Anda di halaman 1dari 16

Prospek bisnis

konsultan

Pengetahuan dan keahlian


apakah pengetahuan dan keahlian menjadi basis
dan ciri utama
organisasi dalam menjalankan kegiatan,
Salah satu dasar kegiatan enjiniring (engineering) adalah ke,
tergantungannya yang sangat kuat pada pengetahuan dan keahlian.
Seorang rekayasawan dituntut memiliki pengetahuan mendalam, terutama
dalam ilmu pasti, karena kegiatan enjiniring menuntut tingkat
kecermatan serta kualitas presisi yang tinggi, Karena itu, kewajiban
moral utama seorang rekayasawan adalah kewajiban untuk melengkapi
diri dengan pengetahuan dan penguasaan yang luas dan mendalam
tentang ilmunya. Tuntutan keahlian ini, menjadi urgen karena kualitas
Keamanan, kenyamanan, serta kesejahteran yang diberikan kepada
publik sangat tergantung pada kualitas pengetahuan dan keahlian yang
dimiliki.
Kualitas

Penguasaan pengetahuan
Kualitas pengetahuan dan keahlian tidak diperoleh semata-mata
dalam praktik atau pengalarnan melainkan lewat pendidikan tinggi
dan
pelatihan intensif dalam waktu yang l ama.
Karena itu apabila seseorang ingin dipandang sebagai seorang
profesional maka ia harus memiliki keahlian khusus dalam
bidangnya.
Namun yang diperlukan bukan sekadar pengetahuan (knowledge)
melainkan lebih dari itu, penguasaan pengetahuan (profciency),
peningkatan pengetahuan (improvement), dan pengertian
(understanding).
Seorang yang memiliki pengertian mampu menjelaskan mengapa
(the why) problem desain tertentu harus dipecahkan kan dengar
cara atau metode tentenfu.

Kemampuan mengerti
Kemampuan "mengerti,, memungkinkan
individu melihat
berbagai altematif serta memilih
alternatif yang paling tepat dalam
memecahkan sebuah masalah.
Mengerti sebuah prosedur, misallya,
berarti mengetahui mengapa prosedur
itu efekti{ atau bahkan paling efektif,
ketika digunakan dalam situasi tertentu.

kesimpulan
Seorang rekayasawan dengan demikian pertama-tama bukan
praktisi yang bertugas menyelesaikan tugas lapangan. Ia adalah ilmuwan
yang mengkhususkan diri untuk melakukan aralisis tentang
produk, struktur dan proses dari suatu produk dengan bimbingan ilmu
pengetahuan. Ketika seorang konsultan enjiniring dimengerti sebagai
petugas lapangan, ia menjadi tukang. Padahal untuk meniadi tukang
tidak perlu pendidikan dan pelatihan intensif dan ekstensif dalam
bidang enjiniring. Yang diperlukan seorang tukang hanya praktik dan
pengalaman urusan menyelesaikan perkerjaan yang dirancang oleh ahli
enjiniring. Pengetahuan dan keallian inilah yang menjadl basis otoritas
yang sekaligus memberi kedudukan khusus (baca: otonomi, prestise
dan kehormatan) bagi seorang rekayasawan. Faktor pengetahuan dan
keahlian inilah yang membedakan pelayanan seorang ahli dari pelayanan
seorang tukang atau seorang awam

Profesi dan prestise


Hal kedua, tekanan kuat pada pengetahuan dan keahlian tidak harus
membuat usaha jasa enjiniring mengabaikan dimensi pelayanan dalam
kegiatannya. Tanpa harus terjebak dalam godaan altruisme ekstrem,
profesi menjadi profesi persis karena berorientasi pada kepentingan
. Profesi tidak hadir demi dirinya sendiri. Bahkan
seorang rekayasawan mempertahankan dan meningkatkan integritas,
kehormatan, dan harga dirinya dengan cara memaffaatkan keahliarnya
demi peningkatan kesejahteraan publik.
Istilah "pelayanan" itu sendiri
memperlihatkan bahwa tujuan dari kegiatan profesional sebetulnya tidak
' terletak di dalam melainkan di luar profesi. Maksudnya sebuah profesi
menjadi bermakna ketika tujuan diletakkan pada kepentingan orang
lain (masyarakat) dan bukan pada kepentingan diri sang profesional. Itu

sebabnya Bernard Barber dengan tegas mengatakan bahwa imbalan


bagi
seorang pertama-tama bukan uang melainkan prestise

Tujuan kegiatan profesional


Tentu saia tidak dimaksudkan di sini bahwa seorang profesional
tidak memerlukan uang. Yang hendak dikatakan ialah ketika uang
meniadi satu-satunya tuiuan kegiatan profesional maka kepentingan
masyarakat (yang menjadi tujuan pokok profesi) cenderung diabaikan.
Hal yang sama juga terjadi dalam bisnis pada umumnya. Dominasi
tuntutan keuntungan dalam arti finansial sebagai tuiuan Perusahan
dapat dengan mudah mendorong perilaku tidak etis yang justru
bertentangan dengan esensi profesi. Dalam bahasa Aristoteles, ketika
uang menjadi tujuan utama pro{esi, maka profesi. diperlakukan melulu
sebagai instrumen (usefut profession). Profesi dalam dirinya sendiri
tidak lagi bermakna. Sedangkan ketika tujuan profesi diletakkan di
luar kepentingan pribadi profesional menekankan dimensi pelayanan
pada kepentingan masyarakat - profesi menjadi sebuah kegiatan luhur
Karena itu bersama dengan tuntutan pengetahuan dan keahlian,
dimensi pelayanan menjadi watak dasar lainnya yang membedakan
profesi dari sebuah pekerjaan

