Anda di halaman 1dari 14

TIU 1 Memahami dan menjelaskan Anatomi makro dan mikro

1.1 Anatomi makro femur (tulang femur)


ujung atas femur memiliki caput, collum, dan trochanter mayor dan minor. Bagian caput
berartikulasi dengan fossa acetabulum pada os coxae. Pada pusat caput terdapat lekukan
kecil yang disebut fovea capitis, yaitu tempat perlekatan ligamen dari caput.
Bagian collum, yang menghubungkan kepala pada batang femur, berjalan kebawah,
kebelakang, dan lateral dan membentuk sudut 125 derajat (kurang sedikit pada wanita)
dengan sumbu panajng batang femur. Besarnya sudut ini dapat dirubah oleh penyakit.
Trochanter mayor dan minor merupakan tonjolan besar pada batas leher dan batang. Yang
menghubungkan kedua trochantor adalah linea intertrochanterica di depan dan crista
intertrochanterica yang mencolok dibelakang, dan padanya terdapat tuberculum
quadatrum.
Bagian batang femur umumnya menampakkan kecembungan kedepan. Ia licin dan bulat
pada permukaan anteriornya, namun pada bagain posteriornya terdapat rabung, linea
aspera. Tepian linea aspera melekat ke atas dan bawah. Tepian medial berlanjut kebawah
sebagai crista supracondylaris medialis menuju tuberculum adductorum pada condilus
medialis. Tepian lateral menyatu kebawah dengan crista supracondylaris lateralis. Pada
posterior batang femur, dibawah trochantor mayor terdapat tuberositas glutealis, yang
kebawah berhubungan dengan linea aspera. Bagian batang melebar kearah ujung distal
dan membentuk daerah segitiga datar pada permukaan posteriornya, disebut fascie
poplitea.
Ujung bawah femur memiliki condylus medialis dan lateralis, yang dibagian posterior
dipisahkan oleh incisura intercondylaris. Permukaan anterior condylus dihubungkan oleh
permukaan sendi untuk patella. Di atas condylus terdapat epicondylus lateralis dan
medialis. Tubercullum adductorum berhubungan langsung dengan epicondylus medialis.

1.2 Anatomi OTOT TUNGKAI OTOT REGIO GLUTEALIS


Nama Otot
Origo
Insersio
Persarafan
Gluteus
Permukaan luar
Tractus
N. gluteus
Maximus
ilium, sacrum,
iliotibialis dan
inferior
coccyx,
tuberositas
ligamentum
gluteo femoris
sacrotuberale
Guleteus Medius

Permukaan luar
ilium

Permukaan
lateral trochanter
major femoris

N. gluteus
superior

Gluteus minimus Permukaan luar


ilium

Permukaan
anterior
trochantor major
femoris

N. gluteus
superior

Tensor fasciae
latae

Crista iliaca

Tractus
iliotibialis

N. gluteus
superior

Piriformis

Permukaan
anterior sacrum

Tepian atas
N. sacralis I + II
trochanter major
femoris
Obturator
Permukaan
Tepian atas
Plexus sacralis
internus
dalam membrane trochantor major
obturatoria
femoris
Gamellus
Spina ischiadica Tepian atas
Plexus sacralis
superior
trochantor major
femoris
Gamellus
Tuber
Tepian atas
Plexus sacralis
inferior
ischiadicum
trochantor major
femoris
Quadratus
Tepian lateral
Tuberculum
Plexus sacralis
femoris
tuber
quadratum
ischiadicum
femoris
Sumber : Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran bag. 2 edisi 3, Snell
ARTICULATIO COXAE

