Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
Kanker merupakan penyakit dengan karakteristik adanya gangguan atau kegagalan

mekanisme pengaturan multiplikasi pada organisme multiseluler sehingga terjadi perubahan


perilaku sel yang tidak terkontrol. Kanker dapat terjadi di seluruh organ dan salah satunya
adalah di dalam organ saluran pencernaan seperti di usus atau dikenal dengan kanker kolon.
Kanker kolon, kanker rektal, dan kanker kolorektal merupakan penyakit yang sama. Apabila
kita menggunakan istilah kanker kolon, dimaksudkan kanker yang berasal dari kolon yaitu
dari sekum (permulaan kolon) sampai ke rektum (bagian terakhir kolon). (1) Kanker kolon
menempati urutan ketiga penyebab kematian penduduk Amerika dan juga Indonesia setelah
kanker paru dan kanker payudara. American Cancer Society memperkirakan pada tahun
2013, terdapat 100.000 lebih penderita kanker kolon di Amerika Serikat dan setengah
diantaranya meninggal dunia. Angka insidensi kanker kolon terus meningkat seiring dengan
pertambahan penduduk baik di negara berkembang maupun negara maju.(2)
Umumnya, karsinoma kolon jarang ditemukan sebelum umur 40 tahun kecuali bila
penyakit pasien merupakan komplikasi dari penyakit kolitis ulseratif, kolitis granulomatosa,
poliposis multipel familial, sindrom Gardner, dan sindrom Turcot. Pada populasi umum,
risiko terjadinya kanker kolorektal secara nyata akan meningkat pada umur 50 tahun dan
menjadi dua kali lipat lebih besar pada setiap dekade berikutnya. Karsinoma rektum lebih
banyak ditemukan pada laki-laki daripada wanita, tetapi tidak ada perbedaan jenis kelamin
yang mencolok pada karsinoma di daerah kolon yang lain. Dari kajian epidemiologi,
disimpulkan ada pengaruh lingkungan yang sangat besar, khususnya diet, memainkan
peranan yang nyata pada penyebab dari kanker kolon, yang peranannya lebih besar daripada
pada kanker rektum. Faktor keturunan dapat juga berperan sebagai pencetus timbulnya
kanker jenis ini.(3)
Faktor eksogen, seperti konsumsi daging merah, alkohol, obesitas dan merokok
merupakan faktor risiko untuk kanker kolon dan dapat meningkatkan risiko pengembangan
kanker kolon.(4) Pengobatan biasanya didasarkan pada operasi pengangkatan tumor. Namun
kemoterapi dapat meningkatkan kualitas dan kelangsungan hidup penderita kanker kolon
hingga 6-12 bulan.(5)
1

Penelitian di Eropa dan Amerika Serikat melaporkan bahwa untuk pengobatan kanker
kolon, obat yang digunakan yaitu respon kombinasi dari 5-fluorouracil (5-FU), leucovorin,
dan irinotecan (CPT11) lebih baik bila dibandingkan dengan 5-FU/leucovorin atau CPT11
secara tunggal. Terapi standar untuk carsinoma kolon yang telah bermetastase adalah CPT11
dengan kombinasi 5-FU/LV dikenal sebagai Saltz Regimen. Obat ini digunakan secara
kombinasi dalam pengobatan karsinoma kolorektal. Berdasarkan uraian sebelumnya maka
dalam makalah ini akan dibahas tentang kanker kolon. Baik dari anatomi penyakit kanker
kolon sampai dengan terapinya.
1.2

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya maka rumusan masalah

dalam penulisan makalah ini yaitu sebagai berikut :


1.
2.
3.
4.
5.
1.3

Apakah penyakit kanker kolon itu?


Bagaimanakah pencegahan dari penyakit kanker kolon?
Terapi apakah yang diberikan untuk penyakit kanker kolon?
Bentuk sediaan obat apa sajakah yang digunakan dalam terapi kanker kolon?
Bagaimanakah perjalanan obat kanker kolon yang digunakan ?

Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dijelaskan maka tujuan penulisan dalam

makalah ini yaitu sebagai berikut :


1. Untuk memahami tentang penyakit kanker kolon.
2. Untuk memahami pencegahan dari penyakit kanker kolon.
3. Untuk mengetahui dan memahami terapi yang diberikan pada penyakit kanker
kolon.
4. Untuk mengetahui bentuk sediaan obat yang digunakan dalam terapi kanker
kolon.
5. Untuk memahami perjalanan obat kanker kolon di dalam tubuh.
1.4

Manfaat Penulisan
Hasil dari penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai

penyakit kanker kolon, obat-obat yang digunakan serta contoh dari pengobatannya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Kolon


Intestinum crassum (usus besar) terdiri dari caecum, appendix vermiformiis,
colon , rectum dan canalis analis. Caecum adalah bagian pertama intestinum crassum
dan beralih menjadi colon ascendens.(6) Panjang dan lebarnya kurang lebih 6 cm dan 7,5
cm. Caecum terletak pada fossa iliaca kanan di atas setengah bagian lateralis
ligamentum inguinale.(7)

Appendix Vermiformis berupa pipa buntu yang berbentuk cacing dan berhubungan
dengan caecum di sebelah kaudal peralihan ileosekal.(6) Colon ascendens panjangnya
kurang lebih 15 cm, dan terbentang dari caecum sampai ke permukaan visceral dari
lobus kanan hepar untuk membelok ke kiri pada flexura coli dextra untuk beralih
menjadi colon transversum.(7) Pendarahan colon ascendens dan flexura coli dextra
terjadi melalui arteri ileocolica dan arteri colica dextra, cabang arteri mesenterica
superior. Vena ileocolica dan vena colica dextra, anak cabang mesenterika superior,
mengalirkan balik darah dari colon ascendens.(6)
Colon transversum merupakan bagian usus besar yang paling besar dan paling
dapat bergerak bebas karena bergantung pada mesocolon, yang ikut membentuk
omentum majus. Panjangnya antara 45-50 cm. (7) Pendarahan colon transversum
terutama terjadi melalui arteria colica media, cabang arteria mesenterica superior,
tetapi memperoleh juga darah melalui arteri colica dextra dan arteri colica sinistra.
Penyaluran balik darah dari colon transversum terjadi melalui vena mesenterica
superior.(6)

