PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kanker merupakan penyakit dengan karakteristik adanya gangguan atau kegagalan
Penelitian di Eropa dan Amerika Serikat melaporkan bahwa untuk pengobatan kanker
kolon, obat yang digunakan yaitu respon kombinasi dari 5-fluorouracil (5-FU), leucovorin,
dan irinotecan (CPT11) lebih baik bila dibandingkan dengan 5-FU/leucovorin atau CPT11
secara tunggal. Terapi standar untuk carsinoma kolon yang telah bermetastase adalah CPT11
dengan kombinasi 5-FU/LV dikenal sebagai Saltz Regimen. Obat ini digunakan secara
kombinasi dalam pengobatan karsinoma kolorektal. Berdasarkan uraian sebelumnya maka
dalam makalah ini akan dibahas tentang kanker kolon. Baik dari anatomi penyakit kanker
kolon sampai dengan terapinya.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya maka rumusan masalah
Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dijelaskan maka tujuan penulisan dalam
Manfaat Penulisan
Hasil dari penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
penyakit kanker kolon, obat-obat yang digunakan serta contoh dari pengobatannya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Appendix Vermiformis berupa pipa buntu yang berbentuk cacing dan berhubungan
dengan caecum di sebelah kaudal peralihan ileosekal.(6) Colon ascendens panjangnya
kurang lebih 15 cm, dan terbentang dari caecum sampai ke permukaan visceral dari
lobus kanan hepar untuk membelok ke kiri pada flexura coli dextra untuk beralih
menjadi colon transversum.(7) Pendarahan colon ascendens dan flexura coli dextra
terjadi melalui arteri ileocolica dan arteri colica dextra, cabang arteri mesenterica
superior. Vena ileocolica dan vena colica dextra, anak cabang mesenterika superior,
mengalirkan balik darah dari colon ascendens.(6)
Colon transversum merupakan bagian usus besar yang paling besar dan paling
dapat bergerak bebas karena bergantung pada mesocolon, yang ikut membentuk
omentum majus. Panjangnya antara 45-50 cm. (7) Pendarahan colon transversum
terutama terjadi melalui arteria colica media, cabang arteria mesenterica superior,
tetapi memperoleh juga darah melalui arteri colica dextra dan arteri colica sinistra.
Penyaluran balik darah dari colon transversum terjadi melalui vena mesenterica
superior.(6)
Klasifikasi karsinoma ini pertama kali diajukan oleh Dukes pada tahun 1930.
Klasifikasi Dukes dibagi berdasarkan dalamnya infiltrasi karsinoma ke dinding usus.(11)
Tabel 2.1 Klasifikasi karsinoma kolorektal (Dukes)
Dukes
Dalamnya infiltrasi
Terbatas di dinding
usus
Menembus lapisan
muskularis mukosa
Metastasis kelenjar
limf
Beberapa kelenjar
limfe dekat tumor
primer
Dalam kelenjar limfa
jauh
Metastasis jauh
B
C
C1
C2
Prognosis hidup
setelah 5 tahun
97%
80%
65%
35%
<5%
2.2.4 Metastase
Karsinoma kolon dan rektum mulai berkembang pada mukosa dan bertumbuh
sambil menembus dinding dan memperluas secara sirkuler ke arah oral dan aboral. Di
daerah rektum penyebaran ke arah anal jarang melebihi dua sentimeter. Penyebaran per
kontinuitstum menembus jaringan sekitar atau organ sekitarnya misalnya ureter, bulibuli, uterus, vagina atau prostat. Penyebaran limfogen terjadi ke kelenjar parailiaka,
mesenterium dan paraaorta. Penyebaran hematogen terutama ke hati. Penyebaran
peritoneal mengakibatkan peritonitis karsinomatosa dengan atau tanpa asites.(11)
2.2.5 Tanda dan Gejala Klinis
Usus besar secara klinis dibagi menjadi belahan kiri dan kanan sejalan dengan
suplai darah yang diterima. Arteri mesenterika superior memperdarahi belahan bagian
kanan (caecum, kolon ascendens dan dua pertiga proksimal kolon transversum), dan
