Anda di halaman 1dari 31

BAB I

Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari 17.000 pulau dengan batas luasnya
sebesar 2.027.087 km, mempunyai kurang lebih 129 gunung merapi. Secara geologis Indonesia
terletak di pertemuan di antara 3 plat tektonik utama (Eurasia, Indo-Australia dan Mediterania)
dan secara demografi terdiri dari bermacam-macam etnik, agama, latar belakang sosial dan
budaya, dimana keadaan tersebut memberikan petunjuk bahwa Indonesia berisiko tinggi sebagai
negara yang rawan dari bencana alam terjadinya gempa bumi, tsunami, longsor, banjir maupun
kecelakaan baik darat, laut maupun udara. Bencana massal didefinisikan sebagai suatu peristiwa
yang disebabkan oleh alam atau karena ulah manusia, yang dapat terjadi secara tiba-tiba atau
perlahan-lahan, yang menyebabkan hilangnya jiwa manusia,kerusakan harta benda dan
lingkungan,

serta

melampaui

kemampuan

dan

sumber

daya

masyarakat

untuk

menanggulanginya. Umumnya korban yang hidup telah banyak dapat diatasi oleh tim medis,
para medis dan tim pendukung lainnya.
Bencana merupakan suatu kejadian yang mendadak, tidak terduga, terjadi pada siapa saja,
dimana saja, kapan saja serta mengakibatkan kerusakan dan kerugian harta benda, korban
manusia yang relative besar baik mati maupun cedera. Bencana ini dapat bersifat tidak disengaja
maupun disengaja, seperti : terror bom, sabotase transportasi masyarakat dan lain-lain.
Posisi Geografis Indonesia
Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik dunia, memiliki lebih dari 128
gunung berapi aktif, dan sekitar 150 sungai, baik besar maupun kecil, yang melintasi wilayah
padat penduduk.
Danau toba yang terkenal itupun sebetulnya sebuah Caldera atau lubang dipermukaan bumi yang
diakibatkan oleh gempa vulkanik. Bila luas danau toba mencapai 100 kilometer persegi, bisa
dibayangkan betapa besar gempa tersebut, yang konon terjadi sekitar 74000 tahun lalu.
Coba kita ingat beberapa catatan bencana alam besar yang pernah di alami negeri tercinta ini.
1

1815
Gunung tambora meletus. Jumlah korban saat itu tidak tercatat dengan baik, namun dapat
dipastikan melebihi jumlah korban letusan gunung krakatau.

1883
Gunung krakatau meletus, mengakibatkan tsunami dan menghilangkan lebih dari 36000
jiwa. Letusan ini menjadi catatan sejarah dunia tersendiri karena tsunami yang
diakibatkan mencapai hingga Hawaii dan Amerika Selatan.

1930
Gunung merapi meletus. Mengakibatkan 1300 orang harus kehilangan nyawa

1963
Gunung Agung Meletus. Menewaskan sekitar 1000 jiwa

2004
Gempa dan Tsunami melumatkan aceh dan kawasan sekitarnya serta menewaskan sekitar
170 ribu jiwa, jumlah terbesar yang tercatat dalam sejarah modern bencana alam
indonesia

2005
Gempa di Nias Sumatera tanggal 28 Maret 2005 mengakibatkan sekitar 1000 orang
meninggal

2006
Gempa di Yogyakarta, menewaskan sekitar 5.782 jiwa

2007
2

Gempa di Bengkulu - Sumatera tanggal 12 september 2007 yang mengakibatkan sekitar


70 penduduk tewas.
Itu semua belum termasuk bencana banjir, tanah longsor, angin topan dan sebagainya.
Dan yang penting harus tertanam dibenak kita, bencana bukan hanya bencana alam, bencana
dapat terjadi karena faktor alam maupun non alam seperti budaya, agama, dan tentu saja
manusia. Di indonesia, risiko bencana dapat disebabkna oleh faktor geologis (gempa, tsunami,
letusan gunung berapi), Hydrometeorologis (banjir, tanah longsor, kekeringan, angin topan),
biologis (wabah penyakit, penyakit tanaman, penyakit ternak, hama tanaman), kegagalan
teknologi (kecelakaan industri dan transportasi, pencemaran bahan kimia), dan faktor sosial
politik (konflik horisontal, terorisme, ideologi, religi).
Perkembangan situasi dan kondisi di Indonesia pada akhir-akhir ini sering terjadi suatu
bencana yang dengan sengaja ditimbulkan, seperti yang terjadi pada tahun 2002 di Kuta, Bali,
tahun 2003 di hotel J.W.Marriott, Jakarta dan yang terjadi di depan kedutaan besar Australia
Kuningan Jakarta tahun 2004 serta bencana yang tidak disengaja, yaitu terjadi Gempa Tsunami
di Aceh pada bulan Desember 2004.
Begitu besarnya kepentingan identifikasi mempunyai tujuan antara lain identifikasi
merupakan kebutuhan etis dan kemanusiaan terhadap keluarganya, pemastian kematian
seseorang secara resmi dan yuridis, kepentingan administratif, kepentingan klaim dalam hukum
perdata maupun hukum pidana, klaim asuransi, pension dan lain-lain serta sebagai upaya awal
dari suatu penyelidikan bila ada.
Bertitik tolak dari pengalaman di atas, maka hal tersebut dapat merupakan acuan
bagaimana penatalaksanaan identifikasi korban bencana massal (Disaster Victim Identification)
dapat dilaksanakan oleh kita disini, sehingga dengan adanya kekurangan dan kelemahankelemahan kita bisa mengantisipasinya melalui perbaikan-perbaikan yang perlu dihadapi di
masa mendatang. Identifikasi korban bencana massal merupakan tantangan yang memerlukan
dana, sarana dan prasarana yang cukup mahal sehingga belum ada suatu instansi yang mampu
dan mau menangani dengan serius dan benar.

Belum adanya suatu panduan teknis penanganan korban bencana massal yang berlaku
secara Nasional serta terbatasnya ahli identifikasi manusia juga merupakan suatu kendala. Oleh
karena itu Polri yang dalam hal ini Pusdokkes Polri menyusun suatu Panduan Teknis tentang
bagaimana caranya kita melakukan penatalaksanaan korban bencana massal (DVI).

1.2 Permasalahan
Adapun pokok pokok yang ingin kami ketahui ialah:
1.
Bagaimana yang dimaksud dengan Bencana Massal ?
2.
Apa saja tinjauan aspek hukum yang meliputi masalah Bencana Massal ?
3.
Bagaimana melakukan identifikasi Korban Mati pada Bencana Massal ?
4.
Bagaimana penanganan jenazah korban mati pada Bencana Massal ?

