Anda di halaman 1dari 19

DIABETES MELLITUS TIPE 2

Definisi
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, diabetes melitus
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya.1 Sedangkan menurut WHO 1980 dikatakan bahwa diabetes
melitus merupakan sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam satu
jawaban yang jelas dan singkat tapi secara umum dapat dikatakan sebagai
suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi yang merupakan akibat dari
sejumlah faktor di mana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan
gangguan fungsi insulin.
Etiologi
Diabetes melitus tipe 1 disebabkan oleh terutama terjadinya kekurangan
hormon insulin pada proses penyerapan makanan. Insufisiensi insulin yang
pada diabetes melitus tipe 1 dikaitkan dengan genetik yang pada akhirnya
menuju proses perusakanimunologik sel-sel yang memproduksi insulin.
Diabetes melitus tipe 2 disebabkan kegagalan relatif sel dan resistensi
insulin. Resistensi insulin adalah turunnya kemampuan insulin untuk
merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk
menghambat produksi glukosa oleh hati. Sel tidak mampu mengimbangi
resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi defisiensi relatif insulin.
Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin pada
rangsangan glukosa, maupun pada rangsangan glukosa bersama bahan
perangsang sekrasi insulin lain. Berarti sel pankreas mengalami
desensitisasi terhadap glikosa.6
Faktor Resiko
Orang-orang Asia Selatan, Afrika, Afrika-Karibia, Polinesia, dan Timur Tengah
keturunan Amerika-India yang lebih besar beresiko diabetes melitus tipe 2,
dibandingkan dengan penduduk kulit putih. Orang yang gemuk, tidak aktif
ataumempunyai riwayat keluarga juga mengalami peningkatan risiko
diabetes melitus tipe 2.
Sindrom metabolik dianggap sebagai awal diabetes melitus tipe 2. Hal ini
kurang
jelas
dan
merupakan
koleksi
heterogen
untuk
berbagai kecenderungan diabetes melitus. Ia telah mengemukakan bahwa
intervensi gaya hidup dan memperlakukan manifestasi metabolik negara ini
pra-diabetes
dapat
mengurangi
kemungkinan
perkembangan

diabetes murni dan risiko komplikasi faktor genetik yang kompleks dan
berinteraksi dengan faktor lingkungan dengan cara yang kurang dipahami.8,9
Klasifikasi10
Klasifikasi yang baru ini membagi diabetes melitus atas empat kelompok
yaitu diabetes melitus tipe 1, diabetes melitus tipe 2, diabetes melitus
bentuk khusus, dan diabetes melitus gestasional. Pembagian ini berdasarkan
etiologi diabetes melitus.
Pada diabetes melitus tipe 1 penyebab utamanya ialah terjadinya
kekurangan hormon insulin pada proses penyerapan makanan. Fungsi utama
hormon insulin dalam menurunkan kadar gula darah secara alami dengan
cara meningkatkan jumlah gula yang disimpan di dalam hati, merangsang
sel-sel tubuh agar menyerap gula, dan mencegah hati mengeluarkan terlalu
banyak gula. Jika insulin berkurang, kadar gula di dalam darah akan
meningkat. Gula dalam darah berasal dari makanan kita yang diolah secara
kimiawi oleh hati. Sebagian gula disimpan dan sebagian lagi digunakan
untuk tenaga. Disinilah fungsi hormon insulin sebagai stabilizer alami
terhadap kadar glukosa dalam darah. Jika terjadi gangguan sekresi (produksi)
hormon insulin ataupun terjadi gangguan pada proses penyerapan hormon
insulin pada sel-sel darah, maka potensi terjadinya diabetes melitus sangat
besar sekali.
Jika pada diabetes melitus 1 penyebab utamanya adalah dari malfungsi
kalenjar pankreas, pada diabetes melitus tipe 2, gangguan utama justru
terjadi pada volume reseptor (penerima) hormon insulin, yakni sel-sel darah.
Dalam kondisi ini produktifitas hormon insulin bekerja dengan baik, namun
tidak terdukung oleh kuantitas volume reseptor yang cukup pada sel darah,
keadaan ini dikenal dengan resistensi insulin. Walau belum dapat dipastikan
penyebab utama resistensi insulin, terdapat beberapa faktor-faktor yang
memiliki berperan penting terjadinya hal tersebut yaitu obesitas, terutama
yang besifat sentral (bentuk tubuh apel), diet tinggi lemak dan rendah
karbohidrat, kurang gerak badan (olahraga), dan juga faktor keturunan
(herediter).
Gestational diabetes melitus (GDM) melibatkan kombinasi dari kemampuan
reaksi dan pengeluaran hormon insulin yang tidak cukup, menirukan jenis 2
kencing manis di beberapa pengakuan. Terjadi selama kehamilan dan dapat
sembuh setelah melahirkan. GDM mungkin dapat merusak kesehatan janin
atau ibu, dan sekitar 2050% dari wanita penderita GDM bertahan hidup.
GDM terjadi di sekitar 25% dari semua kehamilan. GDM bersifat temporer
dan secara penuh bisa perlakukan tetapi, tidak diperlakukan, boleh
menyebabkan
permasalahan
dengan
kehamilan,
termasuk macrosomia (kelahiran yang tinggi menimbang), janin mengalami

