37
38
untuk hidup bersama suami istri. Perkawinan barulah sah apabila dilakukan antara
seorang pria dan seorang wanita.
39
perkawinan
seumur hidup atau selama-lamanya, dan tidak boleh diputuskan begitu saja. Dalam
rumusan perkawinan itu dinyatakan dengan tegas bahwa pembentukan keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa,
hal ini berarti bahwa perkawinan harus didasarkan pada agama dan kepercayaan.
Dalam
agama Islam, perintah religius merupakan sunnah Rasulullah. Keberadaan unsur
Ketuhanan dalam sebuah perkawinan bukan saja peristiwa itu merupakan perjanjian
yang sakral melainkan sifat pertanggungjawaban hukumnya jauh lebih penting
yaitu pertanggungjawaban kepada tuhan sang pencipta (Allah SWT). Dengan adanya
unsur
38Tan Kamello, Hukum Perdata: Hukum Orang Dan Keluarga, (Medan, USU Press 2011)
hal.
39Mega Magdalena, Fungsi Pencatatan Perkawinan Menurut Undang-undang Nomor 1
42.
Tahun 1974, (Medan: Tesis Pascasarjana USU, 2005) hal.15.
41
bebas
memilih
43
pasangannya
untuk
hidup
berumah
orang
tangga
dalam
41
.Ibid.
42Mega Magdalena, Fungsi Pencatatan Perkawinan Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974, (Medan: Tesis Pascasarjana USU, 2005) hal.16.
43Pasal 6 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
sudah mencapai 16 tahun (pasal 7 ayat (1) . Ayat (2) menetapkan tentang
kemungkinan penyimpangan terhadap ketentuan tersebut di atas dengan jalan
meminta terlebih dahulu pengecualian kepada pengadilan atau pejabat lain yang
ditunjukan oleh kedua orang tua meninggal dunia, maka pengecualian dapat
dimintakan kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjukan oleh orang tua
yang masih hidup atau wali/orang yang memelihara/datuk (kakek dan nenek)
dari pihak-pihak yang akan melakukan perkawinan dengan ketentuan bahwa
segala
sesuatunya sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaan yang
bersangkutan tidak menentukan lain.
Izin kedua orang tua mereka yang belum mencapai umur 21 tahun. Bila
salah satu orang tua telah meninggal dunia, maka izin dapat diperoleh dari orang tua
yang
44Pasal 7 ayat 1-3 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
masih hidup. Bila itupun tidak ada, dari wali orang yang memelihara atau keluarga
yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas atau bisa juga
izin dari pengadilan, bila orang-orang tersebut juga tidak ada atau tidak mungkin
diminta izinnya (pasal 6 ayat 2, 3, 4, dan 5).
45
4.
46
47
umum
dan
47Ibid, hal.22.
48
Hasil wawancara dengan Mariani pelaku Nikah Sirri hari senin tanggal 1 Agustus 2011.
50
dengan
prinsip
yang
berlaku,
Namanya
(Nikah
di
bawah
Tangan), dan
49
Hasil wawancara dengan Sumiati pelaku Nikah Sirri hari selasa tanggal 2 Agustus 2011.
50 Hasil wawancara dengan Siti pelaku Nikah Sirri hari rabu tanggal 3 Agustus 2011.
biasanya tidak di catat oleh pejabat yang berwenang, sahnya pernikahan menurut
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 apabila dicatat oleh pejabat yang
berwenang. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak sah Nikah yang
dilakukan tanpa dicatatkan pada pencatatan sipil.
51
Allah
yang
dan bahwasanya dia-lah yang menciptakan (sesuatu) berpasangpasangan, yaitu laki-laki dan perempuan.(An-Najam:45).
Selain itu ada juga kata alnikahu (pernikahan) secara etimologi
mengandung pengertian
menyelinap
(masuk)
pada
sebagian
lainnya.
51
Hasil wawancara dengan Bapak Hilman Panitera pada Pengadilan Agama Medan pada
hari senin, tanggal 24 Oktober 2011, Pukul 13.00 WIB.
52 Yusuf Ad-Duraiwsy, Nikah Siri Mutah & Kontrak, (Jakarta: Darul Haq, 2010) hal.15.
(masuk), karena memuat unsur penyatuan antara salah satu pasangan suami istri
dengan pasangannya berdasarkan aturan agama islam, baik melalui persetubuhan
atau akad nikah, sehingga dua pihak tersebut menjelma bak dua sisi pintu, dan
sepasang sepatu. Kata nikah ini, bisa dipergukan untuk makna akad nikah, sehingga
bermakna
pernikahan atau juga diarahkan pada pengertian alwath-u (hubungan
53
badan).
