Sejarah HomeSchooling
Sejarah munculnya homeschooling sebagai pemicu faktor lahirnya lembaga alternatif yang
pertama. Filosof berdirinya sekolah rumah adalah manusia pada dasarnya makhluk belajar dan
senang belajar; kita tidak perlu ditunjukkan bagaimana cara belajar. Yang membunuh kesenangan
belajar adalah orang-orang yang berusaha menyelak, mengatur, atau mengontrolnya (John
Cadlwell Holt dalam bukunya How Children Fail, 1964). Dipicu oleh filosof tersebut, pada tahun
1960-an terjadilah perbincangan dan perdebatan luas mengenai pendidikan sekolah dan sistem
sekolah. Sebagai guru dan pengamat anak dan pendidikan, Holt mengatakan bahwa kegagalan
akademis pada siswa tidak ditentukan oleh kurangnya usaha pada sistem sekolah, tetapi disebabkan
oleh sistem sekolah itu sendiri.
Pada waktu yang hampir bersamaan, akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an, Ray dan
Dorothy Moore melakukan penelitian mengenai kecenderungan orang tua menyekolahkan anak
lebih awal (early childhood education). Penelitian mereka menunjukkan bahwa masuknya anakanak pada sekolah formal sebelum usia 8-12 tahun bukan hanya tak efektif, tetapi sesungguhnya
juga berakibat buruk bagi anak-anak, khususnya anak-anak laki-laki karena keterlambatan
kedewasaan mereka (Sumardiono, 2007:21).
Setelah pemikirannya tentang kegagalan sistem sekolah mendapat tanggapan luas, Holt
sendiri kemudian menerbitkan karyanya yang lain Instead of Education; Ways to Help People Do
Things Better, (1976). Buku ini pun mendapat sambutan hangat dari para orang tua homeschooling
di berbagai penjuru Amerika Serikat. Pada tahun 1977, Holt menerbitkan majalah untuk pendidikan
di rumah yang diberi nama:Growing Without Schooling.
Serupa dengan Holt, Ray dan Dorothy Moore kemudian menjadi pendukung dan konsultan
penting homeschooling. Setelah itu, homeschooling terus berkembang dengan berbagai alasan.
Selain karena alasan, keyakinan pertumbuhan homeschooling juga banyak dipicu oleh
ketidakpuasan atas sistem pendidikan di sekolah formal.
Di Indonesia
Perkembangan homeschooling di Indonesia belum diketahui secara persis karena belum ada
penelitian khusus tentang akar perkembangannya. Istilah homeschooling merupakan khazanah
relatif baru di Indonesia. Namun, jika dilihat dari konsep homeschooling sebagai pembelajaran yang
tidak berlangsung di sekolah formal alias otodidak, maka sekolah rumah sudah tidak merupakan hal
baru. Banyak tokoh-tokoh sejarah Indonesia yang sudah mempraktikan homeschooling, seperti KH.
Agus Salim, Ki Hajar Dewantara, dan Buya Hamka (Makalah Dr. Seto Mulyadi, 18 Juni 2006).
Dalam pengertian homeschooling ala Amerika Serikat, sekolah rumah di Indonesia sudah
sejak tahun 1990-an. Misalnya, Helen Ongko (44), salah seorang ibu yang mendidik anaknya
dengan bersekolah di rumah, sampai harus ke Singapura dan Malaysia mengikuti seminar tentang
homeschooling. Dia ingin benar-benar mantap, baru mengambil keputusan. Kebetulan waktu itu
kondisi ekonomi sedang krisis sehingga kami banyak di rumah. Eh, ternyata enak ya belajar
bersama di rumah, kata Helen yang mulai mengajar anak di rumah pada tahun 2000 (Kompas,
13/03/2005).
Di Indonesia, baru beberapa lembaga yang menyelenggarakan homeschooling, seperti Moring
Star Academy, dan lembaga pemerintah, yakni Pusat Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM). Moring
Star Academy merupakan lembaga pendidikan Kristen yang berdiri sejak tahun 2002 dengan tujuan
selain memberikan edukasi yang bertaraf internasional, juga membentuk karakter siswanya.
Pusat Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM) merupakan program pemerintah dalam
menyelenggarakan pendidikan jalur informal. Badan penyelenggaraan PKBM sudah ada ratusan di
Indonesia. Setiap program PKBM terbagi atas Program Paket A (setingkat SD), Paket B (setingkat
SMP), dan Paket C (setingkat SMA). PKBM sebenarnya menyelenggarakan proses pendidikan
selama 3 hari di sekolah, selebihnya Tutor mendatangi rumah para murid. Para murid harus
mengikuti ujian guna mendapatkan ijazah atau melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya.
Saat ini, perkembangan homeschooling di Indonesia dipengaruhi oleh akses terhadap
informasi yang semakin terbuka dan membuat para orang tua memiliki semakin banyak pilihan
untuk pendidikan anaknya. Di negeri kita ini, konsep sekolah rumah sudah diterapkan lama oleh
sebagian kecil masyarakat kita. Tenggok saja di pondok-pondok pesantren, para Kiai secara khusus
telah mendidik anak-anaknya sendiri karena merasa lebih megena dan puas bisa mengajarkan ilmu
pada putranya sendiri, daripada sekadar mempercayakan pada orang lain.
