Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN KASUS NICU

HIPERBILIRUBINEMIA
SEPSIS NEONATORUM

OLEH :
Anshoril Arifin
H1A 009 025

PEMBIMBING :
dr. H. Tatang A. Hidayat, SpA

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


DI BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN ANAK RSU PROVINSI NTB
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
2014

BAB I
LAPORAN KASUS
1.1. Identitas
Identitas Pasien
Nama Lengkap
Jenis Kelamin
Tanggal Lahir
Umur
A-S
Berat Badan Lahir
Alamat
Tanggal MRS
Tanggal Pemeriksaan
No. RM

:
:
:
:
:
:
:
:
:
:

By. Ny. S
Laki-laki
14 Desember 2013
1 hari
5-7
3500 gram
Lombok Barat
14 Desember 2013
18 Desember 2013
52 87 55

Identitas Keluarga
Identitas

Ibu

Ayah

Nama

Ny. S

Tn. S

Umur

26 tahun

28 tahun

Pendidikan

SMP

SMP

Pekerjaan

IRT

Buruh

Alamat

Lobar

Lobar

1.2. Heteroanamnesis
Keluhan Utama : Tangis Merintih
Riwayat Penyakit Sekarang :
Bayi lahir di VK Teratai RSUP NTB jam 21.53 dengan ekstraksi vacum (VE). Indikasi
VE karena kala II lama. Bayi lahir dalam keadaan lemah dan tangis merintih. Kulit bayi
terlihat berwarna pink kebiruan. Bayi terlihat menggigil saat lahir. Bayi lahir dengan berat
3,5 kg, nadi 136 kali per menit, suhu: 36 derajat celcius, dan pernafasan 56 kali per menit.
AS: 5-7. Pada kepala bayi nampak benjolan. Tiga hari setelah lahir dan dirawat di NICU,
bayi nampak kuning di daerah wajah, leher, dan dada. Ibu pasien juga mengatakan
bayinya menjadi kurang kuat untuk minum susu dan menjadi lebih rewel. Pasien juga

sempat mengalami kejang sebanyak satu kali pada malam hari dengan durasi < 1 menit
dan berhenti dengan sendirinya.
Riwayat Kehamilan Ibu :
Bayi merupakan anak pertama dari kehamilan yang pertama. Selama hamil, ibu pasien
rutin memeriksakan kehamilannya di Puskesmas (> 4 kali selama kehamilan). Ibu pasien
mengaku selama hamil dirinya tidak pernah mengalami mual muntah yang berlebihan
pada bulan-bulan pertama kehamilan. Ibu pasien juga tidak pernah menderita sakit berat,
seperti tekanan darah tinggi, kejang, perdarahan, demam yang lama, ataupun trauma.
Selama kehamilannya, ibu pasien juga rutin mengkonsumsi vitamin dan tablet besi.
Riwayat Persalinan :
Bayi lahir di VK Teratai RSUP NTB jam 21.53 dengan ekstraksi vacum (VE). Indikasi
VE karena kala II lama. Kulit bayi terlihat berwarna pink kebiruan. Bayi terlihat
menggigil saat lahir. Bayi lahir dengan berat 3,5 kg, nadi 136 kali per menit, suhu: 36
derajat celcius, dan pernafasan 56 kali per menit. AS: 5-7. LK: 34 cm dan PB: 53,5 cm
Riwayat Keluarga :
Riwayat penyakit jantung bawaan dalam keluarga (-), penyakit asma (-), penyakit DM (-),
hipertensi (-). Golongan darah ibu O.
PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis

Keadaan umum
Kesadaran
Aktivitas

: baik
: waspada
: berkurang

Tanda Vital

HR : 136 x/menit
RR : 56 x/menit
Suhu : 36 oC

Penilaian Pertumbuhan
Berat badan
: 3500 gram
Panjang badan
: 53,5 cm
Lingkar kepala
: 34 cm
Pemeriksaan Fisik Umum
Kepala

: bentuk kepala normochepali, ubun-ubun besar terbuka, teraba datar,


3

sutura terpisah, caput suksadenum (-), cephal hematoma (-).


Wajah

Mata

: warna kulit kekuningan


: konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterus (+/+), R. pupil (+/+)

isokor.
Telinga : bentuk normal, deformitas (-)
Hidung : bentuk normal, deformitas (-), napas cuping hidung (-), rhinorrhea (-),
perdarahan (-), deviasi septum (-), mukosa normal, hiperemis (-).
Mulut

Leher

: sianosis sentral (-), mukosa bibir basah, refleks menghisap (+).

: kaku kuduk (-), pembesaran kel. tiroid (-), massa (-), warna kulit kuning (+).

Thoraks

Inspeksi

: pergerakan dinding dada simetris, retraksi (+), warna kulit kuning (+)
precordial bulging (-), ictus cordis tidak tampak.
: pengembangan dinding dada simetris, krepitasi (-), ictus cordis ttb.
: Cor sde
Pulmo sonor pada kedua lapang paru

Palpasi
Perkusi
Auskultasi
~ Cor
: S1S2 tunggal, regular, murmur (-), gallop (-)
~ Pulmo : bronkovesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-), stridor (-/-)

Abdomen

Inspeksi
Auskultasi
Perkusi
Palpasi

:
:
:
:

distensi (+), warna kulit kuning (+)


bising usus (+) normal
timpani (-)
massa (-), organomegali (-), turgor kulit normal

Umbilicus : tampak basah dan mulai mengering, warna kekuningan (-), hematoma (-),
edema (-), hiperemis (-), pus (-)
Genitalia

: dalam batas normal, anus (+)

Ekstremitas

Atas
Bawah

: akral hangat (+/+), pucat (-/-), ikterik (-/-), sianosis (-/-).


: akral hangat (+/+), pucat (-/-), ikterik (-/-) sianosis (-/-).

Kulit
: ikterik (+) derajat kramer II-III
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah Lengkap (14 Desember 2013)

HGB
HCT
RBC
MCV
MCH

: 15,6 g/dl
: 50,1 %
: 4,74 x 106/L
: 105,7 fl
: 32,9 pg
4

MCHC
WBC
PLT

: 31,1 g/dl
: 19,80 x 103/L
: 194 x 103/L

Darah Lengkap (18 Desember 2013)

HGB
HCT
RBC
MCV
MCH
MCHC
WBC
PLT

: 12,8 g/dl
: 40,4 %
: 4,38 x 106/L
: 92,2 fl
: 31,5 pg
: 34,2 g/dl
: 3,22 x 103/L
: 7 x 103/L

Pemeriksaan Lainnya

Golongan Darah O, Rhesus (+)


