Anda di halaman 1dari 48

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, adalah
pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan
serta bentuk diskriminasi. Pandangan tersebut didasarkan pada Pasal 28 UUD
Negara RI tahun 1945, beserta perubahannya. Pasal 28 G ayat (1) UUD Negara RI
tahun 1945 menentukan bahwa Setiap orang berhak atas perlindungan diri
pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah
kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman
ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
Pasal 28 H ayat (2) UUD Negara RI tahun 1945 menentukan bahwa Setiap orang
berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh
kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Di
samping itu, praktek Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) tidak hanya
merupakan bentuk pelanggaran norma social dan kemanusiaan, namun juga
merupakan wujud pengingkaran kewajiban untuk mewujudkan derajat kesehatan
masyarakat yang tinggi.
Isu KDRT pun telah menjadi permasalahan Internasional sehingga banyak
studi telah dilakukan oleh banyak peneliti di berbagai Negara untuk memecahkan
masalah yang berkepankangan ini. Studi mengenai KDRT yang melibatkan lebih
dari 24.000 wanita sebagai responden yang dilakukan oleh WHO di 10 negara
yang melibatkan lebih dari 24.000 wanita sebagai responden yaitu Bangladesh,
Brazil, Ethiopia, Jepang, Namibia, Peru, Samoa, Serbia-Montenegro, Thailand,
dan Tanzania menunjukan bahwa kekerasan yang dilakukan oleh orang asing
maupun oleh orang yang dikenal. Kemudian dari sekitar 50 penelitian berbasis
populasi yang diadakan di 36 Negara menunjukan bahwa terdapat 10-60%
perempuan yang pernah menikah atau mempunyai pasangan, setidaknya
mengalami satu kali insiden kekerasan fisik dari pasangan intima tau mantan
pasangan intim selama hidupnya (Heis et al. 1999).

Bahkan dari 10 studi prevalensi terpisah yang membahas mengenai KDRT,


didapatkan hasil yang konsisten yaitu 1 dari 4 wanita yang telah mengalami
KDRT dalam hidupnya dan setiap tahunnya diperkirakan sekitar 6-10% wanita
mengalami KDRT. Di Beijing, sebuah survey mengungkapkan 23% suami
memukul isterinya. Di Uganda 46% perempuan mempunyai pengalaman pernah
dipukuli pasangannya. Di Tanzania 60% wanita dilaporkan mengalami kekerasan
fisik oleh pasangannya. Di Bolivia 79% pelacur remaja terjun ke dunia pelacuran
setelah melarikan diri dari rumah karena menjadi korban kekerasan seksual. Di
Kenya 42% perempuan mengalami pemukulan secara rutin oleh pasangannya.
Sedangkan berdasarkan survey nasional di Amerika Serikat terhadap lebih dari
6000 keluarga, 50% dari laki-laki yang sering melakukan tindak kekerasan pada
isterinya, juga melakukan tindak kekerasan pada anak-anaknya.
Sejak dimulainya sejarah ditulis, Indonesia sendiri telah mengenal bentukbentuk kekerasan dalam rumah tangga. Bentuk-bentuk seperti kawin paksa,
poligami, perceraian secara sepihak tanpa mempertimbangkan keadilan bagi isteri
dan anak, tindak pemukulan dan penganiayaan, dan bentuk-bentuk kesewenangan
lain terhadap perempuan, merupakan contoh yang tidak sulit untuk ditemukan
pada masyarakat Indonesia. Bahkan sampai saat ini persoalan KDRT merupakan
fenomena gunung es yang hanya kelihatan puncaknya sedikit tetapi sebetulnya
tidak menunjukan fakta yang falid. Pada tahun 2005, kasus kekerasan terhadap
perempuan yang ditangani oleh 215 lembaga di 29 provinsi didapatkan sebanyak
20.391 dimana 82% diantaranya terjadi dalam lingkup rumah tangga.
Begitu banyaknya kasus KDRT yang terjadi di masyarakat ini akhirnya
mengantarkan Indonesia pada tanggal 14 september 2004 untuk mengesahkan
berlakunya Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU KDRT) dengan harapan dapat menjadi
babak permulaan yang baik bagi upaya mengakhiri kekerasan dam rumah tangga.
Melihat serangkaian fakta diatas, maka tidak berlebihan jika KDRT dikatakan
merupakan bagian dari isu kesehatan masyarakat yang masih patut diperhatikan.

1.2. Tujuan
1.2.1 Tujuan umum

Mempelajari permasalahan tentang kekerasan dalam rumah tangga yang


terjadi di masyarakat.
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui teori- teori dari hal- hal yang mendasari terjadinya kekerasan
dalam rumah tangga.
2. Mempelajari kekerasan dalam rumah tangga ditinjau dari segi hukum.
3. Mempelajari kekerasan dalam rumah tangga berdasarkan kasus yang
terjadi di masyarakat.
4. Mempelajari penatalaksaan kekerasan dalam rumah tangga ditinjau dari
segi hukum, medis dan psikososial.
5. Mempelajari cara pembuatan Visum et Repertum bagi korban kekerasan
dalam rumah tangga.
1.3. Manfaat
1.3.1 Manfaat Bagi Dokter Muda, Mahasiswa
1. Sebagai wacana untuk meningkatkan pengetahuan dokter mengenai
kekerasan dalam rumah tangga.
2. Sebagai wacana dalam mempelajari pembuatan Visum et Repertum bagi
korban kekerasan dalam rumah tangga.
3. Sebagai bahan pertimbangan dokter dalam menghadapi kasus kasus
kekerasan dalam rumah tangga yang dapat ditemui ketika bekerjaditengah
masyarakat.
4. Sebagai referensi penyusunan karya ilmiah serupa.
1.3.2 Manfaat Bagi Kepolisian
1. Sebagai wacana untuk meningkatkan pengetahuan mengenai
perkembangan terkini kekerasan dalam rumah tangga di masyarakat.
2. Sebagai wacana untuk lebih meningkatkan kinerja dan profesional dalam
menghadapi kasus kekerasan dalam rumah tangga yang masih merupakan
fenomena gunung es di masyarakat.
3. Sebagai wacana untuk meningkatkan kesadaran bahwa masalah kekerasan
rumah tangga bukan masalah prifat namun merupakan salah satu tindak
pidana yang perlu ditangani secarab komprehensif.

1.3.4 Manfaat bagi masyarakat


1. Sebagai wacana untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai
kekerasan dalam rumah tangga.
2. Sebagai wacana untuk mengajak masyarakat untuk turut berpartisipasi
proaktif dalam mengatasi masalah kekerasan dalam rumah tangga.
3. Sebagai wacana untuk meningkatkan kewaspadaan masyarakat terhadap
kasus dalam rumah tangga yang mungkin terjadi di sekitar mereka.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Penganiayaan


Secara umum tindak pidana terhadap tubuh pada KUHP disebut
Penganiayaan. Dari segi tata bahasa, penganiayaan adalah suatu kata jadian atau
kata sifat yang berasal dari kata dasar ""aniaya" yang mendapat awalan "pe" dan
akhiran "an" sedangkan penganiaya itu sendiri berasal dari kata benda yang
berasal dari kata aniaya yang menunjukkan subyek atau pelaku penganiayaan itu.

Dalam Kamus Bahasa Indonesia (W.J.S Poerwadarminta 1994:48)


mengatakan bahwa penganiayaan adalah perlakuan sewenang-wenang(penyiksaa,
penindasan, dan sbagainya). Sedangkan KUHP sendiri tidak memberikan
penjelasan

tentang

apa

yang

dimaksud

dengan

istilah

penganiayaan

(mishandelling) selain hanya menyebut penganiayaan saja, namun pengertian


penganiayaan dapat ditemukan dalam beberapa yurisprudensi, yaitu :
1. Arrest Hoge Raad tanggal 10 desember 1902 merumuskan bahwa
penganiayaan adalah dengan sengaja melukai tubuh manusia atau
menyebabkan perasaan sakit sebagai tujuan, bukan sebagai cara untuk
mencapai suatu maksud yang diperbolehkan, seperti memukul anak
dalam batas-batas yang dianggap perlu yang dilakukan oleh orang tua
anak itu sendiri atau gurunya.
2. Arrest Hoge Raad tanggal 20 April 1925 menyatakan bahwa
penganiayaan adalah dengan sengaja melukai tubuh manusia. Tidak
dianggap penganiayaan jika maksudnya hendak mencapai justru tujuan
lain dan dalam menggunakan akal ia tak sadar bahwa ia telah melewati
batas-batas yang tidak wajar.
3. Arrest Hoge Raad tanggal Februari 1929 menyatakan bahwa
penganiayaan bukan saja menyebabkan perasaan sakit, tetapi juga
menimbulkan penderitaan lain pada tubuh.
Jadi beberapa pengertian dan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa
untuk menyebut seseorang itu telah melakukan penganiayaan terhadap orang lain,
maka orang tersebut harus mempunyai kesengajaan (Opzetelijk) untuk:
1. Menimbulkan rasa sakit pada orang lain
2. Menimbulkan luka pada tubuh orang lain
3. Merugikan kesehatan orang lain

Dengan kata lain untuk menyebut seseorang telah melakukan penganiayaan,


maka orang itu harus mempunyai kesengajaan dalam melakukan suatu perbuatan
untuk membuat rasa sakit pada orang lain atau luka pada tubuh orang lain ataupun
orang itu dalam perbuatannya merugikan kesehatan orang lain. Jadi unsure delik
penganiayaan adalah kesengajaan yang menimbulkan rasa sakit atau luka pada
tubuh orang lain dan melawan hukum.
2.2 Jenis-Jenis Penganiayaan
Jenis penganiayaan terdiri atas penganiayaan terhadap wanita, penganiayaan
terhadap anak-anak, dan penganiayaan terhadap orang tua (Boyd & Nihart, 1998).
1.

Penganiayaan Terhadap Wanita


Berdasarkan hasil penelitian, ternyata wanita yang tidak menikah,
wanita yang bercerai atau berpisah dari suaminya cenderung lebih beresiko
mengalami penganiayaan daripada wanita yang menikah (Sassetti, 1993).
Penganiayaan pada wanita tidak hanya bersifat fisik atau seksual,
tetapi juga emosional, membatasi kebebasan, merusak properti, mengancam,
atau mengisolasi dari keluarga dan teman.

