Laporan Kasus RSUD Kota Mataram
Laporan Kasus RSUD Kota Mataram
OLEH :
LANIRA ZARIMA N.
H1A 008 038
PEMBIMBING :
umur 6 bulan sampai 5 tahun, berhubungan dengan demam tetapi tidak terbukti adanya
infeksi intrakranial, gangguan elektrolit, atau metabolik. Anak yang pernah kejang tanpa
demam dan bayi berumur kurang dari 4 minggu (< 1 bulan) tidak termasuk kejang demam.
Derajat tingginya demam yang dianggap cukup untuk diagnosis kejang demam adalah 38oC
atau lebih, walaupun suhu sebenarnya pada waktu kejang sering tidak diketahui. Kejang
demam terjadi pada 2-4% anak berumur antara 6 bulan sampai 5 tahun. Anak laki-laki
umumnya lebih sering menderita kejang demam dibandingkan anak perempuan dengan
perbandingan berkisar antara 1.4 : 1 dan 1.2 : 1 (Purwanti & Maliya, 2008; UKK Neurologi
IDAI, 2006).
Dalam praktek sehari-hari orang tua sering cemas bila anaknya mengalami kejang,
karena setiap kejang kemungkinan dapat menimbulkan epilepsi dan trauma pada otak.
Hingga kini belum diketahui secara pasti, tetapi dikaitkan faktor risiko yang penting adalah
demam. Demam sering disebabkan oleh infeksi saluran pernapasan atas, otitis media,
pneumonia, gastroenteritis, dan infeksi saluran kemih. Faktor risiko lainnya adalah riwayat
keluarga kejang demam, problem pada masa neonatus, serta kadar natrium yang rendah.
Setelah kejang demam pertama, kira-kira 33% anak akan mengalami satu kali rekurensi atau
lebih, dan kira-kira 9% akan mengalami 3 kali rekurensi atau lebih (Purwanti & Maliya,
2008).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
.1. DEFINISI
Kejang demam atau febrile convulsion ialah bangkitan kejang yang terjadi pada
kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38C) yang disebabkan oleh proses ekstrakranium.
Menurut Consensus Statement on Febrile Seizures, kejang demam adalah bangkitan kejang
pada bayi dan anak, biasanya terjadi antara umur 6 bulan dan 5 tahun, berhubungan dengan
demam tetapi tidak terbukti adanya infeksi intrakranial atau penyebab lain (Deliana, 2002).
Menurut The International League Against Epilepsy (ILAE), kejang demam adalah
kejang yang terkait dengan demam (suhu rektal lebih dari 38C), dimana tidak ditemukan
kaitan dengan infeksi CNS atau ketidakseimbangan elektrolit yang akut pada anak usia > 1
bulan tanpa ada riwayat kejang di luar demam sebelumnya (ILAE, 1993).
Bila anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang yang
didahului oleh demam, pikirkan kemungkinan lain misalnya infeksi SSP atau epilepsi yang
kebetulan terjadi bersama demam (UKK Neurologi IDAI, 2006).
.2. EPIDEMIOLOGI
Kejang demam merupakan kelainan neurologis yang paling sering dijumpai pada anak,
terutama pada anak umur 6 bulan sampai 5 tahun. Hampir 3% dari anak yang berumur
dibawah 5 tahun pernah menderita kejang demam. Insiden kejang demam 2,2-5% pada anak
di bawah usia 5 tahun. Anak laki-laki lebih sering dari pada perempuan dengan perbandingan
1.21.6 : 1. Saing B (1999), menemukan 62,2%, kemungkinan kejang demam berulang pada
90 anak yang mengalami kejang demam sebelum usia 12 tahun, dan 45% pada 100 anak yang
mengalami kejang setelah usia 12 tahun. Kejang demam kompleks dan khususnya kejang
demam fokal merupakan prediksi untuk terjadinya epilepsi. Sebagian besar peneliti
melaporkan angka kejadian epilepsi di kemudian hari sekitar 2-5% (Deliana, 2002).
.3. FAKTOR RISIKO
Menurut Hassan & Alatas, dkk (2007), dengan penanggulangan yang tepat dan cepat,
prognosis pada kejang demam baik atau tidak perlu menyebabkan kematian. Risiko yang
dihadapi oleh seorang anak sesudah menderita kejang demam tergantung dari faktor :
1. Riwayat kejang tanpa demam dalam keluarga
2. Kelainan dalam perkembangan atau kelainan saraf sebelum anak menderita kejang
demam.
