Bab I Pendahuluan
Bab I Pendahuluan
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari 17.000 pulau dengan batas luasnya
sebesar 2.027.087 km, mempunyai kurang lebih 129 gunung merapi. Secara geologis Indonesia
terletak di pertemuan di antara 3 plat tektonik utama (Eurasia, Indo-Australia dan Mediterania)
dan secara demografi terdiri dari bermacam-macam etnik, agama, latar belakang sosial dan
budaya, dimana keadaan tersebut memberikan petunjuk bahwa Indonesia berisiko tinggi sebagai
negara yang rawan dari bencana alam terjadinya gempa bumi, tsunami, longsor, banjir maupun
kecelakaan baik darat, laut maupun udara. Bencana massal didefinisikan sebagai suatu peristiwa
yang disebabkan oleh alam atau karena ulah manusia, yang dapat terjadi secara tiba-tiba atau
perlahan-lahan, yang menyebabkan hilangnya jiwa manusia,kerusakan harta benda dan
lingkungan,
serta
melampaui
kemampuan
dan
sumber
daya
masyarakat
untuk
menanggulanginya. Umumnya korban yang hidup telah banyak dapat diatasi oleh tim medis,
para medis dan tim pendukung lainnya.
Bencana merupakan suatu kejadian yang mendadak, tidak terduga, terjadi pada siapa saja,
dimana saja, kapan saja serta mengakibatkan kerusakan dan kerugian harta benda, korban
manusia yang relative besar baik mati maupun cedera. Bencana ini dapat bersifat tidak disengaja
maupun disengaja, seperti : terror bom, sabotase transportasi masyarakat dan lain-lain.
Posisi Geografis Indonesia
Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik dunia, memiliki lebih dari 128
gunung berapi aktif, dan sekitar 150 sungai, baik besar maupun kecil, yang melintasi wilayah
padat penduduk.
Danau toba yang terkenal itupun sebetulnya sebuah Caldera atau lubang dipermukaan bumi yang
diakibatkan oleh gempa vulkanik. Bila luas danau toba mencapai 100 kilometer persegi, bisa
dibayangkan betapa besar gempa tersebut, yang konon terjadi sekitar 74000 tahun lalu.
Coba kita ingat beberapa catatan bencana alam besar yang pernah di alami negeri tercinta ini.
1
1815
Gunung tambora meletus. Jumlah korban saat itu tidak tercatat dengan baik, namun dapat
dipastikan melebihi jumlah korban letusan gunung krakatau.
1883
Gunung krakatau meletus, mengakibatkan tsunami dan menghilangkan lebih dari 36000
jiwa. Letusan ini menjadi catatan sejarah dunia tersendiri karena tsunami yang
diakibatkan mencapai hingga Hawaii dan Amerika Selatan.
1930
Gunung merapi meletus. Mengakibatkan 1300 orang harus kehilangan nyawa
1963
Gunung Agung Meletus. Menewaskan sekitar 1000 jiwa
2004
Gempa dan Tsunami melumatkan aceh dan kawasan sekitarnya serta menewaskan sekitar
170 ribu jiwa, jumlah terbesar yang tercatat dalam sejarah modern bencana alam
indonesia
2005
Gempa di Nias Sumatera tanggal 28 Maret 2005 mengakibatkan sekitar 1000 orang
meninggal
2006
Gempa di Yogyakarta, menewaskan sekitar 5.782 jiwa
2007
2
Belum adanya suatu panduan teknis penanganan korban bencana massal yang berlaku
secara Nasional serta terbatasnya ahli identifikasi manusia juga merupakan suatu kendala. Oleh
karena itu Polri yang dalam hal ini Pusdokkes Polri menyusun suatu Panduan Teknis tentang
bagaimana caranya kita melakukan penatalaksanaan korban bencana massal (DVI).
1.2 Permasalahan
Adapun pokok pokok yang ingin kami ketahui ialah:
1.
Bagaimana yang dimaksud dengan Bencana Massal ?
2.
Apa saja tinjauan aspek hukum yang meliputi masalah Bencana Massal ?
3.
Bagaimana melakukan identifikasi Korban Mati pada Bencana Massal ?
4.
Bagaimana penanganan jenazah korban mati pada Bencana Massal ?