2. Penganiayaan Terhadap Anak


Semua tindak penganiayaan pada anak merupakan tindakan yang
merenggut semua hak yang seharusnya dimiliki oleh anak-anak. Termasuk
hak anak untuk berperilaku sebagai anak, merasa aman dan dilindungi dari
bahaya, diberi makan dan pakaian serta diasuh dengan kasih sayang
sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang.
Anak-anak yang pernah mengalami penganiayaan atau menyaksikan
penganiayaan terhadap ibunya, cenderung akan bertindak kejam pada usia
dewasa.
Penganiayaan pada anak umumnya meliputi penganiayaan fisik, seksual,
penelantaran, dan penganiayaan emosional.
a. Penganiayaan Fisik

Penganiayaan fisik dapat berupa tindakan memukul menendang,


melempar, menyundut dengan rokok, dan berbagai bentuk kekerasan
lainnya yang dapat menimbulkan cedera. Cedera fisik yang mungkin
dialami korban meliputi cedera pada kulit atau jaringan lunak, fraktur, gigi
rontok, luka bakar, kebiruan karena dicambuk, rambut rontok karena
dijambak, luka tembak, tusuk pisau, perdarahan pada retina dan perdarahan
di conjungtiva (Fontaine, 1996).
b.

Penganiayaan Seksual
Ada dua kategori penganiayaan seksual, yakni inses (incest) dan
penganiayaan seksual yang dilakukan bukan oleh anggota keluarga. Inses
merupakan semua bentuk kegiatan seksual antara anak di bawah usia 18
tahun dengan anggota keluarga dekat (orang tua kandung, orang tua tiri,
saudara kandung), anggota keluarga besar (kakek/ nenek, paman, bibi,
sepupu), atau orang tua angkat (Rappley & Speare, 1993).
Penganiayaan seksual di luar keluarga adalah bentuk kontak seksual
antara bukan anggota keluarga dengan anak di bawah usia 18 tahun.
Penganiayaan seksual akan menimbulkan trauma. Reaksi negatif dari orang
yang dekat dengan korban, tenaga kesehatan, atau orang lain dapat
memperparah trauma.

c. Penelantaran Anak
Ada beberapa jenis penelantaran anak, yakni gagal melindungi anak,
penelantaran fisik, dan penelantara medik. Gagal melindungi anak seperti
terminum racun, kesetrum listrik, jatuh dan terbakar. Penelantaran fisik
meliputi gagal memberi makan, pakaian, dan tempat tinggal. Penelantaran
medik mencakup gagal memberi kebutuhan pelayanan kesehatan pada anak.
d. Penganiayaan Emosional
Lima kategori penelantaran emosional terhadap anak adalah menolak,
mengisolasi, meneror, mengabaikan, dan mengorupsi anak. Menolak untuk
mengakui betapa bernilainya seorang anak. Mengisolasi dengan memutus
lingkungan anak dengan lingkungan sosial. Meneror dengan menciptakan
lingkungan yang menakutkan bagi anak. Mengabaikan kebutuhan psikologis
anak sehingga anak merasa kelaparan secara emosional. Mengorupsi dengan

melibatkan anak pada perilaku destruktif dan antisosial serta mendukung


perilaku menyimpang.
3. Penganiayaan Terhadap Lansia
Penganiayaan terhadap lansia mengakibatkan cedera fisik atau
penelantaran

emosional

meliputi

menentang

keinginan

lansia,

mengintimidasi, atau membuat keputusan yang kejam. Penganiayaan


terhadap lansia umumnya dilakukan oleh anak-anak mereka
2.3. Luka
A. Definisi
Luka adalah rusaknya jaringan tubuh yang disebabkan oleh suatu trauma
(Apuranto Hariadi,2012)
B. Etiologi
Ada bermacam macam penyebab luka yaitu disebabkan oleh
1.
2.
3.
4.
5.

Luka akibat benda tajam


Luka akibat benda tumpul
Luka tembak
Luka bahan kimia
Luka aliran listrik

2.3.1 Luka Akibat Benda Tajam


A. Definisi
Kelainan pada tubuh yang disebabkan persentuhan dengan benda atau alat
bermata tajam dan/atau berujung runcing sehingga kontinuitas jaringan rusak atau
hilang.
Macam Kelainan Akibat Persentuhan Dengan Benda Tajam :

1. Luka Iris (incised wound)


2. Luka Tusuk (stab wound)
3. Luka bacok (chop wound)
B. Pemeriksaan luka :
1. Bila mungkin sebelum memulai pemeriksaan kita abadikan keadaan
luka dengan pemotretan
2. Jumlah luka
3. Lokasi luka
Untuk melukiskan lokasi luka, maka kita dapat menggunakan beberapa
patokan misalnya :
- Garis mendatar melalui pusat (umbilicus)
- Garis mendatar melalui ujung tulang belikat (scapula)
- Garis tegak melalui ruas tulang belakang atau tulang dada
- Garis mendatar melalui kedua puting susu (pada laki-laki)
4. Ukuran luka
Mengukur luka untuk panjangnya dilakukan dengan terlebih dahulu
merapatkan kedua tepi luka. Kedalaman luka dilukiskan dengan
menyebut kerusakan alat-alat tubuh yang dilalui luka tersebut.
Misalnya luka mengenai dinding perut,otot perut dan jaringan hati
sejauh 5cm(tidak menembus). Dengan demikian kita memperoleh
bayangan tentang kedalaman luka.
5. Cirri-ciri luka :
- Bagaimana tepi luka, sudut luka.
- Adakah jembatan jaringan, memar atau luka lecet.
- Adakah rambut ikut terpotong.
- Adakah sesuatu yang keluar dari lubang.
6. Benda asing
Mungkin dapat dietemukan benda asing dalam luka,misalnya :pecahan
kaca, pisau lengkap atau sebagian ujung pisau yang patah dan
tertinggal.
7. Menentukan intravitalitas luka.
8. Luka atau luka-luka tersebut mematikan atau tidak.
2.3.2 Luka Iris (incised wound)
A. Definisi
Luka akibat benda atau alat yang bermata tajamyang terjadi dengan suatu
tekanan ringan dan goresan pada permukaan tubuh.
B. Contoh :
- Pisau

- Pecahan kaca
- Pisau silet
- Pedang
- Potong seng
C. Bentuk luka iris :
1. Bila sejajar arah serat elastis atau otot luka berbentuk celah
2. Bila tegak lurus arah serat elastic atau otot luka berbentuk menganga
3. Bila miring terhadap serat elastic atau otot luka berbentuk asimetris
D. Ciri ciri luka iris :
1. Tepi dan permukaan luka rata
2. Sudut luka lancip
3. Tidak ada jembatan jaringan
4. Rambut terpotong
5. Tidak ditemukan luka memar atau lecet disekitarnya
6. Tidak mengenai tulang
7. Panjang luka lebih besar dari dalam luka
2.3.3 Luka Tusuk (stab wound)
A. Definisi
Luka akibat benda atau alat yang berujung runcing dan bermata tajam atau
tumpul yang terjadi dengan suatu tekanan tegak lurus atau serong dengan
permukaan tubuh.
B. Contoh :
- Belati
- Bayonet
- Pedang
- Keris
- Clurit
- Pecahan kaca
- Benda
benda

berujung

runcing

dengan

penampang

bulat/persegiempat/segitiga misalnya : kikir, tanduk kerbau.


C. Bentuk luka tusuk :
Tergantung lokasi luka dan entuk penampang alat penyebab luka.
1. Pada alat-alat tubuh parenkim dan tulang, bentuk luka tusuk sesuai
penampang alat penyebabnya.
2. Pada kulit atau otot :
a. Alat pisau :
Arah sejajar serat elastic atau otot : bentuk luka seperti
celah.

10

Arah tegak lurus serat elastic atau otot : bentuk luka

menganga.
Arah miring terhadap serat elastic atau otot : bentuk luka

asimetris
b. Alat ganco atau lembing : bentukluka seperti celah bila lka
didaerah pertemuan serat elastic atau otot, maka bentuk luka bulat
(sesuai dengan penampang alat)
c. Alat penampang segitiga atau segiempat : bentuk luka bintang
berkaki tiga atau empat.
d. Ciri- ciri luka tusuk :
Tergantung alatnya bermata tajam atau tidak.
1. Bila alat berujung runcing dan bermata tajam :
a. Tepi luka rata
b. Sudut luka tajam, pada sisi tumpul dari alat, sudut luka kurang
tajam.
c. Bila tusukan dilakukan sampai pangkal pisau, kadang-kadang
ditemukan memar disekitar luka.
d. Ukuran dalam luka lebih besar dari panjang luka.
2.3.4 Luka Bacok (chop wound)
A. Definisi
Luka akibat benda atau alat yang berat dengan mata tajam atau agak
tumpul yang terjadi dengan suatu ayunan disertai tenaga agak besar.
B. Contoh :
- Pedang
- Clurit
- Kapak
- Baling-baling kapal.
C.Ciri-ciri luka bacok :
1. Ukuran biasanya besar.
2. Tepi luka tergantung pada mata senjata : tajam atau kurang tajam.
Makin tajam mata senjata yang digunakan , tepi luka yang ditimbulkan
makin rata.
3. Sudut luka tergantung mata senjata yang digunakan.

11

4. Hamper selalu menimbulkan kerusakan pada tulang, kadang-kadang


bagian tubuh yang mengalami bacokan ikut terputus.
5. Dapat dijumpai memar atau lecet disekitar luka.
2.3.5 Luka Akibat Benda Tumpul
A. Definisi
Kekerasan Benda Tumpul Pada Kulit dan Jaringan di Bawahnya :
1. Luka Lecet
Suatu kerusakan yang mengenai lapisan atas dari epidermis akibat
kekerasan dengan benda yang mempunyaipermukaan yang kasar, sehingga
epidermis menjadi tipissebagian atau seluruh lapisannya hilang.
Contoh luka lecet :
- Karena persentuhan dengan benda runcing seperti kuku,duri
- Karena persentuan dengan enda kasar misalnya terseret jalan beraspal
- Karena kali tampar yaitu pada leher orang gantung diri,diikat dengan
-

tali tampar
Karena persentuhan dengan benda yang meninggalkan bekas seperti
ban mobil.