3
3. Kejang yang berlangung lama atau kejang fokal (Hassan & Alatas, 2007).
Faktor risiko berulangnya kejang pada kejang demam adalah :
1.
2.
3.
4.
5.
1.
2.
3.
4.
.4. ETIOPATOFISIOLOGI
Penyebab kejang demam belum diketahui secara pasti. Namun, kejang demam muncul
pada demam yang disebabkan oleh infeksi ekstrakranial seperti infeksi saluran pernapasan
atas, radang telinga tengah, infeksi saluran cerna, dan infeksi saluran kemih (Purwanti &
Maliya, 2008).
Kejang tidak selalu timbul pada suhu yang tinggi (hiperpireksia), terkadang demam
yang tidak terlalu tinggi dapat menyebabkan kejang. Hal ini diduga terkait dengan berbagai
faktor risiko yang mungkin ada pada anak, yang menyebabkan rendahnya batas ambang
pencetusan kejang sehingga kejang lebih mudah dibangkitkan. Hal ini mungkin terkait
dengan faktor herediter, dimana diketahui bahwa terdapat faktor genetik yang menyebabkan
kejang demam. Pada anak dengan kejang demam, 41,2% memiliki riwayat keluarga dengan
kejang demam. Sedangkan pada anak normal hanya 3% yang memiliki riwayat keluarga
dengan kejang demam. Diketahui bahwa kejang demam diturunkan secara herediter dominan
(Purwanti & Maliya, 2008).
Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam adalah lipoid dan
permukaan luar adalah ionic. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui
dengan mudah oleh ion kalium (K +) dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium (Na+) dan
elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya, konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi
dan konsentrasi Na+ rendah, sedangkan di luar sel terdapat keadaan sebaliknya). Karena
perbedaan jenis dan konsentrasi di dalam dan di luar sel, maka disebut potensial membrane.
Untuk menjaga keseimbangan potensial membrane diperlukan energi dan bantuan enzim NaK-ATPase yang terdapat pada permukaan sel (Hassan & Alatas, 2007).
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme
basal 10-15% dan kebutuhan oksigen meningkat 20%. Kenaikan suhu tubuh tertentu dapat
mempengaruhi keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi
difusi dari ion kalium dan natrium dari membran tadi, dengan akibat lepasnya muatan listrik.
Lepasnya muatan listrik ini demikan besar sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun
membran sel tetangganya dengan bantuan neurotransmitter dan terjadilah kejang (Hassan &
Alatas, 2007).
Tiap anak memiliki ambang kejang yang berbeda. Pada anak yang ambang kejangnya
rendah, kejang telah terjadi pada suhu 38C, sedangkan pada anak dengan ambang kejang
tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 40C atau lebih. Kejang demam yang berlangsung
singkat tidak berbahaya dan tidak menimbulkan gejala sisa. Tetapi pada kejang yang
berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai apnea, meningkatnya kebutuhan
oksigen dan energi kontraksi otot skelet yang akhirnya menyebabkan hipoksemia,
hiperkapnea, asidosis lactate, dan hipotensi. Kerusakan pada daerah mesial lobus temporalis
setelah kejang berlangsung lama yang dapat menjadi matang di kemudian hari, sehingga
terjadi serangan epilepsi spontan. Jadi kejang demam yang berlangsung lama dapat
menyebabkan kelainan anatomis di otak sehingga terjadi epilepsi (Hassan & Alatas, 2007).
Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung
singkat dengan sifat bangkitan dapat berbentuk tonik-klonik, tonik, klonik, fokal atau
akinetik. Umumnya kejang berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti, anak tidak memberi
reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit anak akan terbangun
dan sadar kembali tanpa adanya kelainan saraf (Purwanti & Maliya, 2008).
.5. KLASIFIKASI DAN MANIFESTASI KLINIS
Penggolongan kejang demam menurut kriteria National Collaborative Perinatal
Project adalah kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks. Kejang demam
sederhana adalah kejang demam yang berlangsung singkat (< 15 menit), berbentuk umum
5
tonik dan atau klonik, dan kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam. Kejang demam
sederhana merupakan 80% di antara seluruh kejang demam pada anak. Kejang demam
kompleks adalah kejang demam yang berlangsung lebih lama dari 15 menit, baik bersifat
fokal maupun parsial, dan berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam (UKK Neurologi
IDAI, 2006).
