Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Penyakit HIV/AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome/Acquired Immune
Deficiency Syndrome) merupakan salah satu ancaman kesehatan masyarakat yang sangat
mendasar di dekade terakhir dan di masa depan. Menurut the Joint United Nations Program
on HIV/ AIDS (UNAIDS), pada tahun 2008 terdapat 33,4 juta orang terinfeksi oleh HIV dan
AIDS di seluruh dunia. Belahan dunia yang paling parah terjangkit HIV dan AIDS adalah
Afrika Sub-Sahara yang juga merupakan high epidemic, di daerah tersebut 22,4 juta orang
dewasa dan anak-anak hidup dengan HIV/AIDS.1
Berdasarkan prevalensi secara nasional prevalensi kasus AIDS di Indonesia sebesar
8,15 artinya setiap 100.000 penduduk sebesar 8.15 persen diataranya menderita AIDS.
Selama sepuluh tahun terakhir, jumlah penderita HIV/AIDS di Indonesia terus meningkat,
dari 1 Januari 1987 s.d. 31 Maret 2010 ditemukan 20564 kasus dan 3936 diantaranya
meninggal dunia. Jawa tengah menduduki peringat ke tujuh di Indonesia dengan 752 kasus
yg ditemukan. 2
Sementara untuk kota Semarang sendiri, menurut Kepala Bidang Pencegahan dan
Penanggulangan Penyakit (P2P) Dinkes Kota Semarang dr Mada Gautama di Semarang,
Selasa (17/9/2013), hingga Agustus 2013 tercatat sebanyak 324 penderita HIV dan 48
penderita AIDS. Jumlah penderita HIV/AIDS di Kota Semarang, Jawa Tengah, masih tinggi
pada 2013 meski menurun dibandingkan dengan 2012.3

Heteroseksual, homo- biseksual, IDU (Injecting Drug User),dan transmisi perinatal


merupakan faktor resiko terinfeksi HIV/AIDS. Dari 20564 orang yang terinfeksi di
Indonesia, 15168 diantaranya adalah laki-laki dengan pengguna narkoba jarum suntik
(penasun) sebanyak 7430 kasus, 5306 orang wanita dengan penasun sebanyak 611 kasus, 90
orang tidak diketahui jenis kelaminnya dengan penasun sebanyak 49 kasus. Jakarta
merupakan daerah dengan ODHA tertinggi nomer tiga di Indonesia hingga 31 Desember
2006 terdapat sebanyak 2.656 kasus. Dari jumlah tersebut, 50,98 persen atau sebanyak
24.075 penderita merupakan pengguna narkoba jarum suntik (penasun) (KPAP Jakarta,
2010). Menurut golongan umur, proporsi penderita AIDS terbesar terdapat pada kelompok
usia 20 29 tahun (48,7%) , disusul kelompok umur 30 39 tahun (30,3%) dan kelompok
umur 40 49 tahun (8,89%). 4
Penanggulangan HIV sangat ditekankan pada tantangan untuk menemukan orangorang yang terinfeksi virus HIV (surveilens).

Karena dengan menemukan orang-orang

dengan HIV akan membuka jalan untuk penatalaksanaan kasus dan pencegahan yang lebih
adekuat sehingga akan menurunkan angka morbiditas dan mortalitas karena HIV.5
Saat ini surveilens HIV dilakukan dengan 2 cara, yaitu Voluntary Counseling and
Testing (VCT) dan Provider Inisiated HIV Testing and Counseling (PITC). VCT adalah suatu
metode surveilens HIV berdasarkan inisiatif dari pasien itu sendiri. VCT telah terbukti
menjadi strategi yang efektif untuk memfasilitasi perubahan perilaku untuk pencegahan HIV.
VCT juga memainkan peran dalam mengurangi stigma dan diskriminasi. 6
Respon VCT tidak optimal karena adanya berbagai faktor yang mempengaruhinya,
kurangnya akses ke layanan pengujian, ketakutan stigma dan diskriminasi, rasa takut akan tes
positif, dan kurangnya akses terhadap pengobatan. Untuk mengatasi keterbatasan metode ini,
munculah suatu inisiatif baru yang disebut PITC. PITC merupakan konseling dan testing
2

yang direkomendasikan berdasar pada indikasi medis. PITC dilakukan pada setting kesehatan
oleh petugas konselor kesehatan dengan tujuan untuk memberikan diagnosis dan memberi
terapi pada pasien. 7
Untuk mengantisipasi meluasnya penyebaran virus HIV/ AIDS, saat ini di kota
Semarang telah tersedia sembilan klinik Voluntary Conseling and Testing (VCT) guna
melakukan pemeriksaan kesehatan khususnya untuk pengecekan virus HIV/ AIDS. Klinik
VCT di Semarang dapat ditemukan di RSUP dr Kariadi, RS Tugu, RSUD Kota Semarang
Ketileng, RS Panti Wiloso Citarum, RS Bhayangkara, Griya ASA- PKBI, dan di PMI Kota
Semarang. Untuk membantu dalam penanggulangan HIV/AIDS klinik VCT juga melakukan
kerja sama kemitraan dengan LSM. Dasar dari adanya kemitraan tersebut adalah adanya
peningkatan penderita HIV/AIDS yang terus meningkat serta kurangnya kepedulian
masyarakat umum terhadap penanggulangan HIV/AIDS. 8
Penerimaan tiap individu pada tes HIV berbeda-beda,tergantung faktor apa saja yang
dapat mempengarui individu tersebut. Sebagai contoh bahwa pasien yang lebih tua umumnya
menolak pengujian karena merasa kurangnya berisiko terinfeksi, jenis kelamin perempuan,
ras kulit putih, umur yang tua, dan tingkat pendidikan yang tinggi juga merupakan golongan
yang sering menunjukkan penolakan terhadap tes HIV. 9
Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai
perbedaan kesediaan tes HIV (acquired immunodeficiency syndrome) antara orang berisiko
terinfeksi HIV yang datang dengan inisiatif sendiri dan petugas kesehatan dengan LSM
(lembaga swadaya masyarakat) di Semarang.