kecacatan dan menderita penyakit jantung sejak lahir. Penderita memerlukan


pengawasan secara medis sepanjang kehamilan.
Maturity onset diabetes of the young (MODY) meliputi beberapa bentuk
diabetes dengan cacat monogenetik fungsi -sel (sekresi insulin terganggu);
biasanya mewujudkan sebagai hiperglikemia ringan di usia muda, dan
biasanya diwariskan secara dominan autosom.11,12
Terdapat juga diabetes mellitus tipe lain yang penyebabnya adalah defek
genetic fungsi sel beta, defek genetik sel kerja insulin, penyakit eksokrin
pankreas, endokrinopati, infeksi, diabetes mellitus yang terjadi karena obat
atau zat kimia dan juga sindroma genetik lain yang berkaitan dengannya.
Manisfestasi klinis6,13
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan
adanya diabetes mellitus perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik
diabetes melitus seperti poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain dapat berupa:
lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria,
serta pruritus vulvae pada wanita.
Patofisiologi1,3
Diabetes melitus tipe 2 merupakan suatu kelainan yang heterogenik dengan
karakter utama hiperglikemik kronik. Meskipun pola pewarisannya belum
jelas, faktor genetik dikatakan memiliki peranan yang penting dalam
munculnya diabetes melitus tipe 2 ini. Faktor genetik ini akan berinteraksi
dengan faktor-faktor lingkungan seperti gaya hidup, diet, rendahnya aktifitas
fisik, obesitas, dan tingginya kadar asam lemak bebas.
1.

Patofisiologi diabetes melitus tipe 2 terdiri atas tiga mekanisme, yaitu;


Resistensi terhadap insulin
Resistensi terhadap insulin terjadi disebabkan oleh penurunan kemampuan
hormon insulin untuk bekerja secara efektif pada jaringan-jaringan target
perifer (terutama pada otot dan hati), ini sangat menyolok pada diabetes
melitus tipe 2. Resistensi terhadap insulin ini merupakan hal yang relatif.
Untuk mencapai kadar glukosa darah yang normal dibutuhkan kadar insulin
plasma yang lebih tinggi. Pada orang dengan diabetes melitus tipe 2, terjadi
penurunan pada penggunaan maksimum insulin, yaitu lebih rendah 30 - 60
% daripada orang normal. Resistensi terhadap kerja insulin menyebabkan
terjadinya gangguan penggunaan insulin oleh jaringan-jaringan yang sensitif
dan meningkatkan pengeluaran glukosa hati. Kedua efek ini memberikan
kontribusi terjadinya hiperglikemi pada diabetes. Peningkatan pengeluaran
glukosa hati digambarkan dengan peningkatan FPG (Fasting Plasma Glukose)
atau kadar gula puasa (BSN). Pada otot terjadi gangguan pada penggunaan

glukosa secara non oksidatif(pembentukan glikogen) daripada metabolisme


glukosa secara oksidatif melalui glikolisis. Penggunaan glukosa pada jaringan
yang independen terhadap insulin tidak menurun pada diabetes melitus tipe
2.
Mekanisme molekular terjadinya resistensi insulin telah diketahui. Level
kadar reseptor insulin dan aktifitas tirosin kinase pada jaringan otot
menurun, hal ini merupakan defek sekunder pada hiperinsulinemia bukan
defek primer. Oleh karena itu, defek pada post reseptor diduga mempunyai
peranan yang dominan terhadap terjadinya resistensi insulin. Polimorfik dari
IRS-1 (Insulin Receptor Substrat) mungkin berhubungan dengan intoleransi
glukosa. Polimorfik dari bermacam-macam molekul post reseptor diduga
berkombinasi dalam menyebabkan keadaan resistensi insulin.16,18
Sekarang ini, patogenesis terjadinya resistensi insulin terfokus pada defek PI3 kinase (Phosphatidyl Inocytol) yang menyebabkan terjadinya reduktasi
translokasi dari GLUT-4 (Glukose Transporter) ke membran plasma untuk
mengangkut insulin. Hal ini menyebabkan insulin tidak dapat diangkut
masuk ke dalam sel dan tidak dapat digunakan untuk metabolisme sel,
sehingga kadar insulin di dalam darah terus meningkat dan akhirnya
menyebabkan terjadinya hiperglikemi.16,18
Ada teori lain mengenai terjadinya resistesi insulin pada penderita diabetes
melitus tipe 2. Teori ini mengatakan bahwa obesitas dapat mengakibatkan
terjadinya resistensi insulin melalui beberapa cara, yaitu; peningkatan asam
lemak bebas yg mengganggu penggunaan glukosa pada jaringan otot,
merangsang produksi dan gangguan fungsi sel pankreas.16,19
2.
Defek sekresi insulin
Defek sekresi insulin berperan penting bagi munculnya diabetes melitus tipe
2. Pada hewan percobaan, jika sel-sel beta pankreas normal, resistensi
insulin tidak akan menimbulkan hiperglikemik karena sel ini mempunyai
kemampuan meningkatkan sekresi insulin sampai 10 kali lipat. Hiperglikemi
akan terjadi sesuai dengan derajat kerusakan sel beta yang menyebabkan
turunnya sekresi insulin. Pelepasan insulin dari sel beta pankreas sangat
tergantung pada transpor glukosa melewati membran sel dan interaksinya
dengan sensor glukosa yang akan menghambat peningkatan glukokinase.
Induksi glukokinase akan menjadi langkah pertama serangkaian proses
metabolik untuk melepaskan granul-granul berisi insulin. Kemampuan
transpor glukosa pada diabetes melitus tipe 2 sangat menurun, sehingga
kontrol sekresi insulin bergeser dari glukokinase ke sistem transpor glukosa.
Defek ini dapat diperbaiki oleh sulfonilurea.
Kelainan yang khas pada diabetes melitus tipe 2 adalah ketidakmampuan sel
beta meningkatkan sekresi insulin dalam waktu 10 menit setelah pemberian

