Lapsus DR Sukardi Sindrom Nefrotik
Lapsus DR Sukardi Sindrom Nefrotik
SINDROM NEFROTIK
OLEH :
Anshoril Arifin
H1A 009 025
PEMBIMBING :
dr. Sukardi, SpA
BAB 1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sindrom nefrotik merupakan kumpulan gejala-gejala yang terdiri dari proteinuria masif ( 40
mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urine sewaktu > 2mg/mg atau dipstick 2+ ),
hipoalbuminemia ( 2,5 gr/dL), edema, dan dapat disertai hiperkolesterolemia (250 mg/uL).1
Angka kejadian sindrom nefrotik di Amerika dan Inggris berkisar antara 2-7 per 100.000
anak berusia di bawah 18 tahun per tahun, sedangkan di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 anak
per tahun, dengan perbandingan anak laki-laki dan perempuan 2:1. Di Departemen Ilmu
Kesehatan Anak FKUI/RSCM Jakarta, sindrom nefrotik merupakan penyebab kunjungan
sebagian besar pasien di Poliklinik Khusus Nefrologi, dan merupakan penyebab tersering gagal
ginjal anak yang dirawat antara tahun 1995-2000. Perbandingan anak laki-laki dan perempuan
2:1.1
Etiologi sindrom nefrotik secara garis besar dapat dibagi 3, yaitu kongenital,
glomerulopati primer/idiopatik, dan sekunder mengikuti penyakit sistemik seperti pada purpura
Henoch-Schonlein dan lupus eritematosus sitemik. Sindrom nefrotik pada tahun pertama
kehidupan, terlebih pada bayi berusia kurang dari 6 bulan, merupakan kelainan kongenital
(umumnya herediter) dan mempunyai prognosis buruk.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Sindrom nefrotik merupakan kumpulan gejala-gejala yang terdiri dari proteinuria masif ( 40
mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urine sewaktu > 2mg/mg atau dipstick 2+ ),
hipoalbuminemia ( 2,5 gr/dL), edema, dan dapat disertai hiperkolesterolemia.1
Terdapat beberapa definisi/batasan yang dipakai pada Sindrom Nefrotik, antara lain1:
1. Remisi, yaitu proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2 LPB/jam) selama 3
hari berturut-turut dalam 1 minggu.
2. Relaps, yaitu proteinuria 2+ (proteinuria 40 mg/m2 LPB/jam) selama 3 hari berturutturut dalam 1 minggu.
3. Relaps jarang, yaitu relaps yang terjadi kurang dari 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah
respon awal, atau kurang dari 4 kali per tahun pengamatan.
4. Relaps sering (frequent relapse), yaitu relaps terjadi 2 kali dalam 6 bulan pertama atau
4 kali dalam periode satu tahun.
5. Dependen steroid, yaitu keadaan di mana terjadi relaps saat dosis steroid diturunkan atau
dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan, dalam hal ini terjadi 2 kali berturut-turut.
6. Resisten steroid, yaitu suatu keadaan tidak terjadinya remisi pada pengobatan prednison
dosis penuh (full dose) 2 mg/kgBB/hari selama 4 minggu.
Epidemiologi
Sindrom nefrotik lebih sering terjadi pada pria dibandingkan wanita (2:1) dan kebanyakan terjadi
antara umur 2 dan 6 tahun. Telah dilaporkan terjadi paling muda pada anak umur 6 bulan dan
paling tua pada masa dewasa. SNKM terjadi pada 85-90% pasien dibawah umur 6 tahun; 4 Di
Indonesia dilaporkan 6 kasus per 100.000 anak per tahun. Pada penelitian di Jakarta (Wila
Wirya) menemukan hanya 44.2% tipe kelainan minimal dari 364 anak dengan sindrom nefrotik
primer yang dibiopsi, sedangkan ISKDC melaporkan penelitiannya diantara 521 pasien, 76,4%
merupakan tipe kelainan minimal.2
Angka kejadian sindrom nefrotik pada anak dibawah usia 18 tahun diperkirakan berkisar
2-7 kasus per 100.000 anak per tahun, dengan onset tertinggi terjadi pada usia 2-3 tahun. Hampir
50% penderita mulai sakit saat berusia 1-4 tahun, 75% mempunyai onset sebelum berusia 10
tahun.3
Etiologi
Secara klinis sindrom nefrotik dibagi menjadi 2 golongan, yaitu:2,4
1. Sindrom nefrotik primer (idiopatik)
Dikatakan sindrom nefrotik primer oleh karena sindrom nefrotik ini secara primer terjadi
akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab lain. Golongan ini paling
sering dijumpai pada anak. Termasuk dalam sindrom nefrotik primer adalah sindrom nefrotik
kongenital, salah satu jenis sindrom nefrotik yang ditemukan sejak anak itu lahir atau usia di
bawah 1 tahun.2
Sekitar 90% anak dengan sindrom nefrotik merupakan sindrom nefrotik idiopatik.