1.2 Rumusan Masalah


Apakah terdapat perbedaan kesediaan tes HIV antara orang berisiko terinfeksi HIV
yang datang dengan inisiatif sendiri dengan didampingi petugas kesehatan dari LSM di
Semarang?

1.3 Tujuan Penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kesediaan tes HIV antara orang
berisiko terinfeksi HIV yang datang dengan inisiatif sendiri dengan didampingi petugas
kesehatan dari LSM di Semarang.

1.4 Manfaat Penelitian


a. Manfaat teoritik
Dari penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi dan wacana tentang program
survelians HIV.
b. Manfaat terapan
Dari penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi tentang program VCT (Voluntary
Counselling and Testing) di Semarang.

1.5 Orisinalitas
Tabel 1: Orisinalitas
No.
1

Judul
Faktor-faktor

yang

berhubungan

dengan

Peneliti
S. GUNAWAN
WIDIYANTO

Desain
Observasional

Hasil
-Berdasar praktik VCT ulang
dalam waktu 3 bulan terakhir,

Praktik wanita pekerja

sebesar 42,2% WPS dalam

seks (wps) dalam VCT

penelitian ini tidak melakukan

ulang

VCT ulang dan 57,8 % WPS

di

lokalisasi

Sunan

melakukan VCT ulang.


4

Kuning, semarang

-Sebesar

28,9

WPS

mempunyai keyakinan kurang


baik tentang VCT
dan sebesar 71,1 % WPS
mempunyai keyakinan baik
tentang VCT.
-Sebesar 2,2 % WPS kurang
mendapat

dorongan

dari

orang lain untuk melakukan


VCT dan sebesar 97,8 %
WPS

mendapat

dorongan

yang baik dari orang lain


untuk melakukan VCT.
2

Hubungan asal inisiatif

Selvy Agustina

Observasional

Ada hubungan antara asal

dan kesediaan tes HIV

inisiatif dengan kesediaan tes

(Human

HIV

Immunodeficiency

Immunodeficiency

Virus)
berisiko

pada
tinggi

(Human
Virus)

orang

pada orang berisiko terinfeksi

HIV

di Surakarta yang bermakna

terinfeksi di surakarta

secara statistik (p>0,05).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 HIV
Virus imunodifisiensi manusia1 (Human Immunodeficiency Virus/ HIV ) adalah suatu
virus yang dapat menyebabkan penyakit AIDS. Virus ini menyerang manusia dan menyerang
sistem kekebalan (imunitas) tubuh, sehingga tubuh menjadi lemah dalam melawan infeksi.
Dengan kata lain, kehadiran virus ini dalam tubuh akan menyebabkan defisiensi (kekurangan)
sistem imun.10
HIV memiliki diameter 100-150 nm dan berbentuk sferis (spherical) hingga oval
karena bentuk selubung yang menyelimuti partikel virus (virion). Selubung virus berasal dari
membran sel inang yang sebagian besar tersusun dari lipida. Di dalam selubung terdapat
bagian yang disebut protein matriks.11
Bagian internal dari HIV terdiri dari dua komponen utama, yaitu genom dan kapsid.
Genom adalah materi genetik pada bagian inti virus yang berupa dua kopi utas tunggal RNA.
Sedangkan, kapsid adalah protein yang membungkus dan melindungi genom.12
Berbeda dengan sebagian besar retrovirus yang hanya memiliki tiga gen (gag, pol,
dan env), HIV memiliki enam gen tambahan (vif, vpu, vpr, tat, ref, dan nef). Gen-gen tersebut
disandikan oleh RNA virus yang berukuran 9 kb.3 Kesembilan gen tersebut dikelompokkan
menjadi tiga kategori berdasarkan fungsinya, yaitu gen penyandi protein struktural (Gag, Pol,
Env), protein regulator (Tat, Rev), dan gen aksesoris (Vpu hanya pada HIV-1, Vpx hanya
pada HIV-2; Vpr, Vif, Nef).13

Gb.1 Struktur HIV 14


Seperti virus lain pada umumnya, HIV hanya dapat bereplikasi dengan memanfaatkan
sel inang. Siklus hidup HIV diawali dengan penempelan partikel virus (virion) dengan
reseptor pada permukaan sel inang, di antaranya adalah CD4, CXCR5, dan CXCR5. Sel-sel
yang menjadi target HIV adalah sel dendritik, sel T, dan makrofaga. Sel-sel tersebut terdapat
pada permukaan lapisan kulit dalam (mukosa) penis, vagina, dan oral yang biasanya menjadi
tempat awal infeksi HIV. Selain itu, HIV juga dapat langsung masuk ke aliran darah dan
masuk serta bereplikasi di noda limpa.13
Setelah menempel, selubung virus akan melebur (fusi) dengan membran sel sehingga
isi partikel virus akan terlepas di dalam sel. Selanjutnya, enzim transkriptase balik yang
dimiliki HIV akan mengubah genom virus yang berupa RNA menjadi DNA. Kemudian, DNA
virus akan dibawa ke inti sel manusia sehingga dapat menyisip atau terintegrasi dengan DNA
manusia. DNA virus yang menyisip di DNA manusia disebut sebagai provirus dan dapat
bertahan cukup lama di dalam sel. Saat sel teraktivasi, enzim-enzim tertentu yang dimiliki sel
inang akan memproses provirus sama dengan DNA manusia, yaitu diubah menjadi mRNA.
Kemudian, mRNA akan dibawa keluar dari inti sel dan menjadi cetakan untuk membuat

protein dan enzim HIV. Sebagian RNA dari provirus yang merupakan genom RNA virus.
Bagian genom RNA tersebut akan dirakit dengan protein dan enzim hingga menjadi virus
utuh. Pada tahap perakitan ini, enzim protease virus berperan penting untuk memotong
protein panjang menjadi bagian pendek yang menyusun inti virus.14 Apabila HIV utuh telah
matang, maka virus tersebut dapat keluar dari sel inang dan menginfeksi sel berikutnya.
Proses pengeluaran virus tersebut melalui pertunasan (budding), di mana virus akan
mendapatkan selubung dari membran permukaan sel inang.15

