Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN
Bronkopneumonia merupakan satu bentuk pneumonia, yaitu pneumonia
lobularis. Pneumonia merupakan infeksi yang mengenai parenkim paru. Pneumonia
biasanya disebabkan oleh virus atau bakteria. Sebagian besar episode yang serius
disebabkan oleh bakteria. Biasanya sulit untuk menentukan penyebab spesifik melalui
gambaran klinis atau gambaran foto dada. Dalam program penanggulangan penyakit
ISPA, pneumonia diklasifikasikan sebagai pneumonia sangat berat, pneumonia berat,
pneumonia dan bukan pneumonia, berdasarkan ada tidaknya tanda bahaya, tarikan
dinding dada bagian bawah ke dalam dan frekuensi napas, dan dengan pengobatan
yang spesifik untuk masing-masing derajat penyakit.
Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan utama
pada anak di negara berkembang. Pneumonia merupakan penyebab utama morbiditas
dan mortalitas anak berusia di bawah lima tahun. Pola bakteri penyebab pneumonia
biasanya berubah sesuai dengan distribusi umur pasien.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. Definisi
Bronkopneumonia merupakan satu bentuk pneumonia, yaitu pneumonia
lobularis. Bronkopneumonia didefinisikan sebagai peradangan akut dari parenkim
paru pada bagian distal bronkiolus terminalis dan meliputi bronkiolus respiratorius,
duktus alveolaris, sakus alveolaris dan alveoli.
Pneumonia merupakan infeksi yang mengenai parenkim paru. Kebanyakan
kasus pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme, tetapi ada sejumlah penyebab
noninfeksi seperti aspirasi makanan atau asam lambung, benda asing, hidrokarbon,
bahan lipoid dan pnemonitis akibat obat. Pneumonia digolongkan atas dasar
anatomi seperti proses lobus atau lobularis, alveoler atau interstisial
II. Epidemiologi
Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan utama
pada anak di negara berkembang. Pneumonia merupakan penyebab utama
morbiditas dan mortalitas anak berusia di bawah lima tahun. Diperkirakan hampir
seperlima kematian anak di seluruh dunia, lebih kurang 2 juta anak balita,
meninggal setiap tahun akibat pneumonia, sebagian besar terjadi di afrika dan asia
tenggara. Menurt survei kesehatan nasional tahun 2001, 27% kematian bayi dan
22,8 % kematian balita di indonesia disebabkan oleh penyakit sistem respiratorius,
terutama pneumonia.
Insidensi pneumonia pada anak < 5 tahun di negara maju adalah 2-4 kasus/100
anak/tahun, sedangkan dinegara berkembang

10-20 kasus/100 anak/tahun.

Pneumonia menyebabkan lebih dari 5 juta kematian per tahun pada balita di negara
berkembang.

Pola bakteri penyebab pneumonia biasanya berubah sesuai dengan distribusi


umur pasien. Di negara berkembang, pneumonia pada anak terutama disebabkan
oleh bakteri. Namun secara umum bakteri yang berperan penting dalam pneumonia
adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenzae, Staphylococcus
aureus, streptokokus grup B, serta kuman atipik Chlamydia pneumoniae dan
Mycoplasma pneumoniae.
III. Klasifikasi
Berdasarkan lokasi lesi di paru
-

pneumonia lobaris

pneumonia interstisial

bronkopneumonia

Berdasarkan asal infeksi


-

di dapat dari masyarakat

di dapat dari rumah sakit

Berdasarkan etiologi penyebab


-

pneumonia bakteri

pneumonia virus

pneumonia mikoplasma

pneumonia jamur

Berdasarkan karakteristik penyakit


-

pneumonia tipikal

pneumonia atipikal

Berdasarkan lama penyakit


-

pneumonia akut

pneumonia persisten

IV. Etiologi
Usia pasien merupakan faktor yang memegang peranan penting pada
perbedaan dan kekhasan pneumonia anak, terutama dalam spektrum etiologi,
gambaran klinis dan strategi pengobatan. Etiologi pneumonia pada neonatus dan
bayi kecil meliputi streptococcus group B dan bakteri gram negatif seperti E. Colli,
pseudomonas atau klebsiella. Pada bayi yang lebih besar dan anak balita,
pneumonia sering disebabkan oleh infeksi streptococcus pneumonia, haemophillus
influenzae tipe B dan staphylococcus aureus. Sedangkan pada anak yang lenih bedar
dan remaja, selain bakteri tersebut, sering juga ditemukan infeksi mycoplasma
pneumoniae.
Di negara maju, pneumonia pada anak terutama disebabkan oleh virus,
disamping bakteri. Virus yang terbanyak ditemukan adalah respiratory syncytial
virus, rino virus dan virus para influenza.
Patogen penyebab pneumonia pada anak bervariasi bergantung pada :
-

usia

status imunologis

kondisi lingkungan

status imunisasi

faktor penjamu (penyakit penyerta, malnutrisi)


