Anda di halaman 1dari 19

Case Report Session

Spondilitis Tuberkulosa

OLEH :
Putri Yuriandini Yulsam

0910313225

PRESEPTOR
dr. Yahya Marpaung, Sp. B

BAGIAN BEDAH RSUP DR. M. DJAMIL PADANG


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2014

BAB 1
ILUSTRASI KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama

: Abdul Haris

Umur

: 56 Tahun

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Agama

: Islam

Pekerjaan

: Petani

Status Pernikahan

: Menikah

Alamat

: Muaro Bungo

No. RM

: 85.93.20

Tanggal Masuk

: 21 Maret 2014

II. ANAMNESIS
Keluhan utama
Nyeri pada punggung bagiaan bawah sejak lebih kurang 2 bulan SMRS.
Riwayat Penyakit Sekarang
Nyeri pada punggung bagian bawah sejak lebih kurang 3 bulan SMRS. Nyeri
dirasakan menjalar ke kedua tungkai, nyeri disertai dengan kelemahan pada kedua
tungkai. Nyeri bertambah berat dengan pergerakan dan berkurang jika tidak bergerak.
Riwayat trauma ada, tidak jelas. Riwayat kebas pada tungkai tidak ada, riwayat
kesemutan pada tungkai tidak ada, BAB dan BAK normal.
Riwayat Penyakit Dahulu
-

Pasien pernah dirawat di RS Muaro Bungo beberapa kali, tapi tidak ada perbaikan
dan pasien dirujuk ke RSUP DR. M. Djamil Padang

Riwayat penyakit paru sebelumnya (-)

Riwayat meminum obat 6 bulan sebelumnya (-)

Riwayat batuk-batuk berdahak (-)

ii

Riwayat DM (-)

Riwayat Hipertensi (-)

Riwayat penyakit keluarga


-

Tidak ada anggota keluarga menderita penyakit seperti ini

Tidak ada anggota keluargaa menderita batuk-batuk lama dan meminum obat 6
bulan.

III. PEMERIKSAAN FISIK


a.

Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran

: Kompos Mentis Cooperative

Tekanan Darah

: 120/80 mmHg

Nadi

: 88 x/menit

Suhu

: 37 C

Pernapasan

: 20 x/menit

Kulit

: Warna sawo matang, turgor kulit baik

Rambut

: Warna hitam, persebaran merata, tidak mudah dicabut

Kepala

: Normocefal, deformitas (-)

Mata

: Konjungtiva anemis -/-, Sklera ikterik -/-

Telinga

: Sekret (-), deformitas (-)

Hidung

: Sekret (-), deformitas (-)

Tenggorokan

: Tidak ada kelainan

Gigi dan mulut

: Tidak ada kelainan

Leher

: JVP 5-2 cm H20, Pembesaran KGB (-), Pembesaran tiroid (-)

Jantung

: Irama jantung reguler, Bising (-), Gallop (-)

Paru

: Vesikuler +/+, Ronki -/-, Wheezing -/-

Abdomen

: Distensi abdomen (-), Bising usus (+) normal.

Ekstremitas atas : Tidak ada kelainan


Ekstremitas bawah: Status lokalis
Punggung

: Status lokalis

iii

b.

Status Lokalis
Punggung:
Inspeksi
: benjolan setinggi L4-L5
Ekstremitas bawah:
Sensorik : dalam batas normal
Motorik : 5 5 5 5 5 5
333 333
Refleks fisiologis : ++ ++
++ ++
Refleks patologis : -