Colon descendens panjangnya kurang lebih 25 cm.(7) Colon descendens melintas


retroperitoneal dari flexura coli sinistra ke fossa iliaca sinistra dan disini beralih
menjadi colon sigmoideum.(6)
Colon sigmoideum disebut juga colon pelvinum.(6) Panjangnya kurang lebih 40 cm
dan berbentuk lengkungan huruf S.(7) Rectum adalah bagian akhir intestinum crassum
yang terfiksasi. Ke arah kaudal rectum beralih menjadi canalis analis.(6)
2.2 Kanker Kolon
2.2.1 Definisi
Kanker kolon, kanker rektal, dan kanker kolorektal merupakan penyakit yang
sama. Apabila kita menggunakan istilah kanker kolon, hal ini dimaksudkan pada kanker
yang berasal dari sekum (permulaan kolon) sampai ke rektum (bagian akhir kolon).(1)
Di dunia, kanker kolorektal memiliki tingkat insiden dan tingkat mortalitas yang
tinggi. Tiga kanker tertinggi yang menyebabkan kematian pada laki-laki di dunia adalah
kanker paru, prostat dan kolorektal. Untuk wanita, tiga penyebab kematian tertinggi
adalah kanker paru, payu dara dan kolorektal. Pada tahun 2009, di Amerika terdapat
146,970 estimasi kasus baru dan 49,920 estimasi kematian (National Institute of
Cancer, 2009).
Kanker kolorektal ditujukan pada tumor ganas yang ditemukan di kolon dan
rektum. Kolon dan rectum adalah bagian dari usus besar pada sistem pencernaan yang
disebut juga traktus gastrointestinal. Lebih jelasnya kolon berada di bagian proksimal
usus besar dan rektum di bagian distal sekitar 5-7cm di atas anus. Kolon dan rektum
merupakan bagian dari saluran pencernaan atau saluran gastrointestinal di mana
fungsinya adalah untuk menghasilkan energi bagi tubuh dan membuang zat-zat yang
tidak berguna.(8)
2.2.2 Klasifikasi
Klasifikasi karsinoma kolorektal menurut WHO, adalah sebagai berikut:
a. Adenokarsinoma
Sebagian besar (98%) kanker di usus besar adalah adenokarsinoma. Kanker
ini merupakan salah satu tantangan besar bagi profesi kedokteran, karena
kanker ini hampir selalu timbul di polip adenomatosa yang secara umum
dapat disembuhkan dengan reseksi.(9)
b. Adenosquamous karsinoma
Adenosquamous karsinoma yaitu suatu karsinoma yang terdiri dari
komponen glandular dan squamous. Adenosquamous merupakan jenis
tumor yang jarang ditemukan.(10)
c. Mucinous adenokarsinoma

Istilah mucinosa berarti bahwa sesuatu yang memiliki banyak lendir.


Diklasifikasikan mucinous adenokarsinoma jika lebih dari 50% lesi terdiri
dari musin.(10)
d. Signet ring cell carcinoma
e. Squamous cell carcinoma
f. Undifferentiated carcinoma
Merupakan jenis yang paling ganas memiliki berbagai gambaran
histopatologis sehingga tidak dikenali lagi asal selnya.(10)
g. Medullary carcinoma
Sel berbentuk bulat dengan inti vesikuler dan anak inti jelas diantaranya selsel terdapat sel radang limfosit yang tidak menginfiltrasi tapi mendesak
gambarannya seperti ganas namun prognosisnya lebih baik.(10)
2.2.3 Stadium

Gambar 5. Stadium pada karsinoma kolorektal (Sumber: Alteri, 2011)

Klasifikasi karsinoma ini pertama kali diajukan oleh Dukes pada tahun 1930.
Klasifikasi Dukes dibagi berdasarkan dalamnya infiltrasi karsinoma ke dinding usus.(11)
Tabel 2.1 Klasifikasi karsinoma kolorektal (Dukes)

Dukes

Dalamnya infiltrasi

Terbatas di dinding
usus
Menembus lapisan
muskularis mukosa
Metastasis kelenjar
limf
Beberapa kelenjar
limfe dekat tumor
primer
Dalam kelenjar limfa
jauh
Metastasis jauh

B
C
C1
C2

Prognosis hidup
setelah 5 tahun
97%
80%
65%
35%

<5%

2.2.4 Metastase
Karsinoma kolon dan rektum mulai berkembang pada mukosa dan bertumbuh
sambil menembus dinding dan memperluas secara sirkuler ke arah oral dan aboral. Di
daerah rektum penyebaran ke arah anal jarang melebihi dua sentimeter. Penyebaran per
kontinuitstum menembus jaringan sekitar atau organ sekitarnya misalnya ureter, bulibuli, uterus, vagina atau prostat. Penyebaran limfogen terjadi ke kelenjar parailiaka,
mesenterium dan paraaorta. Penyebaran hematogen terutama ke hati. Penyebaran
peritoneal mengakibatkan peritonitis karsinomatosa dengan atau tanpa asites.(11)
2.2.5 Tanda dan Gejala Klinis
Usus besar secara klinis dibagi menjadi belahan kiri dan kanan sejalan dengan
suplai darah yang diterima. Arteri mesenterika superior memperdarahi belahan bagian
kanan (caecum, kolon ascendens dan dua pertiga proksimal kolon transversum), dan
arteri mesenterika inferior yang memperdarahi belahan kiri (sepertiga distal kolon
transversum, kolon descendens dan sigmoid, dan bagian proksimal rektum). Tanda dan
6