Tokoh-tokoh terkenal, seperti KH. Agus Salim, Ki Hajar Dewantara, dan Buya Hamka juga
mengembangkan cara belajar dengan system persekolahan di rumah. Metode ini dijalankan bukan
hanya sekedar agar anak didik lulus ujian kemudian mendapat ijazah, namun agar lebih mencintai
dan punya semangat yang tinggi dalam mengembangkan ilmu yang dipelajari.
Saat
ini
sudah
berapa
banyak
jumlah
homeschooling?
Sekitar 10-20 persen dari seluruh pendidikan alternatif di Indonesia. Jumlahnya di seluruh Indonesia
sekitar seribu sampai 1.500, karena beberapa pesantren dan padepokan pencaksilat pun bisa
dikategorikan sebagai homeschooling. Misalnya Qoriyah Thoyyibah di Gunung Merbabu yang
memenuhi syarat komunitas homeschooling. Kalau di Jakarta ada sekitar 600-an. Homeschooling
tunggal sekitar 100, 500 lainnya homeschooling majemuk dan komunitas. Homeschooling tunggal tak
banyak karena orang tua perlu kemampuan tinggi dalam hal pengetahuan, pendidikan, dan tanggung
jawab. Apalagi, selain orang tua mengajar sendiri, kadang juga harus memanggil tutor. Biayanya besar.
Lulusannya
sudah
berapa
banyak?
Jumlah pastinya tidak diketahui, karena ini mirip fenomena gunung es. Lulusan homeschooling yang
cukup banyak itu terjadi Mei 2006 lalu, terutama dari Morning Star Academy. Jumlahnya sekitar 50-an
orang.
Bagaimana
aturan
perundangan
mengakomodasi
homeschooling?
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No 2/1989 sampai No 20/2003 telah menghargai proses
belajar mandiri. Kalau sekarang menjadi lebih marak, itu karena pebelajar mandiri atau homeschooler
meminta pengakuan pendidikan kesetaraan lewat ujian nasional (UN). Kemudahan juga dilakukan
dengan kebijakan Alih Kredit Kompetensi (AKK). Lewat AKK, homeschooler dihargai kesetaraannya
melalui tes penempatan atau tes pengakuan. Tapi ini hanya berlaku bagi homeschooler yang tidak
punya dokumen. Bagi yang punya dokumen semacam buku raport dan transkrip nilai, proses
pembelajarannya tinggal dikonversi dan langsung berhak ikut ujian kesetaraan.
Bagaimana Depdiknas mengawasi kualitas homeschooling, misalnya soal kurikulum dan
kompetensi
pengajarnya?
Kami sulit mengawasi, karena penyelenggara homeschooling sampai saat ini memang tidak mau
diawasi. Saat mau didata saja, mereka selalu bilang 'kok kayaknya pemerintah mau mengawasi kami?'
Seharusnya mereka tak perlu khawatir, karena tujuan kami bukan mengawasi melainkan membantu.
Misalnya kami ingin menginformasikan standar isi kurikulum, jumlah jam pelajaran yang standar, dan
lain-lain agar langsung bisa dikonversi bila nanti sudah saatnya homeschooler ikut ujian kesetaraan.
Ada lima pelajaran wajib yang tak bisa ditinggalkan oleh homeschooling, yaitu Matematika, Bahasa
Indonesia, IPS, IPA, dan Bahasa Inggris. Yang lain boleh dikembangkan dan sesuaikan sesuai potensi
dan kebutuhan. Selain itu, untuk homeschooling Paket A, peserta didiknya juga harus memiliki
keterampilan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, Paket B memiliki keterampilan memenuhi
kebutuhan dunia kerja, dan Paket C memiliki keterampilan berwirausaha.
Pendataan itu terkait juga dengn rencana penyaluran dana Bantuan Operasional Pendidikan
(BOP)?
Ya. Memang sih banyak homeschooling yang tidak perlu bantuan biaya karena banyak
penyelenggaranya keluarga the have, middle-up. Tapi, beberapa orang tua juga mengaku
menyelenggarakan homeschooling justru karena nggak punya biaya menyekolahkan anaknya ke
sekolah formal. Jadi jangan salah paham seolah-olah kami ingin mengatur. Justru kami ini ingin
melayani untuk memperluas akses pendidikan. Pendidikan itu kan tanggung jawab bersama. Toh
mereka juga kan menghendaki pengakuan dan legitimasi.
Kalau
didata
saja
sulit,
bagaimana
Depdiknas
mengontrol
kualitasnya?
Kami bisa mengontrolnya lewat ujian kesetaraan. Karena yang namanya pendidikan informal dan
nonformal itu memang baru dianggap setara dengan pendidikan formal bila telah melalui proses
penyetaraan lewat ujian kesetaraan yang diselenggarakan lembaga yang ditunjuk pemerintah.
BAB
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Mulyadi
(2008)
Belakang
mengemukakan
sebagai
berikut.