GDS
: 90 mg/dl
Billirubin Total
: 14,30 mg%
Billirubin direct
: 1,55 mg%

RESUME
Bayi lahir di VK Teratai RSUP NTB jam 21.53 dengan ekstraksi vacum (VE).
Indikasi VE karena kala II lama. Bayi lahir dalam keadaan lemah dan tangis merintih. Kulit
bayi terlihat berwarna pink kebiruan. Bayi terlihat menggigil saat lahir. Bayi lahir dengan
berat 3,5 kg, nadi 136 kali per menit, suhu: 36 derajat celcius, dan pernafasan 56 kali per
menit. AS: 5-7. Pada kepala bayi nampak benjolan. Sehari setelah lahir dan dirawat di NICU,
bayi nampak kuning di daerah wajah, leher, dan dada. Tiga hari setelah lahir dan dirawat di
NICU, bayi nampak kuning di daerah wajah, leher, dan dada. Ibu pasien juga mengatakan
bayinya menjadi kurang kuat untuk minum susu dan menjadi lebih rewel. Pasien juga sempat
mengalami kejang sebanyak satu kali pada malam hari dengan durasi < 1 menit dan berhenti
dengan sendirinya.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik, denyut jantung 136 x/menit,
frekuensi napas 56 x/menit, dan suhu 36, oC. Penampakan yang terlihat, yaitu aktivitas
berkurang, wajah mongoloid, tampak Ikterus Kramer Derajat II-III. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan retraksi (+) dan distensi abdomen (+). Pada pemeriksaan penunjang didapatkan
WBC = 3,22 x 103/L, kadar bilirubin total = 14,30 mg% dan direk = 1,55 mg%.
DIAGNOSIS
Hiperbilirubinemia
5

Sepsis neonatorum
RENCANA TERAPI

Infus D10% 11 tpm mikro


Injeksi Cefotaxim 2 x 150 mg
Injeksi Gentamisin 1 x 15 mg
Fototerapi

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hiperbilirubinemia
Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis yang paling sering
ditemukan pada bayi baru lahir. Lebih dari 85% bayi cukup bulan yang kembali dirawat
dalam minggu pertama kehidupan disebabkan oleh keadaan ini. Hiperbilirubinemia
menyebabkan bayi berwarna kuning, keadaan ini timbul akibat akumulasi pigmen bilirubin
(4Z, 15 Z bilirubin IX alpha) yang berwarma ikterus pada sklera dan kulit. Isomer bilirubin
ini berasal dari degradasi heme yang merupakan komponen hemoglobin mamalia. Pada masa
transisi setelah lahir, hepar belum berfungsi secara optimal, sehingga proses glukuronidasi
bilirubin tidak terjadi secara maksimal. Keadaan ini akan menyebabkan dominasi bilirubin
tak terkonjugasi di dalam darah. Pada kebanyakan bayi baru lahir, hiperbilirubinemia tak
terkonjugasi merupakan fenomena transisional yang normal, tetapi pada beberapa bayi,
terjadi peningkatan bilirubin secara berlebihan sehingga bilirubin berpotensi menjadi toksik
dan menyebabkan kematian dan bila bayi tersebut dapat bertahan hidup pada jangka panjang
akan menimbulkan sekuele neurologis. Dengan demikian, setiap bayi yang mengalami
kuning harus dibedakan apakah ikterus yang terjadi merupakan keadaan yang fisiologis atau
patologis serta dimonitor apakah mempunyai kecenderungan untuk berkembang menjadi
hiperbilirubinemia yang berat. Hiperbilirubinemia adalah terjadinya peningkatan kadar
plasma bilirubin 2 standar deviasi atau lebih dari kadar yang diharapkan berdasarkan umur
bayi atau lebih dari persentil 90.1
2.2. Ikterus Neonatorum
Ikterus neonatorum adalah keadaan klinis pada bayi yang ditandai dengan oleh
pewarnaan ikterus pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilrubin tak terkonjugasi yang
berlebih. Ikterus secara klinis akan mulai tampak pada bayi baru lahir bila kadar bilirubin
darah 5-7 mg/dL.1
2.2.1. Ikterus fisiologis
Ikterus fisiologis umumnya terjadi pada bayi baru lahir, kadar bilirubin tak
terkonjugasi pada minggu pertama > 2 mg/dL. Pada bayi cukup bulan yang mendapat susu
formula kadar bilirubin akan mencapai puncaknya sekitar 6-8 mg/dL pada hari ke-3
kehidupan dan kemudian akan menurun cepat selama 2-3 hari diikuti dengan penurunan yang
lambat sebesar 1 mg/dL selama 1 sampai 2 minggu. Pada bayi cukup bulan yang mendapat
7

ASI kadar bilirubin akan mencapai kadar yang lebih tinggi (7-14 mg/dL) dan penurunan
terjadi lebih lambat. Bila terjadi dalam 2-4 minggu, bahkan dapat mencapai waktu 6 minggu.
Pada bayi kurang bulan yang mendapat susu formula juga akan mengalami peningkatan
dengan puncak yang lebih tinggi dan lebih lama, begitu juga dengan penurunannya jika tidak
diberikan fototerapi pencegahan. Peningkatan sampai 10-12 mg/dL masih dalam kisaran
fisiologis, bahkan hingga 15 mg/dL tanpa disertai kelainan metabolisme bilirubin. Kadar
normal bilirubin tali pusat kurang dari 2 mg/dL dan berkisar dari 1,4 sampai 1,9 mg/dL.1
2.2.2. Ikterus non fisiologis
Dulu disebut dengan ikterus patologis tidak mudah dibedakan dari ikterus fisiologis.
Keadaan di bawah ini merupakan petunjuk untuk tindak lanjut.1
1.
2.
3.
4.

Ikterus terjadi sebelum umur 24 jam


Setiap peningkatan kadar bilirubin serum yang memerlukan fototerapi
Peningkatan kadar bilitubin serum > 0,5 mg/dL/jam
Adanya tanda-tanda penyakit yang mendasari pada setiap bayi (muntah, letargis,
malas menetek, penurunan berat badan yang cepat, apnea, takipnea atau suhu yang

tidak stabil.
5. Ikterus bertahan setelah 8 hari pada bayi cukup bulan atau setelah 14 hari pada bayi
kurang bulan.
2.3. Patofisiologi dan Etiologi
2.3.1. Pembentukan bilirubin
Bilirubin adalah pigmen kristal berwarna jingga ikterus yang merupakan bentuk
akibat dari pemecahan katabolisme heme melalui proses reaksi oksidasi-reduksi. Langkah
oksidasi yang pertama adalah biliverdin yang dibentuk dari heme dengan bantuan enzim
heme oksigenase yaitu suatu enzim yang sebagian besar terdapat dalam sel hati, dan organ
lain. Pada reaksi tersebut juga terbentuk besi yang digunakan kembali untuk pembentukan
hemoglobin dan karbon monoksida (CO) yang diekskresikan ke dalam paru. Biliverdin
kemudian akan direduksi menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin reduktase (Gambar 1).1
Biliverdin bersifat larut dalam air dan secara cepat akan diubah menjadi bilirubin
melalui reaksi bilirubin reduktase. Berbeda dengan biliverdin, bilirubin bersifat lipofilik dan
terikat dengan hidrogen serta pada pH normal bersifat tidak larut. Jika tubuh akan
mengekskresikan, diperlukan mekanisme transport dan eliminasi bilirubin.1
Pada bayi baru lahir, sekiatr 75% produksi bilirubin berasal dari katabolisme heme
haemoglobin dari eritrosit sirkulasi. Satu gram haemoglobin akan menghasilkan 34 mg
bilirubin dan sisanya (25%) disebut early labelled bilirubin yang berasal dari pelepasan
8

haemoglobin karena eritropoiesis yang tidak efektif di dalam sumsum tulang, jaringan yang
mengandung protein heme (mioglobin, sitokrom, katalase, peroksidase) dan heme bebas.1