Pengertian Al zzawju (pernikahan) secara termonologi Kata Al zzawju
seperti yang telah disampaikan, merupakan bantuk sinonim kata alnikahu (nikah).
Para ahli fikih mendefinisikannya dengan beragam definisi.Hal ini karena,
setiap
madzhab memiliki
definisi khusus
yang
berbeda-beda.
Berikut
ini
penjelasannya,
1. Ulama Hanafiyah mengatakan, pernikahan adalah perjanjian yang disenggarakan
untuk tujuan memperoleh kenikmatan dari wanita dengan disengaja. Maksudnya,
untuk menghalalkan seorang lelaki memperoleh kesenangan (istimta) dari seorang
wanita. Definisi ini menghindari keracuan dari akad jual beli (wanita), yang
bermakna sebuah akad perjanjian yang dilakukan untuk memiliki budak
wanita.
54
53 Ibid, hal.16.
54 Ibid, hal.17.
3.
55
yang
terbaik
untuk
56
pernikahan
adalah
sebagai
berikut:
perjanjian yang bersifat syari yang berdampak pada halalnya seseorang (lelaki atau
perempuan), memperoleh kenikmatan dengan pasangan berupa bersetubuh badan
dan cara-cara dalam bentuk yang disyaratkan, dengan ikrar tertentu secara disengaja,
Begitu akad nikah usai, maka menjadi halal bagi masing-masing pihak untuk
mendapatkan kenikmatan
oleh
syariat.
57
melangsungkan
dengan akad
nikah untuk mencapai sahnya perkawinan yaitu harus memenuhi syarat dan
rukun nikah. Menurut M. Idris Ramulyo, bahwa bagi golongan muslim diberlakukan
hukum perkawinan Islam seperti yang ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974.
Pernikahan merupakan suatu perbuatan hukum, yang memerlukan syarat
dan rukun agar dapat dipandang sah menurut hukum. Yang dimaksud dengan
58
syarat disini ialah syarat perkawinan, yaitu yang berkaitan dengan rukun-rukun
pernikahan itu sendiri, diantaranya syarat bagi calon mempelai pria yang bukan
merupakan mahram dari mempelai wanita, atas kemauan sendiri, jelas orangnya
dan tidak sedang menjalani ihram. Syarat bagi wanita diantaranya tidak
59
berhalangan syar`i, jelas orangnya dan tidak sedang melaksanakan ihram.
Syarat bagi wali diantaranya laki-laki, baligh, berakal sehat, adil dan tidak sedang
melaksanakan ihram. Sedangkan saksi haruslah laki-laki, baligh, sehat akalnya
adil, dapat mendengar dan melihat, tidak mengerjakan ihram dan
memahami bahasa yang digunakan dalam ijab-kabul.
Adapun rukun-rukun nikah sebagai berikut:
a. Lafadz Ijab dan Qabul,
b. Calon Suami,
c. Calon Istri,
d. Dua Saksi,
e. Wali
58
H.S.A. Alhamdani, Risalah Nikah, terjemahan Drs. Agus Salim, (Jakarta: Pustaka
Amani, 1989), hal. 30-31.
59
Yang dimaksud dengan berhalangan syar`i ialah sedang tidak bersuami, bukan
mahram, dan tidak sedang dalam masa iddah.
baligh, Ayat (2) Wali nikah terdiri dari (a) wali nasab, (b) wali hakim .
Syarat-syarat sahnya perkawinan adalah:
1. Mempelai perempuan halal dinikahi oleh laki-laki yang akan menjadi suaminya,
2. Dihadiri dua orang saksi laki-laki,
3.
Ada wali mempelai perempuan yang melakukan akad. Syarat ketiga ini
dianut kaum muslimin di Indonesia dan merupakan pendapat Syafii, Ahmad
bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih, Hasan Basari, Ibn Abi Layla dan Ibn
Syubrumah.
61
62
dengan mempelai perempuan yang dilakukan di depan dua orang saksi laki-laki
dengan menggunakan kata-kata ijab qabul. Ijab di ucapkan pihak wali perempuan,
yang menurut kebanyakan fuqaha dilakukan oleh walinya (wakilnya) dan qabul
adalah pernyataan
manerima
mesti
hal.58.