Pendidikan alternatif dengan model sekolah rumah (homeschooling) tidak hanya menumbuhkan
keinginan belajar secara fleksibel pada anak, namun juga mampu menumbuhkan karakter moral
pada anak. Pasalnya, dengan menyerahkan proses belajar sebagai hak anak untuk mendapatkan
pendidikan, akan mendorong anak untuk belajar berdisiplin dan bertanggung jawab, terhadap
segala
kegiatan
belajar
yang
telah
dilakukannya.
Sistem ini terlebih dahulu berkembang di Amerika Serikat dan beberapa negara lainnya di dunia.
Belakang ini banyak orangtua yang tidak puas dengan hasil sekolah formal sehingga menjadikan
homeschooling sebagai alternatif proses belajar mengajar dalam perkembangan dunia pendidikan di
Indonesia. Kerapkali sekolah formal berorientasi pada nilai rapor (kepentingan sekolah), bukannya
mengedepankan keterampilan hidup dan bersosial (nilai-nilai iman dan moral). Selain itu, perhatian
secara
personal
pada
1.2
kurang
diperhatikan.
Rumusan
1.2.1
1.2.2
anak,
Bagaimana
Bagaimana
1.2.3
Masalah
sejarah
singkat
perkembangan
Bagaimana
homeschooling?
homeschooling
proses
di
pembelajaran
Indonesia?
homeschooling?
1.2.4
Apa
kelebihan
homeschooling
1.2.5
Apa
kelemahan
homeschooling
1.
1.3.1
1.3.2
Tujuan
Mengetahui
Mengetahui
1.3.3
sejarah
perkembangan
Mengetahui
1.3.4
singkat
homeschooling.
homeschooling
proses
Mengetahui
Penulisan
di
pembelajaran
Indonesia.
homeschooling.
kelebihan
homeschooling.
II
PEMBAHASAN
2.1
Sejarah
Homeschooling
Dalam bukunya How Children Fail, John Cadlwell Holt (1964) menyatakan manusia pada dasarnya
makhluk belajar dan senang belajar. Kita tidak perlu ditunjukkan bagaimana cara belajar. Yang
membunuh kesenangan belajar adalah orang-orang yang berusaha menyelak, mengatur, atau
mengontrolnya. Dipicu oleh filosofi tersebut, pada tahun 1960-an terjadilah perbincangan dan
perdebatan luas mengenai pendidikan sekolah dan sistem sekolah. Sebagai guru dan pengamat
anak dan pendidikan, Holt mengatakan bahwa kegagalan akademis pada siswa tidak ditentukan
oleh kurangnya usaha pada sistem sekolah, tetapi disebabkan oleh sistem sekolah itu sendiri.
Pada waktu yang hampir bersamaan, akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an, Ray dan
Dorothy Moor melakukan penelitian mengenai kecenderungan orang tua menyekolahkan anak lebih
awal (early childhood education). Penelitian mereka menunjukkan bahwa memasukkan anak-anak
pada sekolah formal sebelum usia 8-12 tahun bukan hanya tidak efektif, tetapi berakibat buruk bagi
anak-anak,
khususnya
anak-anak
laki-laki
karena
keterlambatan
kedewasaan
mereka.
Setelah pemikirannya tentang kegagalan sistem sekolah mendapat tanggapan luas, Holt sendiri
kemudian menerbitkan karyanya yang lain Instead of Education; Ways to Help People Do Things
Better, (1976). Buku ini pun mendapat sambutan hangat dari para orangtua homeschooling di
berbagai penjuru Amerika Serikat. Pada tahun 1977, Holt menerbitkan majalah untuk pendidikan di
rumah
yang
diberi
nama
Growing
Without
Schooling.
Serupa dengan Holt, Ray dan Dorothy Moore kemudian menjadi pendukung dan konsultan penting
homeschooling. Setelah itu, homeschooling terus berkembang dengan berbagai alasan. Selain
karena
alasan
keyakinan
ketidakpuasan
(beliefs),
atas
2.2
pertumbuhan
sistem
Perkembangan
homeschooling
pendidikan
juga
di
Homeschooling
banyak
dipicu
sekolah
oleh
formal.
di
Indonesia
Perkembangan homeschooling di Indonesia belum diketahui secara persis karena belum ada
penelitian khusus tetang akar perkembangannya. Istilah homeschooling merupakan khazanah
relatif baru di Indonesia. Namun menurut Seto Mulyadi ( 2006) jika dilihat dari konsep
homeschooling sebagai pembelajaran yang tidak berlangsung di sekolah formal alias otodidak,
maka sekolah rumah sudah tidak merupakan hal baru. Banyak tokoh-tokoh sejarah Indonesia yang
sudah mempraktekkan homeschooling seperti KH. Agus Salim, Ki Hajar Dewantara, dan Buya
Hamka.
