ngerti, ucap
Pak Ino sembari khusuk menarik dan menaik-turunkan daun
telinga kiri saya. Berasa pingin menyembunyikan muka di
dasar sumur, beneran dah, suer!!! MUUUALU, sakit, ada
sedikit gak terima. Dalam hati saya ngedumel, Lhah, Bapak
ini maksudnya apa ya? Wong nggak ikut ngajar mata kuliah
eksperimen kok seolah dia yang berkuasa aja. Puuingin
nangis, tapi saking nyeseknya, air mata cuma sampai pojok
kelopak, ndak bisa mbrebes. Sambil gigit lidah, saya
memaksakan senyum hambar.
Pak Ino kembali ke tempat duduknya, dan melanjutkan,
wes, saiki aku takon. Dari jawaban-jawabanmu, terus dari
usahamu mengerjakan laporan, dan belajarmu tentang
eksperimen, njaluk biji piro koen? coba kamu nilai dirimu
sendiri?. Suasana kembali hening. 5 detik, 10 detik, belum
ada suara dari kami.
Lha, lak enak seh, tak kon mbiji dewe? Piye? Opo njaluk
aku sing mbiji? Lek aku sing mbiji yo E. Pak Ino lalu mulai
menunjuk satu persatu dari kami yang masih berasa belum
genap, Kamu, mau nilai berapa? Beliau memulai dari Mei,
B, Pak, lanjut ke saya, B, ndak papa, Pak..

264

Piye ngene iki Sam. Njaluk B. Arek-arek iki PD yo!,


Terakhir, kamu, minta berapa? ucap beliau kepada Yuli.
AB Pak, jawab Yuli.
Iki tambah njaluk AB. Wong sing B ae durung mesti
terkabul. He... wes yowes mari.
Ujian diakhiri, kami keluar ruangan Cattel dengan dengkul
yang masih berdenyut. Sampai di lobby lantai 1, kami
berpelukan tanpa kata, dan pulang sambil membawa belukar
di kepala masing-masing. Sesampainya di kos, saya diam,
angen-angen. Mem-flashback kejadian ujian tadi. Merasakan lagi
rasa sakit di telinga, sesak di hati, panas di mata. Tarik nafas
dalam kemudian menghembuskannya beberapa kali. Lalu
saya ambil buku diary saya, dan saya mulai menulis,
Tetep, Semangaaat, Je!!!. Then, apa yang bisa kamu pelajari?:
1. Besok lagi, lek ngomong ato njawab pertanyaan dari
siapapun, (terutama kalo misalnya ketemu Pak Ino lagi)
sing ati-ati, dipikir dulu, ojok grusa-grusu.
2. Terus sinau, ojok mudah puas dan sok mengerti jika ndak
pingin kesandung.
3. Harus siap mental, siap isin dan jatuh-bangun (beberapa
kali) untuk terus belajar.

Nb: kamu benar-benar beruntung, Je, pernah mendapat


jewerannya Pak Ino, yang mungkin anak walinya atau anak
Industri Organisasi belum tentu pernah mendapatkannya.
So, keep smile, chayyo, n FIGHTING!!.
Dan perasaan saya lega.
265

Part 3 (Kelas Ekslusif MPK, Semester Genap Tahun


2009/2010)

Ini adalah episode terakhir keberuntungan saya bisa


berinteraksi dengan Pak Ino. Kali ini di Kelas MPK,
semester genap tahun 2009/2010. Waktu itu saya di
semester 8. Dan hanya dua mata kuliah yang saya ambil.
Pendalaman Metode Penelitian Kualitatif dan MPK. Skripsi
belum saya ambil, karena saya merasa ada yang kurang pas,
ada yang belum saya pahami jika mengambil Skripsi di
semester ini. Berbekal beberapa puzzle informasi dari teman
tentang isi mata kuliah MPK, dan kebutuhan saya untuk
mencari puzzle yang kosong tentang mata kuliah 6 sks,
akhirnya saya memutuskan untuk mengikuti 2 mata kuliah
diatas sebagai menu makanan saya di semester 8.
Sejak dari akhir semester 7, saya memang sudah niat ambil
mata kuliah MPK, siapapun dosen pengajarnya. Ketika buku
panduan akademik dibagi, informasi pertama yang saya cari
adalah mata kuliah apa saja yang dibuka, dan siapa saja
pengajarnya. MPK, cek, ada. Tapi tahukah apa yang
membuat hati sempat ciut? Yang ngajar adalah Pak Samian
dan Pak Ino, sotthara-sottharaa!!! Zoonk, memori kejadian di
ruang Cattel pas ujian eksperimen langsung ada di mata,
ibarat nonton layar tancap. Jadi ambil, gak, ambil, gak, ambil,
gak? Dan Oke, sudah saya niati, jadinya, tetep lanjut seperti
rencana awal. KRS online, Done. Sudah, Bismillah.
Esok hari, saya dapat sms dari salah seorang teman (saya
lupa kalo tidak Selvina ya Lagzo) yang sama-sama ambil
mata kuliah MPK. Je, kamu ikut daftar mata kuliah MPK
ya? Ini ada kabar kelasnya mau di-cancel, soalnya banyak yang
mengundurkan diri, jadinya yang daftar kurang dari 10
266

orang. Ini aku lagi nyari tambahan anak lagi. Barangkali


kamu ada teman yang mau ikut biar kelas MPK nggak jadi
cancel?. Entah kenapa, ketika mendapat kabar itu, bukannya
saya mengamini biar kelas MPK sekalian gak dibuka, tapi
justru muncul rasa eman. Pokoknya kelas MPK jangan
sampai jadi di-cancel. Singkat cerita, setelah kami melakukan
lobi-lobi dengan beberapa kawan yang berencana hengkang
dari kelas MPK, terkumpullah 10 nama mahasiswa yang
tersebar dari angkatan 2002 sampai 2007 yang fix masuk
daftar presensi. Kelas MPK tetap lanjut.
Hari pertama pertemuan. Kelas waktu itu bertempat di
ruang seminar lantai 1 GL, ruang sebelahnya Cattel. Saya
sengaja datang lebih awal, takut telat dan dapat door prize,
meskipun setibanya di kampus saya tidak langsung masuk
kelas. Saya celingak-celinguk, mondar-mandir di area lobby
lantai 1 dan lorong depan kelas, mencari teman-teman. Kelas
masih sepi, padahal jam menunjukkan kurang 5 menit kelas
dimulai. Belum ada tanda-tanda kehadiran dosen juga. Saya
mendekat ke kelas mencoba membuka pintu ruang Rogers
yang sudah sedikit terbuka. Yap, memang masih belum ada
orang, hanya udara dingin AC yang menyambut saya. Oke,
balik saja ke Lobby. Belum sempurna saya balik badan, Pak
Ino ternyata sudah ada di belakang saya (tuing...) sambil
bawa map presensi. Beliau melongok ke kelas, seolah tanpa
melihat saya, beliau kemudian berbalik, ke ruang Cattel
sambil berbicara sendiri, Sido ta gak iki, kelas MPK, kok gak
onok arek.
Saya langsung ngacir ke lobby lantai 1, menghubungi semua
nomor telepon teman-teman kelas MPK yang saya tahu, dan
sms: Hey, Rek, dimana kalian? Pak Ino udah dari kelas, lo,
tapi belum ada anak. Cepetan rek! Dalam hati, Arek-arek
iki nandi see,, saya dag-dig-dug n GeJe sendiri.
267

Singkat cerita (lagi), 2-3 menit kemudian, teman-teman mulai


datang satu persatu, Afif 07, Selvina 06 (@selvinayusniar),
Lagzo 06 (@anandalagzo), dan terakhir Mas Angkatan 03
(lupa namanya). Dan dari sepuluh nama yang ada di daftar
presensi, yang benar-benar nyata hanya kami berlima. Lima
lainnya, hanya nama. Soooo... bisa dibayangkan dong
gambaran di kepala saya tentang seramnya kelas yang saya
masuki. Hanya 5 mahasiswa, dan pengajarnya adalah duo
maut Pak Ino dan Pak Samian. Wes, saya hanya pasrah, what
will be, will be-lah.
Pertemuan pertama, kedua, ketiga, sampai menjelang UTS,
terus terang saya benar-benar kecele, ketipu telak. Tahukah
Anda Sotthara-sotthara, persepsi saya tentang Pak Ino yang
terbangun sejak Maba ditambah pengalaman di episode ujian
eksperimen berasa dibalik 180 derajad. Di kelas MPK kali
ini, sama sekali tidak tampak sosok Pak Ino yang garang,
sama sekali tidak. Tidak ada suasana kelas yang mencekam,
seperti yang saya bayangkan di awal. Yang ada adalah kelas
yang tak rela untuk ditinggal (demi termanfaatkannya jatah
bolos). Saya benar-benar menikmati setiap pertemuan, setiap
materi dan pertanyaan yang disampaikan, suasana diskusi
santai, dan gojekan-gojekan yang beliau lontarkan di kelas
kami.
Proses belajar sama sekali tidak terasa sebagai beban. Setiap
pertemuan tidak terpaku pada target-target silabus. Kami
belajar sangat enjoy, untuk belajar tentang Apa masalah itu
dan bagaimana merumuskan masalah, kami jalani selama 34 kali pertemuan sebelum UTS. Padahal di silabus mungkin
hanya 1-2 pertemuan saja. Dalam hati saya mbatin, coba
kalo di setiap proses perkuliahan, kayak gini. Belajar sampai
materi benar-benar nyanthol, tanpa harus dikejar-kejar target
di silabus, betapa indahnya, dunia.
268

Pak Ino menjelaskan dengan telaten, mulai dari konsep,


kemudian beliau mem-bumi-kan konsep tersebut melalui
contoh di kehidupan nyata, dan menancapkan di kepala kami
melalui stimulasi pertanyaan yang konteksnya juga masih
sangat berhubungan dengan realitas yang kami temui seharihari.
Kami juga tidak hanya belajar di ruang Rogers saja. Pernah
sekitar 1-2 kali pertemuan, Pak Ino mengajak kami berlima
belajar di ruang dekan GL (depan ruang wadek III). Kata
Pak Ino waktu itu, Biar kalian ganti suasana, dan biar tau
rasanya kuliah di ruang dekan, kayak mahasiswa S2-S3.
Piye, enak to? Mosok kayak gini ini aku kereng?
Di kelas MPK ini, saya mendapat pemahaman baru tentang
apa itu masalah? dan pertanyaan-pertanyaan turunannya.
Inilah puzzle yang saya cari sebagai bekal menyusun skripsi
saya. That was amazing.
Well, Yup, tanpa ragu di laporan skripsi saya, di lembar
ucapan terimakasih, di urutan 4 teratas, dengan tulus saya
ucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada Bapak Drs.
CD. Ino Yuwono, MA.,psi. dan Bapak Samian,
S.Psi.,M.Psi.,psi., dosen pengajar mata kuliah MPK (semester
genap 2009/2010), yang telah memberikan kelas yang paling
berkesan selama saya belajar di F.Psi, Unair. Sekali lagi
terima kasih Pak Ino, atas pengalaman belajar yang Anda
bagi.
Mugi Gusti tansah paring pinaraan ingkang mbungahaken
saha ngayemaken kagem panjenengan.

