Anda di halaman 1dari 29

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat limpahan
rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan Laporan Kasus dengan judul
Tetanus. Laporan ini merupakan salah satu syarat dalam mengikuti kepaniteraan klinik
Pendidikan Profesi Dokter di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Daerah
Arjawinangun.
Dalam menyelesaikan tugas ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Hammi
Zulkifli Abbas, Sp.PD selaku pembimbing yang telah membantu dalam proses pembuatan
laporan kasus ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan laporan kasus ini banyak terdapat
kekurangan dan juga masih jauh dari kesempurnaan, sehingga penulis mengharap kritik dan
saran yang bersifat membangun dari pembaca. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi
sejawat dan bagi pengembangan ilmu kedokteran.

Arjawinangun, Januari 2015

Penulis

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................................1
DAFTAR ISI..............................................................................................................................2
BAB I.........................................................................................................................................2
LAPORAN KASUS...................................................................................................................2
I.

IDENTITAS....................................................................................................................2
Identitas Penderita..............................................................................................................2
Keluhan Utama...................................................................................................................3
Riwayat Penyakit Sekarang................................................................................................3
Riwayat Penyakit Dahulu...................................................................................................3
Riwayat Keluarga...............................................................................................................3

II.

PEMERIKSAAN FISIK..............................................................................................3
Keadaan umum...................................................................................................................4
Tanda vital..........................................................................................................................4
Status Generalisata.............................................................................................................4

III.

PEMERIKSAAN PENUNJANG................................................................................6

IV.

RESUME.....................................................................................................................7

V.

DIAGNOSIS KERJA..................................................................................................7

VI.

DIAGNOSIS BANDING............................................................................................7

VII.

PENATALAKSANAAN.............................................................................................7

VIII.

PROGNOSIS...........................................................................................................7

FOLLOW UP.............................................................................................................................8
BAB II......................................................................................................................................11
TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................................................11
TETANUS............................................................................................................................11
BAB III.....................................................................................................................................29
DISKUSI..................................................................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................30

BAB I
LAPORAN KASUS
I.

IDENTITAS

Identitas Penderita
Nama

: Tn. D

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Umur

: 30 tahun

Alamat

: Palimanan

Pekerjaan

: Buruh

Agama

: Islam

Status Pernikahan

: Menikah

Tgl. Masuk

: 4 Januari 2015

Tgl. Keluar

: 7 Januari 2015

Keluhan Utama
Kejang 1 kali sejak 3 jam SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Arjawinangun dengan keluhan kejang selama 3 menit 3 jam
sebelum masuk rumah sakit. Kejang tidak diawali penurunan kesadaran dan dirasakan
pada seluruh tubuh. Tubuh tidak kelojotan, tetapi seluruh tubuh kaku seperti tertarik.
Pasien sadar saat kejang dan merasakan sakit saat kejang terjadi. Kejang terjadi saat
sekeliling gaduh atau saat terang. 15 hari SMRS perut, kaki, tangan dan mulut pasien
terasa kaku. Kaku terjadi bertahap dimulai dari mulut tidak dapat dibuka lebar, diikuti
kekakuan anggota tubuh dibawahnya. 11 hari SMRS pasien mengalami kejang kaku dan
sempat dirawat di rumah sakit. Pada 5 hari SMRS tangan pasien mulai dapat digerakkan.
Tidak ada keluhan demam. Tidak ada keluhan sesak napas atau nyeri perut. Pasien tidak
3

BAB selama kaku, namun BAK lancar. Tidak ada riwayat darah tinggi, kencing manis,
kejang, atau penurunan kesadaran sebelumnya.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien terkena golok pada kaki kanannya kurang lebih 7 hari sebelum kejang dan kaku
terjadi, tetapi lukanya hanya kecil dan cukup dalam. Luka sudah menutup dan sudah
kering.
Riwayat Keluarga
Tidak ada anggota keluarga pasien mengalami hal yang sama.

II.

PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum : Tampak sakit sedang


Kesadaran

: Composmentis

Tanda vital
Tensi

: 100/70 mmHg

Nadi

: 100 kali/menit

Suhu

: 37,3C

Respirasi

: 24 kali/menit, teratur

Berat Badan

: 55 kg

Tinggi Badan : 165 cm


IMT

: 20 kg/m2

Status Generalisata
Kepala
Bentuk : Normal, simetris
Rambut : Tipis.
Mata
: Konjungtiva anemis +/+
sclera ikterik -/refleks cahaya ( + )
pupil isokor kanan = kiri
Telinga : Bentuk normal, serumen ( - ), membran timpani intak
Hidung : Bentuk normal, septum di tengah, tidak deviasi
4

Mulut
Leher

: Bentuk normal, tidak ada deviasi, trismus 3 cm.


: Kelenjar getah bening tidak teraba
Trakea berada di tengah.
Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid
Stridor (-)

Thoraks Depan
Paru
Inspeksi

Palpasi
Perkusi
Auskultasi

Jantung
Inspeksi
Palpasi
Perkusi

Auskultasi

Thoraks Belakang
Paru
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Abdomen
Inspeksi
Auskultasi
Perkusi
Palpasi

Ekstremitas
Superior
Inferior

: Bentuk dada simetris kanan dan kiri


Pergerakan dinding dada simetris kanan dan kiri
: Fremitus taktil dan vokal simetris kanan dan kiri
: Sonor pada kedua lapang paru
: Vbs kanan=kiri , ronkhi -/-, wheezing -/-

: Iktus cordis tidak terlihat


: Iktus kordis teraba pada ICS 5 linea midclavicula sinistra
: Batas atas : ICS 3 linea parasternalis sinistra
Batas kanan : ICS 4 linea sternalis dextra
Batas kiri : ICS 5 linea midclavicula sinistra
: Bunyi jantung I-II murni regular, murmur ( - ), gallop ( - )

: Punggung kanan = kiri simetris


Bentuk dada simetris kanan dan kiri
Pergerakan dinding dada simetris kanan dan kiri
: Fremitus taktil dan vokal simetris kanan dan kiri
: Sonor kedua lapang paru
: Vbs kanan=kiri, ronkhi -/-, wheezing -/: Bentuk datar, tegang , simetris
: Bising usus menurun
: Suara timpani mendominasi lapang abdomen
: Hepar dan lien tidak teraba
Ballotement ( - )
Vesica urinaria tidak teraba

: Akral hangat, otot kontraksi (-)


Udema -/: Akral hangat, otot kontraksi (+/+)
Udema -/-

III.