Di Indonesia baru beberapa lembaga yang menyelenggarakan homeschoooling, seperti Morning
Star Academy dan lembaga pemerintah berupa Pusat Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM). Morning
Star Academy, lembaga pendidikan Kristen ini berdiri sejak tahun 2002. Selain bertujuan
memberikan
Pusat
edukasi
Kegiatan
yang
Belajar
bertaraf
internasional,
Masyarakat
(PKBM)
juga
membentuk
merupakan
program
karakter
siswanya.
pemerintah
yang
menyelenggarakan pendidikan jalur informal. Badan penyelenggara PKBM sudah ada ratusan di
Indonesia. Di Jakarta Selatan terdapat sekitar 25 lembaga penyelenggara PKBM dengan jumlah
siswa lebih kurang 100 orang. Setiap program PKBM terbagi atas Program Paket A (untuk setingkat
SD), B (setingkat SMP), dan Paket C (setingkat SMA). PKBM sebenarnya menyelenggarakan proses
pendidikan selama 3 hari di sekolah, selebihnya, tutor mendatangi rumah murid. Murid harus
mengikuti ujian untuk mendapatkan ijazah atau melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya.
Perbedaan Ijazah dengan sekolah umum adalah PKBM langsung mengeluarkannya dari pusat.
Saat ini perkembangan homeschooling di Indonesia dipengaruhi oleh akses terhadap informasi yang
semakin terbuka sehingga orang tua semakin memiliki banyak pilihan untuk pendidikan anakanaknya.
2.3
Proses
Pembelajaran
Homeschooling
dengan
potensi
diri
mereka
masing-masing
(Daryono,
2008).
Secara etimologis, homeschooling adalah sekolah yang diadakan di rumah. Meski disebut
homeschoooling, tidak berarti anak terus menerus belajar di rumah, tetapi anak-anak bisa belajar di
mana saja dan kapan saja asal situasi dan kondisinya benar-benar nyaman dan menyenangkan
seperti
layaknya
berada
dirumah.
Homeschooling lebih mengacu pada kompetensi praktis hubungan antara ketertarikan dan hobbi
individu. Serta fleksibilitas metode belajar mengajar tidak terbelenggu oleh dimensi ruang dan
waktu secara formal dan dapat menjamin tingkat kompetensi terealisir dengan baik. Dalam
homeschooling guru hanya sebagai pembimbing dan mengarahkan minat siswa pada mata
pelajaran yang diminati. Dalam hal ini siswalah yang menjadi subjek kurikulum bukan menjadi
objek. Jam belajar lebih lentur karena mulai dari bangun tidur sampai berangkat tidur kembali.
Pemerintah sementara ini hanya mendukung sebatas legalitas formal melalui UU SisDikNas yang
menggolongkannya sebagai bagian dari pendidikan informal (keluarga). Homeschooling termasuk
model pendidikan yang digunakan sebagai alternatif institusi sekolah yang menempatkan anak
sebagai subjek dengan pendekatan pendidikan di rumah dan berada di bawah naungan Direktorat
Pendidikan Kesetaraan, Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah Depdiknas RI. Bagi peserta
didik homeschooling bisa memiliki sertifikat ijazah dengan mengikuti Ujian Nasional Pendidikan
Kesetaraan (UNPK) paket A (kesetaraan SD), paket B (SMP) dan paket C (SMA) sesuai dengan
tingkat
kemampuan
pendidikannya
Ada
beberapa
klasifikasi
1.
format
homeschooling,
yaitu:
Homeschooling
tunggal
Homeschooling tunggal dilaksanakan oleh orangtua dalam satu keluarga tanpa bergabung dengan
keluarga
lainnya
karena
hal
2.
tertentu
atau
lokasi
yang
berjauhan.
Homeschooling
majemuk
Homeschooling majemuk dilaksanakan oleh dua atau lebih keluarga untuk kegiatan tertentu
sementara kegiatan pokok tetap dilaksanakan oleh orangtua masing-masing. Alasannya: terdapat
kebutuhan-kebutuhan yang dapat dikompromikan oleh beberapa keluarga untuk melakukan
kegiatan bersama. Contohnya kurikulum dari Konsorsium, kegiatan olahraga (misalnya keluarga
atlit
tennis),
keahlian
musik/seni,
3.
Komunitas
kegiatan
sosial
dan
kegiatan
Komunitas
homeschooling
merupakan
agama
homeschooling
gabungan
beberapa
homeschooling
majemuk
yang
menyusun dan menentukan silabus, bahan ajar, kegiatan pokok (olah raga, musik/seni dan
bahasa), sarana/prasarana dan jadwal pembelajaran. Komitmen penyelenggaraan pembelajaran
antara
orang
tua
dan
komunitasnya
kurang
lebih
50:50.
Metode
Homeschooling
Charlotte
Mason
Dalam metode Charlotte Mason, anak membaca buku kemudian menceritakannya kembali dengan
bahasanya
sendiri.
Hal
1.
ini
memastikan
bahwa
mereka
Metode
mengerti
apa
yag
dibacanya.
Homeschool
Klasik
Metode ini terdiri atas konsep grammar, logic dan rhetoric atau dapat juga diartikan pengetahuan,
pengertian
dan
kebijakan.
Tahapan grammar (sampai usia 12) adalah saat anak menerima dan mengumpulkan informasi dan
pengetahuan. Anak belajar menerima fakta walaupun belum memahaminya namun sejalan dengan
bertambahnya
usia,
mereka
mulai
mencerna
fakta
tersebut.