B. Ciri-ciri luka lecet :


-

Sebagian atau seluruh epitel hilang.


Kemudia permukaan tertutup oleh exudasi yang akan mengering

(crusta)
Timbul reaksi radang berupa penimbunan sel-sel PMN
Biasanya tidak meninggalkan jaringan parut.

Luka Lecet Ante Mortem :


-

Warna coklat kemerahan karena eksudasi


Mikroskopis terdapat sisa-sisa epithelium dan tanda-tanda intravital

Luka Lecet Post Mortem :


-

Tampak mengkilap,warna kekuningan.


Mikroskopis epidermis terpisah sempurna dari dermis dan tidak

ditemukan tanda-tanda intravital.


- Pada umumnya terjadi pada daerah penonjolan tulang.
2. Luka Memar

12

Yang mengalami kerusakan adalah jaringan subkutan sehingga


pembuluh-pembuluh darah (kapiler) rusak dan pecah sehingga darah
meresap ke jaringan sekitarnya. Disini permukaan kulit tidak selalu
mengalami kerusakan. Bagian tubuh yang mudah mengalami luka memar
adalah bagian yang mempunyai jaringan lemak di bawahnya dan berkulit
tipis. Luka memar tidak bias dengan pasti menunjukan berat ringannya
kekerasan, juga tidak bias menunjukan jenis benda penyebabnya.
Orang yang mempunyai kelainan dalam proses pembekuan darah
lebih mudah mengalami luka memar yang cukup luas, walaaupun
penyebabnya hanya kekerasan yang ringan, misalnya pada penderita
haemophilia.
Luka Memar harus dibedakan dengan Lebam Mayat, adalah sebagai
berikut:
a. Lokasi luka memar disembarang tempat sedang lebam mayat pada
bagian tubuh yang terendah.
b. Luka memar disertai pembengkakan dan tanda-tanda intravital.
c. Bila ditekan atau diiris warna luka memar tidak mengilang, pada
lebam mayat warna menghilang dan jika diiris keluar darah.
3. Luka Robek
Seluruh tebal kulit mengalami kerusakan dan juga jaringan awah
kulit. Sehingga epidermis terkoyak,folikel rambut,kelenjar keringat dan
sebasea juga mengalami kerusakan. Pada umumnya kalau sembuh akan
menimbulkan jaringan parut (sikatrik). Luka robek mudah terjadi pada
kulit dengan adanya tulang dibawahnya.

Tabel perbedaan luka robek dan luka iris


Ciri-ciri
Memar dan lecet

Luka Robek

Luka Iris

13

Rambut
Jembatan jaringan
Sudut atau tepi luka

Utuh

Terpotong

tumpul

Tajam

Penyembuhan luka lecet,luka memar ataupun luka robek tergantung pada :


- Vaskularisasi.
- Kesehatan tubuh penderita.
- Ukuran luka.
- Ada tidaknya komplikasi misalnya infeksi.
4. Luka Retak
Luka pada kulit daerah tubuh yang ada tulang tepat dibawah kulit tersebut,
misalnya : kepala dan tulang kering. Luka ini akibat dari kekerasan benda
tumpul yang mempunyai pinggiran,missal : tepi meja,tepi kikir,tepi pintu.
Tabel perbedaan anatara Luka iris dan Luka Retak
Ciri-ciri
Tepi luka
Sudut luka
Permukaan luka
Jembatan jaringan
Rambut
Memar atau lecet sekitar luka

Luka Iris
Tajam
Tajam
Rata
Tidak ada
Terpotong
Tidak ada

Luka Retak
Tidak tajam
Tidak tajam
Tidak rata
Ada
Tercabut
Ada

2.3.6 Luka Akibat Trauma Thermik


Trauma thermik dapat dibagia atas 2 macam :
1. Hyperthermis
2. Hypothermis
A. Hypherthermis
Klasifikasi Luka Bakar
1. Luka Bakar Thermis

14

2. Luka Bakar Kimia


3. Luka Bakar Listrik
Patofisiologi Luka Bakar
1. Perubahan - perubahan yang terjadi pada luka bakar
a. Sembuh tanpa bekas :
Bila luka bakarnya ahanya berupa erythema ataupun vesikel yang
tanpa disertai keruskan jaringan bawah kulit.
b. Sembuh dengan bekas (jaringan parut) :
Bila luka bakar tersebut disertai kerukan seluruh tebal kulit disertai
kerusakan jaringan bawah kulit.
c. Berakhir dengan kematian.
Gradasi Luka Bakar
Gradasi luka bakar tersebut ditentukan oleh :
1. Luasnya area yang terbakar
2. Tinggi rendahnya temperature atau panas yang membakar tersebut
3. Lamanya kontak dengan kulit
Tinggi rendahnya temperature dan lamanya kontak dengan kulit akan
menentukan dalamnya luka bakar.
Untuk mementukan luasnya luka bakar, kita memakai patokan rumus
rule of nine daro Wallace yaitu sebagai berikut :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.

Permukaan kepala dan leher


Permukaan dada
Permukaan punggung
Permukaan perut
Permukaan pinggang
Permukaan extremitas atas kanan
Permukaan extremitas atas kiri
Permukaan extremitas bawah kanan
Permukaan extremitas bawah kiri
Permukaan alat kelamin

:9%
:9%
:9%
:9%
:9%
:9%
:9%
:18%
:18%
: 1%

Sedangkan untuk anak-anak dibuat modifikasi dari rule of nine :


Menurut Boyer (1814) dalamnya luka bakar dibagi menjadi 3 tingkat antara lain :
1. Tingkat I

: Hanya mengenai epidermis


15

2. Tingkat IIa
3. Tingkat IIb
4. Tingkat III

: superficial, mengenai epidermis dan lapisan atas corium.


: dalam, mengenai epidermis dan lapisan dalam corium.
: Mengenai seluruh tebal kult,subcutan,otot dan tulang.

Table Tingkat dan ciri-ciri luka bakar


Tk. Luka Bakar
I
IIa
IIb
III

Klinis
Hyperthermia
Basah,bulla(+)
Basah,bulla,keputihan
Kering,putih,hitam

Tusukan Jarum
Hyperaesthesia
Hyperaesthesia
Hypoaesthesia
Aesthesia

2.4 Visum Et Repertum


A. Definisi Visum et Repertum
Visum et Repertum yakni berasal dari kata visual yang berarti melihat
dan repertum yaitu melaporkan. Sehingga jika digabungkan dari arti harafiah ini
adalah apa yang dilihat dan diketemukan sehingga Visum et Repertum
merupakan suatu laporan tertulis dari dokter (ahli) yang dibuat berdasarkan
sumpah, mengenai apa yang dilihat dan diketemukan atas bukti hidup, mayat
atau fisik ataupun barang bukti lain,kemudian dilakukan pemeriksaan menurut
pengetahuan yang sebaik-baiknya.
Pembuatan visum et repertum tersebut dimaksudkan sebagai ganti barang
bukti, karena barang buktin yang diperiksa tersebut tidak mungkin bias dihadapkan
disidang pengadilan sebagaimana adanya. Hal ini kemungkinan oleh karena barang
bukti tersebut yang ada hubungannya dengan tubuh manusia (misalnya : luka,
mayat, atau bagian tubuh lainnya) segera akan berubah menjadi sembu atau busuk.
Visum et repertum adalah keterangan yang dibuat oleh dokter atas
permintaan penyidik yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan medik terhadap
manusia baik hidup atau mati ataupun bagian atau diduga bagian dari tubuh
manusia, berdasarkan keilmuannya dan di bawah sumpah untuk kepentingan
peradilan.
Dalam undang-undang ada satu ketentuan hukum yang menuliskan
langsung tentang visum et repertum, yaitu pada Staatsblad (Lembaran Negara)

16

tahun 1937 No. 350 yang menyatakan :


Pasal 1 : Visa reperta seorang dokter, yang dibuat baik atas sumpah jabatan
yang diucapkan pada waktu menyelesaikan pelajaran di Negeri Belanda ataupun
di Indonesia, merupakan alat bukti yang syah dalam perkara-perkara
pidana, selama visa reperta tersebut berisikan keterangan mengenai hal-hal yang
dilihat dan ditemui oleh dokter pada benda yang diperiksa.
B. Jenis dan Bentuk Visum et Repertum
Ada beberapa jenis visum et repertum, yaitu visum et repertum
perlukaan (termasuk keracunan), visum et repertum kejahatan susila, visum et
repertum jenazah, dan visum et repertum psikiatrik. Tiga jenis visum yang pertama
adalah visum et repertum mengenai tubuh/raga manusia yang dalam hal ini
berstatus sebagai korban tindak pidana, sedangkan jenis terakhir adalah
mengenai jiwa/mental tersangka atau terdakwa atau saksi.
Visum et repertum dibuat secara tertulis, sebaiknya dengan mesin ketik, di
atas sebuah kertas putih dengan kepala surat institusi kesehatan yang
melakukan pemeriksaan, dalam bahasa Indonesia, tanpa memuat singkatan dan
sedapat mungkin tanpa istilah asing, bila terpaksa digunakan agar diberi
penjelasan bahasa Indonesia.
1. Visum et Repertum pada Kasus Perlukaan.
Terhadap setiap pasien yang diduga korban tindak pidana meskipun
belum ada surat permintaan visum et repertum dari polisi, dokter harus
membuat catatan medis atas semua hasil pemeriksaan medisnya secara
lengkap dan jelas sehingga dapat digunakan untuk pembuatan visum et
repertum. Umumnya, korban dengan luka ringan datang ke dokter setelah
melapor ke penyidik, sehingga membawa surat permintaan visum et
repertum. Sedangkan korban dengan luka sedang/berat akan datang ke dokter
sebelum melapor ke penyidik, sehingga surat permintaan datang
terlambat. Keterlambatan dapat diperkecil dengan komunikasi dan
kerjasama antara institusi kesehatan dengan penyidik.
Di dalam bagian pemberitaa biasanya disebutkan keadaan umum
korban sewaktu datang, luka-luka atau cedera atau penyakit yang diketemukan
pada pemeriksaan fisik berikut uraian tentang letak, jenis dan sifat luka serta
ukurannya, pemeriksaan khusus/penunjang, tindakan medis yang dilakukan,

