Anda di halaman 1dari 10

LOKAKARYA NASIONAL

PENGELOLAAN KAWASAN JABOPUNCUR


UNTUK PEMBERDAYAAN SUMBER DAYA AIR
30-31 Maret

KAJIAN

2004

ASPEK HIDROLOGI, TATA GUNA LAHAN

DAN KONSERVASI SUMBER DAYA AIR

DI KAWASAN

BOPUNCUR

Oleh :
Dr. Ir. ARWIN , MS
Departemen Teknik Lingkungan

INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA


JAKARTA
2004

ABSTRAK

Fenomena alih fungsi lahan hutan dan pertanian menjadi tegalan dan kawasan
permukiman, industri dan wisata (kawasan terbangun) dalam satu dekade terakhir di kawasan
Bopuncur berlangsung relatif cepat. Hal ini dapat mengganggu fungsi utama Bopuncur sebagai
kawasan pemasok sumber air dan pengendali ancaman banjir bagi kawasan Hilir yaitu
kawasan andalan Jabopuncur
Dampak alih fungsi lahan akan menyebabkan distribusi komponen Siklus Hidrologi berubah
antara Komponen Limpasan air permukaan dan dan Komponen Infiltrasi air ke dalam dalam
tanah, yang merupakan bagian utama pemasok ketersediaan sumber air tanah dan aliran
dasar menuju sungai. Dengan hukum kekekalan massa dampak perubahan komponen Siklus
Hidrologi tesebut terhadap ketersediaan sumber air terutama sumber air di sungai pada
musim kemarau dan dampaknya pada debit air pada musim penghujan, dengan mengolah data
pengamatan pos komponen utama Siklus Hidrologi, Hujan dan debit air di Kawasan Bopuncur
dan perambahan tutupan lahan satu dekade terakhir menggunakan foto satelite disajikan dalam
bentuk GIS dan demikian pula daya dukung lingkungan lainnya seperti Curah hujan, batuan,
topografi & morfologi.
Kajian ini dilakukan berpedoman dengan KEPPRES 114 tahun 1999 tentang Kawasan
Bopuncur sebagai kawasan pemasok ketersediaan sumber air dan pengendali limpasan air
permukaan dalam rangka melindungi kawasan bawahnya terhadap bahaya banjir pada musim
Penghujan seperti terjadi Banjir Jakarta Febuari 1996. Untuk keperluan tesebut untuk
menghadap Era Globalisasi pengaruhnya terhadap Jabopuncur dan kawasan Bopuncur pada
7 Juli 1999, telah dikembangkan suatu instrumen pengendali : Indeks Konservasi sebagai
Intrumen Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Bopuncur Dalam Rangka Rancangan
Keppres tentang Bopuncur, yang sekarang telah diundangkan, yang disebut dengan Keppres
114 tahun 1999 tentang Bopuncur. Dengan kejadian banjir Febuari 2002 betapa pelaksanaan
Keppres 114 tahun 1996 semakin penting untuk dilaksanakan
Tindak lanjut tentang pengembangan Instrumen pengendalian tesebut telah dilakukan
Kajian akademis di Departemen Teknik LingkunganITB dengan menggunakan Kawasan
Bopuncur
itu sendiri, yang hasil menjawab
hipotesa tentang tujuan dan maksud
dikeluarkannya Keppres 114 tahun 1999 dan cara penangulangannya dan juga dapat
memberikan penjelasan akademis tentang fenomena banjir di Jakarta tahun 1996 dan semakin
menghebat pada
tahun 2002 dan sebaliknya menyelaskan fenomena semakin kecil
ketersediaan sumber air pada musim kemarau Kasus pemindahan Instalasi Penyernihan Air
Tegal Gundil PDAM Kota Bogor dari kesulitan sumber air baku dan pencemaran dari Sungai
Ciliwung Hulu, Lokasi IPA dipindahkan mendekati sumber air Sungai Cisadane (2003), untuk
satu dekade akan datang relatif aman DAS Cisadane bila dibandingkan DAS Ciliwung. Kasus
pemindahan Instalasi Penyernihan Air Tegal Gundil PDAM Kota Bogor karena kesulitan
sumber air baku & pencemaran dari Sungai Ciliwung Hulu mendekati sumber air Sungai
Cisadane (2003), untuk satu dekade akan datang pasokan air baku relatif aman dari DAS
Cisadane bila dibandingkan DAS Ciliwung.