Tahapan logic (usia 13 15) adalah saat pemahaman anak mulai matang. Mereka mulai mengerti
sebab
akibat
dan
pengetahuan
tentang
logika.
Tahapan rhetoric (usia 16 18) adalah saat anak bisa menggunakan pengetahuan dan logika untuk
berkomunikasi, menerapkan pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari dan berdiskusi serta
berdebat
tentang
Komunitas
homeschooling
kebijakan.
Setiap mata pelajaran mempunyai 3 tahapan tersebut. Peserta didik menerima fakta, belajar
mengerti,
dan
diuji
dalam
pemahaman
mereka.
2.
Eclectic
Metode ini melakukan hal-hal yang disukai dari berbagai kurikulum yang ada dengan menggunakan
sumber-sumber informasi dari internet, perpustakaan atau menciptakan kurikulum sendiri.
3.
Metode
Homeschooling
Montessori
Maria Montessori menyatakan bahwa anak mempunyai kemampuan untuk belajar. Orang dewasa
hanya perlu mengatur lingkungan anak agak mendukung proses anak belajar. Orang dewasa tidak
perlu mengatur anak, tetapi cukup dengan membantu anak belajar dari lingkungannya dalam
situasi
natural
maupun
kelompok
yang
tidak
dibatasi
4.
oleh
umur.
Unschooling
Anak belajar materi yang mereka sukai. Unschooling sangat tidak terstruktur tapi sering cocok
untuk
sebagian
anak,
5.
terutama
Unit
anak
kecil.
studies
Semua mata pelajaran terpadu menjadi satu tema. Sebagai contoh dari sebuah buku anak dapat
belajar sejarah, seni, ilmu pengetahuan alam, matematika, semua melalui buku tersebut.
6.
7.
Belajar
Metode
jarak
homeschooling
jauh
Waldorf
Konsep pengajaran Waldorf bertumpu pada anak secara keseluruhan (the whole child) yang
meliputi kepala, hati dan tangan. Metode ini menekankan dongeng (storytelling) and seni (art).
Metode
ini
tidak
berusaha
untuk
menanamkan
materi
intelektual
kepada
anak,
tetapi
membangkitkan kemampuan anak untuk mencari pengetahuan dan menikmati proses belajar.
2.4
Kelebihan
Homeschooling
sebagai
berikut.
Sistem ini menyediakan pendidikan moral atau keagamaan, lingkungan sosial dan suasana belajar
yang lebih baik, menyediakan waktu belajar yang lebih fleksibel. Juga memberikan kehangatan dan
proteksi dalam pembelajaran terutama bagi anak yang sakit atau cacat, menghindari penyakit
sosial yang dianggap orang tua dapat terjadi di sekolah seperti tawuran, kenakalan remaja, narkoba
dan pelecehan. Selain itu sistem ini juga memberikan keterampilan khusus yang menuntut
pembelajaran dalam waktu yang lama seperti pertanian, seni, olahraga, dan sejenisnya,
memberikan pembelajaran langsung yang kontekstual, tematik, dan nonskolastik yang tidak
tersekat-sekat oleh batasan ilmu.
2.5
Kelemahan
Homeschooling
Di sisi lain, homeschooling mempunyai kelemahan-kelemahan yang dapat disebutkan berikut ini
membutuhkan komitmen dan tanggung jawab tinggi dari orang tua; dinamika bersosialisasi dengan
teman sebaya relatif rendah; ada resiko kurangnya kemampuan bekerja dalam tim (team work),
organisasi dan kepemimpinan; proteksi berlebihan dari orang tua. Hal ini dapat menyebabkan
kurangnya interaksi dengan teman sebaya dari berbagai status sosial yang dapat memberikan
pengalaman
berharga
untuk
belajar
hidup
di
masyarakat.
Faktor tingginya biaya homeschooling juga menjadi salah satu kekurangan, karena dipastikan biaya
yang dikeluarkan untuk memberikan pendidikan homeschooling lebih besar dibanding jika kita
mengikuti pendidikan formal di sekolah umum.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Homeschooling muncul atas filososi John Cadlwell Holt dalam bukunya How Children Fail (1964)
karena alasan ketidakpuasan atas sistem pendidikan di sekolah formal yang kemudian didukung
Ray dan Dorothy Moor dengan melakukan penelitian yang menunjukkan bahwa memasukkan anakanak
pada
sekolah
formal
sebelum
usia
8-12
tahun
tidak
efektif.
Belum ada penelitian khusus tentang akar perkembangan homeschooling di Indonesia. Saat ini
perkembangannya dipengaruhi oleh akses terhadap informasi yang semakin terbuka sehingga orang
tua
semakin
memiliki
banyak
pilihan
untuk
pendidikan
anak-anaknya.
Proses pembelajaran homeschooling menggunakan metode belajar mengajar tidak terbelenggu oleh
dimensi ruang dan waktu secara formal. Guru hanya sebagai pembimbing dan mengarahkan minat
siswa pada mata pelajaran yang diminati. Dalam hal ini siswalah yang menjadi subjek kurikulum
bukan
menjadi
objek.