1.3 Tujuan
1.3.1
1.3.2

Umum
Mengetahui Penanganan Korban Mati Pada Bencana Massal
Khusus
1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan Bencana
2. Mengetahui bagaimana mengidentifikasi korban pada bencana massal
3. Mengetahui segala aspek hukum yang mengatur mengenai bencana
4. Mengetahui penanganan jenazah pada korban bencana massal

1.3.3 Teoritis
1. Diharapkan Dokter mengetahui tugasnya dalam keadaan Bencana Massal
1.3.4 Aplikasi
1. Dokter mampu mengidentifikasi Jenazah korban Bencana Massal
2. Dokter Mengetahui Aspek Hukum yang mengatur mengenai Bencana
3. Dokter mampu menangani

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4

2.1 Definisi Bencana


Menurut WHO
Bencana adalah setiap kejadian yang menyebabkan kerusakan, gangguan ekologis,
hilangnya nyawa manusia atau memburuknya derajat kesehatan atau pelayanan kesehatan pada
skala tertentu yang memerlukan respon dari luar masyarakat atau wilayah yang terkena.
Menurut BAKORNAS PBP
Bencana adalah situasi dan kondisi yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Tergantung
pada cakupannya, bencana ini bisa merubah pola kehidupan dari kondisi kehidupan masyarakat
yang normal menjadi rusak, menghilangkan harta benda dan jiwa manusia, merusak struktur
sosial masyarakat, serta menimbulkan lonjakan kebutuhan dasar (BAKORNAS PBP).
Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia
Bencana adalah peristiwa/kejadian pada suatu daerah yang mengakibatkan kerusakan
ekologi, kerugian kehidupan manusia serta memburuknya kesehatan dan pelayanan kesehatan
yang bermakna sehingga memerlukan bantuan luar biasa dari pihak luar.
Menurut UU No. 24 tahun 2007
Peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan
penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam
maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Definisi bencana seperti dipaparkan diatas mengandung tiga aspek dasar, yaitu:

Terjadinya peristiwa atau gangguan yang mengancam dan merusak (hazard).


Peristiwa atau gangguan tersebut mengancam kehidupan, penghidupan, dan fungsi dari

masyarakat.
Ancaman tersebut mengakibatkan korban dan melampaui kemampuan masyarakat untuk
mengatasi dengan sumber daya mereka.

Bencana dapat terjadi, karena ada dua kondisi yaitu adanya peristiwa atau gangguan yang
mengancam dan merusak (hazard) dan kerentanan (vulnerability) masyarakat. Bila terjadi
hazard, tetapi masyarakat tidak rentan, maka berarti masyarakat dapat mengatasi sendiri
peristiwa yang mengganggu, sementara bila kondisi masyarakat rentan, tetapi tidak terjadi
peristiwa yang mengancam maka tidak akan terjadi bencana.

2.2 Jenis-Jenis Bencana


Bencana terdiri dari berbagai bentuk. UU No. 24 tahun 2007 mengelompokan bencana ke dalam
tiga kategori yaitu:

Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung

meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.


Bencana non-alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian
peristiwa non-alam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi,

dan wabah penyakit.


Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok
atau antar komunitas masyarakat, dan teror.

Ethiopian Disaster Preparedness and Prevention Commission (DPPC) mengelompokkan


bencana berdasarkan jenis hazard, yang terdiri dari:

Natural hazard. Ini adalah hazard karena proses alam yang manusia tidak atau sedikit
memiliki kendali. Manusia dapat meminimalisir dampak hazard dengan mengembangkan
kebijakan yang sesuai, seperti tata ruang dan wilayah, prasyarat bangunan, dan sebagainya.
Natural hazard terdiri dari beragam bentuk seperti dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.1 Natural Hazard

Human made hazard. Ini adalah hazard sebagai akibat aktivitas manusia yang
mengakibatkan kerusakan dan kerugian fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan. Hazard ini
mencakup:
o Technological hazard sebagai akibat kecelakaan industrial, prosedur yang berbahaya,
dan kegagalan infra struktur. Bentuk dari hazard ini adalah polusi air dan udara,
paparan radioaktif, ledakan, dan sebagainya.
o Environmental degradation yang terjadi karena tindakan dan aktivitas manusia
sehingga merusak sumber daya lingkungan dan keragaman hayati dan berakibat lebih
jauh terganggunya ekosistem.
o Conflict adalah hazard karena perilaku kelompok manusia pada kelompok yang lain
sehingga menimbulkan kekerasan dan kerusakan pada komunitas yang lebih luas.

Usep Solehudin (2005) mengelompokkan bencana menjadi 2 jenis yaitu:


1. Bencana alam (natural disaster) yaitu kejadian-kejadian alami seperti kejadian-kejadian
alami seperti banjir, genangan, gempa bumi, gunung meletus, badai, kekeringan,
wabah, serangga dan lainnya.

2. Bencana ulah manusia (man made disaster) yaitu kejadian-kejadian karena perbuatan
manusia seperti tabrakan pesawat udara atau kendaraan, kebakaran, huru-hara,
sabotase, ledakan, gangguan listrik, ganguan komunikasi, gangguan transportasi dan
lainnya.
Sedangkan berdasarkan cakupan wilayah, bencana terdiri dari:
1. Bencana Lokal
Bencana ini biasanya memberikan dampak pada wilayah sekitarnya yang berdekatan.
Bencana terjadi pada sebuah gedung atau bangunan-bangunan disekitarnya. Biasanya
adalah karena akibat faktor manusia seperti kebakaran, ledakan, terorisme, kebocoran
bahan kimia dan lainnya.
2. Bencana Regional
Jenis bencana ini memberikan dampak atau pengaruh pada area geografis yang
cukup luas, dan biasanya disebabkan oleh faktor alam, seperti badai, banjir, letusan
gunung, tornado dan lainnya.
2.3 Fase-fase Bencana
Menurut Barbara Santamaria (1995), ada 3 fase dalam terjadinya suatu bencana, yaitu fase
preimpact, fase impact dan fase postimpact.
1. Fase preimpact merupakan warning phase, tahap awal dari bencana. Informasi didapat dari
badan satelit dan meteorologi cuaca. Seharusnya pada fase inilah segala persiapan
dilakukan baik oleh pemerintah, lembaga, dan warga masyarakat.
2. Fase impact merupakan fase terjadinya klimaks dari bencana. Inilah saat-saat dimana
manusia sekuat tenaga mencoba untuk bertahan hidup (survive). Fase impact ini terus
berlanjut hingga terjadi kerusakan dan bantuan-bantuan darurat dilakukan.

