Anda di halaman 1dari 33

BAB II

KEDUDUKAN NIKAH SIRRI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1


TAHUN 1974, KOMPILASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA DAN SIKAP
PENGADILAN AGAMA TERHADAP NIKAH SIRRI
A. Kedudukan Nikah Sirri Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
1. Defenisi Pernikahan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Di Indonesia peraturan tentang perkawinan diatur dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974, BAB I Dasar Perkawinan Pasal 1Undang-Undang ini memberi
37

pengertian Pernikahan/Perkawinan sebagai berikut :


Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan untuk mebentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.
Jadi menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan adalah
ikatan lahir batin antara 2 orang yaitu pria dan wanita, Sebagai ikatan lahir,
perkawinan merupakan hubungan hukum antara pria dengan seorang wanita untuk
hidup bersama suami istri. Ikatan lahir ini merupakan hubungannya formal yang
sifatnya nyata, baik bagi yang mengikatkan dirinya maupun bagi orang lain atau
masyarakat. Sebagai ikatan batin, perkawinan merupakan pertalian jiwa yang
terjalin karena adanya kemauan yang sama dan ikhlas antara seorang pria dan
seorang wanita

37

Pasal 1 BAB I Dasar Perkawinan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974.

Universitas Sumatera Utara

38

untuk hidup bersama suami istri. Perkawinan barulah sah apabila dilakukan antara
seorang pria dan seorang wanita.

39

Dari pengertian tersebut unsur-unsur


adalah:

perkawinan

1. Adanya seorang pria dan wanita;


2. Ikatan lahir dan batin;
3. Adanya tujuan tertentu yaitu membentuk keluarga bahagia dan kekal;
4. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dari rumusan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tercantum tujuan perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal. Ini berarti bahwa perkawinan dilangsungkan bukan
untuk sementara atau untuk jangka waktu tertentu yang direncanakan tetapi untuk
40

seumur hidup atau selama-lamanya, dan tidak boleh diputuskan begitu saja. Dalam
rumusan perkawinan itu dinyatakan dengan tegas bahwa pembentukan keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa,
hal ini berarti bahwa perkawinan harus didasarkan pada agama dan kepercayaan.
Dalam
agama Islam, perintah religius merupakan sunnah Rasulullah. Keberadaan unsur
Ketuhanan dalam sebuah perkawinan bukan saja peristiwa itu merupakan perjanjian
yang sakral melainkan sifat pertanggungjawaban hukumnya jauh lebih penting
yaitu pertanggungjawaban kepada tuhan sang pencipta (Allah SWT). Dengan adanya
unsur
38Tan Kamello, Hukum Perdata: Hukum Orang Dan Keluarga, (Medan, USU Press 2011)
hal.
39Mega Magdalena, Fungsi Pencatatan Perkawinan Menurut Undang-undang Nomor 1
42.
Tahun 1974, (Medan: Tesis Pascasarjana USU, 2005) hal.15.

40Ibid, hal. 43.

Ketuhanan, maka hilanglah pandangan yang mengatakan bahwa perkawinan


adalah urusan manusia semata-mata.

41

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dalam pasal 2 ayat (1) menyatakan


bahwa hukum Islam sebagai rujukan sah atau tidaknya suatu pernikahan,
ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 terlihat bahwa perkawinan
merujuk paham religius. Tujuan perkawinan bukan bersifat sementara, melainkan
untuk kekal dan abadi, hidup bahagia kecuali putus hubungan karena kematian.
Syarat Sahnya Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
meliputi syarat-syarat materil dan formil. Syarat-syarat materil yaitu syarat-syarat
mengenai pribadi calon mempelai, sedangkan syarat-syarat formil menyangkut
formalitas-formalitas atau cara yang harus dipenuhi sebelum dan pada saat
dilangsungkannya perkawinan, syarat-syarat materiil dan formil dalam perkawinan
secara terperinci, yaitu :42
a. Syarat Materiil
Syarat-syarat yang termasuk dalam kelompok syarat materil adalah:
1) Harus ada persetujuan dari kedua calon mempelai (pasal 6 ayat (1) UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 bahwa perkawinan harus didasarkan atas
persetujuan kedua calon mempelai.
dengan

bebas

memilih

43

dimaksudkan agar supaya setiap

pasangannya

untuk

hidup

berumah

orang
tangga

dalam
41

.Ibid.
42Mega Magdalena, Fungsi Pencatatan Perkawinan Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974, (Medan: Tesis Pascasarjana USU, 2005) hal.16.
43Pasal 6 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

perkawinan. Munculnya syarat persetujuan dalam undang perkawinan, dapat


dihubungkan dengan sistem perkawinan pada zaman dulu, yaitu seorang anak
yang hidup patuh pada orang tuanya. Sebagai anak harus mau dan tidak
dapat menolak kehendak orang tuannya, walaupun kehendak anak tidak
demikian. Untuk menanggulangi kawin paksa, undang-undang perkawinan telah
memberikan jalan keluarnya, yaitu suami atau istri dapat mengajukan pembatalan
perkawinan dengan menunjuk pasal 27 ayat (1) apabila paksaan untuk itu di
bawah ancaman yang melanggar hukum.
2) Usia calon mempelai pria harus mencapai umur 19 tahun dan wanita harus
44

sudah mencapai 16 tahun (pasal 7 ayat (1) . Ayat (2) menetapkan tentang
kemungkinan penyimpangan terhadap ketentuan tersebut di atas dengan jalan
meminta terlebih dahulu pengecualian kepada pengadilan atau pejabat lain yang
ditunjukan oleh kedua orang tua meninggal dunia, maka pengecualian dapat
dimintakan kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjukan oleh orang tua
yang masih hidup atau wali/orang yang memelihara/datuk (kakek dan nenek)
dari pihak-pihak yang akan melakukan perkawinan dengan ketentuan bahwa
segala
sesuatunya sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaan yang
bersangkutan tidak menentukan lain.
Izin kedua orang tua mereka yang belum mencapai umur 21 tahun. Bila
salah satu orang tua telah meninggal dunia, maka izin dapat diperoleh dari orang tua
yang
44Pasal 7 ayat 1-3 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

masih hidup. Bila itupun tidak ada, dari wali orang yang memelihara atau keluarga
yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas atau bisa juga
izin dari pengadilan, bila orang-orang tersebut juga tidak ada atau tidak mungkin
diminta izinnya (pasal 6 ayat 2, 3, 4, dan 5).