Sindrom nefrotik idiopatik terdiri dari 3 tipe secara histologis: Sindrom nefrotik kelainan
minimal, glomerulonephritis proliferatif (mesangial proliferation), dan glomerulosklerosis
fokal segmental. Ketiga gangguan ini dapat mewakili 3 penyakit berbeda dengan manifestasi
klinis yang serupa; dengan kata lain, ketiga gangguan ini mewakili suatu spektrum dari satu
penyakit tunggal. 4
PATHOLOGI.4
Pada sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM) (85% dari kasus sindrom nefrotik pada
anak), glomerulus terlihat normal atau memperlihatkan peningkatan minimal pada sel
mesangial dan matrixnya. Penemuan pada mikroskop immunofluorescence biasanya
negative, dan mikroskop electron hanya memperlihatkan hilangnya epithelial cell foot
processes (podosit) pada glomerulus. Lebih dari 95% anak dengan SNKM berespon dengan
terapi kortikosteroid.
Glomerulonephritis proliferative (Mesangial proliferation) (5% dari total kasus
SN) ditandai dengan adanya peningkatan sel mesangial yang difus dan matriks pada
pemeriksaan mikroskop biasa. Mikroskop immunofluoroscence dapat memperlihatkan jejak
1+ IgM mesangial dan/atau IgA. Mikroskop electron memperlihatkan peningkatan dari sel
mesangial dan matriks diikuti dengan menghilangnya sel podosit. Sekitar 50% pasien dengan
lesi histologis ini berespon dengan terapi kortikosteroid.
Glomerulosklerosis fokal segmental (focal segmental glomerulosclerosis / FSGS)
(10% dari kasus SN), glomerulus memperlihatkan proliferasi mesangial dan jaringan parut
segmental pada pemeriksaan dengan mikroskop biasa. Mikroskop immunofluorescence
menunjukkan adanya IgM dan C3 pada area yang mengalami sclerosis. Pada pemeriksaan
dengan mikroskop electron, dapat dilihat jaringan parut segmental pada glomerular tuft
disertai dengan kerusakan pada lumen kapiler glomerulus. Lesi serupa dapat terlihat pula
pada infeksi HIC, reflux vesicoureteral, dan penyalahgunaan heroin intravena. Hanya 20%
pasien dengan FSGS yang berespon dengan terapi prednison. Penyakit ini biasanya bersifat
progresif, pada akhirnya dapat melibatkan semua glomeruli, dan menyebabkan penyakit
ginjal stadium akhir (end stage renal disease) pada kebanyakan pasien.
2. Sindrom nefrotik sekunder, timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau sebagai
akibat dari berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek samping obat. Penyebab yang
sering dijumpai adalah :
Penyakit metabolik atau kongenital: diabetes mellitus, amiloidosis, sindrom Alport,
miksedema. Infeksi: hepatitis B, malaria, schistosomiasis, lepra, sifilis, streptokokus, AIDS.
Toksin dan alergen: logam berat (Hg), penisillamin, probenesid, racun serangga, bisa ular.
Penyakit sistemik imunologik: lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schinlein,
sarkoidosis.Neoplasma: tumor paru, penyakit Hodgkin, tumor gastrointestinal.
PATOFISIOLOGI
PROTEINURIA
Proteinuri merupakan kelainan dasar SN. Proteinuri sebagian besar berasal dari kebocoran
glomerulus (proteinuri glomerular) dan hanya sebagian kecil berasal dari sekresi tubulus
(proteinuri tubular). Perubahan integritas membrana basalis glomerulus menyebabkan
peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap protein plasma dan protein utama yang
diekskresikan dalam urin adalah albumin. Dalam keadaan normal membran basal glomerulus
(MBG) mempunyai mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran protein. Mekanisme
penghalang pertama berdasarkan ukuran molekul (size barrier) dan yang kedua berdasarkan
muatan listrik (charge barrier). Pada SN kedua mekanisme penghalang tersebut ikut terganggu.
