Anda di halaman 1dari 13

qwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqw

ertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwert
yuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyui
opasdfghjklzxcvbnmqwertyuiop
peror
asdfghjklzxcvbnmqwertyuiopas
dfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdf
ghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfgh
jklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjkl
zxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzx
cvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcv
bnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbn
mqwertyuiopasdfghjklzxcvbnm
qwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqw
ertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwert
yuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyui
opasdfghjklzxcvbnmqwertyuiop
asdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfgh

I.

Pengertian Budaya Organisasi


Robbins (2002) mendefinisikan budaya organisasi sebagai suatu "persepsi bersama
yang dianut oleh anggota-anggota organisasi itu dan menjadi suatu sistem dari makna
bersama."
Menurut Umar Nimran mendefinisikan budaya organisasi sebagai Suatu sistem makna
yang dimiliki bersama oleh suatu organisasi yang membedakannya dengan organisasi
lain
Budaya Organisasi disebut juga Budaya Perusahaan : Budaya perusahaan sering juga
disebut budaya kerja, karena tidak bisa dipisahkan dengan kinerja (performance)
Sumber Daya Manusia (SDM); makin kuat budaya perusahaan, makin kuat pula
dorongan untuk berprestasi. Budaya perusahaan (corporate culture) memang sulit
didefinisikan secara tegas dan sulit diukur, namun bisa dirasakan oleh Sumber Daya
Manusia (SDM) di dalam perusahaan tersebut. Suatu perusahaan yang mempunyai
budaya perusahaan yang kuat bahkan dapat terlihat atau teramati oleh peninjau dari luar
perusahaan, yang mengamati. Pengamat tersebut akan merasakan suasana yang khas
dan lain dari pada yang lain, di dalam perusahaan tersebut, bila dibandingkan dengan
perusahaan lainnya. Oleh karena suatu organisasi terbentuk dari kumpulan individu
yang berbeda baik sifat, karakter, keahlian, pendidikan, dan latar belakang pengalaman
dalam hidupnya, perlu ada pengakuan pandangan yang akan berguna untuk pencapaian
misi

dan

tujuan

organisasi

tersebut,

agar

tidak

berjalan

sendiri-sendiri.

PENGERTIAN BUDAYA PERUSAHAAN


Corporate Culture atau budaya perusahaan mempunyai pengertian sebagai aturan main
yang ada di dalam perusahaan yang akan menjadi pegangan dari Sumber Daya Manusia
(SDM)-nya dalam menjalankan kewajibannya dan nilai-nilai untuk berprilaku di dalam
organisasi tersebut.
Dapat juga dikatakan, budaya perusahaan adalah pola terpadu perilaku manusia di
dalam

organisasi/perusahaan

termasuk

pemikiran-pemikiran,

tindakan-tindakan,

pemicaraan-pembicaraan yang dipelajari dan diajarkan kepada generasi berikutnya.


Budaya organisasi meliputi kumpulan yang kompleks mengenai ideologi, simbol, dan
nilai inti yang berlaku dalam perusahaan dan mempengaruhi cara menjalankan
usahanya.

II.