Fungsi
Ekstensio da
rotasio lateral
articulatio coxae ;
melalui tractus
iliotibialis, ia
mengekstensio
sendi lutut.
Mengabduksio
paha pada
articulatio coxae ;
mengangkat
pelvis bila
berjalan untuk
memungkinkan
kaki sebelah
terangkat dari
tanah
Mengabduksio
paha pada
articulatio coxae ;
mengangkat
pelvis bila
berjalan untuk
memungkinkan
kaki sebelah
terangkat dari
tanah
Membantu m.
gluteus maximus
meluruskan sendi
lutut
Rotasio lateral
paha pada
articulatio
Rotasio lateral
paha pada
articulatio coxae
Rotasio lateral
paha pada
articulatio coxae
Rotasio lateral
paha pada
articulatio coxae
Rotasio lateral
paha pada
articulatio coxae

Tulang
: Antara caput fermoris dan acetabulum
Jenis sendi
: Enarthrosis spheroidea
Penguat sendi : Terdapat tulang rawan pada facies lunata
Kelenjar Havers terdapat pada acetabuli
Ligamentum iliofemorale yang berfungsi mempertahankan art. Coxae tetap extensi,
menghambat rotasi femur,mencegah batang badan berputar ke belakang pada waktu bediri
sehingga mengurangi kebutuhan kontraksi otot untuk mempertahankan posisi tegak.
Ligamentum ischiofemorale yang berfungsi mencegah rotasi interna. Ligamentum
pubofemorale berfungsi mencegah abduksi, ekstensi dan rotasi externa. Selain itu diperkuat
juga oleh ligamentum transversum acetabuli dan ligamentum capitisfemoris. Bagian bolong
disebut zona orbicularis.
Capsula articularis: membentang dari lingkar acetabulum ke linea intertrochanterica dan
crista intertrochanterica.
Gerak sendi :
Fleksi : M.iliopsoas, M. pectineus, M. rectus femoris, M. adductor longus, M.
adductor brevis, M. adductor magnus pars anterior tensor fascia lata
Ekstensi : M. gluteus maximus, M. semitendinosis, M. semimembranosus, M. biceps
femoris caput langum, M. adductor magnus pars posterior
Abduksi : M. gluteus medius, M. gluteus minimus, M. piriformis, M. Sartorius, M.
tensor fasciae lata
Adduksi : M. adductor magnus, M. adductor longus, M. adductor brevis, M. gracilis,
M. pectineus, M. obturatorexternus, M. quadrates femoris
Rotasi medialis: M. gluteus medius, M. gluteus minimus, M. tensor fasciae latae, M.
adductor magnus (pars posterior)
Rotasi lateralis: M. piriformis, M. obturator internus, Mm. gamelli, M. obturator
externus, M. quadrates femoris, M. gluteus maximus dan Mm.
adductors.

Sumber : Kinesiologi Gerak Tubuh Manusia

TIU 2. Menjelaskan jenis-jenis fraktur

Fraktur dibedakan atas beberapa klasifikasi, antara lain:


1. Klasifikasi etiologis
Fraktur traumatic
: Terjadi karena trauma yang tiba-tiba.
Fraktur patologis
: Terjadi karena kelemahan tulang sebelumnya akibat
kelainan patologis di dalam tulang.
Fraktur stress
:Terjadi karena adanya trauma yang terus menerus pada suatu
tempat tertentu.
2. Klasifikasi klinis
Fraktur tertutup (simple fracture) :Suatu fraktur yang tidak mempunyai
hubungan dengan dunia luar
Fraktur terbuka (compound fracture):Fraktur yang mempunyai hubungan
dengan dunia luar melalui luka pada kulit dan jaringan lunak, dapat
berbentuk from within (dari dalam) atau from without (dari luar)
Fraktur dengan komplikasi (compicated fracture) :Fraktur yang disertai
dengan komplikasi misalnya malunion, delayed union, infeksi tulang
3. Klasifikasi radiologis, klasifikasi ini berdasarkan atas:
A. Lokalisasi
Difasial
Metafisial
Intra-artikuler
Fraktur dengan dislokasi
B. Konfigurasi
Fraktur transversal
Fraktur oblik
Fraktur spiral
Fraktur Z
Fraktur segmental
Fraktur kominutif, fraktur lebih dari dua fragmen
Fraktur baji, biasanya pada vertebra karena trauma kompresi
Fraktur avulsi, fragmen kecil tertarik oleh otot atau tendo, misalnya fraktur
epikondilus humeri, fraktur trokanter mayor, fraktur patela
Fraktur depresi, karena trauma langsung, misalnya pada tulang tengkorak
Fraktur impaks
Fraktur pecah (burst), dimana terjadi fragmen kecil yang berpisah,
misalnya pada fraktur vertebra, patela, talus, kalkaneus
Fraktur epifisis
C. Menurut ekstensi
Fraktur total
Fraktur tidak total (fraktur crack)
Fraktur buckie atau torus
Fraktur garis rambut
Fraktur green stick
D. Menurut hubungan antara fragmen dengan fragmen lainnya
Tidak bergeser (undisplaced)
Bergeser (displaced)