3. Fase postimpact adalah saat dimulainya perbaikan dan penyembuhan dari fase darurat,
juga tahap dimana masyarakat mulai berusaha kembali pada fungsi komunitas normal.
Secara umum dalam fase postimpact ini para korban akan mengalami tahap respon
psikologis mulai penolakan, marah, tawar-menawar, depresi hingga penerimaan.
2.4 Aspek Hukum Bencana
Undang-undang no.24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana,mencakup Bab1 pasal 1.
Ayat :
1. Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan menganggu
kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam dan atau
faktor non alam maupun faktor manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan
dampak psikologis.
2. Bencana alam adalah bencana yang diakibatakan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain tsunami,gempa bumi,gunung
meletus,banjir,angina topan,dan tanah longsor.
3. Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan peristiwa atau serangkaian peristiwa
yang disebakan oleh non alam antara lain,gagal teknologi,gagal modernisasi,epidemi,dan
wabah penyakit.
4. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan yang diakibatkan peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh manusia yang meliputi konflik antar
sosial,antar kelompok atau antar komunitas masyarakat.
5. Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi
penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko menimbulkan bencana,kegiatan
pencegahan bencana,tanggap darurat dan rehabilitasi.
6. Kegiatan pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan sebagai
upayauntuk menghilangkan ataumengurangi ancaman bencana.
10. Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan secara segera pada
saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan meliputi
kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda dan kebutuhan
9

dasar,

perlindungan dan pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan sarana dan


prasarana.
17. Resiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana suatu
Tempat dalam kurun tertentu yang dapat berupa kematian, luka,sakit , jiwa terancam,
hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan
kegiatan masyarakat.
18. Bantuan darurat bencana adalah upaya memberikan bantuan darurat untuk memenuhi
kebutuhan dasar.
19. Status keadaan darurat bencana adalah suatu keadaan yang ditetapkan pemerintah untuk
jangka waktu tertentu atas dasar rekomendasi suatu badan yang diberi tugas untuk
menanggulangi bencana.
22. Korban bencana adalah orang atau sekelompok orang yang menderita atau meninggal
dunia akibat bencana
PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 46 TAHUN 2008 TENTANG
PEDOMAN ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN
BENCANA DAERAH ,BAB I.KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Daerah adalah Provinsi, Kabupaten dan Kota.
2. Kepala Daerah adalah Gubernur, Bupati dan WaliKota.
3. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, WaliKota, dan perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahan Daerah.
4. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintah oleh Pemerintah Daerah
dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluasluasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dalam
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
5. Perangkat Daerah adalah lembaga yang membantu Kepala Daerah dalam penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah.
10

6. Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi yang selanjutnya disebut BPBD Provinsi
adalah perangkat daerah Provinsi yang dibentuk dalam rangka melaksanakan tugas dan
fungsi untuk melaksanakan penanggulangan bencana.
7. Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten/Kota yang selanjutnya disebut BPBD
Kabupaten/Kota adalah perangkat daerah Kabupaten/Kota yang dibentuk dalam rangka
melaksanakan tugas dan fungsi untuk melaksanakan penanggulangan bencana.
8. Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan menganggu
kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam dan atau
faktor non alam maupun faktor manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan
dampak psikologis.
Kemudian dijelaskan juga dalam KUHP tentang pidana yang berhubungan dengan bencana yang
diakibatkan oleh kelalaian manusia. Pasal 359 KUHP: Barangsiapa karena kealpaannya
menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau
kurungan paling lama satu tahun
2.5 Penatalaksanaan korban mati
2.5.1 Penanganan TKP :
1. Tidak diperkenankan seorangpun korban meninggal yang dapat dipindahkan dari lokasi,
sebelum dilakukan pendataan dan penandaan (tulisan dan gambar visual).
2. Semua perlengkapan pribadi yang pasti milik korban harus disatukan, dicatat dan
diletakkan bersama dengan tubuh atau bagian tubuh korban.
3. Untuk barang atau perlengkapan yang diragukan atau bukan milik korban, dikumpulkan
dan dicatat sebagai tidak dikenal/diketahui serta disimpan terpisah dari korban.
4. Pada kesempatan pertama label tahan air harus diikat pada setiap tubuh korban atau
korban yang tidak dikenal untuk mencegah kemungkinan tercampur atau hilang.

2.5.1.1 Memberi tanda dan label di TKP


a. Membuat sektor-sektor atau zona pada TKP dengan ukuran 5m x 5m.
b. Memberikan tanda pada setiap sector
c. Memberikan label orange pada jenazah dan potongan jenazah, label diikatkan pada
bagian tubuh / ibu jari kaki kiri jenazah dengan urutan berdasarkan aturan Interpol
11

d. Menentukan label putih pada barang-barang pemilik yang tercecer.


e. Membuat sketsa dan foto setiap sector.
2.5.1.2 Evakuasi dan transportasi jenazah dan barang
a. Isi dan lengkapi pada formulir DVI (PM Pink Form) halaman B dengan keterangan
sebagai berikut:
- Pada setiap jenazah yang ditemukan, maka tentukan perkiraan umur, tanggal, dan
tempat tubuh ditemukan, akan lebih baik apabila difoto pada lokasi dengan referensi
-

koordinat dan sector TKP.


Selanjutnya tentutakan apakah jenazah lengkap atau tidak lengkap, dapat dikenali

atau tidak, atau hanya bagian tubuh saja yang ditemukan.


Deskripsikan keadaannya apakah rusak, terbelah, decomposisi / membusuk,

menulang,hilang atau terlepas.


b. Masukkan jenazah dalam kantung jenazah dan atau potongan jenazah didalam karung
plastic dan diberi label sesuai jenazah.
c. Masukkan barang-barang yang terlepas dari tubuh korban kedalam kantong plastic dan
diberi label sesuai nama jenazah.
d. Diangkat ketempat pemeriksaan dan penyimpanan jenazah kemudian dibuatkan berita
acara penyerahan kolektif.
2.5.1.3 Penanganan di Pusat Identifikasi Medis oleh Unit Pengumpulan Data Post Mortem
Korban Mati
1. Menerima jenazah / potongan jenazah dan barang bukti dari unit TKP
2. Registrasi jenazah / potongan jenazah dan mengelompokkan kiriman tersebut
berdasarkan jenazah utuh, tidak utuh, potongan jenazah dan barang-barang.
3. Membuat foto jenazah.
4. Mengambil sidik jari korban dan golongan darah.
5. Mencatat cirri-ciri korban sesuai formulir yang tersedia.
6. Melakukan otopsi dan laporan otopsinya.
7. Mengambil sampel untuk pemeriksaan DNA.
8. Mencatat gigi geligi korban.
9. Membuat rontgen foto jika perlu.
10. Mengumpulkan data-data post mortem dan pengirimannya ke Unit Pembanding Data.