2.2 Risiko tinggi HIV


Ancaman penyakit HIV/AIDS di Indonesia semakin nyata, hal ini diperkuat dengan
data yang dikumpulkan oleh Ditjen PPM & PL Departemen Kesehatan, menurut laporan
sampai dengan Agustus 2013 Depkes mencatat bahwa jumlah kumulatif kasus AIDS
berjumlah 30365 jiwa dan 4834 diantaranya sudah meninggal dunia. Beberapa faktor
penyebab AIDS menurut Depkes adalah heteroseksual, homo- biseksual, IDU (Injecting
Drug User),dan transmisi perinatal. 2
Kelompok pengguna narkoba jarum suntik (penasun) merupakan kelompok yang
sangat berisiko penularan HIV karena perilaku penggunaan jarum suntik secara bergantian
Kelompok pengguna Napza suntik (penasun) yang terinfeksi HIV dan berinteraksi dengan
kelompok lainnya memberikan kontribusi terhadap peningkatan prevalensi HIV pada
kelompok berisiko tinggi.
Kelompok lain yang juga berisiko tinggi terinfeksi HIV/AIDS adalah kelompok
waria. Berdasarkan estimasi data tahun 2006 jumlah waria di Indonesia sebesar 20.960
hingga 35.300.

2.3 Surveilens HIV


Konseling dan testing adalah salah satu layanan yang paling cepat berkembang untuk
program HIV di dunia. Mendorong meningkatnya permintaan adalah pengakuan peran
konseling dan testing di kedua pencegahan infeksi HIV baru dan peningkatan akses pada
perawatan dan pengobatan (termasuk ART).
Secara umum, konseling dan testing menjadi strategi utama dalam program
pencegahan dan penatalaksanaan kasus HIV. Sampai dengan tahun 2006, kebijakan global
yang dilakukan untuk surveilens HIV adalah dengan client-innitiated voluntary counseling
and testing (VCT) yang dilakukan di dalam maupun di luar Unit Pelayanan Kesehatan. VCT
mempunyai prinsip 3C yakni consent, counseling dan confidentiality. 16
Konseling dan testing sukarela (VCT) adalah proses dimana seorang individu
menjalani konseling yang bersifat rahasia sehingga memungkinkan individu untuk
memperoleh berbagai informasi dan mengetahui status HIVnya dan dapat mengambil
tindakan yang tepat sesuai dengan status HIVnya. Dan jika seseorang sudah memutuskan
untuk melakukan tes HIV, VCT sangat menjaga kerahasiaannya. Sifat sukarela dalam VCT
adalah salah satu prinsip mendasar.
Dalam VCT dilakukan konseling 2 tahap yaitu pra tes dan pasca tes.
1. Pada pra tes, klien dipahamkan perilaku beresiko kemudian dilatih membuat
perubahan yang lebih sehat, baik dengan menghilangkan resiko atau mengganti
dengan resiko yang lebih kecil, kemudian klien didorong melakukan keputusan untuk
menjalani test HIV/AIDS. Klien dipersiapkan untuk menerima hasil baik positif
maupun negatif. Hampir semua laboratorium klinik melakukan tes untuk HIV/AIDS
akan tetapi jarang sekali orang mau datang karena ada kendala psikologis. Untuk hal
ini, maka beberapa sukarelawan HIV/AIDS memberi pelayanan dengan mengantar
9

klien ke laboratarium atau pengambilan darah di ruang konseling dokter dan dokter
mengantar darah ke laboratorium, sehingga klien tidak bertemu dengan orang lain
kecuali dengan dokter konselornya.
2. Konseling Pasca tes yaitu menyampaikan hasil laboratorium pada klien. Untuk itu,
klien bisa negatif, negatif palsu, positif dan positif palsu. Negatif palsu bisa terjadi
bila klien terinfeksi kurang dari 3 bulan sehingga test tidak bisa mendeteksi virus.
Positif palsu adalah positif yang terjadi karena adanya protein yang hampir sama.
Oleh karena bila positif, harus dites lagi dengan reagen lain sekali lagi. Bila kedua
positif, maka bisa disebut betul terinfeksi. Pada konseling ini, klien bila sudah siap
betul, akan dilatih bagiamana merubah gaya hidupnya agar bila negatif akan terus
negatif dan tidak tertular. Bila ia aktif secara seksual, maka dipahamkan filosofi seks
dari berbagai sudut pandang yang sesuai dengan perilakunya, dan penyaluran yang
sehat, seperti menikah dan setia dengan pasangan. Bila tidak memungkinkan klien
akan dilatih mencegah penularan dengan penggunaan kondom yang benar dan aman.
Juga dilatihkan life skill lainnya yang menunjang minimal resiko infeksi. Bila
seseorang adalah pengguna jarum suntik, maka disadarkan semaksimal mungkin
untuk berhenti. Bila belum bisa, maka diterapi holistik dari promotif, preventif dan
kuratif. Bila seseorang positif, konselor sekali lagi menyakinkan klien kesiapannya
menerima kenyataan. Bila siap, maka bisa dikemukakan dan disertai dengan
bimbingan psikologis dan life skill. 17

Tabel 1. Prinsip VCT

10

Sukarela

Pengetahuan tentang status HIV adalah sukarela. Keputusan


untuk melakukan tes harus dibuat oleh klien.