(Desember 2012, ZankDJYes 06)


269

Cerita Tentang Pohong Keju Pedas


Oleh Dyah Hanung Wardhani IniOnik.tumblr.com

Cukup lama aku tidak melakukan kegiatan menulis seperti


ini. Anggaplah jika tumblr adalah sebuah rumah mungkin
debu sudah amat sangat menumpuk.
Ada satu hal yang membuat saya harus kembali untuk
menulis. Ini tentang perginya seorang guru, guru di
kehidupan saya. Mungkin ini terlalu paradoks tapi memang
seperti itulah adanya. Beliau adalah Bapak Christophorus
Daniel Ino Yuwono. Para penduduk Psikologi Unair pasti
mengenal beliau. Pada tanggal 04 Desember 2012 beliau
telah berpulang ke sisi-Nya. Saat itu juga saya langsung
teringat pengalaman saya dengan beliau. Malamnya saya
langsung berbagi cerita dengan para teman-teman di twitter,
sekedar untuk mengingat beliau kembali dan mengenalkan
beliau pada teman-teman tentang sosok seorang guru besar.
Ada beberapa pengalaman bersama beliau yang amat
melekat di ingatan saya sampai saat ini. Tidak hanya di
ingatan tapi juga menancap di hati. Berlebihan? Mungkin.
Tapi memang seperti itu adanya. Oke, sudah siap untuk
mengikuti cerita saya?. Here we go.
Cerita pertama aku beri judul: Mata Kuliah Teori Organisasi
Waktu itu pertama kali mengambil mata kuliah Teori
Organisasi bisa dikatakan gagal lulus. Karena dapat nilai D.
Tapi ada satu cerita yang membuat saya benar-benar ingin
menunjukkan emoticon mlongo di kelas Teori Organisasi
tersebut. Kelas TO selalu ada kuis setiap minggunya, dan
nilai bisa kita lihat setelah kuis selesai. Singkat cerita minggu
270

itu nilai kuisku naik 20 poin dibandingkan minggu lalu.


Kemudian, Pak Ino bertanya,Dyah Hanung Wardhani ini
mana?, berdirilah saya.
Owalah kamu to, yang punya nama panjang ini.Km seneng
gak dapat nilai bagus? tanya Pak Ino.
Sehabis Pak Ino memberi pertanyaan itu, temen-temen yg
lain itu sudah memberi kode untuk bilang nggak, termasuk
Mas Meru sama Mbak Caca, tapi saya nggak tau sama skali
kode itu.
Karena nggak sadar kode itu saya dengan pedenya bilang,Ya
seneng si Pak, dan tiba-tiba kelas langsung rame.
Kemudian Pak Ino sambil tertawa bilang begini,Nah..
seneng to? Seneng kan? Seneng harus dibagi dong. Baginya
cara apa? Bawa makanan.
Langsung saja wajah berubah datar dan berfikir, Jebakan
batman iki.
Pak Ino tanya ke teman2 sekelas,Pengen opo rek?,
Pohong keju pedes ta?, Enakk iku.
Seketika saya menoleh ke belakang,dan mungkin temanteman sudah melihat ekspresi datarku ya, la kok
alhamdulillah pada bilang iya semua. Daripada oh daripada
disuruh beli J.Co atau Libby, bisa sebulan kelaparan di
kosan.
Akhirnya minggu dpn kubawalah pohong keju pedes yg
dibantu oleh @irmamoo dan @__alda utk beli pohong itu.
Satu bungkus saya taruh di meja dosen,yg lainnya buat
teman-teman sekelas. Sewaktu beliau masuk kelas pohong itu
langsung beliau makan, dan yang pasti beliau memanggil
271

Mas Sinyo dan kawan kawan supaya bisa menikmati juga,


selalu. Setiap murid yang bawa makanan, sekalipun beliau
nggak pernah lupa untuk berbagi makanan dengan mereka,
sekalipun. Bahkan saya berfikir seperti ini, Orang ini ya,
mungkin orang lain bakalan nggak ngerti kenapa si kita
disuruh bawa makanan macem-macem
Tapi menurut saya ada pesan yang ingin disampaikan, entah
itu benar atau tidak, Pesan simpelnya gini, Kamu kalau
mampu beli makanan entah murah atau mahal, ya berbagi
lah.
Itulah cerita pertamaku bersama Pak Ino. Jangan khawatir
masih ada beberapa cerita lagi kok :)

272

Jangan Ditahan Jika Ingin Menangis


Oleh Dyah Hanung Wardhani IniOnik.tumblr.com

Masih cerita tentang Pak Ino. Masih juga cerita tentang kuis
mata kuliah Teori Organisasi yang diadakan setiap minggu.
Semua pasti sudah tahu kan kalo namanya ujian dimanapun
atau mata kuliah apapun ya jangan terlambat. Hari itu saya
terlambat masuk karena mengikuti Seminar Klinis salah
seorang teman yang temanya menarik perhatian.
Namanya juga seminar, pasti kita dapat konsumsi, seperti
sebungkus roti. Itu juga yang saya dapat sehabis mengikuti
seminar tersebut. Setelah selesai mengikuti seminar tersebut
saya langsung berlari menuju kelas diadakannya kuis Teori
Organisasi.
Saat saya masuk ke kelas tersebut Pak Ino menyuruh saya
seperti ini,Sini duduk depan, terus kuenya kasihin Meru,
sambil tersenyum penuh misteri.
Daripada nambah masalah ya sudah saya menurut saja apa
kata beliau. Tapi sayang cerita masih belum berakhir. Saat
saya mengerjakan kuis tersebut, beliau melihat ke arah kertas
jawaban saya, kemudian saya menoleh dan beliau berkata,
Uopooo iku jawabanmu salah kabeh.
Walhasil saya sudah punya niatan bunuh diri menggunakan
bolpoin waktu itu, karena entah materi yang saya pelajarin
selama seminggu itu hilang begitu saja. Singkat cerita waktu
mengerjakan telah habis. Kemudian beliau berkata,Yak opo
ujiane? Angel? Jawabanmu salah kabeh iku lo! Opoo bingung
ta? Mangkel ta? Nangis ae nek mangkel gak usah ditahan.
273

Waktu itu memang sebisa mungkin saya menahan tangis.


Tapi serangan dari Pak Ino masih berlanjut seperti ini,
Laopo se ditahan barang nek mangkel,nek pengen nangis.
Betul saja beberapa detik kemudian air mataku menetes.
Beliau kemudian bilang,Nah ngunu lo, lego to nek nangiss?.
Reaksi beliau sewaktu melihat saya hanya senyum sambil
melipat tangannya. Dan kelaspun berakhir ditutup dengan
adegan saya menangis. Kemudian Mas Meru berjalan ke arah
saya dan berkata,Ini Nik aku balikin.
Reflek saya berkata seperti ini ,Lah ngapain mas, nggak popo
wah, kataku sambil menyeka air mata.

274

The Power of Nekat


Oleh Dyah Hanung Wardhani IniOnik.tumblr.com

Baiklah ini adalah cerita yang kesekian saya bercerita tentang


mata kuliah Teori Organisasi. Untuk kali ini saya mengulang
mata kuliah TO karena apa? Alasannya bisa dilihat di judul.
Hari pertama mengulang TO cukup banyak mahasiswa dan
mahasiswi yang hadir. Ada yang baru mengambil + para
veteran seangkatan 2008. Waktu itu saya sudah bisa
menebak apa reaksi Pak Ino saat memasuki kelas nanti.
Benar saja, reaksi beliau seperti ini,Laopo iki kok akeh wonge
kelas TO, sing ngulang wes ga usah diulang, aku nduwe peraturan
anyar saiki.
Peraturannya begini,Sing njukuk TO bareng MSDM nek nilai
TO mu D otomatis MSDM mu sisan D, gak ngurus nilai MSDM
mu apik
Otomatis suasana langsung berubah horor waktu itu,
termasuk saya. Asli saya sudah pengen nangis itu di kelas
waktu itu. Kemudian beliau bertanya seperti ini ke kita,
Uwis jelas peraturanku? Ayo sopo kene sing gak sido ngulang?
Kabeh ta?
Seketika kelas hening dan hanya bisa berpandangan dengan
teman sebelah dan berkata dalam hati,Owalah aku kok goblok
se atik nilai D sisan.
Suasana horor terus berlanjut sambil Pak Ino memanggil
nama kita satu persatu,dan satu persatu dari teman-temanku
mundur dari kelas TO. Tibalah namaku dipanggil, Lo Nik
275

kamu entuk opo se mbiyen?, Dapet D pak,, Wah wes D


maneh mari iki, kata beliau sambil tertawa lepas.
Kamu lak ngambil MSDM sisan to?,Iya Pak, Wah wes
D sisan iku nilaimu, uasliii tertawanya Pak Ino amat sangat
lega. Saya hanya berkata seperti ini, Jangan gitu dong Pak,
kelas dimulai aja belum,saya juga belum berusaha juga to
Pak.
Dengan santainya beliau berkata, La saiki lo ya kamu baca
buku TO 2 buku, MSDM 3 buku, 1 bab minimal 3 chapter,
kuat ta otakmu?. Perasaan saya waktu itu rasanya ingin
trustfall dari lantai paling atas perpustakaan kampus B Unair.
Beliau lanjut bertanya, Yak opo? Wes nyerah? Nyerah ae yo?!
Sempat saya terdiam cukup lama sambil berfikir,seketika
bayangan Mama, Bapak, Adek muncul di otakku. Nggak tau
apa yg membuat saya gak mau nyerah dan sedikit agak takut
saya berkata,Nggak Pak aku lanjut, aku sudah siap mati kok
karena kebanyakan baca buku. Beliau merespon,Yo gak
popo, nek kamu mati tinggal aku belikan kain kafan to?
Beres kan...
Dengan ekspresi bodoh saya membalas perkataan beliau,
Iya wes gak popo Pak, beneran siap sak kabehe aku Pak.
Namanya juga Pak Ino, semakin dilawan semakin menawan
jawabannya, Iyo wes temenan yo, deloken yak opo nilai TO karo
MSDM-mu. Dalam hati saya berkata seperti ini, Pak Ino
manusia juga kan? Otakku juga ukurannya sama kan dengan
beliau? Demi Bapak, Mama, Adek gak ada kata nyerah.
Saya pun akhirnya belajar TO dan MSDM seperti orang
kesetanan, tiap saya malas saya selalu mengingat wajah Pak
Ino saat menantang saya waktu itu. Di pintu saya

276

menempelkan kertas yg bunyinya gini, TO harus dpt


.*sensor*, semangatt Nik
Singkat cerita saya harus melihat hasil akhir kerja
kerasku,waktu itu saya meminta bantuan @dian_eerrr untuk
melihat nilai TO. Sewaktu diberi tahu, asli kuwaget setengah
mati karena nilai yang saya dapat jauh lebih bagus dari target.
Sampai akhirnya saya mencoba untuk melihat sendiri dan
berkata dalam hati , Ini lebih dari cukup!
Karena pengalaman itu saya baru sadar kalau Pak Ino
bersikap sedikit menakutiku justru karena ingin memberi
tahu kalau kamu jangan patah semangat. Aku ngerti nek kon
isok! Saya menerjemahkannya seperti itu, dan terbukti kan
ternyata.