glukosa oral dan lambatnya pelepasan insulin fase akut. Hal ini akan
dikompensasi pada fase lambat, dimana sekresi insulin pada diabetes
melitus tipe 2 terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan orang normal.
Meskipun telah terjadi kompensasi, tetapi kadar insulin tetap tidak mampu
mengatasi hiperglikemi yang ada atau terjadi defisiensi relatif yang
menyebabkan keadaan hiperglikemi sepanjang hari. Hilangnya fase akut juga
berimplikasi pada terganggunya supresi glukosa endogen setelah makan dan
meningkatnya glukoneogenesis melalui stimulasi glukagon. Selain itu, defek
yang juga terjadi pada diabetes melitus tipe 2 adalah gangguan sekresi
insulin basal. Normalnya sejumlah insulin basal disekresikan secara kontinyu
dengan kecepatan 0,5 U/jam, pola berdenyut dengan periodisitas 12-15
menit (pulsasi) dan 120 menit (osilasi). Insulin basal ini dibutuhkan untuk
meregulasi kadar glukosa darah puasa dan menekan produksi hati. Puncakpuncak sekresi yang berpola ini tidak ditemukan pada penderita DM tipe 2
yang menunjukan hilangnya sifat sekresi insulin yang berdenyut.18
3.
Produksi glukosa hati
Hati merupakan salah satu jaringan yang sensitif terhadap insulin. Pada
keadaan normal, insulin dan gukosa akan menghambat pemecahan glikogen
dan menurunkan glukosa produk hati. Pada penderita diabetes melitus tipe 2
terjadi peningkatan glukosa produk hati yang tampak pada tingginya kadar
glukosa darah puasa (BSN). Mekanisme gangguan produksi glukosa hati
belum sepenuhnya jelas.
Pada penelitian yang dilakukan pada orang sehat, terjadi peningkatan kadar
insulin portal sebesar 5 U/ml di atas nilai dasar akan menyebabkan lebih
dari 50% penekanan produksi glukosa hati. Untuk mencapai hasil yang
demikian, penderita diabetes melitus tipe 2 ini membutuhkan kadar insulin
portal yang lebih tinggi. Hal tersebut menunjukkan terjadinya resistensi
insulin pada hati. Peningkatan produksi glukosa hati juga berkaitan dengan
meningkatnya glukoneogenesis (lihat gambar) akibat peningkatan asam
lemak bebas dan hormon anti insulin seperti glukagon.16,18
Patogenesis14
Insulin, suatu peptida yang disekresi oleh sel beta pankreas pulau dalam
menanggapi postprandial kenaikan tingkat glukosa serum, berfungsi untuk
meningkatkan
penyerapan
glukosa
oleh
jaringan
perifer
dan
glukoneogenesis menekan hati. Ada kenaikan bolak dan jatuh di tingkat
insulin dan glukagon yang terjadi untuk mempertahankan homeostasis
glukosa. Glukosa toleransi, kemampuan untuk mempertahankan euglycemia,
tergantung pada tiga peristiwa yang harus terjadi dengan cara yang ketat
terkoordinasi, yaitu:
1.
Stimulasi sekresi insulin
2.
Penindasan
yang
dimediasi
insulin
endogen
(terutama
hati)
produksiglukosa, dan

3.

Insulin-mediated stimulasi serapan glukosa oleh jaringan perifer.


Diabetes melitus tipe 2 adalah penyakit yang disebabkan oleh resistensi
insulin dan sekresi insulin cacat. Ada penurunan serapan postprandial
glukosa oleh otot dengan insulin endogen dikeluarkan. Pada pasien dengan
hiperglikemia puasa, tingkat insulin telah ditemukan dua kali lipat ke empat
kali lipat lebih tinggi daripada di nondiabetiks. Pada jaringan otot, ada cacat
dalam fungsi reseptor, jalur reseptor insulin-sinyal transduksi, transportasi
dan fosforilasi glukosa, sintesis glikogen, dan oksidasi glukosa yang
berkontribusi pada resistensi insulin. Tingkat basal dari glukoneogenesis
hepatik juga berlebihan, meskipun kadar insulin tinggi. Kedua cacat sama
berkontribusi untuk berlebihan kadar glukosa postprandial serum.

Diagnosis3,15
Anamnesis
1.
pola makan, status nutrisi, riwayat perubahan berat badan
2.
riwayat tumbuh kembang pada pasien anak/dewasa muda
3.
pengobatan yang pernah diperoleh sebelumnya secara lengkap, termasuk
terapi gizi medis dan penyuluhan yang telah diperoleh tentang perawatan
diabetes mellitus secara mandiri, serta kepercayaan yang diikuti dalam
bidang terapi kesehatan
4.
pengobatan yang sedang dijalani, termasuk obat yang digunakan,
perencanaan makan dan program latihan jasmani
5.
riwayat komplikasi akut (KAD, hiperosmolar hiperglikemia, hipoglikemia)
6.
riwayat infeksi sebelumnya, terutama infeksi kulit, gigi, dan traktus
urogenitalis
7.
gejala dan riwayat pengobatan komplikasi kronik (komplikasi pada ginjal,
mata, saluran pencernaan, dll.)
8.
gejala yang timbul, hasil pemeriksaan laboratorium terdahulu
9.
termasuk HbA1C, hasil pemeriksaan khusus yang telah ada terkait
diabetes melitus