17

riwayat perjalanan penyakit selama perawatan, dan keadaan akhir saat


perawatan selesai. Gejala yang dapat dibuktikan secara obyektif dapat
dimasukkan, sedangkan yang subyektif dan tidak dapat dibuktikan tidak
dimasukkan ke dalam visum et repertum.
2. Visum et Repertum Korban Kejahatan Susila
Umumnya korban kejahatan susila yang dimintakan visum et
repertumnya pada dokter adalah kasus dugaan adanya persetubuhan
yang diancam hukuman oleh KUHP (meliputi perzinahan, perkosaan,
persetubuhan dengan wanita yang tidak berdaya, persetubuhan dengan wanita
yang belum cukup umur, serta perbuatan cabul).
Untuk

kepentingan

peradilan, dokter berkewajiban

untuk

membuktikan adanya persetubuhan atau perbuatan cabul, adanya kekerasan


(termasuk keracunan), serta usia korban. Selain itu juga diharapkan
memeriksa adanya penyakit hubungan seksual, kehamilan, dan kelainan
psikiatrik sebagai akibat dari tindakan pidana tersebut. Dokter tidak
dibebani pembuktian adanya pemerkosaan, karena istilah pemerkosaan adalah
istilah hukum yang harus dibuktikan di depan sidang pengadilan. Dalam
kesimpulan diharapkan tercantum perkiraan tentang usia korban, ada
atau tidaknya tanda persetubuhan dan bila mungkin, menyebutkan kapan
perkiraan terjadinya, dan ada atau tidaknya tanda kekerasan. Bila ditemukan
adanya tanda-tanda ejakulasi atau adanya tanda-tanda perlawanan berupa
darah pada kuku korban,

dokter

berkewajiban

mencari

identitas

tersangka melalui pemeriksaan golongan darah serta DNA dari benda-benda


bukti tersebut.
3. Visum et Repertum Jenazah
Jenazah yang akan dimintakan visum et repertumnya harus diberi label
yang memuat identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan, diikatkan
pada ibu jari kaki atau bagian tubuh lainnya. Pada surat permintaan visum et
repertum harus jelas tertulis jenis pemeriksaan yang diminta, apakah
pemeriksaan luar (pemeriksaan jenazah) atau pemeriksaan dalam/autopsi
(pemeriksaan bedah jenazah). Pemeriksaan forensik terhadap jenazah
18

meliputi :
a. Pemeriksaan luar jenazah yang berupa tindakan yang tidak
merusak keutuhan jaringan jenazah secara teliti dan sistematik.
b. Pemeriksaan bedah jenazah, pemeriksaan secara menyeluruh
dengan membuka rongga tengkorak, leher, dada, perut, dan panggul.
Kadangkala dilakukan pemeriksaan penunjang yang diperlukan seperti
pemeriksaan histopatologi, toksikologi, serologi, dan sebagainya. Dari
pemeriksaan dapat disimpulkan sebab, jenis luka atau kelainan, jenis
kekerasan penyebabnya, sebab dan mekanisme kematian, serta saat
kematian seperti tersebut di atas.
4. Visum et Repertum Psikiatrik
Visum et repertum psikiatrik perlu dibuat oleh karena adanya pasal 44
(1) KUHP yang berbunyi Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak
dapat dipertanggungjawabkan padanya disebabkan karena jiwanya cacat
dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana. Jadi
selain orang yang menderita penyakit jiwa, orang yang retardasi mental
juga terkena pasal ini.
Visum ini diperuntukkan bagi tersangka atau terdakwa pelaku tindak
pidana, bukan bagi korban sebagaimana yang lainnya. Selain itu visum ini
juga menguraikan tentang segi kejiwaan manusia, bukan segi fisik atau
raga manusia. Karena menyangkut masalah dapat dipidana atau tidaknya
seseorang atas tindak pidana yang dilakukannya, maka adalah lebih baik bila
pembuat visum ini hanya dokter spesialis psikiatri yang bekerja di rumah
sakit jiwa atau rumah sakit umum.
Dalam keadaan tertentu dimana kesaksian seseorang amat diperlukan
sedangkan ia diragukan kondisi kejiwaannya jika ia bersaksi di depan
pengadilan maka kadangkala hakim juga meminta evaluasi kejiwaan saksi
tersebut dalam bentuk visum et repertum psikiatrik.
5. Fungsi dan tujuan Visum et Repertum
Maksud pembuatan VeR adalah sebagai salah satu barang bukti
(corpus delicti) yang sah di pengadilan karena barang buktinya sendiri telah
19

berubah pada saat persidangan berlangsung. Jadi VeR merupakan barang


bukti yang sah karena termasuk surat sah sesuai dengan KUHP pasal 184.
Ada 5 barang bukti yang sah menurut KUHP pasal 184, yaitu:
1. Keterangan saksi
2. Keterangan ahli
3. Keterangan terdakwa
4. Surat
5. Petunjuk
Ada 3 tujuan pembuatan VeR, yaitu:
1. Memberikan kenyataan (barang bukti) pada hakim
2. Menyimpulkan berdasarkan hubungan sebab akibat
3. Memungkinkan hakim memanggil dokter ahli lainnya untuk
membuat kesimpulan VeR yang lebih baru
Bila VeR belum dapat menjernihkan persoalan di sidang pengadilan,
hakim dapat meminta keterangan ahli atau diajukannya bahan baru, seperti
yang tercantum dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), yang memberi kemungkinan dilakukannya pemeriksaan atau
penelitian ulang atas barang bukti, apabila timbul keberatan yang beralasan
dari terdakwa atau penasehat hukumnya terhadap suatu hasil pemeriksaan.
6. Bentuk surat permintaan Visun et repertum :
Sudut kanan atas:
a. Alamat tujuan SPVR (Rumah sakit atau dokter), dan tanggal SPVR.
b. Rumah sakit (Direktur) :
Kepala bagian / SMF Bedah
Kepala bagian / SMF Obgyn
Kepala bagian /SMF Penyakit dalam - Kepala bagian I.K.Forensik.
Sudut kiri atas:
a. Alamat peminta VetR,
b. Nomor surat, hal dan
c. Lampiran.
Bagian tengah :
a. Disebutkan SPVR korban hidup / mati
b. Identitas korban (nama, umur, kelamin, kebangsaan, alamat, agama
dan pekerjaan).

20

c. Peristiwanya (modus operandi) antara lain


*Luka karena . . .
*Keracunan (obat/racun . . . .).
*Kesusilaan (perkosaan/perzinahan/cabul).
*Mati karena (listrik, tenggelam, senjata api/tajam/tumpul).
d. Permintaan pengobatan/perawatan bila korban tidak keberatan, untuk
korban hidup.
e. Permintaan untuk melaporkan kepada penyidik bila korban sembuh,
pindah dokter/rumah sakit lain, pulang paksa, melarikan diri atau
meninggal.
f. Kolom untuk keterangan lain bila perlu
g. Keterangan mengenai identitas penyidik (peminta Visum et repertum),
tentang nama, pangkat, kesatuan, NRP, dan

alamat kemudian

ditandatangani penyidik dan stempel dinas. Keterangan ini ditempatkan


di kanan bawah.
h. Kemudian dikiri bawah memuat keterangan tentang penerima SPVR
dengan identitas nama, tanda tangan, tanggal dan jam penerimaan.
Sedangkan SPVR mayat pada dasarnya sama dengan bentuk korban hidup,
teteapi tentunya beberapa point (6 dab 7) ditiadakan.
2.4.1 Bagian Bagian Dari Visum Et Repertum
1. Pembukaan
Kata Projustitia dicantumkan disudut kiri atas, dan dengan demikian visum
et repertum tidak perlu bermaterai, sesuai dengan pasal 136 KUHAP.
2. Pendahuluan
Bagian ini memuat antara lain :
- Identitas pemohon visum et repertum.
- Identitas dokter yang memeriksa / membuat visum et repertum.
- Tempat dilakukannya pemeriksaan (misalnya rumah sakit X Surabaya).
- Tanggal dan jam dilakukannya pemeriksaan.
- Identitas korban.
- Keterangan dari penyidik mengenai cara kematian, luka, dimana
-

korban dirawat, waktu korban meninggal.


Keterangan mengenai orang yang menyerahkan / mengantar korban
pada dokter dan waktu saat korban diterima dirumah sakit.

3. Pemberitaan
- Identitas

korban

menurut

pemeriksaan

dokter,

(umur,

jenis
21

kelamin,Tinggi badan/berat badan), serta keadaan umum.


- Hasil pemeriksaan berupa kelainan yang ditemukan pada korban.
- Tindakan-tindakan / operasi yang telah dilakukan.
- Hasil pemeriksaan tambahan.
Syarat-syarat :
- Memakai bahasa Indonesia yg mudah dimengerti orang awam.
- Angka harus ditulis dengan hurup, (4 cm ditulis empat sentimeter).
- Tidak dibenarkan menulis diagnose luka (luka bacok, luka tembak dll).
- Luka harus dilukiskan dengan kata-kata.
- Memuat hasil pemeriksaan yang objektif (sesuai apyang dilihat
dan ditemukan).
4. Kesimpulan
Bagian ini berupa pendapat pribadi dari dokter yang memeriksa, mengenai
hasil pemeriksaan sesuai dgn pengetahuan yang sebaik-baiknya.
Seseorang melakukan pengamatan dengan kelima panca indera
(pengelihatan, pendengaran, perasa, penciuman dan perabaan). Sifatnya
subjektif.
5. Penutup
- Memuat kata Demikianlah visum et repertum ini dibuat dengan
-

mengingat sumpah pada waktu menerima jabatan.


Diakhiri dengan tanda tangan, nama lengkap/NIP dokter.

