Anda di halaman 1dari 16

5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanah Gambut


Tanah gambut terbentuk dari akumulasi sisa-sisa tanaman purba yang mati
dan sebagian mengalami perombakan, mengandung minimal 12 18% C organik
dengan ketebalan minimal 50 cm. Secara taksonomi tanah disebut juga sebagai
tanah gambut, Histosol atau Organosol bila memiliki ketebalan lapisan gambut >
40 cm, bila bulk density > 0,1 g/cm3 (Widjaja Adhi, 1986).
Gambut memiliki banyak istilah padanan dalam bahasa inggris, antara lain
disebut peat, bog, moor, mure atau fen. Istilah-istilah ini berkenaan dengan
perbedaan jenis atau sifat gambut anatara satu tempat dan tempat lainnya. Gambut
dapat diartikan sebagai material atau bahan organik yang tertimbun secara alami
dalam keadaan basa berlebihan, bersifat tidak mampat, dan tidak atau hanya
sedikit menagalami perombakan. Dalam pengertian ini, tidak berarti dalam setiap
timbunan bahan organik yang basah adalah gambut (Noor, 2001).

Gambar 2.1 Tanah Gambut

2.2

Pembentukan Tanah Gambut


Gambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik

yang sudah lapuk maupun belum. Timbunan terus bertambah karena proses
dekomposisi terhambat oleh kondisi anaerob dan/atau kondisi lingkungan lainnya
yang menyebabkan rendahnya tingkat perkembangan biota pengurai.

Proses pembentukan gambut dimulai dari adanya danau dangkal yang


secara perlahan ditumbuhi oleh tanaman air dan vegetasi lahan basah. Tanaman
yang mati dan melapuk secara bertahap membentuk lapisan yang kemudian
menjadi lapisan transisi antara lapisan gambut dengan substratum (lapisan di
bawahnya) berupa tanah mineral. Tanaman berikutnya tumbuh pada bagian yang
lebih tengah dari danau dangkal ini dan secara perlahan membentuk lapisanlapisan gambut sehingga danau tersebut menjadi penuh (Gambar 2.2a dan 2.2b).
Bagian gambut yang tumbuh mengisi danau dangkal tersebut disebut
dengan gambut topogen karena proses pembentukannya disebabkan oleh topografi
daerah cekungan. Gambut topogen biasanya relatif subur (eutrofik) karena adanya
pengaruh tanah mineral. Bahkan pada waktu tertentu, misalnya jika ada banjir
besar, terjadi pengkayaan mineral yang menambah kesuburan gambut tersebut.
Tanaman tertentu masih dapat tumbuh subur di atas gambut topogen.
Hasil pelapukannya membentuk lapisan gambut baru yang lama kelamaan
membentuk kubah (dome) gambut yang permukaannya cembung (Gambar 2.2c).
Gambut yang tumbuh di atas gambut topogen dikenal dengan gambut ombrogen,
yang pembentukannya ditentukan oleh air hujan. Gambut ombrogen lebih rendah
kesuburannya dibandingkan dengan gambut topogen karena hampir tidak ada
pengkayaan mineral.
Gambut eutrofik (gambut topogen) di Indonesia hanya sedikit dan
umumnya tersebar di daerah pantai dan di sepanjang jalur aliran sungai. Tingkat
kesuburan gambut ditentukan oleh kandungan bahan mineral dan basa-basa,
bahan substratum/dasar gambut dan ketebalan lapisan gambut. Gambut di
Sumatra relatif lebih subur dibandingkan dengan gambut di Kalimantan.

2.2 (a)

2.2 (b)

2.2 c)
Gambar 2.2 Proses pembentukan gambut di daerah cekungan lahan basah:
a. Pengisian danau dangkal oleh vegetasi lahan basah,
b. Pembentukan gambut topogen, dan
c. pembentukan gambut ombrogen di atas gambut topogen
(Noor, 2001 mengutip van de Meene, 1982).

