Anda di halaman 1dari 4

ADVERSITY QUOTIENT

Tidak jarang dalam dunia kerja ada sekelompok karyawan yang


memiliki kecerdasan intelektual (IQ) tinggi kalah bersaing oleh para
karyawan lain yang ber-IQ relatif lebih rendah namun lebih berani
menghadapi masalah dan bertindak. Mengapa sampai seperti itu?. Dalam
bukunya berjudul Adversity Quotient: Turning Obstacles into Opportunities,
Paul

Stoltz

memerkenalkan

bentuk

kecerdasan

yang

disebut

adversity quotient (AQ). Menurutnya, AQ adalah bentuk kecerdasan


selain IQ, SQ, dan EQ yang ditujukan untuk mengatasi kesulitan. AQ
dapat digunakan untuk menilai sejauh mana seseorang ketika
menghadapi masalah rumit. Dengan kata lain AQ dapat digunakan
sebagai indikator bagaimana seseorang dapat keluar dari kondisi yang
penuh tantangan. Ada tiga kemungkinan yang terjadi yakni ada
karyawan yang menjadi kampiun, mundur di tengah jalan, dan ada
yang tidak mau menerima tantangan dalam menghadapi masalah
rumit (tantangan) tersebut. Katakanlah dengan AQ dapat dianalisis
seberapa jauh para karyawannya mampu mengubah tantangan
menjadi peluang.
Stolz menyebutkan terdapat tiga golongan orang ketika
dihadapkan pada suatu tantangan pendakian gunung. Yang pertama
yang mudah menyerah (quiter) yakni dianalogikan sebagai karyawan
yang sekedarnya bekerja dan hidup. Mereka tidak tahan pada serba
yang berisi tantangan. Mudah putus asa dan menarik diri di tengah jalan.
Golongan karyawan yang kedua (camper) bersifat banyak perhitungan.
Walaupun punya keberanian menghadapi tantangan namun dengan
selalu memertimbangkan resiko yang bakal dihadapi. Golongan ini
tidak ngotot untuk menyelesaikan pekerjaan karena berpendapat sesuatu
yang secara terukur akan mengalami resiko. Sementara golongan ketiga
(climber) adalah mereka yang ulet dengan segala resiko yang bakal
dihadapinya mampu menyelesaikan pekerjaannya dengan baik.

Sebagai manusia pendaki jika ia menemukan ada hambatan batu di atas


gunung sana, ia mencari jalan lain. Hal ini mengingatkan kita pada apa yang
pernah dikatakan oleh Alexander Graham Bell bahwa; "kalau satu pintu
tertutup, lainnya terbuka, tetapi kita sering memandang terlalu lama dan
terlalu penuh penyesalan kepada pintu yang tertutup itu, sehingga kita tidak
melihat pintu yang terbuka bagi kita".
AQ dapat dipandang sebagai ilmu yang menganalisis kegigihan
manusia

dalam

menghadapi

setiap

tantangan

sehari-harinya.

Kebanyakan manusia tidak hanya belajar dari tantangan tetapi mereka


bahkan meresponnya untuk memeroleh sesuatu yang lebih baik. Dalam
dunia kerja, karyawan yang ber-AQ semakin tinggi dicirikan oleh
semakin meningkatnya kapasitas, produktivitas, dan inovasinya
dengan moral yang lebih tinggi. Sebagai ilmu maka AQ dapat ditelaah
dari tiga sisi yakni dari teori, keterukuran, dan metode. Secara teori, AQ
menjelaskan mengapa beberapa orang lebih ulet ketimbang yang
lain. Dengan kata lain apa, mengapa dan bagaimana mereka berkembang
dengan baik walaupun dalam keadaan yang serba sulit. Dalam konteks
pengukuran, AQ bisa digunakan untuk menentukan atau menseleksi
para pelamar dan juga untuk mengembangkan daya kegigihan
karyawan.