IV. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Hb
Ht
Leukosit
Trombosit

: 7,5 g/dl
: 23 %
: 8.100/ mm3
: 543.000/ mm3

V. DIAGNOSIS
Spondilitis Tuberkulosa
VI. TATALAKSANA

IVFD RL : D5% = 1:1


Ranitidin 2x1
Paracetamol 2x1

VII. PROGNOSIS
Quo ad vitam

: bonam

Quo ad functionam

: bonam

Quo ad sanationam

: bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

PENDAHULUAN

iv

Tuberkulosis tulang belakang atau dikenal juga dengan spondilitis


tuberkulosa merupakan peradangan granulomatosa yang bersifat kronik destruktif
oleh mikobakterium tuberkulosa. Tuberkulosis tulang belakang selalu merupakan
infeksi sekunder dari fokus di tempat lain dalam tubuh. Percivall Pott (1793) yang
pertama kali menulis tentang penyakit ini dan menyatakan bahwa terdapat
hubungan antara penyakit ini dengan deformitas tulang belakang yang terjadi,
sehingga penyakit ini disebut juga sebagai penyakit Pott.1
Spondilitis tuberkulosa merupakan 50% dari seluruh tuberkulosis tulang dan
sendi yang terjadi. Di Ujung Pandang insidens spondilitis tuberkulosa ditemukan
sebanyak 70% dan Sanmugasundarm juga menemukan persentase yang sama dari
seluruh tuberkulosis tulang dan sendi. Spondilitis tuberkulosa terutama ditemukan
pada kelompok umur 2-10 tahun dengan perbandingan yang hampir sama antara
wanita dan pria.
Spondilitis paling sering ditemukan pada vertebra T8-L3, dan paling jarang
pada vertebra C1-C2. Spondilitis tuberculosis biasanya mengenai korpus vertebra,
tetapi jarang menyerang arkus vertebra.2
2.2 ETIOLOGI
Tuberkulosis tulang belakang merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis
di tempat lain di tubuh, 90-95% disebabkan oleh mikobakteriumn tuberkulosis tipik
(2/3 dari tipe human dan 1/3 dari tipe bovin) dan 5-10% oleh mikobakterium
tuberkulosa atipik. Lokalisasi spondilitis tuberkulosa terutama pada daerah vertebra
torakal bawah dan lumbal atas1, sehingga diduga adanya infeksi sekunder dari
suatu tuberkulosis traktus urinarius, yang penyebarannya melalui pleksus Batson
pada vena paravertebralis.
2.3

PATOFISIOLOGI
Penyakit ini pada umumnya mengenai lebih dari satu vertebra. Infeksi
berawal dari bagian sentral, bagian depan atau daerah epifisial korpus vertebra.
Kemudian terjadi hiperemi dan eksudasi yang menyebabkan osteoporosis dan
perlunakan korpus. Selanjutnya terjadi kerusakan pada korteks epifisis, diskus
v

intervertebralis dan vertebra sekitarnya. Kerusakan pada bagian depan korpus ini
akan menyebabkan terjadinya kifosis.
Kemudian eksudat (yang terdiri atas serum, leukosit, kaseosa, tulang yang
fibrosis serta basil tuberkulosa) menyebar ke depan, di bawah ligamentum
longitudinal anterior. Eksudat ini dapat menembus ligamentum dan berekspansi ke
berbagai daerah di sepanjang garis ligamen yang lemah.
Pada daerah servikal, eksudat terkumpul di belakang fasia paravertebralis
dan menyebar ke lateral di belakang muskulus sternokleidomastoideus. Eksudat
dapat mengalami protrusi ke depan dan menonjoi ke dalam faring yang dikenal
sebagai abses faringeal. Abses dapat berjalan ke mediastinum mengisi tempat
trakea, esofagus atau kavum pleura.
Abses pada vertebra torakalis biasanya tetap tinggal pada daerah toraks
setempat menempati daerah paravertebral, berbentuk massa yang menonjol dan
fusiform. Abses pada daerah ini dapat menekan medula spinalis sehingga timbul
paraplegia.
Abses pada daerah lumbal dapat menyebar masuk mengikuti muskulus
psoas dan muncul di bawah ligamentum inguinal pada bagian medial paha. Eksudat
juga dapat menyebar ke daerah krista iliaka dan mungkin dapat mengikuti
pembuluh darah femoralis pada trigonum skarpei atau regio glutea. Kumar
membagi perjalanan penyakit ini dalam 5 stadium yaitu:
1. Stadium implantasi.
Setelah bakteri berada dalam tulang; maka bila daya tahan tubuh penderita
menurun, bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung
selama 6-8 minggu. Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus dan
pada anak-anak umumnya pada daerah sentral vertebra.
2. Stadium destruksi awal.
Setelah stadium implantasi, selanjutnya terjadi destruksi korpus vertebra
serta penyempitan yang ringan pada diskus. Proses ini berlangsung selama 3-6
minggu.
vi