Gambar 2.1 Metabolisme bilirubin1


Bayi baru lahir akan memproduksi bilirubin 8-10 mg/kgBB/hari, sedangkan orang
dewasa sekitar 3-4 mg/kgBB/hari. Peningkatan produksi bilirubin pada bayi baru lahir
disebabkan masa hidup eritrosit bayi lebih pendek (70-90 hari) dibandingkan dengan orang
dewasa (120 hari), peningkatan degradasi heme, turn over sitokrom yang meningkat dan juga
reabsorbsi bilirubin dari usus yang meningkat (sirkulasi enterohepatik).1
2.3.2. Transportasi bilirubin
Pembentukan bilirubin yang terjadi di sistem retikuloendotelial, selanjutnya
dilepaskan ke sirkulasi yang akan berikatan dengan albumin. Bayi baru lahir mempunyai
kapasitas ikatan plasma yang rendah terhadap bilirubin karena konsentrasi albumin yang
rendah dan kapasitas ikatan molar yang kurang. Bilirubin yang terikat pada albumin serum ini
merupakan zat non polar dan tidak larut dalam air dan kemudian akan ditransportasi ke sel
hepar. Bilirubin yang terikat dengan albumin tidak dapat memasuki susunan saraf pusat dan
9

bersifat non toksik. Selain itu, albumin juga mempunyai afinitas yang tinggi terhadap obatobatan yang bersifat asam seperti penisilin dan sulfonamid. Obat-obat tersebut akan
menempati tempat utama untuk perlekatan albumin untuk bilirubin sehingga bersifat
kompetitor serta dapat melepaskan ikatan bilirubin dengan albumin. Obat-obatan yang dapat
melepaskan bilirubin dari albumin dengan cara menurunkan afinitas albumin adalah digoksin,
gentamisin, furosemid dan lain-lain.1
Pada BKB ikatan bilirubin akan lebih lemah yang umumnya merupakan komplikasi
dari hipoalbumin, hipoksia, hipoglikemi, asidosis, hipotermia, hemolisis, dan septikemia. Hal
tersebut tentunya akan mengakibatkan peningkatan jumlah bilirubin bebas dan berisiko pula
untuk keadaan nerotoksisitas oleh bilirubin.1
Bilirubin dalam serum terdapat dalam 4 bentuk berbeda:

Bilirubin tak terkonjugasi yang terikat dengan albumin dan membentuk sebagian

besar bilirubin tak terkonjugasi dalam serum


Bilirubin bebas
Bilirubin terkonjugasi (terutama monoglukorida dan diglukorida) yaitu bilirubin yang

siap diekskresikan melalui ginjal atau sistem bilier.


Bilirubin terkonjugasi yang terikat dengan albumin serum (-bilirubin)
Pada 2 minggu pertama kehidupan, -bilirubin tidak akan tampak. Peningkatan kadar
-bilirubin secara signifikan dapat ditemukan pada bayi baru lahir normal yang lebih
tua

dan

pada

anak.

Konsentrasinya

meningkat

bermakna

pada

keadaan

hiperbilirubinemia terkonjugasi persisten karena berbagai kelainan pada hati.1


2.3.3. Asupan bilirubin (bilirubin intake)
Pada saat kompleks bilirubin-albumin mencapai membran plasma hepatosit, abumin
terikat ke reseptor permukaan sel. Kemudian bilirubin, ditransfer melalui sel membran yang
berikatan dengan ligandin (protein Y), mungkin juga dengan protein ikatan sitosolik lainnya.
Keseimbangan antara jumah bilirubin yang masuk ke sirkulasi, dari sintesis de novo,
resirkulasi enterohepatik, perpindahan bilirubin antar jaringan, pengambilan bilirubin oleh sel
hati dan konjugasi bilirubin akan menentukan konsentrasi bilirubin tak terkonjugasi dalam
serum, baik pada keadaan normal ataupu tidak normal.1
Berkurangnya kapasitas pengambilan hepatik bilirubin tak terkonjugasi akan
berpengaruh terhadap pembentukan ikterus fisiologis. Penelitian menunjukkan hal ini akan
terjadi karena adanya defisensi ligandin, tetapi hal ini tidak begitu penting dibandingkan
dengan defisiensi konjugasi bilirubin dalam menghambat transfer bilirubin dari darah ke
empedu selama 3-4 hari pertama kehidupan. Walaupun demikian defisiensi ambilan ini dapat

10

menyebabkan hiperbilirubinemia terkonjugasi ringan pada minggu kedua kehidupan saat


konjugasi bilirubin hepatik mencapai kecepata normal yang sama dengan orang dewasa.1
2.3.4. Konjugasi bilirubin
Bilirubin tak terkonjugasi dikonversikan ke bentuk bilirubin konjugasi yang larut
dalam air di retikulum endoplasma dengan bantuan enzim uridine diphosphate glucuronosyl
transferase (UDPG-T). Katalisa oleh enzim ini akan merubah formasi menjadi bilirubin
monoglukoronida yang selanjutnya akan dikonjugasi menjadi bilirubin diglukoronida.
Substrat

yang

digunakan

untuk

transglukoronidase

kanalikuler

adalah

bilrubin

monoglukoronida. Enzim ini akan memindahkan satu molekul asam glukoronida dari satu
molekul bilirubin monoglukoronida ke yang lain dan menghasilkan pembentukan satu
molekul bilirubin diglukoronida.1
Bilirubin ini kemudian diekskresikan ke dalam kanalikulus empedu. Sedangkan satu
molekul bilirubin tak terkonjugasi akan kembali ke retikulum endoplasmik untuk rekonjugasi
berikutnya. Pada keadaan peningkatan beban bilirubin yang dihantarkan ke hati akan terjadi
retensi billrubin tak terkonjugasi seperti halnya pada keadaan hemolisis kronik yang berat
pigmen yang tertahan adalah bilirubin monoglukoronida.1
Penelitian in vitro tentang enzim UDPG-T pada bayi baru lahir didapatkan defisiensi
aktifitas enzim, tetapi setelah 24 jam kehidupan, aktifitas enzim ini meningkat melebihi yang
masuk ke hati sehingga konsentrasi bilirubin serum akan menurun. Kapasitas awal konjugasi
akan sama dengan orang dewasa pada hari ke-4 kehidupan. Pada peride bayi baru lahir,
konjugasi monoglukoronida merupakan konjugat pigmen empedu yang lebih dominan.1
2.3.5. Ekskresi bilirubin
Setelah mengalami proses konjugasi, bilirubin akan diekskresikan ke dalam kandung
empedu, kemudian memasuki saluran cerna dan diekskresikan melalui feses. Proses
ekskresinya sendiri merupakan proses yang memerlukan energi. Setelah berada dalam usus
halus, bilirubin yang terkonjugasi tidak langsung dapat diresorbsi, kecuali jika dikonversikan
kembali menjadi bentuk tidak terkonjugasi oleh enzim beta-glukoronidase yang terdapat
dalam usus. Resorbsi kembali bilirubin dari saluran cerna dan kembali ke hati untuk
dikonjugasi kembali disebut sirkulasi enterohepatik.1
Terdapat perbedaan antara bayi baru lahir dan orang dewasa, yaitu pada mukosa usus
halus dan feses bayi baru lahir mengandung enzim -glukoronidase yang dapat menghidrolisa
monoglukoronida dan diglukoronida kembali menjadi bilirubin yang tak terkonjugasi yang
selanjutnya dapat diresorbsi kembali. Selain itu pada bayi baru lahir, umen usus halusnya

