Anda di halaman 1dari 2

NAMA

: RINI NURAENI
KELAS

: TPJJ (T. SIPIL)

NIM

: 101134024

Penggunaan Bahasa Asing di Ruang Publik


RUU Bahasa dan Kebahasaan yang terdiri dari 10 bab dan 22 pasal. Disebutkan dalam
RUU yang dibuat oleh Pusat Bahasa Depdiknas ini, pasal-pasal tentang penggunaan bahasa.
Termasuk sanksi hukuman penjara dan denda yang akan diterima pihak pengusaha atau
perusahaan jika tetap menggunakan bahasa asing untuk ruang publik. Beberapa pasal yang
menarik mengenai penggunaan bahasa mulai pasal 9. Dalam ayat 2 menyebutkan: Pidato
kenegaraan, termasuk naskah pidato, baik yang disampaikan di dalam negeri maupun di luar
negeri, harus menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Pasal 11 menyebutkan:
Media massa, baik cetak maupun elektronik wajib menggunakan bahasa Indonesia. Demikian
juga film, sinetron, dan produk multimedia dari negara lain harus dialihbahasakan ke dalam
bahasa Indonesia dalam bentuk sulih suara atau terjemahan. Aturan yang menarik juga terdapat
dalam pasal 12. Di pasal ini disebutkan: Merek dagang, iklan, nama perusahaan, nama
bangunan/gedung, dan petunjuk penggunaan barang harus menggunakan bahasa Indonesia.
Nah, jika semua pasal di RUU ini lolos dan diundangkan, maka siap-siap saja para pengusaha
untuk segera mengubah berbagai produknya. Demikian juga penyajian film di televisi, wajib
dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia. Jika melanggar, penjara atau denda.
Menyikapi tentang RUU Bahasa dan Kebahasaan, banyak sekali yang menentang keras
UU ini disahkan sebagai RUU Bahasa dan Kebahsaan. Menurut, kalangan linguis Jos Daniel
Parera mantan dosen IKIP Jakarta, RUU Bahasa dan Kebahasaan ini bisa merusak atau
membunuh inovasi dan kreasi masyarakat dalam bahasa dan berbahasa. Berbahasa adalah
fenomena alam. Oleh karena itu, tidak ada seorangpun yang berhak mengatur bahasa dan orang
berbahsa.
Sementara itu menurut Aril Heryanto, menytakan jika RUU Bahasa didorong oleh
keprihatinan atas jumlah dan cara penggunaan istilah bahasa inggris yang serampanga, RUU

Bahasa dan Kebahasaan bisa diterima atas wujud nasionalis. Tapi jika itu sebagai pengekangan
untuk bebahasa, RUU Bahasa dan Kebahasaan bisa banyak pendapat untuk tidak disahkan.
Perlu diingatkan juga untuk kalangan anak-anak remaja yang mulai kurang rasa
nasionalisnya terhadap berbahasa, karena sejarah telah mencatat bahasa Indonesia adalah bahasa
nasionalis sejak 79 tahun yang silam. Kecintaan dan kebanggaan terhadap bahasa Nasional perlu
dibangkitkan dan dihidupkan dari generasi kegenerasi. Meskipun demikian tidak lantas kita
menghalangi seseorang untuk bebas berekspresi sesuai dengan kultur mereka.
Jadi RUU Bahasa agaknya akan lebih bermakna jika digunakan untuk mengatur hal-hal
yang lebih khusus, seperti berbahasa di lingkungan formal, berbahasa di ligkungan elit atu di
ruang-ruang tertentu. Dan sebelum RUU Bahasa dan Kebahasaan disahkan harus dikaji lebih
cermat. Jika perlu, lakukan uji publik ang melibkat bebrbagai komponen, agar kelak UU Bahasa
akan menjadi milik kita.

Referensi

http://m.detik.com

(Disajikan oleh H. Hasan Kasyim, S.H. Asisten II Setda Provinsi Jambi pada Kongres
Bahasa 2008 di Hotel Bidakara Jakarta)

Anda mungkin juga menyukai