Kelebihan homeschooling adalah menyediakan pendidikan moral atau keagamaan, lingkungan sosial
dan suasana belajar yang lebih baik serta menyediakan waktu belajar yang lebih fleksibel. Juga
memberikan kehangatan dan proteksi dalam pembelajaran terutama bagi anak yang sakit atau
cacat, menghindari penyakit sosial yang dianggap orang tua dapat terjadi di sekolah seperti
tawuran, kenakalan remaja, narkoba dan pelecehan. Selain itu sistem ini memberikan keterampilan
khusus
yang
menuntut
pembelajaran
dalam
waktu
yang
lama.
Kelemahan homeschooling antara lain membtuhkan komitmen dan tanggung jawab tinggi dari
orang tua; dinamika bersosialisasi dengan teman sebaya relatif rendah; ada resiko kurangnya
kemampuan bekerja dalam tim (team work), organisasi dan kepemimpinan dan proteksi berlebihan
dari
orang
3.2
tua.
Saran
Pembelajaran sekolah rumah sebaiknya menyesuaikan dengan standar kompetensi yang telah
ditentukan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Ini agar sejalan dengan pertumbuhan dan
kemampuan anak dan dapat diikutkan dalam evaluasi dan ujian yang diselenggarakan secara
nasional.
Perlu adanya dukungan yang lebih luas dari pemerintah yang sementara ini hanya mendukung
sebatas legalitas formal melalui UU SisDikNas yang menggolongkannya sebagai bagian dari
pendidikan informal (keluarga)
HOMESCHOOLING:
SEBUAH PENDIDIKAN ALTERNATIF
Oleh Pormadi Simbolon, SS
Pengantar
Setiap orang tua menghendaki anak-anaknya mendapat pendidikan bermutu, nilai-nilai iman dan moral yang tertanam
baik, dan suasana belajar anak yang menyenangkan. Kerapkali hal-hal tersebut tidak ditemukan para orangtua di
sekolah umum. Oleh karena itu muncullah ide orangtua untuk menyekolahkan anak-anaknya di rumah. Dalam
perkembangannya, berdirilah lembaga sekolah yang disebut sekolah-rumah (homeschooling) atau dikenal juga dengan
istilah sekolah mandiri, atau home educationatau home based learning.
Latar Belakang
Banyaknya orangtua yang tidak puas dengan hasil sekolah formal mendorong orangtua mendidik anaknya di rumah.
Kerapkali sekolah formal berorientasi pada nilai rapor (kepentingan sekolah), bukannya mengedepankan keterampilan
hidup dan bersosial (nilai-nilai iman dan moral). Di sekolah, banyak murid mengejar nilai rapor dengan mencontek atau
membeli ijazah palsu. Selain itu, perhatian secara personal pada anak, kurang diperhatikan. Ditambah lagi, identitas
anak distigmatisasi dan ditentukan oleh teman-temannya yang lebih pintar, lebih unggul atau lebih cerdas. Keadaan
demikian menambah suasana sekolah menjadi tidak menyenangkan.
Ketidakpuasan tersebut semakin memicu orangtua memilih mendidik anak-anaknya di rumah, dengan resiko
menyediakan banyak waktu dan tenaga. Homeschooling menjadi tempat harapan orang tua untuk meningkatkan mutu
pendidikan anak-anak, mengembangkan nilai-nilai iman/ agama dan moral serta mendapatkan suasana belajar yang
menyenangkan.
Homeschooling
Istilah Homeschooling sendiri berasal dari bahasa Inggris berarti sekolah rumah. Homeschooling berakar dan bertumbuh
di Amerika Serikat. Homeschooling dikenal juga dengan sebutan home education, home based learning atau sekolah
mandiri. Pengertian umum homeschooling adalah model pendidikan dimana sebuah keluarga memilih untuk
bertanggung jawab sendiri atas pendidikan anaknya dengan menggunakan rumah sebagai basis pendidikannya.
Memilih untuk bertanggungjawab berarti orangtua terlibat langsung menentukan proses penyelenggaraan pendidikan,
penentuan arah dan tujuan pendidikan, nilai-nilai yang hendak dikembangkan, kecerdasan dan keterampilan, kurikulum
dan materi, serta metode dan praktek belajar (bdk. Sumardiono, 2007:4).
Peran dan komitmen total orangtua sangat dituntut. Selain pemilihan materi dan standar pendidikan sekolah rumah,
mereka juga harus melaksanakan ujian bagi anak-anaknya untuk mendapatkan sertifikat, dengan tujuan agar dapat
melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya. Banyak orang tua Indonesia yang mempraktekkan homeschooling
mengambil materi pelajaran, bahan ujian dan sertifikat sekolah rumah dari Amerika Serikat. Sertifikat dari negeri paman
Sam itu diakui di Indonesia (Departemen Pendidikan Nasional) sebagai lulusan sekolah Luar Negeri (Kompas,
13/3/2005).
Departemen Pendidikan Nasional menyebut sekolah-rumah dalam pengertian pendidikan homeschooling. Jalur sekolahrumah ini dikategorikan sebagai jalur pendidikan informal yaitu jalur pendidikan keluarga dan lingkungan (pasal 1
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Sisidiknas No. 20/2003). Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan
oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Meskipun pemerintah tidak mengatur standar
isi dan proses pelayanan pendidikan informal, namun hasil pendidikan informal diakui sama dengan pendidikan formal
(sekolah umum) dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan (pasal 27
ayat 2).
Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Juga dijelaskan sistem pendidikan nasional adalah
keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional (pasal
1).
Berdasarkan definisi pendidikan dan sistem pendidikan nasional tersebut, sekolah rumah menjadi bagian dari usaha
pencapaian fungsi dan tujuan pendidikan nasional yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Sejarah Singkat
Filosofi berdirinya sekolah rumah adalah manusia pada dasarnya makhluk belajar dan senang belajar; kita tidak
perlu ditunjukkan bagaimana cara belajar. Yang membunuh kesenangan belajar adalah orang-orang yang berusaha
menyelak, mengatur, atau mengontrolnya (John Cadlwell Holt dalam bukunya How Children Fail, 1964). Dipicu oleh
filosofi tersebut, pada tahun 1960-an terjadilah perbincangan dan perdebatan luas mengenai pendidikan sekolah dan
sistem sekolah. Sebagai guru dan pengamat anak dan pendidikan, Holt mengatakan bahwa kegagalan akademis pada
siswa tidak ditentukan oleh kurangnya usaha pada sistem sekolah, tetapi disebabkan oleh sistem sekolah itu sendiri.
Pada waktu yang hampir bersamaan, akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an, Ray dan Dorothy Moor melakukan
penelitian mengenai kecenderungan orang tua menyekolahkan anak lebih awal (early childhood education). Penelitian
mereka menunjukkan bahwa memasukkan anak-anak pada sekolah formal sebelum usia 8-12 tahun bukan hanya tak
efektif, tetapi sesungguhnya juga berakibat buruk bagi anak-anak, khususnya anak-anak laki-laki karena keterlambatan
kedewasaan mereka (Sumardiono, 2007: 21).
Setelah pemikirannya tentang kegagalan sistem sekolah mendapat tanggapan luas, Holt sendiri kemudian menerbitkan
karyanya yang lain Instead of Education; Ways to Help People Do Things Better, (1976). Buku ini pun mendapat
sambutan hangat dari para orangtua homeschooling di berbagai penjuru Amerika Serikat. Pada tahun 1977, Holt
menerbitkan majalah untuk pendidikan di rumah yang diberi nama: Growing Without Schooling.
Serupa dengan Holt, Ray dan Dorothy Moore kemudian menjadi pendukung dan konsultan penting homeschooling.
Setelah itu, homeschooling terus berkembang dengan berbagai alasan. Selain karena alasan keyakinan (beliefs) ,
pertumbuhan homeschooling juga banyak dipicu oleh ketidakpuasan atas sistem pendidikan di sekolah formal.
Di Indonesia
Perkembangan homeschooling di Indonesia belum diketahui secara persis karena belum ada penelitian khusus
tetang akar perkembangannya. Istilah homeschooling merupakan khazanah relatif baru di Indonesia. Namun jika dilihat
dari konsep homeschooling sebagai pembelajaran yang tidak berlangsung di sekolah formal alias otodidak, maka
sekolah rumah sudah tidak merupakan hal baru. Banyak tokoh-tokoh sejarah Indonesia yang sudah mempraktekkan
homeschooling seperti KH. Agus Salim, Ki Hajar Dewantara, dan Buya Hamka (Makalah Dr. Seto Mulyadi, 18 Juni
2006).
Dalam pengertian homeschooling ala Amerika Serikat, sekolah rumah di Indonesia sudah sejak tahun 1990-an. Misalnya
Wanti, seorang ibu yang tidak puas dengan sistem pendidikan formal. Melihat risiko yang menurut Wanti sangat mahal
harganya, dia banting setir. Tahun 1992 Wanti mengeluarkan semua anaknya dari sekolah dan memutuskan mengajar
sendiri anak-anaknya di rumah. Ia mempersiapkan diri selama 2 tahun sebelum menyekolahkan anaknya di rumah.
Semua kurikulum dan bahan ajar diimpor dari Amerika Serikat.Wanti sadar keputusannya mengandung konsekuensi
berat. Dia harus mau capek belajar lagi, karena bersekolah di rumah berarti bukan anaknya saja yang belajar, tetapi
justru orangtua yang harus banyak belajar.
Demikian juga Helen Ongko (44), salah seorang ibu yang mendidik anaknya dengan bersekolah di rumah, sampai harus
ke Singapura dan Malaysia mengikuti seminar tentang hal ini. Dia ingin benar-benar mantap, baru mengambil
keputusan. Kebetulan waktu itu kondisi ekonomi sedang krisis sehingga kami banyak di rumah. Eh, ternyata enak ya
belajar bersama di rumah, kata Helen yang mulai mengajar anak di rumah tahun 2000 (Kompas, 13/3/2005).
Di Indonesia baru beberapa lembaga yang menyelenggarakan homeschoooling, seperti Morning Star Academy dan
lembaga pemerintah berupa Pusat Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM).