Bergeser dapat terjadi dalam 6 cara:


a. Bersampingan
b. Angulasi
c. Rotasi
d. Distraksi
e. Over-riding
f. Impaksi
Sumber :
PDF Fakultas Kedokteran Universitas Riau. RSUD Arifin Achmad Pekanbaru. 2009.
TIU 3. Fraktur Femur

3.1. Definisi fraktur femur


Fraktur femur atau patah tulang tungkai atas adalah terputusnya kontinuitas jaringan
tulang dan/atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa yang terjadi
pada tulang femur atau tungkai atas.
3.2. Mekanisme fraktur femur
Trauma yang menyebabkan tulang patah dapat berupa trauma langsung dan trauma
tidak langsung. Akibat trauma pada tulang bergantung pada jenis trauma, kekuatan,
dan arahnya. Trauma tajam yang langsung atau trauma tumpul yang kuat dapat
menyebabkan tulang patah dengan luka terbuka sampai ke tulang yang disebut patah
tulang terbuka. Patah tulang didekat sendi dapat menyebabkan patah tulang disertai
luksasi sendi yang disebut fraktur dislokasi.
Patah Leher Femur
Fraktur kolum femur sering terjadi pada usia 60 tahun dan lebih sering pada wanita
yang disebabkan oleh kerapuhan tulang akibat kombinasi proses penuaan dan
osteoporosis pascamenopause. Fraktur dapat juga berupa subkapital, transervikal, dan
basal, yang kesemuanya terletak di dalam simpai sendi panggul atau intrakapsuler;
fraktur intertrokanter dan subtrokanter terletak ekstrakapsuler.
Semua patah tulang didaerah ini umumnya tidak stabil sehingga tidak ada cara
reposisi tertutup terhadap fraktur ini, kecuali jenis fraktur yang impaksi, baik yang
subservikal maupun yang basal.
Kegailan patah tulang ini disebabkan kontraksi dan tenus otot besar dan kuat antara
tungkai dan tubuh yang menjembatani patah tulang, yaitu m.iliopsosas,
kelompokmotot gluteus, kuadriseps femur, fleksor femur, dan aduktor femur. Inilah
yang mengganggu keseimbangan pada garis fraktur. Adanya osteoporosis tulang
mengakibatkan tidak tercapainya fiksasi kokoh oleh pin pada fiksasi intern.
Patah Tulang Batang Femur
Pada patah tulang diafisis femur biasanya perdarahan dalam cukup luas dan besar
sehingga dapat menimbulkan syok. Secara klinis penderita tidak dapat bagun, bukan
saja karena nyeri, tetapi juga karena ketidakstabilan fraktur. Biasanya seluruh tungkai
bawah terotasi keluar, terlihat lebih pendek, dan bengkak pada bagian proksimal
sebagai akibat perdarahan ke dalam jaringan lunak.
3.4 Diagnosis fraktur
Diagnosis fraktur ditegakan berdasarkan :
1. Anamnesa : ada atau tidaknya trauma
Kalau tidak mempunyai riwayat trauma bisa diartikan fraktur patologis . trauma harus
diperinci jenisnya,besar ringannya trauma,arah trauma dan posisi penderita atau
ekstremitas yang bersangkutan .
Dari anamnesa bisa didapatkan :
Kemungkinan politrauma
Kemungkinan fraktur multipel
Kemungkinan fraktur tertentu,misalnya : fraktur colles,fraktur supra kondilair
humerus,fraktur kolum femur .
Pada anamnesa bisa terdapat nyeri tapi bisa tidak jelas pada fraktur inkomplit .
Ada gangguan fungsi,misalnya : fraktur femur,penderita tidak dapat berjalan .
2. Pemeriksaan umum
Dicari kemungkinan komplikasi umum,misalnya : syok pada fraktur multipel,fraktur
pelvis atau fraktur terbuka,tanda-tanda sepsis pada fraktur terbuka terinfeksi .

