Anda di halaman 1dari 18

KOROSI

Korosi merupakan penurunan mutu logam akibat reaksi elektrokimia dengan


lingkungannya. Secara umum korosi meliputi hilangnya logam pada bagian yang ter- ekpose.
Korosi terjadi dalam berbagai macam bentuk, mulai dari korosi merata pada seluruh
permukaan logam sampai dengan korosi yang terkonsentrasi pada bagian tertentu saja.
Korosi pada logam terjadi karena adanya aliran arus listrik dari satu bagian pada ke
bagian yang lain di permukaan logam. Aliran arus ini akan menyebabkan hilangnya metal
pada bagian dimana arus dilepaskan ke lingkungan (oksidasi atau reaksi anoda). Proteksi
terjadi di titik dimana arus kembali ke permukaan logam (reaksi katoda).
Terdapat empat unsur pokok yang harus dipenuhi agar korosi dapat terjadi. Jika salah
satunya hilang, maka korosi tidak dapat terjadi. Empat unsur pokok tersebut antara lain;

Anoda, tempat terjanya reaksi oksidasi.

Katoda, tempat terjadinya reaksi reduksi.

Elektrolit, Lingkungan tempat katoda dan anoda ter-ekpose.

Sambungan logam, katoda dan anoda harus disambung dengan menggunaan


sambungan logam agar arus listrik dapat mengalir.

Gambar 2.1 Mekanisme Korosi

Pada logam yang sama, salah satu bagian permukaannya dapat menjadi anoda dan
bagian permukaan lainnya menjadi katoda. Hal ini bisa saja terjadi karena kemungkinan
logam terdiri dari phase yang berbeda, karena permukaan logam dilapisi dengan kondisi
coating yang berbeda, atau karena di permukaan logam
terdapat lebih dari satu macam elektrolit.

Gambar 2.2 Korosi pada permukaan logam

Logam dapat dicelupkan pada elektrolit atau permukaan logam dapat digenangi oleh
elektrolit dan membentuk lapisan tipis. Laju korosi bergantung pada konduktifitas listrik
elektrolit. Air murni memiliki konduktifitas listrik yang kurang baik sehingga laju korosi yang
terjadi akan lebih rendah jika dibandingkan dengan larutan asam yang memiliki konduktifitas
listrik tinggi.

Gambar 2.3 Reaksi elektrokimia pada logam

Salah satu contohnya adalah korosi yang terjadi antara seng dan asam HCl. Berikut ini
merupakan gambaran reaksi elektrokimia yang terjadi;
Zn + 2HCl ZnCl2 + H2

(1)

Seng bereaksi dengan larutan asam sehingga membentuk seng clorida dan
melepaskan gas hidrogen ke udara. Reaksi ionik yang terjadi adalah sebagai berikut;
+

2+

(2)

Zn + 2H + 2Cl Zn + 2Cl + H2
-

Dengan menghapus Cl pada kedua sisi, reaksi dapat disederhanakan menjadi; Zn + 2H


2+

Zn + H2

Reaksi di atas dapat dibagi menjadi reaksi anoda dan reaksi katoda.
2+

Zn Zn + 2e reaksi anoda
+

(3)

2H + 2e H2 reaksi katoda

(4)

Reaksi elektrokimia seperti pada (3) dan (4) hanya dapat terjadi pada nilai tertentu saja.
Jika tersedia elektron pada (4), maka potensial pada permukaan akan menjadi lebih negatif,
kelebihan

elektron

akan

mengakibatkan

arus

negatif

terkumpul pada logam atau pada larutan menunggu reaksi berikutnya terjadi. Reaksi tidak
akan cukup cepat untuk mengakomodasi semua elektron yang tersedia. Potensial arus negatif
ini disebut dengan polarisasi katodik. Kekurangan elektron pada metal karena pelepasan
elektron yang terjadi pada (3) pada larutan akan menghasilkan perubahan arus positif
yang disebut dengan polarisasi anoda. Jika kekurangan
semakin

besar,

kecendrungan

semakin besar. Polarisasi anoda

elektron (polarisasi)

pemutusan hubungan anoda akan


yang

terjadi

akan mendorong terjadinya korosi

dengan reaksi anoda (3).


