PENGANTAR
A. Latar Belakang
Sektor industri termasuk industri kimia di dalamnya, dewasa ini mengalami
pertumbuhan yang sangat pesat seiring dengan meningkatnya kebutuhan hidup
manusia, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Dengan demikian sektor industri
perlu mendapatkan perhatian yang lebih karena merupakan pendukung bagi
perkembangan perekonomian lainnya.
Salah satu bahan yang paling banyak digunakan dalam industri adalah
polimer. Expanded polystyrene merupakan polimer plastik yang dapat digunakan
untuk packaging, bahan insulasi, peredam ruangan, bahan dekorasi, stationary, dan
design arsitektur. Sampai saat ini Indonesia masih mengimpor expanded
polystyrene dalam jumlah yang cukup besar. Dengan adanya ketergantungan ini,
maka perlu didirikan pabrik expanded polystyrene di dalam negeri. Pendirian
pabrik ini akan mengurangi ketergantungan terhadap luar negeri dan menghemat
devisa Negara. Selain itu, bahan bakunya styrene monomer tersedia dalam jumlah
cukup besar di Indonesia. Sehingga, keberadaan pabrik expanded polystyrene ini
akan memacu pertumbuhan industri lainnya dan meningkatkan pengembangan
sumber daya manusia.
B. Tinjauan Pustaka
Styrene adalah senyawa turunan benzene dengan rumus kimia C 6H5CH=CH2.
Sejauh ini styrene merupan senyawa penting dari kelompok monomer aromatik tak
jenuh. Styrene digunakan secara luas dalam pembuatan plastic, termasuk crystalline
polystyrene, rubber modified impact polystyrene, styrene butadiene rubber (SBR),
acrylonitrile butadiene styrene (ABS), dan styrene acrylonitrile copolymer (SAN).
Dalam industri, styrene sebagian besar diperoleh dari dehidrogenasi ethylbenzene
(Kirk and Orthmer, 1978).
Polimerisasi styrene merupakan polimerisasi adisi. Pada reaksi ini sifat khas
yang membedakan dengan polimerisasi kondensasi adalah terbentuknya polimer
dengan berat molekul tinggi dalam waktu yang relative singkat. Bagian radikla
yang reaktif bereaksi dengan monomer dan tumbuh dengan cepat sehingga ukuran
dan berat molekul bertambah. Pada prinsipnya, campuran terdiri dari monomer sisa,
1
polimer dengan berat molekul besar, dan rantai yang sedang tumbuh (Boudy and
Boyer, 1952).
Polimerisasi monomer styrene dapat dilakukan dengan bulk polymerization,
solution polymerization, suspension polymerization dan emulsion polymerization.
Berikut ini tinjauan dari proses-proses di atas :
a. Bulk Polymerization (polimerisasi curah)
Sistem dasar pada polimerisasi curah terdiri dari monomer murni.
Polystyrene yang dihasilkan larut dalam styrene monomer sehingga kekentalan
sistem akan meningkat seiring bertambahnya konversi dalam reaksi. Ada dua
tipe polimerisasi curah yaitu batch dan continuous , dimana continuous saat ini
lebih banyak digunakan.
Pada tipe batch, reaktor yang berupa agitated vessels mempolimerisasi
sampai konversi 80 %. Cairan hasil polimerisasi kemudian dipompa ke bagian
batch finishing untuk polimerisasi akhir. Pada tipe continuous, cairan secara
kontinyu diinjeksikan dari tangki penyimpan ke dalam reaktor. Umpan reaktor
pertama ini mengandung 50 % massa monomer styrene, 100 ppm water, 2000
ppm boron trifluoride.
Reaksi polimerisasi menghasilkan panas yang ditransfer keluar dari
reaktor oleh mantel pendingin. Kisaran suhu reaksi antara 40-70oC. Suhu juga
dapat dikontrol dengan intermediate shell dan tube heat exchangers. Konversi
reaksi mencapai 85 % massa polystyrene pada reaktor kedua.
Keunggulan polimerisasi curah :
1. Karena hanya melibatkan monomer, inisiator, dan mungkin bahan pemindah
rantai (chain-transfer agents), dengan polimerisasi ini dapat diperoleh
polimer semurni mungkin.
2. Polimerisasi curah memberikan yield per volum reaktor paling besar.
Kelemahan polimerisasi curah :
1. Kekentalannya yang tinggi dapat menimbulkan pengadukan sulit dilakukan
dan pengambilan panas menjadi tidak sempurna, sehingga menyebabkan
polimer diperoleh dalam distribusi berat molekul yang besar.
2. Proses sulit dikendalikan, harus dilaksanakan perlahan, dan secara ekonomis
tidak menguntungkan.
3. Sulit menghilangkan sisa monomer yang tidak bereaksi.
terjadinya
pengalihan
rantai
kepada
pelarut,
yang
rantai, karena laju dan sekaligus panjang rata-rata rantai polimer sebanding
dengan [M].
3. Pelarut yang mahal, mudah terbakar, bahkan mungkin juga beracun,
diperlukan dalam jumlah besar.
4. Pemisahan polimer dan recovery pelarut memerlukan teknologi ekstra.
5. Pemisahan sisa pelarut dan monomer sulit dilakukan.
6. Penggunaan pelarut inert dalam massa reaksi mengurangi yield per volum
reaktor.
c. Suspension polymerization (polimerisasi suspensi)
Pada polimerisasi suspensi, monomer yang mengandung inisiator yang
terlarut disebarkan dalam bentuk gelembung-gelembung cairan ke dalam fase
cair. Pada umumnya digunakan air sebagai fase cairnya. Hal ini dilakukan
dengan pengadukan cepat selama reaksi untuk menjaga tetesan monomer tetap
terpisah dan menciptakan suspensi yang lebih seragam. Polimerisasi terjadi
dalam gelembung-gelembung cair, dengan kata lain setiap gelembung cair
secara efektif mengalami polimerisasi membentuk butiran polimer. Gelembunggelembung cair dijaga tetap terpisah dengan menambahkan sejumlah kecil zat
pensuspensi seperti polivynil alkohol dan metal selullose.
Polimerisasi dari monomer styrene terjadi pada kisaran suhu 90-95o C.
Suhu air sebesar 95o C dan suhu monomer styrene 85o C pada saat masuk
3
Proses yang dipilih adalah proses polimerisasi suspensi karena lebih mudah
dalam mengambil panas reaksi yang terjadi (suhu mudah dikontrol), selain itu
polystyrene yang terbentuk berupa butiran-butiran kecil sehingga mudah dipisahkan.
Penggunaan air sebagai media pertukaran panas lebih ekonomis daripada solven
organik dan semakin besar nilai konversi, viskositas polimer yang dihasilkan relatif
tidak berubah.