gejala dari kanker kolon sangat bervariasi dan tidak spesifik. Keluhan utama pasien
dengan kanker kolorektal berhubungan dengan besar dan lokasi dari tumor. Tumor yang
berada pada kolon kanan, dimana isi kolon berupa cairan, cenderung tetap tersamar
hingga lanjut sekali. Sedikit kecenderungan menyebabkan obstruksi karena lumen usus
lebih besar dan feses masih encer. Gejala klinis sering berupa rasa penuh, nyeri
abdomen, perdarahan dan symptomatik anemia (menyebabkan kelemahan, pusing dan
penurunan berat badan). Tumor yang berada pada kolon kiri cenderung mengakibatkan
perubahan pola defekasi sebagai akibat iritasi dan respon refleks, perdarahan,
mengecilnya ukuran feses, dan konstipasi karena lesi kolon kiri yang cenderung
melingkar mengakibatkan obstruksi. Tumor pada rektum atau sigmoid bersifat lebih
infiltratif pada waktu diagnosis dari lesi proksimal, maka prognosisnya lebih jelek.(12)
2.3 Diagnosis
1. Anamnesis
Diagnosis dini tergantung dari pemeriksaan rutin. Gejala klinis karsinoma kolon
kiri berbeda dengan kanan. Gejala dan tanda dini karsinoma kolorektal tidak ada.
Umumnya, gejala pertama timbul karena penyulit, yaitu gangguan faal usus,
obstruksi, perdarahan, atau akibat penyebaran.(11)
Kanker kolon sisi kiri (sigmoid) :
Gejala dini obstruksi (sisi kiri memiliki lumen yang lebih sempit),
Tumor tersebut menimbulkan konstriksi seperti cincin serbet/napkin ring
atau bagian tengah apel/apple core (pertumbuhan anular yang melingkar);
dan
Dapat mengeluh adanya perubahan pada kebiasaan buang air besar.
Kanker kolon sisi kanan :
Anemia, penurunan berat badan dan nyeri abdomen,
Tumor yang menyerupai kembang kol/cauliflower (penampakan polipoid
atau fungating); dan
Feses dalam kolon sebelah kanan masih berupa cairan; jadi, gejala obstruksi
jarang dijumpai.
Kanker kolon pada kedua sisi :
Perubahan pada feses (melena, hematokezia, tinja yang diameternya kecil
seperti pensil);
Rasa tidak nyaman pada perut; dan
Gejala konstitusional seperti penurunan berat badan, keringat pada malam hari
dan demam.
7

2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan colok dubur merupakan keharusan dan dapat disusul dengan
pemeriksaan rektosigmoidoskopi. Pada pemeriksaan colok dubur ini yang harus
dinilai adalah keadaan tumor dan mobilitas tumor.(11)
3. Pemeriksaan Penunjang
Terdapat beberapa macam pemeriksaan penunjang yang terbukti efektif untuk
diagnosis karsinoma kolorektal, yaitu endoskopi, CT Scan, MRI, barium enema,
dan CEA.(11)
a. Endoskopi
Jenis endoskopi yang dapat digunakan adalah sigmoidosskopi rigid,
sigmoidoskopi fleksibel dan kolonoskopi. Sigmoidoskopi Rigid digunakan
untuk visualisasi kolon dan rektum sebenarnya kurang efektif dibandingkan
dengan sigmoidoskopi fleksibel.(11) Sigmoidoskopi Fleksibel yaitu visualisasi
langsung pada 40 hingga 60 cm terminal rektum dan kolon sigmoid dapat
dilakukan dengan persiapan yang minim dan lebih nyaman bagi pasien. Enam
puluh persen dari semua tumor usus besar dapat terlihat secara langsung
menggunakan alat ini.(13) Kolonoskopi adalah pemeriksaan endoskopi yang
sangat efektif dan sensitif dalam mendiagnosis karsinoma kolorektal. Tingkat
sensitivitas di dalam mendiagnosis adenokarsinoma atau polip kolorektal
adalah 95%.(11)
b. CT Scan dan MRI
CT Scan dan MRI digunakan untuk mendeteksi metastasis ke kelenjar getah
bening retroperitoneal dan metastasis ke hepar. Akurasi pembagian stadium
dengan menggunakan CT-Scan adalah 80% dibanding MRI 59%. Untuk
menilai metastase kelenjar getah bening akurasi CT-Scan adalah 65%, sedang
MRI 39%.(11)
c. Barium Enema
Merupakan pemeriksaan yang sering dilakukan untuk mendeteksi gangguan
kolon. Penambahan kontras-udara dengan radiografi enema barium bersifat
akurat hingga 90% pemeriksaan.(13)
d. CEA (Carcinoembrionik Antigen) Screening
CEA adalah sebuah glikoprotein yang terdapat pada permukaan sel yang
masuk ke dalam peredaran darah dan digunakan sebagai marker serologi untuk
memonitor status karsinoma kolorektal dan mendeteksi rekurensi dini dan
metastase ke hepar. CEA terlalu insensitif dan non spesifik untuk bisa
digunakan sebagai screening karsinoma kolorektal.(14)

Cara pemeriksaan

Persentase

Colok dubur

40%

Rektosigmoidoskopi

75%

Foto kolon dengan barium / kontras ganda

90%

Kolonoskopi

100% (hampir)

Tabel 2.2 Diagnosis pasti karsinoma kolorektal

2.4 Terapi (11)


1. Pembedahan
Satu-satunya kemungkinan terapi kuratif ialah tindak bedah. Tujuan utama ialah
memperlancar saluran cerna, baik bersifat kuratif maupun nonkuratif. Tindak bedah
terdiri atas reseksi luas karsinoma primer dan kelenjar limf regional. Bila sudah terjadi
metastasis jauh, tumor primer akan di reseksi juga dengan maksud mencegah
obstruksi, perdarahan, anemia, inkontinensia, fistel, dan nyeri.