1.3 Tujuan
1.3.1
1.3.2
Umum
Mengetahui Penanganan Korban Mati Pada Bencana Massal
Khusus
1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan Bencana
2. Mengetahui bagaimana mengidentifikasi korban pada bencana massal
3. Mengetahui segala aspek hukum yang mengatur mengenai bencana
4. Mengetahui penanganan jenazah pada korban bencana massal
1.3.3 Teoritis
1. Diharapkan Dokter mengetahui tugasnya dalam keadaan Bencana Massal
1.3.4 Aplikasi
1. Dokter mampu mengidentifikasi Jenazah korban Bencana Massal
2. Dokter Mengetahui Aspek Hukum yang mengatur mengenai Bencana
3. Dokter mampu menangani
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
masyarakat.
Ancaman tersebut mengakibatkan korban dan melampaui kemampuan masyarakat untuk
mengatasi dengan sumber daya mereka.
Bencana dapat terjadi, karena ada dua kondisi yaitu adanya peristiwa atau gangguan yang
mengancam dan merusak (hazard) dan kerentanan (vulnerability) masyarakat. Bila terjadi
hazard, tetapi masyarakat tidak rentan, maka berarti masyarakat dapat mengatasi sendiri
peristiwa yang mengganggu, sementara bila kondisi masyarakat rentan, tetapi tidak terjadi
peristiwa yang mengancam maka tidak akan terjadi bencana.
Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung
Natural hazard. Ini adalah hazard karena proses alam yang manusia tidak atau sedikit
memiliki kendali. Manusia dapat meminimalisir dampak hazard dengan mengembangkan
kebijakan yang sesuai, seperti tata ruang dan wilayah, prasyarat bangunan, dan sebagainya.
Natural hazard terdiri dari beragam bentuk seperti dapat dilihat pada tabel berikut:
Human made hazard. Ini adalah hazard sebagai akibat aktivitas manusia yang
mengakibatkan kerusakan dan kerugian fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan. Hazard ini
mencakup:
o Technological hazard sebagai akibat kecelakaan industrial, prosedur yang berbahaya,
dan kegagalan infra struktur. Bentuk dari hazard ini adalah polusi air dan udara,
paparan radioaktif, ledakan, dan sebagainya.
o Environmental degradation yang terjadi karena tindakan dan aktivitas manusia
sehingga merusak sumber daya lingkungan dan keragaman hayati dan berakibat lebih
jauh terganggunya ekosistem.
o Conflict adalah hazard karena perilaku kelompok manusia pada kelompok yang lain
sehingga menimbulkan kekerasan dan kerusakan pada komunitas yang lebih luas.
2. Bencana ulah manusia (man made disaster) yaitu kejadian-kejadian karena perbuatan
manusia seperti tabrakan pesawat udara atau kendaraan, kebakaran, huru-hara,
sabotase, ledakan, gangguan listrik, ganguan komunikasi, gangguan transportasi dan
lainnya.
Sedangkan berdasarkan cakupan wilayah, bencana terdiri dari:
1. Bencana Lokal
Bencana ini biasanya memberikan dampak pada wilayah sekitarnya yang berdekatan.
Bencana terjadi pada sebuah gedung atau bangunan-bangunan disekitarnya. Biasanya
adalah karena akibat faktor manusia seperti kebakaran, ledakan, terorisme, kebocoran
bahan kimia dan lainnya.
2. Bencana Regional
Jenis bencana ini memberikan dampak atau pengaruh pada area geografis yang
cukup luas, dan biasanya disebabkan oleh faktor alam, seperti badai, banjir, letusan
gunung, tornado dan lainnya.
2.3 Fase-fase Bencana
Menurut Barbara Santamaria (1995), ada 3 fase dalam terjadinya suatu bencana, yaitu fase
preimpact, fase impact dan fase postimpact.
1. Fase preimpact merupakan warning phase, tahap awal dari bencana. Informasi didapat dari
badan satelit dan meteorologi cuaca. Seharusnya pada fase inilah segala persiapan
dilakukan baik oleh pemerintah, lembaga, dan warga masyarakat.
2. Fase impact merupakan fase terjadinya klimaks dari bencana. Inilah saat-saat dimana
manusia sekuat tenaga mencoba untuk bertahan hidup (survive). Fase impact ini terus
berlanjut hingga terjadi kerusakan dan bantuan-bantuan darurat dilakukan.
3. Fase postimpact adalah saat dimulainya perbaikan dan penyembuhan dari fase darurat,
juga tahap dimana masyarakat mulai berusaha kembali pada fungsi komunitas normal.
Secara umum dalam fase postimpact ini para korban akan mengalami tahap respon
psikologis mulai penolakan, marah, tawar-menawar, depresi hingga penerimaan.
