Anda di halaman 1dari 15

A.

Latar Belakang
BAB I
Pendahuluan
Poliomyelitis adalah penyakit menular akut yang disebabkan oleh
virus dan sering dikenal dengan nama flaccid paralysis acute (AFP).
Infeksi virus polio terjadi didalam saluran pencernaan yang menyebar ke
kelenjar limfe regional dan sebagian kecil menyebar ke sistem saraf
dengan predileksi pada sel anterior masa kelabu sumsum tulang belakang
dan inti motorik batang otak dan akibat kerusakan bagian susunan saraf
pusat tersebut akan terjadi kelumpuhan dan atrofi otot.
( 1,2 )

Polio virus disebabkan oleh virus dengan genus enterovirus tipe 1,2
dan 3 dan semua tipe dapat menyebabkan kelumpuhan. Tipe 1 dapat
diisolasi dari hampir semua kasus kelumpuhan, tipe 3 lebih jarang
demikian pula tipe 2 sangat jarang. Tipe 1 paling sering menyebabkan
wabah. Sebagian besar kasus vaccine associated disebabkan oleh tipe 2
dan 3. Flaccid paralysis terjadi pada kurang dari 1% dari infeksi
poliovirus. Lebih dari 90% infeksi tanpa gejala atau dengan demam tidak
spesifik. Meningitis aseptik muncul pada sekitar 1% dari infeksi.
Penyakit polio dapat menyerang semua usia, namun kelompok
umur yang paling rentan adalah usia 1-5 tahun dari semua kasus polio.
Penelitian menyebutkan bahwa sekitar 33,3% dari kasus polio adalah
anak-anak dibawah usia 5 tahun. Infeksi golongan enterovirus lebih
banyak terjadi pada laki-laki dari pada wanita dengan perbandingan (2:1).
Resiko kelumpuhan meningkat pada usia yang lebih tinggi terutama bila
menyerang individu yang berusia lebih dari 15 tahun. WHO
memperkirakan adanya 140.000 kasus baru dari kelumpuhan yang
diakibatkan oleh poliomyelitis sejak tahun 1992 dengan jumlah
keseluruhan penderita anak yang mengalami kelumpuhan akibat infeksi ini
diperkirakan 10-20 juta anak.
( 4,5 )

1
B. Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan referat ini adalah untuk mengetahui
segala hal yang berkaitan dengan Poliomielitis. Mulai dari hal yang umum
seperti definisi, etiologi, epidemiologi, patogenesis, manifestasi klinis dan
perjalanan penyakit, diagnosis, pengobatan, pencegahan dan prognosis
serta membahas mengenai vaksin dan eradikasi polio.
(2)

2
BAB II
Poliomielitis
2.1 Definisi dan Terminologi
Penyakit polio adalah penyakit infeksi paralisis yang disebabkan oleh
virus. Agen pembawa penyakit ini sebuah virus yang dinamakan poliovirus (PV),
masuk kedalam tubuh melalui mulut dan menginfeksi saluran usus. Virus ini
dapat memasuki aliran darah dan masuk ke sistem saraf pusat yang
mengakibatkan terjadinya kelemahan otot dan terkadang menyebabkan

kelumpuhan. Infeksi virus polio terjadi didalam saluran pencernaan yang


menyebar ke kelenjar limfe regional terjadi sebagian kecil penyebaranya ke sistem
saraf. Sistem saraf yang diserang adalah saraf motorik otak bagian grey matter dan
kadang-kadang menimbulkan kelumpuhan.
(1,2,3,4)

2.2 Etiologi
Poliomielitis disebabkan oleh infeksi virus dari genus enterovirus yang
dikenl sebagai poliovirus (PV). Virus yang tergolong virus RNA ini biasanya
berada di traktus digestivus. PV hanya menginfeksi dan menyebabkan manifestasi
penyakit pada manusia. Strukturnya sederhana, tersusun oleh satu genom RNA
yang terbungkus protein yang disebut capsid. Selain melindungi materi genetic
dari virus tersebut, protein capsid memungkinkan PV untuk menyerang beberapa
jenis sel lain.
Ada 3 serotipe yang telah diidentifikasi yakni tipe 1 (PV1, Bruhilde), tipe
2 (PV2, Lansing) dan tipe 3 (PV3, Leon). Masing-masing memiliki protein capsid
yang sedikit berbeda. Ketiganya sangat virulen dan menyebabkan gejala yang
sama. Walaupun demikian PV1 adalah strain yang paling sering ditemukan, dan
paling sering menyebabkan kelumpuhan.
Suatu infeksi poliomyelitis dapat disebabkan satu atau lebih tipe tersebut,
yang dapat dibuktikan dengan 3 macam zat anti dalam serum penderita. Epidemi
yang luas dan ganas biasanya disebabkan oleh Tipe 1, Tipe 3 menyebabkan
epidemic ringan, sedang Tipe 2 menyebabkan epidemic sporadic.
3
Poliovirus menyebar dari Tractus Intestinal ke Sistem Saraf Pusat (SSP,
dimana mengakibatkan meningitis aseptic dan poliomyelitis. Poliovirus cukup
kuat dan bisa bertahan aktif selama beberapa hari dengan suhu kamar, dan bias
tersimpan dalam wujud beku -20
o

C. Poliovirus menjadi tidak aktif bila terkena


panas, formaldehid, klorin dan sinar ultraviolet. Virus ini juga tumbuh baik di
berbagai biakkan jaringan dan mengakibatkan efek sitopatik dengan cepat.
Virus ini dapat hidup dalam air untuk berbulan-bulan dan bertahun-tahun
dalam deep freeze. Dapat tahan terhadap banyak bahan kimia termasuk
sulfonamide, antibiotic (streptomisin, penisilin, kloromisetin), eter, fenol, dan
gliserin. Virus dapat dimusnahkan dengan cara pengeringan atau dengan
pemberian zat oksidator kuat seperti peroksida atau kalium permanganate.
Reservoir alamiah satu-satunya ialah manusia, walaupun virus juga terdapat pada
sampah atau lalat.
Masa inkubasi biasanya antara 7-10 hari, tetapi kadang-kadang terdapat
kasus dengan inkubasi antara 3-35 hari.
(2,4,6)