277

Jember Surabaya itu jauh


Oleh Dyah Hanung Wardhani IniOnik.tumblr.com

Waktu itu sekitar 15 menit sebelum kelas Teori Organisasi


dimulai, seperti biasa saya berangkat dari kosan, parkir
motor, dan jalan ke gedung baru Psikologi. Waktu jalan
melewati perpustakaan ada suara yg manggil namaku keras
sekali, Nik!, tapi saya acuh tak acuh. Saya memang seperti
itu, takutnya ada nama yang sama kan. Mungkin Anik,
Donik , atau siapa, daripada salah orang saya memilih untuk
tidak menoleh.
Tapi suara itu ada lagi, lebih keras bahkan, memanggil
namaku, Nik!Akhirnya saya menoleh. Dan ternyata itu Pak
Ino saudara-saudara.
Uwaslii saya kaget dan reflek lari ke arah beliau sambil
menggapit lengan beliau dan berkata,Ya Allah Pak muaaap
ya Pak tak kira siapa. Reaksi Pak Ino itu bukannya marah
atau protes tapi senyum sambil tanya begini,Dari mana
kamu Nik?
Dari kosan Pak.,
Turu yo neng kosan?,
Leh nggak Pak. Ngambil buku TO ini lo Pak. Berat buku
MSDM-nya kalo tak bawa juga.
Kemudian beliau lanjut bertanya, Kamu asli mana Nik?,
Jember Pak.,
278

SMA berapa?,
SMA 1 Jember Pak.,
Negeri?,
Iya Pak.,
Apik?,
Apik pak.
Kok adoh kuliah neng Unair kene?,
Pengen Pak, emang gak mau kuliah di Jember Pak.
Beliau lanjut berkata,Eman nek gak pinter. Sekolahe adoh
teko omahmu Nik.,
Emang aku bodo Pak, mangkane kudu sekolah disini.
Pak Ino cuman hanya tersenyum dan menoleh ke
arahku,Sing temenan lo yo sekolae.
Sepanjang perjalanan saya terus menggapit lengan beliau
sampai kelas, persis seperti kakek dan cucunya yg sedang
berjalan bersama.
Ah karena cerita ini cukup membuat hati saya trenyuh lagi.
Sekarang Beliau sudah tidur lelap untuk selamanya. Tapi
nasehat Beliau tidak akan pernah tidur, justru akan selalu
membangunkan semangat yang harus saya bakar setiap hari.

279

Ke Tunjungan Plasa
Oleh Ika Widyarini, angkatan 1986

Vincent, Ika, Iin, Ida, Cindy, dan Ilut (Psikologi angkatan


1986) sedang mengendap-endap ke tempat parkir gedung
Psikologi dengan misi melarikan diri ke Tunjungan Plaza.
Beberapa dari mereka telah selesai mengikuti kuliah dan
sebagian lagi sudah berniat membolos setelah ujian. Di
depan Perpustakaan Unair mereka melihat sebuah mobil
putih butut baru memasuki lahan parkir. Seorang pria
setengah baya dengan rambut kaku berponi, celana jins butut
menggeser tanah keluar dari mobil, berjalan dengan gaya
terbungkuk dan muka mengernyit sambil membawa
beberapa buku tebal di tangannya.
Pak Innooooooo!, ke lima mahasiswi yang sudah hendak
memundurkan sepeda motor bersama-sama memanggil.
Lapo rek, kalian mau kemana? si bapak datang
menghampiri
Mau ke TP!
Ngapain? Gak ono kuliah tah?
Udah seleseeee, ayo pak ikut. Wes talah enak!
Ngawur ae, aku ada kuliah ini!
Alaa pak ini kan baru ujian, refreshing poo. Kasihan lho
mahasiswane bosen dikuliahi terus.
Yo wes, tapi tunggu ya aku ngasih tugas dulu
280

Kami tertawa cekikikan sepeninggal Pak Ino.


Berhasil, berhasil!
Tidak lama kemudian pak Ino sudah turun dari kelas.
Lha terus numpak opo iki? beliau bertanya agak bingung
melihat begitu banyak peserta bolos.
Mobil pak Inoooooo! , jawab koor mahasiswa yang ditanya
Asem! Ayook! sambil menggerutu Pak Ino berjalan ke
mobil bututnya
Horeeeeeh!, enam sekawan itu berduyun-duyun mengekor
si bapak.
Ilut si ibu nyai yang merasa paling bohai langsung mengambil
posisi di kursi depan samping sopir. Kelima orang yang lain
dengan senang hati berdesak-desakan di bangku belakang.
Wah baru ini ada cino yang jadi sopire wong arab!
Gelak tawa keras mengiringi mobil butut putih itu melaju
dari tempat parkir perpustakaan.
Untuk mengenang pak Ino Yuwono, yang sangat mencintai hidup
yang penuh kejutan dan keragaman, kawan yang asik, dosen yang
agak ngawur tapi bijak dan sopir cino yang sangat kita sayangi.

281

Adik-adik tolong ini jangan ditiru, bukan soal membolosnya, tapi


karena tidak ada lagi dosen seperti pak Ino!

282

Family Man
Oleh Kinanti Alfisyahri

Terdiam dalam perjalanan pulang setelah 9 kali take off-landing


dalam 2 hari. Saya menyesal tidak bisa melihatnya untuk
terakhir kali, sedih karena belum bisa banyak memberikan
kebanggaan yang berarti.
Ino Yuwono bukan hanya seorang Dosen pembimbing
skripsi, Beliau sangat lebih dari itu. Ia sang Pembentuk
karakter.
Banyak cerita yang berkesan dengan beliau. Salah satu yang
terus membekas adalah ketika Pak Ino secara sengaja/tidak
sengaja memperlihatkan sisi family man-nya. Di suatu waktu
istirahat siang di meja kerja dosen Beliau, Agustus 2011.
"Sori lo Chik aku telat, tadi waktu mau berangkat aku liat
anakku yang terakhir rasa-rasanya mau latihan piano. Jadinya
ta temenin dulu dong dia. Sebagai orangtua kita harus
menunjukkan support dengan kehadiran. Aku diem aja
nemenin dia disebelahnya. Biar mainnya tenang, terus aku
baru berangkat. Gituuu lo Chiik, ya ngga?? hehehe, beliau
menatap mata saya dengan pandangan lucu-lucu
menyeramkan, pandangan khas beliau. Saya hanya bisa
terdiam, manggut-manggut. Ternyata anaknya diperlakukan
baik sekali ya. Kirain diperlakukan sama dengan kita (baca:
di-bully) hehe..
"Chik, karena ini udah waktunya istirahat siang, kamu makan
dulu aja nanti diskusi skripsi jam 1. Aku juga laper soalnya,"
lalu Beliau mengeluarkan kotak makan dari tasnya.
283

"Aku ngga suka makan di kantin, lebih enak tahu isi buatan
istriku. .aaaaaaammmmmmm enaakk, Sambil beliau
memasukkan sebongkah tahu isi ukuran agak jumbo ke
mulutnya. Kamu nggak boleh minta ini khusus buat aku!
sambil tersenyum-senyum ngga jelas ala beliau juga.
Sejak saat itu, mau di-bully, mau ditoyor, mau diolok-olok,
mau dipanggil "Haahh..hehh..hahhh..heehh", mau disuruhsuruh bawa makanan macem-macem, for me he just a big kid
with an extraordinary brain and a loveable heart. Saya ngga takut
lagi sama Pak Inoo, horeeee.
Sampai pada waktu H-1 wisuda universitas.
"Heh Chik...besok wisuda yaa," kata Pak Ino
"He em Pak," jawabku
"Kamu kok ngga tanya kenapa aku bisa tau. Aku hebat lo bisa
tau."
"Oh oh...okeey.. kenafaa Pak kok bisa tahu. Hebaat lo, cool,
excellent, we o wee.. (antusiasme lebay biar seneng)
"Iya soalnya anakku yg FK besok wisuda juga," Jawab Pak
Ino.
"Waaaah asiik besok ketemu Pak Ino yaa. Foto-foto ya Pak."
"Aku ngga dateng kok."
"Hem? kamsudnya Pak?"
"Iya aku ngga dateng ke wisuda anakku. Selain karena males,
ada acara di kampus"

284

"lho Pak, tapi wisuda di kampus kan acara 1 kali seumur


hidup. Dateng lah sebentar Pak,"
"Ngga mau. BOSEN!"
Kalau yang ngomong begitu itu dosen lain selain Pak Ino,
mungkin akan saya anggap gila, tapi kalau orang sudah gila
bilang seperti itu, yah, mungkin wajar kali ya.
Sejak saat itu Pak Ino saya anggap sebagai ayah kedua saya.
Orang ini gokil abis. Kenapa dulu saya bisa sampai hampir
terkencing-kencing setiap mau masuk kelas Teori Organisasi
ya, hihihi.
Pak Ino, he has his own style in passing this life, and I do really
respect, like, and love all his perspective and kindness.
Mitch Albom punya Morrie Schwartz, saya punya Ino
Yuwono. Love u Pak.

285

Sang Resi
Oleh Is Harjatno

Andai Merajalelakan bullying dan menebar aura intimidatif


terhadap mahasiswa adalah suatu cabang olahraga, maka
tak bisa tidak seorang Christophorus Daniel Ino Yuwono
pastilah salah satu atletnya yang paling legendaris sepanjang
masa. Andaikan cabang olahraga itu benar-benar ada dan
dipertandingkan dalam olimpiade, yakinlah negara ini takkan
pernah mengalami sejarah hampa medali selama Koh Ino
sapaan akrab beliau- berpartisipasi. Paling apes medalimedali perunggu dapatlah. Bukan saja karena skill Koh Ino
yang mumpuni, melainkan juga karena lawan-lawan dari
negara-negara lain pasti banyak yang undur diri karena
minder terintimidasi olehnya. Koh Ino, adalah maestro
nyaris tanpa tanding dalam hal sarkasme.
Agaknya ini memang sebuah bakat alamiah yang hanya
muncul seratus tahun sekali. Saking pekatnya aura teror
tokoh satu ini, hingga suatu kali saya dan beberapa kawan
sempat memelesetkan judul sebuah film thriller psikopat
terkenal berjudul I Know What You Did Last Summer
menjadi Ino What You Did Last Summer.
Metafora di atas bukan bermaksud melebih-lebihkan legenda
koh Ino, apalagi mendiskreditkan pria eksentrik salah satu
perintis Fakultas Psikologi Unair itu. Sebaliknya itu adalah
sebuah bentuk sanjungan dan penghormatan kami atas
dedikasi beliau. Saya merasa bersyukur pernah menjadi
asuhan beliau sebagai dosen wali kami semasa kuliah.

