PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada selaput organ perut
(peritonieum). Peritoneum adalah selaput tipis dan jernih yang membungkus organ perut
dan dinding perut sebelah dalam. Lokasi peritonitis bisa terlokalisir atau difuse, riwayat
akut atau kronik dan patogenesis disebabkan oleh infeksi atau aseptik. Peritonitis
merupakan suatu kegawat daruratan yang biasanya disertai dengan bakterisemia atau
sepsis.
Peradangan peritoneum merupakan komplikasi berbahaya yang sering terjadi akibat
penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya apendisitis, salpingitis, perforasi
ulkus gastroduodenal), ruptura saluran cerna, komplikasi post operasi, iritasi kimiawi,
ataudari luka tembus abdomen. Pada keadaan normal, peritoneum resisten terhadap infeksi
bakteri (secara inokulasi kecil-kecilan); kontaminasi yang terus menerus, bakteri yang
virulen, resistensi yang menurun, dan adanya benda asing atau enzim pencerna aktif,
merupakan faktor-faktor yang memudahkan terjadinya peritonitis.
Keputusan untuk melakukan tindakan bedah harus segera diambil karena setiap
keterlambatan akan menimbulkan penyakit yang berakibat meningkatkan morbiditas dan
mortalitas.
Ketepatan diagnosis
dan
penanggulangannya
tergantung
dari
kemampuan melakukan analisis pada data anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada selaput organ
perut (peritonieum). Peritonieum adalah selaput tipis dan jernih yang membungkus organ
perut dan dinding perut sebelah dalam. Lokasi peritonitis bisa terlokalisir atau difuse,
riwayat akut atau kronik dan patogenesis disebabkan oleh infeksi atau aseptik. Peritonitis
merupakan suatu kegawat daruratan yang biasanya disertai dengan bakterecemia atau
sepsis. Akut peritonitis sering menular dan sering dikaitkan dengan perforasi
viskus(secondary
peritonitis).
Apabila
tidak
ditemukan
sumber
infeksi
pada
Peritoneum merupakan membran yang terdiri dari satu lapis sel mesothel yang
dipisah dari jaringan ikat vaskuler dibawahnya oleh membrane basalis. Ia membentuk
kantong tertutup dimana visera dapat bergerak bebas didalamnya. Peritoneum meliputi
rongga abdomen sebagai peritoneum parietalis dan melekuk ke organ sebagai peritoneum
viseralis (Marshall, 2003).
2
Luas permukaannya mendekati luas permukaan tubuh yang pada orang dewasa
mencapai 1,7m2. Ia berfungsi sebagai membrane semipermeabel untuk difusi 2 arah
untuk cairan dan partikel. Luas permukaan untuk difusi seluas 1m2 (Heemken, 1997).
Pada rongga peritoneum dewasa sehat terdapat 100cc cairan peritoneal yang
mengandung protein 3 g/dl. Sebagian besar berupa albumin. Jumlah sel normal adalah
33/mm3 yang terdiri dari 45% makrofag, 45% sel T, 8% sisanya terdiri dari NK, sel B,
eosinofil, dan sel mast serta sekretnya terutama prostasiklin dan PGE 2. Bila terjadi
peradangan jumlah PMN dapat meningkat sampai > 3000/mm3 (Marshall, 2003).
Dalam keadaan normal, 1/3 cairan dalam peritoneum di drainase melalui limfe
diafragma sedang sisanya melalui peritoneum parietalis (Evans, 2001).
Relaksasi diafragma menimbulkan tekanan negatif sehingga cairan dan partikel
termasuk bakteri akan tersedot ke stomata yaitu celah di mesothel difragma yang
berhubungan dengan lacuna limfe untuk bergerak le limfe substernal. Kontraksi
diafragma menutup stomata dan mendorong limfe ke mediastinum (Hau, 2003).
