Spondilitis Tuberkulosa
OLEH :
Putri Yuriandini Yulsam
0910313225
PRESEPTOR
dr. Yahya Marpaung, Sp. B
BAB 1
ILUSTRASI KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama
: Abdul Haris
Umur
: 56 Tahun
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Petani
Status Pernikahan
: Menikah
Alamat
: Muaro Bungo
No. RM
: 85.93.20
Tanggal Masuk
: 21 Maret 2014
II. ANAMNESIS
Keluhan utama
Nyeri pada punggung bagiaan bawah sejak lebih kurang 2 bulan SMRS.
Riwayat Penyakit Sekarang
Nyeri pada punggung bagian bawah sejak lebih kurang 3 bulan SMRS. Nyeri
dirasakan menjalar ke kedua tungkai, nyeri disertai dengan kelemahan pada kedua
tungkai. Nyeri bertambah berat dengan pergerakan dan berkurang jika tidak bergerak.
Riwayat trauma ada, tidak jelas. Riwayat kebas pada tungkai tidak ada, riwayat
kesemutan pada tungkai tidak ada, BAB dan BAK normal.
Riwayat Penyakit Dahulu
-
Pasien pernah dirawat di RS Muaro Bungo beberapa kali, tapi tidak ada perbaikan
dan pasien dirujuk ke RSUP DR. M. Djamil Padang
ii
Riwayat DM (-)
Tidak ada anggota keluargaa menderita batuk-batuk lama dan meminum obat 6
bulan.
Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran
Tekanan Darah
: 120/80 mmHg
Nadi
: 88 x/menit
Suhu
: 37 C
Pernapasan
: 20 x/menit
Kulit
Rambut
Kepala
Mata
Telinga
Hidung
Tenggorokan
Leher
Jantung
Paru
Abdomen
: Status lokalis
iii
b.
Status Lokalis
Punggung:
Inspeksi
: benjolan setinggi L4-L5
Ekstremitas bawah:
Sensorik : dalam batas normal
Motorik : 5 5 5 5 5 5
333 333
Refleks fisiologis : ++ ++
++ ++
Refleks patologis : -
Hb
Ht
Leukosit
Trombosit
: 7,5 g/dl
: 23 %
: 8.100/ mm3
: 543.000/ mm3
V. DIAGNOSIS
Spondilitis Tuberkulosa
VI. TATALAKSANA
VII. PROGNOSIS
Quo ad vitam
: bonam
Quo ad functionam
: bonam
Quo ad sanationam
: bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
PENDAHULUAN
iv
PATOFISIOLOGI
Penyakit ini pada umumnya mengenai lebih dari satu vertebra. Infeksi
berawal dari bagian sentral, bagian depan atau daerah epifisial korpus vertebra.
Kemudian terjadi hiperemi dan eksudasi yang menyebabkan osteoporosis dan
perlunakan korpus. Selanjutnya terjadi kerusakan pada korteks epifisis, diskus
v
intervertebralis dan vertebra sekitarnya. Kerusakan pada bagian depan korpus ini
akan menyebabkan terjadinya kifosis.
Kemudian eksudat (yang terdiri atas serum, leukosit, kaseosa, tulang yang
fibrosis serta basil tuberkulosa) menyebar ke depan, di bawah ligamentum
longitudinal anterior. Eksudat ini dapat menembus ligamentum dan berekspansi ke
berbagai daerah di sepanjang garis ligamen yang lemah.
Pada daerah servikal, eksudat terkumpul di belakang fasia paravertebralis
dan menyebar ke lateral di belakang muskulus sternokleidomastoideus. Eksudat
dapat mengalami protrusi ke depan dan menonjoi ke dalam faring yang dikenal
sebagai abses faringeal. Abses dapat berjalan ke mediastinum mengisi tempat
trakea, esofagus atau kavum pleura.
