serotype typhi. Demam tifoid merupakan manifestasi dari adanya infeksi akut pada
usus halus yang mengakibatkan gejala sistemik atau menyebabkan enteritis akut.1
Demam tifoid merupakan permasalahan kesehatan penting di banyak negara
berkembang. Secara global, diperkirakan 17 juta orang mengidap penyakit ini tiap
tahunnya. Kebanyakan penyakit ini terjadi pada penduduk negara dengan
pendapatan yang rendah, terutama pada daerah Asia Tenggara, Afrika, dan Amerika
Latin. Di Sulawesi Selatan, Indonesia. Demam typhoid merupakan salah satu dari
penyakit infeksi terpenting. Penyakit ini endemik diseluruh daerah di provinsi ini dan
merupakan penyakit infeksi terbanyak keempat yang dilaporkan dari seluruh 24
kabupaten. Di Sulawesi Selatan, typhoid merupakan penyebab terpenting terjadinya
septisemia terkait komunitas, dengan insiden rate yang dilaporkan melebihi
2500/100.000 penduduk.2
Penyakit typhoid hanya terdapat pada manusia. Karier serotype typhi merupakan
reservoir utamanya. Beberapa pasien dapat menjadi karier kronik selama bertahuntahun, terutama karena infeksi kronik pada kelenjar empedu dan traktus billiaris
ditemukan. Jika pasien dengan typhoid belum pernah berkunjung di daerah yang
endemik, sumbernya pasti berasal dari pengunjung daerah pasien atau orang lain
yang menyediakan makanan. Bakteri ini dapat tersebar melalui sumber air pada
area daerah berkembang atau daerah yang mengalami kerusakan pada sistem
saluran air bersih. Penyebaran melalui rute fekal-oral. Dosis infeksius adalah 105
hingga 106 dan berkurang jika terdapat antigen Vi kapsuler.3
Tanda dari demam typhoid adalah invasi dan multiplikasi bakteri Salmonella typhiii
pada sel mononuklear fagositik pada hati, limpa, nodus limfe, dan peyer patches
dari ileum. Setelah tertelan, organisme ini melalui traktus gastrointestinal bagian
atas hingga ke usus halus, tempat bakteri ini menginvasi secara langsung atau
berganda sebelum invasi. Sel M yaitu sel epitellial yang melapisi Peyers patches
merupakan tempat potensial S.typhii untuk menginvasi dan sebagai portal
transportasi menuju jaringan lympoid sekitar. Setelah penetrasi ini terjadi,
organisme ini menuju ke folikel lymphoid usus dan nodus lymphe mesenterica.
Salmonella dapat menghindari asidifikasi dari sel fagosom, sehingga dapat bertahan
pada follikel lymphoid, nodus lymphoid, hati, dan limpa. Pada keaadan ini terdapat
perubahan degeneratif, proliferatif, dan granulomatosa pada villi, kelenjar kript, dan
lamina propria pada usus halus dan kelenjar lymphe mesenterica. Pada keadaan
tertentu yang dipengaruhi oleh keadaan imun host, jumlah dan virulensi bakteri,
akan terlepas dari habitat lingkungan intrasel usus dan masuk ke pembuluh darah
sehingga akan memicu mediator yang akan memicu gejala klinis. 4
Mukosa yang nekrotik pada usus kemudian membentuk kerak, yang dalam minggu
ketiga akan lepas sehingga terbentuk ulkus yang berbentuk bulat atau lonjong tak
teratur dengan sumbu panjang ulkus sejajar dengan sumbu usus. Pada umumnya
ulkus tidak dalam meskipun tidak jarang jika submukosa terkena, dasar ulkus dapat
mencapai dinding otot dari usus bahkan dapat mencapai membran serosa.
Pada waktu kerak lepas dari mukosa yang nekrotik dan terbentuk ulkus, maka
perdarahan yang hebat dapat terjadi atau juga perforasi dari usus. Kedua
komplikasi tersebut yaitu perdarahan hebat dan perforasi merupakan penyebab
yang paling sering menimbulkan kematian pada penderita demam tifoid. Meskipun
demikian, beratnya penyakit demam tifoid tidak selalu sesuai dengan beratnya
ulserasi. Toksemia yang hebat akan menimbulkan demam tifoid yang berat
sedangkan terjadinya perdarahan usus dan perforasi menunjukkan bahwa telah
terjadi ulserasi yang berat. Sedangkan perdarahan usus dan perforasi menunjukkan
bahwa telah terjadi ulserasi yang berat. Pada serangan demam tifoid yang ringan
dapat terjadi baik perdarahan maupun perforasi.1
Manifestasi klinis dan tingkat morbiditas demam typhoid bervariasi pada beberapa
populasi yang diteliti. Sekitar 60 hingga 90 % pasien dengan demam tyhpoid tidak
mendapatkan perhatian medis yang cukup atau diperlakukan sebagai pasien rawat
jalan.