Oleh karena itu, sangat penting menjamin berlangsungnya pernapasan spontan
yang baik agar clearance bakteri peritoneum dapat berlangsung (Evans, 2001).
Dalam keadaan normal, peritoneum dapat mengadakan fibrinolisis dan mencegah
terjadinya perlekatan. Peritoneum menangani infeksi dengan 3 cara:
Absorbsi cepat bakteri melalui stomata diafragma
Pompa diafragma akan menarik cairan dan partikel termasuk bakteri kearah stomata.
Oleh karena itu bila terdapat infeksi di peritoneum bagian bawah, bakteri yang turut
dalam aliran dapat bersarang di bagian atas dan dapat menimbulkan sindroma FitzHugh-Curtis, yaitu nyeri perut atas yang disebabkan perihepatitis yang menyertai
infeksi tuba falopii (Evans, 2001).
Peritonitis menyebabkan pergeseran cepat cairan intravaskuler dan intersisiel ke rongga
peritoneum, sehingga dapat terjadi hipovolemia. Empedu, asam lambung, dan enzim
pancreas memperbesar pergeseran cairan ini (Heemken, 1997).
Penghancuran bakteri oleh sel imun
Bakteri atau produknya akan mengaktivasi sel mesothel, netrofil, makrofag, sel mast,
dan limfosit untuk menimbulkan reaksi inflamasi (Iwagaki, 1997).
Selain melepas mediator inflamasi ia dapat mengadakan degranulasi zat vasoaktif yang
mengandung histamine dan prostaglandin. Histamine dan prostaglandin yang dilepas
sel mast dan makrofag menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas
pembuluh peritoneum sehingga menimbulkan eksudasi cairan kaya komplemen,
immunoglobulin, faktor pembekuan, dan fibrin (Marshall, 2003).
Sudah diketahui bahwa untuk penyembuhan jaringan diperlukan respon mediator proinflamasi di daerah sakit sampai terjadi kesembuhan dimana mulai timbul mediator
anti-inflamasi yang menghentikan proses pro-inflamasi. Keadaan ini menunjukkan
adanya keseimbangan fungsi antara respon pro- dan anti-inflamasi. Tetapi pada keadaan
tertentu dapat terjadi ketidakseimbangan dimana salah satu yaitu: pro-inflamasi atau
anti-inflamasi atau bahkan keduanya sekaligus meningkat hebat diluar kebutuhan
penderita. Dalam keadaan ini kedua mediator yang bertentangan dapat menimbulkan
kerusakan organ hebat sehingga terjadi kegagalan organ (Marshall, 2003).
Lokalisasi infeksi sebagai abses
Pada peningkatan permeabilitas venula terjadi eksudasi cairan kaya protein yang
mengandung fibrinogen. Sel rusak mengeluarkan tromboplastin yang mengubah
protrombin menjadi thrombin dan fibrinogen menjadi fibrin. Fibrin akan menangkap
bakteri dan memprosesnya hingga terbentuk abses. Hal ini dimaksud untuk
menghentikan penyebaran bakteri dalam peritoneum dan mencegah masuknya ke
sistemik. Dalam keadaan normal fibrin dapat dihancurkan antifibrinolitik, tetapi pada
inflamasi mekanisme ini tak berfungsi (Evans, 2001).
2.3 Etiologi
4
peritoneum. Penyebab paling sering dari peritonitis primer adalah spontaneous bacterial
peritonitis (SBP) akibat penyakit hepar kronis. Kira-kira 10-30% pasien dengan sirosis
hepatis dengan ascites akan berkembang menjadi peritonitis bakterial.
Peritonitis sekunder
Penyebab peritonitis sekunder paling sering adalah perforasi appendicitis, perforasi
gaster dan penyakit ulkus duodenale, perforasi kolon (paling sering kolon sigmoid)
akibat divertikulitis, volvulus, kanker serta strangulasi usus halus (Brian,2011).
