Anda di halaman 1dari 8

Eman Sulaiman, Pendekatan System dalam Memecahkan ...

| 200

PENDEKATAN SISTEM DALAM MEMECAHKAN MASALAH


PERKAWINSN POLIGAMI TANPA IZIN PENGADILAN
Eman Sulaiman
Fak. Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
(UIN) Alauddin
Abstract: This article outlines the system approach in solving the problem without court
permission polygamous marriage with normative and sociological approaches. The results
obtained by the understanding that the discussion of problem solving polygamous marriage
without court permission, not only handled / disconnected by using a normative approach,
but must be completed / decided by other considerations, such as solving / conflict with
empirical and philosophical approach as a complete system, so that a decision completed /
solved by law enforcement and justice (judge) promoting a sense of justice for the people /
society. Mistake in making decisions, will lead to bad consequences in the lives of families /
households and communities.
Abtrak: Artikel ini menguraikan pendekatan system dalam memecahkan masalah
perkawinan poligami tanpa izin pengadilan dengan pendekatan normative dan sosiologis.
Hasil pembahsan diperoleh pemahaman bahwa pemecahan permasalahan perkawinan
poligami tanpa izin pengadilan, tidak hanya ditangani/diputuskan dengan menggunakan
pendekatan normatif, tetapi harus diselesai-kan/diputuskan dengan pertimbangan lainnya,
seperti pemecahan/penyelesaian dengan pendekatan empiris dan filosofis sebagai satu sistem
yang utuh, sehingga suatu putusan yang diselesaikan/dipecahkan oleh penegak hukum dan
keadilan (hakim) mengedepankan rasa keadilan rakyat/masyarakat. Kekeliruan dalam
mengambil keputusan, akan menimbulkan akibat buruk dalam kehidupan keluarga/rumah
tangga dan masyarakat.
Kata Kunci: System, perkawinan poligami, pengadilan agama

I. PENDAHULUAN
Merupakan suatu sunnatullah apabila
manusia hidup di dunia ini berpasangpasangan antara laki-laki dengan perempuan. Seorang laki-laki dewasa yang
normal tidak akan merasa tenang dan akan
sepi hidupnya tampa perempuan (istri).
Demikian pula halnya, seorang perempuan
akan hidup merasa gelisah dan resah tanpa
ada pendamping seorang laki-laki (suami)
yang melindunginya. Oleh karena itu,
merupakan suatu nikmat yang besar Allah
menetapkan perkawinan sebagai wadah
terbentuknya kehidupan keluarga bahagia
dan sejahtera, sebagaimana difirmankan
dalam Al-Quran surah al-Rum /30:21.
Begitu
pentingnya
kehidupan
keluarga/rumah tangga ini, sehingga syariat
Islam tidak hanya mengatur perkawinan

monogami, tetapi juga perkawinan


poligami, yaitu bagi laki-laki dibolehkan
menikahi perempuan lebih dari seorang
sampai empat orang istri (poligami),
sementara perempuan
hanya boleh
mempunyai seorang suami. Ketentuan
tersebut di atur dalam Al-Quran surah alNisa /4:3
Pengaturan perkawinan monogami
dan poligami ini diatur dalam peraturan
perundang-undangan di Indonesia, antara
lain Undang-undang nomor 1 tahun 1974
tentang perkawinan, yang disimpulkan dari
pasal 3,4 dan 5, yaitu bahwa seorang lakilaki hanya boleh mempunyai seorang istri
(monogami) dan bagi seorang perempuan
hanya boleh mempunyai seorang suami.
Namun juga memberikan peluang bagi
seorang suami untuk beristri lebih dari
seorang (poligami), asalkan saja terlebih

Eman Sulaiman, Pendekatan System dalam Memecahkan ...