Kata kunci : Daur Hidrologi, Variabel Hujan dan debit air, Hukum kekekalan massa, indeks
konservasi, limpasan air permukaan, fungsi ruang Hidrologis,perambahan fungsi hidrologis
lahan, lahan kritis, ketersedian sumber air, dan ancaman banjir.

Dr. Ir. Arwin ,MS Dep.Teknik Lingkungan-ITB, Jl. Ganesha 10 Bandung Tilp. (022) 250 26 47

KAJIAN ASPEK HIDROLOGI , TATA GUNA LAHAN


DAN KONSERVASI SUMBER DAYA AIR DI KAWASAN BOPUNCUR

Dr. Ir. ARWIN, MS

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Sebagai salah satu Negara yang beriklim tropis dan dipengaruhi oleh 2(dua ) angin musson
yakni musson barat ( musim penghujan ) dan musson Timur ( musim kemarau ) dengan curah
hujan

rata-rata

pengendalian

berkisar

air dalam

2.000-4000

milimeter

per

tahun

sebagai

konsekwensinya,

proses waktu harus mendapatkan perhatian pemegang kebijakan

sumber air di Republik ini, supaya terhindar kelebihan air pada musim penghujan dan
kekekurangan air pada musim kemarau

akibat dampak dari pertumbuhan penduduk,

pembangunan dan ekonomi. Seperti halnyadi wilayah jagodetabek (Jakarta, Bogor, Depok,
Tangerang dan Bekasi) pertumbuhan penduduk, pembangunan dan ekonomi di pusat
pertumbuhan wilayah tesebut terutama di DKI Jakarta akan berimbas pada wilayah sekitarnya
yakni Kota Bogor,Depok, Tangerang dan Bekasi.Selain imbas diatas, juga terasa menyangkau
kawasan Bopuncur yang berfungsi sebagai kawasan konservasi sesuai dengan (KEPPRES
114/1999). Secara subtansial KEPRES 114/99 tentang kawasan Bopunjur berfungsi sebagai
kawasan pengendali air pada musim penghujan ,mengendalikan limpasan air hujan agar tidak
mengancam

kawasan hilirnya (Banjir) dengan cara menahan air hujan selama mungkin

dikawasan tesebut dgn mengfungsikan daya dukung lingkungan (alam) sehingga dapat
memasok kebutuhan air untuk pangan (irigasi) dan lingkungan (domestik, industri , ekosistem
sungai) pada musim kemarau .
Di satu sisi, kebutuhan akan ketersedian

air meningkatseiring dengan pertumbuhan

penduduk dan perekonomian di era Globalisasi, namun di sisi lain

kebutuhan lahan untuk

rekreasi, wisata dan permukiman (villa) juga meningkat dengan pesat akibat tekanan
perkembangan penduduk, pembangunan dan ekonomi terutama DKI Jakarta.
Di awal tahun 2002 yang lalu bencana alam banjir kembali terjadi di Indonesia , termasuk di
beberapa kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Medan dan Surabaya. Meskipun badan
Meteorologi dan Geofisika (BMG) meramalkan bahwa ancaman La Nina di Indonesia pada
tahun 1998 tidak terjadi akan terjadi lagi pada tahun 2002, namun dengan curah hujan rata-rata
di atas 300 mm/bulan,

bencana banjir tersebut kembali terulang. Sebaliknya BMG

mengantisipasi ancaman El Nino yang terjadi pada tahun 1997 tidak akan tejadi pada tahun