45

Mengenai syarat-syarat persetujuan kedua calon mempelai dan syarat harus


adanya izin kedua orang tua bagi mereka yang belum berusia 21 tahun
sebagaimana diatur dalam pasal 6 undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, berlaku
sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang
bersangkutan tidak menentukan lain.
b. Syarat Formil meliputi:
1. pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan kepada
pegawai pencatat perkawinan,
2. pengumuman oleh pegawai pencatat perkawinan,
3. pelaksanaan perkawinan menurut agamanya dan kepercayaan masing-masing

4.

pencatat perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan

46

Mengenai pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan harus


dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebalum perkawinan dilangsungkan,
dilakukan secara lisan oleh calon mempelai atau orang tua atau wakilnya
yang
45Ibid, hal.20.
46Mega Magdalena, Fungsi Pencatatan Perkawinan Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974,(Medan: Tesis Pascasarjana Usu, 2005) hal.21.

memuat nama, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan


nama istri/suami terdahulu bila salah seorang atau keduanya pernah kawin (pasal 3,
4, 5 peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun 1975).

47

Pengumuman tentang pemberitahuan kehendak nikah dilakukan oleh pegawai


pencatat nikah/perkawinan apabila telah cukup meneliti apakah syarat-syarat
perkawinan sudah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan.
Pengumuman dilakukan dengan suatu formil khusus untuk itu, ditempelkan pada
suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh

umum

dan

ditandatangani oleh pegawai pencatat perkawinan. Pengumuman memuat data


pribadi calon mempelai dan orang tua calon mempelai serta hari ini, tanggal, jam dan
tempat dilangsungkannya perkawinan (pasal 8 jo pasal 6, 7 dan 9 peraturan
pemerintah
Nomor 9 tahun 1975).

2. Kedudukan Nikah Sirri menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.


Nikah Sirri atau perkawinan yang dirahasiakan adalah perkawinan yang
sengaja disembunyikan supaya tidak diketahui orang lain Sebagai mana wawancara
penulis dengan salah seorang pelaku Nikah Sirri Mariani penyebab melakukan
nikah sirri adalah karena ia, dan suaminya tidak tahu dan tidak ada biaya untuk
melakukan nikah secara tercatat sesuai peraturan perundang-undangan,.48

47Ibid, hal.22.
48
Hasil wawancara dengan Mariani pelaku Nikah Sirri hari senin tanggal 1 Agustus 2011.

Sebagaimana wawancara dengan pelaku Nikah Sirri yang lain bernama


Sumiati alasannya melakukan nikah sirri yang tidak dicatatkan karena alasan
49

ekonomi tidak mampu membayar biaya pencatatan pernikahan. Sebagaimana hasil


wawancara penulis dengan Siti pelaku nikah sirri alasannya melakukan nikah sirri
adalah karena suaminya tidak ingin diketahui istri pertama, Anak-anaknya dan
masyarakat umum tahu bahwa ia telah melangsungkan perkawinan.

50

Di Indonesia, perkawinan yang tidak bermasalah adalah perkawinan yang


dilakukan menurut ketentuan peraturan perudang-undangan yang berlaku. Bagi
orang Islam, perkawinan yang tidak bermasalah itu adalah perkawinan yang
diselenggarakan menurut hukum Islam seperti disebut dalam pasal (2) ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan dicatat, menurut ayat (2) pasal
yang sama. Setelah itu, sesuai sunnah Rasulullah, diumumkan melalui walimah
supaya diketahui orang banyak.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan di Indonesia
bersifat menentukan, apabila suatu perkawinan tidak dilakukan menurut hukum
agamanya masing-masing berarti perkawinannya itu tidak sah, demikian juga bila
tidak dicatat.
Sebagaimana wawancara dengan Bapak Hilman Panitera pada Pengadilan
Agama Kelas 1 A Medan: Nikah Sirri pada prinsipnya pernikahan tidak resmi
tidak sesuai

dengan

prinsip

yang

berlaku,

Namanya

(Nikah

di

bawah

Tangan), dan
49

Hasil wawancara dengan Sumiati pelaku Nikah Sirri hari selasa tanggal 2 Agustus 2011.
50 Hasil wawancara dengan Siti pelaku Nikah Sirri hari rabu tanggal 3 Agustus 2011.

biasanya tidak di catat oleh pejabat yang berwenang, sahnya pernikahan menurut
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 apabila dicatat oleh pejabat yang
berwenang. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak sah Nikah yang
dilakukan tanpa dicatatkan pada pencatatan sipil.

51

B. Kedudukan Nikah Sirri Menurut Kompilasi Hukum Islam di Indonesia


1. Defenisi Pernikahan menurut Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia
Disamping kata nikah digunakan juga kata Alzawaj secara etimologi
Zawaj
berasal dari bahasa Azzawaju artinya (genap), lawan kata dari alfarda (sendiri,
gajil), dipergunakan untuk beragam maksud. Di antaranya, Asynfu walnawu
(jenis atau ragam). Setiap dua jenis, dua betuk, atau model yang saling berkaitan
disebut Al zawjani. maka dikatakan bagi laki dan wanita (yang menikah,). Sebagai
Al zawjani (sepasang). Masing-masing pihak menjadi pasangan bagi pihak lainnya.
Sebagaimana
firman
52
artinya:

Allah

yang

dan bahwasanya dia-lah yang menciptakan (sesuatu) berpasangpasangan, yaitu laki-laki dan perempuan.(An-Najam:45).
Selain itu ada juga kata alnikahu (pernikahan) secara etimologi
mengandung pengertian

Aldhammu waltadakhulu (penggabungan dan saling

mengisi). Dikatakan dalam sebuah ungkapan, tanakahati al zara-u, maksudnya


sebagian pohon menyatu dan

menyelinap

(masuk)

pada

sebagian

lainnya.