arteri mesenterika inferior yang memperdarahi belahan kiri (sepertiga distal kolon
transversum, kolon descendens dan sigmoid, dan bagian proksimal rektum). Tanda dan
6
gejala dari kanker kolon sangat bervariasi dan tidak spesifik. Keluhan utama pasien
dengan kanker kolorektal berhubungan dengan besar dan lokasi dari tumor. Tumor yang
berada pada kolon kanan, dimana isi kolon berupa cairan, cenderung tetap tersamar
hingga lanjut sekali. Sedikit kecenderungan menyebabkan obstruksi karena lumen usus
lebih besar dan feses masih encer. Gejala klinis sering berupa rasa penuh, nyeri
abdomen, perdarahan dan symptomatik anemia (menyebabkan kelemahan, pusing dan
penurunan berat badan). Tumor yang berada pada kolon kiri cenderung mengakibatkan
perubahan pola defekasi sebagai akibat iritasi dan respon refleks, perdarahan,
mengecilnya ukuran feses, dan konstipasi karena lesi kolon kiri yang cenderung
melingkar mengakibatkan obstruksi. Tumor pada rektum atau sigmoid bersifat lebih
infiltratif pada waktu diagnosis dari lesi proksimal, maka prognosisnya lebih jelek.(12)
2.3 Diagnosis
1. Anamnesis
Diagnosis dini tergantung dari pemeriksaan rutin. Gejala klinis karsinoma kolon
kiri berbeda dengan kanan. Gejala dan tanda dini karsinoma kolorektal tidak ada.
Umumnya, gejala pertama timbul karena penyulit, yaitu gangguan faal usus,
obstruksi, perdarahan, atau akibat penyebaran.(11)
Kanker kolon sisi kiri (sigmoid) :
Gejala dini obstruksi (sisi kiri memiliki lumen yang lebih sempit),
Tumor tersebut menimbulkan konstriksi seperti cincin serbet/napkin ring
atau bagian tengah apel/apple core (pertumbuhan anular yang melingkar);
dan
Dapat mengeluh adanya perubahan pada kebiasaan buang air besar.
Kanker kolon sisi kanan :
Anemia, penurunan berat badan dan nyeri abdomen,
Tumor yang menyerupai kembang kol/cauliflower (penampakan polipoid
atau fungating); dan
Feses dalam kolon sebelah kanan masih berupa cairan; jadi, gejala obstruksi
jarang dijumpai.
Kanker kolon pada kedua sisi :
Perubahan pada feses (melena, hematokezia, tinja yang diameternya kecil
seperti pensil);
Rasa tidak nyaman pada perut; dan
Gejala konstitusional seperti penurunan berat badan, keringat pada malam hari
dan demam.
7
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan colok dubur merupakan keharusan dan dapat disusul dengan
pemeriksaan rektosigmoidoskopi. Pada pemeriksaan colok dubur ini yang harus
dinilai adalah keadaan tumor dan mobilitas tumor.(11)
3. Pemeriksaan Penunjang
Terdapat beberapa macam pemeriksaan penunjang yang terbukti efektif untuk
diagnosis karsinoma kolorektal, yaitu endoskopi, CT Scan, MRI, barium enema,
dan CEA.(11)
a. Endoskopi
Jenis endoskopi yang dapat digunakan adalah sigmoidosskopi rigid,
sigmoidoskopi fleksibel dan kolonoskopi. Sigmoidoskopi Rigid digunakan
untuk visualisasi kolon dan rektum sebenarnya kurang efektif dibandingkan
dengan sigmoidoskopi fleksibel.(11) Sigmoidoskopi Fleksibel yaitu visualisasi
langsung pada 40 hingga 60 cm terminal rektum dan kolon sigmoid dapat
dilakukan dengan persiapan yang minim dan lebih nyaman bagi pasien. Enam
puluh persen dari semua tumor usus besar dapat terlihat secara langsung
menggunakan alat ini.(13) Kolonoskopi adalah pemeriksaan endoskopi yang
sangat efektif dan sensitif dalam mendiagnosis karsinoma kolorektal. Tingkat
sensitivitas di dalam mendiagnosis adenokarsinoma atau polip kolorektal
adalah 95%.(11)
b. CT Scan dan MRI
CT Scan dan MRI digunakan untuk mendeteksi metastasis ke kelenjar getah
bening retroperitoneal dan metastasis ke hepar. Akurasi pembagian stadium
dengan menggunakan CT-Scan adalah 80% dibanding MRI 59%. Untuk