Tanah gambut mempunyai sifat fisik dan kimia yang khas. Sifat tersebut
berhubungan dengan kontribusi gambut dalam menjaga kestabilan lingkungan
apabila lahan gambut berada dalam keadaan alami dan sebaliknya menjadi sumber
berbagai masalah lingkungan apabila campur tangan manusia mengganggu
kestabilan lahan gambut. Seperti halnya pada lahan gambut sebagai penambat dan
penyimpan karbon.
Lahan gambut hanya meliputi 3% dari luas daratan di seluruh dunia,
namun menyimpan 550 Gigaton C atau setara dengan 30% karbon tanah, 75%
dari seluruh karbon atmosfir, setara dengan seluruh karbon yang dikandung
biomassa (massa total makhluk hidup) daratan dan setara dengan dua kali
simpanan karbon semua hutan di seluruh dunia.
Lahan gambut menyimpan karbon pada biomassa tanaman, seresah di
bawah hutan gambut, lapisan gambut dan lapisan tanah mineral di bawah gambut
(substratum). Dari berbagai simpanan tersebut, lapisan gambut dan biomassa
tanaman menyimpan karbon dalam jumlah tertinggi. Lahan gambut menyimpan
karbon yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tanah mineral.
Di daerah tropis karbon yang disimpan tanah dan tanaman pada lahan
gambut bisa lebih dari 10 kali karbon yang disimpan oleh tanah dan tanaman pada
tanah mineral (Tabel 2.1).

Tabel 2.1 Kandungan karbon di atas permukaan tanah (dalam biomassa


tanaman) dan di bawah permukaan tanah pada hutan gambut dan hutan
tanah mineral (t ha-1).
Komponen

Hutan Gambut

Hutan Primer Tanah


Mineral

Atas permukaan tanah

150-200

200-350

Bawah permukaan tanah

300-6000

30-300

Sumber: Agus dan Subiksa, 2008

2.3 Sifat-Sifat Tanah Gambut


2.3.1 Sifat Kimia
Sifat kimia tanah gambut di Indonesia sangat ditentukan oleh kandungan
mineral, keasaman tanah, ketersediaan air tanah, kadar abu, kadar asam organik
dan kadar sulfur. Kandungan mineral gambut di Indonesia umumnya kurang dari
5% dan sisanya adalah bahan organik. Fraksi organik terdiri dari senyawasenyawa humat dan fulfat sekitar 10 hingga 20% dan sebagian besar lainnya
adalah senyawa lignin, selulosa, hemiselulosa, tanin, resin, suberin, protein, dan
senyawa lainnya. Gambut di Indonesia (dan di daerah tropis lainnya) mempunyai
kandungan lignin yang lebih tinggi dibandingkan dengan gambut yang berada di
daerah beriklim sedang, karena terbentuk dari pohon-pohonan.
Tanah gambut umumnya mempunyai tingkat kemasaman yang relatif
tinggi dengan kisaran pH 3 - 5. Tanah gambut lapisan atas lebih masam apabila
gambut makin tebal atau makin ke arah dome. Sebaliknya kadar abu semakin
rendah apabila gambut makin tebal, kadar C, N dan C/N meningkat makin kearah
dome.
Tabel 2.2 Komposisi gambut hutan tropik tipe sangat masam
Komponen

Komponen gambut

Asal Gambut

Sumatera

Kalimantan

Eter

4,67 %

2,50 %

Alkohol

4,75 %

6,65 %

Air

1,87 %

0,87 %

Hemiselulosa

1,95 %

1,95 %

Selulosa

10,61 %

3,61 %

Lignin

63,99 %

73,67 %

Protein

4,41 %

3,85 %

larut dalam :

