BAB I
ILUSTRASI KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama
: Ny. NA
Usia
: 32 tahun
Alamat
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Usaha warung
Pendidikan
: -
Status
: Menikah
Masuk RSCM
ANAMNESIS
Keluhan utama
Kulit wajah, kedua lengan, dan kaki kiri melepuh karena terkena api sejak delapan jam
sebelum masuk rumah sakit.
Riwayat penyakit sekarang
Delapan jam SMRS, pasien sedang melayani pembeli di warungnya. Tiba-tiba kompor
minyak tanah dari dalam warung meledak dan menyambar bensin yang juga dijual di
warung tersebut. Pada saat api mulai menyambar warung, pasien berusaha keluar warung
sambil berlari. Namun pasien tetap tersambar api walaupun sangat sebentar. Terkurung
dalam ruangan (-), menghirup asap (-), sesak nafas (-), terbentur di kepala (-), pingsan (-),
pusing (-), mual (-), muntah (-)
Pasien kemudian dibawa ke RS Balaraja dan diberi perawatan luka dengan menggunakan
salep, kemudian dirujuk ke RS Tangerang dan diberikan perawatan luka dan obat suntik
(Tetagam, TT, dan Lanticet). Pasien kemudian dirujuk ke RSCM atas permintaan keluarga.
Riwayat penyakit dahulu
Alergi obat, hipertensi, DM, dan asma disangkal.
Riwayat penyakit keluarga
1
: deformitas (-), tampak bula pada sisi kiri wajah, bibir edema (+)
: kelopak atas mata kiri edema (+) dan tidak dapat dibuka, konjungtiva tidak
pucat, sklera tidak ikterik
Leher
THT
: sekret (-)
Dada
Abdomen
: datar, lemas, NT (-), tdk teraba massa, BU (+) normal, H/L ttb
Ekstremitas
Status lokalis
edema
:4%
Trunkus anterior
:0%
Trunkus posterior
:0%
:2%
:3%
bula
:2%
Genitalia
:0%+
Total
: 11 %
PEMERIKSAAN PENUNJANG
RUTIN
Keton
:+
Hemoglobin
: 13,3 g/dL
Darah/Hb
:+
Hematokrit
: 40 %
Bilirubin
:-
Leukosit
: 16700/L
Urobilinogen
: 0,2
Trombosit
: 343.000/L
Nitrit
:-
MCV
: 79 fl
Esterase leukosit
:-
MCH
: 27 pg
MCHC
: 34 g/dL
Lactate
: 2,7 mmol/L
KIMIA DARAH
Ureum
: 23 mg/dL
Creatinin
: 0,8 mg/dL
PT
: 10,8 detik
SGOT
: 21 U/L
PT kontrol
: 12 detik
SGPT
: 17 U/L
APTT
: 30,8 detik
Albumin
: 3,6 gr/dL
APTT kontrol
: 33,5 detik
GDS
: 105 mg/dL
URINALISIS
Na
: 144 meq/L
Sedimen
: 4,3 meq/L
Cl
: 108 meq/L
Sel epitel
:+
Leukosit
: 1-2
Eritrosit
: 10-11
Silinder
:-
pH
: 7,35
Kristal
:-
pCO2
: 35,2 mmHg
Bakteri
:-
pO2
: 103,8 mmHg
SO2%
: 97
Berat jenis
: 1.015
BE ect
: -6,1 mmol/L
pH
:5
Beb
: -4,6
Protein
:-
SBC
: 20,6
Glukosa
:-
HCO3
: 19,7 mmol/L
TCO2
: 20,7 mmol/L
DIAGNOSIS KERJA
Luka bakar grade II 11% ec. api
TATALAKSANA
-
12 tts/menit
500 ml/24 jam
Vitamin C 2x1 gr
Scott emulsion 3x1 C
Peptamen 6x100 mL
Oralit 2x200 mL
Rawat luka dengan madu
Pethidin 1 mg/kg/drip
PROGNOSIS
Quo ad Vitam
: Bonam
Quo ad Functionam
: Bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI DAN ETIOLOGI
Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang
disebabkan kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia, listrik, dan
radiasi. Luka bakar merupakan suatu jenis trauma dengan morbiditas dan mortalitas tinggi
yang memerlukan penatalaksanaan khusus sejak awal (fase syok) sampai fase lanjut.
Luka bakar dapat disebabkan oleh paparan api, baik secara langsung maupun tidak
langsung, misal akibat tersiram air panas yang banyak terjadi pada kecelakaan rumah
tangga. Selain itu, pajanan suhu tinggi dari matahari, listrik maupun bahan kimia juga
dapat menyebabkan luka bakar. Secara garis besar, penyebab terjadinya luka bakar dapat
dibagi menjadi:
Paparan api
o Flame: Akibat kontak langsung antara jaringan dengan api terbuka, dan
menyebabkan cedera langsung ke jaringan tersebut. Api dapat membakar
pakaian terlebih dahulu baru mengenai tubuh. Serat alami memiliki
kecenderungan untuk terbakar, sedangkan serat sintetik cenderung meleleh
atau menyala dan menimbulkan cedera tambahan berupa cedera kontak.
o Benda panas (kontak): Terjadi akibat kontak langsung dengan benda panas.
