Anda di halaman 1dari 8

White academia logo

Log In Sign Up

Membincang Wacana Mukjizat Ilmiah Hadis


Chairul Huda Muhammad
Uploaded by
C. Muhammad
159
Download DOCX

D.

Hadis dan Sains dalam Pandangan Saintis Muslim: Dialog Menuju Penguatan Iman
Bila anda membaca karyakarya tentang kemukjizatan ilmiah Alquran dan hadis, yang
sekarang bahkan menjadi salah satu mata kuliah khusus di beberapa perguruan
tinggi Islam, maka anda akan tercengang bahwa di sana ada banyak buku tafsir
atau hadis baru yang ternyata isinya adalah ensiklopedi penemuan ilmiah. Bedanya,
buku jenis ini berbungkus suasana religius, dimana ujungnya adalah peneguhan
kebenaran ajaran agama. Baik itu atas nama ideologi
kebesaran Tuhan, bukti kemahakuasaan Tuhan, kebenaran ajaran Tuhan,
kebenaran sabda Nabi saw. dan sejenisnya. Buku
-buku tersebut akan membuat anda semakin yakin kepada Tuhan dan tentu saja
menjadi lebih religius. Proyek penafsiran sainsis ala sarjana Muslim ini merupakan
hasil dialog dengan dua tradisi keilmuan. Yaitu sains di satu sisi, dan ilmu-ilmu
keislaman di sisi yang lain. Para sarjana itu bukan saja menyuguhkan penafsiran
sainsis, tapi juga metodologi yang mereka gunakan. Mereka menyusun dengan
saksama metode mereka agar tidak dianggap menyimpang dari koridor (ilmu)
agama dan koridor sains di sisi lain. Di bawah ini kita akan mencoba melihat dan
membaca

narasi yang mereka buat. Shalih Ahmad Ridha misalnya memulai ulasannya dengan
menyatakan hadis atau sunnah sebagai wahyu Allah. Dia mengutip ayat-ayat yang
secara implisit menyebut dua model wahyu. Wahyu Alquran dan selain Alquran.
Wahyu selain Alquran kemungkinan besar adalah sunnah. Hal ini berdasarkan fakta
yang dikutipnya dari banyak hadis Nabi saw. Pada akhir ulasan dia menyatakan
berdasarkan ayat-ayat dan hadis-hadis tersebut di atas, Nabi saw. merupakan orang
yang kata-katanya sangat dapat dipercaya (
amanah tammah
), kata-kata Nabi saw. merupakan wahyu, tidak satu pun kata-katanya yang salah,
menyimpang dari wahyu, selalu berdasarkan wahyu. Kesimpulannya, sunnah adalah
wahyu.
3
Ulasannya dilanjutkan pada tema
tibbun nabawi
(doktrin kesehatan Nabi). Pada bagian ini, dia mengutip pandangan sekelompok
ulama yang membagi sabda Nabi saw. kepada dua kategori; sunnah yang
bersumber dari Tuhan dan sunnah yang bersumber dari diri pribadi Nabi saw. yang
pertama sudah pasti benar. Sedangkan yang kedua masih berkemungkinan salah.
Gagasan pemilahan ini didukung oleh para ulama sekaliber Ali Thanthawi, Afif
Thabarah, Hisan Syamsi Basya, Maurice Buchaile, dan, menurutnya, dipandegani
oleh pemikir sosial klasik kenamaan, Ibnu Khaldun. Menurut Shalih Ahmad Ridha,
pandangan tersebut tidak tepat. Karena hadis atau sunnah merupakan salah satu
bentuk berita (khabar). Sedangkan berita selalu memiliki kemungkinan benar dan
salah. Menurutnya ini tidak benar dan tidak sopan bila digunakan menilai sabdasabda Nabi saw. Bagaimana pun ucapan yang keluar dari mulut Nabi saw. hanya
punya satu kemungkinan, yaitu benar. Dan sama sekali tidak dapat dikatakan
bagian dari ijtihad Nabi saw. Klaim bahwa sebuah hadis merupakan hadis ijtihadi
Nabi saw. hanya dapat dibenarkan jika didukung oleh pernyataan hadis itu sendiri.
Dan semua persoalan yang disinggung dalam hadis, selama tidak ada penjelasan
dari Nabi saw. bahwa hal itu merupakan ijtihad beliau, maka persoalan tersebut
harus dikembalikan kepada kategori sunnah yang bersumber dari wahyu. Cara
pandang ini pada akhirnya ingin mengembalikan posisi strategis sunnah agar tidak
mudah
diklaim persoalan duniawi yang tidak wajib diikuti. Di sisi l
ain, ingin menegaskan bahwa
3
Ali Ahmad Ridha,