dahulu memperoleh izin dari pengadilan


dengan memenuhi syarat-syarat alternatif
dan kumulatif.
Berbicara mengenai poligami adalah
sesuatu yang menarik di kalangan kaum
laki-laki. Bagi sebagian umat Islam,
poligami dianggapnya sebagai salah satu
hak spesifik yang diberikan oleh Allah
kepada kaum laki-laki yang tidak diberikan
kepada kaum perempuan. Menurutnya,
poligami adalah syariat yang sangat penting
karena bukan saja dicontohkan oleh
Rasulullah saw, tetapi langsung dikhitabkan oleh Allah Swt. Oleh karena itu,
sebagian ulama menganggap hukum
berpoligami itu adalah sunnah. Bahkan ada
ulama yang berpendapat bahwa sesungguhnya asas perkawinan dalam Islam
adalah poligami bukan monogami,
sebagaimana teks ayat tersebut yang
menyebutkan poligami lebih dahulu
kemudian monogamy (Ahmad Sabiq,
2003:142).
Berbeda bagi kaum perempuan,
membicarakan atau memperdebatkan (mendiskusikan) kata poligami ini termasuk
sesuatu yang membosankan kalau tidak
dapat dikatakan sesuatu yang dibenci
apatah lagi kalau ia diminta kerelaannya
memberi persetujuan kepada suami untuk
berpoligami. Pada banyak perempuan
terutama aktivis feminis memandang
poligami adalah satu bentuk ajaran yang
ekstrim yang bertentangan dengan hukum
alam.
Sikap apriori kaum perempuan
terhadap poligami sangat beralasan dan
tidak dapat diabaikan. Salah satu alasannya,
memberikan persetujuan suami untuk
berpoligami tidak memberikan jaminan
akan terciptanya kebahagiaan dan ketentraman keluarga sebagai tujuan pokok
perkawinan, baik terhadap dirinya maupun
terhadap madunya. Selain itu, hidup
berpoligami akan dapat melahirkan
berbagai permasalahan baru, baik dalam
hubungan antara suami dengan istriistrinya, bapak dengan anak-anaknya,
maupun antara anak-anak suaminya.
Akan tetapi dalam realitasnya di
masyarakat sering terjadi perkawinan

| 201

poligami yang dilakukan oleh seorang


suami tanpa persetujuan dari istri atau istriistrinya, bahkan tanpa permohonan izin ke
pengadilan. Hal tersebut terjadi pada
contoh kasus yang terjadi di Bandung
terhadap pasangan suami-istri antara
Supron Adiwiguna dengan perempuan Heni
Jubaedah. Mereka menikah secara Islam
yaitu memenuhi rukun dan syarat menurut
syariat Islam . Hanya saja lelaki Supron
Adiwiguna sebelum melakukan poligami
tidak memperoleh persetujuan dari istri
pertamanya (perempuan Mulyaningsih)
dan tanpa melaporkan/dicatat di kantor
urusan agama dan juga tanpa izin
pengadilan agama setempat, sehingga pada
akhirnya istri pertama (Mulyaningsih)
mengadukan kepada pihak kepolisian
tentang perkawinan poligami suaminya
(Supron Adiwiguna) tersebut. Selanjutnya
pihak kepolisian melimpahkan kepada
pihak kejaksaan, dan pihak kejaksaan
melimpahkan kepada pihak pengadilan
(Varia Peradilan, No. 77, 1992:53).
Berdasarkan uraian pada latar
belakang di atas, maka tulisan ini berfokus
pada bagaimana pemecahan masalah
perkawinan poligami tanpa izin pengadilan
melalui pendekatan system?
II. PEMBAHASAN
A. Pengertian Poligami
Secara leksikal, kata poligami berasal
dari bahasa Yunani poly atau polus yang
berarti banyak dan gamein atau gamos
yang berarti perkawinan. Jadi secara
bahasa, poligami berarti suatu perkawinan
yang banyak atau suatu perkawinan yang
lebih dari seorang, baik pria maupun
perempuan. Poligami dapat bermakna dan
atau dibagi atas: 1) poligini, adalah
perkawinan seorang pria dengan lebih dari
seorang wanita; dan 2) poliandri, adalah
perkawinan seorang wanita lebih dari
seorang pria. Poligami dalam pengertian
terminologi digunakan terhadap seorang
laki-laki yang mempunyai lebih dari
seorang wanita dalam waktu yang
bersamaan atau seorang istri mempunyai
banyak suami dalam waktu yang sama
(Hasan Shadily, 1984: 2736). Dalam

Eman Sulaiman, Pendekatan System dalam Memecahkan ...