Terbentuknya Budaya Perusahaan


Budaya perusahaan yang terbntuk banyak ditentukan oleh beberapa unsur, yaitu:
1. Lingkungan usaha; lingkungan di mana perusahaan itu beroperasi akan
menentukan apa yang harus dikerjakan oleh perusahaan tersebut untuk menvapai
keberhasilan.
2. Nilai-nilai (values); merupakan konsep dasar dan keyakinan dari suatu organisasi.
3. Panutan/keteladanan; orang-orang yang menjadi panutan atau teladan karyawan
lainnya karena keberhasilannya.
4. Upacara-upacara (rites and ritual); acara-acara rutin yang diselenggarakan oleh
perusahaan dalam rangka memberikan penghargaan pada karyawannya.
5. Jaringan komunikasi informal di dalam perusahaan yang dapat menjadi sarana
penyebaran nilai-nilai dari budaya perusahaan.
Dalam proses pengembangannya, budaya perusahaan dipengaruhi oleh factorfaktor:kebijakan perusahaan (Corporate Wisdom), gaya perusahaan (Corporate Style),
dan jati diri perusahaan (Corporate Identity).
Kebijakan perusahaan (Corporate Wisdom) ditunjang oleh Filosofi Perusahaan
(serangkaian nilai-nilai yang menjelaskan bagaimana perusahaan dengan pelanggan,
produk atau pelayanannya, bagaimana karyawan berhubungan satu sama lain, sikap,
perilaku, gaya pakaian, dan lain-lain serta apa yang bias mempengaruhi semangat),
keterampilan yang dimiliki dan pengetahuan yang terakumulasi dalam perusahaan.
Jati diri perusahaan (Corporate Identity) ditunjang oleh Citra perusahaan , Kredo
(semboyan) perusahaan, dan proyeksi perusahaan atau apa yang ditonjolkan
perusahaan.
Gaya perusahaan (Corporate style) ditunjang oleh profil karyawan, pengembagan SDM
dan masyarakat perusahaan (Corporate community) atau bagaimana penampilan
perusahaan tersebut di lingkungan perusahaan lainnya.
Budaya Perusahaan perlu difahami lebih baik karena :
1. Budaya Perusahaan terlihat secara nyata dan dapat dirasakan, sehingga dapat
menjadi kebanggaan (pride).
2. Kinerja individu dan perusahaan serta, what business are we in, tidak mungkin
dapat difahami dengan baik tanpa memperhatikan Budaya Perusahaan. Hal ini
banyak kaitannya dengan pengembangan karier.
2

Menurut Harris dan Moran baru sejak dekade yang lalu ( akhir 70-an atau awal 80-an)
para eksekutif dan cendikiawan benar-benar memperhatikan faktor Budaya Perusahaan
yang ternyata berpengaruh terhadap prolaku, moral atau semangat kerja dan
produktivitas kerja.
Pada saat ini manajemen menjadi lebih memahami bawa komponen-komponen budaya
seperti adat istiadat, tradisi, peraturan, aturan-aturan, kebijaksanaan dan prosedur bisa
membuat pekerjaan menjadi lebih menyenangkan, sehingga bisa meningkatkan
produktivitas, memenuhi kebutuhan pelanggan dan meningkatkan daya saing
perusahaan.
Budaya

Perusahaan

memberikan

kepada

karyawan

kenyamanan,

keamanan,

kebersamaan, rasa tanggung jawab, ikut memiliki, mereka tahu bagaimana berprilaku,
apa yang harus mereka kerjakan, dll.
Dengan Budaya Perusahaan pegawai menjadi lebih menyenangkan, maka perlu ada
upaya serius dari seluruh SDM perusahaan untuk memlihara keberadaannya.
Untuk itu diperlukan komitmen dari seluruh pegawai, mulai dari top, middle sampai
lower atau operasioal merupakan persyaratan mutlak untuk tetap terpeliharanya.
Budaya Perusahaan. Komitme tidak sekedar keterkaitan secara fisik, tapi juga secara
mental.
Selain Komitmen, juga diperlukan suasana kerja atau iklim kerja yang kondusif. Dalam
hal ini De Bettignies, H.CI dari INSEAD, suatu sekolah bisnis di Perancis
mengemukakan 9 parameter Iklim Kerja yang Kondusif :
1. Konformity ( Kepatuhan)
2. Reactance (Reaksi atau respon)
3. Responsibility (Tanggung jawab)
4. Risk Taking (Pengambilan Resiko)
5. Standards ( Standar atau Baku )
6. Rewards (Upah/ganjaran)
7. Clarity ( kejelasan)
8. Team Spirit (Semangat Tim)
9. Warmth (Kehangatan atau keakraban)
PERAN MANAJEMEN PUNCAK
Perilaku dan kegiatan manajemen puncak (biasa disebut heroes) mempunyai dampak
utama pada pembentukan budaya korporat. Melalui gaya kepemimpinan, apa yang
3

dikatakan dan bagaimana berperilaku, para eksekutif menetapkan berbagai nilai dan
norma yang dipraktikkan organisasi. Keefektifan penyebarluasan dan penanaman nilainilai inti budaya sangat tergantung pada komitmen jajaran manajemen puncak, terutama
dalam memainkan peran sebagai panutan (model)
III.