Abses pada vertebra torakalis biasanya tetap tinggal pada daerah toraks
setempat menempati daerah paravertebral, berbentuk massa yang menonjol dan
fusiform. Abses pada daerah ini dapat menekan medula spinalis sehingga timbul
paraplegia.
Abses pada daerah lumbal dapat menyebar masuk mengikuti muskulus
psoas dan muncul di bawah ligamentum inguinal pada bagian medial paha. Eksudat
juga dapat menyebar ke daerah krista iliaka dan mungkin dapat mengikuti
pembuluh darah femoralis pada trigonum skarpei atau regio glutea. Kumar
membagi perjalanan penyakit ini dalam 5 stadium yaitu:
1. Stadium implantasi.
Setelah bakteri berada dalam tulang; maka bila daya tahan tubuh penderita
menurun, bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung
selama 6-8 minggu. Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus dan
pada anak-anak umumnya pada daerah sentral vertebra.
2. Stadium destruksi awal.
Setelah stadium implantasi, selanjutnya terjadi destruksi korpus vertebra
serta penyempitan yang ringan pada diskus. Proses ini berlangsung selama 3-6
minggu.
vi
Derajat I
Kelemahan pada anggota gerak bawah terjadi setelah melakukan aktivitas
atau setelah berjalan jauh. Pada tahap ini belum terjadi gangguan saraf
sensoris.
2.
Derajat II
Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah tapi penderita masih apat
melakukan pekerjaannya
3.
Derajat III
Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi
gerak/aktivitas penderita serta hipestesia/anestesia
4.
Derajat IV
Terjadi gangguan saraf sensoris dan motoris disertai gangguan defekasi
dan miksi. Tuberkulosis paraplegia atau Pott paraplegia dapat terjadi
secara dini atau lambat tergantung dari keadaan penyakitnya.
Pada penyakit yang masih aktif, paraplegia terjadi oleh karena
tekanan ekstradural dari abses paravertebral atau akibat kerusakan
vii
DIAGNOSIS
Diagnosis spondilitis tuberkulosa dapat ditegakkan berdasarkan
gambaran
klinis
dan
pemeriksaan
ix
xi
nyeri tampak pada beberapa segmen distal dari level/tingkat dimana lesi mulai
timbul.
Ketika pasien diletakkan pada posisi telungkup (prone) di atas meja
pemeriksaan, perasaan tidak nyaman atau nyeri dapat diidentifikasi ketika palpasi
dilakukan secara langsung diatas defek pada tulang belakang. Nyeri dan kekakuan
otot adalah hal yang sering dijumpai. Pada banyak pasien, lokalisasi nyeri
disekitar defek dapat sangat mudah diketahui bila pasien diletakkan pada posisi
lateral dan meletakkan kaki mereka keatas seperti posisi fetus (fetal position).
Defek dapat diketahui pada posisi tersebut. Fleksi tulang belakang seperti itu
membuat massa otot paraspinal lebih tipis pada posisi tersebut. Pada beberapa
pasien, palpasi pada defek tersebut kadang-kadang sulit atau tidak mungkin
dilakukan.
Pemeriksaan neurologis terhadap pasien dengan spondylolisthesis
biasanya negatif. Fungsi berkemih dan defekasi biasanya normal, terkecuali pada
pasien dengan sindrom cauda equina yang berhubungan dengan lesi derajat tinggi.
3. Pemeriksaan radiologis.
Foto polos vertebra lumbal merupakan modalitas pemeriksaan awal
dalam diagnosis spondilosis atau spondylolisthesis. X ray pada pasien dengan
spondylolisthesis harus dilakukan pada posisi tegak/berdiri. Film posisi AP,
Lateral dan oblique adalah modalitas standar dan posisi lateral persendian
lumbosacral akan melengkapkan pemeriksaan radiologis. Posisi lateral pada
lumbosacral joints, membuat pasien berada dalam posisi fetal, membantu dalam
mengidentifikasi defek pada pars interartikularis, karena defek lebih terbuka pada
posisi tersebut dibandingkan bila pasien berada dalam posisi berdiri. Pada
beberapa kasus tertentu studi pencitraan seperti Bone scan atau CT scan
dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis. Pasien dengan defek pada pars
interartikularis sangat mudah terlihat dengan CT scan.
