Anda di halaman 1dari 2

Ketahanan Energi Nasional semakin Jauh Panggang dari Api

Oleh : Muhammad Fauzi Mustamin


Energi merupakan suatu variabel yang kekal di alam semesta. Kita tidak dapat menciptakannya,
karena mulai saat bigbang terjadi hingga saat sekarang ini, energi tersebut tetap. Ia hanya dapat
berubah bentuk dari satu jenis energi menjadi jenis energi yang lain. Seperti bahan bakar minyak
menjadi energi untuk menggerakkan kendaraan bermotor, batu bara berubah menjadi energi
listrik menerangi malam, dan masih banyak aplikasi dari prinsip energi tersebut.
Terpenuhinya pemenuhan energi menjadi salah satu parameter berdaulatnya suatu Negara.
Pemenuhan kebutuhan energi berkorelasi dengan terpenuhinya parameter lain seperti ekonomi
yang merupakan hal vital dalam kehidupan bernegara. Hal ini karena energi adalah komponen
penting dalam produksi barang dan jasa yang akan menyebabkan menurunnya produktivitas
ekonomi suatu wilayah saat pasokan energi mengalami gangguan.
Menurut International Energy Agency (IEA), ketahanan energi merupakan ketersediaan sumber
energi yang tidak terputus dengan harga terjangkau. Ukuran lain dalam menilai ketahanan energi
suatu Negara adalah apabila mampu memenuhi kebutuhan energi selama 90 hari. Sementara
dari kedudukan dan kepentingan suatu Negara, menurut Yergin (2006), ketahanan energi
dibedakan menjadi ketahanan energi Negara pengekspor dan ketahanan energi Negara
pengimpor. Negara pengekspor memiliki ketahanan energi saat mampu mengamankan pasokan
dalam negeri dan Negara pengimpor terjamin ketahanan energinya saat mampu melakukan
diversifikasi energi.
Indonesia, Negara yang kaya akan sumber energi, masih saja belum mampu memenuhi
kebutuhan energi nasional secara mandiri. Menurut Darmawan, Anggota Tim Reformasi Tata
Kelola Migas, produksi minyak dalam negeri akan terus menurun hingga hanya menghasilkan
500.00 barrel per hari pada 2024. Disisi lain permintaan terus meningkat, bahkan mencapai 6%
setiap tahun. Sehingga permintaan migas akan mencapai 2,6 juta barrel perhari. Hal ini
mengakibatkan adanya defisit sekitar 2,1 juta barrel per hari.
Liberalisasi sektor energi memperparah kondisi ketahanan energi Indonesia. Hal ini terlihat
sangat jelas saat harga BBM diturunkan pertengahan Januari 2015 mengikuti harga pasar.
Mungkin banyak masyarakat tidak mengetahui, meskipun harga BBM yang pada pertengahan
November naik sebesar Rp.8.500 telah diturunkan menjadi Rp.7.600 awal tahun ini dan
pertengahan Januari sudah kembali turun dikisaran Rp.6.600, harga tersebut sebenarnya sudah
tidak lagi mendapat subsidi dari pemerintah. Ini megindikasikan harga BBM kedepannya akan
berfluktuatif sesuai dengan mekanisme pasar.
Pakar ekonom Ichsanuddin Noorsy sudah jauh-jauh hari memprediksikan hal ini. Pada September
2010, Ichsan mengatakan bahwa liberalisasi energi tinggal menunggu waktu. Pada saatnya akan
berlaku mekanisme pasar untuk premium dan solar. Terbukti pada saat sekarang ini, harga BBM
telah mengikuti mekanisme pasar sesuai dengan prediksi Noorsy. Beliau menambahkan, meski

liberalisasi sektor energi bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945, pemerintah seperti tidak
punya pilihan karena adanya kesepakatan pelaksanaan mekanisme pasar dengan World Bank.
Indonesia tidak akan bisa menjaga ketahanan energi dan hanya menjadi ladang eksploitasi bagi
perusahaan energi asing, tambah beliau.
Kekurangan anggaaran dana APBN dalam mewujudkan Masterplan Percepatan dan Perluasan
Pembangungan Ekonomi Indonesia (MP3EI) membuat pemerintah membuka peluang yang besar
bagi investor asing untuk menutupi kekurangan tersebut. Saham yang ditanamkan investor asing
menjadi premis kuat dalam mendikte kebijakan pemerintah untuk memeuhi kepentingan
mereka. Sehingga, menjadi suatu hal yang biasa ketika pemerintah mengeluarkan regulasi yang
lebih memihak kepada para pemodal daripada rakyat sendiri. Seperti pencabutan subsidi BBM,
hal ini menjadikan premium dari perusahaan lokal menjadi tidak ada bedanya dengan premium
dari perusahaan asing seperti Shell dan Petronas.
Ketahanan energi pada akhirnya hanya menjadi visi politik yang tidak pernah diusahakan dengan
sungguh-sungguh perealisasiannya. Alih-alih mengembangkan sumber energi terbarukan demi
tercapainya diversifikasi energi, pemerintah malah meliberalisasi harga BBM dan membuka pintu
masuk investor asing melakukan ekploitasi. Apa yang terkandung dalam UUD 1945 pasal 33 ayat
3, Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat pun hanya menjadi pajangan
dalam kitab UUD Negara. Konstitusi Negara akhirnya harus dikalahkan oleh mekanisme pasar
khas neoliberalisme. @muhfauzim

Anda mungkin juga menyukai