61
A. Hamid Sarong, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,(Banda Aceh: Pena,
2010)
62
Ibid, hal.38.
ada dalam akad nikah, meskipun biasanya disebut dalam akad dan disertakan
63
pula barangnya. Karena mas kawin adalah kewajiban suami bukan syarat sah nikah.
Dari pengertian akad nikah tersebut kita ketahui adanya empat unsur akad
nikah yaitu:
1. Mempelai laki-laki dan perempuan,
2. Wali mempelai perempuan,
3. Dua orang saksi laki-laki,
4. Ijab dan Kabul,
Seperti halnya dalam akad pada umumnya, pihak-pihak yang melakukan
akad (mempelai laki-laki dan perempuan) di syaratkan mempunyai kecakapan
sempurna, yaitu telah baliqh, berakal sehat dan tidak terpaksa. Orang yang
kehilangan kecakapan karena gila, rusak akal atau di bawah umur tidak sah
melakukan akad. Anak umur 7 tahun sampai sebelum baligh di pandang
berkecakapan tak sempurna dan apabila mengadakan akad diserahkan kepada izin
walinya, menurut pendapat kebanyakan fuqaha, mempelai perempuan tidak boleh
melakukan akad sendiri dan harus dilakukan oleh walinya. Selain itu ada syarat
yang perlu ditambahkan, yaitu masing-masing pihak yang melakukan akad harus
mendengar dan mengerti arti ucapan atau perkataan masing-masing. 64
Perkawinan yang mubah, adalah bahwa syarat kecakapan sempurna bagi
calon mempelai diperlukan, umur yang melampaui umur baligh (15 tahun) seperti
63
Ibid.50.
64 A. Hamid Sarong, Hukum Perkawinan Islam di Indinesia,(Banda Aceh: Pena, 2010) hal.50.
65
Obyek dalam akad nikah bukan orang yang terikat dalam perjanjian,
tetapi apa yang menjadi persetujuan bersama, yaitu halal melakukan hubungan
timbal balik antara suami dan istri. Hal ini berarti dengan adanya akad nikah itu
tidak terjadi penguasaan suami terhadap pribadi istri atau sebaliknya. Oleh kerena
itu diperlukan adanya syarat bahwa calon mempelai perempuan tidak haram
dinikahi oleh calon suami, atau dengan kata lain tidak terdapat larangan
perkawinan antara calon-calon
suami dan sitri.
66
67
Antara ijab dan qabul disyaratkan terjadi dalam satu majelis, tidak disela
dengan
pembicaraan
lain
atau
kebiasaan
65 A. Hamid Sarong, Ibid,hal.51.
66
Ibid.
perbuatan-perbuatan
yang
menurut
adat
67 Ibid, hal.52.
dipandang mengalihkan akad yang sedang dilakukan tapi tidak disyaratkan antara
ijab dan qabul harus berhubungan langsung, andai kata setelah ijab dinyatakan
oleh wali mempelai perempuan atau wakilnya, tiba-tiba mempelai laki-laki
berdiam beberapa saat tidak segera menyatakan qabul, baru setelah itu menyatakan
qabulnya, maka ijab qabul dipandang sah. Imam Malik berpendapat bahwa qabul
hanya boleh terlambat dalam waktu amat pendek dari ijab. Ulama-Ulama Madzhab
Syafii mensyaratkan harus langsung, yaitu setelah wali mempelai perempuan
menyatakan ijab mempelai laki-laki harus segera menyatakan qabul tanpa berselang
waktu. Pendapat terakhir ini yang diperaktekkan di kalangan kebanyakan kaum
muslim di Indonesia. Dalam masalah ini, pendapat Ulama-Ulama Madzhab Hanafi
dan Hanbali sudah memenuhi syarat sahnya ijab Kabul tanpa menentukan majelis
dan interval
waktu.
68
Ada syarat ijab kabul yang perlu disebutkan, yaitu tidak boleh digantungkan
kepada suatu syarat, disandarkan kepada waktu yang akan datang atau dibatasi
dengan jangka waktu tertentu. Akad bersyarat yang dipandang tidak sah ini ialah
apabila syarat dimaksud tidak terjadi seketika, misalnya wali mengatakan kepada
calon mempelai laki-laki: Apabila engkau telah mendapat pekerjaan nanti, aku
nikahkan engkau dengan anakku fulanah dengan mahar lima ribu rupiah. Ijab
seperti itu tidak sah, sebab syaratnya yaitu mendapat pekerjaan, belum tentu
terpenuhi dalam waktu mendatang. Akad bersandar kepada waktu yang akan datang,
misalnya wali mempelai perempuan mengatakan kepada calon suami: Aku
nikahkan anakku
68 A. Hamid Sarong, Hukum Perkawinan Islam di Indinesia,(Banda Aceh: Pena, 2010) hal.52.
fulana besok pagi, dengan mahar mushhaf ai-Quran ini.Akad nikah seperti itu
tidak sah baik untuk hari diucapkan maupun untuk waktu yang disebutkan
dalam akad.