Dr. Ir. Arwin ,MS Dep.Teknik Lingkungan-ITB, Jl. Ganesha 10 Bandung Tilp. (022) 250 26 47

2003

ini , bencana kekeringan

terjadi

seperti JABAR . Berdasarkan keterangan diatas

fenomena banjir dan kekeringan tersebut ternyata tidak hanya dipengaruhi oleh faktor Iklim (
curah hujan) tetapi

juga oleh berubahnya fungsi hidrologis lahan berupa perambahan

berturut-turut dari lahan hutan menjadi pertanian , permukiman pedesaan dan perkotaan
(urban ) .
1.2 Dampak Banjir bagi kehidupan

Masa-masa yang sulit dilupakan sebagian masyarakat Indonesia mengalami banjir , seperti
menghadapi mimpi buruk yang menjadi kenyataan. Awal dari bencana ini dimulai tampak sejak
dari fenomena banjir di Medan dan kab. Gowa di Sulsel. Selanjutnya Banjir yang terjadi di
Jakarta, Bekasi, dan Tangerang

telah menorehkan pengalaman pahit karena

banjir DKI

Jakarta pada tahun 2002 menggenangi areal lebih dari 16.000 Hektar( 25 % wilayah Jakarta)
dengan penduduk lebih dari 380.000 Jiwa ( jauh lebih besar kejadian dari kerugian kenangan
Banjir Jakarta 1996), terputusnya ruas-ruas utama transportasi di jagotabek (termasuk kereta
api), dan waktu terjadinya bencana yang relatif lama (510 hari). Kemudian diikuti oleh
kejadian banjir di beberapa daerah lain seperti di Jawa timur dan Jawa Tengah.
Bencana banjir tesebut sempat menggangu jalannya roda perekonomian, antara lain dalam
bentuk kemacetan di jalan-jalan (termasuk jalan bebas hambatan /TOL), rusaknya prasarana
wilayah , terhambatnya pasokan bahan mentah serta padamnya aliran listrik dan jaringan
telepon di berbagai lokasi genangan air. Di Jakarta saja, tidak kurang dari 7 ribu satuan
sambungan telepon mengalami gangguan serta PLN terpaksa menghentikan pengoperasian
PLTU Muara Karang di samping pemadaman pada 1570 gardu listrik di berbagai Lokasi (Kwie
Kian Kie, 2002)
Di samping dampak fisik , di lokasi-lokasi banjir tesebut muncul juga masalah-masalah sosial
dan kesehatan. Kekurangsepahaman antara pemerintah, masyarakat yang peduli, dan
masyarakat korban bencana tentang penanganan pengungsi telah memunculkan masalah
sosial tersendiri, sementara di sisi lain juga telah muncul gangguan kesehatan bagi masyarakat
dampak dari Waterborne Disease seperti wabah diare karena kurang memadai prasarana air
bersih dan sanitasi lingkungan. Beberapa pakar bahkan memperkirakankerugian Banjir di
Jakarta saja berkisar antara 57 triliun.
Terjadinya serangkaian bencana banjir dalam kurun waktu yang relatif pendek menyadarkan
kita bahwa diperlukan upaya yang lebih bersungguh-sungguh agar bencana tesebut tidak
terulang lagi.
Dapat disimpulkan bahwa permasalahan lingkungan khususnya permasalahan air

di

Indonesia terdapat kecenderungan semakin ekstrimnya besaran debit air permukaan dan

Dr. Ir. Arwin ,MS Dep.Teknik Lingkungan-ITB, Jl. Ganesha 10 Bandung Tilp. (022) 250 26 47

semakin terdegradasi kualitas air

di sungaisungai di Indonesia

terutama di pusat-pusat

pertumbuhan perkotaan Indonesia (Arwin ,2003)