Selain itu konfigurasi molekul protein juga menentukan lolos tidaknya protein melalui MBG.
Proteinuria dibedakan menjadi selektif dan non-selektif berdasarkan ukuran molekul protein
yang keluar melalui urin. Proteinuria selektif apabila yang keluar terdiri dari molekul kecil
misalnya albumin. Sedangkan non-selektif apabila protein yang keluar terdiri dari molekul besar
seperti imunoglobulin. Selektivitas proteinuria ditentukan oleh keutuhan struktur MBG.
HIPOALBUMINEMIA
Hipoalbuminemi disebabkan oleh hilangnya albumin melalui urin dan peningkatan katabolisme
albumin di ginjal. Sintesis protein di hati biasanya meningkat (namun tidak memadai untuk
mengganti kehilangan albumin dalam urin), tetapi mungkin normal atau menurun.4
EDEMA
Edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill dan overfill. Teori underfill
menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor kunci terjadinya edema pada SN.
Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma sehingga cairan bergeser
dari intravaskular ke jaringan interstitium dan terjadi edema. Akibat penurunan tekanan onkotik
plasma dan bergesernya cairan plasma terjadi hipovolemia, dan ginjal melakukan kompensasi
dengan meningkatkan retensi natrium dan air. Mekanisme kompensasi ini akan memperbaiki
volume intravaskular tetapi juga akan mengeksaserbasi terjadinya hipoalbuminemia sehingga
edema semakin berlanjut.2
Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek renal utama. Retensi
natrium oleh ginjal menyebabkan cairan ekstraselular meningkat sehingga terjadi edema.
Penurunan laju filtrasi glomerulus akibat kerusakan ginjal akan menambah retensi natirum dan
edema akibat teraktivasinya sistem Renin-angiotensin-aldosteron terutama kenaikan konsentrasi
hormon aldosteron yang akan mempengaruhi sel-sel tubulus ginjal untuk mengabsorbsi ion
natrium sehingga ekskresi ion natrium (natriuresis) menurun. Selain itu juga terjadi kenaikan
aktivasi saraf simpatetik dan konsentrasi katekolamin yang menyebabkan tahanan atau resistensi
vaskuler glomerulus meningkat, hal ini mengakibatkan penurunan LFG dan kenaikan desakan
Starling kapiler peritubuler sehingga terjadi penurunan ekskresi natrium.2,7
HIPERLIPIDEMIA
Kolesterol serum, very low density lipoprotein (VLDL), low density lipoprotein (LDL),
trigliserida meningkat sedangkan high density lipoprotein (HDL) dapat meningkat, normal atau
menurun. Hal ini disebabkan peningkatan sintesis lipid di hepar dan penurunan katabolisme di
Segmental
Glomerulosclerosis,
Glomerulonephritis
akut/kronis,
HIV
berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi berat, gagal ginjal, atau syok. Tirah baring tidak
perlu dipaksakan dan aktivitas disesuaikan dengan kemampuan pasien.
Pemberian diet tinggi protein tidak diperlukan. Bahkan sekarang dianggap kontra
indikasi, karena akan menambah beban glomerolus untuk mengeluarkan sisa metabolisme
protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan terjadinya sklerosis glomerolus. Sehingga cukup
diberikan diet protein normal sesuai dengan RDA (Recommended Daily Allowances) yaitu 2
g/kg BB/hari. Diet rendah protein akan menyebabkan malnutrisi energi protein (MEP) dan
hambatan pertumbuhan anak. Diet rendah garam (1-2 g/hari) hanya diperlukan jika anak
menderita edem.
1. Pengobatan Inisial
Sesuai dengan anjuran ISKDC (International Study on Kidney Diseases in Children)
pengobatan inisial pada sindrom nefrotik dimulai dengan pemberian prednison dosis
penuh (full dose) 60 mg/m2LPB/hari (maksimal 80 mg/hari), dibagi dalam 3 dosis, untuk
menginduksi remisi. Dosis prednison dihitung berdasarkan berat badan ideal (berat badan
terhadap tinggi badan). Prednison dalam dosis penuh inisial diberikan selama 4 minggu.