286

Saya pribadi adalah salah satu mahasiswa perwalian Koh Ino,


dan mungkin satu-satunya mahasiswanya yang paling
kenyang dicekoki hukuman push-up berbonus sarkasme itu.
Betapa tidak, sejak awal perkenalan kami hingga beberapa
saat sesudah kelulusan saya, hampir tak ada persuaan kami
yang tak dibumbui hukuman push-up, mayoritas diakibatkan
jawaban-jawaban dan komentar saya yang memang rada
ngawur atas pertanyaan-pertanyaan beliau.
Ada satu rentang waktu dimana tiada hari tanpa push up.
Telat masuk kuliah beliau, push up. Kuliah berikutnya saya
datang tepat waktu, hanya kurang rapi, push up juga. Ditanyai
nggak bisa jawab, push up. Andaipun jawaban saya benar,
kalau beliau lagi sehat, maka itu artinya saya tetap push up.
Akhirnya saya jadi sehat.
Tapi segala sarkasme dan intimidasi itu, yang sering terlihat
betapa beliau sangat menikmati ketika melontarkannya,
sesungguhnya tak lebih dari sebuah upaya pria perokok berat
itu untuk mendidik lawan bicaranya. Pada banyak momen, ia
menunjukkan sisi humanisme beliau untuk mengakrabkan
diri pada lawan bicaranya. Para mahasiswa kebanyakan
berusia lebih dari separuh usianya. Dan apa yang telah beliau
lakukan justru menyobek sekat kesantunan birokratis yang
semu.
Pada beberapa momen, saya pribadi mendapati dan
menyimpulkan bahwa beliau menjadikan hal tersebut sebagai
katarsis atas kefrustrasian beliau menghadapi kebuntuan
sistem dan kultur kehidupan akademis yang cenderung
menjauhkan entitas yang ada di dalamnya dari sebuah
predikat tercerahkan dan hanya menjadi sekedar manusia
abal-abal-meminjam istilah beliau.

287

Yang namanya sistem, yang namanya birokrasi itu kan


harusnya bersifat memudahkan. Bukan begitu, heh, Dayak?
celetuk beliau pada suatu kali. Beliau adalah orang pertama
dalam hidup saya yang memanggil saya Dayak, sesuai suku
ibu dan daerah asal saya. Dan pendidikan itu, seharusnya
menjadi alat pembebas, alat menuju pencerahan. Iya nggak?
Lanjutnya.
Tapi saya kadang-kadang heran, kenapa banyak kasus
aparat-aparat birokrasi menyusahkan orang lain, kalo bisa
dibikin sulit, kenapa dipermudah, kenapa para pendidik
justru menindas hak pembebasan para peserta didiknya?
gugatnya.
Saya sejenak membatin. Saya paham betul Koh Ino sedang
ingin memancing respon saya. Jika jawaban saya
dianggapnya menarik, niscaya seperti biasa akan diserang
dengan pertanyaan lanjutan yang menguji argumen (dan
iman) saya. Biasanya ini akan berlangsung hingga saya
menyerah kehabisan argumen dan ditutup dengan perintah
push up. Jika jawaban saya dianggap kurang menarik, maka
segera saja push up. Jadi masalah push up ini hanya masalah
relativitas waktu, meminjam istilah Einstein. Brengsek kau
Einstein, maki saya dalam hati.
Maka untuk mencari aman, saya balik bertanya, pura-pura
bodoh sajalah, Iya ya pak, kok begitu ya, Menurut bapak
kenapa ya bisa gitu? Maka beliau pun mengomel panjang
lebar tentang filosofi pendidikan dan pelayanan, dan faktafakta pemutarbalikkannya dalam impelementasi di lapangan.
Saya tersenyum, merasa aman. Beliau bertanya He cah
gendheng, kamu kenapa senyum-senyum?. Saya jawab
spontan (dan inilah celakanya), Lha, kan Bapak juga
sukanya nindas-nindas ga jelas kaya gitu? Dan ketika saya
menyadari kesalahan saya, segalanya telah terlambat. Vonis
288

pun dijatuhkan, Hooo... gitu ya. Ya sudah, kamu PUSH


UP!!!
Namun terlepas dari semua itu, tak seorangpun
menyangsikan dedikasi luar biasa pria yang dijuluki Bocah
Tua Nakal ini. Di balik kebengisan sikap luarnya, beliau
adalah seorang resi. Ia adalah pejuang yang tulus dan berani,
namun bukan konyol. Beliau cenderung menghindari
konflik, apalagi yang bersangkut paut dengan intrik-intrik
kekuasaan di level apapun. Kalo aku memang nyari harta
dan penghormatan orang, nggak jadi dosen aku, Dayak,
kata beliau suatu kali. Maka buat saya sejak saat itu, si dosen
killer inipun menjelma jadi Resi Bisma era posmodern.
Beliaupun dengan caranya yang khas selalu menantang para
mahasiswa dan kawannya untuk berani berpikir out of the
box, berani melangkah meniti hidup, tanpa harus pesimis,
takut berlebihan akan menanggung resiko salah dan gagal.
Saya ingat suatu senja di tahun 2010, ketika kami sedang
berbincang tentang filosofi Dayak dan visi hidup saya, Koh
Ino tiba-tiba meminta komentar mengenai keraguan
melangkah ini. Orang yang seumur hidupnya tak pernah
berbuat salah, maka keseluruhan hidupnya itu sendiri adalah
kesalahan, komentar saya spontan. Beliau memandangi saya
agak lama, seperti takjub, lalu menepuk pundak saya sambil
menyatakan persetujuannya. Saya tak tahu pasti adakah
komentar saya itu bermakna bagi beliau. Yang saya tahu
pasti sejak itu beliau menyapa saya dengan Is, nama depan
asli saya. Tak lagi Dayak. Dan tak pernah lagi menyuruh push
up. Entah mengapa.
Ada terlalu banyak kenangan dan pembelajaran yang saya
peroleh dari manusia nyentrik satu ini, langsung dan tak
langsung. Terlalu panjang untuk diceritakan. Dan itu berarti
289

lebih banyak lagi air mata yang harus saya jatuhkan jika itu
semua harus saya tulis disini. Lagipula saya yakin mereka
yang mengenal beliau lebih baik pasti memiliki cerita dan
pelajaran masing-masing. Beliau adalah paradoks berjalan,
Eyang Sinto Gendeng versi pria yang hidup, yang bisa sopan
dan anarkis tergantung situasi dan kebutuhan.
Koh Ino bukan manusia yang sempurna, bukan superhero.
Namun sebagaimana almarhum orang tua saya, dan para
segelintir pejuang kehidupan sejati lainnya, mereka inilah
yang
memegang
teguh
prinsip-prinsip
etika,
transendentalistik dan transpersonalistik dalam takaran
mereka sendiri. Seringkali orang-orang ini akhirnya harus
hidup bergelimang ketidakpahaman dan kurangnya
penghargaan dari orang-orang sekitarnya, namun mereka tak
menyerah. Seseorang tak perlu jadi penguasa atau kaya dulu
untuk bisa dihormati, disayangi orang, nasehat Koh Ino
suatu ketika, mirip nasehat almarhum ibu saya. Beliau adalah
bapak yang hilang bagi saya.
Akhir kata, andaikan dalam olimpiade ada cabang olahraga
Merajalelakan bullying dan menebar aura intimidatif
terhadap mahasiswa, dan seorang Christophorus Daniel
Ino Yuwono berpartisipasi buat Indonesia, yakinlah, paling
apes medali-medali perunggu dapatlah. Tapi jika dalam
Olimpiade ada cabang olahraga Meneror sekaligus
menginspirasi mahasiswa, membuat mereka jerih sekaligus
sayang kepada dosennya, maka seorang Koh Ino tak pelak
adalah kandidat kuat peraih medali emasnya.

290

Selamat jalan, Ino Yuwono guru kami. Engkau adalah


seorang resi, empu yang turut berjasa menempa karakter dan
moral kami dalam keteladananmu. Thanks for all. May God
Bless You.

Surabaya, 8 Desember 2012

291

Pak Ino, Beruang Sayang Pak Ino


Oleh Anandita Kuma
Beruanglalimcalonpenguasadunia.wordpress.com

Sudah 5 hari yang Pak Ino berpulang ke rumah di surga, tapi


entah kenapa aku merasa amat sangat kehilangan. Ya jelas
sih, karena setiap kehilangan itu menyedihkan. Sah-sah saja
kalau kita merasa sedih, linglung, sering melamun
membayangkan saat-saat dimana kita menghabiskan waktu
dengan seseorang yang kini telah tiada tersebut, marah,
merasa tidak terima, dan mengumpat dalam hati kenapa ini
terjadi begitu tiba-tiba. Tak ada diantara kami yang mungkin
mengira akan kehilangan Pak Ino semendadak ini, begitupun
aku. Aku yang dengan naif membayangkan kalau Pak Ino
akan terus ada ketika aku mencarinya ke ruang dosen,
bertemu dengannya secara tidak sengaja di lorong Psikologi
Unair yang notabene itu-itu aja, dan tetap bisa berteriak
memanggil beliau dari kejauhan lalu memeluknya sambil
berkataEngkooooong!!! Aku kangen!!! Aku terdiam saat
menerima berita dari teman seangkatan yang kebetulan
mendengar berita tersebut dari Wadek 1 Fakultasku.
Aku yang tidak percaya pada berita yang menyangkut
engkong super yang tahan banting tersebut langsung lari ke
ruang operator PMPM, dimana kalau ada berita apapun pasti
akan sampai ke Pak Biv selaku pembuat pengumuman bagi
media elektronik fakultas. Sesampainya disana aku bertanya
Pak Biv, beneran ta??
Apanya?
292

. aku berhenti bertanya. Bukannya aku bisu mendadak


ataupun amnesia, tapi aku melihat layar laptopnya yang
tengah mengedit foto Pak Ino dan mengetikkan tulisan
Telah berpulang aku tidak perlu bertanya lebih jauh,
semua pertanyaanku sudah terjawab. Berita itu sungguhan.
Aku terdiam menatap layar laptop yang terus mengetikkan
kalimat yang tidak ingin kulihat, tapi entah mengapa mataku
terus memandangnya sampai kata terakhir selesai dituliskan.
Dalam lubuk hatiku mungkin aku berharap ada kalimat aku
bohong yeeeeek!!!! Dasar bocah gampang dibujuki!!!
walaupun sebenarnya aku tahu kalau kalimat itu tak mungkin
muncul.
Kalau kalian bertanya seberapa berharganya kehadiran Pak
Ino padaku, aku akan menjawab DIA BERHARGA,
BANGET!! Secara tidak langsung, aku seringkali
menganggap Pak Ino seperti kakekku sendiri. Karena dosen
yang sebenarnya berumur tak terlampau jauh dari bapakku
tapi berperawakan seperti engkong-engkong di film kartun
UP! Itu selalu menyenangkan diajak bercanda tanpa sungkan
layaknya saudara sendiri.
Iya, diajak bercanda. Sebelum menulis cerita ini, aku sempat
bingung untuk ikut menulis cerita untuk memorialnya atau
tidak. Ceritaku terkesan mbanyol dan tidak keren, walaupun
itu memang terjadi saat aku bersama Pak Ino. Tapi karena
Grace, temanku, berkata bahwa itu tidak apa-apa, dan
banyak sudut pandang bisa membuat gambaran tentang Pak
Ino semakin mendekati manusia sesungguhnya yang hadir
diantara kita, bukan hanya dewa inspirator yang jauh dari
jangkauan, akhirnya aku menuliskannya.
Sebelumnya, aku selalu mendengar rumor yang
menyeramkan tentang dosen bernama Ino Yuwono yang
merupakan penguasa dunia PIO. Jujur, itu membuatku takut.
293