Luka bakar yang dihasilkan terbatas pada area tubuh yang mengalami
kontak. Contohnya antara lain adalah luka bakar akibat rokok dan alat-alat
dispersi oleh uap bertekanan tinggi. Apabila terjadi inhalasi, uap panas dapat
Derajat I
Pajanan hanya merusak epidermis sehingga masih menyisakan banyak jaringan
untuk dapat melakukan regenerasi. Luka bakar derajat I biasanya sembuh dalam 57 hari dan dapat sembuh secara sempurna. Luka biasanya tampak sebagai eritema
dan timbul dengan keluhan nyeri dan atau hipersensitivitas lokal. Contoh luka
bakar derajat I adalah sunburn.
Derajat II
Lesi melibatkan epidermis dan mencapai kedalaman dermis namun masih terdapat
epitel vital yang bisa menjadi dasar regenerasi dan epitelisasi. Jaringan tersebut
misalnya sel epitel basal, kelenjar sebasea, kelenjar keringat, dan pangkal rambut.
Dengan adanya jaringan yang masih sehat tersebut, luka dapat sembuh dalam 2-3
minggu. Gambaran luka bakar berupa gelembung atau bula yang berisi cairan
eksudat dari pembuluh darah karena perubahan permeabilitas dindingnya, disertai
rasa nyeri. Apabila luka bakar derajat II yang dalam tidak ditangani dengan baik,
dapat timbul edema dan penurunan aliran darah di jaringan, sehingga cedera
berkembang menjadi full-thickness burn atau luka bakar derajat III.
Derajat III
Mengenai seluruh lapisan kulit, dari subkutis hingga mungkin organ atau jaringan
yang lebih dalam. Pada keadaan ini tidak tersisa jaringan epitel yang dapat menjadi
dasar regenerasi sel spontan, sehingga untuk menumbuhkan kembali jaringan kulit
harus dilakukan cangkok kulit. Gejala yang menyertai justru tanpa nyeri maupun
bula, karena pada dasarnya seluruh jaringan kulit yang memiliki persarafan sudah
tidak intak.
Pada anak dan bayi digunakan rumus lain karena luas relatif permukaan kepala
anak jauh lebih besar dan luas relatif permukaan kaki lebih kecil. Karena
perbandingan luas permukaan bagian tubuh anak kecil berbeda, dikenal rumus 10
untuk bayi, dan rumus 10-15-20 untuk anak.
10
Lund and Browder chart illustrating the method for calculating the percentage of body surface area affected
by burns in children.
11
b. Luka bakar dengan luas 10 20 % pada anak usia < 10 tahun atau dewasa > 40
tahun, dengan luka bakar derajat III kurang dari 10 %
c. Luka bakar dengan derajat III < 10 % pada anak maupun dewasa yang tidak
mengenai muka, tangan, kaki, dan perineum
3. Luka bakar ringan
a. Luka bakar dengan luas < 15 % pada dewasa
b. Luka bakar dengan luas < 10 % pada anak dan usia lanjut
c. Luka bakar dengan luas < 2 % pada segala usia (tidak mengenai muka, tangan,
kaki, dan perineum
PATOFISIOLOGI LUKA BAKAR
Akibat pertama luka bakar adalah syok karena kaget dan kesakitan. Pembuluh
kapiler yang terpajan suhu tinggi rusak dan permeabilitas meninggi. Sel darah yang ada di
dalamnya ikut rusak sehingga dapat terjadi anemia. Meningkatnya permeabilitas
menyebabkan edema dan menimbulkan bula yang mengandung banyak elektrolit. Hal itu
menyebabkan berkurangnya volume cairan intravaskuler. Kerusakan kulit akibat luka
bakar menyebabkan kehilangan cairan akibat penguapan yang berlebihan, masuknya cairan
ke bula yang terbentuk pada luka bakar derajat II, dan pengeluaran cairan dari keropeng
luka bakar derajat III.
Bila luas luka bakar kurang dari 20%, biasanya mekanisme kompensasi tubuh
masih bisa mengatasinya, tetapi bila lebih dari 20%, akan terjadi syok hipovolemik dengan
gejala yang khas, seperti gelisah, pucat, dingin, berkeringat, nadi kecil dan cepat, tekanan
darah menurun dan produksi urin yang berkurang. Pembengkakan terjadi pelan-pelan,
maksimal terjadi setelah delapan jam. Pada kebakaran ruang tertutup atau bila luka terjadi
di wajah, dapat terjadi kerusakan mukosa jalan napas karena gas, asap atau uap panas yang
terisap. Edema laring yang ditimbulkannya dapat menyebabkan hambatan jalan napas
dengan gejala sesak napas, takipnea, stridor, suara serak dan dahak berwarna gelap akibat
jelaga.
Dapat juga terjadi keracunan gas CO atau gas beracun lainnya. CO akan mengikat
hemoglobin dengan kuat sehingga hemoglobin tak mampu lagi mengikat oksigen. Tanda
keracunan ringan adalah lemas, bingung, pusing, mual dan muntah. Pada keracunan yang
berat terjadi koma. Bila lebih dari 60% hemoglobin terikat CO, penderita dapat meninggal.