2.3. Permasalahan Air

di Jabopuncur

Memasuki era Globalisasi, mengantisipasi pertumbuhan penduduk dan ekonomi di Indonesia


secara Nasional dan Regional, maka masing-masing daerah

akan berusaha mengerahkan

segala potensi alam yang dimiliki demi tercapainya tujuan pembangunan ,yaitu kesejahteraan
yang lebih tinggi bagi penduduk di daerahnya masing-masing (M. Suparmoko,1997)
Dilihat dari segi administrasi , masing-masing daerah di DAS Jabopuncur memang terpisah

satu sama lainnya, tetapi dari segi sumberdaya alam, khususnya sumberdaya air merupakan
sumberdaya alam yang dapat diperbaharui melalui Siklus Hidrologis. Pada Wilayah aliran
Sungai, terdiri dari beberapa kabupaten atau propinsi ternyata wilayah-wilayah tesebut satu
dengan lainnya bergantungan dalam pengendalian dan konservasi air.
Usaha pengembangan kawasan hulu untuk pariwisata dan permukiman akan terjadi tekanan
pada konversi lahan yang signifikan sebagai dampak dipacunya perkembangan kawasan hilir
menjadi kawasan andalan, yang diperkirakan akan menggangu tata air baik di kawasan hulu
dan kawasan Hilir, berupa

semakin kecil pasokan

air tanah dan air permukaan (musim

kemarau) dan semakin meningkatnya ancaman banjir pada musim penghujan di

hilir

(Arwin,2003)
Kalau demikian apakah kawasan Hulu sebaiknya tidak perlu dikembangkan? Solusi yang
menguntungkan berbagai pihak (Win-Win Solution) ialah perlu adanya suatu perencanaan
regional untuk DAS baik di kawasan Hulu (BOPUNCUR ) dan kawasan Hilir (DKI- Jakarta).
II.

ASPEK HIDROLOGI DAN TATA GUNA

LAHAN

Secara ekosistem alam, sebelum terjadi ledakan tekanan penduduk, kawasan pengunungan
(kawasan Hulu) yang curah hujan relative tinggi secara survival hanya terdapat tanaman keras
yang bertahan hidup di kawasan hulu. Kawasan Pengunungan berfungsi sebagai pemasok air
tanah bagi dataran rendah (kawasan Hilir) dan mata air & aliran dasar ( base flow ) mengalir
sungai-sungai menuju ke hilir dan berakhir ke laut. Curah hujan di pengunungan
oleh tutupan lahan berupa hutan. Namun, akibat tekanan penduduk

dikendalikan
memenuhi

kebutuhan

hidupnya mengubah hutan menjadi budidaya pertanian. Lebih jauh lagi tekanan dari kawasan
hilir atas fasilitas rekreasi dan wisata mengubah hutan menjadi permukiman dan akhirnya
memacu berkembangnya pusat perkotaan (Urban ).

Dr. Ir. Arwin ,MS Dep.Teknik Lingkungan-ITB, Jl. Ganesha 10 Bandung Tilp. (022) 250 26 47

Menurut Hidrologi Statistik dengan menerapkan hukum kekekalan massa, jumlah air tertahan
didaratan setelah bersentuhan dengan permukaan bumi (tutupan lahan Hutan) adalah berupa
infiltrasi

I (80-90 %) dan limpasan permukaan R (10-20 %).

Dari Literatur studi dan penelitian, alih fungsi lahan secara berurut dari : hutan, budidaya ,
permukiman pedesaan dan urban Metropolitan

maka/mempunyai nilai persentasi limpasan

air permukaan menaik dari hutan R (10-20 %), budidaya pertanian


permukiman pedesaan R(40-50 %),

R (50-60 %),

serta kawasan urban R( 90-100 %). Sebaliknya nilai

infiltrasi air dalam tanah berupa hutan I (80-90 %), budidaya pertanian (40-50%), permukiman
pedesan I (50-60 %), dan kawasan urban I ( 0-10 %). Dengan Hukum Kekekalan masa air :
P = I + R adalah konstan tetap. Transformasikan non dimensi dengan membagi penyebut P
maka persamaan Kekekalan masa menjadi: Ik + C = 1. (Arwin ,2003)