Takut dicaplok, takut diuncal keluar kelas karena aku sendiri


sadar fungsi otakku ini ndak WAW!! Simpelnya, pokoknya
takut.
Pada suatu hari, tibalah hariku bertemu dengan Pak Ino!!
Jeng jeng jeng jeng!!! Yah, tapi sudah kukatakan di awal kalo
fungsi otakku agak ndak jangkep kan ya? Bukannya kabur
atau sembunyi, aku malah menyapa, monggo paaak sambil
tersenyum lebar seperti kebiasaanku menyapa para tetangga
dekat rumah. Sedetik kemudian aku sadar dan siap matek
atau apapun yang akan terjadi. Namun diluar dugaan, Pak
Ino malah tersenyum ramah menyapaku. Seketika itu juga
aku merasa kalau bapak ini menyenangkan!! Bapak ini tidak
berbahaya bagi kelangsungan jiwaku!!
Semakin sering menyapanya, Pak Ino akhirnya menanyakan
namaku dan setelah itu selalu memanggil namaku walaupun
ditambahi huruf N dibelakangnya jadi KUMAN. Banyak
orang yang mengataiku, kamu lho kum, koyok ulo marani
gepuk! tapi aku berpikir, Halaaaaah, aku lho durung tau
digepuk. Sambil terus menyapa Pak Ino yang kadang juga
mengajak bercanda dan tertawa
Pak Ino yang ternyata mengenal ibuku di tempat kerja yang
sebelumnya seringkali berkata, Ibukmu lho pinter!! Aku sinau
statistik teko dhee!! Anake kok goblog ngene, ibukmu gak protes
a? Dan kujawab, Haduuuh pak, Ibukku lho dadi ibukku 20
tahun. Wes paham lah nek anake goblog. Pak Inopun
mengeplak kepalaku sambil ketawa walaupun geleng-geleng
miris.
Pak Ino juga pernah menawariku jajan, tapi sebelum diberi
aku harus tahu nama jajan itu. Aku yg tidak fasih soal nama
jajanpun bingung (tapi pengen). Yang kupikir nama jajan
sejenis itu di otakku cuma makaroni skotel. Akhirnya aku
294

salah tebak dan aku kena penalti tidak boleh makan jajan.
Tapi beberapa saat kemudian, Pak Biv dikasih walaupun
tidak tau nama jajannya. Langsung aku lari ke ruang pribadi
Pak Ino sambil berteriak menuntut keadilan, Pak Ino
licikaaaaaan! Pak Biv nggak tau namanya jugak kok dikasiiih?
Pak Ino hanya tertawa memberitahu kalau nama jajan
tersebut pastel tutup. Aku diijinkan makan asalkan
makannya di ruangnya Pak Ino Kalau makan disini kan ada
minum, tisu, permen tinggal ambil ujarnya. Ya, saat itu aku
juga merasa seperti beruang yang diumpan jajan.
Saat itu aku bertanya pada Pak Ino, Setiap kali ada anak
telat disuruh bawa jajan nih? Enak dong, aku bisa gendut
kalo masuk kelasnya bapak. Soalnya kan aku naek angkot,
jadi ndak mungkin telat soalnya berangkat pagi banget
Ya itu syarat kalau mereka mau masuk kelas. Jajannya kan
sebagai pertanggungjawaban kesalahan mereka. Tementemennya aja bisa dateng tepat waktu, masak dia nggak bisa?
Malulah harusnya dia sama yang lain. Kalo mau masuk ya
harus bawa jajan buat temen-temennya sekelas yang ndak
telat tadi
Jajannya mereka sendiri yang milih?
Yo ndak lah! Aku yang milih!! Biasanya tak pilihkan jajan
yang jarang dikenal anak muda jaman sekarang. Biar mereka
belajar tentang budaya mereka! yang terlambat maupun yang
tidak terlambat biar sama-sama tau kalo jajan ini bentuknya
begini
Hooo~ aku hanya bisa mengangguk-angguk. Aku tidak
tahu sebelumnya kalau dibalik kelalimannya membawa jajan
itu ternyata ada arti sebesar itu, tanggung jawab dan budaya.
Aku tak pernah berpikir sejauh itu.
295

Tapi aku ingat saat itu Pak Ino menambahkan, Tapi setelah
keluar dari UNAIR pasti mereka lupa dengan kebiasaan
bertanggung jawab ini, karena tak ada yang memaksa
mereka, ujarnya sambil tertawa
Aku tak akan lupa pak, aku akan mengingatnya. Walaupun
hukumannya bukan bawa jajan, aku janji akan jadi beruang
yang selalu berusaha untuk bertanggung jawab hehehehehe.
.
Suatu hari juga pernah Pak Ino memanggilku ketika aku
tengah berjalan ke gedung baru Psikologi yang letaknya
cukup jauh dari gedung lama
Kuman!! Sinio!! Aku punya lagu lucu!! sambil melambaikan
tangan memanggilku
Apa apa apa?? sekali lagi, aku bagaikan beruang diumpan
makanan, tapi biarlah. Aku penasaran.
Diputarkanlah lagu dari dalam mobilnya. Lagu anak-anak
bertempo
riang
yang
dinyanyikan
kakek-kakek
dinyanyikannya sambil bergoyang. Andai saja kalian ada
disana, pasti bayangan sangar yang beliau bangun akan gupil
sedikit demi sedikit karena goyangannya. Aku tertawa dan
ikut menyanyi sampai hampir lupa kalau aku harus pergi ke
gedung baru untuk kuliah. Sampai sekarang, lagu itu masih
kusimpan di HP-ku tanpa pernah dihapus karena alasan
apapun. Sampai sekarang. Walaupun lagu itu kini
membuatku meneteskan airmata, karena teringat goyangan
dan senyumnya yang menyenangkan itu tak akan pernah
terulang berapa kalipun aku memutarnya keras-keras.
Pernah juga suatu ketika aku membuat bando kuping kelinci
yang lucu dan kubawa ke kampus karena hendak
296

kupamerkan kepada anak-anak. Di saat berjalan menuju


Gedung baru aku bertemu Pak Ino dan beliau tertawa
melihatku membuat dan memakai kuping kelinci tersebut
sambil bergoyang. Kukira nasib kuping kelinci bersama Pak
Ino hanya sampai disitu. Namun, ternyata sepulang kuliah,
disaat ada seminar Industri Organisasi tentang networking, aku
diculik dosen-dosen Industri Organisasi untuk menjaga meja
penerima tamu. Saat itu Pak Ino berkata,
Mana kuping kelincimu?
Ini pak, kenapa?
Beliau langsung memasangnya dan macak imut, spontan aku
dan anak-anak peminatan Psikologi Industri Organisasi
tertawa melihat beliau seperti itu. Tapi itu bukan klimaksnya,
setelah itu Pak Ino minta difoto menggunakan HP-nya
Fotoin Kum!!
Aku juga mau foto pakek HP-ku
Gak oleh! Ntar ae tak kirim dari HP-ku
Tapi setelah itu, Pak Ino dan aku bingung bagaimana cara
mengirimkan gambar lewat HP canggihnya ke HP gupilku.
Beliau berkata, Hash angele!! Gak usah ae yo!!
Lhoooo, licikaaaan!!! Pakek lagi poooooo, aku mau
fotoooo~, kataku
Maleeees, wuakakakakakakakak, sambil masuk ke ruang
seminar
Aku dari dulu sampai sekarang benar- benar berharap bisa
menculik hape Pak Ino dan meminta foto dimana dia
297

menggunakan bando kuping kelinci dan macak imut


tersebut, sungguh.
.
Beliau juga pernah memamerkan ijazahnya yang sudah
menguning di PMPM ketika beliau hendak men-scannya.
Beliau berkata, Liaten ta! Aku mbiyen ganteng kaaaan!!
sambil tersenyum sombong. Aku bisa berkata apa? Aku
hanya tertawa dan menyeletuk Sampek sekarang lho ya
masih ganteng! Tapi mbiyen Pak Ino gantengnya kayak
anggota The Beatles ya tanganku menunjuk ke arah pas
fotonya yang tertempel di ijazah lama tersebut yang tipe
poninya emang poni yang tampaknya terkenal di masa itu
Pak Ino tidak pernah protes kupanggil dengan panggilan
Engkooooong!!!
Beberapa saat yang lalu aku sempat menggambar wajah
beliau atas request Pak Ino sendiri, Kuman! Gambarno aku!!
Bawako kertas sama perlengkapanmu!!
Aku senang-senang saja disuruh menggambar, asalkan tidak
disuruh menghitung hitungan statistik lalim yang nilaiku D
itu.
Semenjak itu, beliau sering memamerkanku kepada dosen
yang lain seperti Pak Sam, Pak Ucok, Bu Vero soal
keterampilanku menggambar. Aku sih senang-senang saja
kemampuanku diakui Pak Ino, apalagi beliau promosinya
sambil tersenyum lebar menyenangkan. Aku entah kenapa
merasa seperti cucu yang dibanggakan engkongnya sendiri.
Diam-diam aku merasa bangga walaupun protes kepada Pak
Ino soal kelalimannya menyuruh dosen-dosen buat minta
kugambar.
298

Pak Ino dan Pak Sam-lah yang menyarankanku membuat


skripsi tentang komik. Tentu saja ide tersebut kusambut
gembira karena pertamanya kusangka tema-tema di psikologi
itu berat dan tidak terlalu menarik. Sekarang aku berusaha
mewujudkan ide menyenangkan tersebut. Doakan aku
berhasil ya Pak Ino. Pak Sam juga doain ya Jangan lalimi aku
terus wkwkwkwkwk~
Padahal aku bercita-cita berfoto dengan Pak Ino disaat
yudisium psikologi ketika kelulusanku nanti. Sayang itu
belum sempat tercapai.
Pak Ino, aku sayang bapak. Diatas sana, jangan tertawa ya
kalau bapak melihatku mengetik tulisan ini sambil menangis
atau mendengar lagu pemberian bapak sambil terisak.
Walaupun aku merasa sedih dan tidak rela melepas bapak,
aku benar-benar bahagia pernah bertemu bapak di
kehidupanku
Terimakasih Pak Ino. Walaupun kata anak-anak kamu sangar
bangeeeeeet, Pak Ino adalah engkong yang amat sangat
menyenangkan dan dari Pak Inolah aku belajar kalau
menghargai orang itu tak perlu memuji. Pengakuan atas
keberadaannya dan kemampuannya sudah merupakan
penghargaan yang tak ternilai dan dapat memotivasinya
untuk terus maju dan mengasah kemampuannya.
Terimakasih sudah memuji kemampuan menggambarku, aku
berjanji akan terus mengasahnya