Sebagai

metode,

AQ

dapat

dikembangkan

untuk

meningkatkan kinerja, kesehatan, inovasi, akuntabilitas, focus, dan


keefektifitasan karyawan.
John Gray (2001) mengatakan "semua kesulitan sesungguhnya
merupakan kesempatan bagi jiwa kita untuk tumbuh". Adapun
dimensi yang terkait dengan kecerdasan menghadapi kesulitan adalah: (1)
control atau kendali mempertanyakan berapa banyak kendali yang
anda

rasakan

terhadap

sebuah

peristiwa

yang

menimbulkan

kesulitan?; (2) origin dan ownership mempertanyakan dua hal,


yakni: siapa atau apa yang menjadi asal usul kesulitan, dan sampai
sejauhmanakah seseorang mengakui akibat kesulitan itu?; (3) reach
atau

jangkauan

mempertanyakan

sejauhmana

kesulitan

akan

menjangkau atau merembes ke bagian-bagian lain dari kehidupan


seseorang?; (4) endurance atau daya tahan mempertanyakan dua
hal, yakni; berapa lamakah kesulitan berlangsung dan lamanya
penyebab

kesulitan

tersebut

akan

bertahan?

Kecerdasan menghadapi kesulitan tersebut dapat ditingkatkan


atau dapat diperbaiki dengan melakukan hal-hal sebagai berikut;
(1) listen atau dengarkanlah respons terhadap kesulitan ; (2)
explore atau jajaki asal usul dan pengakuan atas akibatnya; (3)
analysis bukti-buktinya; dan (4) do atau lakukan sesuatu. Magnesen
(2000) mengatakan bahwa; "90% pemahaman belajar diperoleh dari
melakukan sesuatu. Konfusius lebih dari 2400 tahun silam menyatakan,
bahwa; "yang saya dengar saya lupa, yang saya lihat sangat ingat, dan yang
saya kerjakan saya paham." Namun sayangnya praktek pendidikan dan
pembelajaran baik yang dilakukan oleh orang tua, guru dan masyarakat
belum sampai pada proses pembelajaran yang mengajarkan kepada anak
dan siswanya bagaimana menghadapi kesulitan (adversity quotient).
Masih sering kita temukan pola asuh, pendidikan oleh orang tua
terhadap anaknya dilaksanakan dengan cara memanjakannya. Kita lupa
bahwa pola asuh dan pendidikan dengan memanjakan anak (spoiling) adalah
merusak atau membuat ia tidak berdaya, Martin Seligman menyebutnya
sebagai

proses

ketidakberdayaan

atau

pembodohan

yang

dipelajari.

Akibatnya masih banyak anak kita yang sudah dewasa dan bahkan sudah
sarjana ketika dihadapkan pada masalah yang menurut kita sangat
sederhana tidak mampu mereka atasi dan masih meminta bantuan orang
lain

terutama

pada

kedua

orang

tuanya.

Banyak yang mengidentikkan kebahagiaan dengan kesuksesan.


Sementara kesuksesan dianggap setali tiga uang dengan kekayaan. Padahal,
itu tidak betul. Kebahagiaan juga tidak berarti kita harus selalu tersenyum
atau tertawa. Karena itu berarti kebahagiaan identik dengan kesenangan dan
rasa senang. Padahal, kebahagiaan jauh lebih luas daripada itu. Kebahagiaan
bisa didapat dari banyak hal. Salah satu aspek yang sering diajarkan orang-

orang tua di Jawa adalah sikap nrimo ing pandum. Ini merupakan
perwujudan sikap menerima apa yang kita terima.Namun makna sejatinya
adalah semua harus didahului ikhtiar atau usaha, bukan dengan berpangku
tangan dan berkeluh-kesah. Adversity Quotient adalah kemampuan
untuk nrimo ing pandum.

Dalam segala yang kita hadapi dan

terima, kita harus mampu mencari blessing in disguise-nya.


Dalam setiap kesulitan, pasti ada kemudahan. Ini berarti, pribadi
dengan AQ tinggi akan mampu mencari jalan keluar atau solusi dari
masalahnya dengan berupaya memecahkan sumber masalahnya
langsung, bukan dengan berkeluh-kesah dan menyalahkan orang
lain.

Ia

akan

menaklukkannya.

tangguh
Dalam

berjuang

proses

itulah

menghadapi
kebahagiaan

hidup
diraih.

dan

Dengan

menyikapi hidup sebagai arena perjuangan, pembelajaran, pertemanan dan


berbagi tanpa henti, niscaya kebahagiaan hidup itu akan tampak realistis
dan bisa dicapai segera tanpa perlu menunggu sukses atau kaya lebih dulu.

LATIHAN

1. Mengapa kita harus memahami adversity quotient ?


2. Bagaimana cara meningkatkan adversity quotient anak didik kita?

Anda mungkin juga menyukai