Pernikahan diistilahkan dengan

Universitas Sumatera Utara

51
Hasil wawancara dengan Bapak Hilman Panitera pada Pengadilan Agama Medan pada
hari senin, tanggal 24 Oktober 2011, Pukul 13.00 WIB.
52 Yusuf Ad-Duraiwsy, Nikah Siri Mutah & Kontrak, (Jakarta: Darul Haq, 2010) hal.15.

Universitas Sumatera Utara

(masuk), karena memuat unsur penyatuan antara salah satu pasangan suami istri
dengan pasangannya berdasarkan aturan agama islam, baik melalui persetubuhan
atau akad nikah, sehingga dua pihak tersebut menjelma bak dua sisi pintu, dan
sepasang sepatu. Kata nikah ini, bisa dipergukan untuk makna akad nikah, sehingga
bermakna
pernikahan atau juga diarahkan pada pengertian alwath-u (hubungan
53
badan).
Pengertian Al zzawju (pernikahan) secara termonologi Kata Al zzawju
seperti yang telah disampaikan, merupakan bantuk sinonim kata alnikahu (nikah).
Para ahli fikih mendefinisikannya dengan beragam definisi.Hal ini karena,
setiap

madzhab memiliki

definisi khusus

yang

berbeda-beda.

Berikut

ini

penjelasannya,
1. Ulama Hanafiyah mengatakan, pernikahan adalah perjanjian yang disenggarakan
untuk tujuan memperoleh kenikmatan dari wanita dengan disengaja. Maksudnya,
untuk menghalalkan seorang lelaki memperoleh kesenangan (istimta) dari seorang
wanita. Definisi ini menghindari keracuan dari akad jual beli (wanita), yang
bermakna sebuah akad perjanjian yang dilakukan untuk memiliki budak
wanita.

54

2. Ulama Malikiyah mendefinisikan, pernikahan adalah akad perjanjian untuk


menghalalkan meraih kenikmatan dengan wanita yang bukan mahram, wanita ahli
kitab melalui sebuah ikrar.

53 Ibid, hal.16.
54 Ibid, hal.17.

3.

Ulama Syafiiyah mendefinisikan, pernikahan merupakan akad perjanjian yang


mengandung unsur memperbolehkan persetubuhan dengan menggunakan lafazh
inkahu (aku menikahimu wahai fulan dengan fulana) atau tazawwajtu (aku
mengawinkan engkau wahai fulan dengan fulanah).

55

4. Ulama Hanabilah berkata, akad pernikahan maksudnya sebuah perjanjian


yang didalamnya, terdapat lafazh nikah atau tazwij atau terjemahan (dalam
bahasa lain) nya yang dijadikan sebagai pedoman.
Definisi

yang

terbaik

untuk

56

pernikahan

adalah

sebagai

berikut:

perjanjian yang bersifat syari yang berdampak pada halalnya seseorang (lelaki atau
perempuan), memperoleh kenikmatan dengan pasangan berupa bersetubuh badan
dan cara-cara dalam bentuk yang disyaratkan, dengan ikrar tertentu secara disengaja,
Begitu akad nikah usai, maka menjadi halal bagi masing-masing pihak untuk
mendapatkan kenikmatan

dari pasangannya dalam bingkai yang diperolehkan

oleh
syariat.

57

Islam mengatur masalah perkawinan dengan sangat terperinci, untuk


membawa umat manusia hidup terhormat, sesuai dengan kedudukannya yang
amat mulia di tengah-tengah mahkluk Allah yang lain. Hubungan manusia laki-laki
dengan perempuan ditentukan agar didasarkan pada rasa pengabdian kepada Allah
sebagai al-Khaliq dan kebaktian kepada kemanusiaan guna
kehidupan jenisnya.
55 Ibid.
56 Ibid, hal.18.
57 Ibid.

melangsungkan

Syarat dan Rukun Nikah menurut Hukum Islam


Bagi umat Islam disyaratkan beberapa hal yang berkenaan

dengan akad

nikah untuk mencapai sahnya perkawinan yaitu harus memenuhi syarat dan
rukun nikah. Menurut M. Idris Ramulyo, bahwa bagi golongan muslim diberlakukan
hukum perkawinan Islam seperti yang ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974.
Pernikahan merupakan suatu perbuatan hukum, yang memerlukan syarat
dan rukun agar dapat dipandang sah menurut hukum. Yang dimaksud dengan
58
syarat disini ialah syarat perkawinan, yaitu yang berkaitan dengan rukun-rukun
pernikahan itu sendiri, diantaranya syarat bagi calon mempelai pria yang bukan
merupakan mahram dari mempelai wanita, atas kemauan sendiri, jelas orangnya
dan tidak sedang menjalani ihram. Syarat bagi wanita diantaranya tidak
59
berhalangan syar`i, jelas orangnya dan tidak sedang melaksanakan ihram.
Syarat bagi wali diantaranya laki-laki, baligh, berakal sehat, adil dan tidak sedang
melaksanakan ihram. Sedangkan saksi haruslah laki-laki, baligh, sehat akalnya
adil, dapat mendengar dan melihat, tidak mengerjakan ihram dan
memahami bahasa yang digunakan dalam ijab-kabul.
Adapun rukun-rukun nikah sebagai berikut:
a. Lafadz Ijab dan Qabul,
b. Calon Suami,
c. Calon Istri,
d. Dua Saksi,
e. Wali

58
H.S.A. Alhamdani, Risalah Nikah, terjemahan Drs. Agus Salim, (Jakarta: Pustaka
Amani, 1989), hal. 30-31.
59
Yang dimaksud dengan berhalangan syar`i ialah sedang tidak bersuami, bukan
mahram, dan tidak sedang dalam masa iddah.