3. Stadium destruksi lanjut.


Pada stadium ini terjadi destruksi yang masif, kolaps vertebra dan terbentuk
massa kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses (abses dingin), .yang terjadi
2-3 bulan setelah stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat terbentuk
sekuestrum serta kerusakan diskus intervertebralis. Pada saat ini terbentuk tulang
baji terutama di sebelah depan (wedging anterior) akibat kerusakan korpus
vertebra, yang menyebabkan terjadinya kifosis atau gibus.
4. Stadium gangguan neurologis.
Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi,
tetapi terutama ditemukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis.
Gangguan ini ditemukan 10% dari seluruh komplikasi spondilitis
tuberkulosa. Vertebra torakalis mempunyai kanalis spinalis yang lebih
kecil sehingga gangguan neurologis lebih mudah terjadi pada daerah ini.
Bila terjadi gangguan neurologis, maka perlu dicatat derajat kerusakan
paraplegia, yaitu:
1.

Derajat I
Kelemahan pada anggota gerak bawah terjadi setelah melakukan aktivitas
atau setelah berjalan jauh. Pada tahap ini belum terjadi gangguan saraf
sensoris.

2.

Derajat II
Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah tapi penderita masih apat
melakukan pekerjaannya

3.

Derajat III
Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi
gerak/aktivitas penderita serta hipestesia/anestesia

4.

Derajat IV
Terjadi gangguan saraf sensoris dan motoris disertai gangguan defekasi
dan miksi. Tuberkulosis paraplegia atau Pott paraplegia dapat terjadi
secara dini atau lambat tergantung dari keadaan penyakitnya.
Pada penyakit yang masih aktif, paraplegia terjadi oleh karena
tekanan ekstradural dari abses paravertebral atau akibat kerusakan
vii

langsung sumsum tulang belakang oleh adanya granulasi jaringan.


Paraplegia pada penyakit yang sudah tidak aktif/sembuh terjadi oleh
karena tekanan pada jembatan tulang kanalis spinalis atau oleh
pembentukan jaringan fibrosis yang progresif dari jaringan granulasi
tuberkulosa. Tuberkulosis paraplegia terjadi secara perlahan dan
dapat terjadi destruksi tulang disertai angulasi dan gangguan vaskuler
vertebra.
Derajat I-III disebut sebagai paraparesis dan derajat IV disebut sebagai
paraplegia.
5. Stadium deformitas residual.
Stadium ini terjadi kurang lebih 3-5 tahun setelah timbulnya stadium
implantasi. Kifosis atau gibus bersifat permanen oleh karena kerusakan
vertebra yang masif di sebelah depan.
2.4 GAMBARAN KLINIS
Secara klinik gejala tuberkulosis tulang belakang hampir sama
dengan gejala tuberkulosis pada umumnya, yaitu badan lemah/lesu, nafsu
makan berkurang, berat badan menurun, suhu sedikit meningkat (subfebril)
terutama pada malam . hari serta sakit pada punggung. Pada anak-anak
sering disertai dengan menangis pada malam hari (night cries).
Pada tuberkulosis vertebra servikal dapat ditemukan nyeri di daerah
belakang kepala, gangguan menelan dan gangguan pernapasan akibat
adanya abses retrofaring. Kadangkala penderita datang dengan gejala
abses pada daerah paravertebral, abdominal, inguinal, poplitea atau
bokong, adanya sinus pada daerah paravertebral atau penderita datang
dengan gejala-gejala paraparesis, gejala paraplegia, keluhan gangguan
pergerakan tulang belakang akibat spasme atau gibus.
2.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium
viii

1. Peningkatan laju endap darah dan mungkin disertai dengan leukositosis


2. Uji Mantoux positif
3. Pada pemeriksaan biakan kuman mungkin ditemukan mikobakterium
4. Biopsi jaringan granulasi atau kelenjar linfe regional
5. Pemeriksaan histopatologis dapat ditemukan tuberkel
Pemeriksaan radiologis
1. Pemeriksaan foto toraks untuk melihat adanya tuberkulosis paru
2. Poto polos vertebra, ditemukan osteoporosis, osteolitik dan destruksi korpus
vertebra, disertai penyempitan diskus intervertebralis yang berada diantara
korpus tersebut dan mungkin dapat ditemukan adanya massa abses paravertebral.
3. Pada foto AP, abses paravertebral di daerah servikal berbentuk sarang burung
(bird's nets), di daerah torakal berbentuk bulbus dan pada daerah lumbal abses
terlihat berbentuk fusiform
4. Pada stadium lanjut terjadi destruksi vertebra yang hebat sehingga timbal kifosis
5. Pemeriksaan foto dengan zat kontras
6. Pemeriksaan mielografi dilakukai bila terdapat gejala-gejala penekanan sumsum
tulang
7. Pemeriksaan CT scan atau CT dengan mielografi
8. Pemeriksaan MRI
2.6.