12
Setelah 12-24 jam, permeabilitas kapiler mulai membaik dan terjadi mobilisasi
serta penyerapan kembali cairan edema ke pembuluh darah. Ini ditandai dengan
meningkatnya diuresis.
Luka bakar sering tidak steril. Kontaminasi pada kulit mati, yang merupakan
medium yang baik untuk pertumbuhan kuman, akan mempermudah infeksi. Infeksi ini
sulit diatasi karena daerahnya tidak tercapai oleh pembuluh kapiler yang mengalami
trombosis. Padahal, pembuluh ini membawa sistem pertahanan tubuh atau antibiotik.
Kuman penyebab infeksi pada luka bakar, selain berasal dari dari kulit penderita sendiri,
juga dari kontaminasi kuman saluran napas atas dan kontaminasi kuman di lingkungan
rumah sakit. Infeksi nosokomial ini biasanya sangat berbahaya karena kumannya banyak
yang sudah resisten terhadap berbagai antibiotik.
Pada awalnya, infeksi biasanya disebabkan oleh kokus Gram positif yang berasal
dari kulit sendiri atau dari saluran napas, tetapi kemudian dapat terjadi invasi kuman Gram
negatif, Pseudomonas aeruginosa yang dapat menghasilkan eksotoksin protease dari toksin
lain yang berbahaya, terkenal sangat agresif dalam invasinya pada luka bakar. Infeksi
pseudomonas dapat dilihat dari warna hijau pada kasa penutup luka bakar. Kuman
memproduksi enzim penghancur keropeng yang bersama dengan eksudasi oleh jaringan
granulasi membentuk nanah.
Infeksi ringan dan noninvasif ditandai dengan keropeng yang mudah terlepas
dengan nanah yang banyak. Infeksi yang invasif ditandai dengan keropeng yang kering
dengan perubahan jaringan di tepi keropeng yang mula-mula sehat menadi nekrotik;
akibatnya, luka bakar yang mula-mula derajat II menjadi derajat III. Infeksi kuman
menimbulkan vaskulitis pada pembuluh kapiler di jaringan yang terbakar dan
menimbulkan trombosis sehingga jaringan yang didarahinya nanti.
Bila luka bakar dibiopsi dan eksudatnya dibiak, biasanya ditemukan kuman dan
terlihat invasi kuman tersebut ke jaringan sekelilingnya. Luka bakar demikian disebut luka
bakar septik. Bila penyebabnya kuman Gram positif, seperti stafilokokus atau basil Gram
negatif lainnya, dapat terjadi penyebaran kuman lewat darah (bakteremia) yang dapat
menimbulkan fokus infeksi di usus. Syok sepsis dan kematian dapat terjadi karena toksin
kuman yang menyebar di darah.
Bila penderita dapat mengatasi infeksi, luka bakar derajat II dapat sembuh dengan
meninggalkan cacat berupa parut. Penyembuhan ini dimulai dari sisa elemen epitel yang
masih vital, misalnya sel kelenjar sebasea, sel basal, sel kelenjar keringat, atau sel pangkal
rambut. Luka bakar derajat II yang dalam mungkin meninggalkan parut hipertrofik yang
13
nyeri, gatal, kaku dan secara estetik jelek. Luka bakar derajat III yang dibiarkan sembuh
sendiri akan mengalami kontraktur. Bila terjadi di persendian, fungsi sendi dapat berkurang
atau hilang.
Pada luka bakar berat dapat ditemukan ileus paralitik. Pada fase akut, peristalsis
usus menurun atau berhenti karena syok, sedangkan pada fase mobilisasi, peristalsis dapat
menurun karena kekurangan ion kalium.
Stres atau badan faali yang terjadi pada penderita luka bakar berat dapat
menyebabkan terjadinya tukak di mukosa lambung atau duodenum dengan gejala yang
sama dengan gejala tukak peptik. Kelainan ini dikenal sebagai tukak Curling.
Fase permulaan luka bakar merupakan fase katabolisme sehingga keseimbangan protein
menjadi negatif. Protein tubuh banyak hilang karena eksudasi, metabolisme tinggi dan
infeksi. Penguapan berlebihan dari kulit yang rusak juga memerluka kalori tambahan.
Tenaga yang diperlukan tubuh pada fase ini terutama didapat dari pembakaran protein dari
otot skelet. Oleh karena itu, penderita menjadi sangat kurus, otot mengecil, dan berat badan
menurun. Dengan demikian, korban luka bakar menderita penyakit berat yang disebut
penyakit luka bakar. Bila luka bakar menyebabkan cacat, terutama bila luka mengenai
wajah sehingga rusak berat, penderita mungkin mengalami beban kejiwaan berat. Jadi
prognosis luka bakar ditentukan oleh luasnya luka bakar.
FASE PADA LUKA BAKAR
Dalam perjalanan penyakit, dapat dibedakan menjadi tiga fase pada luka bakar,
yaitu:
1.
2.
3.
Fase lanjut
14
Fase ini berlangsung setelah penutupan luka sampai terjadinya maturasi jaringan.