Prosedur, Permintaan, Penerimaan dan Penyerahan Visum et Repertum


Tatacara permintaan visum et repertum untuk korban hidup
1. Permintaan harus secara tertulis, tidak dibenarkan melalui telepon, lisan atau
pos.
2. Korban adalah barang bukti, maka permintaan visum et repertum harus
diserahkan sendiri oleh polisi bersama-sama korban/tersangka kepada dokter.
3. Tidak dibenarkan meminta visum pada perkara yang telah lewat. Pada
mayat harus diberi label, sesuai KUHP 133 ayat C.
Tatacara permintaan visum et repertum untuk korban mati (mayat)
1. Permintaan harus secara tertulis, tidak dibenarkan melalui telepon, lisan atau
pos.
2. Mayat diantar bersama SPVR oleh polisi
3. Kemudian pada mayat harus diikatkan label yang memuat identitas mayat
(sesuai pasal 133 ayat 3 KUHAP). Label mutalak dilakukan sedangkan
22

keharusan dilak dan diberi materai (segel) merupakan suatu birokrasi.


Pemasangan label harus dilakukan atau paling tidak disaksikan polisi, sebab
bila ada kekeliruan mayat maka polisilah yang bertangung jawab.
Pihak yang berhak meminta Visum et repertum:
o Penyidik, sesuai dengan pasal I ayat 1, yaitu pihak kepolisian yang
diangkat negara untuk menjalankan undang-undang.
o Di wilayah sendiri, kecuali ada permintaan dari Pemda Tk II.
o Tidak dibenarkan meminta visum pada perkara yang telah lewat. Pada mayat
harus diberi label, sesuai KUHP 133 ayat C.
Syarat pembuat :
-

Harus seorang dokter (dokter gigi hanya terbatas pada gigi dan mulut)
Di wilayah sendiri
Memiliki SIP
Kesehatan baik

Ada 8 hal yang harus diperhatikan saat pihak berwenang meminta dokter untuk
membuat VeR korban hidup, yaitu:
1. Harus tertulis, tidak boleh secara lisan.
2. Langsung menyerahkannya kepada dokter, tidak boleh dititip melalui korban

3.
4.
5.
6.
7.
8.

atau keluarganya. Juga tidak boleh melalui jasa pos.


Bukan kejadian yang sudah lewat sebab termasuk rahasia jabatan dokter.
Ada alasan mengapa korban dibawa kepada dokter.
Ada identitas korban.
Ada identitas pemintanya.
Mencantumkan tanggal permintaan.
Korban diantar oleh polisi atau jaksa.
Ada 8 hal yang harus diperhatikan saat pihak berwenang meminta dokter

untuk membuat VeR jenazah, yaitu:


1. Harus tertulis, tidak boleh secara lisan.
2. Harus sedini mungkin.
3. Tidak bisa permintaannya hanya untuk pemeriksaan luar.
4. Ada keterangan terjadinya kejahatan.
5. Memberikan label dan segel pada salah satu ibu jari kaki.
6. Ada identitas pemintanya.
7. Mencantumkan tanggal permintaan.
8. Korban diantar oleh polisi.

23

Saat menerima permintaan membuat VeR, dokter harus mencatat tanggal


dan jam, penerimaan surat permintaan, dan mencatat nama petugas yang
mengantar korban. Batas waktu bagi dokter untuk menyerahkan hasil VeR kepada
penyidik selama 20 hari. Bila belum selesai, batas waktunya menjadi 40 hari
dan atas persetujuan penuntut umum.
Lampiran visum
-

Fotografi forensik
Identitas, kelainan-kelainan pada gambar tersebut
Penjelasan istilah kedokteran

2.5. Kekerasan Dalam Rumah Tangga


A. Definisi KDRT
Menurut UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga pasal 1 ayat 1, yang disebut sebagai kekerasan dalam rumah
tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan,yang
berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum dalam lingkup rumah tangga.
B. Pelaku dan korban KDRT
Yang dimaksud dengan pelaku KDRT adalah orang yang melakukan
kekerasan dan/atau ancaman dalam lingkup rumah tangga. Yang dimaksud korban
KDRT adalah orang yang mengalami kekerasandan/atau ancaman kekerasan
dalam lingkup rumah tangga.
Pada kenyataan di masyarakat yang paling sering menjadi korban dalam
kasus KDRT adalah perempuan dan anak, sedangkan yang paling sering menjadi
24

pelaku adalah laki- laki. Sebaliknya, karena pada dasarnya, setiap orang yang
tercakup dalam lingkup rumah tangga dapat menjadi pelaku maupun korban
dalam kasus KDRT. Jadi, seorang suami dan dapat menjadi pelaku kekerasan
terhadap isteri maupun anaknya, dan sebaliknya anak juga dapat menjadi pelaku
terhadap orang tua atau anggota rumah tangga lainnya.
C. Frekuensi KDRT di masyarakat
Kekerasan dalam rumah tangga adalah kejadianyang sangat sering terjadi di
masyarakat, bukan hanya di Surabaya, namun juga di Indonesia bahkan di seluruh
dunia. Frekuensi KDRT yang sempat tercatat melalui beberapa penelitian akan
diungkap di bawah ini, namun perlu disadari bahwa sebenarnya jumlah kekerasan
yang belum terungkap jauh lebih besar.
Di Dunia Sekitar 50 penelitian berbasis populasi yang diadakan di 36 negara
menunjukkan bahwa 10-60% perempuan yang pernah menikah atau mempunyai
pasangan, setidaknya mengalami 1 kali insiden kekerasan fisik dari pasangan
intima tau mantan pasangan intimnya (Heis et al, 1999).
Di Beijing, sebuah survey mengungkapkan 23% suami memukul isterinya.
Di

Uganda

46%

perempuan

mempunyai

pengalaman

pernah

dipukuli

pasangannya.
Informasi dari statistic system peradilan dan pusat krisis perkosaan pada
anak di Peru, Malaysia, Meksiko, Panama, Papua Nugini,dan Amerika Serikat
antara 30-60% korban penyerangan seksual yang diketahui adalah anak berusia 15
tahun atau kurang. (Heis et al, 1999)
Di seluruh dunia, setiap 1 di antara 4 perempuan selama kehamilannya
mengalami kekerasan fisik dan seksual oleh pasangannya, dengan estimasi yang
sangat bervariasi. Sebagai contoh, di Amerika Serikat diperkirakan kekerasan
terhadap perempuan hamil berkisar antara 3-11 dan lebih dari 38% di antaranya
terjadi pada kelompok uisa remaja. (Currie et al.1999)

25

Di Indonesia data kasus kekerasan terhadap isteri yang masuk di beberapa


lembaga penyedia layanan pendampingan bagi perempuan korban kekerasan di
Indonesia.
Kota

LSM Perempuan

Tahun

Jumlah

Jabotabek

Mitra Perempuan

2006-2007

606

Jakarta

PKT

2006-2007

1.017

Semarang

HK3JHAM

2000

176

Makasar

LBH P21

1999-2000

81

NTT

Rumah Perempuan

1999-2000

Surabaya

Savy Amira

1997-2000

130

DIY dan Jateng

Rifka Annisa

1994=2000

944

Jumlah kasus kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga/ domestic di LBH
APIK Jakarta tahun 1998- 2002
Jenis Kasus

1998

1999

2000

2001

2002

Kekerasan Fisik

33

52

69

82

86

Kekerasan Ekonomi

119

122

174

76

250

Kekerasan Psikis

58

58

85

16

135

Kekerasan Seksual

15

Perkosaan

10

Pelecehan Seksual

Ingkar Janji

14

Dating Violence

Penganiayaan anak

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa secara umum jumlah kekerasan dalam
rumah tangga yang terjadi dan terungkap semakin tahun semakin banyak

26

Di Surabaya
1. Jumlah kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) meningkat drastic
setiap tahun. Menurut data yang dihimpun dari Kelompok Perempuan Pro
Demokrasi (KPPD) Samitra Abhaya, jumlah kasus tidak berkurang
meskipun lembaga pendampingan juga bertambah. Di Surabaya, selama
satu tahun hingga Nopember 2007 tercatat 220 kasus. Ini belum kasus
yang ditangani sejumlah lembaga termasuk kepolisian. Jumlah ini
bertanbah lebih dari 10 kasus dibanding tahun sebelumnya.
2. Selama tahun 2007, secara keseluruhan kasus yang menimpa wanita dan
anak- anak mencapai 464 kasus. Rinciannya 377 kasus terjadi pada wanita
dan sisanya, 87 kasus menimpa anak anak.
3. Menurut Wakil Gubernur Jawa Timur Dr. Drs. Soenarjo M.Si, berdasarkan
data dari 43 organisasi perempuan, hingga akhir 2005 terdapat 456 kasus
KDRT. Bentuk kekerasan, seperti perkosaan berada diurutan pertama
sebanyak 164 kasus dengan 172 korban. Berdasarkan kota, Surabaya
menduduki peringkat pertama disusul Malang dan Kediri serta Sidoarjo.
Jenis dan jumlah KDRT, terbanyak kekerasan terhadap isteri sebanyak
1.782 kasus, kekerasan dalam pacaran 321 kasus, kekerasan terhadap anak
perempuan 251 kasus, kekerasan terhadap pembantu rumah tangga 71
kasus serta kekerasan ekonomi mencapai 28 kasus.
2.5.1 Faktor Pencetus KDRT
Beberapa faktor pencetus terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga
ialah :
1. Faktor masyarakat:
a. Kemiskinan
b. Urbanisasi yang terjadi disertainya kesenjangan pendapatan
diantara penduduk kota
c. Masyarakat keluarga ketergantungan obat
d. Lingkungan dengan frekuensi kekerasan dan kriminalitas tinggi.
2. Faktor keluarga:
a. Adanya anggota keluarga yang sakit yang membutuhkan bantuan
terus menerus seperti misalnya anak dengan kelainan mental orang
tua
b. Kehidupan keluarga yang kacau tidak saling mencinta dan
menghargai, serta tidak menghargai peran wanita

27

c. Kurang ada keakraban dan hubungan jaringan sosial pada keluarga


d. Sifat kehidupan keluarga inti bukan keluarga luas
3. Faktor Individu:
Korban (mayoritas perempuan):
Di Amerika Serikat mereka yang mempunyai risiko lebih besar
mengalami kekerasan dalam rumah tangga ialah:
a. Wanita single, bercerai atau ingin bercerai
b. Berumur 17-28 tahun
c. Ketergantungan obat atau alcohol atau riwayat ketergantungan dua
zat itu
d. Sedang hamil
e. Mempunyai partner dengan sifat memiliki dan cemburu berlebihan
f. Memiliki riwayat kekerasan di masa lalu, atau sering menyaksikan
kejadian kekerasan oleh kedua orangtuanya
g. Ketergantungan secara ekonomi terhadap pasangannya
Pelaku(mayoritas laki-laki):
a.
b.
c.
d.