Genitalia

: Tidak ada kelainan.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

4 Januari 2015
LAB

RESULT

WBC

FLAGS

UNIT

NORMAL

8.34

10^3/

4.0-12.0

NEUT%

59.1

40.0-74.0

LYM %

31,3

25.0-50.0

MON%

6,6

2.0-10.0

EOS%

1,3

07

BASO%

0.3

0 1.5

LUC%

1,4

04

RBC

4,58

10^6/

4.0-6.20

HGB

13,2

g/dl

11.0-17.0

HCT

40,2

35.0-55.0

MCV

87,7

MCH

29,3

Pg

26.0-34.0

MCHC

33,4

g/dl

31.0-35.0

RDW

12,5

10.0-16.0

PLT

78

10^3/

150.0-400.0

80.0-100.0

KGDS: 77 mg/dL

IV.

RESUME

Pasien datang ke IGD RSUD Arjawinangun dengan keluhan kejang selama 3 menit 3 jam
sebelum masuk rumah sakit. Kejang dirasakan pada seluruh tubuh. Seluruh tubuh kaku
seperti tertarik. Pasien sadar saat kejang dan merasakan sakit saat kejang terjadi. Kejang
terjadi saat sekeliling gaduh atau saat terang. 15 hari SMRS perut, kaki, tangan dan mulut
pasien terasa kaku. Kaku terjadi bertahap dimulai dari mulut tidak dapat dibuka lebar,
diikuti kekakuan anggota tubuh dibawahnya. Pada 5 hari SMRS tangan pasien mulai
dapat digerakkan. Tidak ada riwayat darah tinggi, kencing manis, kejang, atau penurunan
kesadaran sebelumnya.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan trismus 3 cm, dan kaku pada ekstremitas bawah.
Pada pemeriksaan penunjang tidak ditemukan kelainan berarti dari pemeriksaan darah
lengkap.

V.

DIAGNOSIS KERJA

- Tetanus

VI.
-

DIAGNOSIS BANDING
Gangguan elektrolit

VII.

PENATALAKSANAAN

O2 2 liter/menit.

RL 20 tpm

ATS 20.000 IU

Metronidazol 3 x 500mg infus.

Diazepam 1 ampul bila perlu

Penisilin 3,3 juta IU

VIII. PROGNOSIS
Quo ad vitam

: dubia ad bonam

Quo ad functionam

: dubia ad bonam
7

Quo ad sanationam

: ad bonam

FOLLOW UP
TANGGAL
5 Januari 2015

PEMERIKSAAN
Keluhan :
Perut dan kaki kaku, mulut tidak dapat dibuka lebar. Tidak
BAB
PF :
T = 110/60 mmHg
P = 90x/mnt
R = 24x/mnt
S = 36.9oC
Konjuntiva Anemis +/+, trimus 3 cm, abdomen tegang, Bising
usus menurun, ekstremitas inferior rigid +/+.
Assesment: Tetanus
Terapi :
Puasa
Aminofluid 500 mg : Dekstrose 5% (1: 1)
- RL 20 tpm

6 Januari 2015

ATS 20.000 IU

Metronidazol 3 x 500mg infus.

Diazepam 1 ampul bila perlu

Penisilin 3,3 juta IU

Keluhan :
Kaku pada rahang, otot perut, kaki kanan dan kiri. BAB (-) 3
hari.
PF :
T = 110/70mmHg
P = 80x/mnt
R =24x/mnt
S = 36,8 oC
Konjuntiva Anemis +/+, trimus 3 cm, abdomen tegang, Bising
usus menurun, ekstremitas inferior rigid +/+.
Diagnosis: Tetanus
Terapi :
- Puasa
- Aminofluid 500 mg : Dekstrose 5% (1: 1)
9

RL 20 tpm

ATS 20.000 IU

Metronidazol 3 x 500mg infus.

Diazepam 1 ampul bila perlu

Penisilin 3,3 juta IU

Keluhan :
7 Januari 2015
Kaku pada rahang, otot perut, kaki kanan dan kiri berkurang.
BAB (-).
PF :
T = 110/70mmHg
P = 80x/mnt
R =24x/mnt
S = 36,8 oC
Konjuntiva Anemis +/+, trimus(-), abdomen tegang, Bising
usus menurun, ekstremitas inferior rigid +/+.
Diagnosis: Tetanus
Terapi :
- Puasa
- Aminofluid 500 mg : Dekstrose 5% (1: 1)
- RL 20 tpm
-

ATS 20.000 IU

Metronidazol 3 x 500mg infus.

Diazepam 1 ampul bila perlu

Penisilin 3,3 juta IU


ACC pulang

10

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
TETANUS
Definisi
Tetanus adalah penyakit infeksi akut yang menunjukkan diri dengan gangguan
neuromuskuler akut berupa trismus, kekauan dan kejang otot disebabkan oleh eksotoksin
spesifik (tetanospasmin) dari kuman anaerob Clostridium tetani. Terdapat beberapa bentuk
klinis tetanus termasuk di dalamnya tetanus neonatorum, tetanus generalisata dan gangguan
neurologis lokal.( Harrisons 2008. Jong, de Wim2005)

Mikrobiologi
Infeksi tetanus disebabkan oleh Clostridium tetani. Bakteri ini terdapat dimana-mana,
dengan habitat alamnya di tanah, tetapi dapat juga diisolasi dari kotoran binatang peliharaan
dan manusia. Kuman ini mudah dikenal karena pembentukan spora yang khas, ujung sel
menyerupai ujung tongkat pemukul gendering atau raket squash. Clostridium tetani
merupakan bakteri gram positif berbentuk batang yang selalu bergerak, dan merupakan
bakteri anaerob obligat yang mengahsilkan spora. Spora yang dihasilkan tidak berwarna,
berbentuk oval, menyerupai raket tenes atau paha ayam. Spora ini dapat bertahan selama
bertahun-tahun pada lingkungan tertentu, tahan terhadap sinar matahari, spora ini terdapat
pada tanah debu serta tahan terhadap pemanasan 1000C, dan bahkan pada otoklaf 1200C
selama 15-20 mnt, dari berbagai studi yang berbeda spora ini tidak jarang ditemukan pada
feses manusia, fesef kuda, anjing, dan kucing toksin diproduksi dalam bentuk vegetatifnya.
dan bersifat resisten terhadap berbagai desinfektan dan pendidihan selama 20 menit.
tetanospasmin ini merupakan rantai polipeptida tunggal. Dengan autolisis, toksin rantai
tunggal dilepaskan dan terbelah untuk membentuk heterodimer yang terdiri dari rantai berat
(100kDa) yang memediasi pengikatannya dengan reseptor sel saraf dan masuknya ke dalam
sel,

sedangkan

rantai

ringan

(50kDa)

berperan

untuk

memblokade

perlepasan

neurotransmiter. Telah diketahui urutan genom dari Clostridium tetani. Struktur asam amino
dari dua toksin tetanus secara parsial bersifat homolog.
11