2.5.2 Penanganan Unit Pengumpul Data Ante Mortem (data korban) :

12

1. Mengumpulkan data-data korban semasa hidup seperti foto dan lain-lainnya yang
dikumpulkan dari instansi tempat korban bekerja, keluarga atau kenalan, dokter-dokter
gigi pribadi, polisi (sidik jari).
2. Memasukkan data yang ada dalam formulir yang tersedia (DVI AN Yellow Form).
3. Mengelompokkan data-data Ante Mortem berdasarkan :
a. Jenis kelamin (laki-laki/perempuan)
b. Umur (anak-anak, dewasa, tua)
c. Ras (mongoloid, negroid, Malays, kaukasoid)
d. Keadaan jenazah (lengkap / tidak lengkap)
4. Mengirimkan data-data yang telah diperoleh ke unit pembanding data.
5. Bekerja sama secara lintas sektoral, lintas fungsi, LSM, Social Workers / volunteers
dalam rangka membangun unit data ante mortem ini.
2.6 Identifikasi
2.6.1 Metode dan proses identifikasi
Identifikasi dari tubuh tak dikenal, baik yang masih hidup atau pun mati, dapat dilakukan bagi
kepentingan penyidikan perkara-perkara pidana dan bagi tugas-tugas kepolisian yang lain :
seperti misalnya pada peristiwa bencana alam, kecelakaan yang mengakibatkan korban massal
(mass disaster) atau pada peristiwa ditemukannya seseorang dengan demensia atau kelainan jiwa
yang sulit diajak komunikasi.
Identifikasi bagi kepentingan penyidikan dapat dilakukan terhadap korban mati yang
tidak dikenal sebab sering kali korban kejahatan ditemukan di tempat yang jauh dari tempat
tinggalnya sehingga tidak ada orang yang dapat mengenali atau ditemukan dalam keadaan sudah
membusuk atau rusak. Pada kasus-kasus seperti ini identifikasi menjadi sangat penting
mengingat penyidikan akan menjadi lebih sulit kalau identitas korban tidak diketahui terlebih
dahulu.
Identifikasi untuk kepentingan penyidikan juga dapat dilakukan terhadap pelaku
kejahatan yang telah melakukan penyamaran. Meskipun orang yang dicurigai sebagai pelaku itu
sudah meninggal dunia, kadang-kadang terhadap jenazahnya perlu juga dilakukan identifikasi
untuk memastikannya. Sebetulnya tindakan identifikasi merupakan bagian dari tugas dan
tanggung jawab pihak kepolisian, namun bantuan dokter sangat diperlukan bagi kepentingan
identifikasi tersebut.

13

Dikenal dua metode pokok identifikasi yaitu :


a. Metode sederhana
1. Visual
2. Kepemilikan (perhiasan dan pakaian)
3. Dokumentasi
4. Photografi
b. Metode ilmiah
1. Medis
2. Antropologi
3. Serologi
4. Sidik jari
5. Odontologi
6. Biomolekuler/ DNA
Prinsipnya adalah pemeriksaan identitas seseorang memerlukan berbagai metode dari
yang sederhana sampai yang rumit.
2.6.1.1 Metode sederhana
Cara visual dapat bermanfaat bila kondisi mayat masih baik, cara ini mudah karena identitas
dikenal melalui penampakan luar baik berupa profil tubuh atau muka. Cara ini tidak dapat
diterapkan bila mayat telah busuk, terbakar, mutilasi serta harus mempertimbangkan factor
psikologi keluarga yang melakukannya (sedang berduka, stress, sedih, dll). Melalui kepemilikan
identitas cukup dapat dipercaya terutama bila kepemilikan tersebut (pakaian, perhiasan, surat jati
diri) masih melekat pada tubuh korban.
2.6.1.2 Metode ilmiah
Cara-cara ini sekarang berkembang dengan pesat, berbagai disiplin ilmu ternyata dapat
dimanfaatkan untuk identifikasi korban tidak dikenal. Dengan metode ilmiah ini didapatkan
akurasi yang sangat tinggi dan juga dapat dipertanggung jawabkan secara hukum. Metode ilmiah
yang paling mutahir saat ini adalah DNA Profilling (sidik DNA). Cara ini mempunyai banyak
keunggulan tetapi memerlukan pengetahuan dan sarana yang canggih dan mahal. Dalam
melakukan identifikasi selalu diusahakan cara-cara yang mudah dan tidak rumit. Apabila dengan
cara yang mudah tidak bisa, baru meningkat kecara yang lebih rumit. Selanjutnya dalam
identifikasi tidak hanya menggunakan satu cara saja, segala cara yang mungkin harus dilakukan,
hal ini peting karena semakin banyak kesamaan yang ditemukan akan semakin akurat.
14

Standar Interpol untuk prosedur DVI ini telah menentukan metode identifikasi berupa :
1. Primer / utama (primary identifier) :
a. Sidik jari
b. Gigi geligi
c. DNA
2. Sekunder / pendukung (secondary identifier) :
a. Medic
b. Property
c. Photography
Indonesia mempunyai aturan dalam prosedur ini, dikatakan positif teridentifikasi apabila satu /
lebih dari Primary Identifier dengan atau tanpa didukung Secondary Identifier, atau minimal dua
hari Secondary Identifier apabila tidak didapatkan Primary Identifier.
Gigi merupakan suatu sarana identifikasi yang dapat dipercaya, khususnya bila rekam dan photo
gigi pada waktu masih hidup yang pernah dibuat masih tersimpan dengan baik. Pemeriksaan gigi
ini menjadi amat penting apabila mayat sudah dalam keadaan membusuk / rusak , seperti halnya
kebakaran.
Adapun dalam melaksanakan identifikasi manusia melalui gigi, kita dapatkan dua kemungkinan :
1. Memperoleh informasi melalui data gigi dan mulut untuk membatasi atau menyempitkan
identifikasi. Informasi ini dapat diperoleh antara lain mengenai :
a. Umur
b. Jenis kelamin
c. Ras
d. Golongan darah
e. Bentuk wajah
Dengan adanya informasi mengenai perkiraan batas-batas umur korban, maka pencarian
dapat dibatasi pada data-data orang hilang yang berada disekitar umur korban. Dengan
demikian penyidikan akan mejadi lebih terarah.
2. Mencari ciri-ciri yang merupakan tanda khusus pada korban tersebut.
Disini dicatat cirri-ciri yang diharapkan dapat menentukan identifikasi secara lebih akurat
dari pada sekedar mencari informasi tentang umur atau jenis kelamin. Ciri-ciri demikian
antara lain : misalnya adanya gigi yang dibungkus logam, gigi yang ompong atau patah,

15

lubang pada bagian depan biasanya dapat lebih udah dikenali oleh kenalan atau teman
dekat atau keluarga korban.
Disamping ciri-ciri diatas, juga dapat dilakukan pencocokan antara tengkorak korban
dengan foto korban semasa hidupnya. Metode yang digunakan dikenal sebagai
Superimposed Technique yaitu untuk membandingkan antara tengkorak korban dengan
foto semasa hidupnya.
3. Identifikasi dengan teknik superimposisi
Superimposisi adalah suatu sistem pemeriksaan untuk menentukan identitas seseorang
dengan membandingkan korban semasa hidupnya dengan tengkorak yang ditemukan.
Kesulitan dalam menggunakan teknik ini adalah :
a. Korban tidak pernah membuat foto semasa hidupnya.
b. Foto korban harus baik posisinya maupun kwalitasnya.
c. Tengkorak yang ditemukan sudah hancur dan tidak terbentuk lagi.
d. Membutuhkan kamar gelap yang perlu biaya tersendiri.
Adapun penatalaksanaannya adalah sebagai berikut :
a.
b.
c.
d.

Foto korban semasa hidupnya diperbesar sesuai ukuran yang sebenarnya (life size).
Tengkorak difoto dengan ukuran yang sebenarnya.
Garis luar dan muka foto digaris pada kertas transparan dengan patokan titik tertentu.
Transparan dengan garis dan titik-titik tersebut dibuat superimposisi
(tumpangtindihkan) pada foto tengkorak sebenarnya. Lebih baik menggunakan
tehnik-tehnik kaca tembus dan cermin 3 dimensi.