Pada larutan elektrolit, permukaan akan mencapai nilai potensial yang setimbang E corr,
yang nilainya tergantung pada kemampuan dan laju pertukaran elektron pada reaksi
katoda dan anoda. Pada saat nilai potensial meningkat dari Ecorr menjadi

E,laju reaksi

anoda atau laju korosi secara umum akan meningkat. Polarisasi anoda dapat didefinisikan
sebagai a = E - Ecorr. Tanpa polarisasi, laju korosi akan

terjadi

sangat

cepat.

Polarisasi akan menurunkan reaksi korosi dan memperkecil logam yang hilang dengan cara
merubah potensial pada anoda atau katoda atau pada keduanya, sehingga perbedaan potensial
di antara kedua berubah menjadi minimum.
Kemampuan logam untuk menahan korosi biasanya bergantung pada posisi mereka
dalam deret elektrokimia.

Tabel 2.1 Deret Elektrokimia

Element
Magnesium
Zinc
Aluminium
Chromium
Iron
Cadmium
Cobalt
Nickel
Tin
Lead
Hydrogen
Antimony
Copper
Silver

Ion
Mg

2+

0.7

-1.35

0.5

2+

-0.76

0.7

2+

-0.6

0.32

2+

-0.44

0.18

2+

-0.4

0.5

2+

-0.29

2+

-0.22

0.15

2+

-0.14

0.45

-0.13

0.45

Al

Zn
Cr
Fe

Cd
Co
Ni

Sn
Pb

0.00

3+

+0.11

0.42

2+

+0.34

0.25

+0.8

0.1

Sb

Cu
+
Ag

3+

Au

Oxygen

OH

Cl

-1.87 (Base End)

Hydrogen
Overvoltage
(Volts)

3+

Gold

Chlorine

Electrode Potential
(Volts)

+1.3 (Noble End)

0.35

+0.4
+1.36

Jika dua buah logam yang jenisnya berbeda terpisah sangat jauh pada deret
elektrokimia, maka arus listrik yang dihasilkan karena kontak yang terjadi diantara keduanya
akan semakin besar. Logam yang berada pada deretan tabel bagian atas adalah logam yang
aktif, sedangkan logam yang berada pada tabel bagian bawah adalah logam noble. Jadi,
semakin kearah atas tabel maka logam akan semakin mudah terkorosi dan semakin ke arah
bawah tabel maka logam akan semakin terproteksi.
Salah satu contohnya adalah korosi yang terjadi antara tembaga dan besi baja
yang direndam dalam larutan asam.

Gambar 2.4 Korosi yang terjadi antar tembaga dan besi baja

2.2

Jenis-Jenis korosi
Berdasarkan bentuk dan tempat terjadinya, korosi terbagi dalam beberapa jenis

antara lain; korosi merata (uniform corrosion), korosi sumuran, korosi antar butir, korosi
erosi, korosi galvanik dan korosi celah dan masih banyak lainnya. Berikut ini merupakan
penjelasannya;

2.2.1 Korosi Merata


Korosi merata atau general corrosion merupakan bentuk korosi yang paling lazim
terjadi. Korosi yang muncul terlihat merata pada seluruh permukaan logam dengan intensitas
yang sama. Salah satu contohnya adalah effek dari korosi atmosfer pada permukaan
logam. Korosi merata terjadi apabila seluruh bagian logam memiliki komposisi yang sama.
Korosi jenis ini biasanya dapat diatasi dengan cara meng-coating permukaan logam.