3. Pemeriksaan status lokalis


Tanda-tanda fraktur yang klasik adalah untuk fraktur tulang panjang . fraktur tulangtulang kecil,misalnya : navikulare manus,fraktur avulsi,fraktur intra artikuler,fraktur
epifisis . fraktur tulang-tulang yang dalam misalnya :servikal,acetabulum,dll .
mempunyai tanda-tanda sendiri . tanda-tanda fraktur yang klasik tersebut adalah :
Look
a. Deformitas :
Penonjolan yang abnormal
Angulasi
Rotasi
Pemendekan
b. Fungsio laesa :
Hilangnya fungsi
Feel
Terdapat nyeri tekan dan nyeri sumbu
Move
a) Krepitasi
Terasa krepitasi bila fraktur digerakan,tetapi ini bukan cara yang baik .
Krepitasi timbul oleh pergeseran atau beradunya ujung-ujung
kortikal . pada tulang spongiossa atau tulang rawan epifisis tidak
terasa krepitasi .
b) Nyeri bila di gerakan,baik pada gerakan aktif maupun pasif .
c) Memeriksa seberapa jauh gangguan-gangguan funfsi
d) Gerakan tidak normal : gerakan yang terjadi tidak pada sendi .
mislanya : pertengahan femur bisa digerakan
Pada look-feel and move ini juga dicari komplikasi lokal dan keadaan
neurovaskuler distal .
4. Pemeriksaan Radiologis
Untuk fraktur-fraktur dengan tanda-tanda klasik,diagnosis dapat secara klinis
sedangkan pemeriksaan raadiologis tetap diperlukan untuk melengkapi deskripsi
fraktur dan dasar untuk tindakan selanjutnya .
Untuk fraktur-fraktur yang tidak memberikan tanda-tanda klasik memang
diagnosanya harus dibantu pemeriksaan radiologis,baik rontgen biasa atau pun
pemeriksaan canaggih seperti MRI,misalnya untuk fraktur tulang belakang dengan
komplikasi neurologis .
Manisfestasi Klinik
Nyeri hebat pada bagian yang fraktur
Tidak dapat digerakan
Tidak dapat berjalan
Bengkak
Kalau fraktur terjadi pada tungkai bawah,salah satu tulang akan terlihat lebih
pendek
3.5 Penatalaksanaan fraktur
Penatalaksanaan fraktur mengacu kepada empat tujuan utama yaitu:
1. Mengurangi rasa nyeri
Trauma pada jaringan disekitar fraktur menimbulkan rasa nyeri yang hebat bahkan sampai
menimbulkan syok. Untuk mengurangi nyeri dapat diberi obat penghilang rasa nyeri, serta
dengan teknik imobilisasi, yaitu pemasangan bidai / spalk, maupun memasang gips.

