Anda di halaman 1dari 5

Sistem kerja Rodi pada masa penjajahan

belanda

1)
2)
3)
4)
5)

1.
2.
3.
4.

Kerja Rodi memiliki arti kerja tanpa upah, tanpa istirahat demi membangun
sebuah benteng dan jalan raya, tanpa membantah apa yang telah diperintahkan
oleh tentara Belanda, dan menuruti apa yang diperintahkannya.
Setelah lebih kurang 200 tahun berkuasa, akhirnya VOC (Kompeni)
mengalami kemunduran dan kebangkrutan. Hal ini disebabkan banyak biaya perang
yang dikeluarkan untuk mengatasi perlawanan penduduk, terjadinya korupsi di
antara pegawai-pegawainya, dan timbulnya persaingan dengan kongsi-kongsi
dagang yang lain. Faktorfaktor itulah, akhirnya pada tanggal 31 Desember 1799,
secara resmi VOC dibubarkan. Kekuasaan VOC kemudian diambil alih oleh
pemerintah Hindia Belanda. Hal ini secara tidak langsung memengaruhi koloni
Belanda di Indonesia. Perubahan politik yang terjadi di Belanda, merupakan
pengaruh revolusi yang dikendalikan oleh Prancis.
Dalam revolusi tersebut, kekuasaan raja Willem V runtuh, dan berdirilah
Republik Bataaf. Tidak lama kemudian Republik Bataaf juga dibubarkan dan
Belanda dijadikan kerajaan di bawah pengaruh Prancis, sebagai rajanya adalah
Louis Napoleon. Pada tanggal 1 Januari 1808 Louis Napoleon kemudian mengirim
Herman Willem Daendels sebagai gubernur jenderal dengan tugas utama
mempertahankan pulauJawa dari ancaman Inggris. Juga diberi tugas
mengatur pemerintahan di Indonesia.
Pada tanggal 15 Januari 1808 Daendels menerima kekuasaan dari Gubernur
Jenderal Weise. Daendels dibebani tugas mempertahankan Pulau Jawa dari
serangan Inggris, karena Inggis telah menguasai daerah kekuasaan VOC di
Sumatra, Ambon, dan Banda. Sebagai gubernur jenderal, langkah-langkah yang
ditempuh Daendels, antara lain:
Meningkatkan jumlah tentara dengan jalan mengambil dari berbagai suku bangsa di
Indonesia.
Membangun pabrik senjata di Semarang dan Surabaya.
Membangun pangkalan armada di Anyer dan Ujung Kulon.
Membangun jalan raya dari Anyer hingga Panarukan, sepanjang 1.100 km.
Membangun benteng-benteng pertahanan.
Dalam rangka mewujudkan langkah-langkah tersebut Daendels menerapkan
sistem kerja paksa (rodi). Selain menerapkan kerja paksa Daendels melakukan
berbagai usaha untuk mengumpulkan dana dalam menghadapi Inggris. Langkah
tersebut antara lain:
Mengadakan penyerahan hasil bumi (contingenten).
Memaksa rakyat-rakyat menjual hasil buminya kepada pemerintah Belanda dengan
harga murah (verplichte leverantie).
Melaksanakan (Preanger Stelsel), yaitu kewajiban yang dibebankan kepada rakyat
Priangan untuk menanam kopi.
Menjual tanah-tanah negara kepada pihak swasta asing seperti kepada Han Ti Ko
seorang pengusaha Cina.

a.
b.
c.
d.

Kebijakan yang diambil Daendels sangat berkaitan dengan tugas utamanya yaitu
untuk mempertahankan Pulau Jawa dari serangan pasukan Inggris.Berikut ini
kebijakan-kebijakan yang diberlakukan Daendels terhadap kehidupan rakyat.
Semua pegawai pemerintah menerima gaji tetap dan mereka dilarang melakukan
kegiatan perdagangan.
Melarang penyewaan desa, kecuali untuk memproduksi gula, garam, dan sarang
burung.
Menerapkan sistem kerja paksa (rodi) dan membangun ketentaraan dengan melatih
orangorang pribumi.
Membangun pelabuhan-pelabuhan dan membuat kapal perang berukuran kecil.

