BAB I
PENDAHULUAN
apabila
dipergunakan
se c a r a
tidak
t er at ur
menurut
takaran/dosis akan dapat menimbulkan bahaya fisik dan mental bagi yang
menggunakannya serta dapat menimbulkan ketergantungan pada pengguna
itu sendiri. Artinya keinginan sangat kuat yang bersifat psikologis untuk
mempergunakan obat tersebut secara terus menerus karena sebab - sebab
emosional.
Masalah penyalahgunaan narkotika ini bukan saja merupakan masalah
yang perlu mendapat perhatian bagi negara Indonesia, melainkan juga bagi
dunia Internasional. Pada abad ke-20 perhatian dunia internasional
terhadap masalah narkotika semakin meningkat, salah satu dapat dilihat melalui
Single Convention on Narcotic Drugs pada tahun 1961.1 Masalah ini menjadi
begitu penting mengingat bahwa obat-obat (narkotika) itu adalah suatu zat
yang dapat merusak fisik dan mental yang mengkomsumsi, apabila
penggunaannya tanpa resep dokter.
Masalah penyalahgunaan narkotika di Indonesia, sekarang ini sudah
sangat memprihatinkan. Hal ini disebabkan beberapa hal antara lain karena
Indonesia yang terletak pada posisi di antara tiga benua dan mengingat
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka pengaruh globalisasi,
arus transportasi yang sangat maju dan penggeseran nilai matrialistis dengan
dinamika sasaran opini peredaran gelap. Masyarakat Indonesia bahkan
masyarakat dunia pada umumnya saat ini sedang dihadapkan pada keadaan
yang sangat mengkhawatirkan akibat maraknya pemakaian secara illegal
bermacam - macam jenis narkotika. Kekhawatiran ini semakin di pertajam
akibat maraknya peredaran gelap narkotika yang telah merebak di segala
lapisan masyarakat, termasuk di kalangan generasi muda. Hal ini akan sangat
berpengaruh terhadap kehidupan bangsa dan negara pada masa mendatang.
Narkotika berpengaruh terhadap fisik dan mental, apabila digunakan
dengan dosis yang tepat dan dibawah pengawasan dokter anastesia atau
dokter phsikiater dapat digunakan untuk kepentingan pengobatan atau
penelitian sehingga berguna bagi kesehatan phisik dan kejiwaan manusia.
Adapun yang termasuk golongan narkotika adalah candu dan komponen -
Kusno Adi, 2009, Kebijakan Kriminal Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika
komponennya yang aktif yaitu morphin, heroin, codein, ganja dan cocoain,
juga exctasy, shabu-shabu, pil koplo dan sejenisnya.
Bahaya penyalahgunaannya tidak hanya terbatas pada diri pecandu,
melainkan dapat membawa akibat lebih jauh lagi, yaitu gangguan terhadap
tata kehidupan masyarakat yang bisa berdampak pada malapetaka runtuhnya
suatu bangsa, negara dan dunia. Negara yang tidak dapat menanggulangi
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika akan diklaim sebagai sarang
kejahatan ini. Hal tersebut tentu saja menimbulkan dampak negatif bagi citra
suatu negara. Untuk mengantisipasi masalah tersebut telah diadakan berbagai
kegiatan yang bersifat internasional, termasuk konferensi yang telah diadakan
baik dibawah naungan Liga Bangsa-Bangsa maupun di bawah naungan
Peserikatan Bangsa - Bangsa.