Ijab Qabul merupakan lafadz yang diucapkan oleh wali mempelai


perempuan kepada calon mempelai pria. Lafadz yang mengikat antara seorang lakilaki dengan seorang perempuan dalam ikatan perkawinan. Ijab Qabul merupakan
unsur yang paling penting antara yang mengakadkan, yaitu wali, dengan yang
menerima akad. Berkaitan Artinya: Tidak sah nikah kecuali dengan wali.
Dalam pembahasan fiqh wali dibagi 3 (tiga) macam:
1. Wali Nasab,
2. Wali Hakim,
3. Wali Tahkim,
Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) dinyatakan sebagai berikut Pasal 20
Kompilasi Hukum Islam ( KHI ) Ayat (1) yang bertindak sebagai wali nikah
ialah sorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yaitu muslim, aqil dan
60

baligh, Ayat (2) Wali nikah terdiri dari (a) wali nasab, (b) wali hakim .
Syarat-syarat sahnya perkawinan adalah:
1. Mempelai perempuan halal dinikahi oleh laki-laki yang akan menjadi suaminya,
2. Dihadiri dua orang saksi laki-laki,

60 Pasal 20 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam.

3.

Ada wali mempelai perempuan yang melakukan akad. Syarat ketiga ini
dianut kaum muslimin di Indonesia dan merupakan pendapat Syafii, Ahmad
bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih, Hasan Basari, Ibn Abi Layla dan Ibn
Syubrumah.

61

62

Perkawinan menurut ajaran Islam ditandai dengan prinsip-prinsip sebagai berikut :


1. pilihan jodoh yang tepat,
2. perkawinan didahului dengan peminangan,
3. ada ketentuan tentang larangan perkawinan antara laki-laki dan perempuan,
4. perkawinan didasarkan atas suka rela antara pihak-pihak yang bersangkutan,
5. ada persaksian dalam akad nikah,
6. perkawinan tidak ditentukan untuk waktu tertentu,
7. ada kewajiban pembayaran mahar oleh suami,
8. ada kebebasan mengajukan syarat atau perjanjian dalam akad nikah,
9. tanggung jawab pimpinan keluarga adalah suami,
10.

ada kewajiban bergaul dengan baik dalam kehidupan rumah tangga.


Akad Nikah adalah perikatan hubungan perkawinan antara mempelai laki-laki

dengan mempelai perempuan yang dilakukan di depan dua orang saksi laki-laki
dengan menggunakan kata-kata ijab qabul. Ijab di ucapkan pihak wali perempuan,
yang menurut kebanyakan fuqaha dilakukan oleh walinya (wakilnya) dan qabul
adalah pernyataan

manerima

dari pihak mempelai

laki-laki. Mas kawin tidak

mesti

hal.58.

61
A. Hamid Sarong, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,(Banda Aceh: Pena,
2010)

62

Ibid, hal.38.

ada dalam akad nikah, meskipun biasanya disebut dalam akad dan disertakan
63

pula barangnya. Karena mas kawin adalah kewajiban suami bukan syarat sah nikah.
Dari pengertian akad nikah tersebut kita ketahui adanya empat unsur akad
nikah yaitu:
1. Mempelai laki-laki dan perempuan,
2. Wali mempelai perempuan,
3. Dua orang saksi laki-laki,
4. Ijab dan Kabul,
Seperti halnya dalam akad pada umumnya, pihak-pihak yang melakukan
akad (mempelai laki-laki dan perempuan) di syaratkan mempunyai kecakapan
sempurna, yaitu telah baliqh, berakal sehat dan tidak terpaksa. Orang yang
kehilangan kecakapan karena gila, rusak akal atau di bawah umur tidak sah
melakukan akad. Anak umur 7 tahun sampai sebelum baligh di pandang
berkecakapan tak sempurna dan apabila mengadakan akad diserahkan kepada izin
walinya, menurut pendapat kebanyakan fuqaha, mempelai perempuan tidak boleh
melakukan akad sendiri dan harus dilakukan oleh walinya. Selain itu ada syarat
yang perlu ditambahkan, yaitu masing-masing pihak yang melakukan akad harus
mendengar dan mengerti arti ucapan atau perkataan masing-masing. 64
Perkawinan yang mubah, adalah bahwa syarat kecakapan sempurna bagi
calon mempelai diperlukan, umur yang melampaui umur baligh (15 tahun) seperti

63

Ibid.50.
64 A. Hamid Sarong, Hukum Perkawinan Islam di Indinesia,(Banda Aceh: Pena, 2010) hal.50.

ketentuan undang-undang perkawinan Nomor 1 tahun 1974 bahwa calon


mempelai laki-laki sekurang-kurangnya mencapai umur 16 tahun (pasal 7 ayat 1).

65

Obyek dalam akad nikah bukan orang yang terikat dalam perjanjian,
tetapi apa yang menjadi persetujuan bersama, yaitu halal melakukan hubungan
timbal balik antara suami dan istri. Hal ini berarti dengan adanya akad nikah itu
tidak terjadi penguasaan suami terhadap pribadi istri atau sebaliknya. Oleh kerena
itu diperlukan adanya syarat bahwa calon mempelai perempuan tidak haram
dinikahi oleh calon suami, atau dengan kata lain tidak terdapat larangan
perkawinan antara calon-calon
suami dan sitri.

66

Pada dasarnya akad nikah dapat terjadi dengan menggunakan bahasa


apapun yang dapat menunjukan keinginan serta dapat dimengerti pihak-pihak
bersangkutan dan dapat dipahami pula oleh para saksi. Di Indonesia sering
dipergunakan

bahasa arab di kalangan mereka yang memahaminya dengan

menggunakan kata nikah. Mempergunakan Bahasa Indonesia atau Bahasa Daerah


semuanya dipandang sah bila digunakan kata nikah. Selain itu pada dasarnya ijab
qabul dilakukan secara lisan. Dalam hal secara lisan tidak mungkin dapat diganti
dengan cara tertulis. Dalam hal secara tertulis tidak mungkin dilakukan karena
salah satu pihak buta huruf misalnya,
dapat dilakukan dengan isyarat.

