Memang, kebudayaan bisa dimaknai dengan setiap perilaku manusia. Begitu juga,
perilaku seseorang hasil serapan dari budaya lain juga bisa disebut sebagai
budaya. Akan tetapi, jika kebudayaan yang baru tersebut justru lebih rendah
nilainya daripada yang digantikan, haruskah kebudayaan yang demikian tetap
dipertahankan?
Konsepsi tentang baik buruknya kebudayaan memang sangat personal. Meski
demikian, sebagai manusia dengan akal dan nurani meruang dalam diri, tentunya
kita bisa melakukan pemilahan; mana emas mana kuningan, memegang erat
kebudayaan luhur bangsa ini sebagai pijakan pembangunan, atau beriskap yang
menghancurkan kebudayaan dan bangsa.
Kearifan budaya kita merupakan harta tak terbilang. Pasalnya, seluruh pentas
diam-diam (dari kebudayaan), tambah Putu Wijaya (1999), tetapi yang tak
terhingga durasinya itu, adalah sebuah peristiwa spiritual. Sebuah potensi
pewarisan yang pada titik-titik kulminasinya akan tercatat sebagai bab-bab
penting di dalam sejarah.
Semua hal yang dilandasi dengan spiritualitas tidak akan pernah punah, selalu
mengabadi, dan bermuara pada kemaslahatan. Oleh karena itu, kebudayaan harus
dijaga dan dilestarikan. Sebab, ia tercipta dari pergumulan batin dan ransuman
spiritualitas, yang karenanya akan terus mengada, dan menjadi tonggak kemajuan
bangsa kehidupan, termasuk bagi bangsa Indonesia. Momentum tahun baru harus
kita jadikan alas dan titik tolak membangun dan memajukan Indonesia.
____________________
*Asef Umar Fakhruddin, dosen dan peneliti di Pusat Studi Sosial dan Rekayasa
(PUSAR) IKIP Veteran Semarang