Liga Bangsa - Bangsa pada tahun 1909 di Shanghai, Cina telah
diselenggarakan persidangan yang membicarakan cara-cara
pengawasan
Mengingat Stbl 1927 No. 278, jo. No 536 tentang obat bius tersebut
sudah terlampau lama, sehingga tidak bisa di terapkan untuk menanggulangi
kejahatan penyalahgunaan narkotika dewasa ini, mengingat modus operandi
yang dilakukan oleh para pelaku yang makin canggih. Menanggapi hal
tersebut, guna menanggulangi tindak pidana penyalahgunaan narkotika
dikeluarkan instruksi Presiden RI Nomor 6 tahun 1971, yang mengatur
mengenai usaha-saha penanggulangan masalah-masalah sosial, diantaranya
berkenaan dengan narkotika. Namun dalam pemberlakuannya terdapat
kelemahan-kelemahan yang terletak pada dasar hukum pengaturan narkotika,
sehingga instruksi Presiden tersebut tidak diberlakukan lagi sekaligus
mencabut pemberlakuan Verdoovenden Middelen Ordonantie dan yang
terakhir dikeluarkanlah Undang - undang nomor 35 tahun 2009 , tentang
narkotika.
Peredaran Narkotika yang terjadi di Indonesia
sangat
bertentangan
bermanfaat
pengendalian
dan
pengawasan
sebagai
upaya
yang
tadinya hanya sebagai daerah transit bagi barang - barang terlarang tersebut,
belakangan ini telah dijadikan daerah tujuan operasi peredaran narkotika
oleh jaringan pengedar narkotika internasional.
Memperhatikan tindak pidana penyalahgunaan narkotika semakin hari
semakin meningkat, menunjukkan aplikasi Undang - undang Nomor 9 tahun
1976 belum dapat secara efektif dalam mengatasi setiap tindak pidana
narkotika, padahal pemerintah telah mengupayakan untuk mengantisipasi
dengan membentuk dan memberlakukan Undang - undang yang bersifat
khusus, karena kitab Undang - Undang Hukum Pidana (KUHP) yang
dimiliki tidak bisa menjangkau kejahatan tersebut oleh karena itu ketentuan
pidana di dalam per Undang - undangan pidana khusus lebih interen dan
lebih mendekati tujuan reformasi di banding dengan yang tercantum di dalam
KUHP yang telah kuno itu.2
Ketidakefektifan Undang - undang nomor 9 tahun 1976, sebagai
akibat dari pada tahap perumusan atau formulasinya dari pembentuk Undang
- undang tersebut tidak jeli mengantisipasi perkembangan ilmu pengetahuan
terutama ilmu pengobatan dan akibat sampingan yang ditimbulkan sangat
merugikan, serta menimbulkan bahaya bagi kehidupan serta nilai - nilai
budaya. Padahal dalam proses penegakan hukum dalam tahap kebijakan
legislative / formulatif merupakan tahap yang paling strategis.
Kelemahan kebijakan legislatif akan berdampak pada para penegak
hukum, yaitu kesulitan mengaplikasikan aturan - aturan tersebut dalam
menangani kasus - kasus tindak pidana narkotika.
Perumusan kebijakan kriminalisasi dan kualifikasi tindak pidana yang
kurang
Andi Hamzah, 1997, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia PT. Pradnya Paramita,
dalam kualifikasi tindak pidananya hanya mengatur ketentuan perubahan perubahan sebagai larangan ( Pasal 23 dan 24 Undang - undang nomor : 9
tahun 1976 ) termasuk ancaman sanksi pidana. Dengan adanya kelemahan kelemahan seperti tersebut maka diadakan perubahan, sebagai penggantinya
di keluarkan Undang - undang nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika.
Keberadaan Undang - undang nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika
tersebut di dorong untuk lebih meningkatkan pengendalian dan pengawasan
serta meningkatkan upaya mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan
peredaran narkotika, di perlukan pengaturan dalam bentuk Undang - undang
baru yang berazaskan keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa,
manfaat,
keseimbangan,
keserasian,
dan
keselarasan
dalam
materi, maupun ancaman pidana yang diperberat. Cakupan yang lebih luas
tersebut, selain didasarkan pada faktor - faktor di atas juga karena
perkembangan kebutuhan dan kenyataan bahwa nilai dan norma dalam
ketentuan yang berlaku tidak memadai lagi sebagai sarana efektif untuk
mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.