11

steril sehingga bilirubin konjugasi tidak dapat dirubah menjadi sterkobilin (suatu produk yang
tidak dapat diresorbsi).1
Bayi baru lahir mempunyai konsentrasi bilirubin tak terkonjugasi yang relatif tinggi di
dalam usus yang berasal dari produksi bilirubin yang meningkat, hidrolisis bilirubin
glukoronida yang berlebih dan konsentrasi bilirubin yang tinggi ditemukan di dalam
mekonium. Pada bayi baru lahir, kekurangna relatif flora bakteri untuk mengurangi bilirubin
menjadi urobilinogen lebih lanjut akan meningkatkan pool bilirubin usus dibandingkan
dengan anak yang lebih tua atau orang dewasa. Peningkatan hidrolisis bilirubin konjugasi
pada bayi baru lahir diperkuat oleh aktivitas -glukoronidase mukosa yang tinggi dan
ekskresi monoglukoronida terkonjugasi. Pemberian substansi yang tidak larut seperti agar
atau arang aktif yang dapat mengikat bilirubin akan meningkatkan kadar bilirubin dalam tinja
dan mengurangi kadar bilirubin dalam serum, hal ini menggambarkan peran kontribusi
sirkulasi enterohepatik pada keadaaan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi pada bayi baru
lahir.1
2.3.6. Ikterus fisiologis
Ikterus fisiologis merupakan masalah yang sering terjadi pada bayi kurang maupun
cukup bulan selama minggu pertama kehidupan yang frekuensinya pada bayi cukup bulan
dan kurang bulan berturut-turut adalah 50-60% dan 80%. Untuk kebanyakan bayi fenomena
ini ringan dan dapat membaik tanpa pengobatan. Ikterus fisiologis tidak disebabkan oleh faktr
tunggal tapi kombinasi dari berbagai faktor yang berhubungan dengan maturitas fisiologi
bayi baru lahir. Peningkatan kadar bilirubin tidak terkonjugasi dalam sirkulasi pada bayi baru
lahir disebabkan oleh kombinasi peningkatan ketersediaan bilirubin dan penurunan clearance
bilirubin.1
Peningkatan ketersediaan bilirubin merupakan hasil dari produksi bilirubin dan early
bilirubin yang lebih besar serta penurunan usia sel darah merah. Resirkulasi aktif bilirubin di
enterohepatik, yang meningkatkan kadar serum bilirubin tidak terkonjugasi, disebabkan oleh
penurunan bakteri flora normal, aktifitas -glucuronidase yang tinggi dan penurunan
motilitas usus.1
Pada bayi yang diberi minum lebih awal atau diberi minum lebih sering dan bayi
dengan aspirasi mekonium atau pengeluaran mekonium lebih awal cenderung mempunyai
insiden yang rendah untuk terjadinya ikterus fisiologis. Pada bayi yang diberi minum susu
formula cenderung mengeluarkan bilirubin lebih banyak pada mekoniumnya selama 3 hari
pertama kehidupan dibandingkan dengan yang mendapat ASI. Bayi yang mendapat ASI,

12

kadar bilirubin cenderung lebih rendah pada yang defekasinya lebih sering. Bayi yang
terlambat mengeluarkan mekonium lebih sering terjadi ikterus fisiologis.1
Pada bayi yang mendapat ASI terdapat dua bentuk neonatal jaundice yaitu early
(berhubungan dengan breast feeding) dan late (berhubungan dengan ASI). Bentuk early onset
diyakini berhubungan dengan proses pemberian minum. Bentuk late onset diyakini
dipengaruhi oleh kandungan ASI ibu yang mempengaruhi proses konjugasi dan ekskresi.
Penyebab late onset tidak diketahui, tetapi telah dihubungkan dengan adanya faktor spesifik
dari ASI yaitu: 2-20-pregnanediol yang mempengaruhi aktifitas UDPGT atau pelepasan
bilirubin konjugasi dari hepatosit; peningkatan aktifitas lipoprotein lipase yang kemudian
melepaskan asam lemak bebas ke dalam usus halus; penghambatan konjugasi akibat
peningkatan asam lemak unsaturated; atau -glucuronidase atau adanya faktor lain yang
mungkin menyebabkan peningkatan jalur enterohepatik.1
2.3.7. Hiperbilirubinemia
Hiperbilirubinemia bisa disebabkan oleh proses fisiologis atau patologis atau kombinasi
keduanya. Risiko hiperbilirubinemia meningkat pada bayi yang mendapat ASI, bayi kurang
bulan dan bayi mendekati cukup bulan. Neonatal hiperbilirubinemia terjadi karena
peningkatan produksi atau penurunan clearance bilirubin dan lebih sering terjadi pada bayi
matur.1
Bayi yang diberikan ASI memiliki kadar bilirubin serum yang lebih tinggi dibanding
bayi yang diberikan susu formula. Hal tersebut mungkin disebabkan oleh beberapa faktor
antara lain; frekuensi menyusui yang tidak adekuat, kehilangan berat badan/dehidrasi.1
Faktor etiologi yang mungkin berhubungan dengan hiperbilirubinemia pada bayi yang
mendapat ASI, antara lain1:

Asupan cairan
Kelaparan
Frekuensi menyusui
Kehilangan berat badan/dehidrasi
Hambatan ekskresi bilirubin hepatik
Pregnandiol
Lipase-free fatty acids
Unidentified inhibitor
Intestinal reabsorption of bilirubin
Pasase mekonium terlambat
Pembentukan urobilinoid bakteri
Beta-glukoronidase
Hidrolisis alkaline
Asam empedu

13

Hiperbilirubinemia yang signifikan dalam 36 jam pertama biasanya disebabkan oleh


karena peningkatan produksi bilirubin (terutama karena hemolisis), karena pada periode ini
hepatic clearance jarang memproduksi bilirubin lebih 10 mg/dL. Peningkatan penghancuran
hemoglobin 1% akan meningkatkan kadar bilirubin 4 kali lipat.1
Tabel 2.1. Penyebab neonatal hiperbilirubinemia indirek1
Dasar
Peningkatan produksi bilrubin
Peningkatan penghancuran

Penyebab
Inkompatibilitas darah fetomaternal (Rh, ABO)
Defisiensi enzim kongenital (G6PD,

hemoglobin

Peningkatan sirkulasi enterohepatik

galaktosemia)
Perdarahan tertutup (sefalhematom, memar)
Sepsis
Polisitemia (twin-to-twin transfusion, SGA)
Keterlambatan klem tali pusat
Keterlambatan pasase mekonium, ileus

Perubahan clearance bilirubin hati


Perubahan produksi atau aktifitas

meoknium. Meconium plug syndrome


Puasa atau keterlambatan minum
Atresia atau stenosis intestinal
Imaturitas
Gangguan metabolik/endokrin (Criglar-Najjar

Peningkatan jumlah hemoglobin

UDPGT
Perubahan fungsi dan perfusi hati
(kemampuan konjugasi)

Obstruksi hepatik (berhubungan


dengan hiperbilirubinemia direk)

disease, hipotiroidisme, gangguan metabolisme


asam amino)
Asfiksia, hipoksia, hipotermi, hipoglikemi.
Sepsis (juga proses inflamasi)
Obat-obatan dan hormon (novobiasin,
pregnanediol)
Anomali kongenital (atresia biliaris, fibrosis
kistik)
Stasis biliaris (hepatitis, sepsis)
Bilirubin load berlebihan (sering pada hemolisis
berat)