Sumber: Polak, 1975

10

2.3.2 Sifat fisik


Tanah gambut mempunyai sifat beragam karena perbedaan bahan asal,
proses pembentukan dan lingkungannya. Pada umumnya tanah gambut berwarna
coklat tua meskipun bahan asalnya berwarna hitam, coklat, atau kemerahmerahan. Setelah mengalami dekomposisi terdapat senyawa-senyawa asam humik
berwarna gelap. Tanah gambut mempunyai sifat-sifat yang menonjol antara lain:
1. Kerapatan massa yang lebih bila dibandingkan dengan tanh mineral
2. Kecilnya berat tanah gambut bila kering
3. Kemampuan menahan air tinggi
4. Mengenai stukturnya yaitu keadaan fisik yang hampir tidak berubah.

Sifat fisik tanah gambut lainnya adalah sifat mengering tidak balik. Gambut
yang telah mengering, dengan kadar air <100% (berdasarkan berat), tidak bisa
menyerap air lagi kalau dibasahi. Gambut yang mengering ini sifatnya sama
dengan kayu kering yang mudah hanyut dibawa aliran air dan mudah terbakar
dalam keadaan kering. Gambut yang terbakar menghasilkan energi panas yang
lebih besar dari kayu/arang terbakar. Gambut yang terbakar juga sulit dipadamkan
dan apinya bisa merambat di bawah permukaan sehingga kebakaran lahan bisa
meluas tidak terkendali.

2.4 Gambut Lintongnihuta


Tanah gambut dapat digunakan sebagai lahan maupun bahan. Sebagai bahan
umumnya digunakan untuk lahan pertanian atau lahan hutan alami yang
menghasilkan kayu-kayu yang berkualitas baik. Sebagai bahan, gambut dapat
dimanfaatkan sebagai bahan penghasil energi (bahan bakar). Gambut umumnya
dapat digunakan sebagai sumber energi dengan kedalaman lebih besar 1 meter.
Gambut di kabupaten Humbang Hasundutan termasuk gambut topogen yang
biasanya terdapat di pantai-pantai dibalik bukit-bukit pasir dan daerah pedalaman,
misalnya lekukan-lekukan pegunungan.

11

Lokasi penelitian terletak pada jarak 12 km dari kota siborong-borong


menuju daerah Dolok Sanggul dan terdapat pada wilayah administratif desa
Nagasaribu kecamatan Lintongnihuta. Penyebaran gambut di daerah kecamatan
lintong nihuta cukup luas, sekitar 500 ha. Berdasarkan data literatur, hasil analisis
gambut dari daerah ini adalah sebagai berikut (PT. Karya Kencana Agung Putra,
1997):

Kadar abu = 4,99 %

Kadar air = 75,04 %

Kadar belerang = 0,18%

Bulk density = 0,14%

pH = 5

Nilai kalori = 4.918 kal/gram

Karbon padat = 27,75%

Kandungan kayu = 12,20%

2.5 Arang
Arang adalah hasil pembakaran bahan yang mengandung karbon yang
berbentuk padat dan berpori. Sebagian besar porinya masih tertutup oleh
hidrogen, ter, dan senyawa organik lain yang komponennya terdiri dari abu, air,
nitrogen, dan sulfur. (Sudrajat dan Soleh, 1994 dalam Triono, 2006).
Peristiwa terbentuknya arang dapat terjadi dengan cara memanasi secara
langsung atau tidak langsung terhadap bahan berkarbon di dalam timbunan, kiln,
oven, atau di udara terbuka. Untuk menghasilkan arang umumnya bahan baku
dipanaskan dengan suhu diatas 500-8000C. Faktor yang berpengaruh terhadap
proses karbonisasi adalah kecepatan pemanasan dan tekanan.
Pemanasan yang cepat, sukar untuk mengamati tahapan karbonisasi yang
terjadi dan rendemen arang yang dihasilkan lebih rendah. Sedangkan pemakaian
tekanan yang tinggi akan mampu meningkatkan rendemen arang (Hendra, 1999
dalam Masturin, 2002).