Proses Pembentukan Budaya Organisasi


Proses pembentukan budaya organisasi melalui 4 (empat) tahapan, yaitu tahap
1. pertama terjadinya interaksi antar pimpinan atau pendiri organisasi dengan
kelompok/perorangan dalam organisasi.
2. Pada tahap kedua adalah dari interaksi menimbulkan ide yang ditransformasikan
menjadi artifak, nilai, dan asumsi.
3. Tahap ketiga adalah bahwa artifak, nilai, dan asumsi akan diimplementasikan
sehingga membentuk budaya organisasi.
4. Tahap terakhir adalah bahwa dalam rangka mempertahankan budaya organisasi
dilakukan pembelajaran (learning) kepada anggota baru dalam organisasi.

IV.

Fungsi Budaya Organisasi


Robbins, 2001 mengemukakan Fungsi Budaya Organisasi, sebagai berikut :
1. Pembeda antara satu organisasi dengan organisasi laiannya
2. Membangun rasa identitas bagi anggota organisasi
3. Mempermudah tumbuhnya komitmen
4. Meningkatkan kemantapan sistem sosial, sebagai perekat sosial, menuju integrasi
organisasi.

V.

Teori Budaya Organisasi


Teori yang dikemukakan oleh Kluckhon-Strodtbeck (dalam Robbins 1996) yang
mengemukakan enam dimensi budaya dasar. Masing-masing dimensi ini memiliki
variasi yang membedakan antarabudaya yang satu dengan budaya lainnya.

Dimensi pertama adalah hubungan dengan lingkungan yang memiliki variasi


dominasi terhadap lingkungan, harmoni dengan lingkungan, dan tunduk atau
didominasi oleh lingkungan.

Dimensi kedua adalah orientasi waktu yang memiliki variasi tentang orientasi
pada masa lalu, masa kini, dan masa depan.

Dimensi ketiga adalah kodrat atau sifat dasar manusia yang bervariasi tentang
pandangan bahwa pada dasarnya manusia itu baik, atau buruk, atau campuran
antara baik dan buruk.

Dimensi keempat adalah orientasi kegiatan yang memiliki variasi adanya


penekanan untuk melakukan tindakan, penekanan untuk menjadi atau
mengalami sesuatu, dan penekanan pada upaya mengendalikan kegiatan.

Dimensi kelima ialah fokus tanggungjawab yang mempunyai variasi


individualistis, kelompok, atau hierarkis.

Dimensi terakhir yaitu konsep ruang yang tumpuan variasinya terletak pada
kepemilikan ruang yang terbagi pada variasi pribadi, publik atau umum, dan
campuran antara keduanya.

Teori berikutnya diungkapkan oleh Hofstede (1980 dan 1984) setelah mempelajari
budaya organisasi di berbagai negara yang akhirnya melahirkan empat dimensi budaya,
yaitu : individualisme, jarak kekuasaan, penghindaran ketidak-pastian, dan tingkat
maskulinitas.

Individualisme berarti kecenderungan akan kerangka sosial yang terajut longgar


dalam masyarakat dimana individu dianjurkan untuk menjaga diri mereka
sendiri dan keluarga dekatnya. Kolektivisme berarti kecenderungan akan
kerangka sosial yang terajut ketat dimana individu dapat mengharapkan kerabat,
suku, atau kelompok lainnya melindungi mereka sebagai ganti atas loyalitas
mutlak. Isu utama dalam dimensi ini adalah derajat kesaling-tergantungan suatu
masyarakat diantara anggota-anggotanya. Hal ini berkait dengan konsep diri
masyarakat : "saya" atau "kami".

