ertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwert
yuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyui
opasdfghjklzxcvbnmqwertyuiop
peror
asdfghjklzxcvbnmqwertyuiopas
dfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdf
ghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfgh
jklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjkl
zxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzx
cvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcv
bnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbn
mqwertyuiopasdfghjklzxcvbnm
qwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqw
ertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwert
yuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyui
opasdfghjklzxcvbnmqwertyuiop
asdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfgh
I.
dan
tujuan
organisasi
tersebut,
agar
tidak
berjalan
sendiri-sendiri.
organisasi/perusahaan
termasuk
pemikiran-pemikiran,
tindakan-tindakan,
II.
Menurut Harris dan Moran baru sejak dekade yang lalu ( akhir 70-an atau awal 80-an)
para eksekutif dan cendikiawan benar-benar memperhatikan faktor Budaya Perusahaan
yang ternyata berpengaruh terhadap prolaku, moral atau semangat kerja dan
produktivitas kerja.
Pada saat ini manajemen menjadi lebih memahami bawa komponen-komponen budaya
seperti adat istiadat, tradisi, peraturan, aturan-aturan, kebijaksanaan dan prosedur bisa
membuat pekerjaan menjadi lebih menyenangkan, sehingga bisa meningkatkan
produktivitas, memenuhi kebutuhan pelanggan dan meningkatkan daya saing
perusahaan.
Budaya
Perusahaan
memberikan
kepada
karyawan
kenyamanan,
keamanan,
kebersamaan, rasa tanggung jawab, ikut memiliki, mereka tahu bagaimana berprilaku,
apa yang harus mereka kerjakan, dll.
Dengan Budaya Perusahaan pegawai menjadi lebih menyenangkan, maka perlu ada
upaya serius dari seluruh SDM perusahaan untuk memlihara keberadaannya.
Untuk itu diperlukan komitmen dari seluruh pegawai, mulai dari top, middle sampai
lower atau operasioal merupakan persyaratan mutlak untuk tetap terpeliharanya.
Budaya Perusahaan. Komitme tidak sekedar keterkaitan secara fisik, tapi juga secara
mental.
Selain Komitmen, juga diperlukan suasana kerja atau iklim kerja yang kondusif. Dalam
hal ini De Bettignies, H.CI dari INSEAD, suatu sekolah bisnis di Perancis
mengemukakan 9 parameter Iklim Kerja yang Kondusif :
1. Konformity ( Kepatuhan)
2. Reactance (Reaksi atau respon)
3. Responsibility (Tanggung jawab)
4. Risk Taking (Pengambilan Resiko)
5. Standards ( Standar atau Baku )
6. Rewards (Upah/ganjaran)
7. Clarity ( kejelasan)
8. Team Spirit (Semangat Tim)
9. Warmth (Kehangatan atau keakraban)
PERAN MANAJEMEN PUNCAK
Perilaku dan kegiatan manajemen puncak (biasa disebut heroes) mempunyai dampak
utama pada pembentukan budaya korporat. Melalui gaya kepemimpinan, apa yang
3
dikatakan dan bagaimana berperilaku, para eksekutif menetapkan berbagai nilai dan
norma yang dipraktikkan organisasi. Keefektifan penyebarluasan dan penanaman nilainilai inti budaya sangat tergantung pada komitmen jajaran manajemen puncak, terutama
dalam memainkan peran sebagai panutan (model)
III.
IV.
V.
Dimensi kedua adalah orientasi waktu yang memiliki variasi tentang orientasi
pada masa lalu, masa kini, dan masa depan.
Dimensi ketiga adalah kodrat atau sifat dasar manusia yang bervariasi tentang
pandangan bahwa pada dasarnya manusia itu baik, atau buruk, atau campuran
antara baik dan buruk.
Dimensi terakhir yaitu konsep ruang yang tumpuan variasinya terletak pada
kepemilikan ruang yang terbagi pada variasi pribadi, publik atau umum, dan
campuran antara keduanya.