Clostridium tetani menghasilkan dua eksotoksin, tetanolysin dan tetanospasmin. Fungsi


tetanolysin tidak diketahui dengan pasti. Tetanospasmin adalah neurotoksin dan
menyebabkan manifestasi klinis tetanus. Berdasarkan beratnya, tetanospasmin adalah salah
satu toksin yang paling kuat dikenal. Perkiraan dosis mematikan manusia minimum adalah
2,5 nanogram per kilogram berat badan manusia.

Epidemiologi
Tetanus terjadi secara sporadis dan hampir selalu menimpa individu non imun, individu
dengan imunitas penuh dan kemudian gagal mempertahankan imunitas secara adekuat
dengan vaksinasi ulangan. Walaupun tetanus dapat dicegah dengan imunisasi, tetanus masih
merupakan penyakit yang membebani di seluruh dunia.
Pada tahun 2002, jumlah estimasi yang berhubungan dengan kematian pada semua
kelompok adalah 213.000, yang terdiri dari tetanus neonatorum sebanyak 180.000 (85%).
Tetanus neonatorum menyebabkan 50% kematian perinatal dan menyumbangkan 20%
kematian bayi. Angka kejadian 6-7/100 kelahiran hidup di perkotaan dan 11-23/100 kelahiran
hidup di pedesaan. Sedangkan angka kejadian tetanus pada anak di rumah sakit 7-40
kasus/tahun, 50% terjadi pada kelompok 5-9 tahun, 30% kelompok 1-4 tahun, 18% kelompok
> 10 tahun, dan sisanya pada bayi
Di Amerika Serikat sebagian besar kasus tetanus terjadi akibat trauma akut, seperti luka
tusuk, laserasi atau abrasi. Tetanus didapatkan akibat trauma di dakam rumah atau selama
bertani, berkebun dan aktivitas luar ruangan yang lain. Trauma yang menyebabkan tetanus
bisa berupa luka besar tetapi dapat juga berupa luka kecil, sehingga pasien tidak mencari
pertolongan medis, bahkan pada beberapa kasus pasien tidak dapat diidentifikasi adanya
trauma. Tetanus dapat pula berkaitan dengan luka bakar, infeksi teling tengah, pembedahan,
aborsi, dan persalinan. Resiko terjadinya tetanus paling tinggi pada populasi usia tua. Survey
serologis skala luas terhadap antibodi tetanus dan difteri yang dilakukan antara tahun 19881994 menunjukkan bahwa secara keseluruhan, 72% penduduk Amerika Serikat di atas 6
tahun terlindungi terhadap tetanus. Sedangkan pada anak antara 6-11 tahun sebesar 91%,
persentase ini menurun dengan bertambahnya usia; hanya 30% individu berusia di atas 70
tahun (pria 45%, wanita 21%) yang mempunyai tingkat antibodi yang adekuat.

12

Patogenesis
Spora kuman tetanus yang ada di lingkungan dapat berubah menjadi bentuk vegetatif
bila ada dalam lingkungan anaerob, dengan tekanan oksigen jaringan yang rendah. Kuman ini
dapat membentuk metalo-exotoksin tetanus, yang terpenting untuk manusia adalah
tetanospasmin. Gejala klinis timbul sebagai dampak eksotoksin pada sinaps ganglion spinal
dan neuromuscular junction serta syaraf otonom. Toksin dari tempat luka menyebar ke motor
endplate dan setelah masuk lewat ganglioside dijalarkan secara intraaxonal kedalam sel saraf
tepi, kemudian ke kornu anterior sumsum tulang belakang, akhirnya menyebar ke SSP.
Manifestasi klinis terutama disebabkan oleh pengaruh eksotoksin terhadap susunan saraf
tepi dan pusat. Pengaruh tersebut berupa gangguan terhadap inhibisi presinaptik sehingga
mencegah keluarnya neurotransmiter inhibisi yaitu GABA dan glisin, sehingga terjadi
eksitasi terus-menerus dan spasme. Kekakuan dimulai pada tempat masuk kuman atau pada
otot masseter (trismus), pada saat toksin masuk ke sumsum belakang terjadi kekakuan yang
makin berat, pada ekstremitas, otot-otot bergaris pada dada, perut dan mulai timbul kejang.
Apabila toksin mencapai korteks cerebri, penderita akan mulai mengalami kejang umum
yang spontan. Tetanospasmin pada sistem saraf otonom juga berpengaruh, sehingga terjadi
gangguan pada pernafasan, metabolisme, hemodinamika, hormonal, saluran cerna, saluran
kemih, dan neuromuskular. Spame laring, hipertensi, gangguan irama jantung, hiperpireksia,
hiperhidrosis merupakan penyulit akibat gangguan saraf otonom.
Tetanospasmin menghasilkan sindroma klinis tetanus. Toksin ini mungkin mencakup
lebih dari 5% dari berat organisme. Toksin ini merupakan polipeptida rantai ganda yang
semula bersifat inaktif. Rantai berat (100.000 Da) dan rantai ringan (50.000 Da) dihubungkan
oleh suatu ikatan yang sensitif terhadap protease dan dipecah oleh protease jaringan yang
menghasilkan jembatan disulfida. Ujung karboksil dari rantai berat terikat pada membran
saraf dan ujung amino memungkinkan masuknya toksin ke dalam sel. Rantai ringan bekerja
pada presinaptik untuk mencegah pelepasan neurotransmiter dari neuron yang dipengaruhi.
Tetanoplasmin yang dilepaskan akan menyebar pada jaringan di bawahnya dan terikat pada
gangliosida GD1b dan GT1b pada membran ujung saraf lokal. Jika toksin yang dihasilkan
banyak, ia dapat memasuki aliran darah yang kemudian berdifusi untuk terikat pada ujungujung saraf di seluruh tubuh. Toksin kemudian akan menyebar ke dalam badan sel di batang
otak dan saraf spinal.