Beberapa bakteri tertentu sering menimbulkan gambaran patologis tertentu bila

dibandingkan dengan bakteri lain. Infeksi Streptococcus pneumoniae biasanya


bermanifestasi sebagai bercak-bercak konsolidasi merata di seluruh lapangan paru
(bronkopneumonia)
Daftar etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan kelompok usia di Negara maju :
Usia
Lahir - 20 hari

Etiologi yang sering


Bakteri
E.colli
Streptococcus grup B
Listeria monocytogenes

3 miggu 3 bulan

Bakteri

Etiologi yang jarang


Bakteri
Bakteri anaerob
Streptococcus grup D
Haemophillus influenza
Streptococcus pneumonie
Virus
citomegalovirus
Herper simpleks virus
Bakteri
4

4 bulan 5 tahun

5 tahun remaja

Clamydia trachomatis
Streptococcus pneumoniae
Virus
Adenovirus
Influenza virus
Parainfluenza 1,2,3
respiratory syncytial virus
Bakteri
Clamydia pneumoniae
Mycoplasma pneumoniae
Streptococcus pneumoniae
Virus
Adenovirus
Rinovirus
Influenza virus
Parainfluenza virus
respiratory syncytial virus
Bakteri
Clamydia pneumoniae
Mycoplasma pneumoniae
Streptococcus pneumoniae

Bordetella pertusis
Haemophillus influenza tipe B
Moraxella catharalis
Staphylococcus aureus
Ureaplasma urealyticum
Virus
Cytomegalovirus
Bakteri
Haemophillus influenza tipe B
Moraxella catharalis
Staphylococcus aureus
Neisseria meningitides
Virus
Varisela Zoster

Bakteri
Haemophillus influenza
Legionella sp
Staphylococcus aureus
Virus
Adenovirus
Epstein-Barr virus
Influenza virus
Parainfluenza Rinovirus
Varisela zoster
Rino virus
respiratory syncytial virus

V. Patogenesis
Pneumonia dapat timbul akibat masuknya kuman penyebab ke dalam saluran
penafasan bagian bawah melalui 2 cara, yaitu : inhalasi dan hematogen.
Dalam keadaan normal saluran nafas mulai dari trakea ke bawah berada dalam
keadaan steril dengan adanya mekanisme pertahanan paru-paru seperti refleks
epiglotis yang mencegah terjadinya aspirasi sekret yang terinfeksi, refleks batuk,
pergerakan sel silia, sekret mukus, sel fagositik dan sistem limfatik. Infeksi paru
terjadi apabila mekanisme ini terganggu atau mikroorganisme yang masuk sangat
banyak dan virulensi.

Saluran napas bawah dijaga tetap steril oleh mekanisme pertahanan bersihan
mukosiliar, sekresi imunoglobulin A, dan batuk. Mekanisme pertahanan imunologik
yang membatasi invasi mikroorganisme patogen adalah makrofag yang terdapat di
alveolus dan bronkiolus, IgA sekretori, dan imunoglobulin lain.
Biasanya bakteri penyebab terhirup ke paru-paru melalui saluran nafas,
mikroorganisme tiba di alveoli membentuk suatu proses peradangan yang meliputi
empat stadium, yaitu :

1. Stadium I (4 12 jam pertama/kongesti)


Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang
berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan
peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia
ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast
setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut
mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan
jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin
untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas
kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam
ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan
alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak
6

yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini
dalam darah paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi
oksigen hemoglobin.
2. Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah,
eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai bagian dari
reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya
penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah
dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau
sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung
sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
3. Stadium III (3 8 hari)
Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin
terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel.
Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat
karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler
darah tidak lagi mengalami kongesti.

4. Stadium IV (7 11 hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan
peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh
makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.

VI. Manifestasi klinis

Sebagian besar gambaran klinis pneumonia pada anak berkisar antara ringan
hingga sedang. Hanya sebagian kecil yang berat, mengancam jiwa dan mungkin
terdapat komplikasi sehingga memerlukan perawatan di rumah sakit.
Beberapa faktor yang mempengaruhi gambaran klinis pneumonia pada anak
adalah inmaturitas anatomik dan imunologik, mikroorganisme penyebab yang luas,
gejala klinis yang tidak khas terutama pada bayi.
Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada berat
ringannya infeksi, tetapi secra umum adalah sebagai berikut:

Gambaran infeksi umum :


Demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan nafsu makan, keluhan
gastrointestinal seperti mual, muntah, atau diare.