Rahasia

Informasi bersama selama konseling tidak harus dibagi


dengan orang lain. Namun hasil tes HIV harus dilaporkan
kepada klien kecuali jika klien menyatakan keinginan untuk
berbagi hasil tes dengan seorang anggota keluarga,
pasangan atau teman dekat.

Konseling

Pre-test konseling memberikan kesempatan bagi klien


untuk mengeksplorasi risiko HIV dan bagaimana untuk
mengurangi itu, dan membantu klien memutuskan apakah
atau tidak untuk mengambil tes HIV.
Dalam konseling klien harus didorong untuk mengambil
hasi tes HIVtersebut. Informasi mengenai hasil tes HIV
mereka akan diketahui selama konseling post-test. Layanan
konseling harus berkualitas tinggi.

Pelaksanaan

Kehadiran antibodi terhadap HIV dalam darah, air liur atau

Tes

air kencing menegaskan diagnosis HIV. Hasil tes positif


dikonfirmasi menggunakan tes-tes tambahan.

Persetujuan

Klien setuju untuk tes HIV melalui pemberian persetujuan


mereka.

Privasi

Lingkungan harus memungkinkan diskusi pribadi antara


klien dan konselor.

Arahan

Klien harus mempunyai akses terhadap pencegahan,


perawatan dan dukungan layanan yang tersedia. Pelayanan
rujukan harus dilakukan dengan menghormati kerahasiaan

11

klien.
Konselor

Karakteristik konselor antara lain karena tidak menghakimi,


empati, hormat, dan mendukung. Staf dengan tugas
konseling harus dilatih dalam konseling HIV

Kesetaraan

HIV positif tidak boleh didiskriminasikan.

Kepatuhan

Layanan harus mematuhi protokol lokal dan nasional,


undang-undang dan peraturan mengatur penyediaan layanan
HIV.

Monitoring

Jasa konseling dan pengujian harus dipantau dan dievaluasi,

dan evaluasi

baik secara kuantitatif dan kualitatif, untuk memastikan


layanan berkualitas tinggi

Namun demikian, ternyata VCT dinilai tidak cukup efektif sehingga muncul inisiatif
untuk membuat tes HIV lebih rutin. Untuk itulah, pada sekitar Agustus 2006, WHO
bersama dengan UNAIDS membuat suatu pernyataan kebijakan untuk mempromosikan
provider-innitiated HIV testing and counseling (PITC) pada fasilitas penyedia layanan
kesehatan yang diintegrasikan pada pelayanan tertentu seperti antenatal care dan
tuberkulosis. 16

Tabel 2. Perbedaan antara VCT dan PICT

Klien/Pasien

VCT
PITC
Datang ke UPK khusus untuk Datang ke klinik karena TB atau
tes HIV, sudah siap untuk tes simptom TB . Tidak selalu siap

Provider

HIV, biasanya asimptomatik


untuk tes HIV
Biasanya adalah konselor Petugas kesehatan yang sudah
terlatih, tidak harus petugas dilatih tentang PITC
12

kesehatan di UPK
Tujuan utama Pencegahan penularan
konseling dan melalui
tes HIV
Pre-tes

pemeriksaan

HIV Mendiagnosis

HIV

untuk

risiko, manajemen klinis TB dan HIV

pengurangan risiko dan tes


secara tepat
konseling yang berpusat pada Provider merekomendasikan dan
klien one on one
sama-sama

menawarkan

pentingnya

tes

pada

semua

bagi pasien TB.

klien untuk mengetahui hasil Penjelasan


HIV positif maupun negatif

singkat

tentang

pentingnya melakukan tes HIV


Waktu lebih singkat untuk pasien
dengan tes HIV negatif
Fokus pada mereka dengan hasil

Follow-up

HIV

positif

dirujuk

tes HIV positif.


untuk Penatalaksanaan

klinis

antara

mendapatkan pelayanan medis provider TB dan HIV, dirujuk


dan pendukung lainnya

untuk pelayanan pendukung yang

Tidak memandang hasil tesnya lain.


nya, klien dapat dirujuk ke
VCT

untuk

konseling

and

mendapatkan
dukungan

psikologis

2.4 Perbedaan Penerimaan Pasien pada Konseling dan


Testing HIV di Negara Lain
Salah satu strategi untuk mengatasi epidemi AIDS adalah untuk memberi orang
kesempatan untuk mengetahui status HIV, sehingga mereka dapat mengambil tindakan
pencegahan untuk menghindari penyebaran lebih lanjut dan menerima terapi awal jika
13

mereka terinfeksi. 18 Namun, bahkan di negara maju, banyak beresiko orang tidak mengambil
VCT. Sebuah survei nasional di Inggris pada tahun 2000 menunjukkan bahwa hanya
sepertiga dari penasun saja yang telah VCT dalam 5 tahun terakhir. 19 Di Amerika Serikat
sekitar seperempat adri 0,8-0,9 juta orang yang terinfeksi HIV tidak menyadari bahwa
mereka HIV positif. 20 Menurut UNAIDS (2003), diperkirakan bahwa hanya 0,2% dari orang
dewasa dinegara yang berpenghasilan rendah dan menengah yang menerima tes HIV secara
sukarela melalui layanan konseling dan testing. Dan survei di sub-Sahara Afrika
menunjukkan bahwa rata-rata hanya 12% pria dan 10% perempuan telah diuji HIV dan
menerima hasilnya (WHO, 2007). Studi yang dilakukan di beberapa negara Afrika juga
melaporkan bahwa VCT ditawarkan kepada ibu hamil pada umumnya diterima dengan
baik.21
Berbeda dengan survei yang dilakukan di provinsi Yunan (pusat epidemi HIV/AIDS
di Cina) di antara 840 ibu hamil dan 780 profesional kesehatan di temukan sikap negatif
terhadap penderita HIV / AIDS. 23% dari profesional kesehatan dan 45% dari wanita hamil
berpikir HIV adalah penyakit "kelas rendah dan ilegal", 48% dari profesional kesehatan dan
59% wanita hamil berpikir bahwa orang HIV positif seharusnya tidak diperbolehkan untuk
menikah dan 30% dari para profesional kesehatan tidak bersedia untuk mengobati HIVpositif. 22
Sebuah penelitian di Zimbabwe menyebutkan dari 4.812 sampel yang ditawari VCT
hanya 37% yang menyatakan bersedia melakukan tes HIV, mereka di beri petunjuk tempat
dan waktu tes. Namun hanya 9,4% yang kembali untuk benar-benar melakukan tes HIV. 23