Source : Fetveit A. Assessment of Febrile Seizure in Children. Eur J. Pediatri (2008) 167 : 17-27.
Umumnya kejang demam pada anak berlangsung pada permulaan demam akut, berupa
serangan kejang klonik umum atau tonik klonik, singkat dan tidak ada tanda-tanda neurologi
post-iktal. Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang
berulang lebih dari 2 kali dan di antara bangkitan kejang anak tidak sadar. Kejang lama
terjadi pada 8% kejang demam. Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi atau kejang
umum yang didahului kejang parsial. Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam
1 hari, di antara 2 bangkitan kejang anak sadar. Kejang berulang terjadi pada 16% di antara
anak-anak yang mengalami kejang demam (Deliana, 2002; UKK Neurologi IDAI, 2006).
.6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium
6
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam, tetapi
dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam, atau keadaan
lain seperti gastroenteritis dehidrasi yang disertai demam. Pemeriksaan laboratorium
yang dapat dikerjakan, misalnya darah perifer, elektrolit, dan gula darah.
2. Pemeriksaan Pungsi Lumbal
Pemeriksaan pungsi lumbal diindikasikan pada saat pertama kali timbul kejang demam
untuk menyingkirkan adanya proses infeksi intrakranial, perdarahan subaraknoid atau
gangguan demielinisasi.
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan
kemungkinan meningitis. Risiko terjadinya meningitis bakterialis adalah 0,6-6,7%. Bila
yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu dilakukan pungsi lumbal. Namun, pada
bayi kecil seringkali sulit untuk menegakkan atau menyingkirkan diagnosis meningitis
karena manifestasi klinisnya tidak jelas. Oleh karena itu pungsi lumbal pada :
a) Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan dilakukan, bahkan diwajibkan.
b) Bayi antara 12-18 bulan dianjurkan
c) Bayi lebih dari 18 bulan tidak rutin dilakukan
3. Pemeriksaan Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG pada kejang demam dapat memperlihatkan gelombang lambat di
daerah belakang yang bilateral, sering asimetris, kadang-kadang unilateral. Pemeriksaan
EEG tidak dapat memprediksi berulangnya kejang atau memperkirakan kemungkinan
kejadian epilepsi pada pasien kejang demam. Pemeriksaan EEG dilakukan pada kejang
demam kompleks pada anak usia > 6 tahun, kejang demam fokal, atau anak yang
mempunyai risiko untuk terjadinya epilepsi.
4. Pencitraan
Foto X-ray kepala dan pencitraan seperti CT-scan atau MRI jarang sekali dikerjakan
dan tidak rutin dilakukan, kecuali atas indikasi seperti kelainan neurologis fokal yang
menetap (hemiparesis), paresis nervus VI, papiledema (UKK Neurologi IDAI, 2006).
.7. PENATALAKSANAAN
Tujuan pengobatan kejang demam pada anak adalah untuk :
2 cara profilaksis, yaitu profilaksis intermittent pada waktu demam dan profilaksis terus
menerus dengan antikonvulsan (Deliana, 2002).
a) Profilaksis Intermittent Pada Waktu Demam
Pengobatan profilaksis intermittent dengan antipiretik dan antikonvulsan segera
diberikan pada waktu pasien demam (suhu rektal lebih dari 38C). Pilihan
antipiretik Paracetamol dengan dosis 10-15 mg/kgBB/kali diberikan 4 kali sehari
atau Ibuprofen 5-10 mg/kgBB/kali diberikan 3-4 kali sehari.
Diazepam diberikan melalui oral atau rektal. Pemakaian diazepam oral dengan
dosis 0,3 mg/kgBB tiap 8 jam pada saat demam menurunkan risiko berulangnya
kejang pada 30-60% kasus. Dosis per rektal tiap 8 jam pada suhu > 38,5oC adalah
0,5 mg/kgBB/kali pemberian. Efek samping diazepam adalah ataksia, iritabel,
sedasi, dan hipotoni yang cukup berat pada 25-39% kasus (Deliana, 2002; UKK
Neurologi IDAI, 2006).
b) Profilaksis Terus Menerus dengan Antikonvulsan Rumatan
Indikasi pemberian profilaksis terus menerus pada saat ini adalah :
Sebelum atau sesudah kejang demam yang pertama sudah ada kelainan atau
gangguan perkembangan neurologis, seperti hemiparesis, cerebral palsy,
retardasi mental, hidrosefalus.
Terdapat riwayat kejang tanpa demam yang bersifat genetik pada orang tua
atau saudara kandung.