Tabel 1. Penyebab Peritonitis Sekunder
Regio Asal Penyebab
Boerhaave syndrome
Esophagus
Malignancy
Trauma (mostly penetrating)
Iatrogenic*
Peptic ulcer perforation
Malignancy (eg, adenocarcinoma, lymphoma,
Stomach
Iatrogenic*
Pancreatitis (eg, alcohol, drugs, gallstones)
Pancreas
Malignancy
Ulcerative colitis and Crohn disease
Appendicitis
Colonic volvulus
Trauma (mostly penetrating)
Iatrogenic
Uterus,
salpinx, and
ovaries
Peritonitis tertier
Peritonitis yang mendapat terapi tidak adekuat, superinfeksi kuman, dan akibat
infeksi
intraabdomen
biasanya
dibagi
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat
fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang
menempel
menjadi satu
dengan
permukaan
sekitarnya
sehingga
membatasi
menimbulkan
akumulasi
cairan
karena
kapiler
dan membran
mengalamikebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif, maka
dapatmenimbulkan
interleukin,
kematian
dapat memulai
hiperinflamatorius,
sehingga
misalnya
membawa
ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba untuk
mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan
juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal
begitu terjadi hipovolemia (Fauci et al, 2008).
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami
oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ
tersebutmeninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen usus
serta oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan
retroperitoneal menyebabkan
hipovolemia.
Hipovolemia
bertambah
dengan adanya
kenaikan suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah.Terjebaknya cairan di cavum
peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut meningkatkan tekana intra abdomen, membuat
usaha pernapasan penuh menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi (Fauci et al,
2008).
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila
infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis
umum,
aktivitas peristaltik
berkurang
sampai
timbul
ileus
paralitik;
usus
kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus,
mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat
terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat mengganggu
pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus (Fauci et al, 2008).
Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan ileus karena
adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik usus sebagai
usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaitu obstruksi
usus yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat total atau parsial,
pada ileus stangulasi obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemi
yang akan berakhir dengan nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi usus dan
karena penyebaran bakteri pada rongga abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis
(Fauci et al, 2008).
Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan kuman
S. Typhi yang masuk tubuh manusia melalui mulut dari makan dan air yang tercemar.
Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung, sebagian lagi masuk keusus halus dan
mencapai jaringan limfoid plaque peyeri di ileum terminalis yang mengalami hipertropi
ditempat ini komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi, perforasi
ileum pada tifus biasanya terjadi pada penderita yang demam selama kurang lebih 2
minggu yang disertai nyeri kepala, batuk dan malaise yang disusul oleh nyeri perut, nyeri
tekan, defansmuskuler, dan keadaan umum yang merosot karena toksemia (Fauci et al,
2008).
Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan peritoneum yang mulai di
epigastrium dan meluas keseluruh peritonium akibat peritonitis generalisata. Perforasi
lambung dan duodenum bagian depan menyebabkan peritonitis akut. Penderita yang
8
mengalami perforasi ini tampak kesakitan hebat seperti ditikam di perut. Nyeri ini timbul
mendadak terutama dirasakan di daerah epigastrium karena rangsangan peritonium oleh
asam lambung, empedu dan atau enzim pankreas. Kemudian menyebar keseluruh
perutmenimbulkan nyeri seluruh perut pada awal perforasi, belum ada infeksi bakteria,
kadang fase ini disebut fase peritonitis kimia, adanya nyeri di bahu menunjukkan
rangsanganperitoneum berupa mengenceran zat asam garam yang merangsang, ini
akan mengurangi keluhan untuk sementara sampai kemudian terjadi peritonitis bacteria
(Fauci et al, 2008).
Pada apendisitis biasanya biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks
oleh hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis dan neoplasma.
Obstruksi
tersebut menyebabkan
mukus
yang
diproduksi
mukosa
Nyeri abdomen
Nyeri abdomen merupakan gejala yang hamper selalu ada pada peritonitis. Nyeri
biasanya dating dengan onset yang tiba-tiba, hebat dan pada penderita dengan perforasi
nyerinya didapatkan pada seluruh bagian abdomen(Doherty, 2006).