67

Antara ijab dan qabul disyaratkan terjadi dalam satu majelis, tidak disela
dengan

pembicaraan

lain

atau

kebiasaan
65 A. Hamid Sarong, Ibid,hal.51.
66
Ibid.

perbuatan-perbuatan

yang

menurut

adat

67 Ibid, hal.52.

dipandang mengalihkan akad yang sedang dilakukan tapi tidak disyaratkan antara
ijab dan qabul harus berhubungan langsung, andai kata setelah ijab dinyatakan
oleh wali mempelai perempuan atau wakilnya, tiba-tiba mempelai laki-laki
berdiam beberapa saat tidak segera menyatakan qabul, baru setelah itu menyatakan
qabulnya, maka ijab qabul dipandang sah. Imam Malik berpendapat bahwa qabul
hanya boleh terlambat dalam waktu amat pendek dari ijab. Ulama-Ulama Madzhab
Syafii mensyaratkan harus langsung, yaitu setelah wali mempelai perempuan
menyatakan ijab mempelai laki-laki harus segera menyatakan qabul tanpa berselang
waktu. Pendapat terakhir ini yang diperaktekkan di kalangan kebanyakan kaum
muslim di Indonesia. Dalam masalah ini, pendapat Ulama-Ulama Madzhab Hanafi
dan Hanbali sudah memenuhi syarat sahnya ijab Kabul tanpa menentukan majelis
dan interval
waktu.

68

Ada syarat ijab kabul yang perlu disebutkan, yaitu tidak boleh digantungkan
kepada suatu syarat, disandarkan kepada waktu yang akan datang atau dibatasi
dengan jangka waktu tertentu. Akad bersyarat yang dipandang tidak sah ini ialah
apabila syarat dimaksud tidak terjadi seketika, misalnya wali mengatakan kepada
calon mempelai laki-laki: Apabila engkau telah mendapat pekerjaan nanti, aku
nikahkan engkau dengan anakku fulanah dengan mahar lima ribu rupiah. Ijab
seperti itu tidak sah, sebab syaratnya yaitu mendapat pekerjaan, belum tentu
terpenuhi dalam waktu mendatang. Akad bersandar kepada waktu yang akan datang,
misalnya wali mempelai perempuan mengatakan kepada calon suami: Aku
nikahkan anakku
68 A. Hamid Sarong, Hukum Perkawinan Islam di Indinesia,(Banda Aceh: Pena, 2010) hal.52.

fulana besok pagi, dengan mahar mushhaf ai-Quran ini.Akad nikah seperti itu
tidak sah baik untuk hari diucapkan maupun untuk waktu yang disebutkan
dalam akad.
Selain itu akad yang dibatasi untuk waktu tertentu, misalnya selama
sebulan atau lebih, atau kurang, tidak di bolehkan, karena bertentangan dengan
prinsip perkawinan dalam islam. Nikah untuk waktu tertentu disebut: Nikah
mutah (nikah senang-senang) dan nikah muqathi (nikah terputus). Kebanyakan
fuqaha berpendapat bahwa nikah mutah itu haram, dengan berdasarkan antara
lain hadits nabi riwayat Ibn Majah yang mengajarkan: wahai umat manusia, dulu
aku

mengizinkan

kamu

mengharamkankannya

kawin

sampai

hari

mutah,
kiamat.

tetapi

ketahuilah,

Ulama-Ulama

Allah

Madzhab

telah
Syiah

sampai sekarang masih membolehkan kawin mutah itu dengan beberapa


persyaratan yang
ketat. Tetapi Ulama-Ulama
menyetujuinya.69

Madzhab

2. Kedudukan Nikah Sirri Menurut


Indonesia

lain

tidak

dapat

Kompilasi Hukum Islam Di

Pasal 4 KHI menyebutkan Perkawinan adalah sah apabila dilakukan


menurut hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1
70

Tahun 1974 tentang Perkawinan .


Pasal 14 bab IV rukun dan syarat perkawinan KHI disebutkan untuk
melaksanakan perkawinan harus ada: calon suami, calon isteri, Wali nikah, dua
71

orang saksi dan ijab Kabul .

69
70

. Ibid.

Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam.

Seorang mukmin wajib menjaga agama dan nama baiknya, sementara kawin
rahasia telah memaksa ia bersikap ragu kepada agama karena ia menolak hadishadis Rasul yang mengharuskan mengumumkan perkawinan. Di samping itu
timbul perasaan ragu dan khawatir bila perkawinan yang dirahasiakannya
diketahui orang lain. Untuk menghindarkan kedua hal itu kata syaltut tidak ada
jalan lain kecuali memberantas segala sebab-sebab yang mendorong terjadinya
perkawinan rahasia
itu.

72

Perkawinan Sirri ada yang dicatat dan ada yang tidak tercatat, kawin
rahasia itu adalah perkawinan yang hanya dihadiri oleh yang berkepentingan saja,
tanpa dihadiri para saksi, tanpa pengumuman, ada sirri yang tercatat ada juga tidak
tercatat dalam akte perkawinan.
Kedua suami isteri itu hidup berkeluarga secara rahasia pula yang tidak
diketahui orang lain kecuali mereka berdua. Mereka juga sepakat bahwa
perkawinan yang

semacam

itu tidak

sah,

karena

kurang

syarat

sahnya

perkawinan, yaitu para saksi, Bila perkawinan itu dihadiri oleh para saksi yang diberi
wewenang untuk menyebarluaskan perkawinan tersebut, maka perkawinan tersebut
bukan rahasia lagi dan perkawinan itu dipandang sah menurut syara' dengan segala
akibat hukum yang ditimbulkannya. Adapun perkawinan yang dihadiri para saksi,
tetapi mereka dipesan untuk merahasiakan perkawinan tersebut, dalam hal ini para
fiqh kata Syaltut berbeda

71

Pasal 14 bab IV Kompilasi Hukum Islam.