Masalah yang dihadapi adalah penyulit dari luka bakar seperti parut hipertrofik,
kontraktur dan deformitas lain yang terjadi akibat kerapuhan jaringan atau struktur
tertentu akibat proses inflamasi yang hebat dan berlangsung lama
Pembagian zona kerusakan jaringan:
1. Zona koagulasi, zona nekrosis
Merupakan daerah yang langsung mengalami kerusakan (koagulasi protein) akibat
pengaruh cedera termis, hampir dapat dipastikan jaringan ini mengalami nekrosis
beberapa saat setelah kontak. Oleh karena itulah disebut juga sebagai zona
nekrosis.
2. Zona statis
Merupakan daerah yang langsung berada di luar/di sekitar zona koagulasi. Di
daerah ini terjadi kerusakan endotel pembuluh darah disertai kerusakan trombosit
dan leukosit, sehingga terjadi gangguam perfusi (no flow phenomena), diikuti
perubahan permeabilitas kapilar dan respon inflamasi lokal. Proses ini berlangsung
selama 12-24 jam pasca cedera dan mungkin berakhir dengan nekrosis jaringan.
3. Zona hiperemi
Merupakan daerah di luar zona statis, ikut mengalami reaksi berupa vasodilatasi
tanpa banyak melibatkan reaksi selular. Tergantung keadaan umum dan terapi yang
diberikan, zona ketiga dapat mengalami penyembuhan spontan, atau berubah
menjadi zona kedua bahkan zona pertama.
INDIKASI RAWAT INAP PASIEN LUKA BAKAR
Menurut American Burn Association, seorang pasien diindikasikan untuk dirawat
inap bila:
1. Luka bakar derajat III > 5%
2. Luka bakar derajat II > 10%
3. Luka bakar derajat II atau III yang melibatkan area kritis (wajah, tangan, kaki,
genitalia, perineum, kulit di atas sendi utama) risiko signifikan untuk masalah
kosmetik dan kecacatan fungsi
4. Luka bakar sirkumferensial di thoraks atau ekstremitas
5. Luka bakar signifikan akibat bahan kimia, listrik, petir, adanya trauma mayor
lainnya, atau adanya kondisi medik signifikan yang telah ada sebelumnya
6. Adanya trauma inhalasi
PEMERIKSAAN PENUNJANG
15
1. Intubasi
Tindakan intubasi dikerjakan sebelum edema mukosa menimbulkan manifestasi
obstruksi. Tujuan intubasi mempertahankan jalan nafas dan sebagai fasilitas
pemelliharaan jalan nafas.
2. Krikotiroidotomi
Bertujuan sama dengan intubasi hanya saja dianggap terlalu agresif dan
menimbulkan
morbiditas
Krikotiroidotomi
kelebihan dan keuntungan dari berbagai macam cairan seperti kristaloid, hipertonik,
koloid, dan sebagainya pada waktu yang tepat. Dengan adanya resusitasi cairan yang
tepat, kita dapat mengupayakan stabilisasi pasien secepat mungkin kembali ke kondisi
fisiologik dalam persiapan menghadapi intervensi bedah seawal mungkin.
Resusitasi cairan dilakukan dengan memberikan cairan pengganti. Ada beberapa
cara untuk menghitung kebutuhan cairan ini:
Cara Evans
1. Luas luka bakar (%) x BB (kg) menjadi mL NaCl per 24 jam
2. Luas luka bakar (%) x BB (kg) menjadi mL plasma per 24 jam
3. 2.000 cc glukosa 5% per 24 jam
Separuh dari jumlah 1+2+3 diberikan dalam 8 jam pertama. Sisanya diberikan
dalam 16 jam berikutnya. Pada hari kedua diberikan setengah jumlah cairan hari
pertama. Pada hari ketiga diberikan setengah jumlah cairan hari kedua.
Cara Baxter
Luas luka bakar (%) x BB (kg) x 4 mL
Separuh dari jumlah cairan diberikan dalam 8 jam pertama. Sisanya diberikan
dalam 16 jam berikutnya. Pada hari kedua diberikan setengah jumlah cairan hari
pertama. Pada hari ketiga diberikan setengah jumlah cairan hari kedua.
c.
Resusitasi nutrisi
Pada pasien luka bakar, pemberian nutrisi secara enteral sebaiknya dilakukan sejak
dini dan pasien tidak perlu dipuasakan. Bila pasien tidak sadar, maka pemberian nutrisi
dapat melalui naso-gastric tube (NGT). Nutrisi yang diberikan sebaiknya mengandung
10-15% protein, 50-60% karbohidrat dan 25-30% lemak. Pemberian nutrisi sejak awal
ini dapat meningkatkan fungsi kekebalan tubuh dan mencegah terjadinya atrofi vili
usus. Dengan demikian diharapkan pemberian nutrisi sejak awal dapat membantu
mencegah terjadinya SIRS dan MODS.
18
Tetapi ada juga yang menyatakan pemberian methadone (5-10 mg dosis dewasa) setiap 8
jam merupakan terapi penghilang nyeri kronik yang bagus untuk semua pasien luka bakar
dewasa. Jika pasien masih merasakan nyeri walau dengan pemberian morfin atau
methadone, dapat juga diberikan benzodiazepine sebagai tambahan.