Pemerintahan Daendels (1808-1811)

Pada tahun 1806, Napoleon Bonaparte berhasil menaklukkan Belanda. Napoleon


mengubah bentuk negara Belanda dari kerajaan menjadi republik. Napoleon
ingin memberantas penyelewengan dan korupsi serta mempertahankan Pulau Jawa
dari Inggris. Ia mengangkat Herman Willem Daendels menjadi Gubernur Jenderal di
Batavia. Untuk menahan serangan Inggris, Daendels melakukan tiga hal, yaitu:
menambah jumlah prajurit,
membangun pabrik senjata, kapal-kapal baru, dan pos-pos pertahanan,
membangun jalan raya yang menghubungkan pos satu dengan pos lainnya.
Untuk menjalankan pemerintahan di Indonesia diangkatlah gubenur jendral
Daendels. Daendels tiba di Indonesia pada tanggal 1 Januari 1808. Daendels
kemudian mengadakan banyak tindakan. Salah satu tindakan Daendels yang
terkenal adalah dalam bisang sosial ekonomi. Beberapa tindakan itu antara lain
sebagai berikut.
Meningkatkan usaha pemasukan uang dengan cara pemungutan pajak.
Meningkatkan penanaman tanaman yang hasilnya laku di pasaran dunia.
Rakyat masih diharuskan melaksanakan penyerahan wajib hasil pertaniannya.
Untuk menambah pemasukan dana, juga telah dilakukan penjualan tanah-tanah
kepada pihak swasta.

Daendels memerintah dengan keras dan kejam, sehingga menimbulkan reaksi


dari rakyat. Salah satunya, perlawanan dari rakyat Sumedang dibawah
pimpinan Pangeran Kornel atau Pangeran Surianegara Kusumaddinata (17911828), seorang bupati Sumedang. Perlawanan karena rakyat dipaksa bekerja
dengan perlengkapan sederhana untuk membuat jalan melalui bukit yang penuh
batu cadas. Daerah tersebut sekarang dikenal dengan nama Cadas Pangeran.
Pada saat Daendels memerintah, ia bertindak keras terhadap raja-raja di Jawa.
Tetapi kurang strategis sehingga mereka menyimpan dendam kepadanya. Di mata
Daendels, semua raja pribumi harus mengakui raja Belanda sebagai junjungannya
dan minta perlindungan kepadanya. Bertolak dari konsep ini, Daendels mengubah
jabatan pejabat Belanda di kraton Solo dan kraton Yogya dari residen menjadi
minister.
Minister tidak lagi bertindak sebagai pejabat Belanda melainkan sebagai wakil
raja Belanda dan juga wakilnya di kraton Jawa. Oleh karena itu Daendels membuat
peraturan tentang perlakuan raja-raja Jawa kepada para Minister di kratonnya. Jika
di zaman VOC para residen Belanda diperlakukan sama seperti para penguasa
daerah yang menghadap raja-raja Jawa, dengan duduk di lantai dan
mempersembahkan sirih sebagai tanda hormat kepada raja Jawa, Minister tidak
layak lagi diperlakukan seperti itu. Minister berhak duduk sejajar dengan raja,
memakai payung seperti raja, tidak perlu membuka topi atau mempersembahkan
sirih kepada raja, dan harus disambut oleh raja dengan berdiri dari tahtanya ketika
Minister datang di kraton. Ketika bertemu di tengah jalan dengan raja, Minister tidak
perlu turun dari kereta tetapi cukup membuka jendela kereta dan boleh berpapasan
dengan kereta raja. Meskipun di Surakarta Sunan Paku Buwono IV menerima
ketentuan ini, di Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono II tidak mau menerimanya.
Daendels harus menggunakan tekanan agar Sultan Yogya bersedia melaksanakan
aturan itu.Tetapi dalam hati kedua raja itu tetap tidak terima terhadap perlakuan
Daendels ini. Jadi ketika orang-orang Inggris datang, maka mereka bersama-sama
dengan para raja "mengkhianati" orang Belanda.
Pertentangan pun terjadi dengan Kerajaan Mataram Ngayogyakarta. Dengan
menggunakan politik Devide et Impera seperti yang dilakukan VOC Sultan
Hamengkubuwono di pecat kemudian digantikan oleh Sultan Sepuh. Kemudian
daerah Ngayogyakarta diperkecil. Upaya untuk mengumpulkan uang, Daendels
menjual tanah-tanah partikelir kepada orang Belanda, Tionghoa dan Arab. Akibatnya
para pemilik tanah tersebut dapat menghisap tenaga rakyat karena memiliki hak-hak
istimewa.
Berbeda dengan apa yang dipercaya orang selama ini, Daendels selama masa
pemerintahannya memang memerintahkan pembangunan jalan di Jawa tetapi tidak
dilakukan dari Anyer hingga Panarukan. Jalan antara Anyer dan Batavia sudah ada
ketika Daendels tiba. Oleh karena itu menurut het Plakaatboek van Nederlandsch
Indie jilid 14, Daendels mulai membangun jalan dari Buitenzorg menuju Cisarua dan
seterusnya sampai ke Sumedang.Pembangunan dimulai bulan Mei 1808. Di
Sumedang, proyek pembangunan jalan ini terbentur pada kondisi alam yang sulit
karena terdiri atas batuan cadas, akibatnya para pekerja menolak melakukan proyek
tersebut dan akhirnya pembangunan jalan macet. Akhirnya Pangeran Kornel turun
tangan dan langsung menghadap Daendels untuk meminta pengertian atas
penolakan para pekerja.