literatur Islam, poligami dikenal dengan


istilah
taaddud
al-zaujat,
yakni
pengumpulan dua sampai empat istri dalam
waktu bersamaan oleh seorang suami
(Mustafa al-Sibai, t.th.: 1971).
Dalam perkembangan selanjutnya,
istilah di atas mengalami
pergeseran,
sehingga poligami sering dipakai untuk
menyebut pria yang beristri banyak,
sementara poligini menjadi tidak lazim. Di
Indonesia, istilah populer yang digunakan
untuk menunjukkan suami yang memiliki
beberapa istri adalah poligami. Sementara
poliandri tidak umum dikenal, karena
selain Islam sebagai agama mayoritas
dianut penduduk Indonesia yang tidak
membenarkan praktik tersebut, juga secara
umum budaya Indoneisa menolaknya
(Parsudi Suparlan, 1968: 95).
B. Poligami dalam Perundang-undangan
di Indonesia
Di Indonesia, mengenai perkawinan
telah diatur dalam beberapa peraturan, baik
dalam bentuk undang-undang, peraturan
pemerintah maupun yang bersifat instruks
presideni. Pengaturan perkawinan, tidak
hanya mengenai syarat dan rukun-rukunnya
saja, tetapi sampai kepada masalah
poligami dan syarat-syaratnya juga telah
diatur di dalamnya.
Pengaturan poligami dalam peraturan
perundang-undangan yang ada di Indonesia
dibagi kepada dua macam, yaitu: (1) Bagi
masyarakat umum non pegawai negeri dan
yang dipersamakan dengannya diatur dalam
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974,
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun
1975, dan Kompilasi Hukum Islam (bagi
yang beragama Islam); (2) Bagi Pegawai
Negeri Sipil dan yang dipersamakan
dengannya
diatur
oleh
Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 1983
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 1990.
Dalam Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang perkawinan telah
diatur mengenai poligami dalam pasal 3,4
dan 5. Pasal 3 menegaskan:
(1)Pada asasnya dalam suatu perkawinan
seorang pria hanya boleh mempunyai

| 202

seorang istri, seorang wanita hanya


boleh mempunyai seorang suami;
(2)Pengadilan dapat memberi izin kepada
seorang suami untuk beristri lebih dari
seorang apabila dikehendaki oleh
pihak-pihak yang bersangkutan.
Pasal 3 ini memuat asas monogami
dalam perkawinan. Bagi seorang laki-laki
hanya mempunyai seorang istri, dan bagi
seorang wanita hanya mempunyai seorang
suami. Namun demikian, pasal ini juga
memberikan peluang bagi pria untuk
beristri lebih dari seorang dengan terlebih
dahulu memperoleh izin dari pengadilan.
Cara dan syarat untuk mendapatkan izin
pengadilan tersebut diatur dalam pasal 4
dan 5 Undang-undang ini. Pasal 4
menentukan:Dalam hal seorang suami akan
beristri lebih dari seorang, sebagaimana
tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undangundang ini,maka ia wajib mengajukan
permohonan kepada pengadilan di daerah
tempat tinggalnya;
(1)Pengadilan dimaksud dalam ayat (1)
pasal ini hanya memberikan izin
kepada seorang suami yang akan
beristri lebih dari seorang apabila:
a. Istri tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai istri;
b. Istri mendapat cacat badan atau
penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. Istri tidak dapat melahirkan
keturunan.
Pasal ini memuat ketentuan bahwa
suami yang ingin beristri lebih dari seorang
harus
mengajukan
permohonan
ke
pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
Permohonan dimaksud harus didasari
dengan salah satu atau beberapa dari
alasan-alasan berupa: Istri tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai istri,
atau istri mendapat cacat badan atau
penyakit yang tidak dapat disembuhkan,
atau istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 5 menyatakan: Untuk dapat
mengajukan
permohonan
kepada
pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam
pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus
dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

Eman Sulaiman, Pendekatan System dalam Memecahkan ...