14

2.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengambilan Tes HIV


dan Penerimaan Pasien pada Konseling dan Testing HIV
Pengambilan keputusan merupakan suatu proses mental (proses kognitf) sehingga
dapat memilih suatu tindakan dari beberapa alternatif. Setiap proses pengambilan keputusan
menghasilkan pilihan akhir. Banyak faktor yang mempengaruhi seseorang dalam mengambil
keputusan. Diantaranya faktor-faktor tersebut adalah:
1.
2.
3.
4.

Faktor Budaya: kebangsaan, agama, ras, karier, pendidikan, dan tempat tinggal.
Faktor Sosial: keluarga, status sosial.
Faktor Pribadi: pekerjaan atau karier, gaya hidup, kepribadian serta konsep hidup.
Faktor Psikologis: motivasi, persepsi, keyakinan, dan pendirian.

Menurut Khasier Family Foundation (2006), orang sering tidak tes HIV karena mereka
tidak merasa diri mereka pada risiko infeksi. Dan pasien akan lebih mungkin melakukan tes
HIV jika petugas kesehatan profesional yang menyarankan. Suatu studi menunjukan, banyak
orang gagal melakukan tes HIV karena berbagai alasan: kurangnya akses ke layanan
pengujian, ketakutan stigma dan diskriminasi, rasa takut akan tes positif, dan kurangnya
akses terhadap pengobatan. Fakta-fakta ini menunjukan bahwa peluang untuk meningkatkan
akses terhadap pengobatan, perawatan, dukungan dan pencegahan yang telah dan sedang
dilakukan, tidak terjawab. 7
Dalam suatu studi di Amerika Serikat, disebutkan bahwa jenis kelamin perempuan, ras
kulit putih, umur yang tua, dan tingkat pendidikan yang tinggi merupakan golongan yang
sering menunjukkan penolakan terhadap tes rutin HIV. 70% responden yang mempunyai
tingkat pendidikan tinggi menolak tes HIV dengan alasan merasa tidak mempunyai risiko. 24
Hasil yang sama juga ditunnjukkan oleh sebuah studi di Nigeria bahwa tingkat pendidikan
yang lebih tinggi dikaitkan dengan penurunan penerimaan tes HIV. 25
Status pernikahan juga memiliki peran dalam pengambilan keputusan untuk tes HIV.
Dalam penelitian Demissie et al (2006) disebutkan bahwa wanita yang menikah lebih
15

mungkin menjalani tes HIV dibanding wanita yang belum. Namun hasil penelitian ini
bertolak belakang dengan penelitian yang dilakukan di Tanzania dan Uganda, dalam
penelitian tersebut dkemukakan bahwa wanita yang belum menikah lebih mungkin
melakukan tes HIV dari pada wanita yang sudah menikah.

26, 27

Di berbagai negara banyak terdapat stigma buruk pada pasien HIV, sehingga individu
dengan HIV positif mengalami penolakan dan dikriminasi. Takut akan stigma atau penolakan
adalah alasan umum mengapa banyak individu yang tidak ingin mengetahui status HIV
mereka (IPPF, 2004). 6

BAB III
KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka Teori
Dari hasil tinjauan pustaka yang ada, dapat disimpulkan kerangka penelitian sebagai berikut:

Jenis
kelamin

Umur

Tingkat
pendidika
n

Memiliki resiko
tinggi

Ditemukan &
didampingi LSM

Ditemukan &
didampingi
petugas
kesehatan

Keputusan
menerima atau
menolak
mengikuti tes HIV

16

Status
pernikaha
n

Infeksi
sekunder

kurangnya
akses ke
layanan

: diteliti

ketakutan
stigma
dan
diskrimina

takut
akan tes
positif

: tidak diteliti

3.2 Kerangka Konsep


Didampingi
petugas

Keputusan
mengikuti tes HIV

3.3 Hipotesis
Berdasarkan latar belakang dan tinjauan pustaka diatas maka dapat dirumuskan:
terdapat perbedaan kesediaan tes HIV antara orang berisiko terinfeksi HIV yang datang
dengan inisiatif sendiri dibandingkan dengan yang didampingi petugas kesehatan dengan
LSM di Semarang.

17

BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian


Penelitian ini adalah penelitian observasional analitik dengan pendekatan potong
lintang (cross-sectional)

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian akan dilaksanakan di klinik VCT RSUP dr. Kariadi Semarang, LSM Graha
Mitra Semarang

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian


4.3.1 Populasi

Populasi Penelitian semua orang yang berisiko tinggi terinfeksi HIV di Semarang.
4.3.2 Sampel

Sampel Penelitian adalah:

18

1) Orang berisiko terinfeksi HIV yang ditemukan dan didampingi oleh petugas kesehatan.
Sampel harus memiliki kriteria inklusi sebagai berikut:
a) Orang yang berisiko terinfeksi HIV yang datang ke klinik VCT dengan ini siatif
sendiri dan didampingi oleh petugas kesehatan.
b) Belum pernah melakukan tes HIV.
2) Orang berisiko terinfeksi HIV yang ditemukan dan didampingi oleh lembaga swadaya
masyarakat (LSM).
Sampel harus memiliki kriteria inklusi sebagai berikut:
a) Orang berisiko terinfeksi HIV yang ditemukan dan didampingi oleh LSM Graha
Mitra Semarang. LSM Graha Mitra mendampingi pengguna narkoba suntik dan
pasangannya.
b). Orang berisiko terinfeksi HIV yang ditemukan dan
c). Belum pernah melakukan tes HIV.
4.3.3 Kriteria Eksklusi

Subyek akan diekslusi dari penelitian jika:


1. Mengalami hambatan untuk berkomunikasi secara verbal
2. Menolak berpartisipasi dalam penelitian

19

didampingi oleh LSM waria.