72
Ramlan Yusuf Rangkuti, Hukum Perdata Islam Dalam Persepektif Mahmud
Syaltut, (Pustaka Bangsa Press, Medan 2009) Hal. 179.

pendapat tentang sahnya perkawinan itu,


kemakruhannya.

namun mereka sepakat tentang

73

Sebahagian ahli fiqh berpendapat bahwa dengan adanya saksi sudah


meniadakan sifat kerahasiaannya, sebab persaksian itu sendiri sudah berarti
pengumuman. Oleh sebab itulah, pesan kepada saksi untuk merahasiakan
perkawinan tersebut tidak membatalkan sahnya perkawinan. Imam Malik dan
orang-orang

yang sependapat

dengannya

berpendapat

bahwa pesan untuk

merahasiakan itu menghilangkan jiwa persaksian serta tujuannya, yaitu pengumuman


yang menyatakan tetapnya hak dan kewajiban sebagai suami isteri, untuk
menghilangkan syubhat
(keraguan) serta memisahkan yang halal dan haram, sebagaimana sabda
74
Nabi:
Artinya: "yang memisahkan antara yang halal dan yang haram adalah gendang
dan suara. Pada saat ini gendang dan suara di gantikan oleh akta nikah.
Kawin rahasia hukumnya antara tidak sah dan makruh, Perkawinan
semacam itu mengandung kerahasiaan yang mendorong

haramnya

perkawinan.

Seorang muslim hendaklah menolak perkawinan semacam itu dan jangan


menceburkan diri ke dalamnya.

75

Perkawinan rahasia seperti diuraikan itu tidak mungkin direstui syara', sebab
perkawinan rahasia mengandung ketakutan dan kegelisahan karena

khawatir

diketahui oleh kaum kerabat, atau manusia pada umumnya, padahal perkawinan
dijadikan

Allah

sebagai

menjadi
73 Ibid, hal. 177.
74 Ibid.
75 Ibid.

jalan

untuk

menyatukan

hamba-hamba-Nya

serta

sumber ketenangan, kemesraan, dan kasih sayang. Sementara perkawinan rahasia


itu tidak mungkin dapat membentuk keluarga yang bahagia yang dapat memelihara
keturunan dan memperkuat ikatan kekeluargaan di antara manusia. perkawinan
menurut syara' selalu bersifat jelas, terus terang dalam akidah, akhlak, dan amaliyah,
serta berdasarkan kesamaan antara lahir dan batin. Persaksian tidak dijadikan
syarat

sahnya

perkawinan

kecuali

dijadikan

sebagai

alat

media

yang

mengumumkan perkawinan tersebut sehingga diketahui oleh masyarakat. Bila


persaksian tidak dapat memenuhi fungsi tersebut kata syaltut maka ia hanya sebagai
saksi formalitas untuk dapat menghalalkan larangan-larangan Allah, dan sama
sekali tidak ada nilainya
dipandang
76
agama.

dari

segi

syara'

dan

Pendapat tersebut dikuatkan sebagaimana hasil tanya jawab kasus dengan


syaikh shalih bin Fauzan: Pertanyaan Menikah Sirri Karena Suatu Alasan (tidak
diketahui masyarakat sekitar) dengan seorang wanita. Pernikahannya hanya
dihadiri oleh ayah mertua sebagai wali nikah, keluarga besar mempelai, dan
teman-teman dekatnya. Keluarganya pun menyetujui pernikahan tersebut. Mempelai
laki-laki tidak menghendaki pernikahannya diketahui masyarakat luas karena
perbedaan status sosial

yang

mencolok

antara

dirinya

dan

calon

istrinya.

Bagaimana hukum
pernikahan
77
Syaikh.

seperti

ini,

Kami

mohon

penjelasan

76
Ramlan Yusuf Rangkuti, Hukum Perdata Islam Dalam Persepektif Mahmud
Syaltut, (Pustaka Bangsa Press, Medan 2009) hal. 178-179.
77
Abu Muhammad bin Abdul Maqshud, Fatwa Pernikahan, (Jakarta: Embun
Publishing, 2007), hal.210.

Jawaban syaikh shalih bin Fauzan: Suatu pernikahan, jika syarat-syaratnya


telah sempurna, yaitu adanya wali, menghadirkan dua orang saksi adil, juga
didasari saling suka antara kedua calon mempelai, maka pernikahan tersebut
sudah bersifat syari. Sekalipun dalam proses pernikahan tersebut tidak ada
publikasi secara luas kepada khalayak, hadirnya seorang wali dan dua orang saksi
telah dianggap cukup sebagai upaya publikasi atas berlangsungnya pernikahan
tersebut. Paling tidak, pernikahan dihardiri dan diketahui oleh orang-orang yang
telah disebutkan tadi. hanya saja, semakin banyak yang menghadiri prosesi
akad nikah, hal itu lebih
utama.

78

Hukum perkawinan mempunyai kedudukan amat penting dalam Islam, sebab


hukum perkawinan mengatur tata cara kehidupan keluarga yang merupakan inti
kehidupan masyarakat sejalan dengan kedudukan manusia sebagai mahkluk yang
terhormat melebihi mahkluk-mahkluk yang lain. Hukum perkawinan Islam yang
dikenal dengan fiqh munakahat merupan merupakan bagian dari ajaran agama
Islam yang wajib ditaati dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang
terdapat
dalam al-Quran dan sunnah.

79

Perkawinan adalah Sunatullh, hukum alam di dunia. Perkawinan dilakukan


manusia, hewan dan bahkan tumbuh-tumbuhan. Allah berfirman dalam
Surat Yasin ayat 36 yang artinya:
Maha suci Allah yang telah menjadikan pasangan-pasangan semuanya, baik
dari apa yang ditumbuhkan di bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang
tidak mereka ketahui. (Yasin: 36).