Dengan contoh yang ekstrim Kawasan Hulu, dari lahan hutan jumlah air tertahan Ik = 0,8-0,9
(C=0,1-0,2)

merupakan pasokan air (air tanah dan mata air & aliran dasar sungai ) bagi

kawasan hilir. Alih fungsi lahan menjadi Urban, massa

limpasan air permukaan

membesar
menjadi C= 0,9-1 dapat menjadi ancaman banjir bagi kawasan Hilir

dimana kurva puncak

debit banjir membesar dan waktu mencapai puncaknya relatif lebih pendek, bilamana terjadi
pada musim penghujan dimana Curah hujan relatif ekstrim terjadi berurutan pada
dan pasang surut laut pada bulan purnama

5-6 hari

maka ancaman banjir Bandang bagi Kawasan

Hilir menjadi kenyataan seperti terjadi Febuari 1996 dan Febuari 2002 di DKI- Jakarta.

III.

KONSEP KONSERVASI SUMBER DAYA AIR

Pendekatan Indeks konservasi, membedakan Indeks Konservasi Alami dan Aktual. Indeks
Konservasi Alami (IKA), yaitu suatu koefisien yang menunjukkan kemampuan

alamiah suatu

wilayah untuk menyerap air hujan yang jatuh ke permukaan tanah menjadi imbuhan air tanah
yang dihitung berdasarkan variabel curah hujan, tutupan lahan alami, batuan, jenis tanah, dan
kelerengan ( morfolologi & topografi).
Indeks Konservasi Aktual (IKC), yaitu suatu koefisien yang menunjukkan kemampuan yang ada
(aktual) pada suatu wilayah untuk menyerap air hujan yang jatuh ke permukaan tanah menjadi
imbuhan air tanah yang dihitung berdasarkan variabel curah hujan, konversi tutupan lahan,
batuan, jenis tanah, kerentanan terhadap erosi dinyatakan dengan kemiringan lahan. Model
Indeks Konservasi merupakan instrumen pengendalian
rangka

konservasi

air dan tanah

dalam

keberlanjutaaan sumber air, yang tunduk pada hukum kekekalan masa air dan

kekekalan momentum dari model siklus hidrologi .

Dr. Ir. Arwin ,MS Dep.Teknik Lingkungan-ITB, Jl. Ganesha 10 Bandung Tilp. (022) 250 26 47

Pengendalian air dilakukan dalam satu satuan hidrologis meliputi fase tanggapan air, fase air
dibawah tanah, fase sungai dan

pemanfaatan ruang akibat kebutuhan

penduduk, yang

digambarkan dengan model fisik hidrologis dari hulu sampai ke Hilir ,seperti pada disajikan
pada Gambar 3.1. dibawah ini.

Gambar 3.1. Model Fisik Hidrologi

Kekekalan masa air adalah tetap dalam Ruang hidrologi , dimana sumber air utama berasal
dari Curah hujan setelah jatuh dipermukaan bumi distribusi masa air menjadi : P = I+ R
dimana berturut turut P adalah curah hujan , I adalah besaran infiltrasi air dalam tanah dan
R besaran limpasan air permukaan. Perubahan tutupan lahan alami (lihat Gambar 2.2 ), dari
hutan

berturut-turut menjadi budidaya , permukiman pedesaan dan urban metropolitan

berdampak semakin besar terhadap besaran limpasan air (R )


sebaliknya
semakin

pada musim hujan

dan

Infiltrasi air dalam tanah semakin kecil sehingaa penyimpanan air tanah (S )
kecil tentu saja berpeengaaruh pada besaran

komponen gerakan air tanah arah

vertikal ( B**) serta gerak aair tanah horizontal , yang disebut dengan base flow (B*) ke air
permukaan bebas sungai terutama musim kemarau . Keseimbangan masa air dari Curah
hujan menjadi air tanah dan base flow , dapat diekspresikan pada persamaan (1) , berikut :
S = P R E B* - B**

.....