2. Mempertahankan posisi yang ideal dari fraktur


Seperti pemasangan traksi kontinyu, fiksasi eksternal, fiksasi internal, sedangkan bidai
maupun gips hanya dapat digunakan untuk fiksasi yang bersifat sementara saja.
3. Membuat tulang kembali menyatu
Tulang yang fraktur akan mulai menyatu dalam waktu 4 minggu dan akan menyatu dengan
sempurna dalam waktu 6 bulan.
4. Mengembalikan fungsi seperti semula
Imobilisasi dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan atrofi otot dan kekakuan pada
sendi. Maka untuk mencegah hal tersebut diperlukan upaya mobilisasi.
Pengelolaan patah tulang secara umum mengikuti prinsip pengobatan kedokteran
pada umumnya, yaitu yang pertama dan utama adalah jangan cederai pasien (primum non
nocere). Cedera latorgen pada pasien terjadi akibat tindakan yang salah dan atau tindakan
yang berlebihan. Yang kedua, pengobatan didasari atas diagnosis yang tepat dan progosisnya.
Ketiga, bekerja sama dengan hokum alam, dan keempat, memilih pengobatan dengan
memperhatikan setiap oasien secara individu.
Untuk patah tulangnya sendiri, prinsipnya adalah mengembalikan posisi patahan
tulang ke posisi semula (reposisi) dan mempertahankan posisi itu selama masa penyembuhan
patah tulang (imobilisasi). Reposisi yang dilakukan tidak harus mencapai keadaan
sepenuhnya seperti semula karena tulang mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan
bentuknya kembali seperti bentuknya semula (remodeling/proses swapugar).
Cara pertama untuk penanganan patah tulang dengan dislokasi fragmen patahan yang
minimal atau dengan dislokasi yang tidak akan menyebabkan cacat dikemudian hari,
cukup dengan proteksi tanpa reposisi dan imobilisasi. Contoh cara ini adalah patah tulang
rusuk, patah tulang klavikula pada anak.
Cara kedua adalah imobilisasi dengan fiksasi atau imobilisasi luar tanpa reposisi, tetapi
tetap memerlukan imobilisasi agar tidak terjadi dislokalisasi fragmen. Contohnya adalah
pengobatan patah tulang tungkai bawah.
Cara ketiga adalah reposisi dengan cara manipulasi diikuti dengan imobilisasi. Ini
dilakukan pada patah tulang dengan dislokalisasi fragmen yang berarti seperti pada patah
tulang radius distal.
Cara keempat adalah reposisi dengan traksi terus menerus selama masa tertentu, misalnya
beberapa minggu, dan kemudian diikuti dengan imobilisasi. Ini dilakukan pada patah
tulang yang bila direposisi secara manipulasi akan terdislokalisasi kembali di dalam gips.
Misalnya pada patah tulang femur.
Cara kelima berupa reposisi diikuti dengan imobilisasi dengan fiksasi luar. Untuk fraksi
fragmen patahan tulang, digunakan pin baja yang ditusukkan pada fragmen tulang,
kemudian pin baja tadi disatukan secara kokoh dengan batangan logam di luar kulit. Alat
ini dinamakan fiksator ekstern.
Cara keenam berupa reposisi secara non-operatif diikuti dengan pemasangan fiksasi dalam
pada tulang secara operatif, misalnya reposisi patah tulang kolum femur. Fragmen
direposisi secara non-operatif dengan meja traksi; setelah tereposisi, dilakukan
pemasangan pen ke dalam kolum femur secara operatif.
Cara ketujuh berupa reposisi secara operatif diikuti dengan fiksasi patahan tulang dengan
pemasangan fiksasi interna. Ini dilakukan misalnya, pada patah tulang femur, tibia,
humerus, lengan bawah. Fiksasi interna yang dipakai bisa berupa pen di dalam sumsum
tulang panjang, bisa juga berupa plat dengan skrup di permukaan tulang. Keuntungan
reposisi secara operatif adalah bisa dicapai reposisi sempurna dan bila di pasang fiksasi
interna yang kokoh, sesudah operasi tidak perlu lagi dipasang gips dan segera bisa

dilakukan mobilisasi. Kerugiannya adalah reposisi secara operatif ini mengundang resiko
infeksi tulang.
Cara terakhir berupa eksisi fragmen patahan tulang dan menggantinya dengan prostesis,
yang dilakukan pada patah tulang kolum femur. Kaput femur dibuang secara operatif dan
diganti dengan prostesisi. Ini dilakukan pada orang tua yang patahan pada kolum femur
tidak dapat menyambung kembali.