Setalah pemberian steroid dalam 2 minggu pertama, remisi telah terjadi pada 80% ksus,
dan remisi mencapai 94 % setelah pengobatan steroid 4 minggu. Bila terjadi remisi pada
4 minggu pertama, maka pemberian steroid dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan
dosis 40 mg/m2 LPB/hari (2/3 dosis awal) secara alternating (selang sehari), 1 kali sehari
setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh, tidak tarjadi
remisi, pasien dinyatakan sebagai resisten steroid.
2. Pengobatan Relaps
Meskipun pada pengobatan inisial terjadi remisi total pada 94% pasien, tetapi pada
sebagian besar akan mengalami relaps (60-70%) dan 50% diantaranya mengalami relaps
sering. Skema pengobatan relaps dapat dilihat pada Gambar. 2, yaitu diberikan prednison
dosis penuh sampai remisi (maksimal 4 minggu) dilanjutkan dengan prednison dosis
alternating selama 4 minggu. Pada sindrom nefrotik yang mengalami proteinuria 2+
kembali tetapi tanpa edema, sebelum dimulai pemberian prednison, terlebih dahulu dicari
pemicunya, biasanya infeksi saluran nafas atas. Bila ada infeksi , diberikan antibiotik 5-7
hari, dan bila setelah pemberian antibiotik kemudian proteinuria menghilang, tidak perlu
diberikan pengobatan relaps. Bila sejak awal ditemukan proteinuria 2+ disertai edema,
maka didiagnosis sebagai relaps, dan diberi pengobatan relaps.
Jumlah kejadian relaps dalam 6 bulan pertama pasca pengobatan inisial, sangat
penting, karena dapat meramalkan perjalanan penyakit selanjutnya. Berdasarkan relaps
yang terjadi dalam 6 bulan pertama pasca pengobatan steroid inisial, pasien dapat dibagi
dalam beberapa penggolongan, yaitu:
1. Tidak ada relaps sama sekali (30%)
2. Relaps jarang : jumlah relaps < 2 kali (10-20%)
3. Relaps sering : jumlah relaps 2 kali (40-50%)
4. Dependen steroid : yaitu keadaan dimana terjadi relaps saat dosis steroid diturunkan
atau dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan, dalam hal ini terjadi 2 kali
berturut-turut.
3. Pengobatan Sindrom Nefrotik relaps sering atau dependen steroid
Pengobatan Sindrom Nefrotik relaps sering atau dependen steroid ada 4 pilihan, yaitu:
a) Pemberian steroid jangka panjang
b) Pemberian Levamisol
c) Pengobatan dengan sitostatik
d) Pengobatan dengan siklosporin (pilihan terakhir)
Selain itu perlu dicari fokus infeksi, seperti tuberkulosis, infeksi di gigi, atau cacingan.
Bila telah dinyatakan sebagai sindrom nefrotik relaps sering / dependen steroid, setelah
mencapai remisi dengan prednison dosis penuh, diteruskan dengan steroid alternating
dengan dosis yang diturunkan perlahan / bertahap 0,2 mg/kg BB sampai dosis terkecil
yang tidak menimbulkan relaps yaitu anatara 0,1-0,5 mg/kkg BB alternating. Dosis ini
disebut dosis threshold dan dapat diteruskan selama 6-12 bulan, kemudian dicoba
dihentikan. Umumnya anak usia sekolah dapat mentolerir prednison 0,5 mg/ kgBB dan
anak usia pra sekolah sampai 1 mg/kgBB secara alternating.
4. Penderita lama (Pengobatan Relaps)
a) Relaps tidak frekuen : prednison 2mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis, diberikan 3
hari sampai ada remisi. Dilanjutkan dosis intermiten dibagi dalam 3 dosis selama
4 minggu.
b) Relaps frekuen : berikan prednison dosis penuh sampai remisi, kemudian
dilanjutkan
dengan
sitostatika
atau
imunosupresen,
siklofosfamid
atau
infeksi virus
seperti campak, herpes. Bila terjadi peritonitis primer (biasanya disebabkan oleh kuman
gram negatif dan Streptococcus pneumoniae) perlu diberikan pengobatan penisilin
parenteral, dikombinasikan dengan sefalosporin generasi ketiga yaitu sefataksim atau
seftriakson, selama 10-14 hari.