299

Ya Tuhan, Guru itu sudah pergi


Oleh Pita Adiati - Rosatyaniadiati.wordpress.com

Entah kalimat apa yang bisa digunakan untuk mewakili


suasana hari ini, 4 Desember 2012. Hari ketika saya
menerima kabar bahwa salah satu guru terbaikku, Drs. C.D.
Ino Yuwono, MA meninggal dunia.
Secara logika memang tidak seharusnya kaget berlebihan,
karena memang pada dasarnya Beliau sudah lama mengidap
lemah jantung, yang ditambah kebiasaan bandelnya
menghisap rokok terus-terusan, seperti lokomotif yang
melaju kencang, menebar polusi dan (sedikit) sumpah
serapah bagi manusia lain yang tidak menyukai asap rokok.
Tetapi kabar itu tetap mengejutkan dan membuat hati KO,
karena sehari sebelumnya beliau tampak sangat sehat dan
sangat aktif.
Ingatanku melayang, pada sekitar Agustus 2010, ketika
pertama kali aku ketemu dengan Beliau di kelas matrikulasi
Magpro 2010. Ketika dengan kulontarkan pernyataan asal,
Jangan-jangan bapak masuk kategori gifted? yang ternyata
berujung kenalnya (dan kalau boleh sedikit berbangga- kenal
dengan cukup baik) dengan dosen yang mengagumkan ini.
Dari sekian banyak orang yang pernah mengajarku, Pak Ino
adalah satu-satunya dosen yang layak diberikan predikat
Dosen Killer. Dengan pengetahuan yang super duper luas dan
mulut yang super tajam, banyak sekali kritik pedas ditujukan
buat kebiasaanku membaca hanya garis besar (salah tangkap
pula). Komentarnya tentang kejombloanku, keusilannya
mencarikan jodoh, sampai penghinaan soal postur fisik yang
300

dibilangnya, Pita, kamu nampak kaya ibu hamil, lain kali


jangan pakai baju hamil ya kalau ke kampus. Sampai
kebiasaan buruknya menghisap rokok tanpa toleransi, cukup
membuat aku sedikit menjaga jarak. Sampai pada beberapa
kesempatan diskusi berharga, yang membuat saya cukup
pasrah menghadapi asap rokoknya, dan tanpa saya sadari
Pak Ino jadi dosen favoritku.
Pada beberapa banyak saat serius yang jadi
keberuntunganku, sedikit demi sedikit aku mulai memahami
cara pandang Pak Ino yang ditunjukkan dengan sinismenya.
Cara mendidik beliau yang terkesan sadis, bermula dari
keresahan beliau mengenai kemalasan mahasiswa-mahasiswa
muda yang malas belajar; sarjana-sarjana yang diberikan
ijazah berdasarkan kemampuan menghafal powerpoint; sampai
dengan kaum kami, master-master baru yang pintar
mengutip teori, namun tidak peduli dengan budaya sendiri,
saya khususnya yang lahir dalam budaya Jawa. Beliau
menanyakan seberapa jauh saya memahami filosofi hidup
orang jawa, sampai dengan makna-makna yang ada pada
cerita pewayangan. Pemaknaan kisah-kisah Bisma, Gandhari,
dan Karna yang diperbandingkan dengan konsep-konsep
Eropa seperti komitmen, loyalitas, dan engagement yang kata
beliau absurd. Dan entah apapun ujung perdebatan, selalu
ditutup dengan nasihat serius, Saya tidak nyuruh kamu
pintar, kalau hanya pinter baca. Tapi kamu master, jadi harus
kritis dan paham, mulai dari memahami dirimu sendiri. Ah
pak Ino, maafkan saya karena saya belum bisa memahami
budaya saya sendiri lebih banyak daripada yang bapak
pahami.
Pertemuan singkat saya dengan Beliau selama 2 tahun, cukup
meyakinkan saya bahwa betapa beliau berusaha keras
menyembunyikan
cintanya
kepada
orang-orang
disekelilingnya, dan berlagak jadi orang jahat :). Saya ingat
301

ketika saya mewawancarai beliau untuk mengisi kuesioner


Holland. Ketika giliran jatuh pada item kuesioner, saya akan
membantu orang-orang yang ada di sekeliling saya. Beliau
terdiam. Pak Ino langsung menjawab, Oh jelas tidak, saya
kan orang yang jahat. Dan saya langsung menimpati,
Kalau jahat, Bapak nggak akan suruh saya bawakan JCo
untuk bapak-bapak di pengajaran, Bapak juga nggak akan
galak ngajar buat bikin mahasiswa pinter, Bapak kan cuma
pura2 jahat aja. Dan ajaib, sekejap beliau terdiam dan
bilang, Kamu sok tahu! Dengan nada yang saya yakini itu
penghindaran untuk membahas lebih lanjut (Ha Ha Ha). Ya,
saya meyakini bahwa cara dia menyayangi murid-murid dan
rekan kerjanya dan bahkan sangat dekat dengan beberapa
orang murid (yang sekarang sudah pada jadi orang), yang
terlihat dari antusiasme beliau ketika menceritakan orangorang tersebut (semoga mereka juga menyadarinya).
Pengalaman-pengalaman diatas, entah kenapa hari ini
berseliweran di kepala. Berbagai momen ketika saya ujian
dengannya (yes, saya mengalami 4 ujian disidang Pak Ino
dari total 6 ujian di Magister Profesi). Dalam kondisi saya
saat ini, saya adalah dosen honorer yang baru masuk satu
hari yang sempat diwanti-wanti beliau untuk banyak belajar,
dan tiba-tiba ditinggalkan panutan. Berbagai pertanyaan
kemudian muncul seperti Pak, what do you want me to do?
where do i have to ask if youre not here? mulai menggerayangi isi
otak.
Belum lagi dengan emosi yang menyeruak ketika saya
melihat betapa banyak rekan kerja dan mahasiswa yang
menangis kehilangan, karena beliau akhirnya berpulang dan
meninggalkan kami semua dalam kekosongan. Entahlah kata
apa yang cukup untuk mewakili perasaan. Begitu banyak
emosi yang muncul, sampai saya sendiri tidak sanggup untuk
mengurainya satu-satu. Sedih? Wajar. Senang? Ya, saya
302

senang Pak Ino ngga sakit lagi. Curiga? YA. Saya curiga Pak
Ino sedang tertawa-tawa dari atas sana melihat kebingungan
dan kesedihan kami yang ditinggalkannya. Namun pada
akhirnya semuapun bermuara pada kenyataan bahwa Pak
Ino sudah duluan, meninggalkan kenangan, semangat, dan
idealismenya, supaya kami menjadi semakin baik. Dan
betapa saya belum bisa memberikan apa-apa untuk
membalas jasanya mendidik saya.
Dan seperti itulah hidup. Bahwa apa yang terjadi dengan apa
yang direncanakan seringkali berjauhan. Sejauh dengan apa
yang bisa saya tuliskan dan ucapkan di bibir begitu kecil dan
tidak berarti dibandingkan dengan apa yang saya rasakan di
hati. Bagaimanapun pula jauhnya saya dari kesiapan
menerima kepergian Pak Ino, sepenuh hati saya berharap
semoga Bapak mendapat tempat terbaik disana. Rest In Peace,
Dear Beloved Teacher!!! Inspirasi tentangmu akan terus ada
dihati :)

303

"Mbelgedes kowe.."
Oleh Mumuk Ismuharto - Ismudila.blogspot.com

Jam menunjukkan 23.36 sebuah pesan masuk ke handphone


yg tergeletak di ranjang. Sebuah pesan dari seorang rekan
semasa kuliah masuk. Sebuah pesan singkat "Muk, Pak Ino
meninggal dunia."
Aku yang lagi dihantam demam dan setengah malas
menerima pesan, langsung sigap. pikiran yang terlintas
adalah "masak sih.." Aku hubungi si pengirim pesan, dan
mendapat konfirmasi. Dua orang rekan lain aku hubungi dan
mendapat konfirmasi serupa. Ketika aku tanyakan dimana
rumah duka dan bagaimana rencana prosesinya, aku tidak
mendapat jawaban pasti. Ketika aku akan hubungi rekan lain
lagi, sungguh celaka nomor-nomor penting ada di hp lain
yang tertinggal di lokasi lain.
Akhirnya aku menyerah, terpaksa menunggu esok hari bila
HP tersebut sudah diantar. Berbaringlah aku, pikiranku
melayang jauh ke tahun-tahun yang lampau. Saat aku masih
selayaknya anak ayam yang belum tahu luasnya dunia dan
dalamnya laut.
Psikologi Universitas Airlangga tahun 1984, di sinilah aku
mengenal sosok Ino Yuwono.
Ino Yuwono adalah seorang dosen di sini. Bagiku dia telah
memberi banyak inspirasi baik pada lembaga tersebut
maupun pada banyak mahasiswa yang pernah diajarnya.

304

Orang yang pada saat itu aku ketahui sebagai orang yang
cuek dan seenaknya. Orang yang anti kemapanan dan tidak
senang dengan kebiasaan yang secara kultural berlaku. Jujur,
kesanku adalah negatif pada saat itu. Menurut aku, ini orang
pinter kok nggak tahu unggah ungguh.
Hal yang jauh berbeda dengan ketika beliau kembali dari
studi selama 2 tahun di negeri paman sam. Setelah kembali
beliau jauh lebih toleran dan tidak lagi suka mencemooh
orang lain maupun keadaan yang ditemuinya. Bagaikan
seorang biksu yang kembali dari pertapaan untuk pencarian
jati diri, begitulah perbedaan antar sebelum berangkat dan
setelah kembali dari studinya di Negeri Paman Sam.
Dari poin ini aku bisa bercerita banyak kenangan pribadi atas
beliau. Sebagian kenangan mbelgedesnya aku tuliskan di sini.
Suatu ketika beliau memanggil aku, ini kira-kira tiga atau
empat bulan setelah beliau pulang dari tugas studinya. Jujur
aku terkejut sekali, karena aku bukanlah orang yang
istimewa, bukan orang yang gaul mudah dikenali dan diingat
orang.
"Muk, bapakmu kerjo opo?"
"Hmm maksud Pak Ino?" aku balik bertanya hal yang
menjadi kebiasaanku sampai sekarang.
"Yo dadi opo saiki, sorodadu opo pegawai ngono lho,"
"Hanya jadi tukang kayu Pak," jawabku.
"Dodolan meubel tha?"
"Enggak pak hanya di HPH saja" jawabku lagi.
305

"Wooo.. mbelgedes kowe.. akeh duitnya kuwi,"


"Enggak lah pak, bapak saya kan sekedar buruh"
Hmmm.. inilah mbelgedes pertama yang aku terima dari beliau.
Dan diantara rentang waktu sekian lama, cukup banyak
mbelgedes-mbelgedes lain dalam percakapan diantara kami
berdua. Beberapa masih aku ingat dan entah berapa banyak
yang aku sudah lupa.
Tipikal pergaulan dosen mahasiswa yang beliau jalankan
membuat kami para mahasiswa bisa menarik suatu hal dari
dirinya. Demikianlah kami semua semakin mengenal siapa
Ino Yuwono. Kami bahas segala hal, dari Freud, total football
sampai tragedi bintaro.
Ketika suatu siang panas aku sedang duduk di tangga sambil
mengisap rokok, beliau lewat.
"Muk ajaken aku makan po'o," kata beliau menyapaku
"Wah pak nggak kebalik ni pak,"
"Aku luwe yuk mangan muk,"
"Ayo pak di mana enaknya aku juga lapar," sahutku
kebetulan aku juga lapar cuman nggak ada temen untuk
diajak makan.
Akhirnya berjalanlah kami ke kantin ekonomi. Kebetulan
sudah lewat jam makan siang, jadi kantin relatif sepi.
"Kowe ngenteni kuliah opo?"
"Nggak Pak lagi nunggu."