Gambar 2.5 Korosi Merata

2.2.2 Korosi Sumuran


Korosi sumuran merupakan korosi yang muncul dan terkonsentrasi pada daerah
tertentu. Bentuk korosi ini biasanya disebabkan oleh klorida. Mekanisme terbentuknya korosi
sumuran sama dengan korosi celah. Hanya saja korosi sumuran ukurannya lebih kecil jika
dibandingkan dengan korosi celah. Karena jaraknya yang saling berdekatan satu sama lain,
korosi sumuran akan mengakibatkan permukaan logam menjadi kasar. Korosi sumuran terjadi
karena komposisi material yang tidak homogen, rusaknya lapisan pelindung,

adanya

endapan dipermukaan material, serta adanya bagian yang cacat pada material.

Gambar 2.6 Mekanisme Korosi Sumuran

Gambar 2.7 Korosi Sumuran

2.2.3 Korosi Antar Butir


Korosi antar butir atau interglanular corrosion merupakan korosi yang terjadi pada
graind boundary sebuah logam atau alloy. Korosi tipe ini biasanya disebabkan

karena adanya impuritas atau pengotor pada batas butir dan dan terjadi secara lokal
disepanjang batas butir pada logam paduan.

Gambar 2.8 Korosi Antar Butir

Gambar di atas menunjukkan sebuah logam stainless steel yang terkorosi pada
bagian yang terkena panas dimana jaraknya tidak jauh dari bagian las-lasan. Ini merupakan
tipikal dari korosi antar butir pada austenic stainless steel. Korosi tipe ini dapat dihilangkan
dengan menggunakan stailess steel 321 atau 347 atau dengan menggunakan stainless stell
yang tingkat karbonnya rendah (304L atau 316L)

2.2.4 Korosi Erosi


Korosi erosi merupakan gabungan dari kerusakan elekrokimia dan kecepatan fluida
yang tinggi pada permukaan logam. Korosi erosi dapat pula terjadi karena adanya aliran fluida
yang sangat tinggi melewati benda yang diam atau statis. Atau bisa juga terjadi karena sebuah
objek bergerak cepat di dalam fluida yang diam, misalnya baling-baling kapal laut.

Gambar 2.9 Korosi Erosi

Bagian permukaan logam yang terkena korosi biasanya relatif lebih bersih jika
dibandingkan dengan permukaan logam yang terkena korosi jenis lain. Erosi korosi dapat
dikendalikan dengan menggunakan material yang terbuat dari logam yang keras, merubah
kecepatan alir fluida atau merubah arah aliran fluida.

2.2.5 Korosi Galvanik


Korosi galvanik terjadi apabila dua buah

logam yang jenisnya berbeda di

pasangkan dan direndam dalam cairan yang sifatnya korosif. Logam yang rebih aktif atau
anoda akan terkorosi, sementara logam yang lebih noble atau katoda tidak akan terkorosi.
Pada tabel galvanisasi, aluminium dan seng lebih aktif jika dibandingkan dengan baja.

Tabel 2.2 Deret Galvanis

Metal

Volt

Commercially pure magnesium

-1.75

Magnesium Alloy (6%Al, 3% An, 0.15% Mn)

-1.6

Zinc

-1.1

Aluminium Alloy (5% seng)

-1.05

Commercially pure Aluminium

-0.8

Mild steel (clean and shiny)

-0.5 sd -0.8

Mild steel (rusted)

-0.2 sd -0.5

Cast Iron (non graphitized)

-0.5

Lead

-0.5

Mild steel in concrete

-0.2

Copper, brass, bronze

-0.2

High silcon cast iron

-0.2

Mill scale on steel

-0.2

Carbon, graphite, coke

+0.3

Gambar 2.10 Mekanisme korosi galvanik

Gambar 2.11 Korosi Galvanik

Korosi galvanik ini banyak terjadi pada benda yang menggunakan lebih dari satu
macam logam sebagai komponennya, misalnya pada automotif. Jika aluminium terhubung
langsung dengan baja, maka aluminium akan terkorosi. Untuk mengatasi hal ini, maka di
antara aluminium dan baja harus ditempatkan sebuah benda non logam atau isolator untuk
memisahkan kontak listrik di antara keduanya.
Mekanisme korosi galvanik biasanya digunakan untuk sistem proteksi pada komponen
baja, misalnya proteksi pada lambung kapal, tiang penyangga dermaga, pipa baja, tiang
penyangga jembatan dan lain sebagainya.