alIJaz al
Ilmi fi al
-Sunnah al-Nabawiyyah
, hal. 25-32

sunnah merupakan wahyu, meyakinkan, tidak mungkin salah, selalu benar, dan
pada akhirnya, selalu menyimpan rahasia tertentu. Rahasia itulah yang harus
diungkap oleh umat Islam. Karenanya, pada bagian selanjutnya, Shalih Ahmad
Ridha perlu membahas segi-segi kemukjizatan hadis Nabi saw. Dengan sangat
percaya diri, Shalih Ahmad mengklaim, segi-segi kemukjizatan hadis tidak lain
adalah bentuk-bentuk kemukjizatan yang terdapat dalam Alquran. Hal ini karena
Alquran dan hadis sama-sama bersumber dari Tuhan. Bukan buatan Muhammad
saw. Dan di akhir ulasannya, dia menyudahi dengan tema yang menjadi arah
pembicaraannya, kemukjizatan ilmiah hadis Nabi saw. Bahwa sabda Nabi saw.
mengandung isyarat-isyarat ilmiah yang tidak dapat dipahami oleh orang-orang
pra-modern. Shalih Ahmad tidak memaparkan lebih jauh mengenai konsep
kemukjizatan sunnah-nya. Hal ini menciptakan ruang kosong dalam karyanya yang
berjudul
alIJaz al
Ilmi fi al
-Sunnah al-Nabawiyyah
itu. Namun kita harus mengapresiasi karya setebal seribu lima ratus halaman
tersebut sebagai sumbangan berharga dalam pengkayaan literasi Islam. Karya ini
lebih tebal daripada ensiklopedi mukjizat ilmiah dalam Alquran dan hadis karya
Yusuf al-Hajj Ahmad,

Mausuah al

IJaz al
Ilmi fi al
Quran al
-Karim wa al-Sunnah al-Muthahharah
yang hanya sembilan ratusan halaman. Dan tentu jumlah halaman keduanya lebih
banyak dibanding karya Prof. Zaghlul al-Najjar. Sumbangan berharga bagi
kehidupan rohani Muslim yang menyuguhkan argumen alternatif untuk menguatkan
keimanan. Keberatan yang dapat diajukan, seperti disinggung dalam ulasan tentang
ontologi hadis, cara berfikir Shalih Ahmad Ridha ini tidak memberikan ruang
keraguan sedikit pun pada keragaman hadis. Ataukah dia tidak menyadari
keragaman tersebut. Alih-alih, kepentingannya bukan menemukan apa yang
dikehendaki Nabi saw. dalam sabdanya. Justru, bagaimana potongan pernyataan
beliau dibenarkan berdasar fakta ilmiah. Inilah yang sebenarnya terjadi.
E.

Kode Etik Syarah Sainsis atas Hadis Nabi saw.


Bagian sebelumnya menjelaskan bahwa problem yang dihadapi nalar saintisasi
hadis adalah hilangnya makna historis. Makna yang pernah dikehendaki Nabi saw.
Yang terjadi selanjutnya ialah pengalihan pada isu-isu kesesuaian potongan
pernyataan dengan fakta saintis. Hal ini berangkat dari kenyataan bahwa Shalih
Ahmad Ridha tidak menjelaskan kerangka metodologis pemahaman hadisnya,
posisi hadis dalam bingkai pemahamannya, dan pandangan para ulama klasik yang
membangun pandangannya melalui epistemologi kebahasaan. Sekali lagi, kesan ini
muncul karena Shalih Ahmad Ridha tidak memberikan kriteria khusus mengenai
penafsiran ilmiah atas hadis Nabi saw. Ini berbeda dengan dua tokoh lainnya, Yusuf
al-Hajj dan Zaghlul al-Najjar. Keduanya menjelaskan prinsip-prinsip yang harus
dipegang dalam menafsirkan ayat atau hadis yang dinilai mengandung isyarat
ilmiah. Yusuf al-Hajj yang membatasi pada tafsir ilmi Alquran memaparkan empat
prinsip.
Pertama
, menempatkan Alquran sebagai kitab hidayah, bukan buku ilmiah. Ia adalah kitab
yang memberikan petunjuk kepada umat manusia dengan segala macam

kecenderungannya. Salah satunya adalah kecenderungan terhadap sains. Dari


sinilah relevansi ayat-ayat kauniah diwahyukan.
Kedua
, penafsiran tidak boleh didasarkan kepada teori karena masih dalam taraf

dugaan. Penafsiran hanya dilakukan menggunakan temuan fakta ilmiah.