306

"Ooo nunggu pacarmu ya? aku denger kamu pacaran ama


dia ya?"
"Iya mungkin Pak? jawabku.
"Ya baguslah. Jok sakit hati ya, tapi aku pesimis muk"
Dan kemudian beberapa petuah selayaknya orang tua
meluncur dari beliau yang sampai sekarang masih aku ingat.
Setelah selesai ngobrol kami berduapun berebutan untuk
membayar makanan tersebut.
"Gayamu arep mbayari aku," katanya
"Aku aja yang bayar, mengko mbok bayari kowe malah nagih njaluk
nilai A"
"Ya kalau perlu kan begitu Pak" jawab saya cengengesan
"Mbelgedes kowe muk..."
Diantara kata-katanya yang kadang terkesan kasar, meluncur
lugas nasehat, ajaran dan petuah yang kala itu kadang tidak
masuk diakal saya. Kadang kata-katanya kepadaku seperti
ramalan yang dikemudian hari benar terjadi padaku.
Dan suatu ketika aku bingung mencari judul dan masalah
untuk penelitian, aku mendatangi beliau. Meskipun beliau
bukan dosen pembimbing skripsiku, aku utarakan hal ini
kepada beliau saat itu.
"Lha bapakmu kan dodolan kayu muk. Gampang wae, awakmu
ukur wae motivasi tukang kayu?" dan kemudian beliau
menyebutkan beberapa teori dan rancangan penelitian.
"Wah jauh Pak di Kaltim sana, dan lagi kan bukan punya
bapak saya," jawab saya.
307

"Alaaa... Kaltim wae adoh, malah enak mengko nek kepekso kerjo
nang kono awakmu wis biasa.."
"Kalau penelitian orang aneh aja gimana pak"
"Maksudmu orang aneh gimana,"
"Pak Ino subyeknya," kata saya sambil ketawa ngekek
"Mbelgedes kowe muk. Wis ngalih-ngalih sana," kata beliau
mengusir saya, sambil tertawa-tawa..
Dan kemudian terjadi seperti kata beliau, tiga tahun setelah
saya lulus, sayapun berangkat kerja ke Kaltim.
Sebagai orang yang aku anggap tidak perhatian, ternyata dia
memberikan perhatian ketika aku sedang menjalankan
penelitian. Dua minggu setelah aku di Samarinda, tiba-tiba
sebuah panggilan telpon diteruskan ke mess tempat aku
menginap. Setelah aku terima, ternyata dari Pak Ino. Agak
kaget juga ketika aku tahu beliau bisa menghubungi aku.
"Kok Pak Ino tahu telpon di sini?" adalah kata2 pertama
sebagai jawaban atas kata halo yang beliau ucapkan.
"Kan ada nama perusahaan dan alamatnya muk, aku kan ga'
guoblok tho,"
"Entek duitku mbayar telpon, nggo nggoleki awakmu. Nek
mulih ijolono ya"
"Piye kowe apik-apik wae kan, penelitianmu wis mulai?"
"Baik-baik pak, sudah mulai, minggu kemarin menjelaskan
dasar penerapannya dan minggu ini mulai jalan"

308

"Biso mbok tinggal kan, kalau bisa tinggalen aja. Awakmu susun
bab 1, 2 disik."
"Berapa bulan rencana ngambil data hasil?"
"Tiga bulan pak,"
"Ya udah ati-ati mengko awakmu kecantol wong kalimantan"
"Ya malah nggak usah pulang sekalian pak, atau Pak Ino
mau saya oleh-olehi gadis Kalimantan ?"
"Woo.. mbelgedes kowe..."
Dan ketika kedua kalinya saya balik ke Kaltim lagi, saya
sempat mendapat kecelakaan di lokasi, lecet-lecet, memar
dan dua tulang rusuk retak. Beliau juga menyempatkan
menanyakan keadaan saya.
Ketika saya mau berangkat bekerja ke Kaltim, saya
sempatkan pamit beliau, meskipun hanya lewat telpon.
Hanya karena banyak hal yang mengecewakakan aku di Jawa,
maka saya berpesan untuk tidak usah cerita ke temen-temen
mengenai hal ini. Karena kemungkinan aku di tempatkan di
lokasi jadi aku minta maaf kalau tidak bisa menghubungi
nantinya. Dua tahun aku di lokasi, setelah itu aku seperti
terputus hubungan dengan dunia luar. Termasuk dengan pak
Ino Yuwono. Lima tahun kemudian aku baru
berkesempatan pulang ke Jawa. Saya sudah tidak dapat
menghubungi beliau lagi, karena nomor telpon sudah
berganti. Karena kesibukan, saya juga tidak ada waktu untuk
berusaha menemui beliau.
Ketika aku mendengar kabar kepergian Beliau, sungguh aku
menyesal. Aku tidak dapat lagi bertemu dengan beliau.
309

Selamat jalan pak Ino Yuwono


Selamat jalan maestro, banyak kenangan engkau tinggalkan
buat kami.

310

Kelaliman Asmen (lagi?!)


Oleh Anandita Kuma
(Catatan Editor: Tulisan ini dimuat lebih setahun sebelum Pak Ino
berpulang, 14 Oktober 2011di Blog Anandita Kuma
http://beruanglalimcalonpenguasadunia.wordpress.com/ )

Huahahahahaha!!! Tuuuh kaaaan!! Kelaliman Dosen PIO tuh


emang nggak tertandingi kok. Buktinya minggu ini aku
posting lagi tentang kuliah Asmen yang hebohnya aku diajar
sama Pak Ino hari ini~ #bunuhdiridikobokan
13 Okt11, Kamis
Dengan jayanya, kelas B yang jumlah anaknya udah seipret
trus berkurang BUANYAK gara2 ada yang udah berangkat
buat ngospek dan anak-anak yang bolos, hari ini diajar sama
Pak Ino. Bayangkan!! Kelas yang jumlah anaknya nggak
sampe 20 diajar sama dedengkotnya dosen PIO yang terkiller se-Psikologi??!!! Betapa jelas keinginanku pura2 mati di
pojokan kelas terus terbayang di kepalaku, tapi nggak jadi,
takut ditendang terus diinjek dengan lalimnya.
Diluar dugaan, Kelas berlangsung dengan cukup
berperikeberuangan. Buktinya aku lumayan mudheng. Dan terima
kasih atas kehadiran Pak Ino. Pagi itu aku nggak ngantuk
sama sekali
Namun (ceileeh) memang mustahil ada pelajaran yg di PJMK-i
oleh dosen PIO tidak mengakibatkan damage mental gara2
dilalimi.

311

Pak Ino: Persaingan antarsarjana untuk mencari kerja


sebenarnya nggak jauh beda sama persaingan buat dapet
pacar!! Sama-sama susahnya, sama-sama banyak saingannya!!
Iya kan Dit? *nunjuk Dita yang duduknya lumayan deket*
Dita: Eee?! Iya sih pak *ragu2*
Pak Ino: Kamu udah berapa kali pacaran??
Dita: *hening terlalu lama. Ditengarai jumlah yang
harus dihitung terlalu banyak* Pokoknya lebih dari 1 lah
Pak
Pak Ino: *mengalihkan pandangan ke aku yang teronggok
di sebelahnya Dita tapi pas di hadapannya* Kalo kamu
Kuman? Susah nggak persaingan buat ndapetin pacarmu?
Kuma: Hah? Saya pak? #bingung
Pak Ino: Iya kamu, dasar Kuman
Kuma: Saya nggak punya pacar pak~ *buka kartu*
Pak Ino: Beneran??!!
Kuma: Iya
Pak Ino: Yakiiin~?
Kuma: Saya nggak punya pacar kok Pak
Pak Ino: Biasanya?
Kuma: Saya belum pernah punya pacar Pak! #tegas *sejauh
ingatanku bisa mengingat, kayaknya nggak ada =n=;*
Pak Ino: Umurmu berapa?
312

Kuma: Hayooo tebaak?? *njaluk ditapuk tah aku iki?*


Pak Ino: 20!!
Kuma: Salaaah!! 19~
Pak Ino: 19 tahun durung tau nduwe pacar?!!!!! Nek kamu
dadi anakku, wes tak suruh bunuh diri! Matek ae~ #culas
Kuma: *shock* Lhoooooooo??!!!!
Pak Ino: Kesenangan terbesar dunia iki pacaran rek!!! Nek
gak mbok rasakno yo mateko ae!! #jahat2theMAX
Kuma: *speechless*
Pak Ino: Kalo kamu!! Gimana? Udah
persaingannya? *nunjuk salah satu anak cewek laen*

ngerasain

A: Saya Pak? *balik nanya, ndak yakin*


Pak Ino: BUKAN!! Bukan kamu! Sebelahmu! Aku tau nek
kamu gak tau nduwe pacar! Benerkan?? #jahatnyaaa
A: Iya se pak.#pasrah
ADAAPAAAA INIIII??? KENA PEMBICARAAN
TENTANG JODOH BALIK LAGIIII??? #gusar
Untung aja topik bahasannya habis itu ganti jadi mengenali
budaya Indonesia. Dan aku baru sadar kalo Indonesia nggak
punya sesuatu yang bener2 khas negara sendiri yang ada
malah bermacem2 benda2 khas daerah masing2. Terlalu
kaya rupanya tidak baik, jadi kayak nggak punya budaya
negara
Pak Ino: Kamu orang asli mana? Jawa ta? *nunjuk Dita*
313

Dita: Palu pak


Pak Ino: Kalo kamu Kuman, kamu orang Jawa??
Kuma: He?! *kaget, balik nanya* Iya!
Pak Ino: Kalo Kamu?? Jawakan?! *ngeliat ke anak yang duduk
disebelahku*
C: Iya pak *grogi.net*
Pak Ino: Tau artine WASIS?
C: Nggak tau pak~
Setelah memastikan ke anak-anak sekelas dan nggak ada
yang tau, akhirnya Pak Ino protes ke anak-anak yang asli
Jawa tapi nggak bisa KROMO ALUS (maap pak, aku bisanya
katakana-hiraganagimana donk? PLAK! #dijitak orang Jawa
laennya)
Trus
Pak
Ino
ngajarin
Actualization ala Orang JAWA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

tentang

Tahapan Self-

W areg
W aras
W asis
W ani
W ismo
W idodo
W eling
W angsul

Apaan tuh? Okeh, akan kujelaskan. Setiap tahapannya rata2


terjadi selama 8-10 tahun.