13

Transpor terjadi pertama kali pada saraf motorik, lalu ke saraf sensorik dan saraf otonom.
Jika toksin telah masuk ke dalam sel, ia akan berdifusi keluar dan akan masuk dan
mempengaruhi ke neuron di dekatnya. Apabila interneuron inhibitori spinal terpengaruh,
gejala-gejala tetanus akan muncul. Transpor intraneuronal retrogard lebih jauh terjadi dengan
meliputi transfer melewati celah sinaptik dengan suatu mekanisme yang tidak jelas.
Setelah internalisasi ke dalam neuron inhibitori, ikatan disulfida yang menghubungkan
rantai ringan dan rantai berat akan berkurang, membebaskan rantai ringan. Efek toksin
dihasilkan melalui pencegahan lepasnya neurotransmiter. Sinaptobrevin merupakan protein
membran yang diperlukan untuk keluarnya vesikel intraseluler yang mengandung
neuritransmiter. Rantai ringan tetanoplasmin merupakan metalloproteinase zinc yang
membelah sinaptobrevin pada suatu titik tunggal, sehingga mencegah pelepasan
neurotransmiter.
Toksin ini mempunyai efek dominan pada neuron inhibitori, dimana setelah toksin
menyebrangi sinapsis untuk mencapai presinaptik, ia akan memblokade pelepasan
neurotransmiter inhibitor yaitu glisin dan asam aminobutirik (GABA). Interneuron
menghambat neuron motorik alfa yang pertama kali dipengaruhi, sehingga neuron motorik ini
kehilangan fungsi inhibisinya. Lalu, karena jalur yang lebih panjang, neuron simpatetik
preganglionik pada ujung lateral dan pusat parasimpatik juga dipengaruhi. Neuron motorik
juga dipengaruhi dengan cara yang sama dan pelepasan asetilkolin ke dalam celah
neuromuskuler dikurangi. Pengaruh ini mirip dengan aktivitas toksin botulinum yang
mengakibatkan paralisis flaksid. Namun demikian, pada tetanus, efek disinhibitori neuron
motorik lebih berpengaruh daripada berkurangnya fungsi pada ujung neuromuskuler. Pusat
medulla dan hipotalamus mungkin juga dipengaruhi. Tetanospasmin mempunyai efek
konvulsan kortikal pada penelitian pada hewan. Efek prejungsional dari ujung neuromuskuler
dapat berakibat kelemahan di antara dua spasme dan dapat berperan pada paralisis saraf
kranial yang dijumpai pada tetanus sefalik, myopati yang terjadi setelah pemulihan.
Aliran efek yang tak terkendali dari saraf motorik pada korda dan batang otak akan
menyebabkan kekakuan dan spasme muskuler, yang dapat menyerupai konvulsi. Refleks
inhibisi dari kelompok otot antagonis hilang, sedangkan otot-otot agonis dan antagonis
berkontraksi secara simultan. Spasme otot sangatlah nyeri dan dapat berakibat fraktur atau
ruptur tendon. Otot rahang, wajah, dan kepala sering terlibat pertama kali karena jalur
aksonalnya lebih pendek. Tubuh dan anggota tubuh mengikuti, sedangkan otot-otot perifer
tangan dan kaki relatif jarang terlibat.

14

Aliran impuls otonomik yang tidak terkendali akan berakibat terganggunya kontrol
otonomik dengan aktivitas berlebih saraf simpatik dan kadar katekolamin plasma yang
berlebihan, terikatnya toksin pada neuron bersifat ireversibel. Pemulihan membutuhkan
tumbuhnya ujung saraf yang baru yang menjelaskan mengapa tetanus berdurasi lama. Pada
tetanus lokal, hanya saraf-saraf yang menginervasi otot-otot yang bersangkutan yang terlibat.
Tetanus generalisata terjadi apabila toksin yang dilepaskan di dalam luka memasuki aliran
limfe dan darah dan menyebar luas mencapai ujung saraf terminal: sawar darah otak
memblokade masuknya toksin secara langsung ke dalam sistem saraf pusat. Jika diasumsikan
bahwa waktu transport intraneuronal sama pada semua saraf, serabut saraf yang pendek akan
terpengaruh sebelum serabut saraf yang panjang: hal ini menjelaskan urutan keterlibatan
serabut sarafdi kepala, tubuh dan ekstremitas pada tetanus generalisata. (Sudoyo, Aru. W 2006)

Manifestasi klinis
Masa inkubasi kuman tetanus berkisar antara 3 hingga 14 hari, kadang berlangsung lama
rata-rata delapan hari. Berat penyakit berhubungan erat dengan masa inkubasi. Tetanus dapat
timbul sebagai tetanus lokal, terutama orang yang telah mendapat imunisasi gejalanya berupa
kaku persisten pada kelompok otot didekat luka yang terkontaminasi basil tetanus. Kadangkadang pada trauma kepala timbul tetanus lokal tipe sefalik. Dalam hal ini terjadi fenomena
motorik sesuai dengan serabut saraf kepala yang terkena ( N III,IV,V,VI,VII,IX,X dan XII ).
Harus diperhatikan apabila terdapat kaku otot di sekitar luka mungkin merupakan gejala
tetanus.Yang paling sering terjadi adalah tetanus umum gejala pertama yang dilihat dan terasa
oleh pasien adalah kaku otot masseter yang menggakibatkan gangguan membuka mulut
(trismus) selanjutnya timbul opistotonus yang disebabkan oleh kaku kuduk, kaku leher dan
kaku punggung. Selain dinding perut mejadi seperti papan, tampak sirdus sardonikus karena
kaku otot wajah dan keadaan kekakuan ektremitas dan penderita terganggu dengan proses
menelan.
Keluhan konstipasi, nyeri kepala, berdebar, dan berkeringat sering di jumpai pada
umumnya. Ditemukan demam serta bertambahnya frekuensi napas, kejang otot yang
merupakan kekakuan karena hipertonus dan tidak bersifat klonus dapat timbul karena
rangsangan yang lemah, seperti bunyi-bunyian dan cahaya selama sakit, sensorium tidak
terganggu sehingga hal tersebut menimbulkan penderitaan terhadap pasien karena merasa
nyeri akibat kaku otot, dan dapat pula timbul gangguan pernapasan yang menyebabkan
15

anoksia dan kematian. Penyebab kematian pada penderita tetanus merupakan kombinasi
berbagai keadaan seperti kelelahan otot napas dan infeksi sekunder di paru yang
menyebabkan kegagalan pernapasan serta gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.