2. Radiasi
Terapi radiasi merupakan penanganan karsinoma dengan menggunakan x-ray
berenergi tinggi untuk membunuh sel karsinoma. Terdapat 2 cara pemberian terapi
radiasi, yaitu dengan radiasi eksternal dan radiasi internal. Radiasi eksternal (external
beam radiation therapy) merupakan penanganan dimana radiasi tingkat tinggi secara
tepat diarahkan pada sel karsinoma. Terapi radiasi tidak menyakitkan dan pemberian
radiasi hanya berlangsung menit (American Cancer Society, 2013).

3. Kemoterapi
Sebelum pembedahan, bisa dilakukan kemoterapi untuk menghambat pertumbuhan
sel kanker baru, dan juga untuk membunuh dan membinasakan sel kanker. Sekitar
setengah dari pasien kanker usus besar dengan metastasis dan kambuh setelah
operasi, di samping beberapa pasien dengan stadium dini, pasien stadium lanjut
dan pasien operasi pemotongan diminta untuk menjalani kemoterapi. Dalam
kombinasi kemoterapi pengobatan kanker kolon adalah pengecualian sebuah
tindakan terapi penting perawatan bedah lanjutan.
9

a. Program Kemoterapi Intravena Tubuh


Progam kemoterapi kanker kolon berbasis 5-FU, dengan tetrahydrofolate
sebagai dosis pengatur untuk meningkatkan efektivitas pengaruh dosis 5-FU.
B. Golongan Antimetabolit
b. Kemoterapi Oral
Obat kemoterapi

oral kanker kolon terutama

mengacu

pada obat

fluoropyrimidine, setelah diserap sekali atau berulang kali melalui


metabolisme menjadi 5 - fluorouracil, berfungsi sebagai efek anti kanker.
Kemoterapi oral dalam perawatan klinis mempunyai hasil pengobatan yang
tinggi, efek samping ringan, kemudahan dosis, dapat pengobatan rawat jalan,
tepat untuk kemoterapi pasien tumor usia lanjut dan keluarga menjadi tren
baru dalam pengobatan kanker kolon.
c. Imunoterapi
Imunoterapi dapat meningkatkan imunitas dan kualitas hidup pasien; tanpa
trauma, tidak sakit, tidak perlu rawat inap, juga dapat menurunkan efek
samping dari radioterapi.

Obat- Obat Anti Kanker Usus Besar


Bevacizumab (Avastin ), panitumumab (vectibix), dan cetuximab
(Erbitux). Obat ini merupakan antibodi monoclonal buatan (versi
manusia) untuk menyerang kanker pada akar molekulnya.
5-fluorourasil (5-FU)
Sediaan : Obat ini tersedia sebagai larutan 50 mg/mL dalam ampul 10 mL
untuk IV
Indikasi : Kanker payudara, kolon, esofagus, leher dan kepala, Leukimia
limfositik
Sisplatin
Indikasi : Kanker testis, ovarium, buli-buli, esofagus, paru, kolon.
Mekanisme kerja : Mekanisme kerja pasti dari sisplastin belum diketahui,
tapi diduga mirip dengan alkilator. Tempat ikatan utama adalah N7 pada
guanin, namun juga terbentuk ikatan kovalen dengan adenin dan sitosin.
Bevakizumab.
Indikasi : terapi kanker metastatik di kolon atau anus pada kombinasi
dengan 5-FU intravena/asam folat atau 5-FU/asam folat/irinotecan.
10

Kontra Indikasi: kanker metastasis, ibu hamil dan menyusui, produk sel
ovari hamster cina atau gen rekombinan atau antibodi manusia.
Perhatian: perforasi sistem pencernaan, penyembuhan komplikasi luka,
proteinuria, tromboamboli arteri, hemorhagik, kardiomiopatik.
Efek samping: inflamasi perut bagian dalam, luka lambung, tumor
nekrosis,

diverticulitis

(inflamasi

kolon),

pendarahan,

hipertensi,

proteinuria, tumor yang menyebabkan haemorhagik, tromboemboli


arterial, keadaan abnormal.
Dosis: 5 mg/kg/BB dalam infus intravena sekali dalam 14 hari. Dosis awal
diberikan 90 menit setelah kemoterapi infus. Dosis kedua diberikan infus
selama 60 menit dan kemudian seluruh dosis diberikan 30 menit sebelum
atau sesudah kemoterapi.
Kemasan: Vial 25 mg/ml x 4 ml x 1s. 16 ml x 1s.

Kerja Obat Antikanker.


Pada umumnya, kerja antikanker berdasarkan atas gangguan pada salah
satu proses sel yang esensial. Karena tidak ada perbedaan kualitatif antara
sel kanker dengan sel normal maka semua antikanker bersifat sitotoksik
dan bukan kankerosid atau kanker toksik yang selektif.
Alkilator.
Berbagai alkilator menunjukkan persamaan cara kerja yaitu melalui
pembentukan ion karbonium atu kompleks lain yang sangat reaktif.
Ikatan kovalen (alkilasi) akan terjadi dengan berbagai nukleofilik
penting dalam tubuh misalnya fosfat, amino, sulhidril, hidroksil atau
gugus imidazol. Efek sitostatik maupun efek sampingnya berhubungan
langsung dengan terjadinya alkilasi DNA ini.
Antimetabolit.
Antipurin dan antipirimidin mengambil tempat purin dan pirimidin
dalam pembentukan nukleosida, sehingga mengganggu berbagai reaksi
penting dalam tubuh.
Penggunaan sebagai obat kanker didasarakan atas kenyataan bahwa
metabolism purin dan pirimidin lebih tinggi pada sel kanker dari sel
normal.
Antagonis purin
11

Misalnya merkaptopurin merupakan antagonis kompetitif dari enzim


yang menggunakan senyawa purin sebagai substrat. Suatu alternatif
lain dari mekanisme kerjanya ialah pembentukan 6-metilmerkaptopurin
(MMPR), yang menghambat biosintesis RNA, CoA, ATP dan DNA
dihambat.
Antagonis folat
Misalnya metotreksat menghambat dihidrofolat reduktase dengan kuat
dan berlangsung lama. Dihidrofolat reduktase ialah enzim yang
mengkatalis

dihidrofolat

(FH2)menjadi

tetrahidrofolat

(FH4).