4.4 Teknik Sampling


Teknik sampling yang dipakai adalah total sampling. Sampel penelitian adalah semua
orang yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi yang datang ke
RSUD dr. Kariadi Semarang dan anggota LSM yang dapat ditemui dari tanggal 14 Januari
2014 sampai 14 Januari 2014.

4.5 Identifikasi Variabel Penelitian


1. Variabel bebas
2. Variabel terikat
3. Variabel luar

: Asal Pasien
: Kesediaan orang berisiko untuk mengikuti tes HIV
: Umur, tingkat pendidikan, jenis kelamin, status pernikahan.

4.6 Definisi Operasional Variabel


1. Variabel bebas
Definisi

: Asal Pasien
: Inisiatif kedatangan pasien ke VCT dari diri sendiri dan
ditemukan petugas kesehatan atau ditemukan oleh LSM.

Alat ukur

: Kuisioner

Skala

: Diri sendiri dan ditemukan petugas kesehatan atau

ditemukan oleh
LSM

2. Variabel terikat
Definisi
Alat ukur
Skala

: Kesediaan orang berisiko untuk melakukan tes HIV


: Kesediaan orang berisiko untuk melakukan tes HIV
: Kuisioner
: Nominal (bersedia tes HIV, tidak bersedia tes HIV)

4.7 Alat dan Bahan Penelitian


Penelitian ini menggunakan kuisioner penelitian baik secara verbal maupun tertulis.
Pasien mempunyai hak untuk menolak maupun berhenti berpartisipasi dalam penelitian.

20

4.8 Cara Kerja


Penelitian ini menggunakan kuisioner sebagai alat untuk mendapatkan data dan
informasi yang dibutuhkan. Kuisioner ini diberikan kepada petugas VCT untuk diberikan
kepada pasien yang datang keklinik VCT. Sedangkan kuisoner bagi anggota LSM diberikan
secara langsung oleh peneliti kepada orang-orang yang berisiko tinggi HIV. Dalam kuisioner
juga terdapat informed consent penelitian. Informed consent ditanda tangani oleh subjek
penelitian yang bersedia ikut serta dalam penelitian.
Di klinik VCT setelah kuisioner diisi dengan lengkap maka akan diserahkan kepada
petugas kesehatan untuk selanjutnya diserahkan kepada peneliti. Sedangkan di LSM, peneliti
langsung bertemu dengan orang-orang berisi tinggi HIV ( pengguna jarum suntik dan waria)
dan memandu pengisian kuisioner.
Berikut ini skema cara kerja:
Populasi

bersedia
tes HIV

Ditemukan &
didampingi
LSM

Diri sendiri dan


didampingi petugas
kesehatan

Informed
consent
penelitian

Informed
consent
penelitian

Mengisi
kuisoner

Mengisi
kuisoner

Tidak
bersedia tes
HIV

bersedia
tes HIV
21

Tidak
bersedia tes

Analisis data

4.9 Teknik Analisis Data


Perbedaan kesediaan tes HIV dengan asal pasien ditunjukkan oleh Odds Ratio (OR)
dan CI 95%. Kemaknaan statistik OR tersebut diuji dengan menggunakan uji statistik
Fishers Exact Test. Data akan dibuat dalam bentuk tabel kontingensi 2 x 2 seperti berikut :

Kesediaan Tes HIV

Asal Pasien
Inisitif
sendiri & di
dampingi
petugas
kesehatan

Didampi
ngi LSM

Ya

Tidak

Data yang diperoleh dianalisis dengan program Statistical Product and Service
Solution (SPSS) 17 for Window.

4.10 Jadwal Penelitian


No

Kegiatan

1
2

Penyusunan proposal
Seminar proposal penelitian

Waktu (Bulan)
12
1
2
x
x
22

3
4
5
6
7

Revisi proposal
Pemilihan subjek penelitian
Pengumpulan dan pengolahan data
Penyusunan laporan hasil penelitian
Seminar hasil penelitian

x
x
x

x
x
x

4.11 Kuisioner Penelitian


Tabel 4. Kuisioner penelitian
No. Kuesioner : [__][__][__]
Tanggal interview : [__][__] [__][__] [__][__][__][__]
Kuisioner Penelitian
Faktor-faktor yang berhubungan dengan Kesediaan Melakukan Tes HIV
di RSUP Karyadi dan LSM Graha Mitra Semarang
A. Karakteristik Sosiodemografi
No
A1

Pertanyaan dan filter


Pada bulan dan tahun berapa Anda

Kategori koding
Bulan [__][__]

dilahirkan?

Tidak tahu bulan apa 98


Tahun [__][__][__][__]

A2

Apa status perkawinan Anda saat ini?

Tidak tahu tahun berapa 99


Tidak/belum menikah 1
Menikah 2

A3

A4

Apakah tingkat pendidikan terakhir

Cerai hidup/cerai mati 3


Tamat/Tidak tamat SD 1

yang telah Anda tempuh sampai saat

Tamat SMP 2

ini?

Tamat SMA 3

Apa pekerjaan anda saat ini?

Tamat Akademi/PT 4
[_______]

23

B. Riwayat Konseling dan Testing HIV


No
B1

Pertanyaan dan filter


Pernahkah Anda melakukan konseling dan testing

Kategori koding
Pernah 1

HIV?

Tidak pernah 2
Tidak tahu/tidak menjawab 99

B2

B3

Kapan terakhir kali Anda melakukan konseling dan

Tahun [__][__][__][__]

testing HIV?