Proses Penyembuhan Tulang


Fase Inflamasi :
Fase ini berlangsung mulai terjadinya fraktur hingga kurang lebih satu sampai dua minggu.
Peningkatan aliran darah menimbulkan hematom diikuti invasi sel-sel peradangan yaitu
neutrofil, makrofag, sel fagosit, osteoklas, yang berfungsi untuk membersihkan jaringan
nekrotik, yang akan mempersiapkan fase reparatif. Jika dirontgen, garis fraktur lebih terlihat
karena telah disingkirkannya material nekrotik.
Fase Reparatif :
Dapat berlangsung beberapa bulan. Ditandai dengan diferensiasi dari sel mesenkim
pluripotensial. Hematom fraktur diisi oleh kondroblas dan fibroblas yang akan menjadi
tempat matrik kalus. Pada awalnya terbentuk kalus lunak, terdiri dari jaringan fibrosa dan
kartilago dengan sejumlah kecil jaringan tulang. Osteoblas mengakibatkan mineralisasi kalus
lunak menjadi kalus keras serta menambah stabilitas fraktur. Jika dirontgen maka garis
fraktur mulai tidak tampak.
Fase Remodeling :
Fase ini bisa membutuhkan waktu berbulan-bulan hingga tahunan untuk merampungkan
penyembuhan tulang, yang meliputi aktifitas osteoblas dan osteoklas yang menghasilkan
perubahan jaringan immatur agar menjadi matur, terbentuknya tulang lamelar sehingga
menambah stabilitas daerah fraktur.
3.6 Komplikasi
Komplikasi fraktur dapat diakibatkan oleh trauma itu sendiri atau akibat penanganan fraktur
yang disebut komplikasi iatrogenik .
1. Komplikasi umum
Syok karena perdarahan ataupun oleh karena nyeri, koagulopati diffus dan gangguan fungsi
pernafasan.
Ketiga macam komplikasi tersebut diatas dapat terjadi dalam 24 jam pertama pasca trauma
dan setelah beberapa hari atau minggu akan terjadi gangguan metabolisme, berupa
peningkatan katabolisme. Komplikasi umum lain dapat berupa emboli lemak, trombosis vena
dalam (DVT), tetanus atau gas gangren.
2. Komplikasi Lokal

a. Komplikasi dini
Komplikasi dini adalah kejadian komplikasi dalam satu minggu pasca trauma, sedangkan
apabila kejadiannya sesudah satu minggu pasca trauma disebut komplikasi lanjut.

Pada Tulang
1. Infeksi, terutama pada fraktur terbuka.
2. Osteomielitis dapat diakibatkan oleh fraktur terbuka atau tindakan operasi pada fraktur
tertutup. Keadaan ini dapat menimbulkan delayed union atau bahkan non union
Komplikasi sendi dan tulang dapat berupa artritis supuratif yang sering terjadi pada fraktur
terbuka atau pasca operasi yang melibatkan sendi sehingga terjadi kerusakan kartilago sendi
dan berakhir dengan degenerasi

Pada Jaringan lunak


1. Lepuh , Kulit yang melepuh adalah akibat dari elevasi kulit superfisial karena edema.
Terapinya adalah dengan menutup kasa steril kering dan melakukan pemasangan elastik
2. Dekubitus.. terjadi akibat penekanan jaringan lunak tulang oleh gips. Oleh karena itu
perlu diberikan bantalan yang tebal pada daerah-daerah yang menonjol

Pada Otot
Terputusnya serabut otot yang mengakibatkan gerakan aktif otot tersebut terganggu. Hal ini
terjadi karena serabut otot yang robek melekat pada serabut yang utuh, kapsul sendi dan
tulang. Kehancuran otot akibat trauma dan terjepit dalam waktu cukup lama akan
menimbulkan sindroma crush atau thrombus.