2.4 Aspek Hukum Bencana
Undang-undang no.24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana,mencakup Bab1 pasal 1.
Ayat :
1. Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan menganggu
kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam dan atau
faktor non alam maupun faktor manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan
dampak psikologis.
2. Bencana alam adalah bencana yang diakibatakan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain tsunami,gempa bumi,gunung
meletus,banjir,angina topan,dan tanah longsor.
3. Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan peristiwa atau serangkaian peristiwa
yang disebakan oleh non alam antara lain,gagal teknologi,gagal modernisasi,epidemi,dan
wabah penyakit.
4. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan yang diakibatkan peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh manusia yang meliputi konflik antar
sosial,antar kelompok atau antar komunitas masyarakat.
5. Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi
penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko menimbulkan bencana,kegiatan
pencegahan bencana,tanggap darurat dan rehabilitasi.
6. Kegiatan pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan sebagai
upayauntuk menghilangkan ataumengurangi ancaman bencana.
10. Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan secara segera pada
saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan meliputi
kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda dan kebutuhan
9
dasar,
6. Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi yang selanjutnya disebut BPBD Provinsi
adalah perangkat daerah Provinsi yang dibentuk dalam rangka melaksanakan tugas dan
fungsi untuk melaksanakan penanggulangan bencana.
7. Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten/Kota yang selanjutnya disebut BPBD
Kabupaten/Kota adalah perangkat daerah Kabupaten/Kota yang dibentuk dalam rangka
melaksanakan tugas dan fungsi untuk melaksanakan penanggulangan bencana.
8. Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan menganggu
kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam dan atau
faktor non alam maupun faktor manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan
dampak psikologis.
Kemudian dijelaskan juga dalam KUHP tentang pidana yang berhubungan dengan bencana yang
diakibatkan oleh kelalaian manusia. Pasal 359 KUHP: Barangsiapa karena kealpaannya
menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau
kurungan paling lama satu tahun
2.5 Penatalaksanaan korban mati
2.5.1 Penanganan TKP :
1. Tidak diperkenankan seorangpun korban meninggal yang dapat dipindahkan dari lokasi,
sebelum dilakukan pendataan dan penandaan (tulisan dan gambar visual).
2. Semua perlengkapan pribadi yang pasti milik korban harus disatukan, dicatat dan
diletakkan bersama dengan tubuh atau bagian tubuh korban.
3. Untuk barang atau perlengkapan yang diragukan atau bukan milik korban, dikumpulkan
dan dicatat sebagai tidak dikenal/diketahui serta disimpan terpisah dari korban.
4. Pada kesempatan pertama label tahan air harus diikat pada setiap tubuh korban atau
korban yang tidak dikenal untuk mencegah kemungkinan tercampur atau hilang.
12
1. Mengumpulkan data-data korban semasa hidup seperti foto dan lain-lainnya yang
dikumpulkan dari instansi tempat korban bekerja, keluarga atau kenalan, dokter-dokter
gigi pribadi, polisi (sidik jari).
2. Memasukkan data yang ada dalam formulir yang tersedia (DVI AN Yellow Form).
3. Mengelompokkan data-data Ante Mortem berdasarkan :
a. Jenis kelamin (laki-laki/perempuan)
b. Umur (anak-anak, dewasa, tua)
c. Ras (mongoloid, negroid, Malays, kaukasoid)
d. Keadaan jenazah (lengkap / tidak lengkap)
4. Mengirimkan data-data yang telah diperoleh ke unit pembanding data.
5. Bekerja sama secara lintas sektoral, lintas fungsi, LSM, Social Workers / volunteers
dalam rangka membangun unit data ante mortem ini.
2.6 Identifikasi
2.6.1 Metode dan proses identifikasi
Identifikasi dari tubuh tak dikenal, baik yang masih hidup atau pun mati, dapat dilakukan bagi
kepentingan penyidikan perkara-perkara pidana dan bagi tugas-tugas kepolisian yang lain :
seperti misalnya pada peristiwa bencana alam, kecelakaan yang mengakibatkan korban massal
(mass disaster) atau pada peristiwa ditemukannya seseorang dengan demensia atau kelainan jiwa
yang sulit diajak komunikasi.