Gambar.1 Poliovirus
(diambil dari en.wikipedia.org/wiki/Poliomyelitis)
2.3 Epidemiologi
Infeksi virus polio terjadi di seluruh dunia, untuk Amerika Serikat
transmisi virus polio liar berhenti sekitar tahun 1979. Di Negara-negara Barat,
eliminasi polio global secara dramatis mengurangi transmisi virus polio liar di

4
seluruh dunia, kecuali beberapa Negara yang sampai saat ini masih ada transmisi
virus polio liar yaitu India, Timur Tengah dan Afrika. Reservoir virus polio liar
hanya pada manusia, yang sering ditularkan oleh pasien infeksi polio yang tanpa
gejala.
Goar (1955) dalam uraiannya tentang poliomyelitis di Negara berkembang
dengan sanitasi yang kurang baik berkesimpulan bahwa pada daerah-daerah
tersebut epidemic poliomyelitis ditemukan pada 90% anak bawah umur 5 tahun.
Ini disebabkan penduduk telah mendapatkan infeksi atau imunitas pada masa
anak, sehingga seperti juga halnya Indonesia penyakit ini jarang ditemui pada
dewasa. Selama tahun 1953-1957 di bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM,
dari 21 penderita, 67% diantaranya berusia 1-5 tahun.
(3,7)

Dari tahun 1996 sampai tahun 2005 negara Indonesia pernah dikatakan
bebas polio, tetapi pada bulan maret tahun 2005 sebuah kasus AFP tercatat dan
dalam waktu 23 minggu virus terus menyebar ke 4 provinsi di Jawa dan 2 provinsi
di Sumatra. Pada bulan April 2005 dilakukan isolasi terhadap virus ini yang
diambil dari pemeriksaan tinja dari penderita yang berada di daerah Sukabumi,
dan ditemukan merupakan virus polio liar tipe 1 yang merupakan virus impor
strain Nigeria yang masuk ke Indonesia melalui jalur Timur Tengah dan juga
menjadi penyebab terjadinya outbreak di Indonesia. Transmisi virus polio liar
tertinggi terjadi dari bulan Mei Juni tahun 2005 dan transmisi rendah mulai
bulan Oktober 2005. Ditemukan jumlah kasus polio liar mencapai 305 penderita
tersebar di 47 kabupaten. Selain itu juga ditemukan 46 kasus VDPV dimana 45
kasus terjadi di Pulau Madura (4 kabupaten) dan 1 kasus di probolinggo.
Setelah dilakukan upaya penguatan imunisasi rutin dan tambahan (PIN)
yang intensif, jumlah kasus polio liar menurun. Pada tahun 2006 hanya ditemukan
2 kasus. Kasus terakhir (virus polio liar tipe 1) ditemukan di Kabupaten Aceh
Tenggara Provinsi Aceh dengan onset tanggal 2 Februari 2006. Dua setengah
tahun setelah kasus terakhir, belum ada lagi kasus baru yang dilaporkan.
(7,8,9)

5
Gambar.2 Epidemiologi Poliomielitis (diambil dari
http://journals.cambridge.org/fulltext_content/ERM/ERM1_13/S14623994990008
48sup022.gif)
Sejak tahun 1980, Indonesia telah mengenal program imunisasi polio
dengan Oral Polio Vaccine (OPV). Dan sejak tahun 1990 telah mencapai UCI
(universal of child immunization).
Poliomielitis jarang ditemui pada usia kurang dari 6 bulan, mungkin
karena imunitas pasif yang didapat dari ibunya, walaupun poliomyelitis pada bayi
baru lahir pernah dilaporkan. Penyakit dapat ditularkan oleh karier sehat atau
kasus abortif. Bila virus prevalen pada suatu daerah, maka penyakit ini dapat
dipercepat penyebarannya dengan tindakkan operasi seperti tonsilektomi,
ekstraksi gigi yang merupakan port d entre atau penyuntikkan.
(4)

2.4 Patogenesis dan Patologi


Kerusakan saraf merupakan ciri khas poliomyelitis, virus berkembang biak

pertama kali didalam dinding faring atau saluran cerna bagian bawah, virus tahan
terhadap asam lambung, maka bisa mencapai saluran cerna bawah tanpa melalui
inaktivasi. Dari faring setelah bermultiplikasi, menyebar ke jaringan limfe dan
pembuluh darah. Virus dapat dideteksi pada nasofaring setelah 24 jam sampai 3-4
minggu.
6
Dalam keadaan ini timbul: 1. perkembangan virus, 2. tubuh bereaksi
membentuk antibody spesifik. Bila pembentukkan zat anti tubuh mencukupi dan
cepat maka virus dinetralisasikan, sehingga timbul gejala klinis yang ringan atau
tidak terdapat sama sekali dan timbul imunitas terhadap virus tersebut. Bila
proliferasi virus tersebut lebih cepat daripada pembentukkan zat anti, maka akan
timbul viremia dan gejala klinis.
Infeksi pada susunan saraf pusat terjadi akibat replikasi cepat virus ini.
Virus polio menempel dan berkembang biak pada sel usus yang mengandung
polioviruses receptor (PVR) dan telah berkoloni dalam waktu kurang dari 3 jam.
Sekali terjadi perlekatan antara virion dan replikator, pelepasan virion baru hanya
butuh 4-5 jam saja.
Virus yang bereplikasi secara local kemudian menyebar pada monosit dan
kelenjar limfe yang terkait. Perlekatan dan penetrasi bias dihambat oleh secretory
IgA local. Kejadian neuropati pada poliomyelitis merupakan akibat langsung dari
multiplikasi virus di jaringan patognomik, namun ridak semua saraf yang terkena
akan mati. Keadaan reversibilitas fungsi sebagian disebabkan karena sprouting
dan seolah kembali seperti sediakala dalam waktu 3-4 minggu setelah onset.,
Terdapat kelainan dan infiltrasi interstisiel sel glia.
(1,5)