DIAGNOSIS
Diagnosis spondilitis tuberkulosa dapat ditegakkan berdasarkan
gambaran

klinis

dan

pemeriksaan

radiologis. Untuk melengkapkan

pemeriksaan, maka dibuat suatu standar pemeriksaan pada penderita


tuberkulosis tulang dan sendi, yaitu:

ix

1. Pemeriksaan klinik dan neurologis yang lengkap


2. Foto tulang belakang posisi AP dan lateral
3. Foto polos toraks posisi PA
4. Uji Mantoux
5. Biakan sputum dan pus untuk menemukan basil tuberkulosa

2.7 DIAGNOSIS BANDING


Diagnosis banding pada spondilitis tuberkulosa yaitu:
1. Fraktur kompresi traumatik akibat tumor medulla spinalis.
2. Metastasis tulang belakang dengan tidak mengenai diskus dan terdapat
karsinoma prostat.
3. Osteitis piogen dengan demam yang lebih cepat timbul.
4. Poliomielitis dengan paresis atau paralisis tungkai dan skoliosis.
5. Skoliosis idiopatik tanpa gibbus dan tanda paralisis.
6. Kifosis senilis berupa kifosis tidak lokal dan osteoporosis seluruh kerangka.
7. Penyakit paru dengan bekas empiema tulang belakang bebas penyakit.
8. Infeksi kronik non tuberkulosis seperti infeksi jamur (blastomikosis).
9. Proses yang berakibat kifosis dengan atau tanpa skoliosis (Currier, 2004).
10. Spondilolisthesis
Spondylolisthesis merupakan suatu pergeseran ke depan satu korpus
vertebra bila dibandingkan dengan vertebra yang terletak dibawahnya. Umumnya
terjadi pada pertemuan lumbosacral (lumbosacral joints) dimana L5 bergeser (slip)
diatas S1, akan tetapi hal tersebut dapat terjadi pada tingkatan yang lebih tinggi.
Umumnya diklasifikasikan ke dalam lima bentuk : kongenital atau displastik,
isthmus, degeneratif, traumatik, dan patologis. Degenerative spondylolisthesis
terjadi lebih sering terjadi seiring bertambahnya usia. Vertebrae L4-L5 terkena 6-10
kali lebih sering dibanding lokasi lainnya. Sakralisasi L5 sering terlihat pada
degenerative spondylolisthesis L4-L5. Tipe ini biasanya muncul 5 kali lebih sering
pada wanita dibanding pria, dan sering pada usia lebih dari 40 tahun. Peningkatan
aktivitas fisik pada masa remaja dan dewasa sepanjang aktivitas sehari-hari
mengakibatkan spondylolisthesis sering dijumpai pada remaja dan dewasa.