Identifikasi bagi kepentingan penyidikan dapat dilakukan terhadap korban mati yang
tidak dikenal sebab sering kali korban kejahatan ditemukan di tempat yang jauh dari tempat
tinggalnya sehingga tidak ada orang yang dapat mengenali atau ditemukan dalam keadaan sudah
membusuk atau rusak. Pada kasus-kasus seperti ini identifikasi menjadi sangat penting
mengingat penyidikan akan menjadi lebih sulit kalau identitas korban tidak diketahui terlebih
dahulu.
Identifikasi untuk kepentingan penyidikan juga dapat dilakukan terhadap pelaku
kejahatan yang telah melakukan penyamaran. Meskipun orang yang dicurigai sebagai pelaku itu
sudah meninggal dunia, kadang-kadang terhadap jenazahnya perlu juga dilakukan identifikasi
untuk memastikannya. Sebetulnya tindakan identifikasi merupakan bagian dari tugas dan
tanggung jawab pihak kepolisian, namun bantuan dokter sangat diperlukan bagi kepentingan
identifikasi tersebut.
13
Standar Interpol untuk prosedur DVI ini telah menentukan metode identifikasi berupa :
1. Primer / utama (primary identifier) :
a. Sidik jari
b. Gigi geligi
c. DNA
2. Sekunder / pendukung (secondary identifier) :
a. Medic
b. Property
c. Photography
Indonesia mempunyai aturan dalam prosedur ini, dikatakan positif teridentifikasi apabila satu /
lebih dari Primary Identifier dengan atau tanpa didukung Secondary Identifier, atau minimal dua
hari Secondary Identifier apabila tidak didapatkan Primary Identifier.
Gigi merupakan suatu sarana identifikasi yang dapat dipercaya, khususnya bila rekam dan photo
gigi pada waktu masih hidup yang pernah dibuat masih tersimpan dengan baik. Pemeriksaan gigi
ini menjadi amat penting apabila mayat sudah dalam keadaan membusuk / rusak , seperti halnya
kebakaran.
Adapun dalam melaksanakan identifikasi manusia melalui gigi, kita dapatkan dua kemungkinan :
1. Memperoleh informasi melalui data gigi dan mulut untuk membatasi atau menyempitkan
identifikasi. Informasi ini dapat diperoleh antara lain mengenai :
a. Umur
b. Jenis kelamin
c. Ras
d. Golongan darah
e. Bentuk wajah
Dengan adanya informasi mengenai perkiraan batas-batas umur korban, maka pencarian
dapat dibatasi pada data-data orang hilang yang berada disekitar umur korban. Dengan
demikian penyidikan akan mejadi lebih terarah.
2. Mencari ciri-ciri yang merupakan tanda khusus pada korban tersebut.
Disini dicatat cirri-ciri yang diharapkan dapat menentukan identifikasi secara lebih akurat
dari pada sekedar mencari informasi tentang umur atau jenis kelamin. Ciri-ciri demikian
antara lain : misalnya adanya gigi yang dibungkus logam, gigi yang ompong atau patah,
15
lubang pada bagian depan biasanya dapat lebih udah dikenali oleh kenalan atau teman
dekat atau keluarga korban.
Disamping ciri-ciri diatas, juga dapat dilakukan pencocokan antara tengkorak korban
dengan foto korban semasa hidupnya. Metode yang digunakan dikenal sebagai
Superimposed Technique yaitu untuk membandingkan antara tengkorak korban dengan
foto semasa hidupnya.
3. Identifikasi dengan teknik superimposisi
Superimposisi adalah suatu sistem pemeriksaan untuk menentukan identitas seseorang
dengan membandingkan korban semasa hidupnya dengan tengkorak yang ditemukan.
Kesulitan dalam menggunakan teknik ini adalah :
a. Korban tidak pernah membuat foto semasa hidupnya.
b. Foto korban harus baik posisinya maupun kwalitasnya.
c. Tengkorak yang ditemukan sudah hancur dan tidak terbentuk lagi.
d. Membutuhkan kamar gelap yang perlu biaya tersendiri.
Adapun penatalaksanaannya adalah sebagai berikut :
a.
b.
c.
d.
Foto korban semasa hidupnya diperbesar sesuai ukuran yang sebenarnya (life size).
Tengkorak difoto dengan ukuran yang sebenarnya.
Garis luar dan muka foto digaris pada kertas transparan dengan patokan titik tertentu.
Transparan dengan garis dan titik-titik tersebut dibuat superimposisi
(tumpangtindihkan) pada foto tengkorak sebenarnya. Lebih baik menggunakan
tehnik-tehnik kaca tembus dan cermin 3 dimensi.