a. Adanya persetujuan dari istri/istriistrinya;


b. Adanya kepastian bahwa suami mampu
menjamin keperluan-keperluan hidup
istri-istri dan anak-anak mereka;
c. Adanya jaminan bahwa suami akan
berlaku adil terhadap istri-istri dan anakanak mereka.
(1)Persetujuan yang dimaksud pada ayat
(1) huruf a pasal ini tidak diperlukan
bagi seorang suami apabila istri/istriistrinya tidak mungkin dimintai
persetujuannya dan tidak dapat
menjadi pihak dalam perjanjian, atau
apabila tidak ada kabar dari istrinya
selama sekurang-kurangnya 2 (dua)
tahun, atau karena sebab-sebab
lainnya yang perlu mendapat
penilaian dari Hakim Pengadilan.
Permohonan yang diajukan kepada
Pengadilan yang didasari dengan alasan
yang dibenarkan sebagaimana disebutkan
dalam pasal 4 ayat (2) di atas, permohonan
tersebut harus pula dilengkapi dengan
syarat-syarat sebagaimana tersebut dalam
pasal 5 ayat (1) di atas,
Terhadap syarat alternatif (alasan
pengajuan permohonan sepertit termuat
dalam pasal 4 ayat 2) dan syarat komulatif
di atas, oleh pengadilan memberikan
penilaian dan penelitian, apakah syarat
alternatif tersebut benar-benar keadaannya.
Begitu
pula
terhadap
syarat-syarat
komulatif seperti termuat dalam pasal 5
ayat 1 tersebut. Setelah pemeriksaan dan
penelitian dimaksud, pengadilan dapat
memberikan kesimpulan apakah alasan
permohonan dan syarat-syarat yang
menyertainya telah cukup dasar untuk
menerima permohonan poligami tersebut,
atau alasan dan syarat-syaratnya belum
terpenuhi sehingga menolak permohonannya. Pengaturan mengenai poligami ini
lebih dipertegas lagi dalam Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 9 tahun 1975 Bab
VIII Beristri lebih dari seorang pasal 40-44.
Memperhatikan ketentuan-ketentuan
sebagaimana dikemukakan di atas, dapat
dipahami bahwa untuk melakukan poligami
(beristri lebih dari seorang pada saat yang
bersamaan) tidaklah sama dengan syarat

| 203

dan tata caranya seperti perkawinan dengan


istri pertama. Seorang suami yang ingin
berpoligami terlebih dahulu harus mendapatkan izin berpoligami dari pengadilan
di mana ia berdomisili. Sedangkan untuk
mendapatkan izin pengadilan tersebut, di
samping membutuhkan waktu dan biaya,
juga meliwati proses dan prosedur
pemeriksaan izin di pengadilan, juga
setelah terpenuhi alasan dan syarat-syarat
berpoligami, baik syarat alternatif maupun
syarat kumuatif.
C. Pengertian Sistem
Bagi Kebanyakan pemikir, sistem
terkadang digambarkan dalam dua hal,
pertama,yaitu sebagai sesuatu wujud, atau
entitas, yaitu sistem biasa dianggap sebagai
suatu himpunan bagian yang saling
berkaitan, yang membentuk satu keseluruhan yang rumit atau kompleks tetapi
merupakan satu kesatuan. Misalnya saja
para Ilmuwan percaya bahwa dunia ini
merupakan suatu sistem, di mana satu
bagian dengan bagian yang lain saling
berkaitan, gambaran Newton tentang dunia
seperti jam raksasa adalah pandangan
sistem yang cukup jelas dalam ilmu.
Pandangan ini pada dasarnya bersifat
deskriptif, bersifat menggambarkan dan ini
memberikan kemungkinan untuk menggambarkan dan membedakan antara bendabenda yang berlainan dan untuk menetapkan batas-batas kelilingnya atau memilahkannya guna kepentingan penganalisaan
dan untuk mempermudah pemecahan
masalah.Kedua, Sistem mempunyai makna
metodologik yang dikenal dengan pengertian umum pendekatan sistem (system
approach). Pada dasarnya pen-dekatan ini
merupakan penerapan metode ilmiah di
dalam usaha memecahkan masalah, atau
menerapkan kebiasaan ber-pikir atau
beranggapan bahwa ada banyak sebab
terjadinya sesuatu, di dalam memandang
atau menghadapi saling keterkaitan.
Pendekatan
sistem
berusaha
untuk
memahami adanya kerumitan di dalam
kebanyakan benda, sehingga terhindar dari
memandangnnya sebagai sesuatu yang

Eman Sulaiman, Pendekatan System dalam Memecahkan ...