Gambaran gangguan respiratorius:


Batuk, sesak nafas, retraksi dada, takipneu, nafas cuping hidung, merintih,
sianosis.

VII. Pemeriksaan Fisik


Dalam pemeriksaan fisik penderita bronkhopneumoni ditemukan hal-hal sebagai
berikut :
a.

Pada setiap nafas terdapat retraksi otot epigastrik, interkostal,


suprasternal, dan pernapasan cuping hidung.

b.

Pada palpasi ditemukan vokal fremitus yang simetris.


Konsolidasi yang kecil pada paru yang terkena tidak menghilangkan getaran
fremitus selama jalan napas masih terbuka, namun bila terjadi perluasan infeksi
paru (kolaps paru/atelektasis) maka transmisi energi vibrasi akan berkurang.

c. Pada perkusi tidak terdapat kelainan


d. Pada auskultasi ditemukan crackles sedang nyaring.
Crackles dihasilkan oleh gelembung-gelembung udara yang melalui sekret jalan
napas/jalan napas kecil yang tiba-tiba terbuka.
VIII. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan radiologi
Kelainan foto rontgen toraks tidak selalu berhubungan dengan gambaran
klinis. Biasanya dilakukan pemeriksaan rontgen toraks posisi AP. Foto rontgen
toraks AP dan lateral hanya dilakukan pada pasien dengan tanda dan gejala
klinik distres pernapasan seperti takipnea, batuk dan ronki, dengan atau tanpa
suara napas yang melemah.
Secara umum gambaran foto toraks terdiri dari :

Infiltrat interstitial, ditandai dengan peningkatan corakan bronkovaskular,


peribronchial cuffing, dan hiperaerasi.

Infiltrat alveolar, merupakan konsolidasi paru dengan air bronchogram.


Konsolidasi dapat mengenai satu lobus disebut dengan pneumonia lobaris,
atau terlibat sebagai lesi tunggal yang biasanya cukup besar, berbentuk
sferis, berbatas yang tidak terlalu tegas, dan menyerupai lesi tumor paru,
dikenal sebagai round pneumonia.

Bronkopneumonia, ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua paru,


berupa bercak-bercak infiltrat yang dapat meluas hingga daerah perifer paru,
disertai dengan peningkatan corakan peribronkial.

2. Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit. Hitung
leukosit dapat membantu membedakan pneumoni viral dan bakterial. Infeksi
virus leukosit normal atau meningkat (tidak melebihi 20.000/mm3dengan
limfosit

predominan)

dan

bakteri

leukosit

meningkat

15.000-40.000

/mm3dengan neutrofil yang predominan. Pada hitung jenis leukosit terdapat


pergeseranke kiri serta peningkatan LED. Analisa gas darah menunjukkan
hipoksemia dan hipokarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis
respiratorik. Isolasi mikroorganisme dari paru, cairan pleura atau darah bersifat
invasif sehingga tidak rutin dilakukan.

IX. Diagnosis
10

Diagnosis ditegakkan bila ditemukan 3 dari 5 gejala berikut :


1. Sesak nafas disertai dengan pernafasan cuping hidung dan tarikan dinding dada
Kriteria takipneu menurut WHO :
Anak umur < 2bulan

: 60 x/menit

Anak umur 2-11 bulan : 50 x/menit


Anak umur 1-5 tahun

: 40 x/menit

Anak umur 5 tahun

: 30 x/menit

2. Panas badan
3. Ronkhi basah sedang nyaring (crackles)
4. Foto thorax
Menunjukkan gambaran infiltrat difus
5. Leukositosis :
Pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm3 dengan limfosit predominan, dan
bakteri 15.000-40.000/mm3 neutrofil yang predominan.
Kadar leukosit berdasarkan umur:
Anak umur 1 bulan
: 5000 - 19500
Anak umur 1-3 tahun

: 6000 - 17500

Anak umur 4-7 tahun

: 5500 - 15500

Anak umur 8-13 tahun : 4500 13500


Pedoman diagnosis dan tatalaksana sederhana berdasarkan WHO :
Bayi berusia di bawah 2 bulan

Pneumonia
Bila ada napas cepat (> 60 x/menit) atau sesak napas
Harus dirawat dan diberikan antibiotik

Bukan pneumonia
Tidak ada napas cepat atau sesak napas
Tidak perlu dirawat, cukup diberikan pengobatan simptomatis

Bayi dan anak usia 2 bulan 5 tahun


11

Pneumonia sangat berat


Bila ada sesak napas, sianosis sentral dan tidak sanggup minum
Harus dirawat dan diberikan antibiotik

Pneumonia berat
Bila ada sesak napas, tanpa sianosis, dan masih sanggup minum
Harus dirawat dan diberikan antibiotik

Pneumonia ringan
Bila tidak ada sesak napas
Ada napas cepat dengan laju napas
Tidak perlu dirawat, diberikan antibiotik oral.