2.2.6 Korosi Celah


Korosi celah merupakan korosi yang terkonsentrasi pada daerah tertentu. Korosi
celah terjadi karena adanya larutan atau elektrolit yang terperangkap di dalam celah atau
lubang, misalnya pada sambungan dua permukaan logam yang sejenis, permukaan logam yang
retak, baut dan tapal. Elektrolit yang terperangkap pada lubang akan menimbulkan beda
konsentrasi oksigen, sehingga terbentuk sel korosi. Daerah dengan konsentrasi oksigen tinggi
berperan sebagai katoda dan daerah konsentrasi oksigen rendah berperan sebagai anoda.

Gambar 2.12 Mekanisme korosi celah

Gambar 2.13 Korosi Celah

2.3

Laju Korosi
Korosi sangat dipengaruhi oleh lingkungan misalnya temperatur pH, oksigen,

kecepatan fluida, dan zat-zat oksidator. Untuk menghitung laju korosi, terdapat dua metode
yang dapat digunakan antara lain metode kehilangan berat atau weight gain loss (WGL) dan
metode elektrokimia.

R=

534 W
DAT

(2.1)

Dimana
R

= laju korosi (mil per year)

= kehilangan berat (mg)

= Berat jenis (g/cm )

= Luas permukaan (inchi )

= Rentan waktu yang digunakan untuk pengujian (jam)

Satuan laju korosi MPY diatas dapat dikonversi dalam beberapa tipe satuan lainnya, antara
lain 1 mpy = 0.0254 mm/yr = 25.4 m/yr = 2.90 mm/h = 0.805 pm/s.

Atau laju korosi dapat dihitung dengan persamaan berikut ini;

R=
Dimana
R

= laju korosi (mil per year)

= kehilangan berat (mg)

87600 W
DAT

(2.2)

= Berat jenis (g/cm )

= Luas permukaan (cm )

= Rentan waktu yang digunakan untuk pengujian (jam)

R=

87.6 W
DAT

(2.3)

Dimana
R

= laju korosi (mil per year)

= kehilangan berat (mg)

= Berat jenis (g/cm )

= Luas permukaan (cm )

= Rentan waktu yang digunakan untuk pengujian (jam)

2.4

Metode Pencegahan Korosi

Lima macam metode yang digunakan untuk mengontrol korosi adalah pelapisan atau
coating, perlakuan lingkungan, pemilihan material, desain berlebih dan proteksi katodik.

2.4.1 Pelapisan
Pelapisan merupakan cara yang paling umum dilakukan untuk melindungi logam dari
serangan korosi. Pelapis yang dapat digunakan antara lain cat, logam (galvanisasi, plastik dan
semen. Pada dasarnya pelapis-pelapis ini berfungsi untuk melindungi logam dari reaksi yang
tidak menguntungkan dengan lingkungan, oleh karena itu pelapis-pelapis ini harus bersifat
mudah dilapiskan, memiliki daya adhesi

yang baik, dapat bertahan lama dan memiliki sifat tahan

terhadap korosi, tahan

terhadap temperatur tinggi, tahan air, dan lain sebagainya.

2.4.2 Perlakuan Lingkungan


Perlindungan terhadap korosi dapat juga dilakukan dengan mengusahakan lingkungan
menjadi tidak korosif. Namun hal ini biasanya hanya bisa dilakukan pada lingkungan terbatas.
Misalnya mengurangi atau menghilangkan uap air dan partikel- partikel korosi yang bersifat
korosif.

2.4.3 Pemilihan Material


Pencegahan korosi dengan memilih material dilakukan dengan menggunakan material
logam ataupun paduannya yang bersifat tahan korosi, misalnya titanium ataupun baja tahan
karat.