Teori berikutnya diungkapkan oleh Hofstede (1980 dan 1984) setelah mempelajari
budaya organisasi di berbagai negara yang akhirnya melahirkan empat dimensi budaya,
yaitu : individualisme, jarak kekuasaan, penghindaran ketidak-pastian, dan tingkat
maskulinitas.
Jarak kekuasaan merupakan suatu ukuran dimana anggota dari suatu masyarakat
menerima bahwa kekuasaan dalam lembaga atau organisasi tidak didistribusikan
secara merata. Hal ini mempengaruhi perilaku anggota masyarakat yang kurang
berkuasa dan yang berkuasa. Orang-orang dalam masyarakat yang memiliki
jarak kekuasaan besar menerima tatanan hirarkis dimana setiap orang
mempunyai suatu tempat yang tidak lagi memerlukan justifikasi. Orang-orang
dalam masyarakat yang berjarak kekuasaan kecil menginginkan persamaan
kekuasaan dan menuntut justifikasi atas perbedaan kekuasaan. Isu utama atas
dimensi ini adalah bagaimana suatu masyarakat menangani perbedaan diantara
5
penduduk ketika hal tersebut terjadi. Hal ini mempunyai konsekuensi jelas
terhadap cara orang-orang membangun lembaga dan organisasi mereka.
Maskulinitas
berarti
kecenderungan
dalam
masyarakat
akan
prestasi,
Tingkat pertama adalah artifak (artifacts) dimana budaya bersifat kasat mata
tetapi seringkali tidak dapat diartikan.
Tingkat kedua adalah nilai (values) yang memiliki tingkat kesadaran yang lebih
tinggi daripada artifak.
Tingkat ketiga adalah asumsi dasar dimana budaya diterima begitu saja (taken
for granted), tidak kasat mata, dan tidak disadari.
Tingkat analisis artifak bersifat kasat mata yang dapat dilihat dari lingkungan fisik
organisasi, arsitektur, teknologi, tata letak kantor, cara berpakaian, pola perilaku yang
dapat dilihat atau didengar, serta dokumen-dokumen publik seperti anggaran dasar,
materi orientasi karyawan, dan cerita.
6
Analisis pada tingkat ini cukup rumit karena data mudah didapat tetapi sulit ditafsirkan.
Dengan analisis ini dapat diuraikan bagaimana suatu kelompok menyusun
lingkungannya dan apa pola perilaku yang dapat dilihat dari kalangan anggotanya,
tetapi seringkali analisis ini tidak dapat memahami logika yang mendasarinya, mengapa
suatu kelompok berperilaku seperti yang mereka lakukan.
Untuk menganalisis mengapa anggota berperilaku seperti yang mereka perlihatkan
maka perlu diketahui nilai-nilai yang mengarahkan perilaku. Namun nilai sulit diamati
secara langsung, oleh karena itu seringkali perlu untuk menyimpulkan mereka melalui
wawancara dengan anggota-anggota kunci organisasi atau menganalisis kandungan
artifak seperti dokumen dan anggaran dasar. Tetapi, dalam mengidentifikasi nilai-nilai
tersebut biasanya mereka menggambarkan secara akurat nilai-nilai yang didukung
dalam budaya tersebut. Artinya, mereka difokuskan pada apa yang dikatakan orang
sebagai alasan perilaku mereka. Apa yang secara ideal mereka harapkan merupakan
alasan perilaku tersebut, dan yang seringkali merupakan rasionalisasi bagi perilaku
mereka. Namun alasan mendasar bagi perilaku mereka tetapsaja tersembunyi atau tidak
disadari.