menilai metastase kelenjar getah bening akurasi CT-Scan adalah 65%, sedang
MRI 39%.(11)
c. Barium Enema
Merupakan pemeriksaan yang sering dilakukan untuk mendeteksi gangguan
kolon. Penambahan kontras-udara dengan radiografi enema barium bersifat
akurat hingga 90% pemeriksaan.(13)
d. CEA (Carcinoembrionik Antigen) Screening
CEA adalah sebuah glikoprotein yang terdapat pada permukaan sel yang
masuk ke dalam peredaran darah dan digunakan sebagai marker serologi untuk
memonitor status karsinoma kolorektal dan mendeteksi rekurensi dini dan
metastase ke hepar. CEA terlalu insensitif dan non spesifik untuk bisa
digunakan sebagai screening karsinoma kolorektal.(14)
Cara pemeriksaan
Persentase
Colok dubur
40%
Rektosigmoidoskopi
75%
90%
Kolonoskopi
100% (hampir)
2. Radiasi
Terapi radiasi merupakan penanganan karsinoma dengan menggunakan x-ray
berenergi tinggi untuk membunuh sel karsinoma. Terdapat 2 cara pemberian terapi
radiasi, yaitu dengan radiasi eksternal dan radiasi internal. Radiasi eksternal (external
beam radiation therapy) merupakan penanganan dimana radiasi tingkat tinggi secara
tepat diarahkan pada sel karsinoma. Terapi radiasi tidak menyakitkan dan pemberian
radiasi hanya berlangsung menit (American Cancer Society, 2013).
3. Kemoterapi
Sebelum pembedahan, bisa dilakukan kemoterapi untuk menghambat pertumbuhan
sel kanker baru, dan juga untuk membunuh dan membinasakan sel kanker. Sekitar
setengah dari pasien kanker usus besar dengan metastasis dan kambuh setelah
operasi, di samping beberapa pasien dengan stadium dini, pasien stadium lanjut
dan pasien operasi pemotongan diminta untuk menjalani kemoterapi. Dalam
kombinasi kemoterapi pengobatan kanker kolon adalah pengecualian sebuah
tindakan terapi penting perawatan bedah lanjutan.
9
mengacu
pada obat
Kontra Indikasi: kanker metastasis, ibu hamil dan menyusui, produk sel
ovari hamster cina atau gen rekombinan atau antibodi manusia.
Perhatian: perforasi sistem pencernaan, penyembuhan komplikasi luka,
proteinuria, tromboamboli arteri, hemorhagik, kardiomiopatik.
Efek samping: inflamasi perut bagian dalam, luka lambung, tumor
nekrosis,
diverticulitis
(inflamasi
kolon),
pendarahan,
hipertensi,
dihidrofolat
(FH2)menjadi
tetrahidrofolat
(FH4).
proteinmikrotubulus,
spindle
mitotik
dan
memblok
Endoskopi
Sigmoidoskopi atau endoskopi dapat mengidentifikasi dan mengangkat polip dan
menurunkan insiden daripada karsinoma kolorektal pada pasien yang menjalani
kolonoskopi polipektomi.
2.
Diet
12
Penelitian awal menunjukkan bahwa diet tinggi bahan fitokimia mengandung zat gizi
seperti serat, vitamin C, E dan karoten dapat meningkatkan fungsi kolon dan bersifat
protektif dari mutagen yang menyebabkan timbulnya kanker.
3.
Obat-obatan
Beberapa penelitian epidemiologi terakhir mengisyaratkan bahwa pemakaian aspirin
dan NSAID lain memiliki efek protektif terhadap kanker kolon. Dalam Nurses
Health Study, perempuan yang mengonsumsi empat sampai enam tablet aspirin/hari
selama 10 tahun atau lebih, memperlihatkan penurunan insidensi kanker kolon. Dasar
kemoprevensi ini belum diketahui. Mekanisme yang mungkin adalah induksi
apoptosis pada sel tumor dan inhibisi angiogenesis. Efek yang terakhir tampaknya
diperantarai oleh inhibisi siklogenase 2. Enzim dalam jalur sintesis prostaglandin ini
tampaknya meningkatkan angiogenesis dengan meningkatkan produksi faktor
pertumbuhan endotel vaskular (VEGF). Berdasarkan temuan ini, Federal Drug
Adminitration menyetujui pemakaian inhibitor siklooksigenase 2 sebagai zat
kemopreventif pada pasien dengan sindrom poliposis adenomatosa familial.
