Menurut Soekirman
(2003), masalah gizi yang pada beberapa waktu ini mulai sering muncul terkait dengan tidak
adanya kebijakan pembangunan yang jelas tentang arah perbaikan gizi.
Kebijakan yang diperlukan meliputi lima hal. Pertama,pelayanan Gizi dn kesehatan yang
berbasis masyarakat seperti UPGK, penimbangan balita diposyandu dengan KMS. Kedua,
pemberian suplemen zat gizi mikro seperti pil besi kepada ibu hamil, kapsul vitamin A kepada
balita dan ibu nifas. Ketiga, bantuan pangan kepada anak gizi kurang dari keluarga miskin.
Keempat, fortifikasi bahan pangan seperti fotifikasi garam dengan yodium, fortifikasi terigu
dengan zat besi, seng, asam folat, vitamin B1 dan B2. Kelima,biofortifikasi, suatu teknologi budi
daya tanaman pangan yang dapat menemukan varietas padi yang mengandung kadar zat besi
tinggi dengan nilai biologi tinggi pula sebagai contoh (Soekirman, 2007).
Dalam upaya perbaikan gizi perlu dikembangkan dan diarahkan sebuah kebijakan untuk
meningkatkan status gizi masyarakat, Pada saat krisis ekonomi di Indonesia yang berlangsung
cukup lama, kebijakan yang dilakukan bersifat penyelamatan (rescue) dan pencegahan lost
generation, sekaligus pembaharuan (reform) agar kejadian ini tidak terulang kembali.
Kebijakan jangka pendek, bertujuan menangani anak dan keluarga yang terpuruk akibat krisis.
Program penyelamatan ini dikenal dengan Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPSBK)
termasuk perbaikan gizi. Kebijakan diarahkan pada peningkatan upaya penanggulangan kasus
pemulihan keadaan gizi anak, penurunan kematian akibat gizi buruk dan peningkatan mutu
sumber daya manusia melalui peningkatan keadaan gizi masyarakat. Pemberian makanan
tambahan untuk bayi dan anak umur 6 24 bulan serta ibu hamil dan menyusui yang berasal
dari keluarga miskin. Revitalisasi Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) dalam rangka
identifikasi dini kekurangan pangan dan gizi di suatu daerah, Revitalisasi pos pelayanan terpadu
(Posyandu) untuk menggalakkan kembali peran serta masyarakat.