12

2.6 Briket Arang


Briket adalah bahan bakar padat yang dapat digunakan sebagai sumber
energi alternatif yang mempunyai bentuk tertentu. Kandungan air pada
pembriketan antara (10 20)% berat. Ukuran briket bervariasi dari (20 100)
gram. Pemilihan proses pembriketan tentunya harus mengacu pada segmen pasar
agar dicapai nilai ekonomis, teknis dan lingkungan yang optimal. Pembriketan
bertujuan untuk memperoleh suatu bahan bakar yang berkualitas yang dapat
digunakan untuk semua sektor sebagai sumber energi pengganti.
Faktor-faktor yang mempengaruhi sifat briket arang adalah berat jenis
bahan bakar atau berat jenis serbuk arang, kehalusan serbuk, suhu karbonisasi,
dan tekanan pada saat dilakukan pencetakan. Selain itu, pencampuran formula
dengan briket juga mempengaruhi sifat briket. Syarat briket yang baik adalah
briket yang permukaannya halus dan tidak meninggalkan bekas hitam di tangan.

Gambar 2.3 Briket


Selain itu, sebagai bahan bakar briket juga harus memenuhi kriteria
sebagai berikut:
1. Mudah dinyalakan
2. Tidak mengeluarkan asap
3. Emisi gas hasil pembakaran tidak mengandung racun
4. Kedap air dan hasil pembakaran tidak berjamur bila disimpan pada
waktu lama
5. Menunjukkan upaya laju pembakaran (waktu, laju pembakaran, dan
suhu pembakaran) yang baik.

13

Briket arang merupakan suatu padatan berpori yang mengandung 80%


kalori dan dihasilkan dari bahan-bahan yang mengandung karbon dengan
pemanasan suhu tinggi. Briket arang yang dibuat dari serbuk arang aktif yang
ditambahkan dengan larutan perekat kemudian diproses akhirnya mempunyai
bentuk, ukuran dan kerapatan tertentu. Sejak tahun 1930 produksi briket arang
batubara di Amerika Serikat meningkat dengan pesat dari 25.000 ton menjadi
284.00 ton pada tahun 1940. Akan tetapi sejak tahun itu produksi ini menurun
dengan dipergunakannya bahan bakar lain seperti produk-produk minyak bumi.
Walaupun demikian pemakaian briket arang ini masih terus-menerus
berlangsung terutama untuk keperluan rumah tangga dan harus diperhatikan nilai
kalor dari briket pada tabel 2.3.

Tabel 2.3 Harga-harga Kalor Dari Beberapa Bahan Bakar


JENIS BAHAN BAKAR

NILAI KALOR
(kkal/kg)

Sekam padi

3397

Kayu campuran

4382

Sabuk kelapa

4412

Cangkang kelapa

4636

Kayu jati

4681

Kayu karet

4917

Batubara

4200

Minyak bakar

10500

Sumber: Hasibuan dalam Helena (2002)

Demikian juga untuk pengujian briket arang perlu diperhatikan beberapa


persyaratan yang disajikan dalam table 2.4.

14

Tabel 2.4 Standarisasi Mutu Briket Arang


No. Jenis penetapan

Satuan

Inggris

USA

Japan

1.

Kadar air

3.6

6.2

6-8

2.

Zat terbang

16.4

15-30

3.

Kadar abu

8.3

5.9

3-6

4.

Fixed Carbon

75.3

60-80

5.

Nilai kalori

kal/gr

7289

6230

6000-7000

6.

Sulfur

0.07

0.06

Sumber: Balai Industri Medan dalm Helena (2002)

Beberapa parameter kualitas briket yang akan mempengaruhi pemanfaatan


briket antara lain :
1. Kandungan Air.
Moisture yang dikandung dalam briket dapat dinyatakan dalam dua macam :
a. Free moisture (uap air bebas)
Free moisture dapat hilang dengan penguapan, misalnya dengan air drying.
Kandungan free moisture sangat penting dalam perencanaan coal handling
dan preperation equipment.
b. Inherent moisture (uap air terikat) Kandungan inherent moisture dapat
ditentukan dengan memanaskan briket antara temperatur 104 110o C
selama satu jam.