Tetanus generalisata
Tetanus generalisata merupakan bentuk yang paling umum dari tetanus, yang ditandai
dengan meningkatnya tonus otot dan spasme generalisata. Masa inkubasi bervariasi,
tergantung pada lokasi luka dan lebih singkat pada tetanus berat, median onset setelah trauma
adalah 7 hari.
Terdapat trias klinis berupa rigiditas, spasme otot, dan apabila berat disfungsi otonomik.
Kaku kuduk, nyeri tenggorokan, dan kesulitan untuk membuka mulut, sering merupakan
gejala awal tetanus. Spasme otot masseter menyebabkan trismus atau rahang terkunci.
Spasme secara progresif meluas ke otot-otot wajah yang menyebabkan ekspresi wajah yang
khas, risus sardonicus dan meluas ke otot-otot untuk menelan dan menyebabkan disfagia.
Spasme ini dipicu oleh stimulus internal dan eksternal dapat berlangsung secara beberapa
menit dan dirasakan nyeri. Rigiditas otot leher menyebabkan retraksi kepala. Rigiditas tibuh
menyebabkan opistotonus dan gangguan respirasi dengan menurunnya kelenturan dinding
dada. Refleks tendon dalam meningkat. Pasien dapat demam, walaupun banyak yang tidak,
sedangkan kesadaran tidak terpengaruh.
Di samping peningkatan tonus otot, terdapat spasme otot yang bersifat episodik. Kontraksi
otot ini dapat bersifat spontan atau dipicu oleh stimulus berupa sentuhan, stimulus visual,
auditori atau emosional. Spasme yang terjadi dapat bervariasi berdasarkan keparahannya dan
frekuensinya tetapi dapat sangat kuat sehingga menyebabkan fraktur ata ruptur tendon.
Spasme yang terjadi dapat sangat berat, terus menerus, nyeri bersifat generalisata sehingga
menyebabkan sianosis dan gagal napas. Spasme ini dapat terjadi berulang-ulang dan dipicu
oleh stimulus yang ringan. Spasme faringeal sering diikuti dengan spasme laringeal dan
berkaitan dengan terjadinya aspirasi dan obsktruki jalan napas akut yang mengancam nyawa.
Pada bentuk yang paling umum dari tetanus, yaitu tetanus generalisata, otot-otot di seluruh
tubuh terpengaruh. Otot-otot di kepala dan leher yang biasanya pertama kali terpengaruh
dengan penyebaran kaudal yang progresif untuk mempengaruhi seluruh tubuh. Akibat trauma
perifer dan sedikitnya toksin yang dihasilkan, tetanus lokal dijumpai. Spasme dan rigiditas
terbatas pada area tubuh tertentu. Mortalitas sangatlah berkurang. Pengecualian untuk ini
adalah tetanus sefalik di mana tetanus lokal yang berasal dari luka di kepala mempengaruhi

16

saraf kranial; paralisis lebih mendominasi gambaran klinisnya, daripada spasme. Tetapi
progresi ke tetanus generalisata umum terjadi dan mortalitasnya tinggi.
Gangguan autonomik terjadi dengan adanya instabilitas kardiovaskular yang tampak
nyata. Hipertensi berat dan takikardia dapat terjadi bergantian dengan hipotensi berat,
bradikardia dan henti jantung berulang. Pergantian ini lebih merupakan akibat perubahan
resistensi vaskular sistemik daripada perubahan pengisian jantung dan kekuatan jantung. Di
samping sistem kardiovaskuler, efek otonomik yang lain mencakup salivasi profus dan
meningkatnya sekresi bronkial. Stasis gaster, ileus, diare, dan gagal ginjal curah tunggi (high
output renal failure) semua berkaitan dengan gangguan otonomik.

Tetanus lokal
Tetanus lokal merupakan bentuk yang jarang dimana manifestasi klinisnya terbatas
hanya pada otot-otot di sekitar luka. Kelemahan otot dapat terjadi akibat peran toksin pada
tempat yang berhubungan neuromuskuler. Gejala-gejalanya bersifat ringan dan dapat
bertahan sampai berbulan-bulan. Progresi ke tetanus generalisata dapat terjadi. Namun
demikian secara umum prognosismya baik.

Tetanus sefalik
Tetanus sefalik merupakan bentuk yang jarang dari tetanus lokal, yang terjadi setelah
trauma kepala atau infeksi telinga. Masa inkubasinya 1-2 hari. Dijumpai trismus dan
disfungsi satu atau lebih saraf kranial, yang tersering adalah saraf ke-7. Disfagia dan paralisis
otot ekstraokular dapat terjadi. Mortalitasnya tinggi.
Perjalanan klinis
Masa inkubasi berkisar antara 3-14 hari, biasanya sekitar 8 hari. Periode inkubasi
(rentang waktu antara trauma dengan gejala pertama) rata-rata 3-14 hari dengan rentang 1-60
hari. Onset (rentang waktu antara gejala pertama dengan spasme pertama) bervariasi antara 17 hari. Inkubasi dan onset yang lebih pendek berkaitan dengan tingkat keparahan penyakit
yang lebih berat. Minggu pertama ditandai dengan rigiditas dan spasme otot yang semakin
parah. Gangguan otonomik biasanya dimulai beberapa hari setelah spasme dan bertahan
sampai 1-2 minggu. Spasme berkurang setelah 2-3 minggu tetapi kekauan tetap bertahan

17

lebih lama. Pemulihan terjadi karena tumbuhnya lagi akson terminal dan karena
penghancuran toksin. Pemulihan bisa memerlukan waktu sampai 4 minggu.
Derajat keparahan
Terdapat beberapa sistem pembagian derajat keparahan yang dilaporkan.
Tabel 1.1 Keempat tolak ukur dan besarnya nilai (Philips)
Variable
Masa inkubasi