Kejang demam lebih lama dari 15 menit, fokal atau diikuti kelainan
neurologis sementara atau menetap.
Kejang demam terjadi pada bayi berumur kurang dari 12 bulan atau terjadi
kejang berulang 2 kali dalam satu episode demam, dan kejang demam > 4
kali per tahun (UKK Neurologi IDAI, 2006).
Antikonvulsan profilaksis terus menerus diberikan selama 1-2 tahun setelah
kejang terakhir, kemudian dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan.
Pemberian profilaksis terus menerus hanya berguna untuk mencegah berulangnya
kejang demam berat, tetapi tidak dapat mencegah timbulnya epilepsi di kemudian
hari. Pemberian fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam
menurunkan risiko berulangnya kejang (UKK Neurologi IDAI, 2006).
Pemberian fenobarbital 3-4 mg/kgBB/hari dibagi dalam 1-2 dosis dengan kadar
sebesar 16 mg/mL dalam darah menunjukkan hasil yang bermakna untuk
mencegah berulangnya kejang demam. Efek samping fenobarbital ialah iritabel,
9
hiperaktif, pemarah dan agresif ditemukan pada 30-50% kasus. Fenobarbital juga
dapat menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan belajar pada 40-50% kasus.
Efek samping fenobarbital dapat dikurangi dengan menurunkan dosis. Obat lain
yang dapat digunakan adalah asam valproat yang memiliki khasiat sama dengan
fenobarbital. Dosis asam valproat adalah 15-40 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2-3
dosis. Efek samping yang ditemukan adalah hepatotoksik, tremor dan alopesia
(Deliana, 2002; UKK Neurologi IDAI, 2006).
10
BAB III
LAPORAN KASUS
Tanggal Masuk RSUD Mataram
No. RM
Diagnosis Masuk
Tanggal Pemeriksaan
:
:
:
:
05 November 2012
055973
Kejang Demam Kompleks
05 November 2012
IDENTITAS
Identitas Pasien
Nama Lengkap
Jenis Kelamin
Umur
Agama
Alamat
:
:
:
:
:
By. A
Perempuan
6,5 bulan
Islam
Labuapi, Lombok Barat.
Identitas Keluarga
Identitas
Ibu
Ayah
Nama
Ny. S
Tn. M
Umur
19 tahun
34 tahun
Pendidikan
SMP
SMA
Pekerjaan
IRT
Wiraswasta
HETEROANAMNESIS
Keluhan Utama : Kejang
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD RSUD Kota Mataram dibawa oleh orang tuanya dengan keluhan
kejang sebanyak 1 kali selama + 10 menit di rumah. Pasien juga mengalami kejang lagi
sebanyak 1 kali saat berada di IGD RSUD Kota Mataram selama + 2 menit. Kejang
terjadi saat pasien tidur dalam posisi terlentang, badan serta tangan dan kaki kaku, mata
melirik ke atas, namun dari mulut tidak keluar busa. Saat kejang, pasien dalam keadaan
demam, namun orang tua pasien tidak mengukur suhu tubuh anaknya saat itu. Demam
telah dirasakan sejak 2 hari SMRS, terus menerus, dan suhu tubuh pasien tidak turun
walaupun telah diberikan Paracetamol. Setelah mengalami kejang, pasien tetap sadar,
walaupun tampak lemah.
Pasien juga mengalami batuk pilek sejak 2 hari SMRS serta muntah sebanyak + 8 kali,
berwarna putih susu. Pasien juga mencret dengan BAB cair sebanyak + 4 kali, berwarna
kuning, air >> ampas, tanpa disertai lendir maupun darah. BAK (+) lancar berwarna
11
kuning jernih. Ibu pasien juga mengatakan anaknya tampak sesak, tetapi tidak rewel dan
nafsu makannya baik.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat penyakit/keluhan serupa sebelumnya disangkal. Riwayat trauma kepala juga
tidak pernah dialami oleh pasien.
Riwayat Penyakit Keluarga :
Riwayat keluarga dengan keluhan serupa disangkal.
Riwayat epilepsi (-), riwayat asma (-), riwayat alergi (-), riwayat TB (-).
Riwayat Pengobatan :
Saat pasien mengalami demam, pasien dibawa ke Puskesmas dan diberikan Paracetamol
syrup, namun suhu tubuhnya tidak juga turun. Karena pasien masih demam dan
mengalami kejang, orang tua pasien segera melarikan anaknya ke RSUD Kota Mataram.