Pasien dengan spondylolisthesis degeneratif biasanya pada orang tua dan


muncul dengan nyeri tulang belakang (back pain), radikulopati, klaudikasio
neurogenik, atau gabungan beberapa gejala tersebut. Pergeseran tersebut paling
sering terjadi pada L4-5 dan jarang terjadi L3-4. Gejala radikuler sering terjadi
akibat stenosis resesus lateralis dan hipertropi ligamen atau herniasi diskus. Cabang
akar saraf L5 sering terkena dan menyebabkan kelemahan otot ekstensor hallucis
longus. Penyebab gejala klaudikasio neurogenik selama pergerakan adalah bersifat
multifaktorial. Nyeri berkurang ketika pasien memfleksikan tulang belakang
dengan duduk. Fleksi memperbesar ukuran kanal/saluran dengan menegangkan
ligamentum flavum, mengurangi overriding lamina dan pembesaran foramen. Hal
tersebut mengurangi tekanan pada cabang akar saraf, sehingga mengurangi nyeri
yang timbul
Diagnosis ditegakkan dengan gambaran klinis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan radiologis.
1. Gambaran klinis
Nyeri punggung (back pain) pada regio yang terkena merupakan gejala
khas. Umumnya nyeri yang timbul berhubungan dengan aktivitas. Aktivitas
membuat nyeri makin bertambah buruk dan istirahat akan dapat menguranginya.
Spasme otot dan kekakuan dalam pergerakan tulang belakang merupakan ciri
spesifik. Gejala neurologis seperti nyeri pada bokong dan otot hamstring tidak
sering terjadi kecuali jika terdapatnya bukti adanya subluksasi vertebra. Keadaan
umum pasien biasanya baik dan masalah tulang belakang umumnya tidak
berhubungan dengan penyakit atau kondisi lainnya.
2. Pemeriksaan fisik
Postur paisen biasanya normal, bilamana subluksasio yang terjadi
bersifat ringan. Dengan subluksasi berat, terdapat gangguan bentuk postur.
Pergerakan tulang belakang berkurang karena nyeri dan terdapatnya spasme otot.
Penyangga badan kadang-kadang memberikan rasa nyeri pada pasien, dan nyeri
umumnya terletak pada bagian dimana terdapatnya pergeseran/keretakan, kadang

xi

nyeri tampak pada beberapa segmen distal dari level/tingkat dimana lesi mulai
timbul.
Ketika pasien diletakkan pada posisi telungkup (prone) di atas meja
pemeriksaan, perasaan tidak nyaman atau nyeri dapat diidentifikasi ketika palpasi
dilakukan secara langsung diatas defek pada tulang belakang. Nyeri dan kekakuan
otot adalah hal yang sering dijumpai. Pada banyak pasien, lokalisasi nyeri
disekitar defek dapat sangat mudah diketahui bila pasien diletakkan pada posisi
lateral dan meletakkan kaki mereka keatas seperti posisi fetus (fetal position).
Defek dapat diketahui pada posisi tersebut. Fleksi tulang belakang seperti itu
membuat massa otot paraspinal lebih tipis pada posisi tersebut. Pada beberapa
pasien, palpasi pada defek tersebut kadang-kadang sulit atau tidak mungkin
dilakukan.
Pemeriksaan neurologis terhadap pasien dengan spondylolisthesis
biasanya negatif. Fungsi berkemih dan defekasi biasanya normal, terkecuali pada
pasien dengan sindrom cauda equina yang berhubungan dengan lesi derajat tinggi.
3. Pemeriksaan radiologis.
Foto polos vertebra lumbal merupakan modalitas pemeriksaan awal
dalam diagnosis spondilosis atau spondylolisthesis. X ray pada pasien dengan
spondylolisthesis harus dilakukan pada posisi tegak/berdiri. Film posisi AP,
Lateral dan oblique adalah modalitas standar dan posisi lateral persendian
lumbosacral akan melengkapkan pemeriksaan radiologis. Posisi lateral pada
lumbosacral joints, membuat pasien berada dalam posisi fetal, membantu dalam
mengidentifikasi defek pada pars interartikularis, karena defek lebih terbuka pada
posisi tersebut dibandingkan bila pasien berada dalam posisi berdiri. Pada
beberapa kasus tertentu studi pencitraan seperti Bone scan atau CT scan
dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis. Pasien dengan defek pada pars
interartikularis sangat mudah terlihat dengan CT scan.
Bone scan ( SPECT scan) bermanfaat dalam diagnosis awal reaksi
stress/tekanan pada defek pars interartikularis yang tidak terlihat baik dengan foto
polos. Scan positif menunjukkan bahwa proses penyembuhan tulang telah

xii

dimulai, akan tetapi tidak mengindikasikan bahwa penyembuhan yang definitif


akan terjadi.
CT scan dapat menggambarkan abnormalitas pada tulang dengan baik,
akan tetapi MRI sekarang lebih sering digunakan karena selain dapat
mengidentifikasi tulang juga dapat mengidentifikasi jaringan lunak ( diskus,
kanal, dan anatomi serabut saraf) lebih baik dibandingkan dengan foto polos.