amat sederhana atau bahkan keliru. (Otje


Salman 2008: 84).
Selanjutnya Niklas Luhman (dalam
Salim H.S., 2010:71) menyatakan bahwa
menurut teori sistem, hukum harus
dipahami dengan latar belakang masyarakat
dalam arti seluasnya. Pada dasarnya
manusia hidup dalam berbagai hubungan
antara satu dengan lainnya, mempunyai
harapan-harapan dan reaksi tentag perilaku
masing-masing. Fungsi sistem adalah
mereduksi (mengurangi) kompleksitas
(kemajemukan) ini menjadi strukturstruktur yang kurang lebih jelas kerangka
umumnya (oversichtelijk). Dengan adanya
sistem ini kehidupan akan tertata dan
kepastian
dalam
masyarakat
dapat
diciptakan.
Talcott Parson (dalam achmad Ali,
1998:55) memandang sistem hukum (legal
system) hanya salah satu di antara
subsistem yang terdapat dalam setiap
masyarakat. Selain sistem hukum, masih
terdapat subsistem lain, yaitu, yaitu
keluarga, sisitem pendidikan, pranatapranata dan organisasi-organisasi sosial dan
kondisi li ngkungan.
Dalam pada itu, Achmad Ali
(2002:12-13)
berpendapat
bahwa
seyogianya kita senantiasa memandang
hukum sebagai satu sistem yang utuh.
Peraturan-peraturan di dalam sistem hukum
Indonesia tidak boleh dipandang secara
terkotak-kotak. Perbedaan antara seorang
pokrol bambu dengan seorang akademisi
hukum adalah bahwa sang pokrol bambu
hanya memandang pasal-pasal dalam
undang-undang sebagai pasal-pasal yang
berdiri sendiri, terpisah dari sistem
hukumnya, terpisah dari asas hukumnya,
terpisah dari aturan hukum lain, dan
terpisah dari rasa keadilan masyarakat.
Sebaliknya, seorang akademisi hukum
senantiasa memandang hukum sebagai satu
sistem yang utuh.
D. Ciri-ciri Sistem
Secara umum sistem memiliki ciri
yang sangat luas dan bervariasi. Di bawah
ini akan dijelaskan beberapa ciri sistem
menurut beberapa ahli, antara lain:

| 204

1. Menurut Elias M. Awad (dalam Otje


Salman, 2008:85) menjelaskan sebagai
berikut;
a. Sistem itu bersifat terbuka, atau pada
umumnya bersifat terbuka. Suatu
sistem dikatakan terbuka jika
berinteraksi dengan lingkungannya,
sebaliknya, dikatakan tertutup jika
mengisolasikan diri dari pengaruh
apapun;
b. Sistem terdiri dari dua atau lebih
subsistem dan setiap sub sistem
terdiri lagi dari subsistem lebih kecil
dan begitu seterusnya;
c. Sub sistem itu saling bergantung satu
sama lain dan saling memerlukkan;
d. Sistem mempunyai kemampuan
untuk mengatur diri sendiri (self
regulation);
e. Sistem memiliki tujuan dan sasaran.
2. Menurut Tatang M. Amirin (dalam Otje
Salman, 2008:86) bahwa ciri-ciri sistem,
sebagai berikut:
a. setiap sistem mempunyai tujuan;
b. Setiap sistem mempunyai batas yang
memisahkannya dari lingkungannya;
c. Walau sistem mempunyai batas tetapi
bersifat terbuka;
d. Sistem terdiri dari beberapa sub
sistem/unsur;
e. Sistem mempunyai sifat holistik
(utuh menyeluruh);
f. Saling berhubungan dan saling
bergantung baik interen atau ekstern;
g. Sistem melakukan proses transformasi;
h. Sistem memiliki mekanisme kontrol
dengan pemanfaatan umpan balik;
i. Memiliki kemampuan untuk mengatur diri sendiri dan menyesuaikan
diri.
E. Pemecahan Masalah Perkawinan
Poligami Tanpa Izin Pengadilan
Melalui Pendekatan Sistem
Dalam memecahkan masalah perkawinan poligami tanpa izin pengadilan,
maka persoalannya tidak boleh hanya
dipecahkan atau diselesaikan atau didekati
dengan hanya menggunakan cara-cara yang
sederhana
atau
sepenggal-sepenggal/