Setelah pasien menelan S.enterica serotype typhi, suatu periode asimptomatis akan
terjadi yang biasanya selama 7 hingga 14 hari. Onset bakteremia ditandai dengan
demam dan malaise. Pasien biasanya datang ke klinik atau rumah sakit pada akhir
minggu pertama setelah onset gekala demam terjadi, gejala mirip influenza seperti
menggigil, nyeri kepala bagian frontal, malaise, anorexia, nausea, nyeri abdominal
yang tidak terlokalisir, batuk kering, dan myalgia namun dengan sedikit tanda
fisik.5 Lidah kotor, nyeri perut, hepatomegali, dan splenomegali umum terjadi.
Bradikardia relatif cenderung ditemukan pula akan tetapi pada banyak daerah
tertentu bukan merupakan gejala yang umum didapatkan.1
Pada mulanya demam berderajat rendah, akan tetapi kemudian meningkat secara
progresif dan pada minggu kedua menjadi lebih tinggi dan cenderung terus
menerus (39 hingga 400C). Ruam kulit (rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh
dan terbatas pada abdomen disalah satu sisi dan tidak merata, bercak-bercak ros
(roseola) akan tetapi sering tidak terlihat pada pasien berwarna kulit gelap.5
Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir minggu. Hal itu
jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati. Bila keadaan membaik, gejalagejala akan berkurang dan temperatur mulai turun. Meskipun demikian justru pada
saat ini komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi, akibat
lepasnya kerak dari ulkus. Sebaliknya jika keadaan makin memburuk, dimana
toksemia memberat dengan terjadinya tanda-tanda khas berupa delirium atau
stupor,otot-otot bergerak terus, inkontinensia alvi dan inkontinensia urin.
Meteorisme dan timpani masih terjadi, juga tekanan abdomen sangat meningkat
diikuti dengan nyeri perut. Penderita kemudian mengalami kolaps. Jika denyut nadi
sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal maupun umum, maka hal ini
menunjukkan telah terjadinya perforasi usus sedangkan keringat
dingin,gelisah,sukar bernapas dan kolaps dari nadi yang teraba denyutnya memberi
gambaran adanya perdarahan. Degenerasi miokardial toksik merupakan penyebab
umum dari terjadinya kematian penderita demam tifoid pada minggu ketiga.1
Pada mereka yang mendapatkan infeksi ringan dengan demikia juga hanya
menghasilkan kekebalan yang lemah,kekambuhan dapat terjadi dan berlangsung
dalam waktu yang pendek.Kekambuhan dapat lebih ringan dari serangan primer
tetapi dapat menimbulkan gejala lebih berat daripada infeksi primer
tersebut.Sepuluh persen dari demam tifoid yang tidak diobati akan mengakibatkan
timbulnya relaps.1
Walaupun yang paling berperan dalam penegakkan diagnosis typhoid adalah kultur
darah positif, tes ini hanya menunjukkan positif pada 40 60% kasus. Biasanya
pada perjalanan awal penyakit ini. Kultur urin dan tinja menjadi positif setelah
infeksi pada akhir minggu pertama atau minggu kedua, akan tetapi sensitivitasnya
sangatlah kecil. Pada kebanyakan negara berkembang, tersebarnya antibiotik
secara meluas dan pemberian antibiotik merupakan kemungkinan alasan
rendahnya sensitivitas kultur darah. Walaupun kultur sum-sum tulang lebih sensitif,
pemeriksaan ini sulit dilakukan, karena relatif infasif, dan kurang dapat diterapkan
pada pelayanan kesehatan umum. Kebanyakan pemeriksaan hematologik kurang
begitu spesifik. Leukosit darah biasanya rendah, akan tetapi leukositosis dapat pula
terjadi pada anak yang lebih muda.Thrombositopenia mungkin menjadi petanda
beratnya penyakit. Tes fungsi hati dapat tidak normal akan tetapi disfungsi hati
yang bermakna jarag terjadi. Pemeriksaan tes widal mengukur antibodi terhadap
antigen O dan H dari S.typhi dan telah digunakan berpuluh-puluh tahun. Walaupun
sepertinya sederhana dan mudah dikerjakan, pemeriksaan ini memiliki sensitivitas
dan spesifitas yang kurang dan dengan hanya mengandalkan pemeriksaan ini
biasanya menyebabkan overdiagnosis. Pemeriksaan diagnostik terbaru telah
dikembangkan- seperti Typhidot atau Tubex yang secara langsung mendeteksi
antibodi IgM terhadap antigen spesifik S typhi akan tetapi pemeriksaan ini tidak
terbukti mudah dikerjakan pada evaluasi berskala besar pada komunitas. Reaksi
rantai polimerase menggunakan H1-d primer telah digunakan untuk
mengamplifikasi gen S typhi spesifik pada darah pasien dan merupakan alat yang
menjanjikan untuk menegakkan diagnosis dengan cepat.2,6,7
Pada penelitian yang dilakukan oleh Herath, ditemukan pula teknik mendeteksi
keberadaan S typhii dengan menggunakan teknik ELISA yang dikembangkan untuk
saliva pasien (yang dapat diambil dengan metode non-infasif dan mudah dilakukan)
sehingga akan didapatkan antibodi IgA terhadap S typhii. Pemeriksaan ini terbukti
sangat sensitif, spesifik, dan efisien. Penelitian ini menyimpulkan pemeriksaan
paling efisien dilakukan pada minggu kedua hingga ketiga setelah demam terjadi.8