Anda di halaman 1dari 4

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Stroke atau yang dikenal juga dengan istilah Gangguan Peredaran Darah Otak
(GPDO), merupakan suatu sindrom yang diakibatkan oleh adanya gangguan aliran darah
pada salah satu bagian otak yang menimbulkan gangguan fungsional otak berupa defisit
neurologik atau kelumpuhan saraf. Stroke disebabkan oleh keadaan ischemic atau proses
hemorrhagic yang seringkali diawali oleh adanya lesi atau perlukaan pada pembuluh darah
arteri. Dari seluruh kejadian stroke, duapertiganya adalah ischemic dan sepertiganya
adalah hemorrhagic. Disebut stroke ischemic karena adanya sumbatan pembuluh darah
oleh thromboembolic yang mengakibatkan daerah di bawah sumbatan tersebut mengalami
ischemic. Hal ini sangat berbeda dengan stroke hemorrhagic yang terjadi akibat adanya
mycroaneurisme yang pecah. (Cintya Agreayu Dinata, dkk ; 2013).
Di Negara-negara ASEAN penyakit stroke juga merupakan masalah kesehatan
utama yang menyebabkan kematian. Dari data South East Asian Medical Information
Centre (SEAMIC) diketahui bahwa angka kematian stroke terbesar terjadi di Indonesia
yang kemudian diikuti secara berurutan oleh Filipina, Singapura, Brunei, Malaysia dan
Thailand. Dari seluruh penderita stroke di Indonesia, stroke ischemic merupakan jenis yang
paling banyak diderita yaitu sebesar 52,9 % diikuti secara berurutan oleh perdarahan
intraserebral, emboli dan perdarahan

subarachnoid dengan angka kejadian

masing-

masingnya sebesar 38,5%, 7,2% dan 1,4%. Diperkirakan setiap tahun terjadi 500.000
penduduk

terkena serangan stroke, sekitar 2,5 % atau 125.000 orang meninggal dan

sisanya cacat ringan maupun berat. Stroke merupakan penyakit nomor tiga yang
mematikan setelah jantung dan kanker. Jumlah penderita stroke di Rumah Sakit Syaiful
Anwar (RSSA) Malang tercatat sebanyak 56 orang pada Januari dan 63 orang pada
Februari 2007. Jumlah ini naik lagi pada Mei hingga mencapai 76 orang (Permatasari,
2011).
Sebagian besar kasus stroke terjadi secara mendadak, sangat cepat dan
menyebabkan kerusakan otak dalam beberapa menit. Kemudian stroke dapat bertambah
parah dalam hitungan jam 1-2 hari akibat luasnya otak yang mati. Infark jaringan serebral
yang mengenai hemisphere kanan dan hemisphere kiri menyebabkan terjadinya hemiplagi
kiri dan kanan yang menyebabkan kelemahan fisik. Dari kelemahan fisik dapat
menimbulkan kekuataan otot klien menurun, atrofi otot, kontraktur, deformitas, tonus otot
dan pergerakan terbatas. Pemulihan fisik yang lebih cepat dan optimal salah satunya

dengan melatih persendian dengan melakukan gerakan Range of Motion (ROM) untuk
mempertahankan kekuatan otot maka klien akan terhindar dari komplikasi dan imobilisasi.
Gerakan Range of Motion sendiri dapat memberikan manfaat untuk menentukan nilai
kemampuan sendi tulang dan otot dalam melakukan pergerakan, memperbaiki tonus otot,
memperbaiki toleransi otot kemudian akan meningkatkan mobilitas pasien (PERDOSSI,
2007).
ROM sebaiknya dilakukan minimal 5 kali seminggu untuk mendapakan hasil yang
efektif, dimana lama pemberian untuk masing-masing esktremitas 20-30 menit dan lama
pemberian latihan selama 2-4 jam. Setiap akan pindah dari ekstremitas yang satu ke
ekstremitas yang lain diistirahatkan selama 2-5 menit untuk memberikan kesempatan
kepada pasien melakukan inspirasi, serta untuk mengobservasi keadaan umum pasien
(Misbach, 2010). Pasien stroke sebagian besar merupakan pasien yang masuk dalam
kategori total care karena membutuhkan 2 orang atau lebih untuk mobilisasi dari tempat
tidur, membutuhkan latihan pasif, membutuhkan nutrisi dan cairan melalui infuse atau NG
Tube, serta membutuhkan bantuan untuk pelaksanaan ADL (Activity Daily Living). Pasien
total care membutuhkan lama perawatan sekitar 4-6 jam per pasien per 24 jam
(Basjiruddin, 2008). Sehingga untuk pelaksanaan ROM secara rutin dan kepada seluruh
pasien akan meningkatkan beban kerja perawat ruangan (Basruddin, 2008).
British Journal Of Neuroscience Nursing memodifikasi ROM dengan durasi
pelaksanaan 2-4 jam setiap kali latihan menjadi 10 menit latihan per harinya menggunakan
metode Twisting Raising Hips Kicking (TRK) tanpa mengurangi efektifitas dalam
pencegahan terjadinya atrofi otot. Metode ini dapat digunakan untuk meminimalkan beban
kerja perawat karena durasi pelaksanaan ROM yang lebih singkat. Selain itu, kolaborasi
dengan rehabilitasi medik penting untuk dilakukan mengingat rehab medik memberikan
pelayanan kesehatan guna meningkatkan kemampuan fungsional pasien sesuai dengan
potensi yang dimiliki melalui kegiatan fisioterapi untuk pemulihan dan pencegahan
gangguan sistem gerak dan fungsi tubuh (Cintya Agreayu Dinata, dkk ; 2013). Pada
kenyataannya, dalam penerapan di lapangan masih sering dijumpai adanya tumpang tindih
peran dan fungsi dari perawat serta rehab medik dikarenakan belum adanya manajemen
terpadu yang mengatur dengan jelas tugas masing-masing. Sehingga pelaksanaan ROM
ini