Pada pembuluh darah


Pada robekan arteri inkomplit akan terjadi perdarahan terus menerus. Sedangkan pada
robekan yang komplit ujung pembuluh darah mengalami retraksi dan perdarahan berhenti
spontan.
Pada jaringan distal dari lesi akan mengalami iskemi bahkan nekrosis. Trauma atau
manipulasi sewaktu melakukan reposisi dapat menimbulkan tarikan mendadak pada
pembuluh darah sehingga dapat menimbulkan spasme. Lapisan intima pembuluh darah
tersebut terlepas dan terjadi trombus. Pada kompresi arteri yang lama seperti pemasangan
torniquet dapat terjadi sindrome crush. Pembuluh vena yang putus perlu dilakukan repair
untuk
mencegah
kongesti
bagian
distal
lesi
Sindroma kompartemen terjadi akibat tekanan intra kompartemen otot pada tungkai atas
maupun tungkai bawah sehingga terjadi penekanan neurovaskuler sekitarnya. Fenomena ini
disebut Iskhemi Volkmann. Ini dapat terjadi pada pemasangan gips yang terlalu ketat
sehingga dapat menggangu aliran darah dan terjadi edema dalam otot.

10

Apabila iskhemi dalam 6 jam pertama tidak mendapat tindakan dapat menimbulkan
kematian/nekrosis otot yang nantinya akan diganti dengan jaringan fibrus yang secara
periahan-lahan menjadi pendek dan disebut dengan kontraktur volkmann. Gejala klinisnya
adalah 5 P yaitu Pain (nyeri), Parestesia, Pallor (pucat), Pulseness (denyut nadi hilang) dan
Paralisis

Pada saraf
Berupa kompresi, neuropraksi, neurometsis (saraf putus), aksonometsis (kerusakan akson).
Setiap trauma terbuka dilakukan eksplorasi dan identifikasi nervus

b. Komplikasi lanjut
Pada tulang dapat berupa malunion, delayed union atau non union. Pada pemeriksaan terlihat
deformitas berupa angulasi, rotasi, perpendekan atau perpanjangan.

Delayed union
Proses penyembuhan lambat dari waktu yang dibutuhkan secara normal. Pada pemeriksaan
radiografi, tidak akan terlihat bayangan sklerosis pada ujung-ujung fraktur.
Terapi konservatif selama 6 bulan bila gagal dilakukan Osteotomi
Lebih 20 minggu dilakukan cancellus grafting (12-16 minggu)

Non union
Dimana secara klinis dan radiologis tidak terjadi penyambungan.
Tipe I (hypertrophic non union) tidak akan terjadi proses penyembuhan fraktur dan diantara
fragmen fraktur tumbuh jaringan fibrus yang masih mempunyai potensi untuk union dengan
melakukan koreksi fiksasi dan bone grafting.
Tipe II (atrophic non union) disebut juga sendi palsu (pseudoartrosis) terdapat jaringan
sinovial sebagai kapsul sendi beserta rongga sinovial yang berisi cairan, proses union tidak
akan dicapai walaupun dilakukan imobilisasi lama.
Beberapa faktor yang menimbulkan non union seperti disrupsi periosteum yang luas,
hilangnya vaskularisasi fragmen-fragmen fraktur, waktu imobilisasi yang tidak memadai,
implant atau gips yang tidak memadai, distraksi interposisi, infeksi dan penyakit tulang
(fraktur patologis).

Mal union
Penyambungan fraktur tidak normal sehingga menimbukan deformitas. Tindakan refraktur
atau osteotomi koreksi .

11

Osteomielitis
Osteomielitis kronis dapat terjadi pada fraktur terbuka atau tindakan operasi pada fraktur
tertutup sehingga dapat menimbulkan delayed union sampai non union (infected non union).
Imobilisasi anggota gerak yang mengalami osteomielitis mengakibatkan terjadinya atropi
tulang berupa osteoporosis dan atropi otot.