Eman Sulaiman, Pendekatan System dalam Memecahkan ...

sebagian-sebagian tetapi harus dilakukan


melalui satu sistem yang utuh. Kita tidak
boleh mnyelesaikan persoalan ini dengan
hanya menerapkan pasal-pasal dalam
undang-undang, tetapi juga dengan menggunakan penyelesaian melalui nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dan
tumbuh dalam masyarakat.
Untuk itu, penyusun makalah ini akan
menguraikan secara singkat pemecahan
masalah tersebut di atas dengan pendekatan-pendekatan, antara lain:
1. Pendekatan Normatif/Dogmatik
Pendekatan ini bersifat preskriptif,
pendekatan yang menggunakan/menurut
ketentuan resmi yang berlaku, dan
menentukan apa yang salah dan apa yang
benar. Pendekatan ini juga merupakan
pendekatan yang cenderung melihat wujud
hukum dalam bentuk sebagai kaidah yang
bersanksi; yang dibuat dan diberlakukan
oleh negara, dan sebagai sesuatu yang
seharusnya (das sollen). Pendekatan ini
dianut oleh kaum positivistis. Dalam
menyelesaikan persoalan hukum, mereka
tidak menempuh pendekatan hukum
sebagai suatu pranata sosial atau hukum
sebagi kultur atau hukum sebagai
kenyataan dalam masyarakat (Achmad Ali,
1998:3).
Dalam memecahkan masalah perkawinan poligami tanpa izin pengadilan
karena tidak memenuhi syarat-syarat
berpoligami, maka menurut pendekatan
normatif harus mengacu kepada ketentuan
pasal 279 ayat (1) KUHP. Apabila
perbuatan terdakwa memenuhi semua
unsur yang ditentukan dalam pasal ini,
berarti terdakwa telah terbukti bersalah
melakukan
poligami
(tanpa
izin
pengadilan). Sebaliknya, jika salah satu
unsur dalam pasal ini tidak terpenuhi, maka
terdakwa dianggap tidak bersalah, dan
karena itu tidak boleh dipidana.
Pasal 279 ayat (1) KUHP menegaskan bahwa diancam dengan pidana paling
lama 5 tahun, barang siapa yang akan
kawin sedang diketahuinya bahwa perkawinan (atau perkawinan-perkawinannya)
yang sudah ada menjadi penghalang yang

| 205

sah baginya akan (untuk) kawin lagi.


Rumusan pasal ini mengandung unsurunsur, sebagai berikut:
(1) Barang siapa yang akan kawin (mengadakan perkawinan);
(2) Mengetahui perkawinan yang sudah
ada menjadi penghalang yang sah
baginya untuk kawin lagi.
a.d. (1) Mengadakan Perkawinan
Perkawinan poligami yang dilakukan oleh terdakwa (dalam contoh kasus di
atas) telah sesuai dengan hukum agamanya
(memenuhi rukun dan syarat agama Islam),
yakni adanya kedua mempelai, adanya ijabkabul, adanya wali nikah yang sah,
disaksikan oleh 2 orang saksi yang
mengetahui dan adanya mahar. Oleh karena
itu berdasarkan pasal 2 ayat (1) Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, maka perkawinan poligami
yang dilakukan oleh terdakwa adalah sah.
Adapun tidak dicatatnya perkawinan
tersebut sebagaimana ketentuan pasal 2
ayat (2) undang-undang ini, bahwa tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku, tidak
menjadikan perkawinan itu menjadi tidak
sah atau batal demi hukum, sebab pasal 2
ayat (2) tersebut bukan syarat-syarat
perkawinan yang sah. Jika demikian
perbuatan terdakwa melakukan perkawinan
poligami, harus dinilai memenuhi unsur di
atas.
a.d.(2) Mengetahui Perkawinan yang Sudah
Ada Menjadi Penghalang yang Sah
untuk Kawin Lagi
Berdasarkan pasal 9 Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
seseorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain, tidak dapat
kawin lagi, kecuali dalam hal yang terebut
pada pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 undangundang ini (yaitu izin pengadilan),
sedangkan pengadilan dapat memberikan
izin apabila dipenuhi ketentuan pasal dari
undang-undang ini (yakni antara lain
adanya persetujuan dari isteri, suami
mampu menjamin keperluan hidup dan
berlaku adil terhadap istri dan anak-anak
mereka)

Eman Sulaiman, Pendekatan System dalam Memecahkan ...