Tetrahidofolat merupakan metabolit aktif dari asam folat yang berperan


sebagai kofaktor penting pada sintesis protein.
Produk Alamiah.
Alkaloid Vinka. Zat ini berikatan secara spesifik dengan tubulin,
komponen

proteinmikrotubulus,

spindle

mitotik

dan

memblok

polimerasinya. Akibatnya terjadi disolusi mikrotubulus sehingga sel


terhenti dalam metafase.
Antibiotik.
Antrasiklin berinterkalasi dengan DNA sehingga fungsi DNA
terganggu. Aktinomisin memblok polimerase RNA yang dependen
terhadap DNA, karena terbentuknya kompleks antara obat dan DNA.
Bleomisin bersifat sitotoksik berdasarkan daya memecahkan DNA.
Enzim.
Asparaginase. Obat ini ialah suatu enzim katalisator yang berperan
dalam hidrolisis asparagin menjadi asam aspartat dan amonia.
2.5 Pencegahan (13)
1.

Endoskopi
Sigmoidoskopi atau endoskopi dapat mengidentifikasi dan mengangkat polip dan
menurunkan insiden daripada karsinoma kolorektal pada pasien yang menjalani
kolonoskopi polipektomi.

2.

Diet

12

Penelitian awal menunjukkan bahwa diet tinggi bahan fitokimia mengandung zat gizi
seperti serat, vitamin C, E dan karoten dapat meningkatkan fungsi kolon dan bersifat
protektif dari mutagen yang menyebabkan timbulnya kanker.

3.

Obat-obatan
Beberapa penelitian epidemiologi terakhir mengisyaratkan bahwa pemakaian aspirin
dan NSAID lain memiliki efek protektif terhadap kanker kolon. Dalam Nurses
Health Study, perempuan yang mengonsumsi empat sampai enam tablet aspirin/hari
selama 10 tahun atau lebih, memperlihatkan penurunan insidensi kanker kolon. Dasar
kemoprevensi ini belum diketahui. Mekanisme yang mungkin adalah induksi
apoptosis pada sel tumor dan inhibisi angiogenesis. Efek yang terakhir tampaknya
diperantarai oleh inhibisi siklogenase 2. Enzim dalam jalur sintesis prostaglandin ini
tampaknya meningkatkan angiogenesis dengan meningkatkan produksi faktor
pertumbuhan endotel vaskular (VEGF). Berdasarkan temuan ini, Federal Drug
Adminitration menyetujui pemakaian inhibitor siklooksigenase 2 sebagai zat
kemopreventif pada pasien dengan sindrom poliposis adenomatosa familial.

13

BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Studi Kasus I(15)

Asuhan Keperawatan Kolostomi Pada Ny. R Dengan Kanker Kolorektal Di Lantai 5


Bedah RSPAD Gatot Soebroto
a.

Gejala
Klien mengatakan tidak nafsu makan, mual (+), muntah (-), klien merasa berat

badannya menurun. Klien mengatakan kulit di area selangkangan menghitam dan


kering, terkadang nyeri di area tersebut. Klien juga mengeluhkan dirinya sering bolakbalik ke kamar mandi untuk BAK, klien bingung mengapa ia menjadi sering BAK.
Klien mengeluhkan sering BAB tiba-tiba dengan waktu yang tak teratur melalui lubang
kolostominya. Klien saat ini sedang mendapat terapi radiasi hari ke-20 dan kemoterapi
oral hari pertama. Klien mengeluhkan ada benjolan yang pecah pada area bokong
hingga keluar nanah dan lendir yang berbau. Klien mengeluhkan BAB campur darah 1
bulan SMRS. Riwayat penyakit sebelumnya klien mengatakan 2 bulan SMRS
merasakan ada benjolan (polip) pada area bokong dan anus, kemudian atas saran orang
tua, dioleskan benjolan tersebut dengan kentang, akhirnya benjolan tersebut pecah.
b. Penyakit
Ny. R (31 tahun) menderita kanker kolorektal (berdasarkan pemeriksaan histologi 27
Maret 2013 tampak adenocarcinoma pada kolon sigmoid dan rektum), dan dilakukan
tindakan pembedahan loop colostomy pada Ny. R pada tanggal 5 April 2013. Hal ini
sejalan dengan fakta yang disampaikan Simanjuntak dan Nurhidayah (2007) bahwa alasan
paling sering dilakukan tindakan kolostomi adalah karena adanya karsinoma pada kolon
dan rektum. Etiologi kanker kolorektal pada Ny. R meliputi adanya riwayat polip yang
terdapat pada anal, klien dulu sering mengeluhkan sulit BAB, konsistensi feses yang selalu

14

padat. Black & Hawks (2009) menyebutkan bahwa polip dapat menjadi satu faktor resiko
dari terjadinya kanker rektal. Evakuasi feses yang lama menyebabkan feses tertahan dalam
rektum dalam waktu lama, yang dapat menyebabkan keluarnya efek karsinogen dari toksin
pada feses (Corwin, 2001).