16
Pada jenazah utuh yang sudah membusuk mungkin masih dapat diketahui jenis kelamin,
tinggi badan dan umurnya. Tetapi jika tingkat pembusukannya sudah sangat lanjut mungkin sisa
pakaian, perhiasan, jaringan parut, tattoo atau kecacatan fisik akan bermanfaat bagi kepentingan
identifikasi. Sedangkan identifikasi yang lebih akurat dapat dilakukan dengan memanfaatkan
gigi geliginya. Sebagai mana diketahui bahwa gigi merupakan bagian tubuh manusia yang paling
tahan terhadap pembusukan, kebakaran dan reaksi kimia.
Jika yang ditemukan bukan jenazah yang utuh, melainkan sisa-sisa tubuh manusia maka
pertama-tama yang perlu dilakukan adalah mentukan apakah sisa-sisa itu benar-benar berasal
dari tubuh manusia. Jika benar maka tindakan selanjutnya adalah menentukan jenis kelamin,
umur, tinggi badan dan sebagainya.
Seringkali bagian-bagian dari tubuh manusia ditemukan diberbagai tempat yang terpisah
sehingga timbul pertanyaan apakah bagian-bagian itu berasal dari individu yang sama. Guna
memastikannya diperlukan pemeriksaan DNA atau precipitin test.
2.6.4 Bantuan Dokter Pada Proses Identifikasi
Bantuan yang dapat diberikan oleh dokter pada proses identifikasi meliputi :
1. Mentukan manusia atau bukan
Jika ditemukan tulang-tulang maka kadang-kadang tulang dari beberapa binatang tertentu
mirip tulang manusia. Cakar dari beruang misalnya, hamper mirip bentuknya dengan
tangan manusia. Dengan pemeriksaan yang teliti akan dapat dibedakan apakah tulang
yang ditemukan berasal dari manusia atau binatang.
Yang agak sulit adalah jika yang ditemukan itu berupa tulang yang tidak khas
(unidentifiable bones) atau jaringan lunak. Dalam hal ini pemeriksaan yang diperlukan
untuk dapat menentukan manusia atau binatang adalah pemeriksaan imunologik
(precipitin test).
2. Menentukan jenis kelamin
Pada korban kebakaran atau pada mayat yang sudah membusuk dimana penentuan jenis
kelamin tidak mungkin dilakukan dengan pemeriksaan luar maka penentuan jenis
kelamin dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan pada :
a. Jaringan lunak tertentu :
Uterus dan prostat merupakan jaringan lunak yang lebih tahan terhadap pembusukan
dan dapat digunakan untuk menentukan jenis kelamin. Dari jaringan lunak juga dapat
17
Tengkorak
Dahi
Tepi orbital
Orbital
Tonjolan mastoid
Rigi (muscle-ridges)
Laki-laki
Rendah
Lebih menonjol
Persegi empat
Besar
Kasar (nyata)
Wanita
Tinggi
Kurang menonjol
Bulat
Kecil
Halus
Pelvis
Bentuk
Arcus pubis
Foramen ischiadica
Incisura ischiadica
Os sacrum
Laki-laki
Sempit dan panjang
< 90 derajat
Oval
Lebih dalam
Kurang lebar
Wanita
Lebar dan pendek
>90 derajat
Segitiga
Lebih dangkal
Lebih lebar
Tulang panjang pada laki-laki lebih massive ( terutama disekitar sendi) dan rigi pelekatan otot
lebih nyata.
Bentuk rahang dan gigi antara laki-laki dan wanita juga berbeda sehingga dapat dimanfaatkan
untuk kepentingan identifikasi jenis kelamin. Rahang pada laki-laki pada umumnya seperti huruf
V sedangkan pada wanita seperti huruf U. Gigi dan akar gigi permanen pada laki-laki lebih besar
dari pada wanita.
3. Menentukan umur
Tulang manusia dan gigi juga dapat memberikan informasi penting bagi perkiraan umur
manusia. Namun signifikansi dari pemeriksaan tulang bergantung pada besarnya penyebaran
18
kelompok umur sehingga perlu dikelompokkan secara terpisah menjadi kelompok fetus,
neonatus, anak-anak, adolescen, dan dewasa.