2.4. Diagnosis
Berbagai faktor risiko dapat meningkatkan kejadian hiperbilirubinemia yang berat.
Perlu penilaian pada bayi baru lahir terhadap berbagai faktor risiko, terutama untuk bayi-bayi
yang pulang lebih awal.1
Tampilan ikterus dan dapat ditentukan dengan memeriksa bayi dalam ruangan dengan
pencahayaan yang baik, dan menekan kulit dengan tekanan ringan untuk melihat warna kulit

14

dan jaringan subkutan. Ikterus pada kulit bayi tidak terperhatikan pada kadar bilirubin kurang
dari 4 mg/dL.1

Gambar 2.2 Pembagian ikterus menurut Kramer


Pemeriksaan fisis harus difokuskan pada identifikasi dari salah satu penyebab ikterus
patologis. Kondisi bayi harus diperiksa pucat, petekie, ekstravasasi darah, memar kulit yang
berlebihan, hepatosplenomegali, kehilangan berat badan, dan bukti adanya dehidrasi.1
Guna mengantipasi komplikasi yang mungkin timbul, maka perlu diketahui daerah
letak kadar bilirubin serum total beserta faktor risiko terjadinya hiperbilirubinemia yang
berat.1

Gambar 2.3 Nomogram Penentuan Risiko Hiperbilirubinemia1


Faktor risiko hiperbilirubinemia berat bayi usia kehamilan 35 minggu1:

Faktor risiko mayor


Sebelum pulang, kadar bilirubin serum total atau bilirubin transkutaneus terletak
pada daerah riiko tinggi (Gambar 2.3)
15

Ikterus yang muncul dalam 24 jam pertama kehidupan


Inkompatibilitas golongan darah dengan tes antiglobulin direk yang positif atau

penyakit hemolitik lainnya (defisiensi G6PD, peningkatan ETCO).


Umur kehamilan 35-36 minggu
Riwayat anak sebelumnya yang mendapatkan fototerapi
Sefalhematom atau memar yang bermakna
ASI eksklusif dengan cara perawatan tidak baik dan kehilangan berat badan yang

berlebihan
Ras Asia Timur
Faktor risiko minor
Sebelum pulang, kadar bilirubin serum total atau bilirubin transkutaneus terletak
pada daerah risiko rendah (Gambar 2.3)
Umur kehamilan 37-38 minggu
Sebelum pulang, bayi tampak kuning
Riwayat anak sebelumnya kuning
Bayi makrosomia dari ibu DM
Umur ibu 25 tahun
Laki-laki
Faktor risiko ringan
Kadar bilirubin serum total atau bilirubin transkutaneus terletak pada daerah risiko

rendah
Umur kehamilan 41 minggu
Bayi mendapat susu formula penuh
Kulit hitam
Bayi dipulangkan setelah 72 jam

2.5. Penanganan
Penanganan bayi baru lahir dengan hiperbilirubinemia antara lain yaitu dengan
pencegahan, penggunaan farmakologi, fototerapi dan transfusi tukar.1
Pengelolaan bayi ikterus yang mendapat ASI, antara lain1:
1. Observasi semua feses awal bayi. Pertimbangkan untuk merangsang pengeluaran jika
feses tidak keluar dalam waktu 24 jam.
2. Segera mulai menyusui dan beri sedini mungkin. Menyusui yang sering dengan waktu
yang singkat lebih efektif dibandingkan dengan menyusui yang lama dengan frekuensi
yang jarang walaupun total waktu yang diberikan adalah sama.
3. Tidak dianjurkan pemberian air, dekstrosa atau formula pengganti.
4. Observasi berat badan, bak dan bab yang berhubungan dengan pola menyusui
5. Ketika kadar bilirubin mencapai 15 mg/dL, tingktkan pemberian minum, rangsang
pengeluaran/produksi ASI dengan cara memompa, dan menggunakan protokol
penggunaan fototerapi yang dikeluarkan AAP.
6. Tidak tedapat bukti bahwa early jaundice berhubungan dengan abnormalita ASI,
sehingga penghentian menyusui sebagai suatu upaya hanya diindikasikan jika ikterus
16

menetap lebih dari 6 hari atau meningkat di atas 20 mg/dL atau ibu memiliki riwayat
bayi sebelumnya terkena kuning.
Penatalaksanaan bayi dengan hiperbilirubinemia, antara lain1:
1. Lakukan pemeriksaan laboratorium
Bilirubin total dan direk
Golongan darah (ABO, Rh)
Test antibodi direct (Coombs)
Serum albumin
Pemeriksaan darah tepi lengkap dengan hitung jenis dan morfologi
Jumlah retikulosit
ETCO (bila tersedia)
G6PD (bila terdapat kecurigaan (berdasarkan etnis dan geografis) atau respon
terhadap fototerapi kurang)
Urinalisis
Bila anamnesis dan atau tampilan klinis menunjukkan kemungkinan sepsis
lakukan pemeriksaan kultur darah, urine, dan liquor untuk protein, glukosa,
hitung sel dan kultur.
2. Tindakan
Bila bilirubin total 25 mg atau 20 mg pada bayi sakit atau bayi < 38 minggu,
lakukan pemeriksaan golongan darah dan cross match pada pasien yang akan
direncanakan transfusi ganti
Pada bayi dengan penyakit otoimun hemolitik dan kadar bilirubin total meningkat
walau telah dilakukan fototerapi intensif atau dalam 2-3 mg/dL kadar transfusi
ganti, berikan imunoglobin intravena 0,5-1 g/kg selama 2 jam dan boleh diulang
bila perlu 12 jam kemudian.
Pada byayi yang mengalami penurunan berat badan lebih dari 12 % atau secara
klinis atau bukti secara biokimia menunjukkan tanda dehidrasi, dianjurkan
pemberian sus formula atau ASI tambahan. Bila pemberian peroral sulit dapat
diberikan intravena.
3. Pada bayi mendapat fototerapi intensif
Pemberian minum dilakukan setiap 2-3 jam
Bila bilirubin total 25 mg/dL, pemeriksaan ulangan dilakukan dalam 3-4 jam,
bila < 20 mg/dL diulang dalam 4-6 jam. Jika bilirubin total terus turun periksa

ulang dalam 8-12 jam.


Bila kadar bilirubin total tidak turun atau malah mendekati kadar transfusi tukar
atau perbandingan bilirubin total dengan albumin (TSB/albumin) meningkat

mendekati angka untuk transfusi tukar maka lakukan transfusi ganti.


Bila kadar bilirubin total kurang dari 13-14 mg/dL foto terapi dihentikan

17

Tergantung kepada penyebab hiperbilirubinemia, pemeriksaan bilirubin ulangan


boleh dilakukan setelah 24 jam setelah bayi pulang untuk melihat kemungkinan
terjadinya rebound.