sering

tidak

efektif

dilakukan

di

ruangan.

Karena

itu

untuk

memperjelas

penatalaksanaan stroke yang berhubungan dengan ROM mulai dari fase akut, ruang
perawatan, perencanaan pulang hingga ke rehabilitasi medik, maka penulis mengangkat
judul : Manajemen Terpadu Range of Motion (ROM) Pasif dengan Metode Twisting
Raising Hips Kicking (TRK) untuk Mencegah Atrofi Otot, yang diharapkan mampu

memberikan penatalaksanaan yang lebih efektif sehingga dapat mengurangi angka


kejadian atrofi otot.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimanakah manajemen terpadu Range of Motion (ROM) pasif dengan metode Twisting
Raising Hips Kicking (TRK) untuk mencegah atrofi otot kaki pada pasien stroke onset
akut?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Membuat manajemen terpadu Range of Motion (ROM) pasif dengan metode Twisting
Raising Hips Kicking (TRK) untuk mencegah atrofi otot kaki pada pasien stroke onset
akut.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui metode pelaksanaan Range of Motion (ROM) pasif berdasarkan British
Journal Of Neuroscience Nursing.
2. Mengetahui metode pelaksanaan Range of Motion (ROM) pasif berdasarkan
pelaksanaan di ruangan.
3. Mengetahui metode pelaksanaan Range of Motion (ROM) pasif berdasarkan
pelaksanaan di ruang rehabilitasi medik.
4. Membuat manajemen terpadu pelaksanaan Range of Motion (ROM) pasif mulai dari
onset akut hingga rehabilitasi.
1.4 Manfaat Praktis
1. Memperjelas peran dan fungsi perawat serta rehabilitasi medik dalam kolaborasi
penanganan pasien stroke terkait pelaksanaan Range of Motion (ROM) pasif.
2. Membantu meminimalisir lama perawatan dan jumlah biaya yang dikeluarkan pasien
akibat komplikasi stroke yang mungkin terjadi.
3. Mempersiapkan pasien dan keluarga dalam perencanaan pulang sehingga
meminimalisir terjadinya kekambuhan dan kecacatan.
4. Memberikan masukan dan tinjauan ulang terhadap pelaksanaan Range of Motion
(ROM) pasif di IRNA 1 RSU dr. Saiful Anwar Malang dengan mengedepankan fungsi
kolaborasi dari berbagai bidang profesi kesehatan.

DAFTAR PUSTAKA
Cintya Agreayu Dinata, dkk. 2013. Gambaran Faktor Risiko dan Tipe Stroke pada Pasien
Rawat Inap di Bagian Penyakit Dalam RSUD Kabupaten Solok Selatan Periode 1
Januari 2010-31 Juni 2012. Jurnal Kesehatan Andalan, Ed. 2
Permatasari, Dwita. 2011. Kejadian Hiperkolesterolemia Disertai Hipertensi dan Diabetes
Mellitus pada Penderita Stroke Trombotik Akut. Bulletin Penelitian RSUD Dr.
Soetomo, 13 (3), 112-120.
PERDOSSI. Pedoman Penatalaksanaan Stroke. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia (PERDOSSI), 2007
Misbach J. Clinical Pattern of Hospitalized Stroke in 28 Hospitals in Indonesia. Med J Indonesia
2010; 9: 29-34
Basruddin, Darwin Amir. 2008. Buku Ajar Ilmu Penyakit Saraf (Neurologi) edisi 1. Bagian Ilmu
Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Andalas

Anda mungkin juga menyukai