Ketiga
, tidak berlebihan dalam menafsirkan. Dalam arti, kita tidak perlu memaksakan
menafsirkan ayat bila memang tidak memungkinkan. Atau memaknai ayat dengan
pengertian-pengertian yang tidak dapat dicakup oleh ayat tersebut. Dan
keempat
, Alquran wajib dipahami dalam kerangka kebahasaannya sehingga penafsiran
ilmiah tidak mengabaikan penafsiran klasik yang telah dikembangkan para ulama
terdahulu.
4
Sederhananya, Yusuf al-Hajj masih memandang penting posisi teks, konteks
kemunculan sebuah teks, dan metode penafsiran klasik yang berbasiskan bahasa.
Dalam kerangka yang hampir mirip, dalam konteks pemahaman saintifik atas hadis
Nabi saw., Zaghlul mengembangkan sekitar dua puluh prinsip yang harus
diperhatikan ketika mensyarah hadis melalui pendekatan temuan ilmiah ini. Yang
paling penting dan berkaitan dengan pemahaman hadis adalah delapan poin
sebagai berikut: 1.

Memilih hadis-hadis yang mengandung pesan tentang alam, unsur-unsurnya, dan


fakta-faktanya. 2.

Memeriksa kualitas hadis. 3.

Menghindari hadis-hadis palsu. 4.

Mengumpulkan hadis yang membicarakan tema yang sama. 5.

Memahami teks hadis atau teks-teks hadis sesuai pengertian kebahasaan dalam
bahasa Arab dan kaidah-kaidahnya. 6.

Memahami hadis sesuai kotek dan konteksnya. 7.

Memahaminya sesuai petunjuk Alquran. Tidak menakwilkan hadis untuk


mengukuhkan teori ilmiah yang masih meragukan atau mungkin benar. 8.

Hanya menggunakan fakta-fakta ilmiah yang telah paten.

Di sini Zaghlul memadukan antara saintifikasi hadis dan saintifikasi pemahaman


hadis. Bahwa baik hadis yang dipahami maupun pemahaman yang akan digunakan
memahaminya harus benar-benar valid. Dia mempertimbangkan dua aspek
tersebut sekaligus. Dia juga tidak melupakan pentingnya penggunaan metode
kebahasaan yang dikembangkan oleh ulama klasik. Di sini kita menemukan metode
syarah hadis tematik, utamanya dalam perspektif sains. Karena kaidah semacam
inilah, mungkin, menyebabkan karya Zaghlul lebih ramping. Edisi berbahasa
Inggrisnya hanya berkisar seratus lima puluh halaman.
5

F.

Penutup
Untuk memungkasi artikel ini, saya akan sedikit merangkum ulasan ke dalam poinpoin berikut: 1.

Hadis merupakan ujaran khusus yang dikaitkan dengan diri Nabi saw. Baik yang
mengujarkan adalah Nabi saw. sendiri maupun orang lain. Dalam konteks mukjizat
ilmiah, hadis harusnya dibatasi pada pernyataan-pernyataan Nabi saw.
4

Yusuf al-Hajja Ahmad,


Mausuah al
IJaz al
Ilmi fi al
Quran al
-Karim wa al-Sunnah al-Muthahharah
, hlm. 16
5
Lihat edisi Inggrisnya, Zaghlul El-Naggar,
Treasures in The Sunnah A Scientific Approach
, Kairo: Al-Falah Foundation, 2004.

2.

Sains merupakan produk pemikiran yang dibangun melalui serangkaian mekanisme


tertentu. Utamanya yang didasarkan pada fakta-fakta empirik dan penalaran
sistemik-rasional. 3.

Sains memiliki citra tersendiri di dunia kontemporer. Yang dengan merangkulnya,


dunia akan segera memandang positif. Sains menjadi standar kelayakan hidup di
dunia kontemporer. 4.

Sains digunakan menjustifikasi kebenaran Nabi saw. 5.

Sains difungsikan menguatkan kepercayaan religius. 6.

Terdapat kode etik tertentu dalam melihat hadis dari persepktif sains. Wallahu Alam.
*Penulis merupakan peneliti pada komunitas
El-Bukhari Institute
(eBI), Ciputat, Indonesia
Job Board About Press Blog Stories We're hiring! Help Terms Privacy Copyright Send
us Feedback
Academia 2015

Anda mungkin juga menyukai