Jarak kekuasaan merupakan suatu ukuran dimana anggota dari suatu masyarakat
menerima bahwa kekuasaan dalam lembaga atau organisasi tidak didistribusikan
secara merata. Hal ini mempengaruhi perilaku anggota masyarakat yang kurang
berkuasa dan yang berkuasa. Orang-orang dalam masyarakat yang memiliki
jarak kekuasaan besar menerima tatanan hirarkis dimana setiap orang
mempunyai suatu tempat yang tidak lagi memerlukan justifikasi. Orang-orang
dalam masyarakat yang berjarak kekuasaan kecil menginginkan persamaan
kekuasaan dan menuntut justifikasi atas perbedaan kekuasaan. Isu utama atas
dimensi ini adalah bagaimana suatu masyarakat menangani perbedaan diantara
5

penduduk ketika hal tersebut terjadi. Hal ini mempunyai konsekuensi jelas
terhadap cara orang-orang membangun lembaga dan organisasi mereka.

Penghindaran ketidakpastian merupakan tingkatan dimana anggota masyarakat


merasa tak nyaman dengan ketidakpastian dan ambiguitas. Perasaan ini
mengarahkan mereka untuk mempercayai kepastian yang menjanjikan dan
untuk memelihara lembagalembaga yang melindungi penyesuaian. Masyarakat
yang memiliki penghindaran ketidakpastian yang kuat menjaga kepercayaan
dan perilaku yang ketat dan tidak toleran terhadap orang dan ide yang
menyimpang. Masyarakat yang mempunyai penghindaran ketidakpastian yang
lemah menjaga suasana yang lebih santai dimana praktek dianggap lebih dari
prinsip dan penyimpangan lebih dapat ditoleransi. Isu utama dalam dimensi ini
adalah bagaimana suatu masyarakat bereaksi atas fakta yang datang hanya
sekali dan masa depan yang tidak diketahui. Apakah ia mencoba mengendalikan
masa depan Atau membiarkannya berlalu. Seperti halnya jarak kekuasaan,
penghindaran ketidak pastian memiliki konsekuensi akan cara orang-orang
mengembangkan lembaga dan organisasi mereka.

Maskulinitas

berarti

kecenderungan

dalam

masyarakat

akan

prestasi,

kepahlawanan, ketegasan, dan keberhasilan material. Lawannya, feminitas


berarti kecenderungan akan hubungan, kesederhanaan, perhatian pada yang
lemah, dan kualitas hidup. Isu utama pada dimensi ini adalah cara masyarakat
mengalokasikan peran sosial atas perbedaan jenis kelamin.
Teori yang dikemukakan Schein (dalam Hatch 1997) yang mengungkapkan bahwa
budaya organisasi dapat ditemukan dalam tiga tingkatan.

Tingkat pertama adalah artifak (artifacts) dimana budaya bersifat kasat mata
tetapi seringkali tidak dapat diartikan.

Tingkat kedua adalah nilai (values) yang memiliki tingkat kesadaran yang lebih
tinggi daripada artifak.

Tingkat ketiga adalah asumsi dasar dimana budaya diterima begitu saja (taken
for granted), tidak kasat mata, dan tidak disadari.

Tingkat analisis artifak bersifat kasat mata yang dapat dilihat dari lingkungan fisik
organisasi, arsitektur, teknologi, tata letak kantor, cara berpakaian, pola perilaku yang
dapat dilihat atau didengar, serta dokumen-dokumen publik seperti anggaran dasar,
materi orientasi karyawan, dan cerita.
6