Pemeriksaan Penunjang
A. Pemeriksaan Laboratorium
Tabel 3.1 Hasil Pemeriksaan Laboratorium Ny. R

Jenis Pemeriksaan
Hematologi
Hemoglobin (Hb)
Hematokrit (Ht)
Eritrosit
Leukosit
Trombosit
MCV
MCH
MCHC
Kimia Klinik
SGOT
SGPT
Ureum
Kreatinin
Na
K
Cl

Nilai

Keterangan

11,5 g/dl
36 %
4,3 juta/ul
4300/ul
227.000/ul
84fL
27 pg
32 g/dl

Menurun
Menurun
Normal
Menurun
Normal
Normal
Normal
Normal

14 U/L
10 U/L
21 mg/dL
0,7 mg/dL
141 mmol/L
4,3 mmol/L
101 mmol/L

Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal

B. Pemeriksaan Histopatologi (27 Maret 2013)


Hasil: Rektosigmoid adenocarcinoma poorly differentiated
C. Pemeriksaan MSCT-Scan abdomen (22 Maret 2013)
Hasil: Massa isodens inhomogen daerah rectosigmoid yang berbatasan
langsung dengan uterus dan memberikan enchancement inhomogen,
hepatomegali ringan, suspek metastase klien, gambaran ileus obstruktif partial,
MSCT-scan gallbladder, pancreas, ginjal dan vesica urinaria dalam batas
normal.
c.

Terapi :
Penatalaksanaan kanker kolorektal secara medis adalah melalui terapi radiasi dan

kemoterapi, sedangkan secara bedah adalah dilakukan tindakan reseksi atau pembuatan

15

kolostomi (Smeltzer & Bare, 2002; Zhang, 2008). Ny. R mendapat penatalaksanaan
seperti yang disebutkan di atas, yakni pembedahan kolostomi, terapi radiasi, dan
kemoterapi. Efek samping dari kemoterapi dan radiasi menurut Zhang (2008) adalah
mengganggu metabolisme sel yang sehat, ditunjukkan dengan rambut rontok, stimulasi
pusat mual (timbul rasa mual dan muntah) serta mengganggu pembentukan sel darah
merah oleh tulang belakang. Dalam kasus ini, Ny. R memang mengeluhkan mual (+),
muntah (-). Ny. R sering tidak nafsu makan, bahkan mengalami penurunan berat badan
hingga 3kg dalam seminggu terakhir. Ny. R mendapat terapi medikasi anti emetik
Ondansentron 8 mg, 2 x 1, pukul 18.00 dan 06.00. Terkait dengan gangguan
pembentukan sel darah merah, hal ini juga dialami oleh Ny. R meskipun dari manifestasi
klinis tidak sampai terlihat. Pemeriksaan laboratorium pada tanggal 4 Mei 2013
menunjukkan bahwa Hb klien di bawah normal (11,5 g/dL, normalnya 12-16 g/dL), dan
Ht di bawah normal (36%, normalnya 37-47%). Penurunan komponen darah ini
diimbangi dengan asupan suplemen penambah darah sangobiad 2 x 1 tab (pukul 18.00
dan 06.00).

Daftar Terapi Medis


Tabel 3.2 Daftar Terapi Medikasi Ny. R
Nama Obat
Ranitidin
(Rantin)
Tramadol
Vitamin B
kompleks
(Neurobion)
Sangobiad
Meloderm
Radiocare
Capecitabine
(Xeloda)

Rute

Frekuensi

Waktu Pemberian (Jam)

Oral

2x1

18.00 & 06.00

Oral

3x1

12.00, 18.00 & 06.00

Oral

2x1

18.00 & 06.00

Oral
Topikal
Topikal

2x1
2x1
1x1

18.00 & 06.00


18.00 & 06.00
06.00

Oral

2x2

20.00 & 07.00

d. Hasil Terapi
Ny. R kini telah melewati satu bulan pasca pembedahan kolostomi. Truven
Health Analytics (2012) menyampaikan bahwa komplikasi stoma paling banyak
muncul pada tahun pertama pasca pembedahan. Oleh karena itu Ny. R diberikan
edukasi terkait kondisi stoma sehat dan tidak sehat diberikan kepada Ny. R &
keluarga agar pasien dapat membantu mengidentifikasi sendiri kondisi stomanya.
Kondisi stoma Ny. R sendiri saat ini baik, berwarna pink kemerahan, lembap dan
16

mengkilat, tidak mengerut, menonjol <5 cm, produksi feses (+), flatus (+), tidak ada
perdarahan. Hal ini sesuai dengan ciri stoma sehat yang disampaikan oleh Borwel
(2011), dimana stoma yang normal akan terlihat merah atau pink terang, lembap,
tidak mengerut dan tampak seperti membran mukosa oral.

No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Nama Obat
Ranitidin (Rantin)
Tramadol
Vitamin B kompleks
(Neurobion)
Sangobiad
Meloderm
Sodium Folinate
(Radiocare)
Capecitabine (Xeloda)

Bentuk Sediaan
Tablet
Tablet

Rute Pemberian
Oral
Oral

Tablet

Oral

Tablet
Krim

Oral
Topikal

Krim

Topikal

Tablet

Oral

Mekanisme Farmakokinetik :
1. Ranitidin
a. Absorpsi. Ranitidin diabsorpsi dengan baik dari saluran cerna maupun pada
pemberian secara intramuskular. Bioavailabilitas absolut ranitidin pada pemberian
secara oral adalah sekitar 50%.
b. Distribusi. Ranitidin terdistribusi secara luas pada cairan tubuh dan sekitar 1019% berikatan dengan protein serum. Volume distribusi ranitidin rata-rata 1,7
L/Kg dengan kisaran 1,2-1,9 L/Kg.
c. Metabolisme. Ranitidin dimetabolisme dihati menjadi ranitidin N-oksida,
desmetil ranitidin, dan ranitidin S-oksida. Pada pemberian oral, ranitidin juga
mengalami metabolisme lintas pertama dihati.
d. Eliminasi. Waktu paruh eliminasi rata-rata pada orang dewasa adalah 1,7-3,2 jam,