Terapi pembedahan pada luka bakar
1. Eksisi dini
Eksisi dini adalah tindakan pembuangan jaringan nekrosis dan debris (debridement)
yang dilakukan dalam waktu kurang dari 7 hari (biasanya hari ke 5-7) pasca cedera
termis. Dasar dari tindakan ini adalah:
a.
b.
penyembuhan.
Memutus rantai proses inflamasi yang dapat berlanjut menjadi komplikasi
komplikasi luka bakar (seperti SIRS). Hal ini didasarkan atas jaringan nekrosis
yang melepaskan burn toxic (lipid protein complex) yang menginduksi
c.
melalui infus. Tindakan ini digunakan untuk mengatasi kasus luka bakar derajat II
dalam dan derajat III. Tindakan ini diikuti tindakan hemostasis dan juga skin grafting
(dianjurkan split thickness skin grafting). Tindakan ini juga tidak akan mengurangi
mortalitas pada pasien luka bakar yang luas. Kriteria penatalaksanaan eksisi dini
ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu:
19
Kasus luka bakar dalam yang diperkirakan mengalami penyembuhan lebih dari
3 minggu.
Kondisi fisik yang memungkinkan untuk menjalani operasi besar.
Tidak ada masalah dengan proses pembekuan darah.
Tersedia donor yang cukup untuk menutupi permukaan terbuka yang timbul.
Eksisi dini diutamakan dilakukan pada daerah luka sekitar batang tubuh posterior.
Eksisi dini terdiri dari eksisi tangensial dan eksisi fasial.
Eksisi tangensial adalah suatu teknik yang mengeksisi jaringan yang terluka lapis
demi lapis sampai dijumpai permukaan yang mengeluarkan darah (endpoint). Adapun
alat-alat yang digunakan dapat bermacam-macam, yaitu pisau Goulian atau Humbly
yang digunakan pada luka bakar dengan luas permukaan luka yang kecil, sedangkan
pisau Watson maupun mesin yang dapat memotong jaringan kulit perlapis (dermatom)
digunakan untuk luka bakar yang luas. Permukaan kulit yang dilakukan tindakan ini
tidak boleh melebihi 25% dari seluruh luas permukaan tubuh. Untuk memperkecil
perdarahan dapat dilakukan hemostasis, yaitu dengan tourniquet sebelum dilakukan
eksisi atau pemberian larutan epinephrine 1:100.000 pada daerah yang dieksisi. Setelah
dilakukan hal-hal tersebut, baru dilakukan skin graft. Keuntungan dari teknik ini
adalah didapatnya fungsi optimal dari kulit dan keuntungan dari segi kosmetik.
Kerugian dari teknik adalah perdarahan dengan jumlah yang banyak dan endpoint
bedah yang sulit ditentukan.
Eksisi fasial adalah teknik yang mengeksisi jaringan yang terluka sampai lapisan
fascia. Teknik ini digunakan pada kasus luka bakar dengan ketebalan penuh (full
thickness) yang sangat luas atau luka bakar yang sangat dalam. Alat yang digunakan
pada teknik ini adalah pisau scalpel, mesin pemotong electrocautery. Adapun
keuntungan dan kerugian dari teknik ini adalah:
-
2. Skin grafting
Skin grafting adalah metode penutupan luka sederhana. Tujuan dari metode ini
adalah:
a. Menghentikan evaporate heat loss
b. Mengupayakan agar proses penyembuhan terjadi sesuai dengan waktu
20
PROGNOSIS
Prognosis dan penanganan luka bakar terutama tergantung pada dalam dan luasnya
permukaan luka bakar, dan penanganan sejak awal hingga penyembuhan. Selain itu faktor
letak daerah yang terbakar, usia dan keadaan kesehatan penderita juga turut menentukan
kecepatan penyembuhan.
21
Penyulit juga mempengaruhi progonosis pasien. Penyulit yang timbul pada luka bakar
antara lain gagal ginjal akut, edema paru, SIRS, infeksi dan sepsis, serta parut hipertrofik
dan kontraktur.
KOMPLIKASI
Sistemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), Multi-system Organ Dysfunction
Syndrome (MODS),dan Sepsis
Pendahuluan
SIRS adalah suatu bentuk respon klinik yang bersifat sistemik terhadap berbagai
stimulus klinik berat akibat infeksi ataupun noninfeksi seperti trauma, luka bakar, reaksi
autoimun, sirosis, pankreatitis, dll.
Respon ini merupakan dampak dari pelepasan mediator-mediator inflamasi
(proinflamasi) yang mulanya bersifat fisiologik dalam proses penyembuhan luka, namun
oleh karena pengaruh beberapa faktor predisposisi dan faktor pencetus, respon ini berubah
secara berlebihan (mengalami eksagregasi) dan menyebabkan kerusakan pada organ-organ
sistemik, menyebabkan disfungsi dan berakhir dengan kegagalan organ terkena
menjalankan fungsinya; MODS (Multi-system Organ Disfunction Syndrome) bahkan
sampai kegagalan berbagai organ (Multi-system Organ Failure/MOF).