Gambar.3 Patogenesis Poliomielitis (diambil dari


http://www.medindia.net/patients/patientinfo/images/poliomyelitis.gif)
Daerah yang biasanya terkena lesi pada poliomyelitis ialah:
7
1. medulla spinalis terutama kornu anterior
2. Batang otak pada nucleus vestibularis dan inti-inti saraf cranial serta
formation retikularis yang mengandung pusat vital
3. serebelum terutama inti-inti pada vermis
4. Midbrain terutama masa kelabu, substantia nigra dan kadang-kadang
nucleus rubra
5. Talamus dan hipotalamus
6. palidum
7. Korteks serebri, hanya daerah motorik
Gambaran patologik menunjukkan adanya reaksi peradangan pada system
retikuloendotelial, terutama jaringan limfe, kerusakan terjadi pada sel motor
neuron karena virus ini sangat neurotropik, tetapi tidak menyerang neuroglia,
myelin atau pembuluh darah besar. Terjadi juga peradangan pada sekitar sel yang
terinfeksi sehingga kerusakkan sel makin luas. Kerusakan pada sumsum tulang
belakang, terutama terjadi pada anterior horn cell, pada otak kerusakan terutama
terjadi pada sel motor neuron formasi retikuler dari pons dan medulla, nuclei
vestibules, serebellum, sedang lesi pada korteks hanya merusak daerah motor dan
premotor saja. Pada jenis bulber, lesi terutama mengenai medulla yang berisi

nuclei motorik dari saraf otak. Replikasi pada sel motor neuron di SSP akan
menyebabkan kerusakan permanen.
Secara mendasar, kerusakan saraf merupakan cirri khas pada
poliomyelitis. Virus berkembang di dalam dinding faring atau saluran cerna
bagian bawah, menyebar masuk ke dalam aliran darah dan kelenjar getah bening
dan menembus dan berkembang biak di jaringan saraf. Pada saat viremia pertama
terdapat gejala klinik yang tidak spesifik berupa minor illness. Invasi virus ke
susunan saraf bias hematogen atau melalui perjalanan saraf. Tapi yang lebih
sering melalui hematogen. Virus masuk ke susunan saraf melalui sawar darah otak
(blood brain barrier) dengan berbagai cara yaitu :
Transport pasif dengan cara piknositosis
Infeksi dari endotel kapiler
8
Dengan bantuan sel mononuclear yang mengadakan transmisi ke dalam
susunan saraf pusat.
Kemungkinan lain melalui saraf perifer, transport melalui akson atau
penyebaran melalui jaras olfaktorius.
(1,3,4,5)

2.5 Gejala Klinis


Tanda-tanda klinis yang timbul akan sesuai dengan kerusakan anatomic
yang terjadi. Biasanya, masa inkubasin adalah 3-6 hari, dan kelumpuhan terjadi
dalam waktu 7-21 hari. Replikasi di motor neuron terutama terjadi di sumsum
tulang belakang yang menimbulkan kerusakan sel dan kelumpuhan serta atrofi
otot, sedng virus yang berbiak di batang otak skan menyebabkan kelumpuhan
bulbar dan kelumpuhan pernafasan.
Pada setiap anak yang datang dengan panas disertai dengan kesulitan
menekuk leher dan punggung, kekakuan otot yang diperjelas dengan tanda head
drop, tanda tripod saat duduk, tanda brudzinsky dan Kernique, harus dicurigai
adanya poliomyelitis.
(8,9)

Infeksi virus polio pada manusia sangat bervariasi, dari gejala yang ringan
sampai terjadi paralysis. Infeksi virus polio dapat diklasifikasikan menjadi minor
illnesses (gejala ringan) dan major illnesses (gejala berat, baik paralitik, maupun
non-paralitik). Gejala lumpuh layuh (paralisis) yang dapat ditemukan pada anak,
gejalanya bervariasi antara lain :
a) Berjalan pincang atau tidak dapat berjalan
b) Tidak dapat meloncat menggunakan satu kaki
c) Tidak dapat berjongkok lalu berdiri lagi
d) Tidak dapat berjalan pada ujung jari atau tumit
e) Tidak dapat mengangkat kakinya saat ditempat tidur
f) Terasa lemas, tidak ada tahanan
g) Kaki mengecil (atrofi otot)
9
Gambar 4. Gejala klinis poliomyelitis
(http://www.medindia.net/patients/patientinfo/images/poliomyelitis.gif)
Minor Illnesses
1. Asimtomatis (silent infection)