dan dapat berkorelasi positif dengan usia. Waktu paruh eliminasi akan meningkat
pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Ranitidin sebagian besar
diekskresikan dalam urin melalui filtrasi glomerular dan sekresi tubular.
2. Tramadol
a. Absorbsi. Tramadol diabsorbsi ditraktus gastrointestinal lebih dari 96% setelah
pemberian awal. Absorbsi tidak dipengaruhi oleh makanan dan bioavailabilitas
sistemik setelah pemberian awal dosis tunggal sekitar 70%, sedangkan setelah
17

pemberian ulangan mencapai 90 100%. Hanya 20% berikatan dengan protein


plasma sehingga interaksi obat menjadi sangat minim. Konsentrasi tertinggi
dalam serum (peak serum level) pada pemberian intramuskular dicapai setelah 45
menit (bervariasi 50-90 menit) dihitung sejak waktu pemberian obat. Rerata
bioavailabilitas absolut pemberian oral 68-72%. Mula kerjanya sangat
cepat,hanya sekitar 20 menit.
b. Distribusi
Tramadol didistribusikan secara cepat di seluruh tubuh dengan volume distribusi
2-3L/kg pada dewasa muda. Dua puluh persen berikatan dengan protein plasma,
dengan konsentrasi 10 g/ml.
c. Metabolisme
Tramadol dimetabolisme oleh dementilasi N dan O via sitokrom P450 isoezim
CYP3A4 dan CYP2D6 dan glukoronidasi atau sulfasi di hepar (85%). Hanya odesmethyltramadol (M1) yang aktif secara farmakologis. Produksi M1
bergantung pada ikatan isoenzym CYP2D6 pada sitokrom P450. Demetylasi
Nitrogen dikatalisasi isoenzym CYP3A4 pada sitokrom P450.
d. Ekskresi
Tramadol dan metabolitnya diekskresikan terutama melalui ginjal. Pada usia
dewasa, waktu paruh tramadol 5-7 jam. Total klirens mencapai 430-610 mL/min.
3. Vitamin B Kompleks
Vitamin B Kompleks merupakan vitamin yang larut dalam air. Diabsorpsi dengan
baik dari saluran GI setelah pemberian oral, sebagian prosesnya bersifat aktif,
sebagian lainnya pasif. Absorpsi vitamin larut air biasanya meningkat pada status
defisiensi. Vitamin B kompleks didistribusikan secara luas, menembus plasenta dan
memasuki ASI. Metabolisme dan ekskresinya digunakan dalam berbagai proses
biologik. Kelebihan jumlah vitamin larut dalam air di ekskresi melalui ginjal tanpa
mengalami perubahan.
4. Sangobiad
a. Absorpsi
Absorpsi melalui saluran cerna terutama berlangsung di duodenum dan jejenum
proksimal; makin ke distal absorpsinya makin berkurang. Transportnya melalui
sel mukosa usus terjadi secara transport aktif. Ion fero yang sudah di absorpsi
18

akan di ubah menjadi ion feri dalam sel mukosa. Selanjutnya ion feri akan masuk
kedalam plasma dengan perantara transferin, atau di ubah menjadi feritin dan di
simpan dalam sel mukosa usus. Secara umum, bila cadangan dalam tubuh tinggi
dan kebutuhan akan zat besi rendah, maka lebih banyak fe di ubah menjadi
feritin. Bila cadangan rendah atau kebutuhan meningkat, maka fe yang baru di
serap akan segera di angkut dari sel mukosa ke sum-sum tulang untuk
eritropoesis.
b. Distribusi
Setelah di absorpsi, fe dalam tubuh akan di ikat dalam transferin ( siderofilin ),
suatu beta 1-globulin glikoprotein, untuk kemudian di angkut ke beberapa
jaringan, terutama ke sumsum tulang dan depot fe
c. Metabolisme
Bila tidak digunakan untuk eritropoesis, fe meningkat suatu protein yang di sebut
apoferitin dan membentuk feritin. Fe disimpan terutama pada sel mukosa usus
halus dan dalam sel-sel retikuloendotelial ( di hati, limpa dan sumsum tulang ).
Cadangan ini tersedia untuk di gunakan oleh sumsum tulang dalam proses
eritropoesis; 10% di antaranya terdapat dalam labile pool yang cepat dapat
dikerahkan untuk prose ini, sedangkan sisanya baru di gunakan bila labile pool
telah kosong. Besi yang terdapat dalam parenkim jaringan tidak dapat di gunakan
untuk eritropoesis.
d. Eksresi
Jumlah fe yang dieksresi setiap hari sedikit sekali, biasanya sekitar 0,5-1 mg
sehari. Ekskresi terutama berlangsung melalui sel epitel kulit dan saluran cerna
yang terkelupas, selain itu juga melalui keringat, urin, feses, serta kuku dan
rambut yang di potong. Pada proteinuria jumlah yang di keluarkan dengan urin
dapat meningkat bersama dengan sel yang mengelupas. Pada wanita usia subur
dengan siklus haid 26 hari. Jumlah fe yang diekskresikan sehubungan dengan
haid di perkirakan sebanyak 0,5-1 mg sehari.
5. Meloderm Cream dan Sodium Folinate Cream
Farmakokinetik sediaan topikal secara umum menggambarkan perjalanan bahan aktif
dalam konsentrasi tertentu yang diaplikasikan pada kulit dan kemudian diserap ke
lapisan kulit, selanjutnya didistribusikan secara sistemik . Secara umum perjalanan
sediaan topikal setelah diaplikasikan melewati tiga kompartemen yaitu: permukaan
19

kulit, stratum korneum, dan jaringan sehat. Stratum korneum dapat berperan sebagai
reservoir bagi vehikulum tempat sejumlah unsur pada obat masih berkontak dengan
permukaan kulit namun belum berpenetrasi tetapi tidak dapat dihilangkan dengan cara
digosok atau terhapus oleh pakaian.
6. Capecitabine

3.2 Studi Kasus II(16)

Kemoterapi untuk Kemajuan Kanker Kolokteral di Rumah Sakit Swasta Jakarta :