Bukan pneumonia
Bila tidak ada napas cepat dan sesak napas
Tidak perlu dirawat dan antibiotik, hanya diberikan pengobatan simptomatis.

Tanda bahaya pada anak usia 2 bulan 5 tahun adalah tidak mau minum, kejang,
kesadaran menurun, stridor, dan gizi buruk.
Tanda bahaya untuk bayi usia < 2 bulan adalah malas minum, kejang, kesadaran
menurun, stridor, mengi, dan demam/badan terasa dingin.
X. Diagnosis banding
Bronkiolitis
Episode pertama wheezing pada anak umur < 2 tahun
Hiperinflasi dinding dada
Ekspirasi memanjang
Gejala pada pneumonia juga dapat dijumpai
Tidak ada respon dengan bronkodilator
Aspirasi pneumonia
Riwayat tiba-tiba tersedak
Stridor atau distres pernafasan tiba-tiba
Wheeze atau suara pernafasan menurun yang bersifat fokal
12

Tb paru primer
Riwayat kontak dengan pasien TB dewasa positif
Uji tuberkulin positif (>10mm, pada keadaan imunosupresi > 5mm)
Penurunan berat badan
Demam (>2minggu) tanpa sebab yang jelas
Batuk kronis > 3 minggu
Pembesaran KGB
XI. Penatalaksanaan
a. Penatalaksaan umum

Pemberian oksigen lembab 2-4 L/menit sampai sesak nafas hilang atau
PaO2 pada analisis gas darah 60 torr

Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit.

b. Penatalaksanaan khusus

mukolitik, ekspektoran dan obat penurun panas sebaiknya tidak diberikan


pada 72 jam pertama karena akan mengaburkan interpretasi reaksi antibiotik
awal.

Obat penurun panas diberikan hanya pada penderita dengan suhu tinggi.

Pemberian

antibiotika

berdasarkan

mikroorganisme

penyebab

dan

manifestasi klinis
Antibiotik :
Bila tidak ada kuman yang dicurigai, berikan antibiotik awal (24-72 jam
pertama) menurut kelompok usia.
1. Neonatus dan bayi muda (< 2 bulan) :
-

ampicillin + aminoglikosid

amoksisillin-asam klavulanat

amoksisillin + aminoglikosid

sefalosporin generasi ke-3

2. Bayi dan anak usia pra sekolah (2 bl-5 thn)


13

beta laktam amoksisillin

amoksisillin-amoksisillin klavulanat

golongan sefalosporin

kotrimoksazol

makrolid (eritromisin)

3. Anak usia sekolah (> 5 thn)


-

amoksisillin/makrolid (eritromisin, klaritromisin, azitromisin)

tetrasiklin (pada anak usia > 8 tahun)

Antibiotik intravena diberikan pada pasien pneumonia yang tidak dapat menerima
obat peroral atau termasuk dalam derajat pneumonia berat. Antibiotik intravena
yang dianjurkan adalah : ampisilin dan kloramfenikol, ceftriaxone, dan cefotaxim.
Pemberian antibiotik oral harus dipertimbangkan jika terdapat perbaikan setelah
mendapat antibiotik intra vena.
Faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan terapi :
1. Kuman yang dicurigai atas dasas data klinis, etiologis dan epidemiologis
2. Berat ringan penyakit
3. Riwayat pengobatan selanjutnya serta respon klinis
4. Ada tidaknya penyakit yang mendasari
Nutrisi
Pada anak dengan distres pernafasan berat, pemberian makanan peroral harus
dihindari. Makanan dapat dberikan lewat NGT atau intravena. Jika memang
dibutuhkan sebaiknya menggunakan ukuran yang terkecil.
Perlu dilakukan pemantauan cairan agar anak tidak mengalami overhidrasi karena
pada pneumonia berat terjadi peningkatan sekresi hormon antidiuretik.
# Kriteria rawat inap:
bayi
1. saturasi oksigen 92%, sianosis
2. frekuensi nafas > 60 x/ menit
3. distres pernafasan, apneu intermiten
4. tidak mau minum atau menetek
14

