Anda di halaman 1dari 3

Keabsahan Perjanjian Kerja dalam Bentuk Fotokopi

Bagaimana kekuatan hukum dari surat perjanjian kontrak kerja yang bentuknya/formatnya
fotocopy? Apakah si karyawan berhak untuk meminta surat perjanjian kontrak yang asli kepada
perusahaan?
Tubagus Rifki

Jawaban:
Tri Jata Ayu Pramesti, S.H.

Terima kasih atas pertanyaan Anda.

Sebelum menjawab pertanyaan Anda, pada dasarnya, sah atau tidaknya suatu perjanjian ditentukan dari syarat sah
perjanjian yang dapat kita lihat dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata (KUH
Perdata), yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.

Dalam artikel yang berjudul Keabsahan Perjanjian yang Dibuat di Bawah Ancaman antara lain disebutkan
bahwa syarat pertama dan kedua adalah syarat subjektif, sedangkan syarat ketiga dan keempat adalah syarat
objektif. Jika syarat subjektif tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan, sedangkan jika syarat
objektif tidak dipenuhi, maka perjanjian tersebut batal demi hukum.

Jadi, mengenai sahnya suatu perjanjian dan kekuatan hukumnya didasarkan pada terpenuhi atau tidaknya syaratsyarat sah perjanjian yang kami jelaskan di atas. Bukan dari apakah perjanjian tersebut dibuat dalam bentuk tertulis
atau tidak tertulis, maupun apakah perjanjian tersebut dalam bentuk asli atau fotokopi (salinan). Namun pada
umumnya perjanjian dibuat secara tertulis oleh para pihak dengan tujuan untuk kepentingan pembuktian. Lebih jauh
penjelasan mengenai hal ini dapat Anda simak dalam artikel Perlunya Perjanjian Dibuat Secara Tertulis.
Perjanjian kerja, seperti dalam pertanyaan Anda, diwajibkan dibuat secara tertulis sebagaimana yang diperintahkan
dalam Pasal 57 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK), jika perjanjian
kerja tersebut adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu. Akan tetapi jika perjanjian kerja tersebut adalah
perjanjian kerja waktu tidak tertentu, maka tidak diwajibkan untuk dibuat dalam bentuk tertulis. Dalam hal
perjanjian kerja waktu tidak tertentu dibuat secara lisan (tidak dalam bentuk tertulis), maka pengusaha wajib
membuat surat pengangkatan bagi pekerja/buruh yang bersangkutan (Pasal 63 ayat (1) UUK).
Untuk menjawab pertanyaan Anda mengenai perjanjian kerja dalam bentuk fotokopi, kita mengacu pada bunyi
Pasal 54 ayat (3) UUK yang berbunyi:

Perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibuat sekurang kurangnya rangkap 2
(dua), yang mempunyai kekuatan hukum yang sama, serta pekerja/buruh dan pengusaha masingmasing mendapat 1 (satu) perjanjian kerja.

Dalam UUK sendiri tidak dijelaskan dengan apa yang dimaksud dengan rangkap, apakah keduanya harus dibuat
dalam bentuk asli atau diperbolehkan salah satunya asli dan yang lainnya hanya fotokopiannya.

Menurut hemat kami, tidak adanya pengertian rangkap dalam UUK memperlihatkan bahwa UUK tidak
menentukan secara tegas apakah perjanjian kerja yang diberikan kepada masing-masing pekerja dan pengusaha itu
harus asli atau fotokopi. Dengan demikian, apabila karyawan/pekerja memperoleh perjanjian kerja dalam bentuk
fotokopi, hal tersebut tidak serta merta membuat perjanjian itu tidak memiliki kekuatan hukum atau mengurangi
kekuatan hukum perjanjian itu sendiri.

Berbicara mengenai kekuatan hukum, maka dari hal-hal yang kami jelaskan di atas dapat disimpulkan bahwa
perjanjian kerja yang asli dengan perjanjian kerja dalam bentuk fotokopi memiliki kekuatan hukum yang sama.
Keduanya sah sepanjang perjanjian kerja tersebut memenuhi syarat sah perjanjian yang telah kami uraikan
sebelumnya.