Ketika mengetahui hal ini, Daendels memerintahkan komandan pasukan zeni


Brigadir Jenderal von Lutzow untuk mengatasinya. Berkat tembakan artileri, bukit
padas berhasil diratakan dan pembangunan diteruskan hingga Karangsambung.
Sampai Karangsambung, proyek pembangunan itu dilakukan dengan kerja upah.
Para bupati pribumi diperintahkan menyiapkan tenaga kerja dalam jumlah tertentu
dan masing-masing setiap hari dibayar 10 sen per orang dan ditambah dengan
beras serta jatah garam setiap minggu.
Setibanya di Karangsambung pada bulan Juni 1808, dana tiga puluh
ribu gulden yang disediakan Daendels untuk membayar tenaga kerja ini habis dan di
luar dugaannya, tidak ada lagi dana untuk membiayai proyek pembangunan jalan
tersebut. Ketika Daendels berkunjung ke Semarang pada pertengahan Juli 1808, ia
mengundang semua bupati di pantai utara Jawa. Dalam pertemuan itu Daendels
menyampaikan bahwa proyek pembangunan jalan harus diteruskan karena
kepentingan mensejahterakan rakyat (H.W. Daendels, Staat van Nederlandsch
Indische Bezittingen onder bestuur van Gouverneur Generaal en Marschalk H.W.
Daendels 1808-1811, 's Gravenhage, 1814). Para bupati diperintahkan menyediakan
tenaga kerja dengan konsekuensi para pekerja ini dibebaskan dari kewajiban kerja
bagi para bupati tetapi mencurahkan tenaganya untuk membangun jalan. Sementara
itu para bupati harus menyediakan kebutuhan pangan bagi mereka. Semua proyek
ini akan diawasi oleh para prefect yang merupakan kepala daerah pengganti residen
VOC. Dari hasil kesepakatan itu, proyek pembangunan jalan diteruskan dari
Karangsambung ke Cirebon. Pada bulan Agustus 1808 jalan telah sampai di
Pekalongan.
Sebenarnya
jalan
yang
menghubungkan Pekalongan hingga Surabayatelah ada, karena pada tahun 1806
Gubernur Pantai Timur Laut JawaNicolaas Engelhard telah menggunakannya untuk
membawa pasukan Madura dalam rangka menumpas pemberontakan Bagus
Rangin di Cirebon (Indische Tijdschrift, 1850). Jadi Daendels hanya melebarkannya.
Tetapi ia memang memerintahkan pembukaan jalan dari Surabaya sampai
Panarukan sebagai pelabuhan ekspor paling ujung di Jawa Timur saat itu.
Kontroversi terjadi tentang pembangunan jalan ini. Pada masa Daendels banyak
pejabat Belanda yang dalam hatinya tidak menyukai Perancis tetapi tetap setia
kepada dinasti Oranje yang melarikan diri ke Inggris. Namun mereka tidak bisa
berbuat banyak karena penentangan terhadap Daendels berarti pemecatan dan