2.8 PENGOBATAN
Prinsipnya

pengobatan

tuberkulosis

tulang

belakang

harus

dilakukan sesegera mungkin untuk menghentikan progresivitas penyakit


serta mencegah paraplegia.
Pegobatan terdiri atas:
1. Terapi konservatif berupa:
a. Tirah baring (bed rest)
b. Memperbaiki keadaan umum penderita
c. Pemasangan brace pada penderita, baik yang dioperasi ataupun yang tidak
dioperasi
d. Pemberian obat antituberkulosa

xiii

Obat-obatan yang diberikan terdiri atas:

Isonikotinik hidrasit (INF) dengan dosis oral 5 mg/kg berat badan


per hari dengan dosis maksimal 300 mg. Dosis oral pada anak-anak 10
mg/kg berat badan.

Asam para amino salisilat Dosis oral 8-12 mg/kg berat badan.

Etambutol. Dosis oral 15-25 mg/kg berat badan per hari.

Rifampisin. Dosis oral 10 mg/kg berat badan diberikan pada anakanak. Pada orang dewasa 300-400 mg per hari.

Untuk mendapatkan hasil pengobatan yang efektif dan mencegah


terjadinya kekebalan kuman tuberkulosis terhadap obat yang diberikan
maka diberikan kombinasi beberapa obat tuberkulostatik. Regimen yang
dipergunakan di Amerika dan di Eropa adalah INH dan Rifampisin selama
9 bulan. INH + Rifampisin + Etambutol diberikan selama 2 bulan
dilanjutkan dengan pemberian INH + Rifampisin selama 7 bulan, Di Korea
diberikan kombinasi antara INH + Rifampisin selama 6-12 bulan atau INH
+ Etambutol selama 9-18 bulan.
Standar pengobatan di Indonesia berdasarkan program,P2TB paru adalah:

Kategori 1
Untuk penderita baru BTA (+) dan BTA (-)/rontgen (+), diberikan dalam dua
tahap, yaitu:
o

Tahap I, diberikan Rifampisin 450 mg, Etambutol 750 mg, INH 300
mg dan Pirazinamid 1.500 mg..0bat diberikan setiap hari selama 2 bulan
pertama (60 kali).

Tahap II, diberikan Rifampisin 450 mg dan INH 600 mg. Obat
diberikan tiga kali seminggu (intermiten) selama 4 bulan (54 kali).

Kategori 2
Untuk penderita baru BTA .(+) yang sudah pernah minum obat selama
lebih sebulan, termasuk penderita dengan BTA (+) yang kambuh/gagal
yang diberikan dalam dua tahap, yaitu:
o

Tahap I, diberikan Streptomisin 750 mg (injeksi), INH 300 mg,

xiv

Rifampisin 450 mg, Pirazinamid 1.500 mg dan Etambutol 750 mg,


Obat diberikan setiap hari, Streptomisin injeksi hanya 2 bulan
pertama (60 kali) dan obat lainnya selama 3 bulan (90 kali).
Tahap II, diberikan INH 600 mg, Rifampisin 450 mg dan Etambutol

1.250 mg. Obat diberikan 3 kali seminggu (intermiten) selama 5 bulan


(66 kali),
Kriteria penghentian pengobatan yaitu apabila:

Keadaan umum penderita bertambah baik

Laju endap darah menurun dan menetap

Gejala-gejala klinis berupa nyeri dan spasme berkurang

Gambaran radiologik ditemukan adanya union pada vertebra

2. Terapi Operatif
Walaupun pengobatan kemoterapi merupakan pengobatan utama bagi
penderita tuberkulosis tulang belakang, namun tindakan operatif masih
memegang peranan penting dalam beberapa hal, yaitu bila terdapat cold
abses (abses dingin), lesi tuberkulosa, paraplegia dan kifosis.

Abses dingin (Cold Abses)


Cold abses yang kecil tidak memerlukan tindakan operatif oleh
karena

dapat

terjadi resorpsi spontan

dengan pemberian obat

tuberkulostatik.
Pada abses yang besar dilakukan drainase bedah.
Ada tiga Cara untuk menghilangkan lesi tuberkulosa, yaitu:
a. debridemen

fokal

b. kosto-transversektomi
c. debridemen

fokal radikal yang disertai bone graft di bagian depan

Paraplegia
Penanganan yang dapat dilakukan pada paraplegia, yaitu:
a.

Pengobatan dengan kemoterapi semata-mata

xv

b.