Kegiatan dalam arti pekerjaan dilakukan sematamata untuk mendapatkan upah atau
mempertahankan hidup. Tetapi tidak demikian
hallya sebuah profesi. Adanya pengetahuan dan
keahlian, pekerjaan seorang memiliki bobot
istimewa tidak saja dalam arti mendapat
penghargaan finansial lebih besar daripada yang
diterima oleh seorang tukang; tetapi juga dalam
arti bahwa kegiatan profesional
menjadi medium ekspresi diri. Pengetahuan dan
keahlian adalah milik yang tak dapat dirampas dari
siapa pun dan oleh siapa pun.

Dari segi pengetahuan dan keahlian, tampaknya tidak ada masalah


untuk menyebut jasa enjiniring sebagai kegiatan profesional. Tuntutan
Keamanan , kenyamanan, dan bahkan keindahan sebagai hasil akhir
produk enjiniring meniscayakan keahIian dan pengetahuan mendalam.
Dalam arti ini seorang rekayasawan layak disebut profesional. Akan
tetapi bagaimana dengar tuntutan pelayanan yang juga merupakan
karakter dasar sebuah profesi? Apakah jasa enjiniring dapat memenuhi
kriterium ini?

Secara historis, bidang-bidang kegiatan yang


umum diterima sebagai
profesi adalah kegiatan dalam bidang medis
atau kedokteran, hukum, pendidikan, dan
kerohanian atau kependetaan. Secara
historis pula kegiatan dalam bidang-bidang
ini memang menuntut dilaksanakan dengan
perlu rasa tanggung jawab dari segi
pengetahuan dan keahlian tetapi, lebih dari
itu, harus disertai sikap pelayanan.

konsultan
Dalam kasus Ikatan Konsultan Indonesia yang menjadi latar-belakang
tulisan ini, misalnya,
para pegiat profesi adalah para ahli konstruksi. Mereka bergerak dalam
jasa enjiniring jalan, jembatan, dan bangunan-bangunan lainnya yang
sangat menuntut pengetahuan dan keahlian, selain pengalamal Karena
perbedaan mendasar ihL maka pertanyaannya, apakah jasa enjiniring
juga layak disebut profesi? Lebih kongkrit, apakah unsur pelayanan
menjadi tuntutan niscaya bagi jasa enjiniring untuk membuatnya layak
disebut profesi? Lebih dari pada itu apakah enjiniring boleh disebut
bisnis profesional?
Meskipun tidak menjadikan kualitas hidup marusia
Meskipun tidak menjadikan kualitas hidup marusia sebagai tuiuan
langsung kegiatarrrya, namun seperti profesi pada umumnya jasa
enjiniring tidak bisa mengabaikan unsur pelayanan dalam kegiatannya'

Contoh bisnis dari segi ekonomi


dan hukum
Tetapi pemenuhan kewajiban bisnis dari segi ekonomi dan hukum
tidak dengan sendirinya membuat sebuah bisnis layak disebut bisnis
yang baik dalam arti seutuhnya. Sekadar contoh, seorang rekayasawan
mengikat kontrak dengan kliennya ulrtuk membangun jembatan dengan
total nilai sebesar 1 miliar rupiah. Praktiknya ia hanya menghabiskan
dana sebesar Rp 600;000.000,- karena memang dana sebesar itu sudah
cukup untuk merealisasikan bangurLan jembatan dengan standar mutu
yang dapat diperianggulgjawabkan sesuai tuntutan standar kualitas
yang ditetapkan oleh asosiasi profesi maupun peiaturar
perundarLgundangan
yang berlaku

. Dengan demikian, ia memperoleh keuntungan


sebesar Rp 400.000.000,- alias hampir 50% dari total dana yang
tersedia.
Pertanyaanny4 apakah keuntungan sebesar itu dianggap wajar?
Dari
segi ekonomi, praktik ini tentu saia dipandarLg sangat berhasil
karena
mendatarLgkan keuntungan, bahkan sangat besar. Dari segi hukum,
praktik ini purr tidak bermasalah kareira, katakan saia, rekayasawan
telah bekerja sesuai dengan kontrak dan bahkan berhasil
membangul
jembatan sesuai dengan stadard mutu yang diharuskan. Meskipun
begihr,

sekali lagi, apakah keuntungan sebesar


itu dapat diterima, khususnya
dari segi moral? Bukankah demi
keuntungan yarg besar rekayasawan
sebetulnya telah membebani kliennya
dengan biaya yang berlebihan?
Dimana watak altruis dan dimensi
pelayanan profesi yang diembannya?

Contoh sederhana di atas memperlihatkan bahwa pertimbangan


bisnis hanya dari segi ekonomi tidak mencukupi untuk rnenilai
kualitas
sebuahbisnis. Keuntungan ekonomi yang diperoleh dengan
menghalalkal
segala macam cara pasti bermasalah dari segi moral. Ba}kan
kesesuaial
praktik bisnis dengan tuntutan peraturan perundaag-undangan
yang
berlaku juga tidak dengan sendirinya membuat bisnis layak
disebut
bisnis yang baik. Sikap legalistis dalam menjalankar bisnis
berpotensi
mendorong pelaku bisnis teierumus dalam perilaku tak bermoral.

Anda mungkin juga menyukai