Anda di halaman 1dari 4

RINGKASAN PERMOHONAN

Perkara Nomor 68/PUU-XII/2014


Syarat Sahnya Perkawinan (Agama)
I.

PEMOHON
1. Damian Agata Yuvens, sebagai Pemohon I;
2. Rangga sujud Widigda, sebagai Pemohon II;
3. Varida Megawati Simarmata, sebagai Pemohon III;
4. Anbar Jayadi, sebagai Pemohon IV;
5. Luthfi Saputra, sebagai Pemohon V.

II.

OBJEK PERMOHONAN
Pengujian Materil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
terhadap UUD 1945.

III.

KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI


Pemohon menjelaskan, bahwa ketentuan yang mengatur kewenangan Mahkamah
Konstitusi untuk menguji Undang-Undang adalah:
1. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji
undang-undang

terhadap

Undang-Undang

Dasar,

memutus

sengketa

kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UndangUndang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan
tentang hasil pemilihan umum.
2. Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: (a) menguji undangundang (UU) terhadap UUD RI Tahun 1945.
3. Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, menyatakan Mahkamah Kosntitusi berwenang mengadili
pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
a. menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar..

4. Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan


Peraturan Perundang-Undangan, yang mengatur mengenai hierarki peraturan
perundang-undangan di Indonesia.
5. Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka Mahkamah Konstitusi
berwenang untuk memeriksa dan mengadili permohonan para Pemohon.
IV.

KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON


Pemohon adalah perseorangan warga negara Indonesia yang merasa
berpotensi dirugikan hak-hak konstitusionalnya atas Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

V.

NORMA-NORMA YANG DIAJUKAN UNTUK DIUJI


A. NORMA MATERIIL
Norma yang diujikan, yaitu:
-

Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974


Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu..

B. NORMA UNDANG-UNDANG DASAR 1945


Norma yang dijadikan sebagai dasar pengujian, yaitu:
Pasal 27 ayat (1) UUD 1945
Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya.
Pasal 28B ayat (1) UUD 1945
Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui
perkawinan yang sah.
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945
1. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,
memilih

pendidikan

dan

pengajaran,

memilih

pekerjaan,

memilih

kewarganegaraan,

memilih tempat tinggal di wilayah negara dan

meninggalkannya, serta berhak kembali.


2. Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan
pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
Pasal 28I ayat (1) UUD 1945
Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir danMbatinSMbertempatMtinggalSM
Dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan.
Pasal 29 ayat (2) UUD 1945
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu.
VI. ALASAN-ALASAN PEMOHON UNDANG-UNDANG A QUO BERTENTANGAN
DENGAN UUD 1945
1. Pemaksaan yang dilakuan oleh Negara agar tiap warga negara melangsungkan
perkawinan sesuai dengan agamanya dan kepercayaannya melalui Pasal 2 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 merupakan pelanggaran terhadap hak
atas kebebasan beragama yang diakui melalui Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2),
Pasal 28I ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945;
2. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 telah membatasi hak untuk
melangsungkan perkawinan sehingga bertentangan degnan ketentuan Pasal 28B
ayat (1) UUD 1945;
3. Norma dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 membuka
ruang penafsiran yang amat luas dan menimbulkan pertentangan antar norma
sehingga tidak dapat menjamin terpenuhinya hak atas kepastian hukum yang adil
sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
4. Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 bertentangan dengan
ketentuan dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 mengenai
hak atas persamaan di hadapan hukum karena menyebabkan negara melalui
aparaturnya memperlakukan warga negaranya secara berbeda;
5. Pembatasan yang ditentukan melalui Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1
tahun 1974 tidak sesuai dengan konsep pembatasan terhadap hak dan kebebasan
yang ditentukan dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945;

6. Keberlakuan

Pasal 2

ayat (1)

Undang-Undang Nomor

Tahun 1974

menyebabkan terjadinya berbagai macam penyelundupan hukum dalam bidang


hukum perkawinan dan merupakan norma yang tidak memenuhi standar sebagai
peraturan perundang-undangan;
7. Keberadaan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 justru
bertentangan dengan tujuannya sendiri, yaitu agar tiap perkawinan didasari pada
hukum agamanya

masing-masing,

selain itu

ketentuan a

quo

tersebut

menyebabkan permasalahan dalam hubungan suami-istri dan orang tua-anak.


VII. PETITUM
1. Menerima dan mengabulkan uji materiil terhadap ketentuan Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang diajukan oleh
para Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28B ayat (1), Pasal
28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28I ayat (1), dan Pasal 29
ayat (2) UUD 1945;
3. Menyatakan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
4. Memerintahkan pemuatan isi putusan ini dalam Berita Negara sebagaimana
mestinya. .
Apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain mohon putusan yang seadiladilnya (ex aequo et bono).

Anda mungkin juga menyukai