10. pengobatan lain yang mungkin berpengaruh terhadap glukosa darah


11. faktor resiko: merokok, hipertensi, riwayat penyakit jantung koroner,
obesitas, dan riwayat penyakit keluarga (termasuk penyakit diabetes melitus
dan endokrin lain)
12. riwayat penyakit dan pengobatan di luar diabetes mellitus
13. pola hidup, budaya, psikososial, pendidikan, status ekonomi kehidupan
seksual, penggunaan kontrasepsi dan kehamilan.
Pemeriksaan Fisik
1.
pengukuran tinggi dan berat badan
2.
pengukuran tekanan darah, termasuk pengukuran tekanan darah dalam
posisi berdiri untuk mencari kemungkinan adanya hipotensi ortostatik
3.
pemeriksaan funduskopi
4.
pemeriksaan rongga mulut dan kelenjar tiroid
5.
pemeriksaan jantung
6.
evaluasi nadi baik secara palpasi maupun dengan stetoskop
7.
pemeriksaan ekstremitas atas dan bawah, termasuk jari
8.
pemeriksaan kulit (acantosis nigrican dan bekas tempat penyuntikan
insulin) dan pemeriksaan neurologis
9.
tanda-tanda penyakit lain yang dapat menimbulkan diabetes melitus tipelain
Pemeriksaan Penunjang
1.
glukosa darah puasa dan 2 jam post prandial
2.
A1C
3.
profil lipid pada keadaan puasa (kolesterol total, HDL, LDL, trigliserida)
4.
kreatinin serum
5.
albuminuria
6.
keton, sedimen dan protein dalam urin
7.
elektrokardiogram
8.
foto sinar-x dada
Diagnosis diabetes melitus ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar
glukosa darah. Diagnosis diabetes melitus tidak dapat ditegakkan atas dasar
adanya glukosuria. Guna penentuan diagnosis diabetes melitus, pemeriksaan
glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik
dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh
(whole blood), vena ataupun kapiler tetap dapat dipergunakan dengan
memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai
pembakuan oleh WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil
pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa
darah kapiler.

Diagnosis diabetes melitus dapat ditegakkan melalui tiga cara. Pertama, jika
keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200
mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis diabetes melitus. Kedua,
dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa yang lebih mudah dilakukan,
mudah diterima oleh pasien serta murah, sehingga pemeriksaan ini
dianjurkan untuk diagnosis diabetes melitus. Ketiga dengan TTGO. Meskipun
TTGO dengan beban 75 g glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding
dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun memiliki keterbatasan
tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek
sangat jarang dilakukan.
Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau diabetes
melitus, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok TGT atau GDPT
tergantung dari hasil yang diperoleh.
TGT: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan
glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140 199 mg/dL (7.8-11.0
mmol/L).
GDPT: Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma
puasa didapatkan antara 100 125 mg/dL (5.6 6.9 mmol/L).
Gejala diabetes melitus ditambah gula darah sewaktu 200 mg/dl (11,1
mmol/l) atauglukosa
darah
puasa
(GDP)

126
mg/dl
(7,0
mmol/l) atau glukosa darah 2 jam sesudah beban glukosa (GD 2 jam PP)
200 mg/dl (11,1 mmol/l) dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO).
TTGO: beban glukosa = 75 gr glukosa anhidrous (gula) dicairkan dalam air
TTGO tidak direkomendasikan untuk pemeriksaan rutin.
Kriteria tersebut harus dikonfirmasi pada hari berikutnya.
Kategori yang berhubungan dengan nilai GDP:
GDP < 110 mg (6,1 mmol/l) = normal
GDP 110 mg (6,1 mmol/l) dan < 126 mg/dl (7,0 mmol/l) = Glukosa
Puasa Terganggu (Impaired Fasting Glucose/IFG)
3.
GDP 126 mg/dl (7,0 mmol/l) = DM
1.
2.

Kategori yang berkaitan dengan TTGO:


Glukosa 2 jam sesudah beban glukosa < 140 mg/dl (7,8 mmol/l) = normal
toleransi glukosa.
Glukosa 2 jam sesudah beban glukosa 140 mg/dl (7,8 mmol/l) dan <
200 mg/dl (11,1 mmol/l) = Glukosa Toleransi Terganggu (Impaired Glucose
Tolerance/IGT)
4.
Glukosa 2 jam sesudah beban glukosa 200 mg/dl (11,1 mmol/l) = DM
Penatalaksanaan3
1.
2.
3.

Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatnya kualitas


hiduppenyandang diabetes. Tujuan penatalaksanaan secara khusus dibagi
kepada dua yaitu:
1. Jangka pendek: hilangnya keluhan dan tanda diabetes melitus,
mempertahankan rasa nyaman dan tercapainya target pengendalian glukosa
darah.
2. Jangka panjang: tercegah dan terhambatnya progresivitas penyulit
mikroangiopati, makroangiopati dan neuropati. Tujuan akhir pengelolaan
adalah turunnya morbiditas dan mortalitas diabetes melitus.
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa
darah, tekanan darah, berat badan dan profil lipid, melalui pengelolaan
pasien secara holistik. Pengelolaan diabetes melitus dimulai dengan
pengaturan makan dan latihan jasmani selama beberapa waktu (2-4
minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran, dilakukan
intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau
suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara
tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan
dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat
badan yang menurun dengan cepat, adanya ketonuria, insulin dapat segera
diberikan. Pengetahuan tentang pemantauan mandiri, tanda dan gejala
hipoglikemia dan cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien,
sedangkan pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara
mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus.
Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku
telah terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes
memerlukan partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim
kesehatan mendampingi pasien dalam menuju perubahan perilaku. Untuk
mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang
komprehensif dan upaya peningkatan motivasi.
Terapi Gizi Medis
Terapi Gizi Medis (TGM) merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes
secara total. Kunci keberhasilan TGM adalah keterlibatan secara menyeluruh
dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain dan pasien
itu sendiri). Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TGM
sesuai dengan kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi. Prinsip
pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran
makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai
dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada
penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam
hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang

menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin. Intervensi


farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum tercapai dengan
pengaturan makan dan latihan jasmani.
Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari:
Karbohidrat
Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi.
Pembatasan karbohidrat total <130 dianjurkan.="dianjurkan." g="g"
hari="hari" tidak="tidak">
Makanan harus mengandung karbohidrat terutama yang berserat tinggi.
Gula dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang diabetes dapat
makan sama dengan makanan keluarga yang lain
Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.
Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti gula, asal tidak
melebihi batas aman konsumsi harian (Accepted Daily Intake)
Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat dalam
sehari. Kalau diperlukan dapat diberikan makanan selingan buah atau
makanan lain sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.

Lemak
Asupan
lemak
dianjurkan
sekitar
20-25%
kebutuhan
kalori.
Tidak diperkenankan melebihi 30% total asupan energi.
Lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori
Lemak tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak jenuh
tunggal.
Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung
lemak jenuh dan lemak trans antara lain : daging berlemak dan susu penuh
(whole milk).
Anjuran konsumsi kolesterol < 300 mg/hari.
Protein
Dibutuhkan sebesar 10 20% total asupan energi.
Sumber protein yang baik adalah seafood (ikan, udang, cumi, dll), daging
tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacangkacangan, tahu, tempe.
Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan protein menjadi 0,8
g/kg BB perhari atau 10% dari kebutuhan energi dan 65% hendaknya bernilai
biologik tinggi.
Natrium
Anjuran asupan natrium untuk penyandang diabetes sama dengan anjuran
untuk masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan
6-7 g (1 sendok teh) garam dapur.

Mereka yang hipertensi, pembatasan natrium sampai 2400 mg garam


dapur.
Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan bahan
pengawet seperti natrium benzoat dan natrium nitrit.
Serat
Seperti halnya masyarakat umum penyandang diabetes dianjurkan
mengonsumsi cukup serat dari kacang-kacangan, buah dan sayuran serta
sumber karbohidrat yang tinggi serat, karena mengandung vitamin, mineral,
serat dan bahan lainyang baik untuk kesehatan.
Anjuran konsumsi serat adalah 25 g/1000 kkal/hari.
Pemanis alternatif
Pemanis dikelompokkan menjadi pemanis bergizi dan pemanis tak bergizi.
Termasuk pemanis bergizi adalah gula alkohol dan fruktosa.
Gula
alkohol
antara
lain isomalt,
lactitol,
maltitol,
mannitol, sorbitol danxylitol.
Dalam penggunaannya, pemanis bergizi perlu diperhitungkan kandungan
kalorinya sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.
Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada penyandang diabetes karena
efek samping pada lemak darah.
Pemanis tak bergizi termasuk: aspartam, sakarin, acesulfame potassium,
sukralose, neotame.
Pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman (Accepted
Daily Intake/ADI)
Kebutuhan kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan
penyandang diabetes. Di antaranya adalah dengan memperhitungkan
kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-30 kalori / kg BB ideal, ditambah
atau dikurangi bergantung pada beberapa faktor yaitu jenis kelamin, umur,
aktivitas, berat badan, dll.
Perhitungan berat badan Ideal (BBI) dengan rumus Brocca yang dimodifikasi
adalah:
Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150
cm, rumus dimodifikasi menjadi:
Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
BB
Normal : BB ideal 10 %
Kurus : < BBI - 10 %
Gemuk : > BBI + 10 %

Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh


Indeks massa tubuh dapat dihitung dengan rumus: IMT = BB(kg)/TB(m2)
Klasifikasi IMT*
BB Kurang <18 span="span">
BB Normal 18,5-22,9
BB Lebih >23,0
Dengan risiko 23,0-24,9
Obes I 25,0-29,9
Obes II >30
*: WHO WPR/IASO/IOTF dalam The Asia-Pacific Perspective: Redefining
Obesity and its Treatment.
Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain :
Jenis Kelamin: Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil daripada pria.
Kebutuhan kalori wanita sebesar 25 kal/kg BB dan untuk pria sebesar 30
kal/kg BB.
Umur: Untuk pasien usia di atas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5%
untuk dekade antara 40 dan 59 tahun, dikurangi 10% untuk usia 60 s/d 69
tahun dan dikurangi 20%, di atas 70 tahun.
Aktivitas Fisik atau Pekerjaan: kebutuhan kalori dapat ditambah sesuai
dengan intensitas aktivitas fisik dan penambahan sejumlah 10% dari
kebutuhan basal diberikan pada kedaaan istirahat, 20% pada pasien dengan
aktivitas ringan, 30% dengan aktivitas sedang, dan 50% dengan aktivitas
sangat berat.
Berat Badan: Bila kegemukan dikurangi sekitar 20-30% ber-gantung
kepada tingkat kegemukan malah bila kurus ditambah sekitar 20-30% sesuai
dengan kebutuhan untuk meningkatkan BB. Untuk tujuan penurunan berat
badan jumlah kalori yang diberikan paling sedikit 1000 - 1200 kkal perhari
untuk wanita dan 1200-1600 kkal perhari untuk pria. Makanan sejumlah
kalori terhitung dengan komposisi tersebut di atas dibagi dalam 3 porsi besar
untuk makan pagi (20%), siang (30%) dan sore (25%) serta 2-3 porsi
makanan ringan (10-15%) di antaranya. Untuk meningkatkan kepatuhan
pasien, sejauh mungkin perubahan dilakukan sesuai dengan kebiasaan.
Untuk penyandang diabetes yang mengidap penyakit lain, pola pengaturan
makan disesuaikan dengan penyakit penyertanya.