2.6.3 Objek Identifikasi


Identifikasi terhadap orang yang sudah meninggal dunia dapat dilakukan terhadap :
1. Jenazah yang masih baru dan utuh
2. Jenazah yang sudah membusuk dan utuh
3. Bagian-bagian dari tubuh jenazah
Cara melakukan identifikasi pada jenazah yang masih baru dan utuh oleh pihak
kepolisian seperti yang dilakukan terhadap orang hidup. Adapun hal-hal yang ditemukan di
dalam otopsi oleh dokter (misalnya penyakit, cacat tubuh, bekas operasi atau bekas trauma)
dapat digabungkan dengan hasil pemeriksaan pihak kepolisian.

16

Pada jenazah utuh yang sudah membusuk mungkin masih dapat diketahui jenis kelamin,
tinggi badan dan umurnya. Tetapi jika tingkat pembusukannya sudah sangat lanjut mungkin sisa
pakaian, perhiasan, jaringan parut, tattoo atau kecacatan fisik akan bermanfaat bagi kepentingan
identifikasi. Sedangkan identifikasi yang lebih akurat dapat dilakukan dengan memanfaatkan
gigi geliginya. Sebagai mana diketahui bahwa gigi merupakan bagian tubuh manusia yang paling
tahan terhadap pembusukan, kebakaran dan reaksi kimia.
Jika yang ditemukan bukan jenazah yang utuh, melainkan sisa-sisa tubuh manusia maka
pertama-tama yang perlu dilakukan adalah mentukan apakah sisa-sisa itu benar-benar berasal
dari tubuh manusia. Jika benar maka tindakan selanjutnya adalah menentukan jenis kelamin,
umur, tinggi badan dan sebagainya.
Seringkali bagian-bagian dari tubuh manusia ditemukan diberbagai tempat yang terpisah
sehingga timbul pertanyaan apakah bagian-bagian itu berasal dari individu yang sama. Guna
memastikannya diperlukan pemeriksaan DNA atau precipitin test.
2.6.4 Bantuan Dokter Pada Proses Identifikasi
Bantuan yang dapat diberikan oleh dokter pada proses identifikasi meliputi :
1. Mentukan manusia atau bukan
Jika ditemukan tulang-tulang maka kadang-kadang tulang dari beberapa binatang tertentu
mirip tulang manusia. Cakar dari beruang misalnya, hamper mirip bentuknya dengan
tangan manusia. Dengan pemeriksaan yang teliti akan dapat dibedakan apakah tulang
yang ditemukan berasal dari manusia atau binatang.
Yang agak sulit adalah jika yang ditemukan itu berupa tulang yang tidak khas
(unidentifiable bones) atau jaringan lunak. Dalam hal ini pemeriksaan yang diperlukan
untuk dapat menentukan manusia atau binatang adalah pemeriksaan imunologik
(precipitin test).
2. Menentukan jenis kelamin
Pada korban kebakaran atau pada mayat yang sudah membusuk dimana penentuan jenis
kelamin tidak mungkin dilakukan dengan pemeriksaan luar maka penentuan jenis
kelamin dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan pada :
a. Jaringan lunak tertentu :
Uterus dan prostat merupakan jaringan lunak yang lebih tahan terhadap pembusukan
dan dapat digunakan untuk menentukan jenis kelamin. Dari jaringan lunak juga dapat
17

dilakukan pemeriksaan sex chromatin untuk menentukan jenis kelamin, terutama


jaringan kulit dan tulang rawan. Metode ini juga berguna bagi penentuan jenis
kelamin pada mayat yang terpotong-potong.
b. Tulang-tulang tertentu:
Pada orang dewasa, beberapa tulang tertentu bentuknya berbeda antara laki-laki dan wanita.
Tulang-tulang itu antara lain tengkorak, pelvis, tulang panjang, rahang dan gigi.

Tengkorak
Dahi
Tepi orbital
Orbital
Tonjolan mastoid
Rigi (muscle-ridges)

Laki-laki
Rendah
Lebih menonjol
Persegi empat
Besar
Kasar (nyata)

Wanita
Tinggi
Kurang menonjol
Bulat
Kecil
Halus

Pelvis
Bentuk
Arcus pubis
Foramen ischiadica
Incisura ischiadica
Os sacrum

Laki-laki
Sempit dan panjang
< 90 derajat
Oval
Lebih dalam
Kurang lebar

Wanita
Lebar dan pendek
>90 derajat
Segitiga
Lebih dangkal
Lebih lebar

Tulang panjang pada laki-laki lebih massive ( terutama disekitar sendi) dan rigi pelekatan otot
lebih nyata.
Bentuk rahang dan gigi antara laki-laki dan wanita juga berbeda sehingga dapat dimanfaatkan
untuk kepentingan identifikasi jenis kelamin. Rahang pada laki-laki pada umumnya seperti huruf
V sedangkan pada wanita seperti huruf U. Gigi dan akar gigi permanen pada laki-laki lebih besar
dari pada wanita.
3. Menentukan umur
Tulang manusia dan gigi juga dapat memberikan informasi penting bagi perkiraan umur
manusia. Namun signifikansi dari pemeriksaan tulang bergantung pada besarnya penyebaran

18

kelompok umur sehingga perlu dikelompokkan secara terpisah menjadi kelompok fetus,
neonatus, anak-anak, adolescen, dan dewasa.
Pada fetus dan neonatus, perkiraan didasarkan pada inti penulangan yang dapat dilihat melalui
Pemeriksaan ronsenologik atau otopsi. Oleh para ahli telah disusun table pembentukan inti
penulangan dari berbagai tulang, mulai dari kehidupan intrauterine sampai pada kehidupan diluar
kandungan. Pada anak-anak dan adolescen sampai umur 20 tahun, yang paling berguna bagi
penentuan umur adalah penutupan epifise. Seperti diketahui bahwa penutupan epifise juga
mengikuti urutan kronologik. Memang tingkat ketelitiannya rendah sehingga perlu dikombinasi
dengan pemeriksaan lain.
Pada kelompok dewasa ( yaitu sesudah berumur 20 tahun), perkiraan umur dengan menggunakan
tulang menjadi lebih sulit. Beberapa petunjuk yang dapat dipakai antara lain: penutupan sutura,
perubahan sudut rahang dan adanya proses penyakit.
Penentuan umur dengan menganalisa jaringan yang akan tumbuh menjadi gigi pada bayi di
dalam kandungan mempunyai derajat kecermatan yang tinggi. Sesudah dilahirkan penentuan
umur dapat dilakukan dengan mendasarkan pada mineralisasi, pembentukan mahkota gigi, erupsi
gigi, dan resorbsi apikalis.
Dengan menggunakan formula matematik, Gustafson telah menyusun rumus yang dapat
digunakan untuk membantu menentukan umur melalui pemeriksaan gigi.
4. Menentukan tinggi badan
Salah satu informasi penting yang dapat digunakan untuk melacak identitas seseorang adalah
informasi tentang tinggi badan. Oleh sebab itu pada pemeriksaan jenazah yang tidak diketahui
identitasnya perlu diperiksa tinggi badannya. Memang tidak mudah mendapatkan tinggi badan
yang tepat dari pemeriksaan yang dilakukan sesudah mati, meskipun yang diperiksa itu jenazah
yang utuh. Perlu diketahui bahwa ukuran orang yang sudah mati biasanya sedikit lebih panjang
(sekitar 2,5cm) dari pada tinggi badan waktu hidup.
Jika yang diperiksa jenazah yang tidak utuh maka penentuan tinggi badan dapat dilakukan
dengan menggunakan tulang-tulang panjang. Hanya dengan sepotong tulang panjang yang utuh
19