Akan tetapi, perlu diketahui bahwa untuk keperluan pembuktian, berdasarkan Pasal 1888 ayat (1) KUH Perdata,
kekuatan pembuktian suatu bukti tulisan adalah pada akta aslinya. Bila akta yang asli ada, maka salinan serta
kutipan hanyalah dapat dipercaya sepanjang salinan serta kutipan itu sesuai dengan aslinya yang senantiasa dapat
diperintahkan untuk ditunjukkan (Pasal 1888 ayat (2) KUH Perdata).

M. Yahya Harahap, S,H., dalam bukunya yang berjudul Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan,
Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan (hal. 616) menerangkan bahwa salinan bernilai sebagai alat bukti
tulisan atau akta, sepanjang sesuai dengan aslinya. Kesesuaian atau kesamaan dengan aslinya, mesti bersifat total,
meliputi tanggal, isi, dan tanda tangan. Jika tidak sesuai dengan aslinya, tidak memenuhi syarat sebagai salinan yang
sah, sehingga pada dirinya tidak melekat nilai kekuatan pembuktian.

Dengan demikian, tidak menjadi masalah bahwa yang Anda miliki adalah salinan atau fotokopi dari perjanjian kerja
tersebut selama Anda dapat membuktikan bahwa salinan atau fotokopi yang Anda miliki sesuai dengan asli
perjanjian kerjanya. Jika Anda tidak dapat menunjukkan bahwa asli dan fotokopiannya sama, maka salinan atau
fotokopi yang Anda miliki hanya memberikan suatu permulaan pembuktian dengan tulisan (Pasal 1889 angka 4
KUH Perdata).
Pasal 1889 KUH Perdata:
Bila tanda alas hak yang asli yang sudah tidak ada lagi, maka salinannya memberikan bukti, dengan
ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1. ....;
2. .;
3. .;
4. salinan otentik dari salinan otentik atau dari akta di bawah tangan, menurut keadaan, dapat
memberikan suatu bukti permulaan tertulis.

Jika perjanjian kerja tersebut akan dijadikan alat bukti di pengadilan, maka harus dibubuhi meterai sebagai syarat
administratif untuk dapat dijadikan alat bukti. Lebih lanjut mengenai hal tersebut, Anda dapat membaca artikel yang
berjudul Fungsi Meterai.

Mengenai apa yang disebut dengan akta (surat) asli atau fotokopi (salinan), baik akta otentik maupun akta di bawah
tangan, mensyaratkan adanya tanda tangan pada akta tersebut. M. Yahya Harahap (Ibid, hal 577), sebagaimana kami
sarikan, menjelaskan bahwa agar akta otentik sah, maka harus ditandatangani oleh para penghadap, para saksi,
notaris, dan penerjemah (jika ada). Begitu pula dengan akta di bawah tangan, agar suatu tulisan bernilai sebagai akta
di bawah tangan, maka surat atau tulisan itu harus ditandatangani (Ibid, hal. 590).

Jika fotokopi yang dimaksud adalah fotokopi dari perjanjian kerja asli setelah perjanjian kerja tersebut
ditandatangani, maka fotokopi tersebut merupakan salinan dari perjanjian kerja. Akan tetapi jika perjanjian kerja
tersebut difotokopi sebelum dibubuhi tanda tangan, kemudian baik asli dan fotokopiannya masing-masing
ditandatangani oleh para pihak, maka keduanya dianggap sebagai perjanjian kerja asli, karena keduanya
ditandatangani oleh para pihak.

Kemudian untuk menjawab pertanyaan Anda berikutnya, dapat kami sampaikan bahwa pekerja berhak meminta
perjanjian kerja yang asli, guna pembuktian di pengadilan jika terjadi perselisihan antara pekerja dan pengusaha. Hal
ini dengan berpedoman pada bunyi Pasal 54 ayat (3) UUK bahwa perjanjian kerja yang dipegang oleh pekerja dan
pengusaha harus mempunyai kekuatan hukum yang sama, maka apabila pengusaha memegang perjanjian kerja yang
asli, pekerja pun punya hak untuk meminta perjanjian kerja yang asli pula kepada pengusaha.

Demikian penjelasan dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata
2. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Referensi:
Harahap, M. Yahya. 2009. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan
Pengadilan. Sinar Grafika.

Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum,
atau facebook Klinik Hukumonline.

Anda mungkin juga menyukai