Analisis pada tingkat ini cukup rumit karena data mudah didapat tetapi sulit ditafsirkan.
Dengan analisis ini dapat diuraikan bagaimana suatu kelompok menyusun
lingkungannya dan apa pola perilaku yang dapat dilihat dari kalangan anggotanya,
tetapi seringkali analisis ini tidak dapat memahami logika yang mendasarinya, mengapa
suatu kelompok berperilaku seperti yang mereka lakukan.
Untuk menganalisis mengapa anggota berperilaku seperti yang mereka perlihatkan
maka perlu diketahui nilai-nilai yang mengarahkan perilaku. Namun nilai sulit diamati
secara langsung, oleh karena itu seringkali perlu untuk menyimpulkan mereka melalui
wawancara dengan anggota-anggota kunci organisasi atau menganalisis kandungan
artifak seperti dokumen dan anggaran dasar. Tetapi, dalam mengidentifikasi nilai-nilai
tersebut biasanya mereka menggambarkan secara akurat nilai-nilai yang didukung
dalam budaya tersebut. Artinya, mereka difokuskan pada apa yang dikatakan orang
sebagai alasan perilaku mereka. Apa yang secara ideal mereka harapkan merupakan
alasan perilaku tersebut, dan yang seringkali merupakan rasionalisasi bagi perilaku
mereka. Namun alasan mendasar bagi perilaku mereka tetapsaja tersembunyi atau tidak
disadari.
Untuk benar-benar memahami suatu budaya dan untuk lebih memastikan secara
lengkap nilai-nilai dan perilaku nyata dari suatu kelompok, perlu diselidiki asumsi yang
mendasarinya, yang biasanya tidak disadari, tetapi secara aktual menentukan
bagaimana para anggota kelompok berpersepsi, berpikir, dan merasakan. Asumsi
seperti ini dengan sendirinya merupakan reaksi yang dipelajari yang bermula sebagai
nilai-nilai yang didukung (espoused value). Tetapi ketika nilai menyebabkan perilaku
dan ketika perilaku tersebut mulai memecahkan masalah, maka nilai itu ditransformasi
menjadi asumsi dasar tentang bagaimana sesuatu itu sesungguhnya. Bila asumsi telah
diterima begitu saja, maka kesadaran menjadi tersisih. Dengan kata lain perbedaan
antara asumsi dengan nilai terletak pada apakah nilai-nilai tersebut masih diperdebatkan
atau tidak. Bila nilai tersebut diterima apa adanya (taken for granted) maka ia disebut
sebagai asumsi, namun bila ia masih bersifat terbuka dan dapat diperdebatkan maka
istilah nilai lebih sesuai
VI.

Ciri-ciri Pokok Budaya Organisasi


1. Budaya organisasi merupakan satu kesatuan yang integral dan saling terkait,
2. Budaya

organisasimerupakan

bersangkutan,
7

refleksi

sejarah

dari

organisasi

yang

3. Budaya organisasi berkaitan dengan hal-hal yang dipelajari oleh para


antropolog, seperti ritual, simbol, ceritera, dan ketokohan,
4. Budaya organisasi dibangun secara sosial, dalam pengertian bahwa budaya
organisasi lahir dari konsensus bersama dari sekelompok orang yang mendirikan
organisasi tersebut,
5. Budaya organisasi sulit diubah.
VII.

Tipe Budaya Organisasi


Dalam perkembangan berikutnya dapat kita lihat ada keterkaitan antara budaya dengan
disain organisasi sesuai dengan design culture yang akan diterapkan. Untuk memahami
disain organisasi tersebut, Harrison ( McKenna, etal, 2002: 65) membagi empat tipe
budaya organisasi :
1. Budaya kekuasaan (Power culture).
Budaya ini lebih mempokuskan sejumlah kecil pimpinan menggunakan kekuasaan
yang lebih banyak dalam cara memerintah. Budaya kekuasaan juga dibutuhkan
dengan syarat mengikuti esepsi dan keinginan anggota suatu organisasi.
Seorang karyawan butuh adanya peraturan dan pemimpin yang tegas dan benar
dalam menetapkan seluruh perintah dan kebijakannya. Kerena hal ini menyangkut
kepercayaan dan sikap mental tegas untuk memajukan institusi organisasi.
Kelaziman yang masih menganut manajemen keluarga, peranan pemilik institusi
begitu dominan dalam pengendalian sebuah kebijakan terkadang melupakan nilai
profesionalisme yang justru hal inilah salah satu penyebab jatuh dan mundurnya
organisasi.
2. Budaya peran (Role culture).
Budaya ini ada kaitannya dengan prosedur birokratis, seperti peraturan organisasi
dan peran/jabatan/posisi spesifik yang jelas karena diyakini bahwa hal ini akan
mengastabilkan

sistem.