Latihan jasmani
Olahaga:
C: Continyu : 30 menit 3-4 kali seminggu
R: Ritmik : jogging, jalan kaki, bersepeda
I : Intensitas
P: Progresif : dinaikkan bertahap
E: Endurance

Latihan jasmani mempunyai peran yang sangat penting dalam


penatalaksanaan diabetes melitus tipe 2. Latihan jasmani dapat
memperbaiki sensitifitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa
dan selain itu dapat pula menurunkan berat badan. Disamping kegiatan
jasmani sehari-hari, dianjurkan juga melakukan latihan jasmani secara
teratur (3-4 kali seminggu) selama kurang lebih 30 menit. Kegiatan yang
dapat dilakukan adalah jalan atau bersepeda santai, bermain golf atau
berkebun. Bila hendak mencapai tingkat yang lebih baik dapat dilakukan
kegiatan seperti dansa, jogging, berenang, atau dengan cara melakukan
kegiatan sebelumnya dengan waktu yang lebih panjang. Latihan jasmani
sebaiknya disesuaikan dengan umur, kondisi social ekonomi, budaya dan
status kesegaran jasmaninya.
Intervensi farmakologis
1. Obat hipoglikemik oral (OHO)
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 golongan:

Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid

Penambah sensitivitas terhadap insulin: metformin, tiazolidindion

Penghambat glukoneogenesis (metformin)

Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa.


Pemicu Sekresi Insulin

Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh
sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat
badan normal dan kurang, namun masih boleh diberikan kepada pasien
dengan berat badan lebih. Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan
pada berbagai keadaaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati,
kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan
sulfonilurea kerja panjang.

Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea,
dengan penekanan pada meningkatkan sekresi insulin fase pertama.
Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu: Repaglinid (derivat asam
benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan
cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui
hati.

Penambah sensitivitas terhadap insulin


Tiazolidindion
Tiazolidindion
(rosiglitazon
dan
pioglitazon)
berikatan
pada PeroxisomeProliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-), suatu
reseptor inti di sel otot dan sel lemak. Golongan ini mempunyai efek
menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein

pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer.


Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung klas I-IV
karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga pada gangguan
faal hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan
pemantauan faal hati secara berkala.
Penghambat glukoneogenesis
Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer.
Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Metformin
dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum
kreatinin > 1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan
hipoksemia (misalnya penyakit serebro- vaskular, sepsis, renjatan, gagal
jantung). Metformin dapat memberikan efek samping mual. Untuk
mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat atau sesudah
makan.
Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose)
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus,
sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah
makan. Acarbose tidak menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek
samping yang paling sering ditemukan ialah kembung dan flatulens.

2. Insulin
Kadar glukosa darah merupakan kunci pengatur sekresi insulin oleh sel-sel
beta pankreas, walaupun asam amino, keton, peptida gastrointestinal dan
neurotransmitter juga mempengaruhi sekresi insulin. Kadar glukosa darah
yang > 3,9 mmol/L (70 mg/dl) merangsang sekresi insulin. 1,2 Sekresi insulin
fisiologis terdiri dari sekresi basal dan sekresi prandial. Terapi insulin
diupayakan mampu meniru pola sekresi insulin yang fisiologis. Defisiensi
insulin mungkin berupa defisiensi insulin basal, insulin prandial atau
keduanya. Defisiensi insulin basal menyebabkan timbulnya hiperglikemia
pada keadaan puasa, sedangkan defisiensi insulin prandial akan
menimbulkan hiperglikemia setelah makan. Terapi insulin untuk substitusi
ditujukan untuk melakukan koreksi terhadap defisiensi yang terjadi.
Terapi insulin dapat diberikan secara tunggal (satu macam) berupa: insulin
kerja cepat (rapid insulin), kerja pendek (short acting), kerja menengah
(intermediate acting), kerja panjang (long acting) atau insulin campuran
tetap (premixed insulin). Pemberian dapat pula secara kombinasi antara
jenis insulin kerja cepat atau insulin kerja pendek untuk koreksi defisiensi
insulin prandial, dengan kerja menengah atau kerja panjang untuk koreksi
defisiensi insulin basal. Juga dapat dilakukan kombinasi dengan OHO. Terapi
insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan

respons individu terhadap insulin, yang dinilai dari hasil pemeriksaan kadar
glukosa darah harian. Penyesuaian dosis insulin dapat dilakukan dengan
menambah 2-4 unit setiap 3-4 hari bila sasaran terapi belum tercapai. Insulin
bekerja dengan menekan produksi glukosa hati dan stimulasi pemanfaatan
glukosa.

3.