Pada fetus dan neonatus, perkiraan didasarkan pada inti penulangan yang dapat dilihat melalui
Pemeriksaan ronsenologik atau otopsi. Oleh para ahli telah disusun table pembentukan inti
penulangan dari berbagai tulang, mulai dari kehidupan intrauterine sampai pada kehidupan diluar
kandungan. Pada anak-anak dan adolescen sampai umur 20 tahun, yang paling berguna bagi
penentuan umur adalah penutupan epifise. Seperti diketahui bahwa penutupan epifise juga
mengikuti urutan kronologik. Memang tingkat ketelitiannya rendah sehingga perlu dikombinasi
dengan pemeriksaan lain.
Pada kelompok dewasa ( yaitu sesudah berumur 20 tahun), perkiraan umur dengan menggunakan
tulang menjadi lebih sulit. Beberapa petunjuk yang dapat dipakai antara lain: penutupan sutura,
perubahan sudut rahang dan adanya proses penyakit.
Penentuan umur dengan menganalisa jaringan yang akan tumbuh menjadi gigi pada bayi di
dalam kandungan mempunyai derajat kecermatan yang tinggi. Sesudah dilahirkan penentuan
umur dapat dilakukan dengan mendasarkan pada mineralisasi, pembentukan mahkota gigi, erupsi
gigi, dan resorbsi apikalis.
Dengan menggunakan formula matematik, Gustafson telah menyusun rumus yang dapat
digunakan untuk membantu menentukan umur melalui pemeriksaan gigi.
4. Menentukan tinggi badan
Salah satu informasi penting yang dapat digunakan untuk melacak identitas seseorang adalah
informasi tentang tinggi badan. Oleh sebab itu pada pemeriksaan jenazah yang tidak diketahui
identitasnya perlu diperiksa tinggi badannya. Memang tidak mudah mendapatkan tinggi badan
yang tepat dari pemeriksaan yang dilakukan sesudah mati, meskipun yang diperiksa itu jenazah
yang utuh. Perlu diketahui bahwa ukuran orang yang sudah mati biasanya sedikit lebih panjang
(sekitar 2,5cm) dari pada tinggi badan waktu hidup.
Jika yang diperiksa jenazah yang tidak utuh maka penentuan tinggi badan dapat dilakukan
dengan menggunakan tulang-tulang panjang. Hanya dengan sepotong tulang panjang yang utuh
19
umur pemiliknya dapat diperkirakan, tetapi hasil yang lebih akurat dapat diperoleh jika tersedia
beberapa jenis dari tulang panjang. Untuk kepentingan perhitungan tersebut ada banyak rumus
yang dapat dipakai dan salah satunya adalah rumus Karl Pearson.
2.6.5 Identifikasi Personal
Jika identifikasi terhadap jenazah tidak dikenal dilakukan dengan menggunakan data
pembanding maka identitas personalnya akan dapat dikenali. Data pembanding tersebut ialah
contoh sidik jari, medical record gigi geligi serta contoh DNA.
Kehandalan sidik jari (fingerprint) sebagai sarana identifikasi personal disebabkan karena
hamper tidak pernah ditemukan dua orang dengan sidik jari sama, bahkan pada orang kembar
sekalipun. Secara teoritis, kemungkinan terjadinya dua orang dengan sidik jari sama adalah
sebesar sepersepuluh ribu bilyun. Selain itu sidik jari tidak mengalami perubahan karena umur.
Oleh sebab itu sidik jari yang diambil beberapa tahun sebenarnya masih dapat dipakai sebagai
pembanding.
Jika kulit jari sudah keriput maka pengambilan sidik jari dapat dilakukan sesudah
jaringan dibawah kulit disuntik terlebih dahulu dengan cairan parafin, formalin atau air. Sedang
pada mayat yang epidermisnya sudah mengelupas, pengambilan sidik jari dapat dilakukan
dengan hati-hati dan berulang-ulang mengingat gambaran sidik jari pada dermis tidak sejelas
gambaran sidik jari pada epidermis.
Dalam hal sidik jari tidak mungkin lagi diambil maka pemeriksaan gigi geligi menjadi
penting. Pada peristiwa kecelakaan pesawat terbang misalnya dimana daftar manifes penumpang
diketahui, identitas positif akan mudah dilakukan dengan membandingkan hasil pemeriksaan itu
dengan file dari semua penumpang.
Perawatan jenazah setelah teridentifikasi dilaksanakan oleh unsure Pemerintah Daerah, dalam
hal ini Dinas Sosial dan Dinas Pemakaman yang dibantu oleh keluarga korban.