2. Kandungan Abu
Semua briket mempunyai kandungan zat anorganik yang dapat ditentukan
jumlahnya sebagai berat yang tinggal apabila briket dibakar secara sempurna.
Zat yang tinggal ini disebut abu. Abu briket berasal dari clay, pasir dan
bermacam-macam zat mineral lainnya. Briket dengan kandungan abu yang
tinggi sangat tidak menguntungkan karena akan membentuk kerak.

15

3. Kandungan Zat Terbang (Volatile matter).


Zat terbang terdiri dari gas-gas yang mudah terbakar seperti hidrogen,
karbon monoksida (CO), dan metana (CH4), tetapi kadang-kadang terdapat
juga gas-gas yang tidak terbakar seperti CO2 dan H2O. Volatile matter adalah
bagian dari briket dimana akan berubah menjadi volatile matter (produk) bila
briket tersebut dipanaskan tanpa udara pada suhu lebih kurang 950o C. Untuk
kadar volatile matter 40% pada pembakaran akan memperoleh nyala yang
panjang dan akan memberikan asap yang banyak. Sedangkan untuk kadar
volatile matter rendah antara (15-25)% lebih disenangi dalam pemakaian
karena asap yang dihasilkan sedikit.
4.

Nilai Kalor
Nilai kalor dinyatakan sebagai heating value, merupakan suatu parameter

yang penting dari suatu thermal coal. Gross calorific value diperoleh dengan
membakar

suatu

sampel

briket

didalam

bomb calorimeter

dengan

mengembalikan sistem ke ambient temperatur. Net calorific value biasanya


antara (93-97)% dari gross value dan tergantung dari kandungan inherent
moisture serta kandungan hidrogen dalam briket.

Nilai kalor beberapa bahan bakar dapat ditentukan dengan menggunakan


calorimeter bom seperti dalam gambar 2.4 berikut ini:

Gambar 2.4 Kalorimeter Bom

16

Nilai kalor briket ditentukan denagn menggunakan alat kalorimeter bom


dan dihitung berdasarkan suhu awal dan suhu akhir dari masing-masing sampel
briket arang tanah gambut, dapat dihitung sebagai berikut:

W =

HM + E 1 + E
T

Dimana:
W

= energi ekuivalen dari kalorimeter dalam satuan kal/C

= nilai panas pembakaran dari sampel dalam satuan kal/gr

= massa sampel dalam satuan gram

= kenaikan temperatur dalam satuan C (T2 T1)

E1

= koreksi panas dari pembentukan sampel dalam kalori

E2

= koreksi panas dari pembakaran kawat panas dalam kalori

2.7 Proses pembentukan Briket arang


Briket terhadap sesuatu material merupakan cara untuk mendapatkan
bentuk dan ukuran yang dikehendaki agar dapat dipergunakan untuk keperluan
tertentu. Gambut dapat diproses lebih lanjut menjadi briket dengan bentuk,
ukuran, dan kerapatan tertentu.
Untuk mendapatkan briket aktif dapat melalui proses penekanan terhadap
campuran gambut dan perekat yang kemudian dilakukan proses pengeringan
terhadap briket tersebut pada temperatur dan waktu tertentu.
Pembuatan briket arang aktif dapat memberikan beberapa keuntungan
anatara lain:
a.

Bentuk serta ukurannya dapat disesuaikan dengan keperluan

b.

Kerapatan dapat ditingkatkan sehingga volume menjadi kurang


Briket dapat digunakan sebagai bahan bakar setelah dilakukan pencetakan

menjadi briket berbentuk kubus atau bentuk silinder. Bagian tengah silinder yang
diberi lubang untuk mempermudah penyalaan briket tersebut pada awal
pembakaran. Pada penelitian yang akan dilakukan bentuk briket arang dibuat
silinder dengan diameter 5 cm dan tinggi 10 cm.