Keyakinan

dan

asumsi

dasar

tentang

kejelasan

status/posisi/peranan yang jelas inilah akan mendorong terbentuknya budaya


positif yang jelas akan membantu mengstabilkan suatu organisasi. Hampir semua
orang menginginkan suatu peranan dan status yang jelas dalam organisasi.
3. Budaya pendukung (Support culture)
Budaya dimana didalamnya ada kelompok atau komunitas yang mendukung
seseorang yang mengusahakan terjadinya integrasi dan seperangkat nilai bersama
dalam organisasi tersebut. Selain budaya peran dalam menginternalisasikan suatu
8

budaya perlu adanya budaya pendukung yang disesuaikan dengan kredo dan
keyakinan anggota dibawah. Budaya pendukung telah ditentukan oleh pihak
pimpinan ketika organisasi/institusi tersebut didirikan oleh pendirinya yang
dituangkan dalam visi dan misi organisasi tersebut. Jelas didalamnya ada keselaran
antara struktur, strategi dan budaya itu sendiri. Dan suatu waktu bisa terjadi adanya
perubahan dengan menanamkan budaya untuk belajar terus menerus (longlife
education)
4. Budaya prestasi (Achievement culture)
Budaya yang didasarkan pada dorongan individu dalam organisasi dalam suasana
yang mendorong eksepsi diri dan usaha keras untuk adanya independensi dan
tekananya ada pada keberhasilan dan prestasi kerja. Budaya ini sudah berlaku
dikalangan akademisi tentang independensi dalam pengajaran, penelitian dan
pengabdian serta dengan pemberlakuan otonomi kampus yang lebih menekankan
terciptanya tenaga akademisi yang profesional, mandiri dan berprestasi dalam
melaksanakan tugasnya.
VIII. Karakteristik Budaya Organisasi
Robbins memberikan karakteristik budaya organisasi sebagai berikut:
1.

Inovasi dan keberanian mengambil risiko (Inovation and risk taking), adalah
sejauh mana organisasi mendorong para karyawan bersikap inovatif dan berani
mengambil resiko. Selain itu bagaimana organisasi menghargai tindakan
pengambilan risiko oleh karyawan dan membangkitkan ide karyawan;

2.

Perhatian terhadap detil (Attention to detail), adalah sejauh mana organisasi


mengharapkan karyawan memperlihatkan kecermatan, analisis dan perhatian
kepada rincian.

3.

Berorientasi kepada hasil (Outcome orientation), adalah sejauh mana


manajemen memusatkan perhatian pada hasil dibandingkan perhatian pada teknik
dan proses yang digunakan untuk meraih hasil tersebut.

4.

Berorientasi kepada manusia (People orientation), adalah sejauh mana


keputusan manajemen memperhitungkan efek hasil-hasil pada orang-orang di
dalam organisasi.

5.

Berorientasi tim (Team orientation), adalah sejauh mana kegiatan kerja


diorganisasikan sekitar tim-tim tidak hanya pada individu-individu untuk
mendukung kerjasama.
9

6.

Agresifitas (Aggressiveness), adalah sejauh mana orang-orang dalam


organisasi itu agresif dan kompetitif untuk menjalankan budaya organisasi sebaikbaiknya.

7.

Stabilitas (Stability), adalah sejauh mana kegiatan organisasi menekankan


status quo sebagai kontras dari pertumbuhan.

IX.

Mempertahankan Suatu Budaya Organisasi


Robbins (1996) menjelaskan mengenai 3 (tiga) kekuatan untuk mempertahankan suatu
budaya organisasi sebagai berikut:
1.

Praktik seleksi, proses seleksi bertujuan mengidentifikasi dan mempekerjakan


individu-individu yang mempunyai pengetahuan, ketrampilan, dan kemampuan
untuk melakukan pekerjaan dengan sukses dalam organisasi.

2.

Manajemen puncak, tindakan manajemen puncak mempunyai dampak besar


pada budaya organisasi. Ucapan dan perilaku mereka dalam melaksanakan normanorma sangat berpengaruh terhadap anggota organisasi.

3.

Sosialisasi, sosialisasi dimaksudkan agar para karyawan baru dapat


menyesuaikan diri dengan budaya organisasi. Proses sosialisasi ini meliputi tiga
tahap yaitu tahap kedatangan, tahap pertemuan, dan tahap metromofis.