Seiring dengan berjalannya penyakit, nyeri dirasakan terus-menerus, tidak ada
henti-hentinya, rasa seperti terbakar dan timbul dengan berbagai gerakan. Nyeri
biasanya lebih terasa pada daerah dimana terjadi peradangan peritoneum. Menurunnya
intensitas dan penyebaran dari nyeri menandakan adanya lokalisasi dari proses
peradangan, ketika intensitasnya bertambah meningkat diserta dengan perluasan daerah
nyeri menandakan penyebaran dari peritonitis (Schwartz et al, 1989).
muntah. Penderita biasanya juga mengeluh haus dan badan terasa seperti demam sering
diikuti dengan menggigil yang hilang timbul. Meningkatnya suhu tubuh biasanya
sekitar 38OC sampai 40 OC (Schwartz et al, 1989).
10
Facies Hipocrates
Pada peritonitis berat dapat ditemukan fascies Hipocrates. Gejala ini termasuk
ekspresi yang tampak gelisah, pandangan kosong, mata cowong, kedua telinga menjadi
dingin, dan muka yang tampak pucat (Cole et al,1970).
Penderita dengan peritonitis lanjut dengan fascies Hipocrates biasanya berada
pada stadium pre terminal. Hal ini ditandai dengan posisi mereka berbaring dengan
lutut di fleksikan dan respirasi interkosta yang terbatas karena setiap gerakan dapat
menyebabkan nyeri pada abdomen (Schwartz et al, 1989).
Tanda ini merupakan patognomonis untuk peritonitis berat dengan tingkat
kematian yang tinggi, akan tetapi dengan mengetahui lebih awal diagnosis dan
perawatan yang lebih baik, angka kematian dapat lebih banyak berkurang (Cole et
al,1970).
Syok
Pada beberapa kasus berat, syok dapat terjadi oleh karena dua factor. Pertama
dengan bagian tertentu mendapat perhatian khusus untuk mencegah keadaan yang lebih
buruk (Schwartzet al, 1989).
Inspeksi
Tanda paling nyata pada penderita dengan peritonitis adalah adanya distensi dari
abdomen. Akan tetapi, tidak adanya tanda distensi abdomen tidak menyingkirkan
diagnosis peritonitis, terutama jika penderita diperiksa pada awal dari perjalanan
penyakit, karena dalam 2-3 hari baru terdapat tanda-tanda distensi abdomen. Hal ini
terjadi akibat penumpukan dari cairan eksudat tapi kebanyakan distensi abdomen
terjadi akibat ileus paralitik (Cole et al,1970).
Auskultasi
Auskultasi harus dilakukan dengan teliti dan penuh perhatian. Suara usus dapat
bervariasi dari yang bernada tinggi pada seperti obstruksi intestinal sampai hamper
tidak terdengar suara bising usus pada peritonitis berat dengan ileus. Adanya
suara borborygmi dan peristaltic yang terdengar tanpa stetoskop lebih baik daripada
suara perut yang tenang. Ketika suara bernada tinggi tiba-tiba hilang pada abdomen
akut, penyebabnya kemungkinan adalah perforasi dari usus yang mengalami
strangulasi (Cole et al,1970).
Perkusi
Penilaian dari perkusi dapat berbeda tergantung dari pengalaman pemeriksa.
Hilangnya pekak hepar merupakan tanda dari adanya perforasi intestinal, hal ini
menandakan adanya udara bebas dalam cavum peritoneum yang berasal dari intestinal
yang mengalami perforasi. Biasanya ini merupakan tanda awal dari peritonitis (Cole et
al,1970).