Setelah masa inkubasi 7-10 hari, karena daya tahan tubuh maka tidak
terdapat gejala klinis sama sekali. Pada suatu epidemic diperkirakan
terdapat pada 90-95% penduduk dan menyebabkan imunitas terhadap
virus tersebut.
Merupakan proporsi kasus terbanyak (72%).
2. Poliomielitis abortif
Diduga secara klinis hanya pada daerah yang terserang epidemic, terutama
yang diketahui kontak dengan penderita poliomyelitis yang jelas.
Diperkirakan terdapat 4-8% penduduk pada suatu epidemi. Timbul
mendadak, berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari. Biasanya
sekitar 2-10 hari. Gejala berupa infeksi virus, seperti malaise, anoreksia,
nausea, muntah, nyeri kepala, nyeri tenggorok, konstipasi dan nyeri
10
abdomen. Diagnosis pasti hanya bias dengan menemukan virus di biakan
jaringan.
Diagnosis banding : influenza atau infeksi bakteri daerah nasofaring
Major Illnesses
1. Poliomielitis non-paralitik (Meningitis Aseptik Non-paralitik)
Gejala klinis sama dengan poliomyelitis abortif, hanya nyeri kepala,
nausea dan muntah lebih berat. Gejala-gejala ini timbul 1-2 hari, kadangkadang
diikuti penyembuhan sementara untuk kemudian remisi demam
atau masuk dalam fase kedua dengan nyeri otot. Khas untuk penyakit ini
adalah adanya nyeri atau kaku otot belakang leher, tubuh dan tungkai
dengan hipertonia mungkin disebabkan oleh lesi pada batang otak,
ganglion spinal dan kolumna posterior. Bila anak berusaha duduk dari
posisi tidur, maka ia akan menekuk kedua lutut ke atas sedangkan kedua
tangan menunjang kebelakang pada tempat tidur (Tripod sign) dan terlihat
kekakuan otot spinal oleh spasme, Kaku kuduk terlihat secara pasif dengan
Kernig dan Brudzinsky yang positif. Head drop yaitu bila tubuh
penderita ditegakkan dengan menarik pada kedua ketiak sehingga
menyebabkan kepala terjatuh ke belakang. Refleks tendon biasanya tidak
berubah dan bila terdapat perubahan maka kemungkinan akan terdapat
poliomyelitis paralitik.
Diagnosis Banding dengan meningitis serosa,
meningismus, tonsillitis akut yang berhubungan dengan adenitis servikalis.
2. Poliomielitis paralitik
Gejala yang terdapat pada poliomyelitis non-paralitik disertai kelemahan
satu atau lebih kumpulan otot skelet atau cranial. Timbul paralysis akut.
Pada bayi ditemukan paralysis vesika urinaria dan atonia usus.
Secara klinis dapat dibedakan beberapa bentuk sesuai dengan tingginya
lesi pada susunan saraf :
a. Bentuk spinal
Dengan gejala kelemahan/paralysis/paresis otot leher, abdomen, tubuh,
diafragma, toraks dan terbanyak ekstremitas bawah. Tersering otot

besar, pada tungkai bawah otot kuadriceps femoris, pada lengan otot
11
deltoideus. Sifat paralisis asimetris. Refleks tendon
mengurang/menghilang. Tidak terdapat gangguan sensibilitas.
Gambar. 5 Letak motor neuron pada kornu anterior Medulla Spinalis
(diambil dari en.wikipedia.org/wiki/Poliomyelitis)
Diagnosis banding :
Pseudoparalisis non neurogen : tidak ada kaku kuduk, tidak ada
pleiositosis. Disebabkan oleh trauma/kontusio, demam
reumatik akut, osteomielitis.
Polyneuritis: gejala para plegi dengan gangguan sensibilitas,
dapat dengan paralysis palatum molle dan gangguan otot bola
mata
Poliradikuloneuritis (Sindrom Guillain Barre): Biasanya
diawali demam, paralysis tidak akut tapi perlahan-lahan,
bilateral simetris, pada fase permulaan likuor serebrospinalis
SGB protein meningkat sedangkan Poliomielitis pleiositosis,
SGB bias sembuh tanpa gejala sisa, SGB ada gangguan
sensorik
Miopatia (kelainan progresif dari otot-otot dengan paralysis
dan kelelahan disertai rasa nyeri).
(2,7,8)

12
Gambar. 6 Gambar penderita Poliomielitis
(diambil dari en.wikipedia.org/wiki/Poliomyelitis)
b. Bentuk bulbar
terjadi akibat kerusakan motorneuron pada batang otak sehingga
terjadi insufisiensi pernafasan, kesulitan menelan, tersedak, kesulitan
makan, kelumpuhan pita suara dan kesulitan bicara. Saraf otak yang
terkena adalah saraf V, IX, X, XI dan kemudian VII. Sebagaimana
kelainan saraf lainnya, tidak dapat digantikan atau diperbaiki.
Perbaikan secara klinik terjadi akibat kerja neuron yang rusak akan
diambil oleh neuron yang berdekatan (sprouting) atau alih fungsi oleh
otot lain atau perbaikan sisa otot yang masih berfungsi.
Gangguan motorik satu atau lebih saraf otak dengan atau tanpa
gangguan pusat vital yakni pernafasan dan sirkulasi
Gambar.7 Lokasi dari region bulbar
(diambil dari en.wikipedia.org/wiki/Poliomyelitis)
13
c. Bentuk bulbospinal
Didapatkan gejala campuran antara bentuk spinal dan bentuk bulbar
d. Bentuk ensefalitik
Dapat disertai gejala delirium, kesadaran yang menurun, tremor dan
kadang-kadang kejang.
2.6 Diagnosis
Diagnosis polio dibuat berdasarkan:
(6,7)

Pemeriksaan virologik dengan cara membiakkan virus polio baik yang liar
maupun vaksin. Virus poliomyelitis dapat diisolasi dan dibiakkan secara
biakan jaringan dari apus tengorok, darah, likuor serebrospinalis dan feses.
Pengamatan gejala dan perjalanan klinik.
Banyak sekali kasus yang menunjukkan gejala lumpuh layu yang termasuk
Acute Flaccid Paralysis. Bisa dilihat dari gejala-gejala klinis diatas. Cara
menegakkannya ialah dengan menambahkan pola neurologik yang khas
seperti kelumpuhan proksimal, unilateral, tidak ada gangguan sensori.
Pemeriksaan khusus
Pemeriksaan hantaran saraf dan elektromiografi dapat merujuk secara
lebih tepat kerusakan saraf secara anatomic. Cara ini akan dapat
mempermudah memisahkan polio dengan kelainan lain akibat
demielinisasi pada saraf tepi, sehingga boisa membedakan polio dengan
kerusakan motor neuron lainnya misalnya Sindrom Guillain-Barre.
Pemeriksaan lain seperti MRI dapat menunjukkan kerusakkan di daerah
kolumna anterior.
Pemeriksaan Residual Paralisis
Dilakukan 60 hari setelah kelumpuhan, untuk mencari deficit neurologik.
(7,8,9,10)