2. Hiperlipidemia
Pada sindrom nefrotik relaps atau resisten steroid terjadi peningkatan kadar kolesterol
LDL dan VLDL, trigliserida, dan lipoprotein (a) (Lpa), sedangkan kolesterol HDL
menurun atau normal. Zat-zat tersebut bersifat aterogenik dan trombogenik. Pada
sindrom nefrotik sensitif steroid, karena peningkatan zat-zat tersebut bersifat sementara,
cukup dengan pengurangan diit lemak.
3. Hipokalsemia
a) Terjadi hipokalsemia karena:
b) Penggunaan steroid jangka panjang yang menimbulkan osteoporosis dan
osteopenia
c) Kebocoran metabolit vitamin D
Oleh karena itu pada sindrom nefrotik relaps sering dan sindrom nefrotik resisten steroid
dianjurkan pemberian suplementasi kalsium 500mg/hari dan vitamin D. Bila telah terjadi
tetani, diobati dengan kalsium glukonas 50mg/kgBB intravena.
4. Hipovolemia
Pemberian diuretik yang berlebihan atau dalam keadaan sindrom nefrotik relaps dapat
mengakibatkan hipovolemia dengan gejala hipotensi, takikardia, ekstrimitas dingin dan
sering disertai sakit perut.
Penyulit lain yang dapat terjadi di antaranya hipertensi, syok hipovolemik, gagal
ginjal akut, gagal ginjal kronik (setelah 5-15 tahun). Penanganan sama dengan
penanganan keadaan ini pada umumnya .Bila terjadi gagal ginjal kronik, selain
hemodialisis, dapat dilakukan transplantasi ginjal.
Prognosis
Prognosis baik bila penderita sindrom nefrotik memberikan respons yang baik terhadap
pengobatan kortikosteroid dan jarang terjadi relaps. Prognosis jangka panjang sindrom nefrotik
kelainan minimal selama pengamatan 20 tahun menunjukan hanya 4-5% menjadi gagal ginjal
terminal, sedangkan pada glomerulosklerosis, 25% menjadi gagal ginjal terminal dalam 5 tahun,
dan pada sebagian besar lainnya disertai penurunan fungsi ginjal.1,2
BAB III
LAPORAN KASUS
Tanggal Masuk
No. RM
Diagnosis Masuk
: 3 Juni 2013
: 082371
: VSD + Marasmus
IDENTITAS
Identitas Pasien
Nama Lengkap
Jenis Kelamin
Umur
Agama
Alamat
:
:
:
:
:
An. Dika
Laki-laki
4 tahun
Islam
Bengkel
Identitas Keluarga
Identitas
Ibu
Ayah
Nama
Ny. T
Tn. B
Umur
35 tahun
37 tahun
Pendidikan
SD
Pekerjaan
IRT
Buruh
seperti terhentak. Saat kejang terjadi pasien tidak dalam keadaan demam. Kejang berhenti
dengan sendirinya. BAB terakhir pasien 2 hari SMRS, berwarna cokelat dengan konsistensi
padat tanpa darah dan tanpa lendir. BAK berwarna kuning jernih dalam keadaan memakai
kateter. Pasien tidak merasa nyeri ataupun terasa panas saat berkemih.
Pasien didiagnosis dengan sindrom nefrotik sejak tahun 2013 awal, kambuh terakhir
bulan November 2013
Saat kambuh, pasien mengeluh bengkak di wajah, kaki, tangan, dan mata.
Tidak ada keluarga yang mengeluh demam, batuk, dan pilek dalam 1 minggu terakhir
Riwayat Nutrisi
Pasien mengalami penurunan nafsu makan sejak badan pasien terasa lemas.
Riwayat Vaksinasi
Imunisasi
Dasar
Ulangan
BCG
(+) 1x
Usia 1 bulan
(-)
Hepatitis B
(+) 2x
Usia 1 bulan
Polio
(+) 4x
Usia 1 bulan
DPT
(+) 3x
Usia 2 bulan
Campak
Belum dilakukan
Status Generalis
Keadaan umum
: Lemah
Kesadaran
: Compos Mentis
Tanda Vital
Frekuensi nadi
Frekuensi napas
Suhu
: 36,2oC
CRT
: < 2 detik
TD
: 100/80 mmHg
Bentuk
Mata
: anemis (-/-), ikterik (-/-), refleks pupil (+/+) isokor, edema palpebra (-/-),
mata cowong (-/-), bercak Bitot (-/-), kornea/konjungtiva kering (-),
ulkus kornea (-)
Mulut
THT
Leher
Thoraks
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
: Pulmo sonor
Auskultasi
: Cor
Cor sde
: distensi (+), jejas (-), scar/luka bekas operasi (-), umbilikus normal.