umur pemiliknya dapat diperkirakan, tetapi hasil yang lebih akurat dapat diperoleh jika tersedia
beberapa jenis dari tulang panjang. Untuk kepentingan perhitungan tersebut ada banyak rumus
yang dapat dipakai dan salah satunya adalah rumus Karl Pearson.
2.6.5 Identifikasi Personal
Jika identifikasi terhadap jenazah tidak dikenal dilakukan dengan menggunakan data
pembanding maka identitas personalnya akan dapat dikenali. Data pembanding tersebut ialah
contoh sidik jari, medical record gigi geligi serta contoh DNA.
Kehandalan sidik jari (fingerprint) sebagai sarana identifikasi personal disebabkan karena
hamper tidak pernah ditemukan dua orang dengan sidik jari sama, bahkan pada orang kembar
sekalipun. Secara teoritis, kemungkinan terjadinya dua orang dengan sidik jari sama adalah
sebesar sepersepuluh ribu bilyun. Selain itu sidik jari tidak mengalami perubahan karena umur.
Oleh sebab itu sidik jari yang diambil beberapa tahun sebenarnya masih dapat dipakai sebagai
pembanding.
Jika kulit jari sudah keriput maka pengambilan sidik jari dapat dilakukan sesudah
jaringan dibawah kulit disuntik terlebih dahulu dengan cairan parafin, formalin atau air. Sedang
pada mayat yang epidermisnya sudah mengelupas, pengambilan sidik jari dapat dilakukan
dengan hati-hati dan berulang-ulang mengingat gambaran sidik jari pada dermis tidak sejelas
gambaran sidik jari pada epidermis.
Dalam hal sidik jari tidak mungkin lagi diambil maka pemeriksaan gigi geligi menjadi
penting. Pada peristiwa kecelakaan pesawat terbang misalnya dimana daftar manifes penumpang
diketahui, identitas positif akan mudah dilakukan dengan membandingkan hasil pemeriksaan itu
dengan file dari semua penumpang.

2.6.6 Setelah Korban Teridentifikasi


Setelah korban teridentifikasi sedapat mungkin dilakukan perawatan pemulasaran jenazah yang
meliputi antara lain :
a. Perbaikan atau rekonstruksi tubuh jenazah.
20

b. Pengawetan jenazah (bila memungkinkan).


c. Perawatan sesuai agama korban.
d. Memasukkan dalam peti jenazah.
Adapun penatalaksanaannya adalah sebagai berikut :
Jenazah diserahkan kepada keluarganya oleh petugas khusus dari Dewan Identifikasi berikut
surat-surat yang diperlukan pencatatan yang penting pada proses serah terima jenazah antara lain
-

Tanggal dan jamnya


Nomor registrasi jenazah
Diserahkan kepada siapa, alamat lengkap penerima, hubungan keluarga dengan korban
Dibawa kemana atau akan dimakamkan dimana

Perawatan jenazah setelah teridentifikasi dilaksanakan oleh unsure Pemerintah Daerah, dalam
hal ini Dinas Sosial dan Dinas Pemakaman yang dibantu oleh keluarga korban.
Adalah sangat penting untuk tetap memperhatikan record dan segala informasi yang telah dibuat
untuk dikelompokkan dan disimpan dengan baik. Dokumentasi berkas yang baik juga
berkepentingan agar pihak lain (Interpol misalnya) dapat melihat, mereview kasusnya, sehingga
menunjukkan bahwa proses identifikasi ini dikerjakan dengan baik dan penuh perhatian.
2.6.7 Jika Korban Tak Teridentifikasi
Salah satu keterbatasan yang akan timbul di lapangan adalah adanya kemungkinan korban yang
tidak teridentifikasi. Hal ini mungkin saja disebabkan seringkali begitu banyaknya laporan
korban atau orang hilang sedangkan yang diperiksa tidak sama jumlahnya seperti yang
dilaporkan. Atau pada kecelakaan pesawat misalnya, pada passenger list terdapat sejumlah
penumpang termasuk crew pesawat, namun setelah terjadinya bencana dan pada waktu korban
ditemukan untuk diperiksa ternyata kurang dari jumlahnya dari daftar penumpang pesawat
tersebut.
Menjadi suatu masalah, jika ahli waris keluarga korban meminta certificate of death untuk
kepentingan administrasinya seperti akta kematian, pengurusan warisan, asuransi dan
sebagainya, sedangkan Dewan Identifikasi tidak mempunyai data post mortemnya oleh karena
memang tidak dilakukan pemeriksaan atau tidak ditemukan jasad atau bagian tubuhnya.

21

Selanjutnya sampai berapa lama orang yang hilang dalam suatu bencana jika tidak ditemukan
atau tidak diperiksa bisa dikatakan meninggal dan dikeluarkan certificate of death-nya? Salah
satu solusi adalah dilakukannya kesepakatan bersama antara beberapa ahli hokum dengan dewan
Identifikasi untuk berdiskusi dari aspek bencana, alasan tidak ditemukannya dan sebagainya.
Selanjutnya hasil keputusan tersebut diajukan ke pengadilan dan menghasilkan suatu ketetapan,
yang berdasarkan keputusan pengadilan inilah kemudian dipakai sebagai acuan untuk
menentukan orang tadi dinyatakan sudah meninggal serta dikeluarkannya certificate of death.

2.7 Pengumpulan Data Ante Mortem dan Post Mortem


2.7.1 Data-data Ante Mortem
a.
b.
c.
-

Umum :
Nama
Berat badan dan tinggi badan
Jenis kelamin / umur / alamat
Pakaian
Perhiasan
Sepatu
Kepemilikan lainnya
Medis :
Warna kulit
Warna dan jenis rambut
Mata, hidung, telinga, mulut
Cacat dan tattoo atau ciri-ciri khusus lainnya
Cacatan medis / perawatan patah tulang / operasi
Golongan darah
dan data medis lainnya.
Data-data ini dapat dikumpulkan dari :
Keluarga dekat
Dokter yang merawat / rumah sakit
Kantor cacatan sipil, dll

2.7.1.1 Data-data ante mortem gigi geligi


a. Data-data ante mortem gigi geligi adalah keterangan tertulis atau gambaran dalam
kartu perawatan gigi atau keterangan dari keluarga atau orang yang terdekat.
b. Sumber data-data ante mortem tentang kesehatan gigi diperoleh dari :
- Klinik gigi RS Pemerintah, TNI / POLRI dan swasta
22

Lembaga-lembaga pendidikan pemerintah / TNI / POLRI / swasta


Praktek pribadi dokter gigi.