13
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Studi Kasus I(15)
Gejala
Klien mengatakan tidak nafsu makan, mual (+), muntah (-), klien merasa berat
14
padat. Black & Hawks (2009) menyebutkan bahwa polip dapat menjadi satu faktor resiko
dari terjadinya kanker rektal. Evakuasi feses yang lama menyebabkan feses tertahan dalam
rektum dalam waktu lama, yang dapat menyebabkan keluarnya efek karsinogen dari toksin
pada feses (Corwin, 2001).
Pemeriksaan Penunjang
A. Pemeriksaan Laboratorium
Tabel 3.1 Hasil Pemeriksaan Laboratorium Ny. R
Jenis Pemeriksaan
Hematologi
Hemoglobin (Hb)
Hematokrit (Ht)
Eritrosit
Leukosit
Trombosit
MCV
MCH
MCHC
Kimia Klinik
SGOT
SGPT
Ureum
Kreatinin
Na
K
Cl
Nilai
Keterangan
11,5 g/dl
36 %
4,3 juta/ul
4300/ul
227.000/ul
84fL
27 pg
32 g/dl
Menurun
Menurun
Normal
Menurun
Normal
Normal
Normal
Normal
14 U/L
10 U/L
21 mg/dL
0,7 mg/dL
141 mmol/L
4,3 mmol/L
101 mmol/L
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Terapi :
Penatalaksanaan kanker kolorektal secara medis adalah melalui terapi radiasi dan
kemoterapi, sedangkan secara bedah adalah dilakukan tindakan reseksi atau pembuatan
15
kolostomi (Smeltzer & Bare, 2002; Zhang, 2008). Ny. R mendapat penatalaksanaan
seperti yang disebutkan di atas, yakni pembedahan kolostomi, terapi radiasi, dan
kemoterapi. Efek samping dari kemoterapi dan radiasi menurut Zhang (2008) adalah
mengganggu metabolisme sel yang sehat, ditunjukkan dengan rambut rontok, stimulasi
pusat mual (timbul rasa mual dan muntah) serta mengganggu pembentukan sel darah
merah oleh tulang belakang. Dalam kasus ini, Ny. R memang mengeluhkan mual (+),
muntah (-). Ny. R sering tidak nafsu makan, bahkan mengalami penurunan berat badan
hingga 3kg dalam seminggu terakhir. Ny. R mendapat terapi medikasi anti emetik
Ondansentron 8 mg, 2 x 1, pukul 18.00 dan 06.00. Terkait dengan gangguan
pembentukan sel darah merah, hal ini juga dialami oleh Ny. R meskipun dari manifestasi
klinis tidak sampai terlihat. Pemeriksaan laboratorium pada tanggal 4 Mei 2013
menunjukkan bahwa Hb klien di bawah normal (11,5 g/dL, normalnya 12-16 g/dL), dan
Ht di bawah normal (36%, normalnya 37-47%). Penurunan komponen darah ini
diimbangi dengan asupan suplemen penambah darah sangobiad 2 x 1 tab (pukul 18.00
dan 06.00).
Rute
Frekuensi
Oral
2x1
Oral
3x1
Oral
2x1
Oral
Topikal
Topikal
2x1
2x1
1x1
Oral
2x2
d. Hasil Terapi
Ny. R kini telah melewati satu bulan pasca pembedahan kolostomi. Truven
Health Analytics (2012) menyampaikan bahwa komplikasi stoma paling banyak
muncul pada tahun pertama pasca pembedahan. Oleh karena itu Ny. R diberikan
edukasi terkait kondisi stoma sehat dan tidak sehat diberikan kepada Ny. R &
keluarga agar pasien dapat membantu mengidentifikasi sendiri kondisi stomanya.
Kondisi stoma Ny. R sendiri saat ini baik, berwarna pink kemerahan, lembap dan
16
mengkilat, tidak mengerut, menonjol <5 cm, produksi feses (+), flatus (+), tidak ada
perdarahan. Hal ini sesuai dengan ciri stoma sehat yang disampaikan oleh Borwel
(2011), dimana stoma yang normal akan terlihat merah atau pink terang, lembap,
tidak mengerut dan tampak seperti membran mukosa oral.