Bone scan ( SPECT scan) bermanfaat dalam diagnosis awal reaksi
stress/tekanan pada defek pars interartikularis yang tidak terlihat baik dengan foto
polos. Scan positif menunjukkan bahwa proses penyembuhan tulang telah
xii
2.8 PENGOBATAN
Prinsipnya
pengobatan
tuberkulosis
tulang
belakang
harus
xiii
Asam para amino salisilat Dosis oral 8-12 mg/kg berat badan.
Rifampisin. Dosis oral 10 mg/kg berat badan diberikan pada anakanak. Pada orang dewasa 300-400 mg per hari.
Kategori 1
Untuk penderita baru BTA (+) dan BTA (-)/rontgen (+), diberikan dalam dua
tahap, yaitu:
o
Tahap I, diberikan Rifampisin 450 mg, Etambutol 750 mg, INH 300
mg dan Pirazinamid 1.500 mg..0bat diberikan setiap hari selama 2 bulan
pertama (60 kali).
Tahap II, diberikan Rifampisin 450 mg dan INH 600 mg. Obat
diberikan tiga kali seminggu (intermiten) selama 4 bulan (54 kali).
Kategori 2
Untuk penderita baru BTA .(+) yang sudah pernah minum obat selama
lebih sebulan, termasuk penderita dengan BTA (+) yang kambuh/gagal
yang diberikan dalam dua tahap, yaitu:
o
xiv
2. Terapi Operatif
Walaupun pengobatan kemoterapi merupakan pengobatan utama bagi
penderita tuberkulosis tulang belakang, namun tindakan operatif masih
memegang peranan penting dalam beberapa hal, yaitu bila terdapat cold
abses (abses dingin), lesi tuberkulosa, paraplegia dan kifosis.
dapat
tuberkulostatik.
Pada abses yang besar dilakukan drainase bedah.
Ada tiga Cara untuk menghilangkan lesi tuberkulosa, yaitu:
a. debridemen
fokal
b. kosto-transversektomi
c. debridemen
Paraplegia
Penanganan yang dapat dilakukan pada paraplegia, yaitu:
a.
xv
b.
Laminektomi
c.
Kosto-transveresektomi
d.
Operasi radikal
e.
lndikasi operasi
a. Bila dengan terapi konservatif tidak terjadi perbaikan paraplegia atau malah
semakin berat. Biasanya tiga minggu sebelum tindakan operasi dilakukan,
setiap spondilitis tuberkulosa diberikan obat tuberkulostatik.
b. Adanya abses yang besar sehingga diperlukan drainase abses secara terbuka
dan sekaligus debrideman serta bone graft
c. Pada pemeriksaan radiologis baik dengan foto polos, mielografi ataupun
pemeriksaan CT dan MRI ditemukan adanya penekanan langsung pada medula
spinalis
Operasi kifosis
Operasi kifosis dilakukan bila terjadi deformitas yang hebat. Kifosis
mempunyai tendensi untuk bertambah berat terutama pada anak-anak. Tindakan
operatif dapat berupa fusi posterior atau melalui operasi radikal.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1
Kajian Diagnostik
xvi
xvii
DAFTAR PUSTAKA
Mansjoer A, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2.Spondilitis tuberkulosis.
Editor: Mansjoer A; Jakarta; Media Aesculapius.
xviii
Salter RB. 1999. Texbook of Disorder and Injuries of the Musculoskeletal System. Editor:
Eric P Johnson. Baltimore: Lippincott Williams & Wilkins.
Lumbantobing SM. 2008. Neurologi Klinik, Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Hidalgo
JA.
2008.
Pott
Disease
(Tuberculous
http://emedicine.medscape.com/article/226141-overview
xix
Spondylitis).
(online)