5. keluarga tidak bisa merawat dirumah


anak
1. saturasi oksigen 92%, sianosis
2. frekuensi nafas > 50 x/ menit
3. distres pernafasan
4. terdapat tanda dehidrasi
5. keluarga tidak bisa merawat dirumah
# Kriteria pulang:
-

gejala dan tanda pneumonia menghilang

asupan peroral adekuat

pemberian antibiotik dapat diteruskan dirumah

keluarga mengerti dan setuju untuk pemberian terapi dan rencana kontrol

kondisi rumah memungkinkan untuk perawatan lanjutan dirumah.

XII. Komplikasi
Komplikasi biasanya sebagai hasil langsung dari penyebaran bakteri dalam
rongga thorax (seperti efusi pleura, empiema dan perikarditis) atau penyebaran
bakteremia dan hematologi. Meningitis, artritis supuratif, dan osteomielitis adalah
komplikasi yang jarang dari penyebaran infeksi hematologi.
XIII. Prognosis
Sembuh total, mortalitas kurang dari 1 %, mortalitas bisa lebih tinggi
didapatkan pada anak-anak dengan keadaan malnutrisi energi-protein dan datang
terlambat untuk pengobatan.
Interaksi sinergis antara malnutrisi dan infeksi sudah lama diketahui. Infeksi
berat dapat memperjelek keadaan melalui asupan makanan dan peningkatan
hilangnya zat-zat gizi esensial tubuh. Sebaliknya malnutrisi ringan memberikan
pengaruh negatif pada daya tahan tubuh terhadap infeksi. Kedua-duanya bekerja
sinergis, maka malnutrisi bersama-sama dengan infeksi memberi dampak negatif

15

yang lebih besar dibandingkan dengan dampak oleh faktor infeksi dan malnutrisi
apabila berdiri sendiri.
XIV. Pencegahan
Penyakit bronkopneumonia dapat dicegah dengan menghindari kontak dengan
penderita atau mengobati secara dini penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan
terjadinya bronkopneumonia ini. Selain itu hal-hal yang dapat dilakukan adalah
dengan meningkatkan daya tahan tubuh kaita terhadap berbagai penyakit saluran
nafas seperti : cara hidup sehat, makan makanan bergizi dan teratur ,menjaga
kebersihan

,beristirahat

yang

cukup,

rajin

berolahraga,

dll.

Melakukan vaksinasi juga diharapkan dapat mengurangi kemungkinan terinfeksi


antara lain:

Vaksinasi Pneumokokus

Vaksinasi H. Influenza

Vaksinasi Varisela yang dianjurkan pada anak dengan daya tahan tubuh rendah
Vaksin influenza yang diberikan pada anak sebelum anak sakit.

16

BAB III
PENUTUP

Bronkopneumonia merupakan satu bentuk pneumonia, yaitu pneumonia


lobularis. Pneumonia merupakan infeksi yang mengenai parenkim paru.
Kebanyakan kasus pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme. Usia pasien
merupakan faktor yang memegang peranan penting pada perbedaan dan kekhasan
pneumonia anak, Diagnosis ditegakkan bila ditemukan 3 dari 5 gejala berikut :
sesak nafas, panas badan, ronkhi basah sedang nyaring (crackles), foto
thoraxMenunjukkan gambaran infiltrat difus, leukositosis. Terapi yang diberikan
oksigen dan antibiotik. Prognosisnya Sembuh total, mortalitas kurang dari 1 %,
mortalitas bisa lebih tinggi didapatkan pada anak-anak dengan keadaan malnutrisi
energi-protein dan datang terlambat untuk pengobatan.

17

Daftar Pustaka
1. Behrman Richard E, Kliegman Robert, Nelson Waldo E, Vaughan Victor C. nelson
textbook of pediatrics. 17th edition. EGC. Jakarta : 2000
2. Ikatan dokter anak indonesia. 2010. Pedoman pelayanan medis jilid 1. jakarta :
pengurus pusat IDAI
3. Mirzanie, Hanifah. 2006. Pediatricia. Jogjakarta
4. Pedoman Terapi Ilmu Kesehatan Anak, 2005.Unpad: Bandung
5. Pedoman pelayanan kesehatan anak dirumah sakit. 2009. Jakarta : WHO
indonesia
6. Rahajoe. NN, dkk. 2008. Buku Ajar Respirologi Anak Edisi 1 cetakan Pertama
IDAI Jakarta h.350-365

18

Anda mungkin juga menyukai