Adalah sangat penting untuk tetap memperhatikan record dan segala informasi yang telah dibuat
untuk dikelompokkan dan disimpan dengan baik. Dokumentasi berkas yang baik juga
berkepentingan agar pihak lain (Interpol misalnya) dapat melihat, mereview kasusnya, sehingga
menunjukkan bahwa proses identifikasi ini dikerjakan dengan baik dan penuh perhatian.
2.6.7 Jika Korban Tak Teridentifikasi
Salah satu keterbatasan yang akan timbul di lapangan adalah adanya kemungkinan korban yang
tidak teridentifikasi. Hal ini mungkin saja disebabkan seringkali begitu banyaknya laporan
korban atau orang hilang sedangkan yang diperiksa tidak sama jumlahnya seperti yang
dilaporkan. Atau pada kecelakaan pesawat misalnya, pada passenger list terdapat sejumlah
penumpang termasuk crew pesawat, namun setelah terjadinya bencana dan pada waktu korban
ditemukan untuk diperiksa ternyata kurang dari jumlahnya dari daftar penumpang pesawat
tersebut.
Menjadi suatu masalah, jika ahli waris keluarga korban meminta certificate of death untuk
kepentingan administrasinya seperti akta kematian, pengurusan warisan, asuransi dan
sebagainya, sedangkan Dewan Identifikasi tidak mempunyai data post mortemnya oleh karena
memang tidak dilakukan pemeriksaan atau tidak ditemukan jasad atau bagian tubuhnya.
21
Selanjutnya sampai berapa lama orang yang hilang dalam suatu bencana jika tidak ditemukan
atau tidak diperiksa bisa dikatakan meninggal dan dikeluarkan certificate of death-nya? Salah
satu solusi adalah dilakukannya kesepakatan bersama antara beberapa ahli hokum dengan dewan
Identifikasi untuk berdiskusi dari aspek bencana, alasan tidak ditemukannya dan sebagainya.
Selanjutnya hasil keputusan tersebut diajukan ke pengadilan dan menghasilkan suatu ketetapan,
yang berdasarkan keputusan pengadilan inilah kemudian dipakai sebagai acuan untuk
menentukan orang tadi dinyatakan sudah meninggal serta dikeluarkannya certificate of death.
Umum :
Nama
Berat badan dan tinggi badan
Jenis kelamin / umur / alamat
Pakaian
Perhiasan
Sepatu
Kepemilikan lainnya
Medis :
Warna kulit
Warna dan jenis rambut
Mata, hidung, telinga, mulut
Cacat dan tattoo atau ciri-ciri khusus lainnya
Cacatan medis / perawatan patah tulang / operasi
Golongan darah
dan data medis lainnya.
Data-data ini dapat dikumpulkan dari :
Keluarga dekat
Dokter yang merawat / rumah sakit
Kantor cacatan sipil, dll
23
Jenazah harus didinginkan pada suhu 4-6 derajat. Apabila jenazah dalam kondisi disimpan dalam
waktu yang lama, maka dibutuhkan temperature dibawah 0 derajat. Dan sebaiknya dihangatkan
4-6 derajat celcius sebelum dilakukan pemeriksaan.
Dry es menyebabkan luka bakar pada jenazah dan dalam penggunaan tidak langsung dengan
tubuh jenazah. Dinding dengan tinggi setengah meter dapat dibangun untuk menutupi dua puluh
jenazah dan di tutup oleh terpal. Sekitar 10 kg dry es dibutuhkan setiap jenazah perhari.
Sebaiknya dalam mendinginkan jenazah tidak menggunakan es batu karena lelehan es dapat
merusak jenazah ataupun dapat mengakibatkan infeksi pada orang hidup disekitarnya.
Lokasi minimal 200 M dari sumber air setempat (sungai, danau, irigasi, dll)
Sedapat mungkin daerah makam dan daerah pemukiman dibatasi buffer zone berupa
hutan/ pepohonan
Pemakaman
Pensiun
Asuransi
Warisan
Hutang piutang
Hukum
statistik
2.8.4.2.2. Formulir B
Adalah formulir yang dikirim ke DKK setempat. Formulir ini dibuat oleh dokter dengan
mengingat sumpah waktu menerima jabatan dan dibuat atas dasar pasal 1 ordonansi pemeriksaan
kematian (Stb.1916 no.612). Formulir ini berisi : Identitas jenazah, Jam dan tanggal pelaporan
27
kematian, Tempat pemeriksaan jenazah, Persangkaan sebab kematian, Tanggal dan jam
pemeriksaan kematian, Identitas dokter pemeriksa dan tanda tangan
2.8.4.2.3 Formulir M
Adalah Surat kematian karena penyakit menular atau tidak. Formulir ini dibuat dan diberikan
kepada keluarga korban, terutama bila jenazahnya akan dikubur keluar kota atau keluar negeri.