Untuk benar-benar memahami suatu budaya dan untuk lebih memastikan secara
lengkap nilai-nilai dan perilaku nyata dari suatu kelompok, perlu diselidiki asumsi yang
mendasarinya, yang biasanya tidak disadari, tetapi secara aktual menentukan
bagaimana para anggota kelompok berpersepsi, berpikir, dan merasakan. Asumsi
seperti ini dengan sendirinya merupakan reaksi yang dipelajari yang bermula sebagai
nilai-nilai yang didukung (espoused value). Tetapi ketika nilai menyebabkan perilaku
dan ketika perilaku tersebut mulai memecahkan masalah, maka nilai itu ditransformasi
menjadi asumsi dasar tentang bagaimana sesuatu itu sesungguhnya. Bila asumsi telah
diterima begitu saja, maka kesadaran menjadi tersisih. Dengan kata lain perbedaan
antara asumsi dengan nilai terletak pada apakah nilai-nilai tersebut masih diperdebatkan
atau tidak. Bila nilai tersebut diterima apa adanya (taken for granted) maka ia disebut
sebagai asumsi, namun bila ia masih bersifat terbuka dan dapat diperdebatkan maka
istilah nilai lebih sesuai
VI.
organisasimerupakan
bersangkutan,
7
refleksi
sejarah
dari
organisasi
yang
sistem.
Keyakinan
dan
asumsi
dasar
tentang
kejelasan
budaya perlu adanya budaya pendukung yang disesuaikan dengan kredo dan
keyakinan anggota dibawah. Budaya pendukung telah ditentukan oleh pihak
pimpinan ketika organisasi/institusi tersebut didirikan oleh pendirinya yang
dituangkan dalam visi dan misi organisasi tersebut. Jelas didalamnya ada keselaran
antara struktur, strategi dan budaya itu sendiri. Dan suatu waktu bisa terjadi adanya
perubahan dengan menanamkan budaya untuk belajar terus menerus (longlife
education)
4. Budaya prestasi (Achievement culture)
Budaya yang didasarkan pada dorongan individu dalam organisasi dalam suasana
yang mendorong eksepsi diri dan usaha keras untuk adanya independensi dan
tekananya ada pada keberhasilan dan prestasi kerja. Budaya ini sudah berlaku
dikalangan akademisi tentang independensi dalam pengajaran, penelitian dan
pengabdian serta dengan pemberlakuan otonomi kampus yang lebih menekankan
terciptanya tenaga akademisi yang profesional, mandiri dan berprestasi dalam
melaksanakan tugasnya.
VIII. Karakteristik Budaya Organisasi
Robbins memberikan karakteristik budaya organisasi sebagai berikut:
1.
Inovasi dan keberanian mengambil risiko (Inovation and risk taking), adalah
sejauh mana organisasi mendorong para karyawan bersikap inovatif dan berani
mengambil resiko. Selain itu bagaimana organisasi menghargai tindakan
pengambilan risiko oleh karyawan dan membangkitkan ide karyawan;
2.
3.
4.
5.
6.
7.
IX.
2.
3.
X.
10
XI.
11
DAPTAR PUSTAKA
Ida Ayu Brahmasari dan Agus Suprayetno. Pengaruh Motivasi Kerja, Kepemimpinan dan
Budaya Organisasi Terhadap Kepuasan Kerja Karyawan serta
Dampaknya pada Kinerja perusahaan (Studi kasus pada PT. Pei Hai
International Wiratama Indonesia). Pasca Sarjana Universitas 17 Agustus
Surabaya.
http://puslit2.petra.ac.id/ejournal/index.php/man/article/view
File/17039/17003. Download 16 Desember 2009
M.R. Khairul Muluk,. BUDAYA ORGANISASI PELAYANAN PUBLIK (Kasus pada Rumah
Sakit X di Malang). Jurusan Administrasi Negara Unibraw.
http://www.akademik.unsri.ac.id/download/ journal/files/brapub/8Budaya
%20Organisasi%20Pelayanan%20PUblik-MR%20Khairul%20Muluk.pdf.
Download 16 Desember 2009
M Yunanto. Proses Manajemen Strategik. http://myunanto.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/
files/11795/ Proses+M+Strstegi.ppt. Download 16 Desember 2009
Soedjono. Pengaruh Budaya Organisasi Terhadap Kinerja Organisasi dan Kepuasan Kerja
Karyawan pada Terminal Penumpang Umum di Surabaya. Jurusan
Ekonomi Manajemen, Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Petra.
http://puslit2.petra.ac.id/ejournal/index.php/man/article/viewFile/16136/11
612. Download 16 Desember 2009
12