Insulin diperlukan pada keadaan:


Penurunan berat badan yang cepat
Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
Ketoasidosis diabetik
Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
Hiperglikemia dengan asidosis laktat
Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal
Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali
dengan perencanaan makan
Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
Terapi kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk
kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa
darah.
Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan
dapat dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO sejak dini.
Terapi dengan OHO kombinasi, harus dipilih dua macam obat dari kelompok
yang mempunyai mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa
darah belum tercapai, dapat pula diberikan kombinasi tiga OHO dari
kelompok yang berbeda atau kombinasi OHO dengan insulin.
Pada pasien yang disertai dengan alasan klinik di mana insulin tidak
memungkinkan untuk dipakai dipilih terapi dengan kombinasi tiga OHO.
Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak dipergunakan adalah
kombinasi OHO dan insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja
panjang) yang diberikan pada malam hari menjelang tidur. Dengan
pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat diperoleh kendali glukosa
darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin
kerja menengah adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00,
kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar glukosa
darah puasa keesokan harinya. Bila dengan cara seperti di atas kadar
glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali, maka obat hipoglikemik
oral dihentikan dan diberikan insulin saja.

Komplikasi
Komplikasi diabetes yang dapat terjadi dibedakan menjadi dua yaitu
komplikasi akut dan komplikasi kronik. Komplikasi akut berupa koma
hipoglikemi, ketoasidosis diabetik, koma hiperosmolar nonketotik. Komplikasi
kronik dapat berupa makroangiopati, mikroangiopati, neuropati diabetik,
infeksi, kaki diabetik, dan disfungsi ereksi.

Komplikasi Akut
Koma Hipoglikemia19
Hipoglikemia pada pasien diabetes melitus tipe 2 merupakan faktor
penghambat utama dalam mencapai sasaran kendali glukosa darah normal
atau mendekati normal. Hipoglikemi secara harfiah berarti kadar glukosa
darah dibawah harga normal. Faktor utama mengapa hipoglikemi perlu
mendapat perhatian dalam pengelolaan diabetes melitus adalah karena
adanya ketergantungan jaringan saraf terhadap asupan glukosa yang terus
menerus. Gangguan asupan glukosa yang berlangsung beberapa menit
menyebabkan gangguan fungsi sistem saraf pusat (SSP) dengan gejala
gangguan kognisi, bingung, dan koma. Seperti jaringan lain, jaringan saraf
dapat memanfaatkan sumber energi alternatif, yaitu keton dan laktat. Pada
hipoglikemi yang disebabkan, insulin konsentrasi keton di plasma tertekan
dan mungkin tidak mencapai kadar yang cukup di SSP, sehingga tidak dapat
dipakai sebagai sumber energi alternatif.
Ketoasidosis Diabetik20

Ketoasidosis diabetik adalah suatu keadaan dimana terdapat defisiensi


insulin absolute atau relatif dan peningkatan hormon kontraregulator
sehingga keadaan tersebut menyebabkan produksi glukosa hati meningkat
tetapi utilasi glukosa oleh sel tubuh menurun, dengan hasil akhir
hiperglikemia. Kombinasi keadaan ini mengaktivasi hormon lipase sensitif
pada jaringan lemak sehingga lipolisis meningkat terjadi peningkatan
produksi benda keton dan asam lemak bebas secara berlebihan. Akumulasi
produksi benda keton oleh sel hati dapat menyebabkan metabolik asidosis.
Keton merupakan senyawa kimia beracun yang dapat menyebabkan darah
menjadi asam (ketoasidosis).
Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik21
Koma hiperosmolar hiperglikemik nonketotik (HNNK) merupakan salah satu
komplikasi akut atau emergensi pada penyakit diabetes melitus. Sindroma
hiperosmolar hiperglikemik nonketotik ditandai dengan hiperglikemia,
hiperosmolar tanpa disertai adanya ketosis. Faktor pencetus dapat dibagi
menjadi enam kategori yaitu; infeksi, pengobatan, noncompliance, diabetes
melitus tidak terdiagnosis, penyalahgunaan obat, dan penyakit penyerta.
Infeksi dan compliance yang buruk merupakan penyebab tersering dari
komplikasi ini.
Kompliksasi Kronik
Makroangiopati3,22,23
Pada penderita diabetes melitus, kadar gula dalam darah yang terus
menerus tinggi dapat merusak pembuluh darah. Zat kompleks yang
terdiridari gula di dalam dinding pembuluh darah menyebabkan pembuluh
darah menebal dan mengalami kebocoran. Akibat penebalan ini maka aliran
darah akan berkurang, terutama yang menuju ke kulit dan saraf.
Kadar gula darah yang tidak terkontrol juga cenderung menyebabkan kadar
zat berlemak dalam darah meningkat, sehingga mempercepat terjadinya
aterosklerosis. Penyebab aterosklerosis pada penderita diabetes melitus tipe
2 bersifat multifaktorial yang melibatkan interaksi kompleks dari berbagai
keadaan seperti hiperglikemi, hiperlipidemi, stres oksidatif, penuaan dini,
hiperinsulinemi dan atau hiperproinsulinemi serta perubahan-perubahan
dalam proses koagulasi dan fibrinolisis. Hipotesis terbaru mengatakan bahwa
awal terjadinya lesi aterosklerosis yaitu berupa adanya perubahanperubahan fungsi sel endotel. Disfungsi endotel dapat terjadi baik pada
penderita diabetes melitus tipe 2 dan juga penderita diabetes melitus tipe 1
terutama bila telah terjadi manifestasi klinis mikroalbuminuria. Penelitian
terbaru menunjukkan bahwa disfungi endotel juga dapat terjadi pada
individu dengan resistensi insulin (pasien obese) atau yang mempunyai
resiko tinggi untuk menderita diabetes melitus tipe 2 (toleransi glukosa
terganggu) dan penderita diabetes gestasi.