(1)

Dari semua komponen yang terdapat dalam model fisik hidrologi di atas, beberapa komponen
(variabel) yang berada di bawah permukaan tanah (S, B*, B**) sulit diukur.
Variabel yang memungkinkan diamati adalah curah hujan (P) dan debit sungai (Q), yakni
melalui pengukuran di stasiun pos hujan dan pos debit. Bila persamaan ini diterapkan pada
model fisik hidrologi, maka besarnya debit (Q) dengan mempertimbangkan kualitas ruangnya
seperti tanah, batuan, morflologi & topografi, dan tutupan lahan yang dengan pendekatan
regresi linair dan interprestasi disiplin Hidrologi , disebut

koefisien limpasan (C) .

Hubungan
Curah hujan , kualitas ruang dan

debit air

sungai diekspresikan sebagai berikut. (Prof.

Sugandar dan Dr. Arwin, 1992)

Q C(P.A) b
dimana

(2)

= debit sungai

Dr. Ir. Arwin ,MS Dep.Teknik Lingkungan-ITB, Jl. Ganesha 10 Bandung Tilp. (022) 250 26 47

C(PA) = limpasan langsung ( direct run off )


b
= aliran dasar ( base flow dan mata air )
Persamaan (1) ini dapat disederhanakan berdasarkan Hukum Kekekalan Massa menjadi

P RO I
dimana :

....

(3)

P = curah hujan; Ro = limpasan permukaan (run off); I= infiltrasi

Dari persamaan (2) ini akan dihasilkan

C 1 IK

....

(4)

Dari persamaan (4) dan persamaan(2) akan dihasilkan persamaan (5), yang menunjukkan
bahwa keseimbangan air dari pengendalian pemanfaatan ruang pada fase lahan dan fase
sungai sangat tergantung pada indeks konservasi, yang diekspresikan dengan persamaan
berikut :

Q PA I k P.A b befl
dimana :

Q
A
P
b

=
=
=
=

....

debit air sungai


tangkapan air
curah hujan
limpasan air di fase sungai melalui akuifer dan mata air

(5)

befl = efluen dari aktivitas pemukiman dan perkotaan(Kawasan kerja)


Ik
= Indeks konservasi fungsi pemanfaatan ruang
Indeks Konservasi pada persamaan 5 tersebut dibedakan menjadi IKA & IKC,yaitu :

IK A F (YA ) .. Ps. 1 ayat 26 Keppres 114/99...... ( 6 )


IKC F (YC ) Ps. 1 ayat 27 Keppres 114/99.... ( 7 )
dimana :YA = f (curah hujan, jenis batuan, jenis tanah, morfologi & topografi)
YC = f (curah hujan,jenis batuan, jenis tanah, morfologi&topografi, tutupan lahan)
... ..

YA aX 1 bX 2 cX 3 dX 4 E
a
b
c
d
R

dimana :

(8)

( 12, 13, 14, 23, 24, 34)


( 12, 13, 14, 23, 24, 34)
( 12, 13, 14, 23, 24, 34)
( 12, 13, 14, 23, 24, 34)
1-E

=
=
=
=
=

YA
X1
X2
X3
X4
a,b,c,d
12
E
R

= variabel besaran konservasi alami


= variabel hujan
= variabel batuan
= variabel jenis tanah
= variabel morfologi dan topografi
= koefisien partial ketergantungan korelasi antar variabel
= koefisien korelasi antar variabel
= faktor koreksi
= koefisien determinasi (0,5 < R <1)