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Nama Obat
Ranitidin (Rantin)
Tramadol
Vitamin B kompleks
(Neurobion)
Sangobiad
Meloderm
Sodium Folinate
(Radiocare)
Capecitabine (Xeloda)
Bentuk Sediaan
Tablet
Tablet
Rute Pemberian
Oral
Oral
Tablet
Oral
Tablet
Krim
Oral
Topikal
Krim
Topikal
Tablet
Oral
Mekanisme Farmakokinetik :
1. Ranitidin
a. Absorpsi. Ranitidin diabsorpsi dengan baik dari saluran cerna maupun pada
pemberian secara intramuskular. Bioavailabilitas absolut ranitidin pada pemberian
secara oral adalah sekitar 50%.
b. Distribusi. Ranitidin terdistribusi secara luas pada cairan tubuh dan sekitar 1019% berikatan dengan protein serum. Volume distribusi ranitidin rata-rata 1,7
L/Kg dengan kisaran 1,2-1,9 L/Kg.
c. Metabolisme. Ranitidin dimetabolisme dihati menjadi ranitidin N-oksida,
desmetil ranitidin, dan ranitidin S-oksida. Pada pemberian oral, ranitidin juga
mengalami metabolisme lintas pertama dihati.
d. Eliminasi. Waktu paruh eliminasi rata-rata pada orang dewasa adalah 1,7-3,2 jam,
dan dapat berkorelasi positif dengan usia. Waktu paruh eliminasi akan meningkat
pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Ranitidin sebagian besar
diekskresikan dalam urin melalui filtrasi glomerular dan sekresi tubular.
2. Tramadol
a. Absorbsi. Tramadol diabsorbsi ditraktus gastrointestinal lebih dari 96% setelah
pemberian awal. Absorbsi tidak dipengaruhi oleh makanan dan bioavailabilitas
sistemik setelah pemberian awal dosis tunggal sekitar 70%, sedangkan setelah
17
akan di ubah menjadi ion feri dalam sel mukosa. Selanjutnya ion feri akan masuk
kedalam plasma dengan perantara transferin, atau di ubah menjadi feritin dan di
simpan dalam sel mukosa usus. Secara umum, bila cadangan dalam tubuh tinggi
dan kebutuhan akan zat besi rendah, maka lebih banyak fe di ubah menjadi
feritin. Bila cadangan rendah atau kebutuhan meningkat, maka fe yang baru di
serap akan segera di angkut dari sel mukosa ke sum-sum tulang untuk
eritropoesis.
b. Distribusi
Setelah di absorpsi, fe dalam tubuh akan di ikat dalam transferin ( siderofilin ),
suatu beta 1-globulin glikoprotein, untuk kemudian di angkut ke beberapa
jaringan, terutama ke sumsum tulang dan depot fe
c. Metabolisme
Bila tidak digunakan untuk eritropoesis, fe meningkat suatu protein yang di sebut
apoferitin dan membentuk feritin. Fe disimpan terutama pada sel mukosa usus
halus dan dalam sel-sel retikuloendotelial ( di hati, limpa dan sumsum tulang ).
Cadangan ini tersedia untuk di gunakan oleh sumsum tulang dalam proses
eritropoesis; 10% di antaranya terdapat dalam labile pool yang cepat dapat
dikerahkan untuk prose ini, sedangkan sisanya baru di gunakan bila labile pool
telah kosong. Besi yang terdapat dalam parenkim jaringan tidak dapat di gunakan
untuk eritropoesis.
d. Eksresi
Jumlah fe yang dieksresi setiap hari sedikit sekali, biasanya sekitar 0,5-1 mg
sehari. Ekskresi terutama berlangsung melalui sel epitel kulit dan saluran cerna
yang terkelupas, selain itu juga melalui keringat, urin, feses, serta kuku dan
rambut yang di potong. Pada proteinuria jumlah yang di keluarkan dengan urin
dapat meningkat bersama dengan sel yang mengelupas. Pada wanita usia subur
dengan siklus haid 26 hari. Jumlah fe yang diekskresikan sehubungan dengan
haid di perkirakan sebanyak 0,5-1 mg sehari.