18

American Academy of Pediatrics tahun 2004 mengeluarkan strategi praktis dalam


pencegahan dan penanganan hiperbilirubinemia bayi baru lahir ( <35 minggu atau
lebih ) dengan tujuan untuk menurunkan insidensi dari neonatal hiperbilirubinemia
berat dan ensefalopati bilirubin serta meminimalkan risiko yang tidak menguntungkan
seperti kecemasan ibu, berkurangnya breast feeding atau terapi yang tidak diperlukan.
Pencegahan dititikberatkan pada pemberian minum sesegera mungkin, sering menyusui
untuk menurunkan shunt enterohepatik, menunjang kestabilan bakteri flora normal,
dan merangsang akitifitas usus halus.1,2
Pengendalian kadar bilirubin dapat dilakukan dengan mengusahakan agar konjugasi
bilirubin dapat lebih cepat berlangsung. Hal ini dapat dilakukan dengan merangsang
terbentuknya glukoronil transferase dengan pemberian obat-obatan.Pemberian substrat yang
dapat menghambat metabolisme bilirubin (plasma atau albumin), mengurangi sirkulasi
enterohepatik (pemberian kolesteramin), terapi sinar atau transfusi tukar, merupakan tindakan
yang juga dapat mengendalikan kenaikan kadar bilirubin. Dikemukakan pula bahwa obatobatan (IVIG: Intra Venous Immuno Globulin dan Metalloporphyrins) dipakai dengan
maksud menghambat hemolisis, meningkatkan konjugasi dan ekskresi bilirubin.1
Tabel 2.2. Petunjuk penatalaksanaan hiperbilirubinemia pada bayi sehat cukup bulan
berdasarkan - American Academy of Pediatrics
Usia (jam)

Kadar Bilirubin Total Serum (mg/Dl [mol/L])


Pertimbangan Fototerapi
Transfusi tukar jika Transfusi

tukar

Fototerapi

fototerapi intensip dan

fototerapi

25 -48

12 (170)

15 (260)

gagal
20 (340)

intensif
25 (430)

49-72

15 (260)

18 (310)

25 (430)

30 (510)

>72

17 (290)

20 (340)

25 (430)

30 (510)

Fototerapi
Keuntungan dari penatalaksanaan dengan fototerapi yaitu tidak bersifat invasif,
efektif, tidak mahal dan mudah digunakan. Fototerapi mengurangi hiperbilirubinemia melalui
tiga proses yaitu fotoisomerisasi, isomerisasi struktural dan fotooksidasi.Efektivitas fototerapi
tergantung pada kualitas cahaya yang dipancarkan lampu (panjang gelombang), intensitas
cahaya (iradiasi), luas permukaan tubuh, ketebalan kulit dan pigmentasi, lama paparan
cahaya, kadar bilirubin total saat awal fototerapi.Fototerapi yang intensif seharusnya dapat
19

menurunkan kadar bilirubin total serum 1-2 mg/dL dalam 4-6 jam, sehingga kadar bilirubin
harus dimonitor setiap 4-12 jam.1
Pengaruh sinar terhadap ikterus telah diperkenalkan oleh Cremer sejak 1958.Banyak
teori yang dikemukakan mengenai pengaruh sinar tersebut.Teori terbaru mengemukakan
bahwa terapi sinar menyebabkan terjadinya isomerisasi bilirubin.Energi sinar mengubah
senyawa yang berbentuk 4Z, 15Z-bilirubin menjadi senyawa berbentuk 4Z, 15E-bilirubin
yang merupakan bentuk isomernya.Bentuk isomer ini mudah larut dalam plasma dan lebih
mudah diekskresi oleh hepar ke dalam saluran empedu. Peningkatan bilirubin isomer dalam
empedu menyebabkan bertambahnya pengeluaran cairan empedu ke dalam usus, sehingga
peristaltik usus meningkat dan bilirubin akan lebih cepat meninggalkan usus halus.1
Di RSU Dr. Soetomo Surabaya terapi sinar dilakukan pada semua penderita dengan
kadar bilirubin indirek >12 mg/dL dan pada bayi-bayi dengan proses hemolisis yang ditandai
dengan adanya ikterus pada hari pertama kelahiran. Pada penderita yang direncanakan
transfusi tukar, terapi sinar dilakukan pula sebelum dan sesudah transfusi dikerjakan.1
Peralatan yang digunakan dalam terapi sinar terdiri dari beberapa buah lampu neon
yang diletakkan secara pararel dan dipasang dalam kotak yang berfentilasi.Agar bayi
mendapatkan energi cahaya yang optimal (380-470 nm) lampu diletakkan pada jarak tertentu
dan bagian bawah kotak lampu dipasang pleksiglass biru yang berfungsi untuk menahan sinar
ultraviolet yang tidak bermanfaat untuk penyinaran. Gantilah lampu setiap 2000 jam atau
setelah penggunaan 3 bulan walau lampu masih menyala. Gunakan kain pada boks bayi atau
inkubator dan pasang tirai mengelilingi area sekeliling alat tersebut berada untuk
memantulkan kembali sinar sebanyak mungkin ke arah bayi. 1
Pada saat penyinaran diusahakan agar bagian tubuh yang terpapar dapat seluasluasnya, yaitu dengan membuka pakaian bayi.Posisi bayi sebaiknya diubah-ubah setiap 6-8
jam agarbagian tubuh yang terkena cahaya dapat menyeluruh. Kedua mata ditutup namun
gonad tidak perlu ditutup lagi, selama penyinaran kadar bilirubin dan hemoglobin bayi di
pantau secara berkala dan terapi dihentikan apabila kadar bilirubin <10 mg/dL (<171
mol/L). Lamanya penyinaran biasanya tidak melebihi 100 jam.
Penghentian atau peninjauan kembali penyinaran juga dilakukan apabila ditemukan
efek samping terapi sinar. Beberapa efek samping yang perlu diperhatikan antara lain :
enteritis, hipertermia, dehidrasi, kelainan kulit, gangguan minum, letargi dan iritabilitas. Efek
samping ini biasanya bersifat sementara dan kadang-kadang penyinaran dapat diteruskan
sementara keadaan yang menyertainya diperbaiki.1

20

Transfusi Tukar
Transfusi tukar merupakan tindakan utama yang dapat menurunkan dengan cepat
bilirubin indirek dalam tubuh selain itu juga bermanfaat dalam mengganti eritrosit yang telah
terhemolisis dan membuang pula antibodi yang menimbulkan hemolisis.Walaupun transfusi
tukar ini sangat bermanfaat, tetapi efek samping dan komplikasinya yang mungkin timbul
perlu di perhatikan dan karenanya tindakan hanya dilakukan bila ada indikasi. Kriteria
melakukan transfusi tukar selain melihat kadar bilirubin, juga dapat memakai rasio bilirubin
terhadap albumin.1
Tabel 2.3. Rasio bilirubin albumin sebagai penunjang untuk memutuskan untuk transfusi tukar

Katageri Risiko

Rasio B/A saat Transfusi Tukar


Harus
Dipertimbangkan
Bil Tot (mg/dl)
Bil Tot ( mol/L)
Alb, g/dl
/Alb, mol/L
8,0
0,94

Bayi > 38 0/7 mg


Bayi 350/7 mg - -36 6/7 mg dan sehat
atau > 380/7 mg
Jika risiko tinggi atau isoimmune 7,2
hemolytic disease atau defisiensi G6PD
Bayi 350/7 mg jika risiko tinggi atau 6,8
Isoimmune hemolytic disease atau
defisiensi G6PD

0,84
0,80

Dalam melakukan transfusi tukar perlu pula diperhatikan macam darah yang akan
diberikan dan teknik serta penatalaksanaan pemberian. Apabila hiperbilirubinemia yang
terjadi disebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah ABO, darah yang dipakai adalah
darah golongan O rhesus positip. Pada keadaan lain yang tidak berkaitan dengan proses
aloimunisasi, sebaiknya digunakan darah yang bergolongan sama dengan bayi. Bila keadaan
ini tidak memungkinkan, dapat dipakai darah golongan O yang kompatibel dengan serum ibu.
Apabila hal inipun tidak ada, maka dapat dimintakan darah O dengan titer anti A atau anti B
yang rendah. Jumlah darah yang dipakai untuk transfusi tukar berkisar antara 140-180
cc/kgBB.1,2
Macam Transfusi Tukar1:
1.