penahanan dirinya. Hal itu menerima beberapa orang pejabat seperti Prediger
(Residen Manado), Nicolaas Engelhard (Gubernur Pantai Timur Laut Jawa) dan
Nederburgh (bekas pimpinan Hooge Regeering). Mereka yang dipecat ini kemudian
kembali ke Eropa dan melalui informasi yang dikirim dari para pejabat lain yang
diam-diam menentang Daendels (seperti Peter Engelhard Minister Yogya, F.
Waterloo Prefect Cirebon, F. Rothenbuhler, Gubernur Ujung Timur Jawa), mereka
menulis keburukan Daendels.
Di antara tulisan mereka terdapat proyek pembangunan jalan raya yang
dilakukan dengan kerja rodi dan meminta banyak korban jiwa. Sebenarnya mereka
sendiri tidak berada di Jawa ketika proyek pembangunan jalan ini dibuat. Ini terbukti
dari penyebutan pembangunan jalan antara Anyer dan Panarukan, padahal
Daendels membuatnya dimulai dari Buitenzorg. Sayang sekali arsip-arsip mereka
lebih banyak ditemukan dan disimpan di arsip Belanda, sementara data-data yang
dilaporkan oleh Daendels atau para pejabat yang setia kepadanya (seperti J.A. van

Braam, Minister Surakarta) tidak ditemukan kecuali tersimpan di Perancis karena


Daendels melaporkan semua pelaksanaan tugasnya kepada Napoleon setelah
penghapusan Kerajaan Belanda pada tahun 1810. Sejarawan Indonesia yang
banyak mengandalkan informasi dari arsip Belanda ikut berbuat kesalahan dengan
menerima kenyataan pembangunan jalan antara Anyer-Panarukan melalui kerja
rodi.
Pemerintahan Janssen (1811)

Sebagai pengganti Danedels dikirimlah Jan Willem Janssen. Ia mulai


menjabat Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Jawa tahun 1811. Ia kemudian
memperbaiki keadaan yang ditinggalkan oleh Daendels. Namun Daerah Kepulauan
Maluku sudah berhasil direbut oleh Inggris. Bahkan secara de facto daerah
kekuasaan Hindia Belanda di masa Janssen itu tinggal daerah-daerah tertentu,
misaInya Jawa, Makasar, dan Palembang, danternyata Janssens tidak secakap dan
sekuat Daendels dalam melaksanakan tugasnya. Ketika Inggris menyerang Pulau
Jawa, ia menyerah dan harus menandatangani perjanjian di Tuntang pada tanggal
17 September 1811. Perjanjian tersebut dikenal dengan nama Kapitulasi Tuntang,
yang berisi sebagai berikut.
a. Seluruh militer Belanda yang berada di wilayah Asia Timur harus diserahkan
kepada Inggris dan menjaditawanan militer Inggris.
b. Hutang pemerintah Belanda tidak diakui oleh Inggris.
c. Pulau Jawa dan Madura serta semua pelabuhan Belanda di luar Jawa menjadi
daerah kekuasaan Inggris (EIC).

Anda mungkin juga menyukai