2.7 Pemeriksaan Penunjang


Diambil dari daerah faring atau tinja pada orang yang dicurigai terkena
poliomyelitis. Isolasi virus dari cairan serebrospinal sangat diagnostic,
14
tetapi hal itu jarang dikerjakan. Dalam pengumpulan spesimen tinja
tergantung dari lamanya kelumpuhan kasus AFP.
Spesimen tinja harus sudah diambil dalam waktu <14 hari setelah
kelumpuhan, untuk mencegah terjadinya spesimen yang tidak adekuat dan
dilakukan 2 kali dengan tenggang waktu antara keduanya minimal 24 jam.
Suatu kasus AFP didiagnosa polio apabila :
- Ditemukan virus polio liar
- Tidak ditemukan virus pada spesimen tetapi terdapat paralisis residual
setelah kunjungan ulang 60 hari (polio kompatibel)
- Penderita meninggal sebelum kunjungan 60 hari.
Pada kasus AFP dengan spesimen yang tidak adekuat atau hasil
laboratorium negatif maka belum bisa dipastikan kasus tersebut bukan
polio untuk itu perlu dikumpulkan informasi penunjang klinis pada KU
(kunjungan ulang) setelah 60 hari dan pemeriksaan ulang.
Bila virus polio dapat diisolasi dari seorang dengan paralysis flaccid akut
harus dilanjutkan dengan pemeriksaan oligonucleotide mapping atau
genomic sequencing. Untuk menentukkan apakah virus termasuk virus liar
atau vaksin.
Mengukur serologis zat anti
Pemeriksaan cairan cerebrospinal pada infeksi virus polio, umumnya
terjadi kenaikan jumlah sel leukosit (10-200 sel/mm
3

, sebagian besar
limfosit) dan terjadi peningkatan kadar protein ringan (40-50 mg/100ml).
(1,2,3)

2.8 Terapi dan Pengobatan


Tidak ada obat untuk polio, hanya bisa dicegah dengan imunisasi. Vaksin
polio, diberikan beberapa kali, hampir selalu melindungi anak-anak seumur hidup.
Imunisasi lengkap sangat mengurangi risiko terkena polio paralitik. Mengenai
vaksin polio akan dibahas di bab berikutnya.
Tidak ada antivirus yang efektif
melawan poliovirus. Terapi utamanya adalah suportif.
(2)

15
Tujuan pengobatan adalah mengontrol gejala selagi infeksi berlangsung.
Dalam kasus-kasus tertentu, beberapa membutuhkan tindakan lifesaving ,
terutama bantuan nafas.
Berikut pengobatan non spesifik untuk setiap manifest klinis dari polio
1. Silent infection : istirahat
2. Poliomielitis abortif : istirahat 7 hari, bila tidak terdapat gejala apa-apa,
aktifitas dapat dimulai lagi. Sesudah 2 bulan dilakukan pemeriksaan lebih
teliti terhadap kemungkinan kelainan musculoskeletal.
3. Poliomielitis paralitik/non-paralitik : istirahat mutlak sedikitnya 2 minggu;
perlu pengawasan yang teliti karena setiap saat dapat terjadi paralysis
pernafasan.
Pengobatan sesuai dengan gejalanya, meliputi :
a. fase akut
Antibiotik untuk mencegah infeksi pada otot yang flaccid
Analgetik untuk mengurangi nyeri kepala, myalgia, dan spasme
Antipiretik untuk menurunkan suhu.
Foot board, papan penahan pada telapak kaki, agar kaki terletak pada
sudut yang tetap terhadap tungkai
Bila terjadi paralysis pernafasan seharusnya dirawat di unti perawatan
khusus karena penderita memerlukan bantuan pernafasan mekanis.
Pada poliomyelitis tipe bulber kadang-kadang refleks menelan
terganggu dengan bahaya pneumonia aspirasi. Dalam hal ini kepala
anak diletakkan lebih rendah dan dimiringkan ke salah satu sisi.
b. fase post-akut
kontraktur, atrofi dan atoni otot dikurangi dengan fisioterapi.
Tindakkan ini dilakukan setelah 2 minggu. Penatalaksanaan fisioterapi
yang dilakukan :
- Heating dengan menggunakan IRR ( infra red radiation )
- Exercise (active/passive) terutama pada ekskremitas yang mengalami
kelemahan atau kelumpuhan
- Breathing exercise jika diperlukan
16
Bila perlu pemakaian braces, bidai, hingga operasi ortopedik.
2.9 Prognosis
Hasil akhir dari penyakit ini tergantung bentuknya dan letak lesinya. Jika
tidak mencapai korda spinalis dan otak, maka kesembuhan total sangat mungkin.

Keterlibatan otak dan korda spinalis bisa berakibat pada paralysis atau kematian
(biasanya dari kesulitan bernafas). Secara umum polio lebih sering mengakibatkan
disabilitas daripada kematian.
Pasien dengan polio abortif bisa sembuh sepenuhnya . Pada pasien dengan
polio non-paralitik atau aseptic meningitis, gejala bisa menetap selama 2-10 hari,
lalu sembuh total.
(8,9)