X.

Hubungan Budaya Organisasi dengan Kinerja Organisasi

Karyawan yang sudah memahami keseluruhan nilai-nilai organisasi akan menjadikan


nilai-nilai tersebut sebagai suatu kepribadian organisasi. Nilai dan keyakinan tersebut
akan diwujudkan menjadi perilaku keseharian mereka dalam bekerja, sehingga akan
menjadi kinerja individual. Didukung dengan sumber daya manusia yang ada, sistem
dan teknologi, strategi perusahaan dan logistik, masing-masing kinerja individu yang
baik akan menimbulkan kinerja organisasi yang baik pula.
Dampak budaya organisasi terhadap kinerja dapat dilihat pada beberapa contoh
perusahaan yang memiliki kinerja yang tinggi, seperti Singapore Airlines yang
menekankan pada perubahan-perubahan yang berkesinambungan, inovatif dan menjadi
yang terbaik. Baxter International, salah satu perusahaan terbesar di dunia, memiliki
budaya respect, responsiveness dan result, dan nilai -nilai yang tampak disini adalah
bagaimana mereka berperilaku ke arah orang lain, kepada customer, pemegang saham,
supplier dan masyarakat (Pastin, 1986; 272).

10

XI.

Hubungan Budaya Organisasi dengan Kepuasan Kerja Karyawan

Sesungguhnya antar budaya perusahaan dengan kepuasan karyawan terhadap


hubungan, dimana budaya (culture) dikatakan memberi pedoman seorang karyawan
bagaimana dia mempersepsikan karakteristik budaya suatu organisasi, nilai yang
dibutuhkan karyawan dalam bekerja, berinteraksi dengan kelompoknya, dengan sistem
dan administrasi, serta berinteraksi dengan atasannya.
XII.

Contoh Budaya Organisasi / Perusahaan

Mitsubishi: Shakai (keadilan), Tomoni (persahabatan), Gokyoroku (kerjasama)

McDonald: Service, Quality, Cleanliness, Value

Singapore Airlines: Pursuit of Excellence, Safety, Customer First, Concern for


Staff, Integrity, Teamwork

BRI: Integritas, Profesionalisme, Kepuasan Nasabah, Keteladanan, Penghargaan


pada SDM

Wonokoyo: Jujur, Disiplin, Tanggung jawab, Bersih & Rapi, Semangat,


Kerjasama, Keteladanan, Maju

11

DAPTAR PUSTAKA
Ida Ayu Brahmasari dan Agus Suprayetno. Pengaruh Motivasi Kerja, Kepemimpinan dan
Budaya Organisasi Terhadap Kepuasan Kerja Karyawan serta
Dampaknya pada Kinerja perusahaan (Studi kasus pada PT. Pei Hai
International Wiratama Indonesia). Pasca Sarjana Universitas 17 Agustus
Surabaya.
http://puslit2.petra.ac.id/ejournal/index.php/man/article/view
File/17039/17003. Download 16 Desember 2009
M.R. Khairul Muluk,. BUDAYA ORGANISASI PELAYANAN PUBLIK (Kasus pada Rumah
Sakit X di Malang). Jurusan Administrasi Negara Unibraw.
http://www.akademik.unsri.ac.id/download/ journal/files/brapub/8Budaya
%20Organisasi%20Pelayanan%20PUblik-MR%20Khairul%20Muluk.pdf.
Download 16 Desember 2009
M Yunanto. Proses Manajemen Strategik. http://myunanto.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/
files/11795/ Proses+M+Strstegi.ppt. Download 16 Desember 2009
Soedjono. Pengaruh Budaya Organisasi Terhadap Kinerja Organisasi dan Kepuasan Kerja
Karyawan pada Terminal Penumpang Umum di Surabaya. Jurusan
Ekonomi Manajemen, Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Petra.
http://puslit2.petra.ac.id/ejournal/index.php/man/article/viewFile/16136/11
612. Download 16 Desember 2009

12

Anda mungkin juga menyukai