Laminektomi

c.

Kosto-transveresektomi

d.

Operasi radikal

e.

Osteotomi pada tulang baji secara tertutup dari belakang

lndikasi operasi
a. Bila dengan terapi konservatif tidak terjadi perbaikan paraplegia atau malah
semakin berat. Biasanya tiga minggu sebelum tindakan operasi dilakukan,
setiap spondilitis tuberkulosa diberikan obat tuberkulostatik.
b. Adanya abses yang besar sehingga diperlukan drainase abses secara terbuka
dan sekaligus debrideman serta bone graft
c. Pada pemeriksaan radiologis baik dengan foto polos, mielografi ataupun
pemeriksaan CT dan MRI ditemukan adanya penekanan langsung pada medula
spinalis
Operasi kifosis
Operasi kifosis dilakukan bila terjadi deformitas yang hebat. Kifosis
mempunyai tendensi untuk bertambah berat terutama pada anak-anak. Tindakan
operatif dapat berupa fusi posterior atau melalui operasi radikal.

BAB III
PEMBAHASAN
3.1

Kajian Diagnostik

xvi

Pasien seorang laki-laki usia 56 tahun datang ke RSUP. DR. M. Djamil


Padang dengan keluhan nyeri pad punggung bagian bawah sejak lebih kurang 3
bulan SMRS. Nyeri dirasakan menjalar ke kedua tungkai, disertai dengan
kelemahan pada kedua tungkai. Nyeri bertambah berat dengan pergerakan dan
berkurang jika tidak bergerak. Riwayat trauma (+), namun mekanisme tidak jelas,
kebas pada kedua tungkai (-), kesemutan pada kedua tungkai (-), BAB dan BAK
normal.
Pada nyeri perut punggung dapat dipikirkan beberapa diagnosis banding
seperti fraktur kompresi traumatik akibat tumor medulla spinalis, metastasis
tulang belakang dengan tidak mengenai diskus dan terdapat karsinoma prostat,
Osteitis piogen dengan demam yang lebih cepat timbul, poliomielitis dengan
paresis atau paralisis tungkai dan skoliosis, skoliosis idiopatik tanpa gibbus dan
tanda paralisis, Kifosis senilis berupa kifosis tidak lokal dan osteoporosis seluruh
kerangka, penyakit paru dengan bekas empiema tulang belakang bebas penyakit,
infeksi kronik non tuberkulosis seperti infeksi jamur (blastomikosis), proses yang
berakibat kifosis dengan atau tanpa skoliosis, spondilolisthesis
Dari anamnesis didapatkan nyeri dirasa menjalar ke tungkai, disertai dengan
kelemahan pada kedua tungkai, bertambah berat dengan pergerakan dan
berkurang jika tidak bergerak, kebas dan kesemutan pada kedua tungkai tidak ada
sehingga, riwayat trauma ada, riwayat mengangkat beban berat ada, bab dan bak
normal.
Dari hasl pemeriksaan fisik umum didapat kondisi pasien dalam keadaan
normal. Dari hasil pemeriksaan fisik pada punggung didapatkan daerah L4-L5
tampak bengkak, refleks fisiologis pada kedua ekstremitas bawah normal, refleks
patologis tidak ada, dan gerak motorik pada kedua tungkai didapatkan 3.
Untuk membantu menegakkan diagnosis spondilitis tb pada pasien dengan
nyeri punggung bawah dapat dilakukan pemeriksaan seperti mantoux test, foto
thorax, foto polos vertebre, CT Scan dan MRI. Prognosis pada kasus ini Quo ad
vitam, quo ad functionam, dan quo ad sanationam adalah bonam.

xvii

DAFTAR PUSTAKA
Mansjoer A, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2.Spondilitis tuberkulosis.
Editor: Mansjoer A; Jakarta; Media Aesculapius.

xviii

Salter RB. 1999. Texbook of Disorder and Injuries of the Musculoskeletal System. Editor:
Eric P Johnson. Baltimore: Lippincott Williams & Wilkins.
Lumbantobing SM. 2008. Neurologi Klinik, Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Hidalgo

JA.

2008.

Pott

Disease

(Tuberculous

http://emedicine.medscape.com/article/226141-overview

xix

Spondylitis).

(online)

Anda mungkin juga menyukai