Beberapa materi baru antara lain mencakup pengaturan mengenai
penggolongan narkotika, pengadaan narkotika. Label dan publikasi, peran
serta masyarakat, pemusnahan narkotika sebelum putusan
memperoleh
kekuatan
hukum
tetap,
perpanjangan
pengadilan
jangka
waktu
10
mengingat
tingkat
bahaya
yang
ditimbulkan
akibat
mengancam
dalam penyusunan
11
12
kelompok
melalui
permufakatan
(konspirasi),
maka
bila
di lakukan bila
sindikat
yang
kondisi
berupa sangsi
(pidana) dalam pelanggaran hukum publik dan sangsi dalam bidang hukum
lainnya. Sangsi pidana dalam hukum pidana merupakan salah satu cara untuk
menanggulangi kejahatan, dan peran sangsi pidana dalam menanggulangi
kejahatan merupakan perdebatan yang telah berlangsung beratus-ratus tahun.
Dalam mengantisipasi ancaman dan bahaya penyalahgunaan narkotika
yang berskala internasional di samping Undang -undang No. 22 tahun 1997
tentang narkotika, Indonesia secara keseluruhan telah memiliki instrument
Undang - undang sebagai berikut :
13
penyalahgunaan
Surabaya telah menjadi kawasan paling rawan saat ini untuk peredaran
narkotika, dengan kata lain
modus
yang harus
karena hal ini bisa menyebabkan rusaknya generasi bangsa. Oleh karena itu
kewaspadaan akan peredaran narkotika harus lebih ditingkatkan, sehingga
penanggulangan terhadap tindak pidana penyalahgunaan narkotika dapat di
lakukan seefektif dan seefisien mungkin. Khusus pada tahap aplikasi hukum
terutama pengadilan, hakim dalam memeriksa memutus tindak pidana
penyalahgunaan narkotika harus tegas menerapkan hukum yang berlaku,
sehingga dengan keputusannya dapat berakibat, maupun preventif, artinya
dengan putusan hakim yang tegas dalam menerapkan sanksi pidana dapat
memberikan efek jera dan gambaran bagi calon pelaku lainnya.
1.2 Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas,
maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah upaya penanggulangan dan pemberantasan tindak pidana
narkotika di wilayah hukum Kepolisian Resor Kota Surabaya
2. Apa saja hambatan-hambatan dalam penanggulangan dan pemberantasan
tindak pidana narkotika di wilayah hukum Kepolisian Resor Kota
Surabaya
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian tentang penanggulangan dan pemberantasan tindak pidana
narkotika di Wilayah Kepolisian Resor Kota Surabaya mempunyai tujuan
umum dan tujuan khusus.
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk pengembangan ilmu hukum terkait dengan paradigma
Science as a Process (Ilmu sebagai Proses). Dengan paradigma ini
ilmu akan terus berkembang di bidang penanggulangan Tindak Pidana
Narkotika yang terkait dengan keberlakuan Undang - undang Nomor
35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
1.3.2 Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis upaya penanggulangan
dan pemberantasan tindak pidana narkotika
di wilayah hukum
dialami
dalam
melaksanakan
hambatan-hambatan
penanggulangan
dan
1.4
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian yang diperoleh dapat
Landasan Teori
1.5.1 Teori Efektivitas Hukum
Terkait dengan efektivitas hukum yang dihubungkan dengan
tipe - tipe penyelewengan yang terjadi dalam masyarakat, perlu
dicermati bahwa berlakunya hukum dapat dilihat dari berbagai
perspektif, seperti
pokok
11
Soerjono Soekanto, 1988. Efektivitas Hukum dan Peraan Saksi, Remaja, Karyawa,
Bandung, hal 68.
17
relevan dengan
12
Amirudding dan Zainal Asikin, 2004 Pengantar Metode Penelitian Hukum PT. Raja
18
13
Lili Rasjidi, dan Ira Rasjidi, 2001, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya
19
warga
suatu
masyarakat.
