Anda di halaman 1dari 6

Trauma Tumpul Abdomen

1. Definisi
Trauma adalah sebuah mekanisme yang disengaja ataupun tidak disengaja
sehingga menyebabkan luka (Amro, 2006). Trauma pada abdomen terbagi berdasarkan
kejadian, yaitu trauma tumpul dan trauma tembus (Srivathsan, 2009).
Trauma tumpul meliputi benturan langsung, pukulan, kompresi, dan deselerasi
(cedera perlambatan). Dapat juga terjadi counter coup, yaitu trauma tumpul yang berat,
tidak ada luka di luar, tapi ada jejas organ di viscera akibat desakan luka atau organ
viscera. Trauma intraabdomen karena hantaman sering dikaitkan dengan faktor
tumbukan antara orang yang cedera dan kondisi di luar tubuh individu tersebut, serta
kekuatan akselerasi dan deselerasi yang bekerja terhadap organ dalam abdomen
(Srivathsan, 2009).
2. Mekanisme
Cedera struktur intraabdomen dapat diklasifikasikan dalam 2 mekanisme utama,
yaitu tenaga kompresi (hantaman) dan tenaga deselerasi.
Tenaga kompresi (compression atau concussive forces) dapat berupa hantaman
langsung atau kompresi eksternal terhadap obyek yang terfiksasi. Hal yang sering terjadi
adalah hantaman menyebabkan sobek dan hematoma subkapsular pada organ padat
viscera. Hantaman juga dapat menyebabkan peningkatan tekanan intralumen pada organ
berongga dan menyebabkan ruptur (Salomone dan Salomone, 2011).
Tenaga deselerasi menyebabkan regangan dan sobekan linier organ-organ yang
terfiksasi. Cedera deselerasi klasik termasuk hepatic tear sepanjang ligamentum teres
dan cedera intima pada arteri renalis (Salomone dan Salomone, 2011).
Salomone dan Salomone (2011) menyatakan bahwa trauma tumpul akibat
hantaman secara umum dibagi ke dalam 3 mekanisme, yang pertama adalah ketika
tenaga deselerasi hantaman menyebabkan pergerakan yang berbeda arah dari struktur
tubuh yang permanen. Akibatnya, kekuatan hantaman menyebabkan organ viseral yang
padat serta vaskularisasi abdomen menjadi ruptur, terutama yang berada di daerah
hantaman.
Yang kedua adalah ketika isi dari intraabdomen terhimpit antara dinding depan abdomen
dan kolumna vertebralis atau posterior cavum thorax. Hal ini dapat merusak organ-organ
padat viscera seperti hepar, limpa dan ginjal. Ketiga adalah kekuatan kompresi eksternal
yang mengakibatkan peningkatan tekanan intra abdomen secara mendadak dan mencapai
puncaknya ketika terjadi ruptur organ.