Selain itu akad yang dibatasi untuk waktu tertentu, misalnya selama
sebulan atau lebih, atau kurang, tidak di bolehkan, karena bertentangan dengan
prinsip perkawinan dalam islam. Nikah untuk waktu tertentu disebut: Nikah
mutah (nikah senang-senang) dan nikah muqathi (nikah terputus). Kebanyakan
fuqaha berpendapat bahwa nikah mutah itu haram, dengan berdasarkan antara
lain hadits nabi riwayat Ibn Majah yang mengajarkan: wahai umat manusia, dulu
aku
mengizinkan
kamu
mengharamkankannya
kawin
sampai
hari
mutah,
kiamat.
tetapi
ketahuilah,
Ulama-Ulama
Allah
Madzhab
telah
Syiah
Madzhab
lain
tidak
dapat
69
70
. Ibid.
Seorang mukmin wajib menjaga agama dan nama baiknya, sementara kawin
rahasia telah memaksa ia bersikap ragu kepada agama karena ia menolak hadishadis Rasul yang mengharuskan mengumumkan perkawinan. Di samping itu
timbul perasaan ragu dan khawatir bila perkawinan yang dirahasiakannya
diketahui orang lain. Untuk menghindarkan kedua hal itu kata syaltut tidak ada
jalan lain kecuali memberantas segala sebab-sebab yang mendorong terjadinya
perkawinan rahasia
itu.
72
Perkawinan Sirri ada yang dicatat dan ada yang tidak tercatat, kawin
rahasia itu adalah perkawinan yang hanya dihadiri oleh yang berkepentingan saja,
tanpa dihadiri para saksi, tanpa pengumuman, ada sirri yang tercatat ada juga tidak
tercatat dalam akte perkawinan.
Kedua suami isteri itu hidup berkeluarga secara rahasia pula yang tidak
diketahui orang lain kecuali mereka berdua. Mereka juga sepakat bahwa
perkawinan yang
semacam
itu tidak
sah,
karena
kurang
syarat
sahnya
perkawinan, yaitu para saksi, Bila perkawinan itu dihadiri oleh para saksi yang diberi
wewenang untuk menyebarluaskan perkawinan tersebut, maka perkawinan tersebut
bukan rahasia lagi dan perkawinan itu dipandang sah menurut syara' dengan segala
akibat hukum yang ditimbulkannya. Adapun perkawinan yang dihadiri para saksi,
tetapi mereka dipesan untuk merahasiakan perkawinan tersebut, dalam hal ini para
fiqh kata Syaltut berbeda
71
72
Ramlan Yusuf Rangkuti, Hukum Perdata Islam Dalam Persepektif Mahmud
Syaltut, (Pustaka Bangsa Press, Medan 2009) Hal. 179.
73
yang sependapat
dengannya
berpendapat
haramnya
perkawinan.
75
Perkawinan rahasia seperti diuraikan itu tidak mungkin direstui syara', sebab
perkawinan rahasia mengandung ketakutan dan kegelisahan karena
khawatir
diketahui oleh kaum kerabat, atau manusia pada umumnya, padahal perkawinan
dijadikan
Allah
sebagai
menjadi
73 Ibid, hal. 177.
74 Ibid.
75 Ibid.
jalan
untuk
menyatukan
hamba-hamba-Nya
serta
sahnya
perkawinan
kecuali
dijadikan
sebagai
alat
media
yang
dari
segi
syara'
dan
yang
mencolok
antara
dirinya
dan
calon
istrinya.
Bagaimana hukum
pernikahan
77
Syaikh.
seperti
ini,
Kami
mohon
penjelasan
76
Ramlan Yusuf Rangkuti, Hukum Perdata Islam Dalam Persepektif Mahmud
Syaltut, (Pustaka Bangsa Press, Medan 2009) hal. 178-179.
77
Abu Muhammad bin Abdul Maqshud, Fatwa Pernikahan, (Jakarta: Embun
Publishing, 2007), hal.210.