Menggunakan alcohol
Mempunyai hubungan dengan wanita lain
Pencemburu dan posesif
Memiliki kepribadian paranoid dan perilaku impusif

2.5.2 Bentuk KDRT


Dalam pasal 5 Undang undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang merupakan bentuk- bentuk
Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah:
1. Kekerasan fisik
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh
sakit atau luka berat (pasal 6 )
2. Kekerasan psikis
Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan,
hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa
tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang (pasal 7)
3. Kekerasan seksual
Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan
hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar
dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain
untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
28

Kekerasan seksual meliputi (pasal 8):


a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang
menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut;
b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup
rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau
tujuan tertentu.
2.5.3

Penelantaran rumah tangga


Penelantaran rumah tangga adalah seseorang yang menelantarkan orang

dalam limgkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya
atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan,
perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Selain itu, penelantaran juga
berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan
cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar
rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut (pasal 9).
Berdasarkan umur korban kekerasan maka contoh KDRT yang sering
terjadi di masyarakat adalah sebagai berikut:
1. Sebelum lahir : abortus, pemukulan perut
2. Bayi : pembunuhan dan penelantaran, penyalahgunaan fisik, seks dan
psikis
3. Pra remaja : perkawinan usia anak, inses, fisik, seks, psikis, pelacuran,
pornografi.
4. Remaja dewasa : kekerasan, pemaksaan seks, inses, pembunuhan oleh
pasangan, pelacuran, pelecehan seks.
5. Usia lanjut : fisik, seks, psikis.
2.5.4. Hak- Hak Korban KDRT
Menurut pasal 10 UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga, hak-hak korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah :
a. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan,
advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun
berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan
b. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis
c. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban
d. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat
proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan

29

e. Pelayanan bimbingan rohani


2.5.5 Kewajiban Pemerintah dan masyarakat dalam KDRT
Peristiwa KDRT sangat banyak sekali terjadi di masyarakat, banyak kasus
terungkap, namun lebih banyak lagi yang tidak terungkap ke permukaan. Oleh
karena itu diperlukan kepekaan dari seluruh lapisan masyarakat terhadap kejadian
dan penanganan KDRT yang terjadi disekeliling mereka. Maka sudah merupakan
kewajiban pemerintah dan masyarakat ntuk turut serta dalam upaya menurunkan
tingkat kejadian KDRT.
1. Kewajiban pemerintah
Menurut Undang- undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan

Dalam

Pemberdayaan

Rumah

Perempuan)

Tangga,

pemerintah

bertanggung

jawab

(cq.
dalam

Menteri
upaya

pencegahan kekerasan dalam rumah tangga (pasal 11). Oleh


karenanya, sebagai pelaksanaan tanggung jawab tersebut, pemerintah
(pasal 12) :
a. Merumuskan kebijakan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga;
b. Menyelenggarakan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang
kekerasan dalam rumah tangga;
c. Menyelenggarakan advokasi dan sosialisasi tentang kekerasan
dalam rumah tangga;
d. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitif gender dan
isu kekerasan dalam rumah serta menetapkan standard an
akreditasi pelayanan yang sensitive gender.
Selanjutnya menurut pasal 13, untuk melanjutkan penyelenggaraan
pelayanan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga,
pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan
tugasnya masing- masing dapat melakukan upaya:
1. Penyediaan Ruang pelayanan Khusus (RPK) di kantor
kepolisian;
2. Penyediaan aparat, tenaga kesehatan, pekerja sosial, dan
pembimbing rohani;
3. Pembuatan dan pengembangan system dan mekanisme kerja
sama program pelayanan yang melibatkan pihak yang mudah
diakses oleh korban; dan
4. Memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi, keluarga,
dan teman korban.

30

Dalam menyelenggarakan upaya- upaya tersebut, pemerintah


dan pemerintah daerah dapat melakukan kerja sama dengan
masyarakat atau lembaga sosial lainnya (pasal 14).
Dari pasal pasal di atas, Nampak bahwa sebenarnya hukum
Indonesia telah melindungi warganya dari bentuk KDRT dengan
memberikan kewajiban bagi pemerintah untuk menyelenggarakan
berbagai upaya pencegahan maupun penanggulangan KDRT di
masyarakat.
2. Kewajiban Masyarakat
Menurut pasal 15 Undang- Undang

Nomor 23 Tahun 2004

tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, kewajiban


masyarakat terhadap suatu Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah
sesuai dengan batas kemampuannya, setiap orang yang mendengar,
melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga
wajib melakukan upaya- upaya untuk:
1. Mencegah berlangsungnya tindak pidana;
2. Memberikan perlindungan kepada korban;
3. Memberikan pertolongan darurat; dan
4. Membantu proses pengajuan permohonan penetapan
perlindungan
Jadi, dari pasal tersebut telah diwajibkan bagi setiap warga untuk
melakukan segala upaya untuk pencegahan dan penanggulangan
KDRT di Masyarakat.
2.5.6 Bentuk Perlindungan Bagi Orang KDRT
Apabila terjadi suatu kekerasan dalam rumah tangga, maka hukum
Indonesia telah memberikan perlindungan bagi korban KDRT, yang diatur dalam
Undang- undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga
BAB VI mengenai perlindungan sebagai berikut:
A. Perlindungan oleh kepolisian
Pelaksanaan perlindungan terhadap korban KDRT oleh pihak kepolisian
diatur dalam pasal 15,16, 17, 18, 19, 20, yaitu:

31

1. Dalam waktu 1 x 24 jam terhitung sejak mengetahui atau menerima


laporan

kekerasan

dalam

rumah

tangga,

kepolisian

wajibsegera

memberikan perlindungan sementara pada korban ( pasal 15 (1)).


2. Dalam waktu 1 x 24 jam terhitung sejak pemberian perlindungan
sementara,

kepolisian

wajib

meminta

surat

penetapan

perintah

perlindungan dari pengadilan ( pasal 16 (3)).


3. Dalam memberikan perlindungan sementara, kepolisian dapat bekerja
sama dengan tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping,
dan/atau pembimbing rohani untuk mendampingi korban ( pasal 17).
4. Kepolisian wajib memberikan keterangan kepada korban tentang hak
korban untuk mendapat pelayanan dan pendampingan ( pasal 18).
5. Kepolisian wajib segera melakukan penyelidikan setelah mengetahui atau
menerima laporan tentang terjadinya kekerasan dalam rumah tangga
( pasal 19 ).
6. Kepolisian segera menyampaikan kepada korban tentang :
a. Identitas petugas untuk pengenalan kepada korban
b. Kekerasan dalam rumah tangga adalah kejahatan terhadap martabat
kemanusiaan
c. Kewajiban kepolisian untuk melindungi korban ( pasal 20).
B. Perlindungan oleh Tenaga Kesehatan
Pelaksanaan perlindungan terhadap korban KDRT oleh tenaga kesehatan
diatur dalam pasal 21, yaitu :
a. Memeriksa kesehatan korban sesuai standar profesi
b. Membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan terhadap korban dan
visum et repertum atas permintaan penyidik kepolisian atau surat
keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama
sebagai alat bukti
c. Pelayanan kesehatan dilakukan di sarana kesehatan, milik
pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat.
C. Perlindungan oleh Pekerja Sosial
Pelaksanaan perlindungan terhadap korban KDRT oleh pekerja sosial
diatur dalam pasal 22, yaitu :
a. Melakukan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa
aman bagi korban
32

b. Memberikan informasi mengenai hak hak korban untuk


mendapatkan perlindungan dari kepolisian dan penetapan perintah
perlindungan dari pengadilan
c. Mengantarkan korban ke rumah aman atau tempat tinggal
alternative
d. Melakuakan koordinasi yang terpadu dalam memberikan layanan
kepada korban dengan pihak kepolisian, dinas sosial, lembaga
sosial yang dibutuhkan korban
e. Pelayanan pekerja sosial dilakukan di rumah aman milik
pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat
D. Perlindungan oleh Relawan Pendamping
Pelaksanaan perlindungan terhadap korban KDRT juga dapat dilakukan
oleh relawan pendamping, yaitu orang yang mempunyai keahlian untuk
melakukan konseling, terapi, dan advokasi guna penguatan dan pemulihan diri
korban kekerasan. Bentuk pelayanan diatur dalam pasal 23, yaitu:
a. Menginformasikan kepada korban akan haknya untuk mendapatkan
seorang atau beberapa orang pendamping
b. Mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan atau
tingkat pemeriksaan pengadilan dengan membimbing korban untuk
secara objektif dan lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah
tangga yang dialaminya
c. Mendengarkan secaraempati segala penuturan korban sehingga
korban merasa aman didampingi oleh pendamping
d. Aktif meberikan penguatan secara psikologis dan fisik kepada
korban.
E. Perlindungan oleh Pembimbing Rohani
Pelaksanaan perlindungan terhadap korban KDRT oleh pembimbing
rohani diatur dalam pasal 24, yaitu : Memberikan penjelasan mengenai hak,
kewajiban, dan memberikan penguatan iman dan taqwa kepada korban.