Hal
ini
juga
perlu
20
dasar sahnya hukum positif tertulis yang dapat ketahui dari ajaran ajaran tentang Rechysgeful atau Rechtsbewustzijn, dimana intinya
adalah tidak ada hukum yang mengikat warga - warga masyarakat
kecuali atas dasar kesadaran hukum. Hal tersebut merupakan suatu
aspek dari kesadaran hukum, aspek lainnya adalah bahwa kesadaran
hukum sering kali di kaitkan dengan penataan hukum, pembentukan
hukum, dan efektivitas hukum. Aspek - aspek ini erat kaitannya
dengan anggapan bahwa : hukum itu tumbuh bersama - sama
dengan tumbuhnya masyarakat, dan menjadi kuat bersamaan dengan
kuatnya masyarakat, dan akhirnya berangsur - angsur lenyap
manakala suatu bangsa kehilangan kepribadian nasionalnya.
1.5.2 Teori Kesadaran Hukum dan Ketaatan Hukum
Kesadaran hukum, terkait dengan ketaatan hukum atau
efektivitas hukum, dalam arti kesadaran hukum menyangkut masalah
apakah ketentuan hukum tersebut di patuhi atau tidak dalam
masyarakat. Ada beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat
mematuhi hukum, faktor- faktor tersebut adalah :
Compliance, di artikan sebagai suatu kepatuhan yang
1. didasarkan pada harapan akan suatu imbalan dan usaha untuk
menghindarkan diri dari hukum atau sanksi yang mungkin di
kenakan apabila seseorang melanggar ketentuan hukum.
Kepatuhan ini sama sekali tidak di dasarkan pada suatu
keyakinan pada tujuan kaidah hukum yang bersangkutan dan
lebih di dasarkan pada pengendalian dari pemegang
kekuasaan. Sebagai akibat kepatuhan hukum akan ada
apabila ada pengawasan yang ketat terhadap pelaksanaan
kaidah - kaidah hukum tersebut.
Identification, terjadi apabila kepatuhan terhadap kaidah
2. hukum ada bukan karena nilai instrinsiknya, akan tetapi agar
21
3
.
4.
Ketaatan atau kepatuhan masyarakat terhadap hukum akan di
tentukan, bagaimana hukum itu beroperasi.
Kepatuhan masyarakat terhadap suatu peraturan perundangundangan, mereka menganggap bahwa hukum yang dibuat oleh
lembaga pembentuk hukum sesuai dengan nilai - nilai yang hidup
dalam masyarakat itu sendiri. Atau hukum yang dibuat sesuai
dengan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Bertolak dari pemahaman
tersebut, Berl Kutschinsky sebagaimana di kemukakan oleh R. Otje
Salman, kesadaran hukum masyarakat di pengaruhi oleh empat
faktor yaitu :
a.
14
Otje Salman dan Anton F. Susanto, 2004, Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan
21
c.
d.
22
mengenai
"Upaya
Penanggulangan
dan
di Wilayah Hukum
yang
bersifat
kualitatif
deskriptif.
Penelitian
ini
peraturan perundang-undangan
bersifat
deskriptif yaitu
bertujuan
24
20
21
Ibid, hal 24
Ibid, hal 24
25
Hasil Karya Ilmiah Para Sarjana, hasil - hasil penelitian, buku buku Hukum (Texs Books) jurnal - jurnal Hukum.
- Bahan hukum tersier yaitu ; bahan - bahan yang memberikan
informasi tentang bahan hukum sekunder, meliputi : Bibliografi,
indek komulatif. Di samping itu, termasuk pula kamus hukum dan
ensiklopedia.
Adanya data primer dan data sekunder tersebut maka dapat
menggambarkan
apa
adanya
tentang
proses
tindak
lanjut
bertanya pada seseorang melainkan dilakukan dengan pertanyaan pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban - jawaban
yang relevan dengan masalah penelitian kepada responden maupun
informan.
Analisis
data
dilakukan
dengan
teknik
deskripsi
yaitu
Daftar Pustaka
1.
2.
3
4.
5.