5. Meloderm Cream dan Sodium Folinate Cream
Farmakokinetik sediaan topikal secara umum menggambarkan perjalanan bahan aktif
dalam konsentrasi tertentu yang diaplikasikan pada kulit dan kemudian diserap ke
lapisan kulit, selanjutnya didistribusikan secara sistemik . Secara umum perjalanan
sediaan topikal setelah diaplikasikan melewati tiga kompartemen yaitu: permukaan
19
kulit, stratum korneum, dan jaringan sehat. Stratum korneum dapat berperan sebagai
reservoir bagi vehikulum tempat sejumlah unsur pada obat masih berkontak dengan
permukaan kulit namun belum berpenetrasi tetapi tidak dapat dihilangkan dengan cara
digosok atau terhapus oleh pakaian.
6. Capecitabine
kambuh dengan total 39 kasus mCRC. Hati dan jantung merupakan tempat dominan
dari metastasis yang ditemukan pada 45 pasien. Adenokarsinoma merupakan satusatunya histopatologi yang ditemukan dalam kasus kanker kolon ini.
c. Terapi
Semua pasien diberikan kombinasi 5-fluorouacil (5-FU) atau leucovorin (LV),
oxaloptin untuk 6 siklus (FOLFOX4) sebagai standar pilihan regimen pertama
untuk mCRC di Indonesia. Capecitabine oral dan terapi target seperti bevacizumab
dan cetuximab juga diberikan ketika terindikasi. Beberapa pasien membutuhkan
perawatan tambahan, seperti palliative hepatic resection dan radioterapi untuk
mengurangi rasa sakit.
Nilai tengah atau median dari kelangsungan hidup pasien yang menerima FOLFOX
(dengan atau tanpa oral capecitabine) belum tercapai pada jurnal ini, sementara
pasien yang tidak menerima regimen FOLFOX tersebut telah bertahan hidup ratarata selama 12 bulan.
d. Hasil terapi
Hasilnya 19 (48,7%) pasien meninggal dunia selama studi periode, sedangkan
sisanya tetap hidup tetapi pasien tidak dilakukan monitoring. Rata-rata pasien dapat
bertahan selama 18 bulan. Waktu terlama pasien dapat bertahan hidup adalah
selama 76 bulan (pasien dapat bertahan hidup ketika manuskrip sedang
dipersiapkan). Pasien dengan penyakit kanker kolon dapat bertahan hidup lebih
lama dibandingkan dengan kanker rektal. Tidak ada perbedaan yang signifikan
antara pasien yang dapat bertahan hidup pada stadium IV dengan pasien yang sering
kambuh penyakitnya.
Pasien dengan metastatik kanker kolon memiliki median kelangsungan hidup
selama 18 bulan. Kemoterapi kombinasi dengan FOLFOX dapat memperpanjang
kelangsungan hidup pasien. Dengan pengobatan dan perawatan yang tepat pasienpasien kanker kolon di Indonesia akan memiliki angka kelangsungan hidup yang
sama dengan negara maju.
No.
Nama Obat
Bentuk Sediaan
Rute Pemberian
1.
Leukovorin (LV)
Injeksi
2.
Oksaliplatin
Tablet
Oral
21
3.
Kapesitabin
Tablet
Oral
4.
Bevakizumab
Injeksi
5.
Setuksimab
Injeksi
Mekanisme Farmakokinetik :
1. Leukovorin (LV)
2. Oksaliplatin
3. Kapesitabin
4. Bevakizumab
5. Setuksimab
22
BAB IV
PENUTUP
5.1
Kesimpulan
Kanker kolon, kanker rektal, dan kanker kolorektal merupakan penyakit yang
sama. Kanker kolorektal ditujukan pada tumor ganas yang ditemukan di kolon dan
rektum. Kolon dan rectum adalah bagian dari usus besar pada sistem pencernaan yang
disebut juga traktus gastrointestinal. Klasifikasi karsinoma kolorektal menurut WHO
adalah adenokarsinoma, adenosquamous karsinoma, mucinous adenokarsinoma,
signet ring cell carcinoma, squamous cell carcinoma, undifferentiated carcinoma, dan
medullary carcinoma. Pemeriksaan yang dilakukan untuk mendeteksi adanya kanker
kolon adalah yang pertama pemeriksaan fisik dan kedua pemeriksaan penunjang
diantaranya endoskopi, CT Scan, MRI, barium enema, dan CEA. Terapi yang dapat
dilakukan adalah dengan, pembedahan, radiasi, dan kemoterapi.
23