Bulan [__][__]

Dimana terakhir kali Anda melakukan konseling

Klinik VCT swasta 1

dan testing HIV?

Rumah sakit 2
Puskesmas 3
Penjara 4
Tempat lain 5
Tidak menjawab 99

C. Keyakinan Mengenai Konseling dan Testing HIV


No
C1

Pertanyaan dan filter


Status HIV pada diri saya hanya dapat

Kategori koding
Sgt Tdk Setuju 1

diketahui dengan cara melakukan testing

Netral 2
Sgt Setuju 3
Tidak Setuju 4

C2

Jika saya tidak melakukan konseling, maka saya

Setuju 5
Sgt Tdk Setuju 1

tidak akan mendapat informasi tentang IMS, HIV

Netral 2

dan AIDS.

Sgt Setuju 3
Tidak Setuju 4

C3

Saya akan terkena AIDS dalam beberapa tahun


24

Setuju 5
Sgt Tdk Setuju 1

mendatang jika tidak melakukan konseling dan

Netral 2

testing HIV secara rutin.

Sgt Setuju 3
Tidak Setuju 4

C4

Saya masih dapat melindungi diri dari HIV tanpa

Setuju 5
Sgt Tdk Setuju 1

melakukan konseling dan testing HIV.

Netral 2
Sgt Setuju 3
Tidak Setuju 4

C5

Saya berkeyakinan bahwa konseling dan testing

Setuju 5
Sgt Tdk Setuju 1

HIV bermanfaat bagi orang yang beresiko HIV.

Netral 2
Sgt Setuju 3
Tidak Setuju 4
Setuju 5

D. Nilai yang Diperoleh dengan Mengetahui Status HIV


No
D1

Pertanyaan dan filter


Saya merasa sangat

yakin

akan

Kategori koding
Sgt Tdk Setuju 1

menderita AIDS bila tidak melakukan

Netral 2

konseling dan testing HIV.

Sgt Setuju 3
Tidak Setuju 4

D2

Melakukan konseling dan testing HIV

Setuju 5
Sgt Tdk Setuju 1

secara rutin membuat perasaan saya

Netral 2

lebih nyaman.

Sgt Setuju 3
Tidak Setuju 4

D3

Dengan melakukan VCT, saya

Setuju 5
Sgt Tdk Setuju 1

mendapatkan informasi yang tentang

Netral 2

25

D4

D5

IMS, HIV dan AIDS yang jelas dan

Sgt Setuju 3

sesuai fakta.

Tidak Setuju 4

Saya mendapatkan akses ke berbagai

Setuju 5
Sgt Tdk Setuju 1

pelayanan kesehatan yang berkaitan

Netral 2

dengan IMS, HIV dan AIDS setelah

Sgt Setuju 3

melakukan VCT.

Tidak Setuju 4

Semakin banyak orang yang melakukan

Setuju 5
Sgt Tdk Setuju 1

VCT

mengurangi

Netral 2

diskriminasi

Sgt Setuju 3

akan

terjadinya

D6

semakin

stigma

dan

terhadap pengidap HIV.

Tidak Setuju 4

Setelah melakukan VCT, diri saya

Setuju 5
Sgt Tdk Setuju 1

merasa terbantu untuk merencanakan

Netral 2

perubahan untuk masa depan saya.

Sgt Setuju 3
Tidak Setuju 4
Setuju 5

E. Dorongan dari Orang Lain


No
E1

Pertanyaan dan filter


Petugas outreach mendorong saya untuk

Kategori koding
Sgt Tdk Setuju 1

melakukan konseling dan testing HIV

Netral 2

secara rutin.

Sgt Setuju 3
Tidak Setuju 4

E2

Teman-teman mendorong saya untuk

Setuju 5
Sgt Tdk Setuju 1

melakukan konseling dan testing HIV

Netral 2

secara rutin.

Sgt Setuju 3
Tidak Setuju 4

26

E3

Keluarga saya mendorong saya untuk

Setuju 5
Sgt Tdk Setuju 1

melakukan konseling dan testing HIV

Netral 2

secara rutin.

Sgt Setuju 3
Tidak Setuju 4

E4

Petugas kesehatan di klinik VCT

Setuju 5
Sgt Tdk Setuju 1

mendorong saya untuk melakukan

Netral 2

konseling dan testing HIV secara rutin.

Sgt Setuju 3
Tidak Setuju 4

E5

Pasangan/pacar mendorong saya untuk

Setuju 5
Sgt Tdk Setuju 1

melakukan konseling dan testing HIV

Netral 2

secara rutin.

Sgt Setuju 3
Tidak Setuju 4
Setuju 5

27

DAFTAR PUSTAKA
1. World Health Organization (WHO) and Joint United Nations Programme on
HIV/AIDS (UNAIDS). 2007. Guidance On Provider-Initiated HIV Testing And
Counselling In Health Facilities. WHO
2. Ditjen PPM & PL Depkes RI . 2013. Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia
Dilapor s/d Agustus 2013
http://www.aidsindonesia.or.id/wpcontent/plugins/downloadsmanager/upload/LT1Me
nkes2013.pdf
3. http://jateng.tribunnews.com/2013/09/17/kasus-hivaids-di-semarang-masih-tinggi
4. Nursalam. 2007. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Terinfeksi HIV/AIDS.
www.ners.unair.ac.id/materikuliah/pdf. (9 Agustus 2009)
5. BockN.N., Nadol P., Rogers M., et al. 2008. Provider initiated HIV testing and
counseling in TB clinical settings; tools for program implementation. Int J Tuberc
Lung Dis. 12 (3): S 69-S72.
6. IPPF South Asia Regional Office and UNFPA. 2004. Integrating HIV Voluntary
Counselling and Testing Servies Into Reproductive Health Setting; Stepwise
Guidelines For Programme Planners, Managers and Service Providers. Vitesse
Printing Co Ltd.
7. UNAIDS. 2010. HIV testing and counselling
www.unaids.org/en/PolicyAndPractice/CounsellingAndTesting/default.asp