78 Ibid..
79 A. Hamid Sarong, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,(Banda Aceh: Pena, 2010), hal.2.

Manusia adalah makhluk yang lebih dimuliakan dan diutamakan Allah


dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya. Allah telah menetapkan
adanya aturan tentang perkawinan bagi manusia dengan aturan-aturan yang
tidak boleh dilanggar, manusia tidak boleh berbuat semaunya. Allah Swt tidak
membiarkan manusia berbuat semaunya seperti binatang, kawin dengan lawan
jenis semaunya atau seperti tumbuhan yang kawin dengan perantaraan angin,
sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran:
Artinya: dan Kami hembuskan angin untuk mengawinkan tumbuh-tumbuhan.
(Al- Hijr)
Dalam QS.al- zariyat: 49 mengajarkan:
dengan segala sesuatu kami menciptakan berpasang-pasangan,
supaya kamu mengingat kebesaran Allah. Dalam QS.yasin:36
dinyatakan pula: maha suci tuhan yang telah menciptakan pasanganpasangan semuanya, baik apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri
80
mereka, maupun dari apa yang mereka tidak ketahui.
Dengan hidup berpasang-pasangan itulah keturunan manusia dapat
berlangsung, sebagaimana ditegaskan dalam QS. An-nisa ayat 1 yang menyatakan:
Hai sekalian umat dari seorang diri ( adam) dan dari padanya Allah
menciptakan isterinya (hawa); dan daripada keduanya Allah
memperkembangbiakan laki-laki dan
perempuan yang banyak

81

QS. An-nahl: 72 menegaskan pula:


Allah menjadikan istri bagi kamu dari jenis kamu sendiri, dan dari istri-istri kamu
itu dia menjadikan anak-anak dan cucu-cucu bagi kamu

82

Dari dua ayat terakhir tersebut diperoleh penegasan bahwa di antara


tujuan perkawinan dalam islam adalah untuk mendapatkan keterunan.

hal.29.

80
A. Hamid Sarong, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,(Banda Aceh: Pena,
2010)
81
82

Ibid.
Ibid..

Selain

untuk

memiliki

keturunan,

perkawinan

juga

akan

dapat

menimbulkan ketenangan hidup manusia dan menumbuhkan rasa kasih sayang,


sebagaimana dinyatakan dalam QS. Al-rum: 21 yang menegaskan: dan di
antara tanda-tanda kekuasaannya, dia menciptakan untuk kamu istri-istri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya dan
dijadikan-nya rasa kasih
sayang di antara kamu

83

Dari ayat-ayat Al-Quran dan hadits-hadits nabi tersebut di atas dapat


diperoleh

kepastian

bahwa

Islam

menganjurkan

perkawinan

dan

Islam

memandang perkawinan mempunyai nilai keagamaan sebagai ibadah kepada Allah


dan mengikuti Sunnah Nabi, guna menjaga keselamatan hidup keagamaan yang
bersangkutan. Dari segi

lain,

perkawinan

di

pandang

mempunyai

nilai

kemanusiaan, untuk memenuhi kebutuhan naluriah hidupnya, guna melangsungkan


kehidupan

jenisnya, mewujudkan ketentraman hidup dan menumbuhkan serta

memupuk rasa kasih sayang dalam hidup bermasyarakat. Oleh karenanya, sengaja
hidup membujang tidak dapat di benarkan. Larangan hidup membujang diperoleh
pada bagian akhir hadits nabi yang mengatakan: barang siapa tidak senang
mengikuti sunnahku, tidak termasuk golonganku.84

83
Ibid, hal.30.
84
A. Hamid Sarong, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,(Banda Aceh: Pena,
2010)
hal.32.

Sumber-sumber hukum perkawinan terdapat dalam Al-Quran, Sunnah dan Ijtihad.


1. Al-Quran
Ayat-ayat Al-Quran yang mengatur masalah perkawinan dimulai dengan
adanya penegasan bahwa Allah menciptakan makhluk hidup berpasang-pasangan,
baik

dalam

dunia

manusia,

hewan maupun tumbuh-tumbuhan

dan untuk

memungkinkan terjadinya perkembangbiakan dan melangsungkan kehidupan jenis


masing-masing.

85

Ayat-ayat Al-Quran tentang perkawinan adalah sebagai berikut:


1) Perkawinan adalah tuntutan kodrat hidup dan tujuannya antara lain adalah
untuk memperoleh keturunan, guna melangsungkan kehidupan jenisnya.
1) QS. Al-Dzariyat: 49 mengatakan bahwa segala sesuatu diciptakan Allah
berpasang-pasangan.
2) QS. Yasin: 36 mengajarkan juga bahwa segala sesuatu diciptakan Allah
berpasang-pasangan, baik dalam dunia tumbuh-tumbuhan, manusia dan
lain- lainnya yang tidak diketahui manusia.
3) QS. Al-Hujurat: 13 menegaskan bahwa umat manusia diciptakan dari
seorang diri (adam) dan daripadanya diciptakan isterinya dan dari mereka
berdua Allah mengembangbiakan manusia, laki-laki dan perempuan.
4)

QS.Ayat 72 Surat Al-Nahl menyatakan bahwa Allah menjadikan isteriisteri itu dijadikan-nya pula anak-anak dan cucu-cucunya.86

85 Ibid, hal.2.
86 A. Hamid Sarong, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,(Banda Aceh: Pena, 2010) hal.3.

2)

Perkawinan adalah untuk mewujudkan kediaman dan ketentraman hidup serta


menumbuhkan rasa kasih sayang khususnya antara suami isteri, kalangan
keluarga yang lebih luas, bahkan dalam kehidupan umat manusia umumnya.

87

1) QS. Al-Rum: 21 mengajarkan bahwa di antara tanda-tanda keagungan dan


kekuasaan Allah ialah diciptakan-nya isteri-isteri bagi kaum laki-laki dari
jenis manusia yang sama, guna menyelenggarakan kehidupan damai dan
tentram, serta menimbulkan rasa kasih sayang antara suami istri khususnya
dan umat manusia umumnya.

88

2) QS. An-Nur: 32 memerintahkan agar kepada laki-laki maupun perempuan


yang belum kawin (dalam keadaan tidak kawin), padahal sudah pantas,
diusahakan untuk kawin dengan diberi bantuan seperlunya. Allah berjanji
akan memberikan anugerahnya kepada mereka yang mau melaksanakan
perkawinan dan bila dalam keadaan kekurangan, Allah akan mencukupkan
kebutuhan hidupnya. Ayat selanjutnya (33) memperingatkan agar mereka
yang

benar-benar

memelihara kesucian

belum

mampu

hidupnya

dan

melaksanakan
jangan

mudah

perkawinan,

dapat

tergoda bujukan-

bujukan setan yang


membujuk untuk berbuat zina.