Morning Star Academy, Lembaga pendidikan Kristen ini berdiri sejak tahun 2002 dengan tujuan selain memberikan
edukasi yang bertaraf internasional, juga membentuk karakter siswanya.
Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) merupakan program pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan jalur
informal. Badan penyelenggara PKBM sudah ada ratusan di Indonesia. Di Jakarta Selatan aja, ada sekitar 25 lembaga
penyelenggara PKBM dengan jumlah siswa lebih kurang 100 orang. Setiap program PKBM terbagi atas Program Paket
A (untuk setingkat SD), B (setingkat SMP), dan Paket C (setingkat SMA). PKBM sebenarnya menyelenggarakan proses
pendidikan selama 3 hari di sekolah, selebihnya, tutor mendatangi rumah para murid. Para murid harus mengikuti ujian
guna mendapatkan ijazah atau melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya. Perbedaan Ijazah dengan sekolah umum,
PKBM langsung mengeluarkannya dari pusat.
Saat ini, perkembangan homeschooling di Indonesia dipengaruhi oleh akses terhadap informasi yang semakin terbuka
dan membuat para orang tua memiliki semakin banyak pilihan untuk pendidikan anak-anaknya.
Faktor-Faktor Pemicu dan Pendukung Homechooling
Baik di Amerika Serikat maupun di Indonesia, kegagalan sekolah formal dalam menghasilkan mutu pendidikan yang
lebih baik menjadi pemicu bagi keluarga-keluarga di Indonesia maupun di mancanegara untuk menyelenggarakan
homeschooling. Sekolah rumah ini dinilai dapat menghasilkan didikan bermutu.
Salah satu teori pendidikan yang berpengaruh dalam perkembangan homeschooling adalah Teori Inteligensi Ganda
(Multiple Intelligences) dalam buku Frames of Minds: The Theory of Multiple Intelligences (1983) yang digagas oleh
Howard Gardner. Gardner menggagas teori inteligensi ganda. Pada awalnya, dia menemukan distingsi 7 jenis inteligensi
(kecerdasan) manusia. Kemudian, pada tahun 1999, ia menambahkan 2 jenis inteligensi baru sehingga menjadi 9 jenis
inteligensi manusia. Jenis-jenis inteligensi tersebut adalah:Inteligensi linguistik; Inteligensi matematis-logis; Inteligensi
ruang-visual; Inteligensi kinestetik-badani; Inteligensi musikal; Inteligensi interpersonal; Inteligensi intrapersonal;
Inteligensi ligkungan; dan Inteligensi eksistensial.
Teori Gardner ini memicu para orang tua untuk mengembangkan potensi-potensi inteligensi yang dimiliki anak. Kerapkali
sekolah formal tidak mampu mengembangkan inteligensi anak, sebab sistem sekolah formal sering kali malahan
memasung inteligensi anak.
(Buku acuan yang dapat digunakan mengenai teori inteligensi ganda ini dalam bahasa Indonesia ini, Teori Inteligensi
Ganda, oleh Paul Suparno, Kanisius: 2003).
Banyaknya tokoh-tokoh penting dunia yang bisa berhasil dalam hidupnya tanpa menjalani sekolah formal juga
memicu munculnya homeschooling. Sebut saja, Benyamin Franklin, Thomas Alfa Edison, KH. Agus Salim, Ki Hajar
Dewantara dan tokoh-tokoh lainnya.
Benyamin Franklin misalnya, ia berhasil menjadi seorang negarawan, ilmuwan, penemu, pemimpin sipil dan
pelayan publik bukan karena belajar di sekolah formal. Franklin hanya menjalani dua tahun mengikuti sekolah karena
orang tua tak mampu membayar biaya pendidikan. Selebihnya, ia belajar tentang hidup dan berbagai hal dari waktu ke
waktu di rumah dan tempat lainnya yang bisa ia jadikan sebagai tempat belajar.
Dewasa ini, perkembangan homeschooling ikut dipicu oleh fasilitas yang berkembang di dunia nyata. Fasilitas
itu antara lain fasilitas pendidikan (perpustakaan, museum, lembaga penelitian), fasilitas umum (taman, stasiun, jalan
raya), fasilitas sosial (taman, panti asuhan, rumah sakit), fasilitas bisnis (mall, pameran, restoran, pabrik, sawah,
perkebunan), dan fasilitas teknologi dan informasi (internet dan audivisual).
Penutup
Homeschooling merupakan sebuah pilihan dan khazanah alternatif pendidikan bagi orang tua dalam meningkatkan mutu
pendidikan, mengembangkan nilai iman (agama), dan menginginkan suasana belajar yang lebih menyenangkan. Di sisi
lain, ada sekolah umum yang memberikan bahan ajar dan kurikulum secara terpusat dan seragam, sesuai dengan
harapan dan kebutuhan anak. Baik homeschooling maupun sekolah umum (pendidikan formal) sama-sama mempunyai
kelebihan dan kekurangan dalam menghantarkan peserta didik mencapai tujuan pendidikan. Soal pilihan atas keduanya,
semua diserahkan pada orangtua dan keluarga sesuai dengan kondisi keluarga.
Penulis adalah pemerhati pendidikan anak, tinggal di Jakarta.