Bertahan Hidup ketika Pengobatan Terbaik yang Diberikan
a. Gejala
Gejala yang dialami pada pasien adalah perubahan pada kondisi usus, antara
lain diare atau konstipasi atau perubahan rutinitas buang air besar yang tidak seperti
biasanya, pendarahan pada dubur atau terdapat darah pada feses, ketidaknyamanan
pada area perut, seperti kejang, kembung atau nyeri, perasaan tidak tuntas ketika
buang air besar, lemah, berat badan menjadi turun, anemia, bentuk kotoran (feses)
yang panjang dan kecil mirip pensil.
Kebanyakan kasus kanker kolorektal didiagnosis pada usia sekitar 50 tahun
dan umumnya sudah memasuki stadium lanjut sehingga prognosis juga buruk.
Keluhan yang paling sering dirasakan pasien adalah perubahan pola buang air besar,
perdarahan per anus (hematosezia dan konstipasi). Kanker ini umumnya berjalan
lamban, keluhan dan tanda-tanda fisik timbul sebagaia bagian dari komplikasi
seperti obstruksi. Perdarahan invasi lokal kakheksia. Obstruksi kolon biasanya
terjadi di kolon transversum. Kolon desendens dan kolon sigmoid karena ukuran
lumennya lebih sempit daripada kolon yang proksimal. Obstruksi parsial awalnya
ditandai dengan nyeri abdomen, namun bila obstruksi total terjadi akan
menimbulkan nausea, muntah, distensi dan obstipasi. Kanker kolon dapat berdarah
sebagai bagian dari tumor yang rapuh dan mengalami ulserasi. Meskipun
perdarahan umumnya tersamar namun hematochesia timbul pada sebagian kasus.
b. Penyakit
Ada 104 pasien dengan kanker kolorektal selama studi periode, 22 (21,2%)
diantaranya sudah berada pada stadium IV dan 17 (16,3%) lainnya pasien yang
20

kambuh dengan total 39 kasus mCRC. Hati dan jantung merupakan tempat dominan
dari metastasis yang ditemukan pada 45 pasien. Adenokarsinoma merupakan satusatunya histopatologi yang ditemukan dalam kasus kanker kolon ini.
c. Terapi
Semua pasien diberikan kombinasi 5-fluorouacil (5-FU) atau leucovorin (LV),
oxaloptin untuk 6 siklus (FOLFOX4) sebagai standar pilihan regimen pertama
untuk mCRC di Indonesia. Capecitabine oral dan terapi target seperti bevacizumab
dan cetuximab juga diberikan ketika terindikasi. Beberapa pasien membutuhkan
perawatan tambahan, seperti palliative hepatic resection dan radioterapi untuk
mengurangi rasa sakit.
Nilai tengah atau median dari kelangsungan hidup pasien yang menerima FOLFOX
(dengan atau tanpa oral capecitabine) belum tercapai pada jurnal ini, sementara
pasien yang tidak menerima regimen FOLFOX tersebut telah bertahan hidup ratarata selama 12 bulan.
d. Hasil terapi
Hasilnya 19 (48,7%) pasien meninggal dunia selama studi periode, sedangkan
sisanya tetap hidup tetapi pasien tidak dilakukan monitoring. Rata-rata pasien dapat
bertahan selama 18 bulan. Waktu terlama pasien dapat bertahan hidup adalah
selama 76 bulan (pasien dapat bertahan hidup ketika manuskrip sedang
dipersiapkan). Pasien dengan penyakit kanker kolon dapat bertahan hidup lebih
lama dibandingkan dengan kanker rektal. Tidak ada perbedaan yang signifikan
antara pasien yang dapat bertahan hidup pada stadium IV dengan pasien yang sering
kambuh penyakitnya.
Pasien dengan metastatik kanker kolon memiliki median kelangsungan hidup
selama 18 bulan. Kemoterapi kombinasi dengan FOLFOX dapat memperpanjang
kelangsungan hidup pasien. Dengan pengobatan dan perawatan yang tepat pasienpasien kanker kolon di Indonesia akan memiliki angka kelangsungan hidup yang
sama dengan negara maju.
No.

Nama Obat

Bentuk Sediaan

Rute Pemberian

1.

Leukovorin (LV)

Injeksi

Injeksi pemberian intravena (IV)

2.

Oksaliplatin

Tablet

Oral
21

3.

Kapesitabin

Tablet

Oral

4.

Bevakizumab

Injeksi

Injeksi pemberian intravena (IV)

5.

Setuksimab

Injeksi

Injeksi pemberian intravena (IV)

Mekanisme Farmakokinetik :
1. Leukovorin (LV)
2. Oksaliplatin
3. Kapesitabin
4. Bevakizumab
5. Setuksimab

22

BAB IV
PENUTUP

5.1

Kesimpulan
Kanker kolon, kanker rektal, dan kanker kolorektal merupakan penyakit yang
sama. Kanker kolorektal ditujukan pada tumor ganas yang ditemukan di kolon dan
rektum. Kolon dan rectum adalah bagian dari usus besar pada sistem pencernaan yang
disebut juga traktus gastrointestinal. Klasifikasi karsinoma kolorektal menurut WHO
adalah adenokarsinoma, adenosquamous karsinoma, mucinous adenokarsinoma,
signet ring cell carcinoma, squamous cell carcinoma, undifferentiated carcinoma, dan
medullary carcinoma. Pemeriksaan yang dilakukan untuk mendeteksi adanya kanker
kolon adalah yang pertama pemeriksaan fisik dan kedua pemeriksaan penunjang
diantaranya endoskopi, CT Scan, MRI, barium enema, dan CEA. Terapi yang dapat
dilakukan adalah dengan, pembedahan, radiasi, dan kemoterapi.

Selain itu juga

diberikan obat kemoterapi oral kanker kolon seperti obat fluoropyrimidine,

bevacizumab, panitumumab, dan cetuximab.

23

Anda mungkin juga menyukai