Double Volume artinya dibutuhkan dua kali volume darah, diharapkan dapat

2.

mengganti kurang lebih 90 % dari sirkulasi darah bayi dan 88 % mengganti Hb bayi.
Iso Volume artinya hanya dibutuhkan sebanyak volume darah bayi, dapat mengganti

3.

65 % Hb bayi.
Partial Exchange artinya memberikan cairan koloid atau kristaloid pada kasus
polisitemia atau darah pada anemia.
21

Dalam melaksanakan transfusi tukar tempat dan peralatan yang diperlukan harus
dipersiapkan dengan teliti. Sebaiknya transfusi dilakukan di ruangan yang aseptik yang
dilengkapi peralatan yang dapat memantau tanda vital bayi disertai dengan alat yang dapat
mengatur suhu lingkungan. Perlu diperhatikan pula kemungkinan terjadinya komplikasi
transfusi

tukar

seperti

hipokalsemia

dan

hipomagnesia,

hipoglikemia,

gangguan

keseimbangan asam basa, gangguan kardivaskular (perforasi pembuluh darah, emboli, infark,
aritmia,

volume

overload,

arrest),

perdarahan

(trombositopenia,

defisiensi

faktor

pembekuan), inferksi, hemolisis, graft-versus host diseasedan lain-lain (hipotermia,


hipertermia dan enterokolitis nekrotikans).1,2
Untuk penatalaksanaan hiperbilirubinemia berat dimana fasilitas sarana dan tenaga
tidak memungkinkan dilakukan terapi sinar atau transfusi tukar, penderita dapat dirujuk ke
pusat rujukan neonatal setelah kondisi bayi stabil (transportable) dengan memperhatikan
syarat-syarat rujukan bayi baru lahir risiko tinggi.1
2.6. Sepsis Neonatorum
Sepsis neonatal masih merupakan masalah yang belum dapat terpecahkan dalam
pelayanan dan perawatan BBL. Di negara berkembang, hampir sebagian besar BBL yang
dirawat mempunyai kaitan dengan masalah sepsis. Angka kejadian/insidens sepsis di negara
berkembang masih cukup tinggi dibanding dengan negara maju. Dalam laporan WHO yang
dikutip Child Health Research Project Special Report: Reducing perinatal and neonatal
mortality (1999) dikemukakan bahwa 42% kematian BBL terjadi karena berbagai bentuk
infeksi seperti infeksi saluran pernafasan, tetanus neonatorum, sepsis dan infeksi
gastrointestinal. Kejadian sepsis meningkat pada BKB dan BBLR. Pada bayi berat lahir amat
rendah (<1000 gram) kejadian sepsis terjadi pada 26 perseribu kelahiran dan keadaan ini
berbeda bermakna dengan bayi berat lahir antara 1000-2000 gram yang angka kejadiannya
antara 8-9 perseribu kelahiran. Demikian pula resiko kematian BBLR penderita sepsis lebih
tinggi bila dibandingkan dengan bayi cukup bulan.3
Walaupun infeksi bakterial berperan penting dalam sepsis neonatal, tetapi infeksi
virus tetap perlu dipertimbangkan. Dari pengumpulan data selama 5 tahun terakhir, Shattuck
(1992) melaporkan bahwa selain infeksi bakteri, infeksi virus khususnya enterovirus berperan
pula sebagai penyebab sepsis/meningitis neonatal.3
Definisi

22

Sepsis pada BBL adalah infeksi aliran darah yang bersifat invasif dan ditandai dengan
ditemukannya bakteri dalam cairan tubuh seperti darah, cairan sumsum tulang atau air
kemih.3
Keadaan ini sering terjadi pada bayi berisiko misalnya pada BKB, BBLR, Bayi
dengan Sindrom Gangguan Nafas atau bayi yang lahir dari ibu berisiko. Infeksi pada BBL
dapat terjadi in utero (antenatal), tersering melalui penyebaran mikroorganisme transplasental
kedalam tubuh janin, infeksi pada waktu persalinan (intranatal) bisa terjadi akibat aspirasi
cairan amnion yang terinfeksi atau dari cairan vagina, tinja, urin ibu. Sedangkan infeksi
setelah lahir dan selama periode neonatal (pascanatal) semuanya disebabkan oleh pengaruh
lingkungan.3
Etiologi
Infeksi neonatal merupakan sindroma klinis dari penyakit sistemik akibat infeksi
selama satu bulan pertama kehidupan. Bakteri, virus, jamur dan protozoa dapat menyebabkan
sepsis bayi baru lahir.3
Pola kuman penyebab sepsis tidak selalu sama antara satu Rumah sakit dengan
Rumah sakit yang lain. Perbedaan tersebut terdapat pula antar suatu negara dengan negara
lain. Hampir sebagian besar kuman penyebab di negara berkembang adalah kuman Gram
negatif berupa kuman enterik seperti Enterobacter sp, Klebsiella sp dan Coli sp. Indonesia
sebagai salah satu negara yang sedang berkembang, pola kuman yang terlihat juga tidak
banyak berbeda dengan kuman di negara berkembang lainnya.3
Klasifikasi
Sepsis neonatal biasanya dibagi dalam dua kelompok yaitu sepsis awitan dini dan
awitan lambat.3
1. Sepsis awitan dini (early onset).
Kelainan ditemukan pada hari-hari pertama kehidupan (umur dibawah 3 hari). Infeksi
terjadi secara vertikal karena penyakit ibu atau infeksi yang diderita ibu selama
persalinan atau kelahiran.
2. Sepsis awitan lambat (late onset).
Disebabkan kuman yang berasal dari lingkungan di sekitar bayi setelah hari ke 3 lahir.
Proses infeksi semacam ini disebut juga infeksi dengan transmisi horizontal dan
termasuk didalamnya infeksi karena kuman nosokomial.
Patofisiologi dan Patogenesis
23