12
Jika terjadi pneumoperitoneum karena rupture dari organ berongga, udara akan
menumpuk di bagian kanan abdomen di bawah diafragma, sehingga akan ditemukan
pekak hepar yang menghilang (Schwartz et al, 1989).
Palpasi
Palpasi adalah bagian yang terpenting dari pemeriksaan abdomen pada kondisi
ini. Kaidah dasar dari pemeriksaan ini adalah dengan palpasi daerah yang kurang
terdapat nyeri tekan sebelum berpindah pada daerah yang dicurigai terdapat nyeri
tekan. Ini terutama dilakukan pada anak dengan palpasi yang kuat langsung pada
daerah yang nyeri membuat semua pemeriksaan tidak berguna. Kelompok orang
dengan kelemahan dinding abdomen seperti pada wanita yang sudah sering melahirkan
banyak anak dan orang yang sudah tua, sulit untuk menilai adanya kekakuan atau
spasme dari otot dinding abdomen. Penemuan yang paling penting adalah adanya nyeri
tekan yang menetap lebih dari satu titik. Pada stadium lanjut nyeri tekan akan menjadi
lebih luas dan biasanya didapatkan spasme otot abdomen secara involunter. Orang yang
cemas atau yang mudah dirangsang mungkin cukup gelisah, tapi di kebanyakan kasus
hal tersebut dapat dilakukan dengan mengalihkan perhatiannya. Nyeri tekan lepas
timbul akibat iritasi dari peritoneum oleh suatu proses inflamasi. Proses ini dapat
terlokalisir pada apendisitis dengan perforasi local, atau dapat menjadi menyebar
seperti pada pancreatitis berat. Nyeri tekan lepas dapat hanya terlokalisir pada daerah
tersebut atau menjalar ke titik peradangan yang maksimal (Cole et al,1970).
Pada peradangan di peritoneum parietalis, otot dinding perut melakukan spasme
secara involunter sebagai mekanisme pertahanan. Pada peritonitis, reflek spasme otot
menjadi sangat berat seperti papan (Schwartz et al, 1989).
2.6 Pemeriksaan Penunjang
2.6.1 Laboratorium
Evaluasi laboratotium hanya dilakukan jika adanya hubungan antara riwayat
penyakit dengan pemeriksaan fisik. Tes yang paling sederhana dilakukan adalah
termasuk hitung sel darah dan urinalisis. Pada kasus peritonitis hitung sel darah putih
biasanya lebih dari 20.000/mm3, kecuali pada penderita yang sangat tua atau seseorang
13
yang sebelumnya terdapat infeksi dan tubuh tidak dapat mengerahkan mekanisme
pertahanannya (Cole et al,1970).
Pada perhitungan diferensial menunjukkan pergeseran ke kiri dan didominasi oleh
polimorfonuklear yang memberikan bukti adanya peradangan, meskipun jumlah leukosit
tidak menunjukkan peningkatan yang nyata (Schwartz et al, 1989).
Analisa gas darah, serum elektrolit, faal pembekuan darah serta tes fungsi hepar
dan ginjal dapat dilakukan (Doherty, 2006).
2.6.2 Radiologi
Pemeriksaan radiologi pada kebanyakan kasus peritonitis hanya mencakup foto
thorak PA dan lateral serta foto polos abdomen. Pada foto thorak dapat memperlihatkan
proses pengisian udara di lobus inferior yang menunjukkan proses intraabdomen.
Dengan menggunakan foto polos thorak difragma dapat terlihat terangkat pada satu sisi
atau keduanya akibat adanya udara bebas dalam cavum peritoneum daripada dengan
menggunakan foto polos abdomen (Cole et al,1970).
Ileus merupakan penemuan yang tidak khas pada peritonitis, usus halus dan usus
besar mengalami dilatasi, udara bebas dapat terlihat pada kasus perforasi. Foto polos
abdomen paling tidak dilakukan dengan dua posisi, yaitu posisi berdiri/tegak lurus atau
lateral decubitus atau keduanya. Foto harus dilihat ada tidaknya udara bebas. Gas harus
dievaluasi dengan memperhatikan pola, lokasi dan jumlah udara di usus besar dan usus
halus (Cole et al,1970).