Auskultasi
Perkusi
Palpasi
Ekstremitas
Ekstremitas Atas
Pemeriksaan
Dextra
Sinistra
Dextra
Sinistra
Akral hangat
Edema
Pucat
Muscle wasting
Baggy pants
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Ekstremitas Bawah
HGB
: 12,1 g/dl
HCT
: 36,8 %
RBC
: 5,25 x 106/L
MCV
: 70,1 fl
MCH
: 23,0 pg
MCHC
: 32,9 g/dl
WBC
: 28,93 x 103/L
GDS
: 39 mg%
Ureum
: 28 mgl/dl
Kreatinin
: 0,6 mgl/dl
SGOT
: 36 mgl/dl
SGPT
: 45 mgl/dl
Kolesterol
Trigliserida : 79 mg%
HDL
LDL
: 147 mg%
Na
: 129 mmol/L
: 5,6 mmol/L
Cl
: 89 mmol/L
: 206 mg%
: 43 mg%
HGB
: 12,9 g/dl
HCT
: 39,2 %
RBC
: 5,64 x 106/L
MCV
: 69,5 fl
MCH
: 22,9 pg
MCHC
: 32,9 g/dl
WBC
: 15,49 x 103/L
PLT
: 498 x 103/L
: 109 mg%
o Kolesterol total
: 278 mg%
o Albumin
: 4,5 mg%
o Total Protein
: 5,3 mg%
Urinalisis
o Protein
:-
o Bilirubin
:-
o Glukosa
:-
o Darah
:-
RESUME
Pasien Rujukan RSUD Gerung dengan sindrom nefrotik + septikemia. Pasien mengeluh
tiba-tiba badannya terasa lemas sejak siang hari (15 Desember 2013) sehingga pasien lebih
banyak menghabiskan waktu berbaring di tempat tidur. Sejak badannya terasa lemas, pasien
mengalami penurunan nafsu makan. Ibu Pasien juga mengeluhkan wajah anaknya menjadi lebih
bengkak dalam satu minggu terakhir. Bengkak terbatas pada wajah, bengkak di kaki (-) dan
bengkak di tangan (-), bengkak di mata (-). Pasien juga mengeluh perutnya terasa semakin
membuncit. Demam (-) Mual (-) Muntah (-) Nyeri Kepala (-) Nyeri Perut (-) Kaku Leher (-)
Batuk (-) Pilek (-) Sesak (-).
Dari pemeriksaan fisik didapatkan nadi: 136 x/menit, RR: 29 x/menit, suhu: 36,2oC.
Pemeriksaan fisik didapatkan adanya moon face (+), Distensi abdomen (+), shifting dullness (+)
DIAGNOSIS
Sindrom Nefrotik + Obs. Leukositosis ec. Infeksi Sekunder
RENCANA DIAGNOSIS
RENCANA TERAPI
DAFTAR PUSTAKA
1. Alatas, Husein dkk. 2005. Konsensus Tatalaksana Sindrom Nefrotik Idiopatik Pada Anak.
Unit Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta, h.1-18.
2. Wila Wirya IG, 2002. Sindrom nefrotik. In: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede
SO, editors. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi-2. Jakarta : Balai Penerbit FKUI pp. 381426.
3. Travis L, 2002. Nephrotic syndrome. Emed J [on line] [(20) : screens]. Available from:
URL:http//www.emedicine.com/PED/topic1564.htm.
4. Kliegman, Behrman, Jenson, Stanton. 2007. Nelson Textbook of Pediatric 18th ed.
Saunders. Philadelphia.
5. Gunawan, AC. 2006. Sindrom Nefrotik: Pathogenesis dan Penatalaksanaan. Cermin
Dunia Kedokteran No. 150. Jakarta, h. 50-54.
6. Mansjoer Arif, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 2, Media Aesculapius: Jakarta
7. Pardede, Sudung O. 2002. Sindrom Nefrotik Infantil. Cermin Dunia Kedokteran No.
134. Jakarta, h.32-37