Riwayat Kehamilan dan Persalinan :
Selama hamil, ibu pasien rutin memeriksakan kehamilannya di Posyandu (> 4 kali selama
kehamilan). Ibu pasien mengaku selama hamil dirinya tidak pernah mengalami mual
muntah yang berlebihan, tekanan darah tinggi, kejang, asma, kencing manis, perdarahan,
demam yang lama, ataupun trauma. Ibu pasien juga rutin mengkonsumsi tablet penambah
darah dan vitamin selama kehamilan.
Pasien lahir di Puskemas melalui persalinan normal dan ditolong oleh bidan. Pasien lahir
pada usia kehamilan cukup bulan dengan berat badan lahir 3000 gram dan langsung
menangis. Riwayat kejang, biru, atau kuning setelah lahir disangkal.
Riwayat Nutrisi :
Pasien mendapatkan ASI eksklusif dari usia 0-3 bulan, sedangkan sejak usia 3-6 bulan
pasien mendapatkan ASI dan susu formula, karena ibu mengaku ASI-nya hanya keluar
sedikit. Sejak usia 6 bulan hingga kini, pasien telah mendapat makanan tambahan (MPASI) berupa bubur beras.
Riwayat Imunisasi (Vaksinasi) :
Imunisasi
Dasar
Ulangan
BCG
(+) 1x
Usia 1 bulan
(-)
Hepatitis B
(+) 4x
Usia 1, 4, 6 bulan
Polio
(+) 4x
Usia 1 bulan
Usia 2, 4, 6 bulan
DPT
(+) 3x
Usia 2 bulan
Usia 4, 6 bulan
12
Campak
Belum dilakukan
Motorik Halus
Bicara
meraih benda.
belum
Sosial
dapat Pasien sudah bisa
menyebut kata-kata.
tersenyum spontan.
Pasien sudah bisa duduk Pasien sudah bisa Pasien mampu menoleh Pasien mampu utk
tegak tanpa pegangan.
mengganggam dgn ke arah suara.
Pasien bisa tidur miringjari dan ibu jari.
miring dan tengkurap
sendiri.
PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan umum : sedang
Kesadaran
: waspada
Tanda Vital
Frekuensi nadi
: 128 x/menit
Frekuensi napas
: 48 x/menit
Suhu
: 38,3oC
CRT
: < 2 detik
Status Gizi
BB
: 7500 gram
PB
: 63 cm
Z-score (Grafik WHO)
BB/PB
BB/U
PB/U
= +2 SD ~ -2 SD
= +2 SD ~ -2 SD
= +2 SD ~ -2 SD
= gizi baik
= normal
= normal
Bentuk
Mata
Telinga
Hidung
Mulut
Thoraks
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
:
:
:
:
Abdomen :
Inspeksi
: distensi (-), jejas (-), scar/luka bekas operasi (-)
Auskultasi
: bising usus (+) normal
Palpasi : nyeri tekan (-), H/L/R tak teraba, turgor kulit normal
Perkusi
: timpani, meteorismus (-)
Ekstremitas
Pemeriksaan
Ekstremitas Atas
Ekstremitas Bawah
Dextra
Sinistra
Dextra
Sinistra
Akral hangat
Edema
Nyeri tekan
Pucat
Refleks Fisiologis
Refleks Patologis
Kekuatan Otot
+
5
+
5
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah Lengkap
HGB
HCT
RBC
WBC
PLT
:
:
:
:
:
10,3 g/dl
30,6 %
4,45 x 106/L
11,1 x 103/L
524 x 103/L
MCV
MCH
MCHC
: 68,8 fl
: 23,1 pg
: 33,7 g/dl
GDS
: 133 mg%
14
RESUME
Pasien datang ke IGD RSUD Kota Mataram dibawa oleh orang tuanya
dengan keluhan kejang sebanyak 1 kali selama + 10 menit di rumah. Pasien juga
mengalami kejang lagi sebanyak 1 kali saat berada di IGD RSUD Kota Mataram
selama + 2 menit. Kejang terjadi saat pasien tidur dalam posisi terlentang, badan serta
tangan dan kaki kaku, mata melirik ke atas, namun dari mulut tidak keluar busa. Saat
kejang, pasien dalam keadaan demam, namun orang tua pasien tidak mengukur suhu
tubuh anaknya saat itu. Demam telah dirasakan sejak 2 hari SMRS, terus menerus,
dan suhu tubuh pasien tidak turun walaupun telah diberikan Paracetamol. Setelah
mengalami kejang, pasien tetap sadar, walaupun tampak lemah. Pasien juga
mengalami batuk pilek sejak 2 hari SMRS serta muntah sebanyak + 8 kali, berwarna
putih susu. Pasien juga mencret dengan BAB cair sebanyak + 4 kali, berwarna
kuning, air >> ampas, tanpa disertai lendir maupun darah. BAK (+) lancar berwarna
kuning jernih. Ibu pasien juga mengatakan anaknya tampak sesak, tetapi tidak rewel
dan nafsu makannya baik.