8. http://www.antaranews.com/berita/307737/kasus-hiv-aids-di-semarang-meningkat
9. Elcannem E., Gbdegesin A. 2004. VCT for HIV: A study on the Acceptability by
Nigerian Women Attending Antenatal Clinics. African Journal of Reproductive
Health ;8(2):91-100.
10. Kateglo- virus imunodifisiensi manusia

28

11. Jenny Page, Maylani Louw, Delene Pakkiri, Monica Jacobs. 2006. Working with
HIV/AIDS. Cape Town: Juta Legal and Academic Publishers
12. B. D. Schoub. 1999. AIDS and HIV in Perspective: A Guide to Understanding the
Virus and its Consequences. Cambridge University Press Page. 57-59.
13. Felissa R. Lashley, Jerry D. Durham. 2009. The person with HIV/AIDS: nursing
perspectives. Springer Publishing Company.
14. HIV Structure and Life Cycle.
15. Mark Cichocki, R.N. The HIV Life Cycle: Understanding HIV replication. Diakses 29
Mei 2011.
16. World Health Organization (WHO) and Joint United Nations Programme on
HIV/AIDS

(UNAIDS).

2010.

HIV

testing

and

counselling.

UNAIDS.http://www.unaids.org/en/PolicyAndPractice/CounsellingAndTesting/default
.asp

17. Laksono, Budi. 2010. VCT Tonggak Hijrah Seorang Beresiko HIV/AIDS
.http://www.jangkar.org/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=186

18. Weinhardt L.S., Carey M.P., Johnson B.T., Bickham N.L. 2000. Effects of HIV
counseling and testing on sexual risk behavior: a meta-analytic review of
published research, 19851997. Am J Public Health. 2000 Jul;90(7):1152-3.

19. McGarrigle C.A., Mercer C.H., Fenton K.A., Copas A.J., Wellings K, Erens B. 2005.
Investigating the relationship between HIV testing and risk behavior in Britain:
National Survey of Sexual Attitudes and Lifestyle 2000. AIDS 2005 , 19 : 77-84.

20. Centers for Disease Control and Prevention (CDC). 2003. Advancing HIV
prevention: new strategies for a changing epidemic United States. MMWR Morb
Mortal Wkly Rep 2003 , 52 : 329-332.

29

21. Cartaux M., Meda N.,Van De. Perre., Newell M. L., De Vincenzi. I., Dabis F. et al.
1998. Acceptability of voluntary HIV testing by pregnant women in developing
countries: an international survey. AIDS Care 12, 2489_/2493.

22. Hesketh T, Duo L, Li H, Tomkins A.M. 2005. Attitudes to HIV and HIV testing in
high prevalence areas of China: informing the introduction of voluntary
counselling and testing programmes. Sex Transm Infect 2005 , 81:108-112.

23. Kipitu Ummi. 2005.

Quality care of voluntary counseling and testing: clients

experience, expectations and satisfactions in Mbeya Tanzania. Training in Sexual


Health Research Geneva 2005
24. Liddicoat, R.V., Losina, E., Kang, M., et al. 2006. Refusing HIV testing in an urgent
care setting: results from the Think HIV program. Mary Ann Liebert. 20: 84-92.
25. Elcannem E., Gbdegesin A. 2004. VCT for HIV: A study on the Acceptability by
Nigerian Women Attending Antenatal Clinics. African Journal of Reproductive
Health ;8(2):91-100.
26. Emily F., Urassa W., Gerard M., et al. 2004. Acceptance of HIV testing among
pregnant women in Daressalaam, Tanzania. Journal of Acquire Immune Defic. Syndr
37(1)1197- 1205.
27. Fabiani M., Ayella E.O., Nattibi B., 2003. Factors Influencing Acceptance of VCT
among pregnant women in North Uganda. Antiretroviral Therapy. 8 (supp 1).

DAFTAR ISI

30

IDENTITAS
PENELITIAN
i
DAFTAR
ISI
ii
DAFTAR
TABEL
.iv
DAFTAR
GAMBAR
..v
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................ 1
1.1. Latar Belakang Masalah.............................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah........................................................................................ 4
1.3. Tujuan Penelitian.......................................................................................... 4
1.4 Manfaat Penelitian....................................................................................... 4
1.5 Orisinalitas.................................................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................... 6
2.1. HIV............................................................................................................... 6
2.2. Risiko tinggi HIV........................................................................................... 8
2.3. Surveilens HIV............................................................................................. 9
2.4. Perbedaan Penerimaan Pasien pada Konseling dan Testing HIV di Negara
Lain................................................................................................................... 14
2.5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengambilan Tes HIV dan Penerimaan
Pasien pada Konseling dan Testing HIV.............................................................15
BAB III KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS......................17
3.1 Kerangka Teori............................................................................................ 17
3.2. Kerangka Konsep....................................................................................... 18
3.3. Hipotesis.................................................................................................... 18
BAB IV METODE PENELITIAN.............................................................................. 19
4.1 Jenis Penelitian........................................................................................... 19
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian.....................................................................19
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian..................................................................19
4.3.1 Populasi................................................................................................ 19
4.3.2 Sampel................................................................................................. 19
31

4.3.3 Kriteria Eksklusi.................................................................................... 20


4.4 Teknik Sampling.......................................................................................... 20
4.5 Identifikasi Variabel Penelitian....................................................................20
4.6 Definisi Operasional Variabel......................................................................21
4.7 Alat dan Bahan Penelitian...........................................................................21
4.8 Cara Kerja.................................................................................................. 21
4.9 Teknik Analisis Data.................................................................................... 23
4.10 Jadwal Penelitian....................................................................................... 23
4.10 Kuisioner
Penelitian
.......24
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................. 30

32

Anda mungkin juga menyukai