Melihat contoh kasus di atas, bahwa


ketika terdakwa berpoligami, ia masih
terikat tali perkawinan dengan istri
pertamanya. Jika demikian terdakwa telah
memenuhi
syarat-syarat
sebagaimana
ditentukan dalam pasal 3 ayat (2), pasal 4
dan 5 Undang-undang nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan. Oleh karena itu harus
dipandang sebagai penghalang yang sah
bagi perkawinan terdakwa yang kedua
(poligami) tersebut, karenanya unsur kedua
ini terbukti pula dipenuhi oleh terdakwa.
2. Pendekatan Empiris/Sosiologis
Pendekatan empiris ini bersifat
deskriptif, yaitu pendekatan yang menggambarkan apa adanya (kenyataannya/das
sein). Pendekatan empiris merupakan
pendekatan yang memandang hukum
sebagai
kenyataan
yang mencakup
kenyataan sosial, kenyataan kultur dan lainlain (Achmad Ali, 1998:4).
Jika pendekatan empiris/sosiologis
dipakai untuk membahas persoalan poligami tanpa izin pengadilan (sebagaimana
contoh kasus di atas), maka ia tidak
membahas dari pasal-pasal dalam KUHP.,
tidak pula mendekati melalui aspek moral,
tetapi mempertanyakan/membahas perkawinan poligami tanpa izin pengadilan
dalam kenyataan masyarakat, seperti
pertanyaan benarkah semua orang yang
melakukan perkawinan poligami tanpa izin
pengadilan ditahan, diproses lalu dipenjara.
Mengapa ada pelaku perkawinan poligami
tanpa izin pengadilan yang lolos dari
tangan penegak hukum dan keadilan,
apakah ada faktor-faktor non hukum yang
menjadi penyebabnya tersebut.
Dalam contoh kasus di atas, hakim
sebagai penegak hukum dan keadilan,
dalam setiap putusannya senantiasa harus
mempertimbangkan hukum tidak tertulis
atau hukum yang hidup dalam masyarakat
sebagai dasar dalam mengadili, bukan
hanya menuruti pasal-pasal dalam KUHP
atau yang dikenal dengan istilah hakim
sebagai terompet undang-undang. Hal ini
sesuai dengan perintah pasal 50 Undangundang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, yang menentukan

| 206

bahwa putusan pengadilan selain harus


memuat alasan dan dasar putusan, juga
memuat pasal tertentu dari peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan
atau sumber hukum tak tertulis yang
dijadikan dasar mengadili.
3. Pendekatan Filosofis/Moral Keadilan
Pendekatan filosofis merupakan
pendekatan dengan melihat hukum sebagai
seperangkat nilai ideal yang abstrak, dan
merupakan ide-ide moral, di antaranya
moral keadilan. Pendekatan filosofis tidak
terlena 0leh irama/bunyi dari pasal-pasal
undang-undang, melainkan mendekati lebih
hakiki, nilai filosofis apa yang tersembunyi
di balik perundang-undangan tertentu atau
dibalik asas-asas hukum tertentu. Pendekatan filosofis tidak pernah percaya
bahwa suatu undang-undang atau asas-asas
hukum itu benar-benar universal dan bebas
dari moral tertentu (Achmad Ali,
2008:136).
Apabila dalam contoh kasus perkawinan poligami tanpa izin pengadilan,
kita menggunakan pendekatan filosofis,
maka objek pendekatannya bukan lagi
unsur-unsur dan sanksi yang diatur dalam
pasal 279 ayat (1) KUHP, melainkan
aspek-aspek ideal dan moral dari perkawinan poligami tanpa izin pengadilan
tersebut.
Dalam contoh kasus tersebut di atas,
akan dipertanyakan mengapa perbuatan
perkawinan poligami tanpa izin pengadilan
dikategorikan kejahatan dan bukan pelanggaran. Apakah sanksi pidana (maksimal 5
tahun) yang diancamkan oleh pasal 279
ayat (1) KUHP terhadap pelaku perkawinan
poligami tanpa izin pengadilan sudah adil,
padahal alasan terdakwa berpoligami,
karena istri pertamanya (Mulyaningsih)
rigid/dingin dan tidak mau lagi diajak
berhubungan seks dengannya. Pertanyaan
lainnya, apa dasar moral diancamkan/
dikenakannya sanksi pidana bagi pelaku
perkawinan tanpa izin pengadilan.
Dalam contoh kasus tersebut di atas,
hakim sebagai penegak hukum dan keadilan, seharusnya dalam setiap putusannya
senantiasa bijak-bestari dengan menge-

Eman Sulaiman, Pendekatan System dalam Memecahkan ...

depankan rasa keadilan rakyat/masyarakat.