2.7.2 Data-data post mortem


Data ini diperoleh dari tubuh jenazah berdasarkan pemeriksaan dari berbagai keahlian
antara lain : dokter ahli forensic, dokter umum, dokter gigi forensic, sidik jari, fotografi
dan DNA.
Urutan pemeriksaan pada jenazah adalah sebagai berikut :
a. Mayat diletakkan pada meja otopsi atau meja lain
b. Dicatat nomer jenazah
c. Foto keseluruhan sesuai apa adanya
d. Ambil sidik jari (bila dimungkinkan keadaannya)
e. Deskripsi pakaian satu-persatu mulai dari luar kemudian dilepas dan dikumpulkan
serta diberi nomor sesuai nomor jenazah (bila diperlukan untuk mengambil foto jika
dianggap penting dan khusus)
f. Barang milik pribadi dan perhiasan difoto dan dideskripsi kemudian dikumpulkan dan
diberi nomor sesuai nomor jenazah.
g. Periksa secara teliti mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki yang meliputi :
- Identifikasi umur (jenis kelamin-umur-BB-TB, dll)
- Identifikasi khusus (tattoo, jaringan parut, cacat, dll)
h. Lakukan bedah jenazah dan deskripsikan temuan. Prinsipnya mencari kelainan yang
i.
j.
k.
l.

khas, penyakit / patologis, bekas patah tulang, bekas operasi dll


Ambil sampel untuk pemeriksaan serologi, DNA atau lain-lain.
Foto akhir keseluruhan sesuai kondisi korban.
Buat kesimpulan berdasarkan pemeriksaan patologi forensic
Serahkan pada bagian pemeriksaan gigi geligi

2.8 Prosedur Pemulasaran


2.8.1 Perawatan Jenazah
2.8.1.1 Pendinginan Jenazah
Pengaruh dari permukaan tubuh pada factor cuaca ( kelembapan tinggi,suhu tinggi) mempercepat
proses pembusukan, apabila pembusukan terjadi maka factor indentifikasi yang penting menjadi
rusak. Pada banyak kasus kapasitas penampungan mayat tidak cukup, sehingga sangat
dibutuhkan fasilitas seperti pendingin, fasilitas penyimpanan mayat di bawah tanah, container
pendingin, ambulance dengan pendingin, atau AC portable.

23

Jenazah harus didinginkan pada suhu 4-6 derajat. Apabila jenazah dalam kondisi disimpan dalam
waktu yang lama, maka dibutuhkan temperature dibawah 0 derajat. Dan sebaiknya dihangatkan
4-6 derajat celcius sebelum dilakukan pemeriksaan.
Dry es menyebabkan luka bakar pada jenazah dan dalam penggunaan tidak langsung dengan
tubuh jenazah. Dinding dengan tinggi setengah meter dapat dibangun untuk menutupi dua puluh
jenazah dan di tutup oleh terpal. Sekitar 10 kg dry es dibutuhkan setiap jenazah perhari.
Sebaiknya dalam mendinginkan jenazah tidak menggunakan es batu karena lelehan es dapat
merusak jenazah ataupun dapat mengakibatkan infeksi pada orang hidup disekitarnya.

2.8.1.2 Penomoran Jenazah


Setiap jenazah sebaiknya diberikan nomor. Apabila beberapa tim DVI bekerja bersama pada
lahan operasi yang sama maka kode Negara harus dimasukkan sebelum nomor jenazah misalnya
Pada Negara Jerman GERMAN : 49-0001 , dan pada Negara Indonesia INDONESIA : 620001

2.8.2 Prosedur pemakaman


1. korban dikenal: dimakamkan seperti biasa
2. korban tidak dikenal: dimakamkan secara masal dengan cara:
o Dimakamkan sesuai kelompok dengan jumlah maksimal 1 lubang 20 jenazah
o Jenazah diatur sesuai urutan nomor dalam kelompok
o Jarak antar kenazah 0,40 M
o Setiap jenazah diberi papan dengan ujung atas diberi nomor sesuai nomor jenazah yang
nantinya merupakan nisan
24

2.8.2.1 Persyaratan Makam masal

Lokasi minimal 200 M dari sumber air setempat (sungai, danau, irigasi, dll)

Kedalamam minimal 1,5 M

Bila hujan tidak tergenang air\

Sedapat mungkin daerah makam dan daerah pemukiman dibatasi buffer zone berupa
hutan/ pepohonan

Makam mudah diakses penduduk

2.8.3 Mengembalikan Jenazah pada pihak keluarga


Setelah korban teridentifikasi sedapat mungkin sebelum diserahkan kepada keluarga dilakukan
perawatan jenazah dengan melakukan perbaikan atau rekonstruksi tubuh, pengawetan, perawatan
sesuai agama korban dan memasukkan dalam peti jenazah
Beberapa macam bencana yang telah terjadi antara lain bencana alam, kecelakaan lalu lintas
darat, udara dan laut serta bom semuanya mengakibatkan banyak korban yang meninggal.
Identifikasi Korban Massal sangat penting mengingat kepastian seseorang hidup dan mati .
sangat diperlukan untuk kepentingan hukum yang berkaitan dengan Asuransi, Pensiun, Warisan,
dan lain-lain.
Pembiayaan yang timbul dari pelaksanaan Tim Identifikasi korban Mati Pada Bencana Massal
tentunya bisa dibebankan pada Negara sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang
berlaku.
Setelah jenazah teridentifikasi maka dibuatkan surat kematian

2.8.3.1 Pengangkutan Jenazah Keluar Kota


Apabila jenazah hendak diangkut keluar kota, maka harus memdapat persetujuan dari ;
25

Kantor DKK setempat.


Izin dari pembantu gubernur atau kepala daerah setempat
Syarat-syarat pengangkutan jenazah keluar kota ialah :
Bukanmeninggal karena penyakit menular
Jenazah dimasukkan dalam peti kayu yang kuat dan rapat serta didempul.
Sampai ditempat harus langsung dibawa ke makam
2.8.3.2 Pengiriman Jenazah Keluar Negeri
Jenazah harus diawetkan dengan formalin 10% sebanyak kira-kira 12 liter
Dimasukkan dalam peti logam, misalnya seng, timah dll.
Alas peti logam dilapisi bahan absorbent, misalnya serbuk gergaji.
Peti logam ditutup rapat dan disolder.
Peti logam ini kemudian dimasukkan kedalam peti kayu yang tebalnya kira-kira minimal 3 cm
dan diusahakan jangan sampai peti logam bergerak
Peti kayu ini dipaku dengan sekrup, dengan jarak masing-masing 20 cm
Peti kayu ini kemudian diperkuat dengan melingkarinya memakai plat dari logam.
Kemudian peti dimasukkan kedalam peti barang yang terbuat dari kayu.
Peti yang berisi jenazah ini harus diletakkan dibagian dari kapal atau pesawat terbang yang jauh
dari makanan atau minuman dan tidak menghalangi lalu lalang dari penumpang atau awak kapal
Harus ada proses verbal yang syah dari polisi tentang pemasukan jenazah tersebut
Harus ada keterangan dari dokter yang menyatakan bahwa jenazah tersebut tidak meninggal
karena penyakit menular.
Semua surat-surat keterangan yang bersangkutan harus disertakan dengan jenazah untuk
ditanda tangani oleh dokter pelabuhan