Formulir ini berisi : Identitas jenazah, Keterangan meninggal karena penyakit menular atau tidak
karena penyakitmenular, Identitas dokter, Tanda tangan dokter
2.8.4.2.4 Formulir I
Adalah formulir kematian International. Formulir ini dipakai oleh dunia International setelah
disahkan oleh WHO pada tahun 1948 Hanya dibuat atau diisi pada peristiwa kematian yang ada
dalam rumah sakit saja. Dalam formulir ini harus dinyatakan dengan jelas tentang rangkaian
peristiwa-peristiwa sakit serta penyakit yang menjadi pokok pangkal rangkaian peristiwaperistiwa tersebut tadi. Di isi dan ditanda tangani oleh dokter, kemudian dikirim ke Kan-Wil
Dep-Kes, kemudian selanjutnya diteruskan ke Departemen Kesehatan.
2.8.4.2.5 Formulir CS
Adalah formulir pelaporan kematian untuk Catatan Sipil
Formulir ini dibuat berdasarkan reglemen catatan sipil pasal 71 bagi golongan eropah dan pasal
79 bagi golongan Cina dan pasal 66 bagi golongan Kristen dan pasal 47 bagi golongan asli
Indonesia yang terkena reglemen catatan sipil.
Formulir ini berisi : Identitas jenazah (nama, jenis kelamin dan umur), Alamat serta pekerjaan
jenazah, Identitas suami / isteri, Alamat dan pekerjaan suami / isteri, Nama, alamat, pekerjaan
ayah dan ibu, Nama dan tanda tangan dokter yang merawat, Nama dan tanda tangan direktur
rumah sakit
28
BAB III
KESIMPULAN
mempermudah pelaksanaannya.
Dalam melakukan identifikasi korban mati pada bencana massal perlu mengorganisasikan
dan mengkoordinasikan segala sumber daya yang ada diadaerah dengan melakukan
pertemuan rutin, latihan bersama, simulasi, gelada lapangan dan segala hal yang
29
Khusus pada korban bencana massal, telah ditentukan metode identifikasi yang dipakai
yaitu: Primer / utama (Gigi, sidik jari, DNA) dan Sekunder / Pendukung (Visual,
Property, Medic).
DAFTAR PUSTAKA
1. http://adjisuwandono.staff.uns.ac.id/2010/07/22/identifikasi-korban-bencana-massal/
2. http://www.rahima.or.id/index.php?
option=com_content&view=article&id=604%3Apentingnya-sensitifitas-gender-didalam-proses-penanganan-korban-bencanaalam&catid=1%3Aberita&Itemid=18&lang=in
3. http://www.kesad.mil.id/content/penanganan-dan-evakuasi
4. http://yanmedik.depkes.go.id/buk/index.php?
option=com_content&view=article&id=67:disaster-victim-identification-dvi&catid=1:latest-news
5. http://mediabidan.com/prioritas-dalam-penanganan-korban-bencana/
6. http://www.pmi-jateng.or.id/index.php?
option=com_content&view=article&id=280:penanganan-jenazah-korban-bencanamenjadi-bagian-tugas-pmi&catid=1:halamanutama&Itemid=1
7. http://bejotingkir.blogspot.com/2011/02/identifikasi-korban-bencana-masal.html
8. Interpol, New guides of DVI 2009
9. Pedoman Pembantuan Bencana bagi PTK-PNF Tahun 2008
10. PERATURAN KEPALA BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA
NOMOR 3 TAHUN 2008TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKANBADAN
PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH
11. PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 46 TAHUN 2008
12. RingkasanTelaahan Sistem Terpadu Penanggulangan Bencana di Indonesia
(Kebijakan, Strategi, dan Operasi)
30
13. Singh, Surjit, Instalasi/SMF Kedokteran Forensik dan Medicolegal Rumah Sakit Umum
Dr. Pirngadi Medan/FK-USU Medan
14. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2007 TENTANG
PENANGGULANGAN BENCANA
15. www.fk.uwks.ac.id/elib/Arsip/Departemen/.../Srt%20Kematian.pdf)
16. Buku Panduan Teknis tentang Penatalaksanaan Disaster Victim Identification (DVI)
POLRI, Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia Pusat Kedokteran dan
Kesehatan
31