89

c. Larangan-larangan Allah dalam perkawinan.


1) QS. Al-Baqarah: 235 memperingatkan agar laki-laki jangan meminang
secara terang-terangan perempuan yang sedang menjalani masa
iddah

89

87 Ibid.
88
Ibid.
A. Hamid Sarong, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,(Banda Aceh: Pena, 2010) hal. 4.

(masa tunggu untuk memungkinkan kawin lagi dengan orang lain).


Dapat dipahami bahwa meminang sebelum terjadi perkawinan adalah
suatu hal yang diajarkan dalam islam.

90

2) QS. An-Nisa: 22 melarang laki-laki kawin dengan janda ayah


kandungnya.
3) QS. An-Nisa: 23 menyebutkan macam-macam perempuan yang haram
dikawini laki-laki karena hubungan darah (nasabah), sesusuan dan
semenda.

Ayat

berikutnya

(24)

melarang

laki-laki

mengawini

perempuan yang dalam ikatan perkawinan dengan laki-laki lain.


4) QS. An-Nur: mengajarkan bahwa tidak pantas laki-laki mukmin kawin
dengan perempuan penzina, demikian pula sebaliknya, perempuan
mukmin kawin dengan laki-laki penzina.
5) QS.

Al-Baqarah:

221

melarang

laki-laki

mukmin

mengawini

perempuan musyrikah, demikian pula sebaliknya; perempuan mukminah


kawin dengan laki-laki musyrik.
6) QS.Al-Maidah: 5 membolehkan perkawinan antara laki-laki muslim
dengan perempuan ahli kitab (yahudi dan nasrani).
7)

QS. Al-Mumtahana: 10 mengajarkan bahwa perempuan muslim tidak


halal kawin dengan laki-laki (non muslim).91

90 Ibid.
91 A. Hamid Sarong, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,(Banda Aceh: Pena, 2010) hal.5.

C. Sikap Pengadilan Agama terhadap Nikah Sirri


Dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang mengenai Peradilan Agama,
Nomor 7 Tahun 1989, pada tanggal 3 April 1990 telah di keluarkan SEMA
(Surat

Edaran

Mahkamah

MA/KUMDIL/1973/IV/1990.

92

Agung)

Nomor

Tahun

yaitu mengatur ketentuan

1990

yang

Nomor

menjelaskan

mengenai apa saja yang termasuk dalam Kewenangan Peradilan Agama dan apa yang
masih harus tunduk kepada Pengadilan Negeri Umum (Peradilan Umum).
Tugas wewenang Peradilan Agama dalam pasal 49 dari Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 telah ditentukan bahwa Peradilan Agama mempunyai tugas
wewenang untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara tingkat
93

pertama antara orang-orang yang beragama Islam, dibidang :


(a) Perkawinan;
(b) Warisan, wasiat dan hibah, yang dilakukan berdasarkan Hukum Islam,
(c) Waqaf dan Syadaqah
Disini ditekankan atas kritera yang menentukan yaitu orang-orang yang
Beragama Islam. Jadi Suami dan istri ini harus memeluk agama Islam.
Untuk

mendaftarkan

sidang

perceraian

Pengadilan

Agama

harus

memenuhi dan melengkapi syarat administrasi sebagai berikut:


1. Mengisi formulir dan membuat permohonan,

92
SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) Nomor 2 tahun 1990 Nomor
MA/KUMDIL/1973/IV/1990.
93 Tugas wewenang Peradilan Agama dalam pasal 49 Undang-undang Nomor 7 tahun 1989.

2. Melampirkan Foto Copy buku Nikah,


3. Foto copy KTP
4. dan panjar biaya perkara.
Jika

melihat

Pengadilan Agama

kepada
harus

persyaratan

melampirkan

pengajuan
foto

sidang

copy buku

perceraian

di

nikah, sementara

perkawinan sirri yang tidak dicatatkan jelas tidak memiliki buku nikah sebagai bukti
telah berlangsung pernikahan diantara mereka, dan sebagai bukti ada hubungan
perkawinan diantara mereka, maka terhadap perkawinan sirri yang tidak dicatatkan
dan tidak memiliki buku nikah maka syarat pengajuan sidang perceraiannya tidak
lengkap syarat dan Pengadilan Agama menolak karena tidak lengkap syarat.
Sebaliknya terhadap Perkawinan Sirri yang dicatatkan yang mempunyai bukti dapat
disidang cerai. Hasil
wawancara dengan Bapak Hilman Panitera Pengadilan Agama Kelas I A
94
Medan :
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak ada mengatur tentang Nikah Sirrih,
tetapi dapat disimpulkan syahnya Nikah apabila dicatat oleh pencatatan sipil atau oleh
pejabat yang berwenang.
Sikap Pengadilan Agama jika ada perkawinan dengan dasar perkawinan
sirri minta disidangkan di PA, Sebagaimana hasil wawancara dengan Bapak Hilman
Panitera Pengadilan Agama Kelas I A Medan Perkawinan yang tidak memiliki
buku nikah tidak dapat di proses untuk sidang cerai kecuali memohonkan
kepada

94
Hasil wawancara dengan Bapak Hilman Panitera pada Pengadilan Agama Klas 1A
Medan, pada hari Senin, tanggal 24 Oktober 2011, Pukul 13.00 WIB.

Pengadilan Agama Isbat Nikah yaitu mohon dikeluarkan penetapan Pengadilan


Agama terhadap pernikahannya, tetapi Isbat/pengesahan hanya dibolehkan untuk
perkawinan yang belum dicatat dibawah tahun 1974 jika perkawinan tersebut
dilangsungkan di atas tahun 1974 Isbatnya hanya boleh dikeluarkan untuk
keperluan Sidang percerian agar dapat memperoleh harta gono-gini status anak,
Taspen, dan lain-lain.

Anda mungkin juga menyukai