Kondisi pemanfaatan ruang dalam suatu kawasan dapat dilihat dari perbandingan nilai IKC dan
nilai IKA yang dapat dibedakan seperti Tabel 3.1. Sebagai pedoman dalam pengendalian

Dr. Ir. Arwin ,MS Dep.Teknik Lingkungan-ITB, Jl. Ganesha 10 Bandung Tilp. (022) 250 26 47

pemanfaatan

ruang maka dilakukan diskretisasi indeks konservasi dan variabel yang

mempengaruhinya ke dalam 5 (lima) kelas. Apabila dalam evaluasi suatu kawasan ternyata
terdapat pemanfaatan lahan yang tidak sesuai (IKC < IKA) maka terdapat beberapa upaya untuk
merehabilitasi fungsi konservasi agar IKC IKA, yaitu dilakukan dengan pendekatan vegetatif
dan non vegetatif (rekayasa teknologi ).
Tabel 3.1. Penilaian kondisi kawasan dengan Indeks Konservasi
Perbandingan Indeks Konservasi

Penilaian kondisi kawasan

IKC > IKA

Baik

IKC = IKA

Normal

IKC < IKA

Kritis

Sumber : Arwin, 1999

Data yang diperlukan dalam pelestarian

yaitu data fisik DAS yang meliputi Curah hujan,debit aliran,

infiltrasi, permeabilitas, kemiringan lereng, jenis tanah, geologi, air tanah. Peta-peta yang dibutuhkan
dalam penelitian ini adalah peta daya dukung alam di DAS

yang meliputi : Peta DAS, Peta Geologi/

Hidrogeologi, Peta Morfologi/Topografi, Peta Penggunaan Lahan, Peta Rupa Bumi, Peta Tanah, Peta
Administrasi. Data dan peta diperoleh dari Dep. Kimpraswil, Bakosurtanal, BMG, Bappenas, Deptamben,
dan lain-lainnya.

IV. STUDI KASUS BOPUNCUR

4.1. Alih Fungsi Tata Guna Lahan Terhadap Keseimbangan

Air .

Fenomena alih fungsi lahan dari tutup lahan (hutan dan budidaya pertanian) menjadi lahan
terbangun (seperti : kawasan pemukiman, industri, jalan ) dan

juga lahan terlantar tegalan ,

yang semuanya adalah untuk mendukung keperluan penduduk, terutama terjadi di Kawasan
Bogor-Puncak-Cianjur (Bopuncur) yang berlangsung sangat cepat akibat perkembangan
kawasan andalan Jagotabek di era globalisasi . Alih fungsi yang terjadi itu dikawatirkan akan
melampaui batas-batas yang telah ditetapkan secara formal. Dampak negatif sebagai akibat
dari proses di atas sangat disayangkan masih dipahami dalam konteks yang terbatas. Luas
hutan di Kawasan Bopunjur dari pemetaan foto satelit berturut-turut dari tahun 1990 dan
1999

dari 9,8 % berubah menjadi 11 % tidak ada perubahan signifikan .

Hal-hal

yang

mengganggu fungsi utama sebagai kawasan konservasi air dan tanah , berdasarkan foto satelit
pemanfaatan lahan kawasan Bopuncur 1990
,Kebun( 18,3 % ) , sawah ( 34,9 %)

sbb: Tegalan (29,8 %),pemukiman (7,3 % )

dan Hutan ( 9,8 % )

sedangkan

pemanfaatan lahan

tahun Penggunaan
1999 menjadi Tegalan (35,1Tahun
%),pemukiman
(22,9 % ) ,Kebun(
1990
Tahun 17,6
1999 % ) , sawah ( 13,3
%) danLahan
Hutan ( 11 % ). Sedangkan
perubahan pemanfaatan
lahan di DAS Ciliwung ( Lihat
2
2
%

Luas (km )

Luas (km )