Selama dalam kandungan janin relatif aman terhadap kontaminasi kuman karena
terlindung oleh berbagai organ tubuh seperti plasenta, selaput amnion, khorion dan beberapa
faktor anti infeksi pada cairan amnion. Walaupun demikian kemungkinan kontaminasi dapat
timbul melalui berbagai jalan, yaitu3:
1. Infeksi kuman, parasit atau virus yang diderita ibu dapat mencapai janin melalui aliran
darah menembus barier plasenta dan masuk sirkulasi janin
2. Prosedur obstetri yang kurang memperhatikan faktor aseptik/antiseptik misalnya saat
pengambilan contoh darah janin, bahan vili khorion atau amniosintesis. Paparan kuman
pada cairan amnion saat prosedur dilakukan akan menimbulkan amnionitis dan pada
akhirnya terjadi kontaminasi kuman pada janin.
3. Pada saat ketuban pecah, paparan kuman yang berasal dari vagina akan lebih berperan
dalam infeksi janin. Pada keadaan ini kuman vagina masuk ke dalam rongga uterus dan
bayi dapat terkontaminasi melalui saluran pernapasan ataupun saluran cerna. Kejadian
kontaminasi kuman pada bayi yang belum lahir akan meningkat apabila ketuban pecah
lebih dari 18-24 jam.
Setelah lahir, kontaminasi kuman terjadi dari lingkungan bayi baik karena infeksi
silang ataupun karena alat-alat yang digunakan bayi, bayi yang mendapat prosedur neonatal
invasif seperti kateterisasi umbilikus, bayi dalam ventilator, kurang memperhatikan tindakan
a/anti sepsis, rawat inap yang terlalu lama dan hunian terlalu padat, dan sebagainya.3
Short MA (2004) mengemukakan bahwa patofisiologi dan tingkat beratnya sepsis
tampaknya tidak banyak berbeda antara pasien dewasa dan bayi. Sepsis biasanya akan
dimulai dengan adanya respon sistemik tubuh dengan gambaran proses inflamasi,
koagulopati, gangguan fibrinolisis yang selanjutnya menimbulkan gangguan sirkulasi dan
perfusi yang berakhir dengan gangguan fungsi organ3.
Pada infeksi awitan dini, respon sistemik pada BBL terjadi saat bayi masih didalam
kandungan. Keadaan ini dikenal dengan fetal inflammatory response syndrome (FIRS), yaitu
infeksi janin atau BBL terjadi karena penjalaran infeksi kuman vagina -ascending infectionatau infeksi yang menjalar secara hematogen dari ibu yang menderita infeksi. Dengan
demikian konsep infeksi pada BBL, khusus pada infeksi awitan dini, perjalanan penyakit
bermula dengan FIRS kemudian sepsis, sepsis berat, syok septik/renjatan septik, disfungsi
multiorgan dan akhirnya kematian. Berbeda halnya pada infeksi awitan lambat, respon
sistemik terjadi setelah diluar kandungan akibat infeksi yang berasal dari lingkungan tempat
perawatan pasien.3

24

Manifestasi Klinis dan Diagnosis


Gambaran klinis sepsis BBL sangat bervariasi dan tidak spesifik. Berikut kelompok
temuan yang berhubungan dengan Infeksi Neonatorum3:
Kategori A
1) Kesulitan bernapas (mis. apnea, napas 1) Tremor

Kategori B

kurang dari 40 kali per menit, retraksi 2) Letargi atau lunglai


dinding dada, grunting pada waktu 3) Mengantuk atau aktivitas berkurang
ekspirasi, sianosis sentral)

4) Iritabel atau rewel

2) Kejang

5) Muntah (menyokong ke arah sepsis)

3) Tidak sadar

6) Perut kembung (menyokong ke arah

4) Suhu tubuh

tidak

normal,

(tidak

sepsis)

normal sejak lahir & tidak memberi 7) Tanda-tanda mulai muncul sesudah hari
respon terhadap terapi atau suhu tidak
stabil

sesudah

pengukuran

ke empat (menyokong ke arah sepsis)

suhu 8) Air ketuban bercampur mekonium

normal selama tiga kali atau lebih, 9) Malas


menyokong ke arah sepsis)
5) Persalinan di lingkungan yang kurang

minum

sebelumnya

minum

dengan baik (menyokong ke arah


sepsis)

higienis (menyokong ke arah sepsis)


6) Kondisi memburuk secara cepat dan
dramatis (menyokong ke arah sepsis)
Diagnosis sepsis neonatal sulit karena gambaran klinis pasien yang tidak spesifik.
Kecurigaan besar sepsis, bila3:

Pada bayi umur sampai dengan 3 hari: Bila ada riwayat ibu dengan infeksi
rahim, demam dengan kecurigaan infeksi berat atau ketuban pecah dini atau bayi
mempunyai 2 atau lebih kategori A atau 3 atau lebih kategori B.

Pada bayi umur lebih dari 3 hari: Bila bayi mempunyai dua atau lebih temuan
kategori A atau tiga atau lebih temuan kategori B.

Pemeriksaan Penunjang
Bervariasinya gambaran klinis yang tidak seragam menyebabkan kesulitan dalam
menentukan diagnosis pasti. Untuk hal itu pemeriksaan penunjang baik pemeriksaan
laboratorium ataupun pemeriksaan khusus lainnya sering digunakan dalam membantu
menegakkan diagnosis.3
25

Bila tersedia fasilitas, maka dapat dilakukan pemeriksaan penunjang sebagai berikut:

Pemeriksaan jumlah leukosit dan hitung jenis secara serial untuk menilai perubahan
akibat infeksi. Dapat ditemukan adanya leukositosis atau leukopenia, trombositopenia.

Ditemukan kuman pada pemeriksaan pengecatan gram darah.

Gangguan metabolik: Hipoglikemi atau hiperglikemi, asidosis metabolik.

Peningkatan kadar bilirubin.

Manajemen
Eliminasi kuman merupakan pilihan utama dalam manajemen sepsis neonatal. Pada
kenyataannya menentukan kuman secara pasti tidak mudah dan membutuhkan waktu. Untuk
memperoleh hasil yang optimal pengobatan sepsis harus cepat dilaksanakan. Sehubungan
dengan hal tersebut pemberian antibiotika secara empiris terpaksa diberikan untuk
menghindarkan berlanjutnya perjalanan penyakit.3
Pemberian pengobatan pasien biasanya dengan memberikan antibiotik kombinasi
yang bertujuan untuk memperluas cakupan mikroorganisme patogen yang mungkin diderita
pasien. Diupayakan kombinasi antibiotik tersebut mempunyai sensitifitas yang baik terhadap
kuman Gram positif maupun Gram negatif. Tergantung pola dan resistensi kuman di masingmasing

Rumah

sakit

biasanya

antibiotik

yang

dipilih

adalah

golongan

ampisilin/kloksasilin/vankomisin dan golongan aminoglikosid/sefalosporin.3


Lamanya pengobatan sangat tergantung kepada jenis kuman penyebab. Pada penderita
yang disebabkan oleh kuman Gram positif, pemberian antibiotik dianjurkan selama 10-14
hari, sedangkan penderita dengan kuman Gram negatif pengobatan dapat diteruskan sampai
2-3 minggu.3

26

DAFTAR PUSTAKA
1. Sukadi A. 2012. Hiperbilirubinemia. Dalam : Kosim S, et al, editor. Buku Ajar
Neonatologi. Edisi Pertama. Ikatan Dokter Anak Indonesia : Jakarta.
2. Etika R, et al. 2007. Hiperbilirubinemia Pada Bayi Baru Lahir. Divisi Neonatologi
Bagian Ilmu Kesehatan Anak. Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Rumah
Sakit Umum Dr. Soetomo : Surabaya.
3. Sukadi A. 2012. Sepsis Neonatorum. Dalam : Kosim S, et al, editor. Buku Ajar
Neonatologi. Edisi Pertama. Ikatan Dokter Anak Indonesia : Jakarta.

27

Anda mungkin juga menyukai