Lokasi infeksi

Imunisasi

Faktor pemberat

Tolak ukur

Nilai
< 48 jam

2- 5 hari

6- 10 hari

11-14 hari

14 hari

Internal/umbilical

Leher, kepala, dinding tubuh

Ekstremitas proksimal

Ekstremitas distal

Tidak diketahui

Tidak ada

10

Mungkin ada/ibu dapat

>10 tahun lalu

<10 tahun lalu

Proteksi lengkap

Penyakit trauma

10

Membahayakan jiwa

Keadaan yang tidak langsung

4
18

Berbahaya

Keadaan tidak berbahaya

Trauma/penyakit ringan

Derajat keparahan penyakit didasarkan pada empat tolak ukur, yaitu masa inkubasi, port d
entree, status imunologi, dan faktor yang memberatkan. Berdasarkan jumlah angka yang
diperoleh, derajat keparahan penyakit dapat dibagi menjadi tetanus ringan (angka < 9),
tetanus sedang (angka 9-16), dan tetanus berat (angka > 16). Tetanus ringan dapat sembuh
sendiri tanpa pengobatan, tetanus sedang dapat sembuh dengan pengobatan baku, sedangkan
tetanus berat memerlukan perawatan khusus yang intensif.
Klasifikasi beratnya tetanus oleh Ablett:
DERAJAT I (ringan) : Trismus ringan sampai sedang, spasitisitas generalisata, tanpa
gangguan pernafasan, tanpa spasme, sedikit atau tanpa disfagia.
DERAJAT II (sedang) : Trismus sedang, rigiditas yang tampak jalas, spasme singkat sampai
sedang, gangguan pernafasan sedang dengan frekuensi pernafasan lebih dari 30 kali per
menit, disfagia ringan.
DERAJAT III (berat) : Trismus berat, spasitisitas generalisata, spasme reflek berkepanjangan,
frekuensi pernafasan lebih dari 40 kali per menit, serangan apnea, disfagia berat, dan
takikardi ( lebih dari 120 kali per menit).
DERAJAT IV (sangat berat) : Derajat III dengan gangguan otonomik berat, melibatkan sistem
kardiovaskuler, hipertensi berat dan takikardi terjadi berselingan dengan hipotensi dan
bradikardi, salah satunya dapat menetap.

Komplikasi

19

Laryngospasm (spasme pita suara) dan / atau kejang otot-otot respirasi menyebabkan
gangguan bernapas. Patah tulang belakang atau tulang panjangyang diakibatkan dari
kontraksi dan kejang-kejang. Hiperaktif dari sistem saraf otonom dapat mengakibatkan
hipertensi dan / atau irama jantung yang abnormal. Infeksi nosokomial karena perawatn di
rumah sakit dalam jangka waktu yang lama. Infeksi sekunder dapat mencakup sepsis,
didapatkan dari pemasangan kateter, pneumonia dan ulkus decubitus.
Tabel 1.2 Komplikasi-komplikasi tetanus
Sistem
Jalan napas

Komplikasi
Aspirasi
Laringospasme/obstruksi

Respirasi

Obstruksi berkaitan dengan sedatif


Apne
Hipoksia
Gagal nafas
ARDS

Kardiovaskuler

Komplikasi trakeostomi (stenosis trakea)


Takikardia, hipertensi, iskemia
Hipotensi, bradikardia

Ginjal

Asistol, gagal jantung


High output renal failure
Gagal ginjal oligouria

Gastrointestinal

Stasis urin dan infeksi


Stasis gaster
Ileus
Diare

Lain-lain

Perdarahan
Penurunan berat badan
Tromboembolus
Sepsis dengan gagal organ multipel
Fraktur vertebra selama spasme
Ruptur tendon akibat spasme

Diagnosis
Diagnosis tetanus mutlak didasarkan pada gejala klinis. Tetanus tidaklah mungkin apabila
terdapat riwayat serial vaksinasi yang telah diberikan secara lengkap dan vaksin ulangan yang
sesuai telah diberikan. Sekret luka hendaknya dikultur pada kasus yang dicurigai tetanus.
20

Namun demikian, Clostridium tetani dapat diisolasi dari luka pasien tanpa tetanus sering
tidak ditemukan dari pasien tetanus, kultur yang positif bukan merupakan bukti bahwa
organisme tersebut menghasilkan toksin dan menyebabkan tetanus. Leukosit mungkin
meningkat.

Pemeriksaan

cairan

serebrospinal

menunjukkan

hasil

yang

normal.

Elektromyogram mungkin menunjukkan impuls unit-unit motorik dan pemendekan atau tidak
adanya interval tenang yang secara normal dijumpai setelah potensial aksi. Perubahan non
spesifik dapat dijumpai pada elektromyogram. Enzim otot mungkin meningkat. Kadar
antitoksin serum 0,15 U/ml dianggap protektif dan pada kadar kinin tetanus tidak mungkin
terjadi, walaupun ada beberapa kasus yang terjadi pada kadar antitoksin yang protektif.
Penatalaksanaan
1. Pencegahan
Imunisasi aktif
Imunisasi dengan tetanus toksoid yang diabsorbsi merupakan tindakan pencegahan yang
paling efektif dalam praktek. Semua individu dewasa yang imun secara parsial atau tidak
sama sekali hendaknya mendapatkan vaksin tetanus, seperti halnya pasien yang sembuh dari
tetanus.
Penalaksanaan luka
Penatalaksanaan luka yang baik membutuhkan pertimbangan imunisasi pasif dengan TIG
atau antitoksin dan imunisasi aktif dengan vaksin.
2. Pengobatan
Strategi pengobatan melibatkan tiga prinsip pentalaksanaan: organisme yang terdapat
dalam tubuh hendaknya dihancurkan untuk mencegah pelepasan toksin lebih lanjut; toksin
yang terdapat dalam tubuh, di luar sistem saraf pusat hendaknya dinetralisasi; dan efek dari
toksin yang telah terikat pada sistem saraf pusat diminimalisasi.
Penatalaksanaan umum
Pasien hendaknya ditempatkan di ruangan yang tenang di ICU, di mana observasi dan
pemantauan kardiopulmoner dapat dilakukan secara terus menerus, sedangkan stimulasi
21