14
yaitu E.
anaerob
tersering
adalah Bacteriodes
spp,
sedangkan
Clostridium,
sama
baiknya
jika
memberikan
cephalosporin
generasi
Penanganan Operatif
Terapi primer dari peritonitis adalah tindakan operasi. Operasi biasanya dilakukan
untuk mengontrol sumber dari kontaminasi peritoneum. Tindakan ini berupa penutupan
perforasi usus, reseksi usus dengan anstomosis primer atau dengan exteriorasi. Prosedur
operasi yang spesifik tergantung dari apa yang didapatkan selama operasi berlangsung,
serta membuang bahan-bahan dari cavum peritoneum seperti fibrin, feses, cairan
empedu, darah, mucus lambung dan membuat irigasi untuk mengurangi ukuran dan
jumlah dari bakteri virulen(Schwartz et al, 1989).
Kontrol Sepsis
Tujuan dari penanganan operatif pada peritonitis adalah untuk menghilangkan
semua material-material yang terinfeksi, mengkoreksi penyebab utama peritonitis dan
17
mencegah komplikasi lanjut. Kecuali pada peritonitis yang terlokalisasi, insisi midline
merupakan teknik operasi yang terbaik. Jika didapatkan jaringan yang terkontaminasi
dan menjadi fibrotik atau nekrosis, jaringan tersebut harus dibuang. Radikal
debridement yang rutin dari seluruh permukaan peritoneum dan organ dalam tidak
meningkatkan tingkat bertahan hidup. Penyakit primer lalu diobati, dan mungkin
memerlukan tindakan reseksi (ruptur apendik atau kandung empedu), perbaikan (ulkus
perforata) atau drainase (pankreatitis akut). Pemeriksaan kultur cairan dan jaringan
yang terinfeksi baik aerob maupun anaerob segera dilakukan setelah memasuki kavum
peritoneum (Doherty, 2006).
Peritoneal Lavage
Pada peritonitis difus, lavage dengan cairan kristaloid isotonik (> 3 liter) dapat
menghilangkan material-material seperti darah, gumpalan fibrin, serta bakteri.
Penambahan antiseptik atau antibiotik pada cairan irigasi tidak berguna bahkan
berbahaya karena dapat memicu adhesi (misal: tetrasiklin, povidone-iodine). Antibiotik
yang diberikan cecara parenteral akan mencapai level bakterisidal pada cairan
peritoneum dan tidak ada efek tambahan pada pemberian bersama lavage. Terlebih
lagi, lavage dengan menggunakan aminoglikosida dapat menyebabkan depresi nafas
dan komplikasi anestesi karena kelompok obat ini menghambat kerja dari
neuromuscular junction. Setelah dilakukan lavage, semua cairan di kavum peritoneum
harus diaspirasi karena dapat menghambat mekanisme pertahanan lokal dengan
melarutkan benda asing dan membuang permukaan dimana fagosit menghancurkan
bakteri (Doherty, 2006).
Peritoneal Drainage
Penggunaan drain sangat penting untuk abses intra abdominal dan peritonitis
lokal dengan cairan yang cukup banyak. Drainase dari kavum peritoneal bebas tidak
efektif dan tidak sering dilakukan, karena drainase yang terpasang merupakan
penghubung dengan udara luar yang dapat menyebabkan kontaminasi. Drainase
profilaksis pada peritonitis difus tidak dapat mencegah pembentukan abses, bahkan
dapat memicu terbentuknya abses atau fistula. Drainase berguna pada infeksi fokal
residual atau pada kontaminasi lanjutan. Drainase diindikasikan untuk peradangan
massa terlokalisasi atau kavitas yang tidak dapat direseksi (Doherty, 2006).