17

Secara garis besar briket dapat dibedakan atas dua macam yaitu:
1. Briket yang memakai bahan perekat. Hampir semua atau sebagian besar briket
mempergunakan cara ini. Besarnya nilai kekuatan tekan sangat berpengaruh
oleh beberapa faktor antara lain berat jenis bahan dasar, jenis perekat dan
pengempaan. Tingginya angka kerapatan dan kekuatan tekan briket arang
yang mempunyai berat jenis tinggi disebabkan serat yang lebih rapat dan
komponen selulosa pada dinding sel lebih banyak. Briket ditekan dengan
tekanan pengempaan 5 ton dan 7 ton dengan menggunakan alat mesin
hidrolik. Tekanan pengempaan berpengaruh sangat nyata terhadap kadar abu,
kadar karbon terikat, kerapatan, dan berpengaruh nyata terhadap kadar zat
menguap, nilai kalor serta ketahanan tekan briket arang.
2. Briket tanpa memakai bahan perekat. Cara ini hanya dapat dilakukan terhadap
material-material

tertentu

saja.

Cara

ini

dapat

dilakukan

dengan

mempergunakan tekanan yang sangat besar.

Gambar 2.5 Mesin Hidrolik

2.8 Bahan Perekat


Untuk merekatkan partikel-partikel zat dalam bahan baku pada proses
pembuatan briket maka diperlukan zat pengikat sehingga dihasilkan briket yang
kompak. Berdasarkan fungsi dari pengikat dan kualitasnya, pemilihan bahan
pengikat dapat dibagi sebagai berikut :

18

1. Berdasarkan sifat / bahan baku perekatan briket :


Adapun karakteristik bahan baku perekatan untuk pembuatan briket adalah
sebagai berikut :
a. Memiliki gaya kohesi yang baik bila dicampur dengan semikokas atau batu
bara.
b. Mudah terbakar dan tidak berasap.
c. Mudah didapat dalam jumlah banyak dan murah harganya.
d. Tidak mengeluarkan bau, tidak beracun dan tidak berbahaya.
2. Berdasarkan jenis perekatan briket
Jenis bahan baku yang umum dipakai sebagai pengikat untuk pembuatan briket,
yaitu :
a. Perekat anorganik
Pengikat

anorganik dapat

menjaga ketahanan briket

selama proses

pembakaran sehingga dasar permeabilitas bahan bakar tidak terganggu. Pengikat


anorganik ini mempunyai kelemahan yaitu adanya tambahan abu yang berasal
dari bahan pengikat sehingga dapat menghambat pembakaran dan menurunkan
nilai kalor. Contoh dari pengikat anorganik antara lain semen, lempung, natrium
silikat.
b. Perekat organik
Pengikat organik menghasilkan abu yang relatif sedikit setelah pembakaran
briket dan umumnya merupakan bahan perekat yang efektif. Contoh dari pengikat
organik di antaranya kanji, tar, aspal, amilum, molase atau tetes tebu dan parafin.
1. Clay (lempung)
Clay atau yang sering disebut lempung atau tanah liat umumnya banyak
digunakan sebagai bahan perekat briket. Perekat jenis ini menyebabkan
briket membutuhkan waktu yang lama untuk proses pengeringannya dan
briket menjadi agak sulit menyala ketika dibakar.
2. Tapioka
Jenis tapioka beragam kualitasnya tergantung dari proses pembuatannya
terutama pencampuran airnya dan pada saat dimasak sampai mendidih.