diminimalisasi. Perlindungan terhadap jalan napas bersifat vital. Luka hendaknya


dieksplorasi, dibersihkan secara hati-hati dan dilakukan dibridemen secara menyeluruh.
Netralisasi dari toksin yang bebas
Antitoksin menurunkan mortilitas dengan menetralisasi toksin yang beredar di sirkulasi
dan toksin pada luka yang belum terikat, walaupun toksin yang telah melekat pada jaringan
saraf tdak terpengaruh. Immunoglobulin tetanus manusia (TIG) merupakan pilihan utama dan
hendaknya diberikan segera dengan dosis terbagi karena volumenya besar. Dosis optimalnya
belum diketahui, namun demikian beberapa penelitian menunjukkan bahwa dosis sebesar 500
unit sama efektifnya dengan dosis yang lebih tinggi. Antitoksin tetanus kuda masih
dipergunakan di di Indonesia. Dosis ATS yang diberikan pada tetanus menurut Farrar dkk
adlah 500 1000 IU/kgBB. Imunoglobulin intravena merupakan alternatif lain daripada TIG
tapi konsentrasi antitoksin spesifik dalam formulasi ini belum distandarisasi. Paling baik
memberikan antitoksin sebelum memanipulasi luka. Manfaat memberikan antitoksin pada
insisi proksimal luka atau dengan menginfiltrasi luka belumlah jelas. Dosis tambahan tidak
diperlukan karena waktu paruh antitoksin yang panjang. Antibodi tidak dapat meembus sawar
darah otak. Lebih murah dibandingkan antitoksin manusia, tetapi waktu paruhnya lebih
pendek dan pemberiannya sering menimbulkan hipersensitivitas dan serum sicknesss
syndrome.
Menyingkirkan sumber infeksi
Jika ada, luka yang nampak jelas hendaknya didebridemen secara bedah. Walaupun
manfaatnya belum terbukti, terapi antibiotik diberikan pada tetanus untuk mengeradikasi selsel vegetatif, sebagai sumber toksin. Penggunaan penisilin (10 sampai 12 juta unit intravena
setiiap hari selama 10 hari) telah direkomendasikan dan secara luas dipergunakan selama
bertahun-tahun, tetapi merupakan antagonis GABA dan berkaitan dengan konvulsi.
Metronidazol mungkin merupakan antibiotik pilihan. Metronidazol (500 mg tiap 6 jam atau 1
gr tiap 12 jam) digunakan oleh beberapa ahli berdasarkan aktivitas antimikrobial
metronidazol yang bagus. Terapi ini diberikan 10 14 hari. Metronidazol aman dan pada
penelitian yang membandingkan dengan penisilin menunjukkan angka harapan hidup yang
lebih tinggi dibandingkan dengan penisilin karena metronidazol tidak menunjukkan aktivitas
antagonis terhadap GABA seperti yang ditunjukkan oleh penisilin.
22

Pengendalian rigiditas dan spasme


Banyak obat yang telah dipergunakan sebagai obat tunggal maupun kombinasi untuk
mengobati spasme otot pada tetanus yang nyeri dan dapat mengancam respirasi karena
menyebabkan laringospasme atau kontraksi terus menerus otot-otot pernafasan. Regimen
yang ideal adalah regimen yang dapan menekan aktivitas spasmodik tanpa menyebabkan
sedasi berlebihan dan hipoventilasi. Harus dihindari stimulasi yang tidak perlu, tetapi terapi
utamanya adalah sedasi dengan menggunakan benzodiazepin. Benzodiazepin memperkuat
agonisme GABA dengan menghambat inhibitor endogen pada reseptor GABAA. Diazepam
dapat diberikan melalui rute yang bervariasi, murah dan dipergunakan secara luas, tapi
metabolit kerja panjangnya (oksazepam dan desmetildiazepam) dapat terakumulasi dan
berakibat koma berkepanjangan. Dosis diazepam yang diberikan sesuai dengan keadaan
spasme pasien:
Spasme ringan : 5-10 mg oral tiap 4-6 jam apabila perlu
Spasme sedang: 5-10 mg i.v apabila perlu
Spasme berat : 50-100 mg dalam 500 ml D5, diinfuskan 40 mg perjam
Sebagai sedasi tambahan dapat diberikan antikonvulsan, terutama fenobarbiton yang lebih
jauh memperkuat aktivitas GABAergik dan fenithiazin, biasanya klorprimazin. Barbiturat dan
klorpromazin ini merupakan obat lini kedua.
Penatalaksanaan respirasi
Intubasi atau trakeostomi dengan atau tanpa ventilasi mekanik mungkin dibutuhkan pada
hipoventilasi yang berkaitan dengan sedasi berlebihan atau laringospasme atau untuk
menghindari aspirasi oleh pasien dengan trismus, gangguan kemampuan menelan atau
disfagia. Kebutuhan akan prosedur ini harus di antisipasi dan diterapkan secara elektif dan
secara dini.

Pengendalian disfungsi otonomi

23

Metode non farmakologis untuk mencegah instabilitas otonomik didasarkan pada


pemberian cairan sesuai dengan kebutuhan pasien. Sedasi sering merupakan terapi pertama.
Benzodiazepin, antikonvulsan dan terutama morfin sering dipergunakan. Morfin terutama
bermanfaat karena stabilitas kardiovaskuler dapat terjadi karena gangguan jantung. Dosisnya
bervariasi antara 20 sampai 180 mg per hari. Mekanisme aksi yang dipertimbangkan adalah
penggantian opioid endogen, pengurangan aktifitas refleks simpatis dan pelepasan histamin.
Fenotiazin, terutama klorpromazin merupakan sedatif yang berguna, antikolinergik dan
antagonis a adrenergik dapat berperan terhadap stabilitas kardiovaskular. Magnesium sulfat
juga dapat digunakan untuk mengatasi disfungsi otonom, yaitu diberikan sebanyak 5 gr (atau
75mg/kg) dosis inisial secara iv, lalu 2 -3 gram per jam hingga kontrol spasme dicapai. Untuk
menghindari overdosis, dilakukan pemantauan terhadap refleks patella. Jika didapatkan
arefleksia (hilangnya refleks patella) maka dosis harus diturunkan.
Penatalaksanaan intensif suportif
Turunnya berat badan umum terjadi pada tetanus. Faktor yang ikut menjadi penyebabnya
mencakup ketidakmampuan untuk menelan, meningkatnya laju metabolisme akibat pireksia
atau aktivitas muskular dan masa kritis yang berkepanjangan. Oleh karena itu, nutisi
hendaknya diberikan seawal mungkin.
Pentalaksanaan lain
Penatalaksanaan lain meliputi hidrasi, untuk mengontrol kehilangan cairan yang tak
tampak dan kehilangan cairan yang lain, yang mungkin signifikan;kecukupan kebutuhan gizi
yang meningkat dengan pemberian enteral maupun parenteral; fisioterapi untuk mencegah
kontraktur; dan pemberian heparin dan antikoagulan yang lain untuk mencegah emboli paru.
Fungsi ginjal, kandung kemih dan saluran cerna harus dimonitor. Perdarahan gastrointestinal
dan ulkus dekubitus harus dicegah dan infeksi sekunder harus diatasi.
Vaksinasi
Pasien tetanus hendaknya secara aktif diimunisasi karena imunitas tidak diinduksi oleh
toksin dalam jumlah kecil yang menyebabkan tetanus. Dosis yang diberikan adalah 0,5 cc
intramuskular pada sisi lengan yang berbeda dari pemberian ATS.