Tabel
foto satelit pemanfaatan
lahan 50,339
kawasan
DAS
Ciliwung Hulu dan
Hutan2.1.) berdasarkan 56,017
20,87
18,75
Tengah
tahun 1990 : Tegalan
(8,7 %),pemukiman
,Kebun( 25,5 %20,91
) , sawah ( 38,8 %)
Kebun/Perkebunan
68,485
25,52 (6,1 % ) 56,124
Tegalan/Ladang
Persawahan
Permukiman
Danau

23,298
8,68
62,673
23,35
104,094
38,78
28,326
10,55
16,134
6.,1
70,584
26,30
0,380
0,14
0,363
0,14
Dr. Ir. Arwin ,MS Dep.Teknik Lingkungan-ITB, Jl. Ganesha 10 Bandung Tilp. (022) 250 26 47
268,409
100
268,409
100

dan Hutan ( 20,9% )

sedangkan

pemanfaatan lahan tahun 1999 menjadi Tegalan (23,4

%),pemukiman (26,30 % ) ,Kebun( 20,9 % ) , sawah ( 10,6 %) dan Hutan ( 18,8 % )


Dan yang juga menarik untuk dicatat adalah bahwa dalam satu dekade (1990-1999) di
kawasan Bopuncur terjadi penyusutan

sawah yang sangat dominan dari 34,9 % (1990 )

menjadi 13,3 % (1999 ) sedangkan di DAS Ciliwung Hulu & Tengah (Lihat Tabel 4.1) terjadi
penyusutan sawah dari 38,8 % (1990 ) menjadi 10,6 % (1999 ) dan

perluasan

Tegalan/kebun dari 8,7 % ( 1990 ) menjadi 23,4 % ( 1999 )

Tabel 4.1. Penggunaan Lahan di DAS Ciliwung Hulu dan Tengah

Sumber : Hasil Pengolahan Peta Rupa Bumi Tahun 1990 dan 1999

Adanya perkerasan lahan menyebabkan kapasitas infiltrasi air hujan di kawasan tersebut
menjadi semakin kecil dibandingkan dengan kondisi alamiahnya atau tidak dilaksanakankannya

peraturan perundangan konservasi air berlaku di kawasan tsb . Pada gilirannya imbuhan air ke
dalam air tanah semakin berkurang dan berdampak pada menurunnya penyimpanan air tanah
dan seterusnya menyebabkan menurun limpasan air tanah ke sungai berupa debit aliran
dasar (base flow ) dan sebaliknya memperbesar limpasan air permukaan pada musim basah
(debit air maksimum) . Kecenderungan ekstrimitas

debit air pada badan air sungai

ditunjukkan hasil pengamatan pos debit air (1987-1999 ) di Katulampa dan

di Sugutamu

Penelitiaan pengaruh alih fungsi lahan terhadap aliran dan kesesuaian lahan untuk kawasan
konservasi air dengan menggunakan pendekatan Indeks Konservasi atau disingkat IK.
IK adalah suatu koefisien yang menunjukkan kemampuan suatu wilayah untuk menyerap air
hujan yang jatuh ke permukaan tanah dan akan menjadi imbuhan air tanah. Sebagai wilayah
studi kasus untuk penerapan IK ini adalah di DAS Ciliwung bagian hulu dan bagian tengah
yang wilayahnya meliputi sebagian besar Kawasan Bopunjur (sekitar 25% dari luas kawasan).
Wilayah ini berpengaruh terhadap kondisi lingkungan DAS Ciliwung. Untuk menggambarkan
kondisi daerah penelitian secara menyeluruh digunakan suatu pendekatan keruangan (spatial).
Berdasarkan analisis peta terlihat bahwa luas kawasan lindung (hutan) dan kawasan budidaya
pertanian (sawah, ladang) yang ada pada DAS Ciliwung bagian hulu dan tengah berkurang

Dr. Ir. Arwin ,MS Dep.Teknik Lingkungan-ITB, Jl. Ganesha 10 Bandung Tilp. (022) 250 26 47

10

Anda mungkin juga menyukai