3. Patofisiologi
Patofisiologi dari trauma tumpul abdomen terdiri atas :
a. Kehilangan darah
1) Limpa dan hepar memiliki banyak suplai dan simpanan darah sehingga terjadi
kehilangan darah dengan cepat.
2) Konsistensi jaringan hepar dan lien menyebabkan jaringan sulit melakukan proses
homeostasis.
3) Perdarahan pada kavum retroperitoneal sulit untuk dievaluasi dan didiagnosis.
b. Nyeri
1) Nyeri, kekakuan, tegang pada abdomen merupakan tanda klasik patologi
intraabdomen.
2) Nyeri tekan dan defans muskular disebabkan karena pergerakan yang tiba-tiba
dan iritasi membran peritoneal hingga ke dinding abdomen.
3) Iritasi disebabkan adanya darah atau isi lambung pada kavum peritoneal.
4) Cedera duodenum dan pankreas menyebabkan perdarahan dan berefek
mengaktifkan enzim di sekitar jaringan sehingga memicu peritonitis kimiawi area
retroperitoneal. Tanda dan gejala cedera pankreas dan duodenum adalah nyeri
tekan abdomen yang difus dan penjalaran nyeri pada area epigastrium sampai ke
punggung.
4. Pemeriksaan
a. Anamnesis
Secara umum, jangan menanyakan riwayat lengkap hingga cedera yang
mengancam nyawa teridentifikasi dan mendapat penatalaksanaan yang sesuai.
AMPLE sering digunakan untuk mengingat kunci dari anamnesis, yaitu Allergies,
Medications, Past medical history, Last meal or other intake, Events leading to
presentation (Salomone dan Salomone, 2011).
Udeani dan Seinberg (2011) menyatakan bahwa faktor penting yang
berhubungan dengan pasien trauma tumpul abdomen, khususnya yang berhubungan
dengan kecelakaan kendaraan bermotor perlu digali lebih lanjut, baik itu dari pasien,
keluarga, saksi, polisi, maupun paramedis. Hal-hal tersebut mencakup:
1) Proses kecelakaan dan kerusakan kendaraan
2) Waktu pembebasan (evakuasi) yang dibutuhkan
3) Apakah pasien meninggal
4) Apakah pasien terlempar dari kendaraan
5) Bagaimana fungsi peralatan keselamatan seperti sabuk pengaman dan airbag
6) Apakah pasien dalam pengaruh obat atau alkohol
7) Apakah ada cedera kepala atau tulang belakang
8) Apakah ada masalah psikiatri
Pada pasien anak, perlu digali apakah ada riwayat gangguan koagulasi atau
penggunaan obat-obat antiplatelet (seperti pada defek jantung kongenital) karena

dapat meningkatkan resiko perdarahan pada cedera intra abdomen (Wegner et. al.,
2006).
b. Pemeriksaan Fisik
Evaluasi pasien dengan trauma tumpul abdomen harus dilakukan dengan
semua cedera merupakan prioritas. Perlu digali apakah ada cedera kepala, sistem
respirasi, atau sistem kardiovaskular di luar cedera abdomen (Salomone dan
Salomone, 2011; Udeani dan Steinberg, 2011).
Pemeriksaan yang diperlukan adalah :
1) Pemeriksaan awal :
a) Setelah survey primer dan resusitasi dilakukan, fokus dilakukan pada
survey sekunder abdomen.
b) Untuk cedera yang mengancam jiwa yang membutuhkan pembedahan
segera, survey sekunder yang komprehensif dapat ditunda sampai kondisi
pasien stabil.
c) Pada akhir pemeriksaan awal dilihat kembali luka-luka ringan pada
penderita. Banyak cedera yang samar dan baru termanifestasikan kemudian.
2) Inspeksi :
a) Pemeriksaan abdomen untuk menentukan tanda-tanda eksternal dari cedera.
Perlu diperhatikan adanya area yang abrasi dan atau ekimosis.
b) Catat pola cedera yang potensial untuk trauma intra abdomen (seperti abrasi
karena sabuk pengaman, hantaman dengan papan kemudi-yang membentuk
contusio). Pada banyak penelitian, tanda (bekas) sabuk pengaman dapat
dihubungkan dengan ruptur usus halus dan peningkatan insidensi cidera
intra abdomen.
c) Observasi pola pernafasan karena pernafasan perut dapat mengindikasikan
cedera medulla spinalis. Perhatikan distensi abdomen, yang kemungkinan
berhubungan dengan pneumoperitoneum, dilatasi gastrik, atau ileus yang
diakibatkan iritasi peritoneal.
d) Bradikardi mengindikasikan adanya darah bebas di intra peritoneal pada
pasien dengan cedera trauma tumpul abdomen.
e) Cullen sign (ekimosis periumbilikal) menandakan adanya perdarahan
peritoneal, namun gejala ini biasanya muncul dalam beberapa jam sampai
hari. Memar dan edema panggul meningkatkan kecurigaan adanya cedera
retroperitoneal.
f) Inspeksi genital dan perineum dilakukan untuk melihat cedera jaringan
lunak, perdarahan, dan hematom.
3) Auskultasi :
a) Bising pada abdomen menandakan adanya penyakit vaskular atau fistula
arteriovenosa traumatik.