33

F. Perlindungan oleh Advokat


Pelaksanaan perlindungan terhadap korban KDRT oleh pengacara diatur
dalam pasal 25, yaitu :
a. Memberikan

konsultasi

hukum

yang

mencakup

informasi

mengenai hak hak korban dan proses peradilan


b. Mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan dalam siding pengadilan dan membantu korban untuk
secara lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang
dialaminya atau
c. Melakukan koordinasi dengan sesame penegak hokum, relawan
pendamping, dan pekerja social agar proses peradialan berjalan
semestinya.
Kekerasan yang dialami oleh korban KDRT dapat menimbulkan penderitaan
baik fisik, psikis, maupun social. Oleh karena itu dalam penanganan dan
pemberian perlindungan terhadap korban KDRT harus merupakan suatu
sinergisme dari pihak, dimana dalam pelaksanaannya tidak dapat dilakukan secara
terpisah melainkan secara bersama atau yang disebut sebagai system
penatalaksaan terpadu dan dalam penyelesaiannya diperlukan pendekatan
kerjasama multi disiplin medik, hokum, dan psikososial seperti yang telah
dijabarkan sebelumnya.
Yang dimaksud dengan system penatalaksaan terpadu adalah penanganan
korban kekerasan yang komprehensif dan holistic serta sesegera mungkin dengan
pendekatan kerjasama multi displin yang professional dan berperspektif gender
dan anak.
Pelayanan yang terpadu diperlukan agar korban kekerasan memperoleh
kemudahan dalam menerima seluruh layanan yang diperlukan dari petugas dengan
berbagai keahlian dengan hanya mendatangi suatu tempat, sehingga korban tidak
mendapatkan pertanyaan yang berulang- ulang, efisien waktu dan korban
terlindungi dari ancaman pelaku.
Untuk melaksanakan pelayanan terpadu yang ideal, korban sebaiknya
ditangai pada suatu tempat yang mudah diakses, dicari dan ditemukan oleh
anggota msyarakat namun masih dapat terjaga kerahasiannya. Di dalam tempat
34

tersebut korban mendapatkan pelayanan oleh petugas dari berbagai keahlian,


dokter, psikolog, perawat, pengacara, konnselor dan polisi serta pekerja sosial.
Para ahli ini sebaiknya berjenis kelamin yang sama, terutama bila korban adalah
perempuan.
Hal ini dilakukan guna mengantisipasi kenyataan bahwa perempuan dan
anak korban kekerasan lebh mudah berkomunikasi dan mudah terbuka kepada
petugas yang berjenis kelamin sama. Para ahli atau petugas tidak perlu harus
terjaga disana setiap saat, tetapi yang penting adalah bahwa pada saat ada kasus
mereka dapat dihadirkan dalam waktu relative cepat. Model ini disebut One Stop
Crisis Center yang memberikan kemudahan bagi korban untuk hanya dating
kesatu tempat guna menerima seluruh layanan yang diperlukan.
2.5.7 Pelaporan KDRT
Berdasar pasal 51 53 Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga maka tindak pidana kekerasan
fisik sesuai pasal 44 ayat 4, kekerasan psikis (sesuai pasal 45 ayat 2), dan
kekerasan seksual (sesuai pasal 46 yang dilakukan oleh suami terhadap isteri atau
sebaliknya) merupakan delik aduan. Oleh sebab itu, korban harus melaporkan
kekerasan yang dialaminya kepada pihak yang berwajib.
Menurut pasal 26 Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga mengenai pelaporan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga, korban berhak melaporkan secara :
-

Langsung atau memberikan kuasa kepada keluarga atau orang laian


mengenai kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya kepada
kepolisian, baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian
perkara.
Dan menurut pasal 27,dalam hak korban adalah seorang anak, laporan dapat

dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh, atau anak yang bersangkutan.

35

2.5.8 Alur Pelaporan KDRT Secara Langsung


Dalam hal korban hendak melaporkan secara langsung maka alur laporan
adalah sebagai berikut

Korban
atau
Klien

Kepolisian

Perlindunga
n
sementara

Pengadilan

Meminta surat
penetapan
perintah
perlindungan

Setelah mengetahui atau menerima laporan tentang terjadinya kekerasan


dalam rumah tangga kepolisian wajib segera melakukan penyelidikan. Dalam
waktu 1x24(satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak mengetahui atau
menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga, kepolisian wajib memberikan
perlindungan sementara pada korban. Perlindungan sementara diberikan paling
lama 7 (tujuh) hari sejak korban diterima atau ditangani. Dalam memberikan
perlindungan sementara, kepolisian bekerja sama dengan tenaga kesahatan,
pekerja sosial, relawan pendamping, dan / atau pembimbing rohani untuk
mendampingi korban. Setelah itu, dalam waktu 1x24 (satu kali dua puluh empat)
jam terhitung sejak pemberian perlindungan sementara, kepolisian wajib meminta
surat penetapan pemerintah perlindungan dari pengadilan.
2.5.9 Alur Pelaporan KDRT Secara Tidak Langsung
Dalam hal korban hendak melaporkan secara tidak langsung, misalnya
melalui LSM contohnya PPPA (Pusat Perlindungan Perempuan dan Anak), maka
alur pelaporan adalah sebagai berikut

36

Korban
atau klien

Tindakan :
Hukum
Medis
Psikologi
Shelter
Rujukan

Diterima /
identifikas
i register

Klien menandatangani form p

Konselor / divisi terkait sesuai ke

2.5.10 Pembuktian KDRT


Mengenai pembuktian kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam
Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga dikatakan bahwa sebagai salah satu alat bukti yang sah,
keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa
terdakwa bersalah, apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya
( pasal 55). Alat bukti yang sah lainnya itu menurut pasal 184 KUHAP adalah:
a. Keterangan saksi
b. Keterangan ahli
c. Surat
d. Petunjuk
e. Keterangan terdakwa
2.5.11 Pemeriksaan Korban KDRT
Sebelum memeriksa korban, dokter atau perawat, bidan atau tenaga medis
lain yang telah berpengalaman dengan banyak mengenal kasus kekerasan terhadap
perempuan dan anak harus menjelaskan kepada korban tentang prinsip dan tujuan
37

pemeriksaan, tata laksana pemeriksaan dan interpretasi hasil pemeriksaan, serta


kemudian

meminta

persetujuan

dari

korban

atau

keluarganya

dengan

menandatangi lembar persetujuan dari korban atau keluarganya dengan


menandatangani lembar persetujuan dalam berkas rekam medis. Korban yang
telah berusia 21 tahun atau telah pernah menikah ( KUHP pasal 72), sadar dan
tidak mempunyai gangguan jiwa ( Psiskosis atau retardasi mental) harus
menandatangi sendiri lembar persetujuan. Korban yang tidak memenuhi kriteria di
atas harus didampingi oleh orang tua wali atau keluarga dekatnya (ditandatangin
bersama).
Pemeriksaan medis dilakukan oleh dokter dengan ditemani oleh perawat
dan atau pekerja sosial. Pemeriksaan medis tidak dihadiri oleh ahli lain. Dokter
melakukan pemeriksaan medis dengan cermat dan menyeluruh, termasuk
penyiapan bahan untuk pemeriksaan laboratorium dan mengisi rekam medis
secara lengkap. Apabila diperlukan, mengkonsultasikan kepasa dokter spesialis
atau ahli lain yang diperlukan setelah sebelumnya meminta persetujuan kepada
korban atau pasien.
Pemeriksaan dilakukan sesuai dengan jenis sakit yang diderita oleh
korban. Bila korban meninggal dapat dilakukan pemeriksaan melalui otopsi. Bila
korban masih hidup, pemeriksaan yang lazim dan dapat dilakukan adalah
anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan psikis. Pada bab selanjutnya akan
ditunjukkan serangkaian model prosedur pemeriksaan sesuai jenis kekerasan yang
dapat dijadikan acuan untuk disesuaikan dengan situasi kondisi setempat serta
kemampuan sarana dari tenaga medis setempat.
2.5.12 Visum et Repertum Korban KDRT
Setelah melakukan pemeriksaan terhadap korban, seorang dokter wajib
menulis Visum et Reptertum korban KDRT. Visum et Reptertum yang dilakukan
terhadap korban tergantung dari kondisi korban saat pemeriksaan. Bila korban
meninggal dunia, maka dibuat Visum et Reptertum selayaknya pada korban mati,
sedangkan bila korban masih hidup, maka dibuat Visum et Reptertum selayaknya

38

pada korban hidup. Macam-macam Visum et Reptertum pada korban hidup


adalah:
1.

Visum et Repertum
Dibuat bila korban setelah diperiksa diperbolehkan pulang dan dapat bekerja
seperti biasa serta tidak ada halangan untuk melakukan pekerjaan.

2.

Visum et Repertum Sementara


Setelah pemeriksaan ternyata korban membutuhkan perawatan dan mendapat
gangguan untuk melakukan pekerjaan. Tidak dibuat kualifikasi luka.
Kegunaan bagi penyidik untuk menahan tersangka

3.

Visum et Repertum Lanjutan


Dibuat setelah korban selesai menjalani pengobatan, pindah rumah sakit atau
dokter, pulang paksa atau meninggal.

2.5.13 Pemulihan Korban KDRT


Pemulihan korban adalah segala upaya untuk penguatan korban Kekerasan
Dalam Rumah Tangga agar lebih berdaya, baik secara fisik maupun psikis.
Menurut pasal 39-43 Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang diperkuat dengan PP No. 4 tahun 2006
tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan Dalam
Rumah Tangga pasal 2, penyelenggaran pemulihan terhadap korban dilaksanakan
oleh instansi pemerintah dan pemerintah daerah serta lembaha sosial sesuai
dengan tugas dan fungsi masing-masing, termasuk menyediakan fasilitas yang
diperlukan untuk pemulihan korban.
Penyelenggaran kegiatan pemulihan korban menurut PP No. 4 tahun 2006
pasal 4 yaitu meliputi kegiatan:
a. Pelayanan kesehatan
b. Pendampingan korban
c. Konseling
d. Bimbingan rohani
e. Resosialisasi

39

untuk kepentingan pemulihan, menurut PP pasal 6, korban berhak mendaptkan


pelayanan dari:

Tenaga kesehatan; tenaga kesehatan wajib memeriksa korban


sesuai dengan standart profesi, dan dalam hal korban memerlukan
perawatan, tenaga kesehatan wajib memulihkan dan merehabilitasi
kesehatan korban.

Pekerja sosial

Relawan pendamping

Pembimbing rohani.