SIRS dan MODS merupakan penyebab utama tingginya angka mortalitas pada
pasien luka bakar maupun trauma berat lainnya. Dalam penelitian dilaporkan SIRS dan
MODS keduanya menjadi penyebab 81% kematian pasca trauma; dan dapat dibuktikan
pula bahwa SIRS sendiri mengantarkan pasien pada MODS.
Ada 5 hal yang bisa menjadi aktivator timbulnya SIRS, yaitu infection, injury,
inflamation, inadequate blood flow, dan ischemia-reperfusion injury. Kriteria klinik yang
digunakan, mengikuti hasil konsensus American College of Chest phycisians dan the
Society of Critical Care Medicine tahun 1991, yaitu bila dijumpai 2 atau lebih menifestasi
berikut selama beberapa hari, yaitu:
-
Takipneu (frekuensi nafas > 20x/menit) atau tekanan parsial CO2 rendah
(PaCO2 < 32 mmHg)
22
Bila diperoleh bukti bahwa infeksi sebagai penyebab (dari hasil kultur
darah/bakteremia), maka SIRS disebut sebagai sepsis. SIRS akan selalu berkaitan dengan
MODS karena MODS merupakan akhir dari SIRS.
Pada dasarnya MODS adalah kumpulan gejala dengan adanya gangguan fungsi
organ pada pasien akut sedemikian rupa, sehingga homeostasis tidak dapat dipertahankan
tanpa intervensi. Bila ditelusuri lebih lanjut, SIRS sebagai suatu proses yang
berkesinambungan sehingga dapat dimengerti bahwa MODS menggambarkan kondisi
lebih berat dan merupakan bagian akhir dari spektrum keadaan yang berawal dari SIRS.
Patofisiologi
Perjalanan SIRS dijelaskan menurut teori yang dikembangkan oleh Bone dalam
beberapa tahap.
Tahap I
Respon inflamasi sistemik didahului oleh suatu penyebab, misalnya luka bakar atau
trauma berat lainnya. Kerusakan lokal merangsang pelepasan berbagai mediator proinflamasi seperti sitokin; yang selain membangkitkan respon inflamasi juga berperan pada
proses penyembuhan luka dan mengerahkan sel-sel retikuloendotelial. Sitokin adalah
pembawa pesan fisiologik dari respon inflamasi. Molekul utamanya meliputi Tumor
Necrotizing Factor (TNF), interleukin (IL1, IL6), interferon, Colony Stimulating Factor
(CSF), dan lain-lain. Efektor selular respon inflamasi adalah sel-sel PMN, monosit,
makrofag, dan sel-sel endotel. Sel-sel untuk sitokin dan mediator inflamasi sekunder
seperti prostaglandin, leukotrien, thromboxane, Platelet Activating Factor (PAF), radikal
bebas, oksida nitrit, dan protease. Endotel teraktivasi dan lingkungan yang kaya sitokin
mengaktifkan kaskade koagulasi sehingga terjadi trombosis lokal. Hal ini mengurangi
kehilangan darah melalui luka, namun disamping itu timbul efek pembatasan (walling off)
jaringan cedera sehingga secara fisiologik daerah inflamasi terisolasi.
Tahap II
Sejumlah kecil sitokin yang dilepaskan ke dalam sirkulasi justru meningkatkan
respon lokal. Terjadi pergerakan makrofag, trombosit dan stimulasi produksi faktor
pertumbuhan (Growth Factor/GF). Selanjutnya dimulailah respon fase akut yang
terkontrol secara simultan melalui penurunan kadar mediator proinflamasi dan pelepasan
antagonis endogen (antagonis reseptor IL1 dan mediator-mediator anti-inflamasi lain
seperti IL4, IL10, IL11, reseptor terlarut TNF (Transforming Growth Factor/TGF). Dengan
demikian mediator-mediator tersebut menjaga respon inflamasi awal yang dikendalikan
23
dengan baik oleh down regulating cytokine production dan efek antagonis terhadap sitokin
yang telah dilepaskan. Keadaan ini berlangsung hingga homeostasis terjaga.
Tahap III
Jika homeostasis tidak dapat dikembalikan, berkembang tahap III (SIRS); terjadi
reaksi sistemik masif. Efek predominan dari sitokin berubah menjadi destruktif. Sirkulasi
dibanjiri mediator-mediator inflamasi sehingga integritas dinding kapiler rusak. Sitokin
merambah ke dalam berbagai organ dan mengakibatkan kerusakan. Respon destruktif
regional dan sistemik (terjadi peningkatan vasodilatasi perifer, gangguan permeabilitas
mikrovaskular, akselerasi trombosis mikrovaskular, aktivasi sel leukosit-endotel) yang
mengakibatkan perubahan-perubahan patologik di berbagai organ. Jika reaksi inflamasi
tidak dapat dikendalikan, terjadi syok septik, Disseminated Intravascular Coagulation
(DIC), ARDS, MODS, dan kematian.
MODS merupakan bagian akhir dari spektrum klinis SIRS. Pada pasien luka bakar
dapat dijumpai secara kasar 30% kasus mengalami MODS. Ada 3 teori yang menjelaskan
timbulnya SIRS, MODS dan sepsis; yang mana ketiganya terjadi secara simultan.