Hal ini sesuai amanah pasal 5 Undangundang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, yang menegaskan
bahwa hakim dan hakim konstitusi wajib
menggali, mengikuti dan memahami nilainilai hukum dan rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakat.
III. PENUTUP
A.Kesimpulan
Pemecahan permasalahan perkawinan
poligami tanpa izin pengadilan, tidak hanya
ditangani/diputuskan dengan menggunakan
pendekatan normatif, tetapi harus diselesaikan/diputuskan
dengan
pertimbangan
lainnya, seperti pemecahan/penyelesaian
dengan pendekatan empiris dan filosofis
sebagai satu sistem yang utuh, sehingga
suatu putusan yang diselesaikan/dipecahkan oleh penegak hukum dan keadilan
(hakim) mengedepankan rasa keadilan
rakyat/masyarakat.

| 207

2002.
----------------- Menguak Realitas Hukum.
Cet.I:Jakarta:Kencana,2008
----------------- Menguak Teori Hukum dan
Teori Peradilan.Vol.I, Cet.II:
Jakarta: Kencana, 2009.
Ahmad Sabiq. Indahnya Poligami. AlFurqan,
Edisi
III,
Th.III,
Desember 2003/Syawal 1424H.
Al-Sibai, Mustafa. al-Marah Baina alFiqh wa al-Qanun, dalam
Hamnang,
Poligami
dalam
Perspektif al-Quran. Makalah,
2006.
Amirin, Tatang M. Pokok-pokok Teori
Sistem, dalam Otje Salman,
Teori Hukum. Cet. IV: Bandung:
Refika Aditama, 2008.
H.S., Salim. Perkembangan Teori dalam
Ilmu Hukum. Cet.I: Jakarta:
Rajawali Pers, 2010.

B.Implikasi

Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Praktik perkawinan poligami yang


tidak memenuhi syarat dan prosedur hukum
yang berlaku; yang sering dijumpai dalam
masyarakat merupakan gejala sosial; yang
perlu mendapat perhatian khusus dari pihak
yang berwenang. Pengaturan poligami
membutuhkan analisis tajam, guna
melahirkan suatu peraturan hukum yang
sesuai dengan nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat,
sehingga peraturan tersebut ditaati oleh
masyarakat. Kekeliruan dalam mengambil
kebijakan, akan menimbulkan akibat buruk
dalam kehidupan keluarga/rumah tangga
dan masyarakat.

Luhman, Niklas, dalam Otje Salman, Teori


Hukum. Cet.IV:Bandung:Refika
Utama, 2008.

DAFTAR PUSTAKA

Tim Penyusun Pustaka Tinta Mas. Undangundang Nomor 1 Tahun 1974


tentang Perkawinan.

Achmad Ali. Menjelajahi Kajian Empiris


Terhadap Hukum. Cet.I: Jakarta:
Yarsif
----------------- Keterpurukan Hukum di
Indonesia. Cet.V:Jakarta:Ghalia
Indonesia,

Parson,

Talcott, dalam Achmad Ali,


Menjelajahi
Kajian
Empiris
Terhadap
Hukum.
Cet.
I:
Jakarta:Yarsif Watampone, 1998.

Salman, Otje. Teori Hukum. Cet. IV:


Bandung:Refika Utama, 2008.
Suparlan,
Parsudi.
Keluarga
dan
Kekerabatan dalam Manusia
Indonesia: Individu Keluarga dan
Masyarakat.
Jakarta: Akademi
Presindo, 1968.

Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009


tentang Kekuasaan Kehakiman.
Varia Peradilan, Majalah Hukum, Nomor
77, 1992

Anda mungkin juga menyukai