24

Pencegahan
Banyaknya masalah dalam penanganan dan penaggulangan tetanus serta masih tingginya
angkan kematian (30-60%). Tindakan pencegahan merupakan usaha yang sangat penting
dalam upaya menurunkan morbilitas dan mortalitas akibat tetanus. Ada dua cara mencegah
tetanus.
Perawatan luka yang adekuat
Imunisasi aktif dan pasif
Imunisasi aktif didapat dengan menyuntikkan toksoid tetanus dengan tujuan merangsang
tubuh membentuk antibodi sedangkan imunisasi pasif diproleh dengan memberikan serum
yang sudah mengandung antitoksin heterolog (ATS) atau antitoksin homolog (imunogobulin
antitetanus) berdasarkan jenis luka baru ditentukan pemberian antitetanus serum atau toksoid.
Prognosis
Faktor yang mempengaruhi mortalitas pasien tetanus adalah masa inkubasi, periode awal
pengobatan, imunisasi, lokasi fokus infeksi, penyakit lain yang menyertai, beratnya penyakit,
dan penyulit yang timbul. Masa inkubasi dan periode onset merupakan faktor yang
menentukan prognosis dalam klasifikasi Cole dan Spooner.

25

Klasifikasi prognostik menurut Cole-Spooner


Kelompok prognostik

Periode awal

Masa inkubasi

< 36 jam

6 hari

II

>36 jam

>6 hari

III

Tidak diketahui

Tidak diketahui

Pasien yang termasuk dalam kelompok prognostik I mempunyai angka kematian


lebih tinggi daripada kelompok II dan III. Perawatan intensif menurunkan angka kematian
akibat kegagalan napas dan kelelahan akibat kejang. Selain itu, pemberian nutrisi yang cukup
ternyata juga menurunkan angka kematian.

26

BAB III
DISKUSI
Subjektif:
Pasien datang dengan keluhan kejang pada keadaan sadar dan saat keadaan sekelilingnya
gaduh. Keluhan disertai tangan, kaki, perut dan mulut yang kaku sejak 15 hari SMRS dan
sempat kejang. Keluhan dialami setelah 7 hari terkena golok pada kaki kanannya. Luka kecil
tersebut sudah kering dan menutup. Pada kasus ini, gejala kejang tanpa penurunan kesadaran
mengindikasikan keadaan eksitasi terus-menerus, atau hambatan pada neurotransmitter
inhibisi seperti GABA. Kelainan lain yang dapat menyebabkan kejang pada dewasa dengan
keadaan tersebut adalah kelainan elektrolit. Riwayat terkena golok pada kaki kanannya
meningkatkan risiko terjadinya infeksi Clostridium tetani pada pasien. Kejang pada tetanus
ini dapat terjadi oleh karena toksin tetanospasmin. Keluhan kaku pertama kali dialami 7 hari
setelah terluka karena golok. Hal ini sesuai dengan teori dimana masa inkubasi bakteri
Clostridium tetani berkisar antara 4 14 hari. Keluhan kejang juga disertai kekakuan otot di
seluruh tubuh. Kaku otot bisa juga terjadi pada keadaan gangguan elektrolit dan mineral.
Kekakuan otot yang berjalan craniodistal merupakan salah satu cara yang menguatkan
diagnosis ke arah tetanus. Pada pasien juga terdapat trias klasik tetanus, yaitu: rigiditas otot
perut, trismus dan ekstremitas. Secara klinis dan epidemiologi, penetapan diagnosis tetanus
apabila ditemukannya rigiditas otot masseter, leher dan abdomen.
Objektif:
Pada pemeriksaan fisik ditemukan trismus 3 cm, dan kaku pada ekstremitas bawah.
Lengan pasien tidak kaku pada saat masuk rumah sakit bisa dikarenakan akson terminal
saraf endplate di lengan telah regenerasi dan bebas dari toksin. Bising usus menurun pada
pasien dapat dikarenakan level elektrolit yang tidak seimbang.
Assesment: Tetanus
Planning

Usul Pemeriksaan
Elektrolit
27

Gula Darah Sewaktu

Terapi
-

O2 2 liter/menit, terutama disaat pasien mengalami kejang kembali sebagai


tatalaksana pada kejang.

RL 20 tpm diberikan sebagai cairan rumatan untuk menghindari keadaan dehidrasi


yang dapat memperberat keadaan dan menimbulkan komorbiditas.

ATS 20.000 IU, merupakan tatalaksana utama pada penderita tetanus untuk membantu
menetralisasi toksin tetanus, meskipun toksin yang sudah berikatan dengan saraf
endplate tidak dapat dilepaskan. Tetapi dosis 20.000 IU merupakan dosis profilaksis.
Pada terapi tetanus sendiri, dosis ATS adalah

Metronidazol 3 x 500mg infus. Metronidazol diberikan untuk mengeradikasi kuman


Clostridium tetani yang mungkin masih ada di tubuh pasien.

Diazepam 1 ampul bila perlu. Diazepam dipersiapkan apabila pasien mengalami


kejang kembali.

Pemberian penisilin 3,3 juta IU bersamaan dengan metronidazol dapat dimaksudkan


untuk mempercepat efek antibiotik.

Menurut Panduan WHO tahun 2010, pada kasus tetanus diberikan juga injeksi TT 0,5 cc
pada ekstremitas yang berbeda dari penyuntikan ATS. Tetanus toksoid diharapkan dapat
membentuk imunitas terhadap tetanus karena infeksi tetanus tidak memberikan kekebalan
terhadap tetanus.

28

DAFTAR PUSTAKA
CDC.

Tetanus.

(cited

2009

November

19th

).

2006.

Avalaible

at:

www.cdc.gov/niP/publications/pink/tetanus.pdf
Fauci, Braunwald et al. Harrisons Principles of Internal Medicine. 17th edition.
McGraw-Hill: United State. 2008.
Jong, de Wim. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. EGC: Jakarta. 2005. Hal 23-4.
Kiking R. Tetanus. Medan: USU Digital Library, 2004;1-9.
WHO. WHO Technical Note: Current Recommendations for Treatment of Tetanus
during Humanitarian emergencies. Geneva: WHO. 2010.

29

Anda mungkin juga menyukai