19

Tapioka juga banyak digunakan sebagai bahan pengental, bahan pengisi


dan bahan pengikat dalam industri makanan, seperti dalam pembuatan
puding, sop, pengolahan sosis daging, dan lain-lain.
3. Getah Karet
Daya lekat getah karet lebih kuat dibandingkan dengan tanah liat dan
tapioka. Namun, ongkos produksinya lebih mahal dan menghasilkan asap
tebal berwarna hitan dan beraroma kurang sedap bila dibakar.
4. Getah Pinus
Keunggulan perekat ini terletak pada daya benturannya yang kuat,
meskipun dijatuhkan dari tempat yang tinggi briket akan tetap utuh serta
mudah menyala jika dibakar. Namun asap yang keluar cukup banyak dan
menyebabkan bau yang agak menusuk hidung.

2.9 Perekat Tetes Tebu


Tetes tebu merupakan salah satu hasil samping proses pembuatan gula dari
tebu disamping ampas dan blotong. Tetes sering digunakan sebagai bahan baku
proses pembuatan penyedap (MSG), alkohol, pakan ternak, dan pupuk cair.
Tujuan penambahan tetes adalah untuk menarik air dan membentuk tekstur yang
padat atau menggabungkan dua komponen yang akan direkatkan.
Tetes tebu mengandung kurang lebih 39 % sellulosa dan 27,5 %
hemisellulosa. Kedua bahan polisakarida ini dapat dihidrolisa menjadi gula
sederhana yang selanjutnya dapat difermentasi menjadi bioetanol. Polisakarida
dalam molase terdiri dari : glukosa 21,7 % dan sukrosa 34,19 %. Selain itu juga
terkandung 26,46 % air dan 17,26 % abu.
Pemilihan dan penggunaan bahan perekat dilakukan berdasarkan beberapa
hal, antara lain mempunyai daya serap yang baik terhadap air, harganya relatif
murah serta mudah untuk mendapatkannya. Kekuatan perekat dipengaruhi oleh
sifat perekat, alat dan teknik perekatan yang digunakan. Dalam penelitian ini
digunakan tetes sebagai bahan baku perekat karena menghasilkan briket yang
mempunyai kekuatan tinggi dan menimbulkan sedikit asap jika dibakar serta
murah dan mudah mendapatkannya.

20

Gambar 2.6 Tetes Tebu

2.10 Material dan Pengujian


2.10.1 Material
Dalam penelitian ini menggunakan tanah gambut lintongnihuta kabupaten
Humbang Hansundutan dengan kandungan kalori sekitar 4000-6000 kkal/kg.

2.10.3 Pengujian nilai kalor briket gambut dengan Bomb Kalorimeter


Pengukuran nilai kalor (heating value) didalam briket gambut dilakukan
dengan menggunakan bomb kalorimeter dibawah pengaruh volume konstant dan
tanpa aliran (flow) Sampel yang akan diukur kemudian dimasukan kedalam
sebuah kontainer logam yang tertutup, serta diberi muatan oksigen dengan
tekanan 25 bar. Kemudian bomb ditempatkan didalam kontainer air dan
selanjutnya bahan bakar dinyalakan menggunakan eksternal kontaktor listrik.
Selanjutnya temperatur air diukur sebagai fungsi waktu sesudah proses
pembakaran berakhir dan dari pengetahuan besaran masa air didalam sistem, masa
dan panas spesifik kontainer dan kurva pemanasan maupun pendinginan, maka
energi yang terlepas selama pembakaran bisa ditentukan. Dalam hal ini motor
penggerak pengaduk bekerja untuk menjamin keseragaman temperatur air
disekitar bomb. Dalam kondisi khusus pemanasan luar disuplai oleh mantel air
untuk mempertahankan suhu seragam, sementara dalam controh lain mantel bisa
dibiarkan kosong untuk mempertahankan mendekati kondisi air didalam kontainer
adiabatis. Kompensasi untuk panas hilang ke udara sekitarnya bisa dibuat melalu
analisa kurva pendinginan dan pemanasan transient.

Anda mungkin juga menyukai