Pada bentuk paralitik bergantung pada bagian yang terkena. Pada kasus
polio spinal, sel saraf yang terinfeksi akan hancur sepenuhnya, paralysis akan
permanent. Sel yang tidak hancur tapi kehilangan fungsi sementara akan kembali
setelah 4-6 minggu setelah onset. 50% dari penderita polio spinal sembuh total,
25% dengan disabilitas ringan, 25% dengan disabilitas berat. Perbedaan residual
paralysis ini tergantung derajat viremia, dan imunitas pasien. Jarang polio spinal
yang bersifat fatal. Bentuk spinal dengan paralysis pernafasan dapat ditolong
dengan bantuan pernafasan mekanik. Tanpa bantuan ventilasi, kasus yang
melibatkan system pernafasan, menyebabkan kesulitan bernafas atau pneumonia
aspirasi. Keseluruhan, 5-10% pasien dengan polio paralysis meninggal akibat
paralysis otot pernafasan. Angka kematian bervariasi tergantung usia 2-5% pada
anak-anak, dan hingga 15-30% pada dewasa.
Tipe bulbar prognosisnya buruk, kematian biasanya karena kegagalan
fungsi pusat pernafasan atau infeksi sekunder jalan nafas. Polio bulbar sering
mengakibatkan kematian bila alat bantu nafas tidak tersedia. Dengan alat bantu
nafas angka kematian berkisar antara 25-50%. Bila ventilator tekanan positif
tersedia angka kematian bisa diturunkan hingga 15%.Otot-otot yang lumpuh dan
tidak pulih kembali menunjukkan paralysis tipe flasid dengan atonia, arefleksia,
dan degenerasi.
Komplikasi residual paralysis tersebut ialah kontraktur terutama sendi,
subluksasio bila otot yang terkena sekitar sendi, perubahan trofik oleh sirkulasi
(6)

17
yang kurang sempurna hingga mudah terjadi ulserasi. Pada keadaan ini diberikan
pengobatan secara ortopedik.
(6,7)

Post Polio Syndrome (PPS)


Sekitar 25% individual yang pernah mengalami polio paralitik
mendapatkan gejala tambahan beberapa decade setelah sembuh dari infeksi akut,
merupakan bentuk manifestasi lambat (15-40 tahun) sejak infeksi akut. Gejala
utamanya kelemahan otot, kelelahan yang ekstrem, paralysis rekuren atau
paralysis baru, nyeri otot yang luar biasa. Kondisi ini disebut post polio syndrome
(PPS). Gejala PPS diduga akibat kegagalan pembentukan over-sized motor unit
pada tahap penyembuhan dari fase paralitiknya. Walau demikian bagaimana
patogenesisnya masih belum diketahui. Faktor yang meningkatkan resiko PPS
antara lain jangka waktu sejak infeksi akutnya, kerusakan residual permanent
setelah penyembuhan dari fase akut, dan kerja neuron yang berlebihan.
2.10 Vaksin dan Eradikasi Polio (ERAPO)
Eradikasi Polio
Setelah pada penelitian ditemukan bahwa host dari virus polio hanya manusia
sedangkan virus polio liar tidak bertahan lama di lingkungan. Selain itu telah

ditemukan vaksin yang poten dan telah menyebar luas pada pertengahan 1950
yang mengakibatkan penurunan drastic insidensi polio di negara-negara maju.
Dan dinyatakan juga bahwa OPV memiliki efek terhadap komunitas
(community effect). Maka menjadi memungkinkan untuk dilakukan eradikasi
terhadap penyakit ini. Sehingga usaha global untuk eradikasi polio dimulai
pada tahun 1988, dipimpin oleh World Health Organization, UNICEF, dan The
Rotary Foundation. Eradikasi dilakukan dengan cara.
1. Imunisasi rutin dengan cakupan diatas 90%
Cakupan imunisasi harus mencapai lebih dari 90% untuk kelompok anak
dibawah 1 tahun. WHO menganjurkan diberikan vaksin polio oral sebanyak 5
kali. Cakupan yang tinggi ini akan menekan angka kesakitan polio pada tingkat
yang rendah dan menyiapkan negara tersebut untuk fase eradikasi. Cakupan
tinggi juga harus berkesinambungan dan dipertahankan oleh negara yang telah
(3,4)

18
bebas polio sampai seluruh dunia bebas dari polio, agar negara tersebut dapat
bertahan terhadap virus liar yang berasal atau dibawa dari negara lain.
2. Pekan Imunisasi Nasional (PIN)
Imunisasi massal dapat dilakukan secara serentak pada semua anak dibawah 5
tahun dengan dua putaran imunisasi dengan selang waktu empat minggu.
Gerakan ini dilakukan pada saat transmisi polio paling rendah dan kekebalan
populasi ternyata lebih tinggi dari kekebalan populasi imunisasi rutin.
3. Surveilans Acute Flaccid Paralysis
Surveilans AFP atau lumpuh layuh akut eradikasi membutuhkan metode
surveilans yang sensitif dan mampu mendeteksi adanya kasus polio dimanapun
di dunia. Surveilans AFP bertujuan untuk mendeteksi virus polio liar dan
meningkatkan sistem pelacakan dan pelaporan nasional suatu negara. Kasus
polio tidak dapat dideteksi secara klinis saja, maka WHO menyarankan
laboratory based AFP surveilans untuk keperluan eradikasi. Surveilans ini
mencakup deteksi semua AFP dibawah usia 15 tahun dan kasus harus diteliti
secara klinik dan epidemiologik dengan cepat, sampel tinja dikumpulkan
secukupnya dengan selang waktu 24 jam dan dikirim dalam keadaan dingin ke
laboratorium. Virus yang ditemukan harus dibedakan apakah virus liar atau
virus vaksin. Minimal harus dilakukan pelacakan pada 1 kasus AFP setiap
tahun-nya untuk setiap 100.000 anak dibawah 15 tahun.
4. Mopping-up
Artinya tindakan vaksinasi massal terhadap anak dibawah usia 5 tahun didaerah
ditemukanya penderita polio tanpa melihat status imunisasi polio sebelumnya.
Tampaknya di era globalisasi dimana mobilitas penduduk antar negara sangat
tinggi dan cepat, muncul kesulitan untuk mengendalikan penyebaran virus ini.
Selain pencegahan dengan vaksinasi polio tentu harus disertai dengan
peningkatan sanitasi lingkungan dan sanitasi perorangan. Penggunaan jamban
keluarga, air bersih yang memenuhi persyaratan kesehatan serta memelihara
kebersihan makanan merupakan upaya pencegahan dan mengurangi resiko
19
penularan virus ini. Menjadi salah satu keprihatinan dunia bahwa kecacatan
yang ditimbulkan akibat infeksi virus ini menetap dan tidak bisa disembuhkan

atau tidak ada obat yang dapat menyembuhkan polio.