314

1. Wareg = Sesuai nama tahapannya, kenyang. Terpuaskan


akan kebutuhan makan, minum, dicintai, mencintai, dan
lain-lain.
2. Waras = Jelaslah, sehat! Setelah kita ngerasa kenyang
dengan tahapan sebelumnya, barulah kita mulai berpikir
dan diajari tentang pentingnya menjaga kesehatan.
3. Wasis = Artinya Belajar. Setelah kita SEHAT bugar
tralala, kita akan mulai mengenyam bangku
sekolah (tidak dengan arti mengenyam yang sebenarnya).
4. Wani = Naah, setelah kita menempuh pendidikan
dengan cukup tinggi. Mulailan kita mulai BERANI
memulai kehidupan kita sendiri. Mulai bekerja dan
membangun karir, hidup mandiri dengan kekuatan
sendiri.
5. Wismo = Bukan semerta-merta punya arti cuma
RUMAH. Tapi KELUARGA (not HOUSE but
HOME) dimana kita memulai kehidupan bersama
keluarga kita dan membesarkan anak.
6. Widodo = Berarti SELARAS. Waktu kita beranjak tua
dan mulai hidup dengan menyelaraskan diri dengan alam
dan lingkungan.
7. Weling = Bukan yang artinya BELING!! Tapi yang
tulisannya Eling, INGAT. Di saat kita harus lebih sering
mengingat Tuhan.
8. Wangsul = PULANG deh ke pangkuannya.
Pak Ino: Naaah: Tahap WANGSUL ini biasanya berkisar
antara 72-80 tahun. Kalo ada yang terus diatasnya, iku
jenenge KESINGSAL
315

...........
Kuma: KESINGSAL? Apa itu?
Pak Ino: KUMAAAAANNN!!!! Kamu nggak tau apa
KESINGSAL itu?? #membahana
Kuma: Nggak tau Pak. . . .#innocent
Pak Ino: KESINGSAL iku ngene lho! Nek onok wong sing
umure wes diatas 80 tapi gak matek2 iku jenenge
KESINGSAL, sing liyane lho wes matek kabeh *HOOH!!
Keras*
Kuma: *diem, tetep nggak ngerti*
Dita: Kum, kamu taunya pasti KETLISUT kan
Kuma: TAUUU!! Emange sama?
Dita: Sama kum
Kuma: Hooooo~
..........
Pak Ino: Mangkane, sekarangkan jarang ada orang yang
hidup diatas 80 tahun. Soale kalo hidup diatas itu memang
manusia udah jadi beban buat orang lain. Udah nggak bisa
apa-apa! Mangkane WANGSUL. Siapa yang di rumahnya
ada eyang-eyang yang diatas umur 80 tahun?
Beberapa anak ada yang angkat tangan.
Pak Ino: Naah!! Dikitkan?! Iku jenenge KESINGSAL. Wes
ngerepoti thok kan dia. Nggak bisa ngapa-ngapain tanpa
dibantu orang lain? Wes wayahe WANGSUL soale. TAPI
316

MBAHMU OJOK DIRACUN LHO YO!! Mentangmentang wayahe WANGSUL, trus mbok racun, jangan!!
Pembicaraan macam apa ini???? #mikirdalamhati
Pembicaraan unyu laen sih sempet ada beberapa, tapi
IMPACT-nya nggak segalau 2 yang udah kujabarin, sisanya
kayak gini:
1.

PDAM: Perusahaan Daerah Air Mandi

Karena AIR PDAM sekarang nggak dipake buat Minum,


semuanya beli air mineral. Air PDAM sekarang cuma dipake
mandi *bener juga*
2. Perbedaan Cewek sama Cowok kalo njalanin
perusahaan
Cewek: Mikir dampaknya bagi lingkungan juga. Jadi
memanfaatkan SDA dengan kompensasi ke masyarakat
sekitar. Contohnya: Body Shop untuk mengambil bahan
baku di suatu daerah. Dia mendirikan sekolah atau tempat
pendidikan
Cowok: Mikir Profit thok. Eksploitasi habis2an. Biar
Profitnya banyak!! Trus bisa nikah lagi sampe 4 kali
Penjelasan yang agak lalim,=m=a
Pak Ino: Bolehkan nikah lagi sampe 4 kali? *memastikan*
Dita: Kalo bisa adil se nggak apa2 Pak*kayaknya udah siap
jadi istri yg diper-poligami-kan*
Pak Ino: Waah, nek harus adil iki sing susah.

317

Dita: Kalo gitu jangan nikah sampe 4 kali pak! #bagai kaum
perempuan yg terlalimi
Pak Ino: Lha yoopo! Adilkan relatif!! Kalo kamu ngeliatnya
dari sudut pandang kamu sebagai korban, se-adil apapun
keputusannya ya bakal keliatan nggak adil. #masukakal!!
Anak-anak cewek sekelas: Hoooo, Iya2. *selamat datang
kedalam dunia PAK INO*
Naaah, ber-faedah sekali yah kuliah ASMEN hari itu~
Komplit banget!! Dari Pacar sampe Suami beristri 4=,=
Wahai calon suamiku, jangan dua-tiga-empatkan aku
yaah;;>n<;; Aku nggak mau dipoligami!!! Seadil apapun
suamiku ntar, aku nggaaaaaak mau!!!#keukeuh
Walaupun kalo suamiku punya istri 4 aku bisa ongkang2
nyuruh2 para istri laennya buat ngerjain pekerjaan
rumah (ketauan deh niat lalimku jadi Istri Tiri yang kejam dan
malas XP) AKU TETEP NGGAK MAU!! Nggaaaaaak
mauuu!!!*nggondok gulung2*
OIA!!! Aku Single, bukan Jomblo!! #teges

318

319

Ketika kamu berilmu, janganlah menjadi Tuhan untuk


orang lain. #InoYuwono via @child_smurf
"Nyong pahami thesismu kayak cerita silat yg seneng kamu
baca, jangan belajar jurusnya duluan, pelajari KOKUAT(Inti)nya dulu #InoYuwono via @NotJustDimas
"Di dunia kerja di luar sana, kamu akan menghadapi orang
yg akan lebih jahat dari saya." #InoYuwono via @c1ndhy
Jangan mentang-mentang kamu psikolog, terus kamu
dengan mudahnya mengatur hidup orang #InoYuwono via
@child_smurf
Kamu harus sekolah di luar negeri, biar kamu tahu orang
asing itu sama kayak kita, bahkan kita lebih punya etos!
#InoYuwono via @ardinouv
"Simpan uang baik-baik untuk anakmu. Jangan biarkan
anakmu dididik sama orang-orang tidak punya integritas
pendidik" #InoYuwono via @ardinouv
"Semua yang saya ajarkan pasti akan kalian lupakan, tapi
bagaimana saya mengajarkan disiplin, itu yg akan terus kalian
ingat" #InoYuwono via @arieswnugroho
"Berapa banyak sih buku yang habis kamu baca untuk jadi
sarjana 4 tahun? 4 buku, 5 buku? Nggak lebih dari 10 kan?
Shame on you" #InoYuwono via @handy_talkie
"Lek koen gak sinau, yo iki bakal dadi ladang
pembantaianmu" #InoYuwono via @handy_talkie
"Kon mending tak entekno saiki, ga lulus-lulus, tapi pas lulus
apik, timbang tak lulusno tapi pas kerjo gak iso opo-opo"
#InoYuwono via @tyodeh
320

Jangan pernah merasa dan bilang gak punya uang. Itu bisa
jadi kutukan buat diri sendiri. Salah satu nasihat
#InoYuwono via @DonSemaun
My class my rules! My class my way! My way or no way!
#InoYuwono via @dekdea
"Cara mengajar saya biadab, tapi itu bikin kalian jadi
beradab" #InoYuwono via @dekdea
"Bukan orang pintar yang akan dicari oleh perusahaan, tapi
orang yang memiliki kemauan keras utk terus belajar".
#InoYuwono via @metakarina
"Kon entuk D ndek kuliahku, artine sek 25% ngerti, iso
mempertanggungjawabkan nilai. Timbang A, tapi ditakoki ga
ngerti" #InoYuwono via @tyodeh
"Kamu punya musuh? Bagus! Itu artinya kamu punya
prinsip." #InoYuwono via @tyodeh
"Saya akan tetap mengajar meskipun saya tidak dibayar"
#InoYuwono via @charismania
"Masak itu gak gampang, masak itu seni" #InoYuwono via
@charismania
"Kalau ke kampus itu pilih jalan yg berbeda tiap harinya, biar
hidupmu ga monoton" #InoYuwono via @Eviee___
"Kamu sekarang boleh benci dengan cara mengajar saya, tapi
nanti kamu akan inget terus sama saya" #InoYuwono via
@lila_amh

321

"Kamu pasti mangkel ambek aq kan yu'? pisuono aq lo gak


popo, ayo cobak pisuono wani gak awakmu" #inoyuwono
via @ayubiianda
"Lapo mlebu psikologi ? Sinau hal gak jelas." #InoYuwono
via @junerodhian
"Awakmu pengen dadi S.Psi ato Sarjana Power point mulane
to moco'o buku" #InoYuwono via @dian_wirawan
"Kon kuliah golek ilmu opo nilai? / karena ortu liatnya dari
nilai jadi nilai sy hrs bgs pak / yo wong tuwekmu ae
kongkon kuliah" #InoYuwono via @ayubiianda
Jika kamu ngaku idealis, buang ke tong sampah! Apa arti
idealis jika tidak bermanfaat bagi orang lain?! Inspired by
#InoYuwono via @absurdaus
"Saya itu nyuruh kalian mundur buat apa se? Saya itu pengen
kalian jangan serakah sama nilai. Cuman itu maksudku."
#InoYuwono via @IniOnik
"Kalau kamu ragu gitu, terus apa tujuan hidupmu? Ngapain
belajar dsini? Cari aja suami kaya!" #InoYuwono via
@indiradhe
Tahapan kehidupan itu: wareg, waras, wasis, wani, wismo,
widodo, weling, wangsul. Aku kurang satu: wangsul.
#InoYuwono via @Bukik
"Jangan sok bangga jd lulusan psikologi, kalian itu hanya
kembangannya ban. Ndak ada kalian nggakpapa, ada kalian
lebih baik" #InoYuwono via @sukasukariza

322

Anda mungkin juga menyukai