Teori pertama menyebutkan bahwa syok yang terjadi menyebabkan penurunan
penurunan sirkulasi di daerah splangnikus, perfusi ke jaringan usus terganggu
menyebabkan disrupsi mukosa saluran cerna. Disrupsi mukosa menyebakan fungsi mukosa
sebagai barrier berkurang/hilang, dan mempermudah terjadinya translokasi bakteri.
Bakteri yang mengalami translokasi umumnya flora normal usus yang bersifat komensal,
berubah menjadi oportunistik; khususnya akibat perubahan suasana di dalam lumen usus
(puasa, pemberian antasida dan beberapa jenis antibiotika). Selain kehilangan fungsi
sebagai barrier terhadap kuman, daya imunitas juga berkurang (kulit, mukosa), sehingga
mudah dirusak oleh toksin yang berasal dari kuman (endo atau enterotoksin). Pada kondisi
disrupsi, bila pasien dipuasakan, maka proses degenerasi mukosa justru berlanjut menjadi
atrofi mukosa usus yang dapat memperberat keadaan.
Gangguan sirkulasi ke berbagai organ menyebabkan kondisi-kondisi yang memicu
SIRS. Gangguan sirkulasi serebral menyebabkan disfungsi karena gangguan sistem
autoregulasi serebral yang memberi dampak sistemik (ensefelopati). Gangguan sirkulasi ke
ginjal menyebabkan iskemi ginjal khususnya tubulus berlanjut dengan Acute Tubular
Necrosis (ATN) yang berakhir dengan gagal ginjal (Acute Renal Failure/ARF). Gangguan
sirkulasi perifer menyebabkan iskemi otot-otot dengan dampak pemecahan glikoprotein
yang meningkatkan produksi Nitric Oxide (NO); NO ini berperan sebagai modulator
24
sepsis. Gangguan sirkulasi ke kulit dan sitem integumen menyebabkan terutama gangguan
sistim imun; karena penurunan produksi limfosit dan penurunan fungsi barrier kulit.
Teori kedua menjelaskan pelepasan Lipid Protein Complex (LPC) yang sebelumnya
dikenal dengan burn toxin dari jaringan nekrosis akibat cedera termis. LPC memiliki
toksisitas ribuan kali di atas endotoksin dalam merangsang pelepasan mediator proinflamasi; namun pelepasan LPC ini tidak ada hubungannya dengan infeksi. Respon yang
timbul mulanya bersifat lokal, terbatas pada daerah cedera; kemudian berkembang menjadi
suatu bentuk respon sistemik.
Teori ketiga menjelaskan kekacauan sistem metabolisme (hipometabolik pada fase
akut dilanjutkan hipermetabolik pada fase selanjutnya) yang menguras seluruh modalitas
tubuh khususnya sistim imunologi. Mediator-mediator pro-inflamasi yang dilepas ke
sirkulasi sebagai respon terhadap suatu cedera tidak hanya menyerang benda asing atau
toksin yang ada; tetapi juga menimbulkan kerusakan pada jaringan organ sistemik. Kondisi
ini dimungkinkan karena luka bakar merupakan suatu bentuk trauma yang bersifat
imunosupresif.
Tatalaksana
Penatalaksanaan luka bakar bersifat lebih agresif dan bertujuan mencegah
perkembangan SIRS, MODS, dan sepsis.
Pemberian Nutrisi Enteral Dini (NED) melalui pipa nasogastrik dalam 8 jam
pertama pasca cedera. Selain bertujuan mencegah terjadinya atrofi mukosa usus,
pemberian NED ini bertitik tolak mencegah dan mengatasi kondisi hipometabolik pada
fase akut / syok dan mengendalikan status hiperkatabolisme yang terjadi pada fase flow.
Pemberian antasida dan antibiotika tidak dibenarkan karena akan merubah pola / habitat
kuman yang mengganggu keseimbangan flora usus.
Jaringan nekrosis maupun jaringan non vital lainnya yang disebabkan cedera termis
harus segera dilakukan nekrotomi dan debridement, dan dilakukan sedini mungkin (eksisi
dini, hari ketiga-keempat pasca cedera luka bakar sedang, hari ketujuh-kedelapan pada
luka bakar berat), bahkan bila memungkinkan dilakukan penutupan segera (immediate skin
grafting) untuk mengatasi berbagai masalah akibat kehilangan kulit sebagai penutup
(mencegah evaporative heat loss yang menimbulkan gangguan metabolisme), barrier
terhadap kuman dan proses inflamasi berkepanjangan yang mempengaruhi proses
penyembuhan, tidak menunggu jaringan granulasi yang dalam hal ini mengulur waktu dan
memperberat stres metabolisme.
25
BAB III
PEMBAHASAN KASUS
26
Ny. NA, usia 32 tahun datang dengan keluhan kulit wajah, kedua lengan, dan kaki
kiri melepuh karena terkena api sejak delapan jam sebelum masuk rumah sakit. Kulit yang
melepuh diakibatkan tersambar api dari kompor minyak tanah yang tiba-tiba meledak dan
menyambar bensin. Pasien tersambar api dalam jangka waktu yang sangat sebentar. Pasien
tidak terkurung dalam ruangan. Tidak ada keluhan sesak nafas, pusing, mual, maupun
muntah.