18
2.7.3
Pengananan Postoperatif
Monitor intensif, bantuan ventilator, mutlak dilakukan pada pasien yang tidak
stabil. Tujuan utama adalah untuk mencapai stabilitas hemodinamik untuk perfusi
organ-organ vital., dan mungkin dibutuhkan agen inotropik disamping pemberian
cairan. Antibiotik diberikan selama 10-14 hari, bergantung pada keparahan peritonitis.
Respon klinis yang baik ditandai dengan produksi urin yang normal, penurunan demam
dan leukositosis, ileus menurun, dan keadaan umum membaik. Tingkat kesembuhan
bervariasi tergantung pada durasi dan keparahan peritonitis. Pelepasan kateter (arterial,
CVP, urin, nasogastric) lebih awal dapat menurunkan resiko infeksi sekunder (Doherty,
2006).
2.8
Komplikasi
Komplikasi postoperatif sering terjadi dan umumnya dibagi menjadi komplikasi
lokal dan sistemik. Infeksi pada luka dalam, abses residual dan sepsis intraperitoneal,
pembentukan fistula biasanya muncul pada akhir minggu pertama postoperasi. Demam
tinggi yang persisten, edema generalisata, peningkatan distensi abdomen, apatis yang
berkepanjangan merupakan indikator adanya infeksi abdomen residual. Hal ini
membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut misalnya CT-Scan abdomen. Sepsis yang tidak
terkontrol dapat menyebabkan kegagalan organ yang multipel yaitu organ respirasi, ginjal,
hepar, perdarahan, dan sistem imun (Doherty, 2006).
2.9
Prognosis
Tingkat mortalitas dari peritonitis generalisata adalah sekitar 40%. Faktor-faktor
yang mempengaruhi tingginya tingkat mortalitas antara lain tipe penyakit primer dan
durasinya, keterlibatan kegagalan organ multipel sebelum pengobatan, serta usia dan
kondisi kesehatan awal pasien. Tingkat mortalitas sekitar 10% pada pasien dengan ulkus
perforata atau apendisitis, pada usia muda, pada pasien dengan sedikit kontaminasi
bakteri, dan pada pasien yang terdiagnosis lebih awal (Doherty, 2006).
19
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada selaput organ perut
(peritonieum). Penyebab paling sering dari peritonitis primer adalah spontaneous bacterial
peritonitis (SBP) akibat penyakit hepar kronis. Penyebab peritonitis sekunder paling sering
adalah perforasi appendicitis, perforasi gaster dan penyakit ulkus duodenale, serta
perforasi kolon. Tanda-tanda peritonitis yaitu demam tinggi dan mengigil, bisa menjadi
hipotermia, takikardi, dehidrasi hingga menjadi hipotensi. Nyeri abdomen yang hebat,
dinding perut akan teras tegang karena iritasi peritoneum.
Tatalaksana utama pada peritonitis antara lain pemberian cairan dan elektrolit,
kontrol operatif terhadap sepsis dan pemberian antibiotik sistemik. Komplikasi
postoperatif sering terjadi dan umumnya dibagi menjadi komplikasi lokal dan sistemik.
Faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya tingkat mortalitas antara lain tipe penyakit
primer dan durasinya, keterlibatan kegagalan organ multipel sebelum pengobatan, serta
usia dan kondisi kesehatan awal pasien.
3.2 Saran
Setiap peritonitis harus ditangani secermat mungkin bila tidak ingin penyakit
berjalan terus. Source control harus dilaksanakan sebaik mungkin. Pemeriksaan kultur dan
resistensi harus diulang terutama pada mereka yang menunjukkan perjalanan penyakit
yang panjang dan berat. Awasi terjadinya perubahan organisme penyebab infeksi dan
gunakan obat yang sesuai resistensi dan tidak lagi menggantungkan pada antibiotik
spektrum luas.
20
DAFTAR PUSTAKA
21