Pekerja sosial, relawan pendamping dan/atau pembimbing rohani wajib


memberikan pelayanan kepada korban dalam bentuk pemberian konseling untuk
menguatkan dan/ atau memberikan rasa aman bagi korban.
2.5.14 Sanksi Pidana Bagi Pelaku KDRT
Sanksi pidana yang dapat dikenakan pada pelaku KDRT diatur dalam UU
Nomor 23 tahun 2004 pasal 44-50, namun dalam proses pengesahan UndangUndang ini, bab mengenai ketentuan pidana sempat dipermasalahkan karena:

Tidak menentukan batas hukuman minimal

Hanya mengatur batas hukuman maksimal. Sehingga dikhawatirkan


seorang pelakukan dapat hanya dikenai hukuman percobaan saja.

40

Sanksi Bagi Pelaku Kekerasan Fisik Dalam Rumah Tangga

Pasal

Keterangan

Pidana maksimum

Denda maksimum

44 (1)

Kekerasan fisik

5 tahun

Rp 15 juta

44 (2)

Korban jatuh/ luka bakar

10 tahun

Rp 30 juta

44 (3)

Korban mati

15 tahun

Rp 45 juta

44 (4)

Dilakukan suami kepada isteri atau 4 bulan


sebaliknya,

tidak

Rp 5 juta

menyebabkan

penyakit atau menghalangi aktivitas


sehari- hari

Sanksi Pelaku Kekerasan Psikis

Pasal

Keterangan

Pidana maksimum

Denda maksimum

45 (1)

Kekerasan psikis

3 tahun

Rp 9 juta

45 (2)

Dilakukan suami kepada isteri atau 4 bulan

Rp 3 juta

sebaliknya,

tidak

menyebabkan

penyakit atau menghalangi aktivitas


sehari- hari

Sanksi Pelaku Kekerasan Seksual


Pasal

Keterangan

Pidana maksimum

46

Korban menetap dalam lingkup rumah 12 tahun

Denda maksimum
Rp 36 juta
41

tangga
47

Dilakukan untuk tujuan komersial atau 4- 15 tahun

Rp 12- 300 juta

tertentu
48

Mengakibatkan
mungkin

luka

sembuh,

yang

gangguan

tidak 5- 20 tahun

Rp 25- 500 juta

jiwa,

keguguran, gangguan alat reproduksi


49

Penelantaran rumah tangga sesuai pasal 3 tahun

Rp 15 juta

Sanksi Pidana Tambahan


Sanksi pidana tambahan dapat dilakukan pada pelaku umtuk melindungi korban,
sesuai diatur pada pasal 50 Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2004, yaitu:

Pembatasan gerak pelaku atau hak- hak tertentu dari pelaku dengan tujuan
untuk menjauhkan pelaku dari korban

Penetapan pelaku untuk ikut program konseling di bawah lembaga tertentu

BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Kasus

42

Jawa Pos, 8 Juni 2014 03.50 WIB


SUAMI BACOK LEHER ISTRI

Banyuwangi, Kekerasan dalam rumah tangga menimpa Siti Marminah


(57), warga dusun Tegal Sari Kidul, Desa Purwosari, Kecamatan Tegal
Dlimo, Banyuwangi. Perempuan itu harus dioperasi di Rumah Sakit AlHuda Gambiran setelah lehernya ditebas dengan golok oleh suaminya,
Sudarno (58).
Pembacokan terjadi pukul 07.00 WIB. Aksi membabi buta yang
dilancarkan tersangka, mengakibatkan leher korban terluka sepanjang 1020 cm. selain itu, jari telunjuk korban putus.
Kepada Jawa pos Radar Banyuwangi, dr Soegeng Hary Priyanto
menjelaskan bahwa korban bisa diselamatkan. Sebab, sabetan golok di
leher korban itu ternyata tidak mengenai pusat saraf otak. Saraf otak tidak
kena, korban juga tidak pingsan tadi. Jelas Hospital Liaison Officer
( HLO ) RS Al-Huda Gambiran, Banyuwangi tersebut. Setelah ditangani di
intensive care unit ( ICU ), korban segera mendapatkan operasi pemulihan.
Operasi itu dilakukan sekitar 10.00 WIB kemarin. Yang sulit adalah
menyambung bagian yang putus itu. Ujarnya.
Sementara itu, Kapolsek Tegal Dlimo AKP Hery Purnomo memutuskan,
motif pelaku masih diselidiki. Diduga, kasus tersebut mengarah pada
urusan rumah tangga. Saat ini tersangka ditahan di polsek. tuturnya.

3.2. Analisa Kasus


Dari kasus kekerasan fisik dalam rumah tangga diatas, dapat dianalisa
beberapa permasalahan yang muncul dari berbagai sisi, yaitu :
1. Permasalahan dari sisi korban ( istri )

43

a. Korban mendapat perlakuan kekerasan fisik dari pelaku berupa sabetan


golok yang menyebabkan leher korban terluka sepanjang 10-20 cm
dan jari telunjuk korban putus.
b. Korban langsung dibawa ke RS Al-Huda Gambiran dan melaporkan
kekerasan fisik tersebut ke polisi.
2. Permasalahan dari sisi Pelaku ( suami )
a. Peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh pelaku diduga oleh karena
urusan rumah tangga yang motifnya masih belum diketahui.
3. Permasalahan dari sisi penegak hukum
a. Pelaku telah melakukan sebuah kekerasan fisik dalam rumah tangga,
sesuai dengan Undang-Undang No.23 Tahun 2004 tentang Kekerasan
Dalam Rumah Tangga pasal 6 yang berbunyi Kekerasan fisik
sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang
mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.
b. Karena perbuatannya pelaku dapat dikenai sanksi sesuai dengan
Undang-Undang no. 23 tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah
Tangga pasal 44 ayat 2 yang berbunyi Dalam hal perbuatan yang
dimaksud pada ayat 1 mengakibatkan korabn mendapat jatuh sakit atau
luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun atau denda paling banyak Rp. 30.000.000,00 (tiga puluh juta
rupiah).

4. Permasalahan dari sisi medis


a. Dilihat dari segi fisik korban mengalami luka akibat sabetan golok
oleh pelaku yang mengakibatkan leher korban terluka sepanjang 10-20
cm dan jari telunjuk korban putus.

44

BAB IV
PENUTUP
4. 1 Kesimpulan

45

Menurut UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam


Rumah Tangga pasal 1 ayat 1, yang disebut sebagai kekerasan dalam rumah
tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan,yang
berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum dalam lingkup rumah tangga.
Yang dimaksud dengan pelaku KDRT adalah orang yang melakukan
kekerasan dan/atau ancaman dalam lingkup rumah tangga. Yang dimaksud korban
KDRT adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan
dalam lingkup rumah tangga.
Kekerasan dalam rumah tangga adalah kejadian yang sangat sering terjadi di
masyarakat, bukan hanya di Surabaya, namun juga di Indonesia bahkan di seluruh
dunia. Di dunia Sekitar 50 penelitian berbasis populasi yang diadakan di 36
negara menunjukkan bahwa 10-60% perempuan yang pernah menikah atau
mempunyai pasangan, setidaknya mengalami 1 kali insiden kekerasan fisik dari
pasangan intim atau mantan pasangan intimnya (Heis et al, 1999).
Berdasar pasal 51, 53 Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga maka tindak pidana kekerasan
fisik sesuai pasal 44 ayat 4, kekerasan psikis (sesuai pasal 45 ayat 2), dan
kekerasan seksual (sesuai pasal 46 yang dilakukan oleh suami terhadap isteri atau
sebaliknya) merupakan delik aduan. Oleh sebab itu, korban harus melaporkan
kekerasan yang dialaminya kepada pihak yang berwajib. Menurut pasal 26
Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga mengenai pelaporan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Apabila terjadi suatu kekerasan dalam rumah tangga, maka hukum
Indonesia telah memberikan perlindungan bagi korban KDRT yang diatur dalam
Undang- undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga
BAB VI. Untuk pembuktian kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga telah diatur
dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang penghapusan Kekerasan

46

Dalam Rumah Tangga. Alat bukti yang sah lainnya itu menurut pasal 184 KUHAP
yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.
Setiap pasien yang diduga korban tindak pidana meskipun belum ada surat
permintaan visum et repertum dari polisi, dokter harus membuat catatan medis
atas semua hasil pemeriksaan medisnya secara lengkap dan jelas sehingga dapat
digunakan untuk pembuatan visum et repertum. Umumnya, korban dengan luka
ringan datang ke dokter setelah melapor ke penyidik, sehingga membawa surat
permintaan visum et repertum. Sedangkan korban dengan luka sedang/berat
akan datang ke dokter sebelum melapor

ke

penyidik,

sehingga

surat

permintaan datang terlambat.


Prosedur, Permintaan, Penerimaan dan Penyerahan Visum et Repertum dan
tatacara permintaan visum et repertum untuk korban hidup
1. Permintaan harus secara tertulis, tidak dibenarkan melalui telepon, lisan atau
pos.
2. Korban adalah barang bukti, maka permintaan visum et repertum harus
diserahkan sendiri oleh polisi bersama-sama korban/tersangka kepada dokter.
3. Tidak dibenarkan meminta visum pada perkara yang telah lewat. Pada mayat
harus diberi label, sesuai KUHP 133 ayat C.
4.2.

Kesimpulan kasus
Dari kasus yang telah dibahas tentang kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT), dapat disimpulkan :
1. Korban mendapat perlakuan kekerasan fisik dari pelaku berupa sabetan
golok yang menyebabkan leher korban terluka sepanjang 10-20 cm dan
jari telunjuk korban putus.
2. Peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh pelaku diduga oleh karena urusan
rumah tangga yang motifnya masih belum diketahui
3. Pelaku telah melakukan sebuah kekerasan fisik dalam rumah tangga,
sesuai dengan Undang-Undang No.23 Tahun 2004 tentang Kekerasan
Dalam Rumah Tangga pasal 6 yang berbunyi Kekerasan fisik

47

sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang


mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.
4. Karena perbuatannya pelaku dapat dikenai sanksi sesuai dengan UndangUndang no. 23 tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga pasal
44 ayat 2 yang berbunyi Dalam hal perbuatan yang dimaksud pada ayat 1
mengakibatkan korabn mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling
banyak Rp. 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).

48

Anda mungkin juga menyukai