Pasien datang masih dalam fase akut luka bakar. Maka perlu diperhatikan ABCD
dari pasien. Dari pemeriksaan umum tidak ditemukan bulu hidung yang terbakar. Hal ini
dapat menyingkirkan adanya cedera inhalasi. Pernapasan normal dan tidak ada eskar
melingkar yang dapat menghalangi pergerakan pernapasan. Tekanan darah pasien sedikit
menurun yaitu 100/80 mmHg dengan frekuensi nadi yang meningkat yaitu 112x/menit. Hal
ini dapat menunjukkan adanya gangguan pada sistem kardiovaskular akibat terjadinya
hipovolemik yang diakibatkan penguapan berlebih dan keluarnya cairan intravaskular.
Pada tubuh ditemukan luka bakar di wajah sebelah kiri (4%), lengan kanan (2%),
lengan kiri (3%), dan kaki kiri (2%). Luas luka ditentukan menurut diagram rules of nine
dari Wallace. Total luas luka bakar mencapai 11% dengan kedalaman derajat II.
Luka bakar pada pasien ini digolongkan derajat II sebab kerusakan meliputi
epidermis dan sebagian dermis yang terlihat dari reaksi inflamasi akut dan proses eksudasi,
ditemukan bula, dasar luka berwarna merah atau pucat dan nyeri akibat iritasi ujung saraf
sensorik. Luka bakar pada pasien tidak digolongkan dalam derajat I sebab pada luka bakar
derajat I kelainannya hanya berupa eritema, kulit kering, nyeri tanpa disertai eksudasi.
Luka bakar juga tidak digolongkan dalam derajat III sebab pada luka bakar derajat III
dijumpai kulit terbakar berwarna abu-abu dan pucat, letaknya lebih rendah (cekung)
dibandingkan kulit sekitar dan tidak dijumpai rasa nyeri/hilang sensasi akibat kerusakan
total ujung serabut saraf sensoris.
Dari pemeriksaan laboratorium darah tepi ditemukan peningkatan leukosit.
Peningkatan leukosit ini disebabkan oleh reaksi inflamasi pada fase akut luka bakar. Pada
pemeriksaan urin ditemukan banyak eritrosit. Ditemukan pula peningkatan laktat. Hal ini
perlu dipantau untuk deteksi dini, karena hal ini dapat menyebabkan kerusakan tubulus
ginjal yang permanen.
Penatalaksanaan yang dilakukan adalah resusitasi cairan. Dengan cara Baxter dapat
dihitung kebutuhan cairan pasien yaitu:
4 x BB x % luka bakar = 4 x 55 x 11 = 2.420 mL / 24 jam
Pada 8 jam pertama pasien diberikan 1.210 mL. Kemudian pada 16 jam kemudian
27
diberikan cairan sebanyak 1.210 mL. Pada hari kedua diberikan cairan sebanyak setengah
cairan pertama yaitu 1.210 mL/24 jam. Pada hari ketiga jumlah cairan kembali dikurangi
setengahnya menjadi 605 mL/24 jam. Jumlah cairan dapat dikurangi bahkan dihentikan
bila diuresis pasien memuaskan dan pasien dapat minum tanpa kesulitan.
Setelah itu dilakukan perawatan luka bakar. Luka bakar dibersihkan dengan air
hangat yang mengalir. Hal ini merupakan cara terbaik untuk menurunkan suhu di daerah
cedera, sehingga dapat menghentikan proses kombusio pada jaringan. Untuk menutup
luka, digunakan kasa lembab steril menggunakan cairan RL atau salep untuk mencegah
penguapan. Balutan dinilai dalam waktu 24-48 jam. Bula yang luas dengan akumulasi
transudat, akan menyebabkan penarikan cairan ke dalam bula sehinggamenyebabkan
gangguan keseimbangan cairan. Oleh karena itu perlu dilakukan insisi. Insisi ini bertujuan
untuk mengeluarkan cairan transudat tanpa membuang epidermis yang terlepas. Kemudian
epidermis yang terlepas ini dijadikan penutup luka (biological dressing) seperti split
thickness skin graft (STSG). Setelah itu diletakkan tulle di atas graft tersebut dan
membungkusnya dengan kasa lembab selama 2-3 hari, kemudian diberikan salep antibiotik
sampai terjadinya epitelisasi. Pada bula-bula yang kecil cukup dilakukan aspirasi
menggunakan semprit dan dilakukan sebagaimana pada bula yang luas.
Prognosis ad vitam pada pasien ini adalah bonam karena penyakit ini sudah
didiagnosis dan saat ini tidak mengancam nyawa. Prognosis ad functionam pada pasien ini
adalah bonam karena sesuai dengan luas dan kedalaman luka, penyembuhan dapat terjadi
secara spontan dan telah dilakukan terapi pengobatan yang adekuat terhadap luka bakar.
Prognosis ad sanactionam pada pasien ini adalah bonam karena faktor penyebab dapat
dihindari dan tidak ada angka rekurensi.
DAFTAR PUSTAKA
28
1.
2.
3.
4.
JM,
Halamka
J,
Adler
J,
editors.
Diunduh
dari:
29