Anda di halaman 1dari 2

BERITA INDUSTRI

Industri Kimia Ketergantungan Bahan Baku Impor

Jakarta - Kementerian Perindustrian memastikan, industri kimia di Indonesia masih dihadapkan pada
persoalan ketergantungan pada impor bahan baku nafta, kondensat dan etilena yang nilainya
mencapai US$ 5.1 miliar pada 2011. Nilai impor tersebut akan terus meningkat pada tahun-tahun
mendatang apabila tidak dilakukan upaya-upaya pembangunan industri kimia nasional.
Direktur Jenderal Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian, Panggah Susanto di Jakarta,
Rabu (11/7), mengatakan, tantangan yang dihadapi oleh industri kimia seperti halnya sektor industri
lainnya adalah semakin ketatnya persaingan ekspor terutama di pasar Eropa yang mengalami krisis
sejak beberapa tahun terakhir.
Hal ini tampak pada ekspor produk industri termasuk industri kimia pada semester I tahun 2012 yang
mengalami penurunan yangcukup signifikan. Kondisi ini cukup mengkhawatirkan, namun diharapkan
bahwa upaya restrukturisasi perekonomian Eropa tidak berlangsung lama agar dapat segera membuka
peluang ekspor dari berbagai komoditi industri kimia.
Karena itu, menurut dia, industri nasionai dituntut untuk terus meningkatkan daya saing melalui
berbagai upaya efisiensi. Untuk itulah, maka kebijakan pernbangunan industri kimia difokuskan
pada,Penguatan struktur industri kimia mulai dari sektor petrokimia hulu melalui pernbangunan nafta
cracker maupun refinery yang diintegrasikan dengan hilirnya.
Panggah juga mengatakan, optimalisasi perolehan nilai tambah sumber kekayaan alam berupa minyak
dan gas bumi untuk menghasilkan berbagai produk petrokimia dan peningkatan kualitas produk
melalui Penerapan Standar Nasionai Indonesia Optimalisasi Peningkatan Penggunaan Produk Dalam
Negeri (P3DN) yang dilakukan secara bertahap Penciptaan iklim usaha yang kondusif dan upaya
pengamanan terhadap industri eksisting.
Selanjutnya, ujar Panggah, promosi investasi melalui fasilitas pembebasan pajak penghasilan (tax
holiday), keringanan pajak (tax allowance), keringanan bea masuk terhadap barang modal, dan
fasilitas bea masuk ditanggung pemerintah.
Salah satu upaya untuk menjawab permasalahan ini adalah melalui pengembangan industri kimia
nasionai yang mampu memberikan nilai tambah yang optimal di samping untuk memenuhi kebutuhan
domestik yang terus meningkat dan selama ini dipenuhi dari impor.
Sejak awal tahun 2000, Industri kimia di Indonesia telah berkembang seiring dengan berrumbuhnya
perekonomian nasionai, dan kini menjadi salah satu pilar pernbangunan industri manufaktur di
samping industri otomotif, industri olahan berbasis sumber daya alam.
Pergeseran secara bertahap dari keunggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif mulai tampak
pada upaya-upaya pemanfaatan nilai tambah dari potensi sumber kekayaan berupa minyak dan gas,
serta berbagai potensi hasil pertanian guna menghasilkan nilai tambah yang optimal.

Berbagai produk industri kimia seperti ban, keramik, tekstil, kemasan plastik dan cat telah berhasil
menembus pasar internasional dan memberikan kontribusi terhadap perolehan devisa negara.
Industri-industri andalan tersebut diharapkan terus melakukan pengembangan dalam penguasaan
pasar maupun kemampuan teknologi yang semakin efisien.
Hadapi Persaingan
Menurut Panggah, secara umum struktur industri kimia, logam, besi baja Indonesia belum siap
menghadapi persaingan di pasar internasional. Ia mencontohkan impor bahan baku plastik dan
turunannya masih cukup tinggi sebesar US$ 5,5 miliar, sedangkan untuk produksi besi baja nasionai,
perusahaan BUMN PT Krakatau Steel baru Rp 2,5 juta per tahun. "Oleh karena itu kami akan pacu
industri ini dengan memberikan tax allowance dan tax holiday agar lebih menarik bagi investor," ujar
Panggah.
Berlakunya era perdagangan bebas dengan Jepang, Australia, Selandia Baru, dan Eropa, kata dia,
mendorong pelaku industri Indonesia mampu meningkatkan daya saing. Akibatnya ekpansi
perusahaan luar tidak terelalkan lagi masuk ke dalam negeri.
Dia mencontohkan, perusahaan besi baja Posco telah berinvestasi sebesar US$ 6 miliar dan sedang
dalam proses pernbangunan pabrik di Kalimantan Selatan. Perusahaan ini memiliki kapasitas hingga 6
juta ton per tahun. "Pemerintah akan terus mengawal proyek besar seperti ini karena industri inilah
yang bisa menghasilkan uang," kata Panggah.
sumber : Harian Ekonomi Nerac

Anda mungkin juga menyukai