Plak ateroskleorotik yang terbentuk dapat menyumbat arteri berukuran


besar atau sedang di pembuluh darah teri, jantung, dan otak. Penyumbatan
pembuluh darah tepi sering terjadi pada penyandang diabetes melitus.
Biasanya terjadi dengan gejala tipikal intermittent claudicatio, meskipun
sering tanpa gejala. Terkadang ulkus iskemik kaki merupakan kelainan yang
muncul pertama. Sedangkan penyumbatan pembuluh darah di jantung
menyebabkan penyakit jantung koroner, dan penyumbatan di otak
menyebabkan stroke.
Mikroangiopati
Retinopati Diabetik24
Pasien diabetes melitus memiliki resiko 25 kali lebih mudah mengalami
kebutaan dibanding pasien nondiabetes. Resiko mengalami retinopati pada
pasien diabetes melitus meningkat sejalan dengan lamanya diabetes
melitus. Penyebab dari retinopati diabetik sampai saat ini belum diketahui
secara pasti, namun hiperglikemia yang berlangsung lama dianggap sebagai
faktor resiko utama. Ada tiga proses biokimiawi yang terjadi pada
hiperglikemia yang diduga berkaitan erat dengan terjadinya retinopati pada
pasien diabetes yaitu jalur poliol, glikasi nonenzimatik dan pembentukkan
protein kinase C.
Nefropati Diabetik25
Nefropatik diabetik adalah sindroma klinis pada pasien diabetes melitus yang
ditandai dengan albuminuria menetap (>300mg/24jam atau >200ig/menit)
pada minimal 2 kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3 sampai 6 bulan.
Mikroalbuminuria pada umumnya didefinisikan sebagai ekskresi albumin
lebih dari 30 mg per hari. Lebih spesifik lagi suatu keadaan dikatakan
mikroalbuminuria apabila laju ekskresi albumin urin dalam 24 jam 30 - 300
mg dan laju ekskresi albumin urin sewaktunya 20 - 200 g/menit serta
perbandingan albumin urin kreatininnya 30 - 300g/menit. Mikroalbumin
dianggap sebagai predikator penting untuk timbulnya nefropati diabetik.
Kelainannya yang terjadi pada ginjal penyandang diabetes melitus dimulai
dengan adanya mikroalbuminuria kemudian berkembang menjadi proteinuria
secara klinis berlanjut dengan penurunan fungsi laju filtrasi glomerular dan
berakhir dengan keadaan gagal ginjal.
Neuropati Diabetik26
Definisi neuropati diabetik menurut konfrensi neuropati perifer pada bulan
Februari 1988 di San Antonio adalah istilah deskriptif yang menunjukkan
adanya gangguan, baik klinis maupun subklinis, yang terjadi pada diabetes
melitus tanpa penyebab neuropati perifer yang lain. Gangguan nuropati ini
termasuk manifestasik somatik dan atau autonom dari sistem saraf perifer.
Proses
kejadian
neuropati
dtabetik
berawal
dari
hiperglikemia

berkepanjangan yang berakibat terjadinya peningkatan aktivitas jalur poliol,


sintesis advance glycosilation end products (AGEs), pembentukkan radikal
bebas dan aktivasi protein kinase C (PKC). Akivasi berbagai jalur ini berujung
pada kurangnya vasodilatasi sehingga alran darah ke saraf menurun dan
bersama rendahnya mioinositol dalam sel terjadilah neuropati diabetik.
Infeksi3
Adanya infeksi pada penderita diabetes sangat berpengaruh terhadap
pengendalian glukosa darah. Infeksi dapat memperburuk kendali glukosa
darah, dan kadar glukosa darah yang tinggi meningkatkan kemudahan atau
memperburuk infeksi. Infeksi yang banyak terjadi antara lain adalah infeksi
saluran kemih (ISK), infeksi saluran nafas, infeksi kulit, infeksi rongga mulut,
dan infeksi telinga.
Kaki diabetik27
Kaki diabetik merupakan salah satu komplikasi kronik diabetes melitus yang
paling ditakuti. Kaki diabetik sering berakhir dengan kecacatan dan
kematian. Patofisiologi dari kaki diabetik diawali adanya hiperglikemi pada
pasien diabetes melitus yang menyebabkan kelainan neuropati dan kelainan
pada pada pembuluh darah. Kelainan neuropati menyebabkan berbagai
perubahan pada kulit dan otot yang pada akhirnya akan menyebabkan
terjadinya perubahan distribusi tekanan pada telapak kaki dan selanjutnya
mempermudah terjadinya ulkus. Infeksi yang luas mudah terjadi karena
adanya kerentanan terhadap infeksi.
Disfungsi Ereksi3
Prevalensi disfungsi ereksi pada diabetes melitus tipe 2 cukup tinggi.
Disfungsi ereksi pada penyandang diabetes tipe 2 merupakan akibat adanya
neuropati autonom, angiopati, dan problema psikis. Komplikasi ini menjadi
sumber kecemasan penyandang diabetes, tetapi jarang disampaikan kepada
dokter, oleh karena itu perlu ditanyakan pada saat konsultasi.
Prognosis28
Kematian adalah dua sampai tiga kali lebih tinggi di antara orang dengan
diabetes tipe 2 dibandingkan pada populasi umum. Sebanyak 75% orang
dengan diabetes melitus tipe 2 akan mati karena penyakit jantung dan 15%
dari stroke. Angka kematian akibat penyakit kardiovaskuler hingga lima kali
lebih tinggi pada orang dengan diabetes dibandingkan orang tanpa
diabetes. Untuk setiap kenaikan 1% pada level HbA1c, resiko kematian dari
penyebab diabetes meningkat terkait dengan 21%.

Anda mungkin juga menyukai