78
79
78 Ibid..
79 A. Hamid Sarong, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,(Banda Aceh: Pena, 2010), hal.2.
81
82
hal.29.
80
A. Hamid Sarong, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,(Banda Aceh: Pena,
2010)
81
82
Ibid.
Ibid..
Selain
untuk
memiliki
keturunan,
perkawinan
juga
akan
dapat
83
kepastian
bahwa
Islam
menganjurkan
perkawinan
dan
Islam
lain,
perkawinan
di
pandang
mempunyai
nilai
memupuk rasa kasih sayang dalam hidup bermasyarakat. Oleh karenanya, sengaja
hidup membujang tidak dapat di benarkan. Larangan hidup membujang diperoleh
pada bagian akhir hadits nabi yang mengatakan: barang siapa tidak senang
mengikuti sunnahku, tidak termasuk golonganku.84
83
Ibid, hal.30.
84
A. Hamid Sarong, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,(Banda Aceh: Pena,
2010)
hal.32.
dalam
dunia
manusia,
dan untuk
85
QS.Ayat 72 Surat Al-Nahl menyatakan bahwa Allah menjadikan isteriisteri itu dijadikan-nya pula anak-anak dan cucu-cucunya.86
85 Ibid, hal.2.
86 A. Hamid Sarong, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,(Banda Aceh: Pena, 2010) hal.3.
2)
87
88
benar-benar
memelihara kesucian
belum
mampu
hidupnya
dan
melaksanakan
jangan
mudah
perkawinan,
dapat
tergoda bujukan-
89
89
87 Ibid.
88
Ibid.
A. Hamid Sarong, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,(Banda Aceh: Pena, 2010) hal. 4.
90
Ayat
berikutnya
(24)
melarang
laki-laki
mengawini
Al-Baqarah:
221
melarang
laki-laki
mukmin
mengawini
90 Ibid.
91 A. Hamid Sarong, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,(Banda Aceh: Pena, 2010) hal.5.
Edaran
Mahkamah
MA/KUMDIL/1973/IV/1990.
92
Agung)
Nomor
Tahun
1990
yang
Nomor
menjelaskan
mengenai apa saja yang termasuk dalam Kewenangan Peradilan Agama dan apa yang
masih harus tunduk kepada Pengadilan Negeri Umum (Peradilan Umum).
Tugas wewenang Peradilan Agama dalam pasal 49 dari Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 telah ditentukan bahwa Peradilan Agama mempunyai tugas
wewenang untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara tingkat
93
mendaftarkan
sidang
perceraian
Pengadilan
Agama
harus
92
SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) Nomor 2 tahun 1990 Nomor
MA/KUMDIL/1973/IV/1990.
93 Tugas wewenang Peradilan Agama dalam pasal 49 Undang-undang Nomor 7 tahun 1989.
melihat
Pengadilan Agama
kepada
harus
persyaratan
melampirkan
pengajuan
foto
sidang
copy buku
perceraian
di
nikah, sementara
perkawinan sirri yang tidak dicatatkan jelas tidak memiliki buku nikah sebagai bukti
telah berlangsung pernikahan diantara mereka, dan sebagai bukti ada hubungan
perkawinan diantara mereka, maka terhadap perkawinan sirri yang tidak dicatatkan
dan tidak memiliki buku nikah maka syarat pengajuan sidang perceraiannya tidak
lengkap syarat dan Pengadilan Agama menolak karena tidak lengkap syarat.
Sebaliknya terhadap Perkawinan Sirri yang dicatatkan yang mempunyai bukti dapat
disidang cerai. Hasil
wawancara dengan Bapak Hilman Panitera Pengadilan Agama Kelas I A
94
Medan :
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak ada mengatur tentang Nikah Sirrih,
tetapi dapat disimpulkan syahnya Nikah apabila dicatat oleh pencatatan sipil atau oleh
pejabat yang berwenang.
Sikap Pengadilan Agama jika ada perkawinan dengan dasar perkawinan
sirri minta disidangkan di PA, Sebagaimana hasil wawancara dengan Bapak Hilman
Panitera Pengadilan Agama Kelas I A Medan Perkawinan yang tidak memiliki
buku nikah tidak dapat di proses untuk sidang cerai kecuali memohonkan
kepada
94
Hasil wawancara dengan Bapak Hilman Panitera pada Pengadilan Agama Klas 1A
Medan, pada hari Senin, tanggal 24 Oktober 2011, Pukul 13.00 WIB.