DIAGNOSIS
Kejang Demam Kompleks
Bronkiolitis Akut
RENCANA TERAPI
15
16
FOLLOW-UP
Subjective
Objective
Assessment
KU : baik
Kesadaran
mentis
Nadi : 102 x/menit
RR
: 36 x/menit
Suhu : 36,4oC
menyusu.
Pla
-IVFD D5 NS 32 t
-Inj. Ampicillin 4 x 2
-Inj. Diazepam 2 mg
Stesolid 5 mg su
kejang.
-Inj. Deksametason 3
-Nebulisasi Ventolin
(+/+), rh
(-/-), wh (+/+).
Abd : distensi (-), BU (+)
normal, meteorismus (-),
turgor kulit N.
Ext : akral hangat (+/+),
edema (-/-), pucat (-/-),
CRT < 2 detik.
KU : baik
Kesadaran
mentis
Nadi : 96 x/menit
RR
: 32 x/menit
Suhu : 36,2oC
BPL :
-IVFD D5 NS 32
infus).
-Inj. Ampicillin 4 x
stop.
-Inj. Deksametason
stop.
-Stesolid 5 mg sup
kejang.
-PO/ Ambroxol 3 x
- PO/ Luminal 2 x 20
- PO/ Sanmol cth I k/
- PO/ Cefadroxil 2 x
17
(+/+), rh
(-/-), wh (-/-).
Abd : distensi (-), BU (+)
normal, meteorismus (-),
turgor kulit N.
Ext : akral hangat (+/+),
edema (-/-), pucat (-/-),
CRT < 2 detik.
18
BAB IV
PEMBAHASAN
Kejang demam atau febrile convulsion ialah bangkitan kejang yang terjadi
pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38C) yang disebabkan oleh proses
ekstrakranium. Penggolongan kejang demam menurut kriteria National Collaborative
Perinatal Project adalah kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks. Kejang
demam sederhana adalah kejang demam yang berlangsung singkat (< 15 menit), berbentuk
umum tonik dan atau klonik, dan kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam, setelah terjadi
kejang tidak didapatkan adanya defisit neurologis, serta kejang demam terjadi pada anak usia
6 bulan sampai 5 tahun. Pasien pada laporan kasus ini didiagnosis mengalami kejang demam
kompleks karena terdapat 1 kriteria diagnosis yang tidak terpenuhi untuk kejang demam
sederhana, yaitu kejang terjadi sebanyak 2 kali dalam 24 jam.
Kejang demam biasanya muncul pada demam yang disebabkan oleh infeksi
ekstrakranial seperti infeksi saluran pernapasan atas, radang telinga tengah, infeksi saluran
cerna, dan infeksi saluran kemih. Pada pasien ini didapatkan bahwa kejang demam terkait
dengan adanya infeksi pada saluran napas, yaitu bronkiolitis akut.
Penting untuk melakukan edukasi pada orang tua. Bila anaknya mengalami
kejang demam, edukasi yang harus diberikan adalah penjelasan yang meyakinkan bahwa
kejang demam jika berlangsung < 15 menit pada umumnya tidak berbahaya, memberikan
informasi kemungkinan kejang kembali, menerangkan cara penanganan kejang di rumah,
DAFTAR PUSTAKA
No. 2, September 2002, p. 59-62. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK-USU, RSUP H.
Adam Malik : Medan. Accessed on 07 November 2012.
Fetveit A. 2008. Assessment of Febrile Seizure in Children. Eur J. Pediatri, Vol. 167,
Ilmu Keperawatan, Vol. 1, No. 1, Juni 2008, p. 97-100. Jurusan Keperawatan, FIKUMS : Surakarta. Accessed on 07 November 2012.
Pusponegoro HD, Widodo DW, Ismael S, editor. 2006. Konsensus Penatalaksanaan