b) Suara usus pada rongga thoraks menandakan adanya cedera diafragmatika.


c) Selama auskultasi, palpasi perlahan dinding abdomen dan perhatikan
reaksinya.
4) Perkusi
a) Nyeri pada perkusi merupakan tanda peritoneal
b) Nyeri pada perkusi membutuhkan evaluasi lebih lanjut dan kemungkinan
besar konsultasi pembedahan.
5) Palpasi :
a) Palpasi seluruh dinding abdomen dengan hati-hati sembari menilai respon
pasien. Perhatikan massa abnormal, nyeri tekan, dan deformitas.
b) Konsistensi yang lunak dan terasa penuh dapat mengindikasikan perdarahan
intraabdomen.
c) Krepitasi atau ketidakstabilan kavum thoraks bagian bawah dapat menjadi
tanda potensial untuk cedera limpa atau hepar yang berhubungan dengan
cedera costae.
d) Ketidakstabilan pelvis merupakan tanda potensial untuk cedera traktus
urinarius bagian bawah, seperti hematoma pelvis dan retroperitoneal.
Fraktur pelvis terbuka berhubungan tingkat kematian sebesar 50%.
e) Pemeriksaan rektal dan bimanual vagina dilakukan untuk menilai
perdarahan dan cedera. Feces semestinya juga diperiksa untuk menilai
adakah perdarahan berat atau tersamar. Tonus rektal juga dinilai untuk
mengetahui status neurologis dari pasien.
f) Pemeriksaan sensori pada thoraks dan abdomen dilakukan untuk evaluasi
adanya cedera medulla spinalis. Cedera medulla spinalis bisa berhubungan
dengan penurunan atau bahkan tidak adanya persepsi nyeri abdomen pada
pasien.
g) Distensi abdomen dapat merupakan hasil dari dilatasi gastrik sekunder
karena bantuan ventilasi atau terlalu banyak udara.
h) Tanda peritonitits (seperti tahanan perut yang involunter, kekakuan) segera
setelah cedera menandakan adanya kebocoran isi usus.
i) Pipa nasogastrik seharusnya dipasang (jika tidak ada kontraindikasi seperti
fraktur basal kranii) untuk menurunkan tekanan lambung dan menilai
apakah ada perdarahan. Jika pasien mengalami cedera maxillofacial, lebih
baik dipasang pipa orogastrik. Selanjutnya kateter foley juga dipasang untuk
mengetahui produksi urin dan pengambilan sampel urinalisis untuk
pemeriksaan hematuri mikroskopis. Jika cedera urethra atau vesika urinaria
diduga karena fraktur pelvis, maka perlu dilakukan retrograde urethrogram
terlebih dahulu sebelum pemasangan kateter. Karena luasnya spektrum