Kekakuan sendi
Kekakuan sendi baik sementara atau menetap dapat diakibatkan imobilisasi lama, sehingga
terjadi perlengketan peri artikuler, perlengketan intraartikuler, perlengketan antara otot dan
tendon. Pencegahannya berupa memperpendek waktu imobilisasi dan melakukan latihan aktif
dan pasif pada sendi. Pembebasan periengketan secara pembedahan hanya dilakukan pada
penderita dengan kekakuan sendi menetap.
Sumber :
Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2, R.Sjamsuhidajat dan Wim de Jong .
Ilmu bedah FKUI

12

TIU4. Memahami dan menjelaskan pemeriksaan radiologis


4.1 Tujuan pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan radiologis dilakukan apabila dicurigai terdapat fraktur
4.2 Syarat pemeriksaan radiologis
Radiologis untuk lokasi fraktur harus menurut rule of two, terdiri dari :
I.
2 gambaran, anteroposterior (AP) dan lateral
II. Memuat dua sendi di proksimal dan distal fraktur
III. Memuat gambaran foto dua ekstremitas, yaitu ekstremitas yang cedera dan
yang tidak terkena cedera (pada anak) ; dan dua kali, yaitu sebelum tindakan dan
sesudah tindakan.
4.3 Yang dilihat pada Foto tulang:
Ada fraktur/tidak.
Lokasi.
Tipe garis fraktur.
Kedudukan antar fragmen:
aposisi, allignment, torsi.

13

TIU 5. Menjelaskan penatalaksanaan fraktur terbuka os femur


Fraktur terbuka adalah suatu keadaan darurat yang memerlukan penanganan segera.
Tindakan harus dimulai dari fase pra-rumah sakit, yaitu pembidaian; menghentikan
pendarahan dengan perban tekan; menghentikan perdarahan besar dengan klem. Tiba di UGD
rumah sakit harus segera diperiksa menyeluruh.
Tindakan debridement dan posisi terbuka:
1. Penderita diberi toksoid, ATS atau tetanus human globulin.
2. Antibiotika untuk kuman gram positif dan negatif dengan dosis tinggi.
3. Kultur dan resistensi kuman dari dasar luka fraktur terbuka.
4. Tourniquet disiapkan tetapi tidak perlu ditiup.
5. Setelah dalam narkose seluruh ekskremitas dicuci selama 5-10 menit dan dicukur.
6. Luka di irigasi dengan cairan NaCl steril atau air matang 5-10liter. Luka derajat 3
harus disemprot hingga bebas dari kontaminasi (jet lavage).
7. Tindakan disinfeksi dan pemasangan duk (draping).
8. Eksisi luka lapis demi lapis. Eksisi kulit, subkutis, fasia, otot. Otot-otot yang tidak
vital dieksisi.tulang-tulang kecil yang tidak melekat pada periosteum dibuang.
Fragmen tulang besar yang perlu untuk stabilitas dipertahankan.
9. Bila letak luka tidak menguntungkan maka untuk reposisi terbuka dibuat insisi baru
yang biasa dipergunakan, misalnya fraktur femur dengan fragmen distal menembus
dekat lipat paha, untuk reposisi terbuka dipakai approach posterolateral biasa.
10. Luka fraktur terbuka selalu dibiarkan terbuka dan bila erlu ditutup setelah satu
minggu setelah edema menghilang. Luka untuk reposisi terbuka dijahit primer.
11. Fiksasi yang baik adalah fiksasi eksterna. Bagi yang sudah berpengalaman dan di
rumah sakit dengan perlengkapan yang baik, penggunaan fiksasi interna dapat
dibenarkan. Bila fasilitas tidak memadai, gips sirkuler dengan jendela atau traksi
dapat digunakan dan kemudian dapat direncanakan untuk fiksasi interna setelah luka
sembuh (delayed internal fixation). Pemakaian antibiotika diteruskan untuk tiga hari
dan bila diperlukan debridement harus diulang.

Sumber : Ilmu Bedah FKUI. Hal: 464-465

14

Anda mungkin juga menyukai