2.8.4 Surat Kematian


Surat kematian adalah Surat yang menerangkan bahwa seseorang telah meninggal dunia memuat
identitas, saat kematian, dan sebab kematian).
26

2.8.4.1 Kegunaan Surat kematian

Pemakaman

Pensiun

Asuransi

Warisan

Hutang piutang

Hukum

statistik

2.8.4.2 Ada 6 jenis formulir surat kematian :


1. Formulir A
2. Formulir B
3. Formulir M
4. Formulir I
5. Formulir CS
6. Formulir KIP
28.4.2.1 Formulir A
Adalah surat keterangan pemeriksaan kematian yang diberikan kepada keluarga jenazah dan
dipakai sebagai izin pemakaman bagi penduduk asli Indonesia. Berisi identitas jenazah, tanggal
dan tempat jenazah diperiksa, identitas dokter yang memeriksa yang disertai tanda tangan dokter.
Dan dibuat oleh dokter dengan mengingat sumpah atau janji waktu menerima jabatan dan dibuat
berdasarkan ordonansi surat kematian yang tercantum dalam staadblad van nederlands Indie th.
1916.

2.8.4.2.2. Formulir B
Adalah formulir yang dikirim ke DKK setempat. Formulir ini dibuat oleh dokter dengan
mengingat sumpah waktu menerima jabatan dan dibuat atas dasar pasal 1 ordonansi pemeriksaan
kematian (Stb.1916 no.612). Formulir ini berisi : Identitas jenazah, Jam dan tanggal pelaporan
27

kematian, Tempat pemeriksaan jenazah, Persangkaan sebab kematian, Tanggal dan jam
pemeriksaan kematian, Identitas dokter pemeriksa dan tanda tangan
2.8.4.2.3 Formulir M

Adalah Surat kematian karena penyakit menular atau tidak. Formulir ini dibuat dan diberikan
kepada keluarga korban, terutama bila jenazahnya akan dikubur keluar kota atau keluar negeri.
Formulir ini berisi : Identitas jenazah, Keterangan meninggal karena penyakit menular atau tidak
karena penyakitmenular, Identitas dokter, Tanda tangan dokter

2.8.4.2.4 Formulir I
Adalah formulir kematian International. Formulir ini dipakai oleh dunia International setelah
disahkan oleh WHO pada tahun 1948 Hanya dibuat atau diisi pada peristiwa kematian yang ada
dalam rumah sakit saja. Dalam formulir ini harus dinyatakan dengan jelas tentang rangkaian
peristiwa-peristiwa sakit serta penyakit yang menjadi pokok pangkal rangkaian peristiwaperistiwa tersebut tadi. Di isi dan ditanda tangani oleh dokter, kemudian dikirim ke Kan-Wil
Dep-Kes, kemudian selanjutnya diteruskan ke Departemen Kesehatan.
2.8.4.2.5 Formulir CS
Adalah formulir pelaporan kematian untuk Catatan Sipil
Formulir ini dibuat berdasarkan reglemen catatan sipil pasal 71 bagi golongan eropah dan pasal
79 bagi golongan Cina dan pasal 66 bagi golongan Kristen dan pasal 47 bagi golongan asli
Indonesia yang terkena reglemen catatan sipil.
Formulir ini berisi : Identitas jenazah (nama, jenis kelamin dan umur), Alamat serta pekerjaan
jenazah, Identitas suami / isteri, Alamat dan pekerjaan suami / isteri, Nama, alamat, pekerjaan
ayah dan ibu, Nama dan tanda tangan dokter yang merawat, Nama dan tanda tangan direktur
rumah sakit

28

BAB III
KESIMPULAN

Penatalaksanaan korban massal akibat bencana merupakan suatu pekerjaan yang


memerlukan keterpaduan antara instansi terkait untuk kerjasama dalam suatu system agar

mempermudah pelaksanaannya.
Dalam melakukan identifikasi korban mati pada bencana massal perlu mengorganisasikan
dan mengkoordinasikan segala sumber daya yang ada diadaerah dengan melakukan
pertemuan rutin, latihan bersama, simulasi, gelada lapangan dan segala hal yang

menyangkut teknis pelaksanaan dengan merujuk pada petunjuk yang ada.


Data Ante Mortem adalah data-data yang penting dari korban sebelum kejadian atau pada
waktu korban masih hidup, termasuk disini data vital tubuh, data gigi, data sidik jari dan

data kepemilikan yang dipakai/dibawa.


Data Post Mortem adalah data-data hasil pemeriksaan forensik yang dilihat dan
ditemukan pada jenazah korban.

29

Khusus pada korban bencana massal, telah ditentukan metode identifikasi yang dipakai
yaitu: Primer / utama (Gigi, sidik jari, DNA) dan Sekunder / Pendukung (Visual,
Property, Medic).

DAFTAR PUSTAKA

1. http://adjisuwandono.staff.uns.ac.id/2010/07/22/identifikasi-korban-bencana-massal/
2. http://www.rahima.or.id/index.php?
option=com_content&view=article&id=604%3Apentingnya-sensitifitas-gender-didalam-proses-penanganan-korban-bencanaalam&catid=1%3Aberita&Itemid=18&lang=in
3. http://www.kesad.mil.id/content/penanganan-dan-evakuasi
4. http://yanmedik.depkes.go.id/buk/index.php?
option=com_content&view=article&id=67:disaster-victim-identification-dvi&catid=1:latest-news
5. http://mediabidan.com/prioritas-dalam-penanganan-korban-bencana/
6. http://www.pmi-jateng.or.id/index.php?
option=com_content&view=article&id=280:penanganan-jenazah-korban-bencanamenjadi-bagian-tugas-pmi&catid=1:halamanutama&Itemid=1
7. http://bejotingkir.blogspot.com/2011/02/identifikasi-korban-bencana-masal.html
8. Interpol, New guides of DVI 2009
9. Pedoman Pembantuan Bencana bagi PTK-PNF Tahun 2008
10. PERATURAN KEPALA BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA
NOMOR 3 TAHUN 2008TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKANBADAN
PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH
11. PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 46 TAHUN 2008
12. RingkasanTelaahan Sistem Terpadu Penanggulangan Bencana di Indonesia
(Kebijakan, Strategi, dan Operasi)
30

13. Singh, Surjit, Instalasi/SMF Kedokteran Forensik dan Medicolegal Rumah Sakit Umum
Dr. Pirngadi Medan/FK-USU Medan
14. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2007 TENTANG
PENANGGULANGAN BENCANA
15. www.fk.uwks.ac.id/elib/Arsip/Departemen/.../Srt%20Kematian.pdf)
16. Buku Panduan Teknis tentang Penatalaksanaan Disaster Victim Identification (DVI)
POLRI, Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia Pusat Kedokteran dan
Kesehatan

31

Anda mungkin juga menyukai