2.4.4 Desain Berlebih dan Perbaikan Desain


Pencegahan korosi dengan menggunakan desain berlebih dilakukan dengan cara
menambah ukuran material yang sebenarnya, agar umur pakainya dapat diperpanjang sesuai
dengan kebutuhan.

2.4.5 Proteksi Katodik


Proteksi katodik dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan menggunakan anoda
korban (sacrificial anode) dan inpress current (ICCP). Proteksi katodik dengan anoda korban
terjadi saat sebuah logam dihubungkan dengan logam yang lebih reaktif (anoda). Hubungan
ini mengarah pada sebuah rangkaian galvanik. Untuk memindahkan korosi secara efektif
dari struktur logam, material anoda harus

mempunyai

beda

potensial

cukup

besar

untuk

menghasilkan

arus

listrik.

Penggunaan proteksi katodik secara efektif akan menyediakan proteksi yang baik pada seluruh
area permukaan material. Kombinasi coating dan proteksi katodik akan memberikan pilihan
yang lebih ekonomis dan efektif untuk memproteksi material pada lingkungan tanah dan
air laut.

Gambar 2.14 Proteksi katodik dengan anoda korban

Terdapat tiga macam material yang dibiasanya digunakan dalam proteksi katodik untuk
material baja, yaitu magnesium, seng dan aluminium. Pemilihan anoda untuk proteksi
tergantung pada restifitas dan elektrolit yang akan digunakan. Berikut ini merupakan
keterangannya;

Magnesium
Anoda

magnesium

lingkungan

tanah.

biasanya
Terdapat

digunakan
dua

buah

untuk proteksi
alloy megnesium

katodik

pada

yang

umum

digunakan pada proteksi katodik yaitu High-Potential Magnesium dan H-1


Alloy. High Potential Alloy dihasilkan langsung dari magnesium yang disuling dari air
laut, sementara H-1 Alloy dihasilkan dari magnesium yang diperoleh dari recycling
facilities. High-Potential Alloy menyediakan maksimum tegangan keluaran sebesar
-1.70 volt relatif terhadap tembaga sulfat sedangkan H-1

Alloy menghasilkan tegangan keluaran yang lebih rendah yaitu -1.40 volt relatif
terhadap tembaga sulfat. Pemilihan alloy magnesium pada proteksi katodik
membutuhkan pertimbangan kebutuhan arus, resistifitas tanah, dan biaya yang akan
dikeluarkan. Standar kimia yang dibutuhkan pada alloy magnesium adalah sebagai
berikut;

Tabel 2.3 Standar kimia alloy magnesium

Tabel 2.4 Grade Magnesium Alloy

Seng
Anoda seng digunakan untuk protesi katodik pada lingkungan tanah yang memiliki
resistifitas rendah, beberapa kondisi air seperti air laut, air payau dan air tawar. Berikut
ini merupakan tabel komposisi anoda seng untuk pengunaan pada lingkungan air laut.

Tabel 2.5 Komposisi anoda seng untuk lingkungan air laut

Anoda seng yang standar digunakan pada proteksi katodik di lingkungan air laut dan
lingkungan air payau adalah mengandung aluminium dan cadminium.

Aluminium
Anoda aluminium digunakan pada lingkungan air laut dan beberapa kondisi air tawar.
Aluminium memiliki umur yang lebih panjang jika dibandingkan dengan magnesium.
Aluminium juga memiliki arus dan karakteristik berat yang lebih baik jika
dibandingkan dengan seng. Dalam pembuatannya aluminium biasanya dicampur
dengan mercuri, antimoni, indium, tin.

Material anoda yang dipilih harus dipertimbangkan dari material yang akan
diproteksi. Anoda harus lebih reaktif jika dibandingkan dengan material yang akan
diproteksi. Kelemahan dari proteksi katodik sistem anoda korban ini adalah terbatasnya
umur pakai anoda serta arus proteksi yang dapat digunakan. Dengan demikian anoda
korban harus diganti secara berkala.

Anda mungkin juga menyukai