cedera pada trauma tumpul abdomen, maka frekuensi evaluasi ulang


menjadi komponen penting dari menejemen pasien dengan trauma tumpul
abdomen. Survey tersier merupakan pengulangan survey primer dan
sekunder serta revisi semua hasil laboratorium dan radiografi. Pada sebuah
penelitian, survey tersier pada trauma dapat mendeteksi 56% cidera yang
terlewatkan selama penilaian awal dalam 24 jam pertama.
c. Pemeriksaan Laboratorium
Menurut Salomone dan Salomone (2011), pemeriksaan laboratorium yang
direkomendasikan untuk korban trauma adalah epemriksaan glukosa serum, darah
lengkap, kimia serum, amylase serum, urinalisis, pembekuan darah, golongan darah,
arterial blood gas (ABG), ethanol darah, dan tes kehamilan (untuk wanita usia
produktif).
d. Pemeriksaan Gambar
Penilaian awal paling penting pada pasien dengan trauma tumpul abdomen
adalah penilaian stabilitas hemodinamik. Pada pasien dengan hemodinamik yang
tidak stabil, evaluasi cepat harus dibuat untuk melihat adanya hemoperitoneum. Hal
ini dapat dapat dilakukan dengan DPL (Diagnostic Peritoneal Lavage) atau FAST
(Focused Abdominal Sonogram for Trauma) scan. Pemeriksaan radiografi abdomen
perlu dilakukan pada pasien yang stabil ketika pemeriksaan fisik kurang meyakinkan
(Hoff et al., 2001).
Pada pasien dengan trauma tumpul abdomen dan cedera multisistem,
ultrasonografi portabel dengan operator yang berpengalaman dapat dengan cepat
mengidentifikasi cairan bebas di intraperitoneal. Cedera organ berongga jarang
teridentifikasi, namun cairan bebas bisa tervisualisasi pada beberapa kasus
(Salomone dan Salomone,2011). Evaluasi FAST abdomen terdiri atas visualisasi
perikardium (dari lapang pandang subxiphoid), rongga splenorenal dan hepatorenal,
serta kavum Douglas pada pelvis. Tampilan pada kantong Morrison lebih sensitif,
terlebih jika etiologinya adalah cairan (Jehangir et al., 2002).
Cairan bebas pada umumnya diasumsikan sebagai darah pada trauma
abdomen. Cairan bebas pada pasien yang tidak stabil mengindikasikan perlu
dilakukan laparotomi emergensi, akan tetapi jika pasien stabil dapat dievaluasi
dengan CT scan (Feldman, 2006).
DPL digunakan sebagai metode cepat untuk menentukan adanya perdarahan
intraabdomen. DPL terutama berguna jika riwayat dan pemeriksaan abdomen
menunjukkan ketidakstabilan dan cedera multisistem atau tidak jelas. DPL juga

berguna untuk pasien dimana pemeriksaan abdomen lebih lanjut tidak dapat
dilakukan (Feldman, 2006).
Indikasi dilakukannya DPL pada trauma tumpul adalah :
1) Pasien dengan cedera medulla spinalis
2) Cedera multipel dan syok yang tidak bisa dijelaskan
3) Pasien dengan cedera abdomen
4) Pasien intoksikasi dimana ada kecenderungan cedera abdomen
5) Pasien dengan resiko cedera intra abdomen dimana dibutuhkan anestesi yang
lebih panjang untuk prosedur yang lain.
Kontraindikasi absolut untuk DPL adalah kebutuhan untuk laparotomi yang
nyata. Kontraindikasi relatif termasuk obesitas morbid, riwayat pembedahan
abdomen multipel, dan kehamilan. (Udeani dan Steinberg, 2011).

Daftar Pustaka
Amro, M (2006) Akut Abdomen. http://www.scribd.com/doc/25945432/Abdominal-Trauma
(Diakses 11 Mei 2013)
Feldman,

(2006)

Blunt

Abdominal

Trauma

Evaluation.

http://www.docstoc.com/docs/30321684/Blunt-Abdominal-Trauma-Evaluation
(Diakses 11 Mei 2013)
Hoff, W S, Holevar M, Nagy KK, Patterson L, Young JS, Arrillaga A, Najarian MP,
Valenziano CP (2001) Practice Management Guidelines for the Evaluation. Coatesville
: Eastern Association for the Surgery of Trauma.
Jehangir B, Bhat AH, Nazir A (2002) The Role of Ultrasonography in Blunt Abdominal
Trauma. JK-practitioner.
Salomone AJ dan Salomone, JP (2011) Emergency Medicine: Abdominal Blunt
Trauma.Emedicine. http://emedicine.medscape.com/article/433404-print (Diakses 11
Mei 2013)
Srivathsan (2009) Abdominal Trauma. http://www.scribd.com/doc/15565439/AbdominalTrauma- (Diakses 11 Mei 2013)
Udeani, J dan Steinberg, SR (2011) Trauma Medicine: Blunt Abdominal Trauma.
http://emedicine.medscape.com/article/821995-print (Diakses 11 Mei 2013)
Wegner, S, Colleti, JE, Wie, DV (2006) Pediatric Blunt Abdominal Trauma.
http://hsc.unm.edu/emermed/ped/physicians/residents/articles/Pediatric%20Blunt
%20Abdominal%20Trauma.pdf. (Diakses 11 Mei 2013)

Anda mungkin juga menyukai