Usaha ini telah mengurangi jumlah kasus terdiagnosa setahun hingga 99%,
yaitu dari 350.000 pada 1988, hingga 1.310 kasus pada tahun 2007. Ini merupakan
kali kedua umat manusia berhasil mengeradikasi sepenuhnya suatu penyakit.
Yang pertama adalah smallpox, yang telah tereradikasi tahun 1979. Sekarang
banyak bagian dunia yang bebas polio. Amerika Serikat menyatakan bebas polio
tahun 1994. pada tahun 2000, 36 negara-negara pasifik barat termasuk Cina dan
Australia dinyatakan bebas polio. 2002, Eropa dinyatakan bebas polio. Hingga
2006, polio masih endemic hanya di 4 negara : Nigeria, India, Pakistan, dan
Afganistan.
Di Indonesia sendiri program eradikasi dimulai dengan PIN tiga tahun
berturut-turut tahun 1995, 1996, 1997 dan sejak 1995 tidak ada kasus lagi selama
10 tahun. Tahun 2005 sempat ditemukan lagi kasus yang berawal dari lingkungan
padat di Sukabumi. Yang menyebar cepat keseluruh Indonesia. Kembali
dilakukan PIN dan pengetatan surveilans dan wabah teratasi, kasus terakhir adalah
kasus dari Aceh Tenggara, April 2006.
(1,2,8,9)

2.11 Vaksin Polio


Tahun 1952 dan 1953, Amerika Serikat mengalami ledakan jumlah kasus
sebanyak 58.000 dan 35.000 kasus, dari angka sebelumnya 20.000 per tahun.
Menanggapinya, Pemerintah menginvestasikan jutaan dolar untuk menemukan
dan memasarkan vaksin polio.
Hilary Koprowsky, mengklaim telah menemukan vaksin polio tahun 1950.
Vaksinnya yang berisi virus hidup yang dilemahkan yang dikonsumsi secara oral
(OPV) masih dalam tahap penelitian dan belum siap dipakai sampai 5 tahun
setelah vakin polio Jonas Salk (injectable polio vaccine, IPV) dikonsumsi public.
Vaksin OPV adalah adalah virus yang dilemahkan, yang bisa mengalami
mutasi sebelum dapat bereplikasi dalam usus dan diekskresi keluar. Meskipun
sangat jarang, selain mutasi bisa bersifat mutasi positif kearah virus yang lebih
20
lemah, namun bisa juga terjadi mutasi negative (back mutation) kembali kearah
neurogenik dan menimbulkan kerusakan di cornu anterior seperti infeksi virus
polio liar. Kenyataan ini memicu perlunya imunisasi dengan inactivated polio
virus (IPV).
3

OPV lebih efektif dalam pemberantasan poliomyelitis dibandingkan virus


yang inaktivasi. Sesudah pemberian vaksin OPV, maka virus yang dilemahkan
tersebut akan bereplikasi di traktus gastrointestinalis bagian bawah. OPV dapat
menutup PVR sehingga virus lain tidak bisa menempel dan menyebabkan
kelumpuhan kelumpuhan. Kemampuan ini menekan transmisi virus pada saat
wabah. IPV sangat mampu mencegah kelumpuhan karena menghasilkan antibody
netralisasi yang tinggi, namun tidak mempunyai efek menekan transmisi.
a) Oral Polio Vaccine (OPV)
Vaksin ini dibuat dengan virus polio yang dilemahkan. Vaksin ini
digunakan secara rutin sejak bayi lahir dengan 2 tetes oral. Virus vaksin ini
kemudian menempatkan diri di bawah usus dan memacu pembentukkan antibody
baik dalam darah maupun epithelium usus, yang menghasilkan pertahanan local

terhadap virus polio liar yang dating masuk kemudian. Maka frekuensi ekskresi
polio virus liar di masyarakat bisa dikurangi. Vaksin bertahan dalam tinja hingga
6 minggu setelah pemberian.
Gambar 8a. Pemberian Imunisasi OPV
Gambar. 8b Kemasan OPV
(diambil dari en.wikipedia.org/wiki/Poliomyelitis)
Vaksin ini harus disimpan tertutup pada suhu 2-8
o

C. dapat disimpan beku


pada temperature <-20
o

C. Keputusan WHO, vaksin ini boleh digunakan multidose


dengan syarat :
21
a. tanggal kedaluwarsa tidak terlampaui
b. vaksin-vaksin disimpan dalam rantai dingin (2-8
o

C)
c. botol vaksin yang telah terbuka yang terpakai hari itu telah dibuang
oleh petugas Puskesmas.
Vaksin Polio oral diberikan pada bayi baru lahir sebagai dosis awal, sesuai
PPI dan ERAPO tahun 2000. Kemudian diteruskan dengan imunisasi dasar mulai
umur 2-3 bulan yang diberikan tiga dosis terpisah dengan interval 6-8 minggu.
Satu dosis sebanyak 2 tetes (0.1 ml) diberikan per oral pada umur 2-3 bulan dapat
diberikan bersama vaksin DPT dan Hib.
b) Inactivated Polio Vaccine (IPV)
Vaksin tipe ini berisi PV 1,2,3 yang dibiakkan pada sel-sel vero ginjal kera
dan diinaktivasi dengan formaldehid. Pada vaksin tersebut juga ada neomisin,
streptomisin dan polimiksin B. Vaksin harus disimpan pada suhu 2-8
C dan tidak
boleh dibekukan. Dosis 0.5 ml dengan suntikkan subkutan dalam 3 kali berturutturut
dengan jarak 2 bulan antara masing-masing dosis akan memberikan
imunitas jangka panjang (mucosal maupun humoral).
Imunitas mucosal yang ditimbulkan oleh IPV lebih rendah dibandingkan
dengan yang ditimbulkan OPV.
(1,2,6)

Kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI)


Kasus poliomyelitis yang berkaitan dengan vaksin telah dilaporkan terjadi
pada resipien (VDPV=vaccine derived polio virus) atau kontak (VAPP=vaccine
associated polio paralytic). Diperkirakan terdapat satu kasus poliomyelitis
paralitik yang berkaitan dengan vaksin terjadi setiap 2.5 juta dosis OPV yang
diberikan. Risiko terjadi paling sering pada pemberian dosis pertama dibanding
dosis berikutnya. Risiko yang relative kecil pada poliomyelitis yang ditimbulkan
pemberian OPV ini tidak boleh diremehkan, namun tidak cukup untuk
mengadakan perubahan terhadap kebijakan imunisasi, karena vaksinasi tersebut
terbukti sangat berguna.
Setelah vaksinasi, sebagian kecil resipien dapat

mengalami gejala pusing, diare ringan, nyeri otot.


Kejadian ikutan pasca janin belum pernah dilaporkan, namun OPV jangan
diberikan pada ibu hamil empat bulan pertama kecuali terdapat alasan mendesak
misalnya berpergian ke daerah endemis poliomyelitis.
(2,4,6)
o

22
BAB III
Kesimpulan
Poliomyelitis adalah penyakit yang sangat menular yang disebabkan oleh
virus. Penyakit ini menyerang pusat saraf dan bisa menyebabkan paralysis total.
23
Bisa menyerang berbagai usia tapi lebih sering anak-anak. Virus masuk ke tubuh
lewat saluran pencernaan dan bermultiplikasi di usus. Lalu menyebar melalui
limfogen atau hematogen menuju system saraf pusat.
Gejala bervariasi dari asimtomatik (silent), sampai gejala nonspesifik
seperti demam, kelelahan, sakit kepala, muntah kaku kuduk, nyeri pada
ekstremitas. Cukup sering bermanifes hingga terjadi paralysis atau kelumpuhan.
Kelumpuhan bisa menjadi fatal jika terjadi pada komponen pernafasan yang
menyebabkan terjadinga gagal nafas.
Terapi pada poliomyelitis hingga kini belum ada. Yang bisa dilakukan
adalah penanganan suportif saja. Antara lain antibiotic, analgetik, antipiretik, bidai
atau braces, bantuan nafas mekanis (bila perlu). Nantinya mungkin memerlukan
tindakan tindakan fisioterapi ataupun bedah ortopedi.
Prognosis pada pasien penderita poliomyelitis dari segi angka hidup cukup
baik. Tetapi seringkali poliomyelitis mengakibatkan disabilitas atau keterbatasan.
Angka kematian cukup tinggi pada tipe bulbar, terutama jika menyerang pusat
pernafasan.
Karena belum adanya terapi, maka tindakan preventif sangat memegang
peranan dalam penenggulangan wabah polio. Yaitu penggunaan vaksin polio
untuk memberikan kekebalan pada manusia sebagai host. Vaksin itu sendiri terdiri
dari 2 macam yaitu Oral Attenuated Poliovirus Vaccine (OPV) yang berisi virus
hidup yang dilemahkan. Dan diberikan peroral, dan Inactivated Poliovirus
Vaccine (IPV) yang berisi virus polio yang di nonaktifkan dan diberikan injeksi.
Dengan menyebar luasnya vaksin polio ini maka masyarakat dunia dengan
dipimpin oleh WHO telah berhasil mewujudkan eradikasi global penyakit
poliomyelitis ini.
DAFTAR PUSTAKA
1. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Poliomyelitis. 2005. Dalam :
Rusepno Hassan, Husein Alatas (ed). Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Jilid
2. Jakarta.
24
2. Ranuh, I G N, dkk. Infeksi Virus : Poliomyelitis. 2008. Dalam : Pedoman
Imunisasi Di Indonesia. Satgas Imunisasi IDAI. Jakarta
3. Soedarmo, Sumarno S. Purwo, dkk. Infeksi Virus:Poliomyelitis. 2008.
Dalam : Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Edisi Kedua. Badan Penerbit
IDAI. Jakarta

4. Wikipedia the free Encyclopedia. Poliomyelitis. Last Updated : July, 23


2009. (available from : en.wikipedia.org/wiki/Poliomyelitis, cited on : Aug,
5
th

2009)
5. Simoes, Eric A. F. Polioviruses. 2003. Dalam : Behrman, Kliegman, Arvin
(ed). Nelson Textbook of Pediatrics 17
th

edition. Elsevier Science.


Philadelpia. WHO
6. World Health Organization. The Disease and The Virus. Dalam : Global
Polio Eradication Initiative.
(available from : www.who.int/topics/poliomyelitis/en/, cited on : Aug, 5
2009)
7. Estrada, Benjamin MD. Poliomyelitis : Treatment and Medication.
eMedicine. Last Updated : Aug, 15
th

2007.
(available from : http://emedicine.medscape.com/article/967950-overview,
cited on : Aug, 5
th

2009)
8. Wenner, Kenneth M. MD. Poliomyelitis. Medline Medical Encyclopedia.
Last Updated : January, 22
nd

2008.
(available from : www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001402, cited on
: Aug, 5
th

2009)
9. Wikipedia the free Encyclopedia. Polio Vaccine. Last Updated : July, 4
2009. (available from : http://en.wikipedia.org/wiki/Polio_vaccine, cited on :
Aug, 5
th

2009)
rd
th
th

25

Anda mungkin juga menyukai