Anda di halaman 1dari 6

GUILLAINE BARRE SYNDROME

1. Nama penyakit/diagnosis
: Guillaine Barre Syndrome
2. Kriteria diagnosis
:
a. Anamnesa
- Kelemahan anggota gerak bersifat ascendence (gangguan dari bawah ke atas yang
terdiri dari poliradikulopati), simetris kanan kiri, progresif cepat
- Terdapat glove stocking phenomone
- Diawali dengan parestesi yang diikuti kelemahan pada kaki
- Tidak ada panas
b. Pemeriksaan fisik
- Kehilangan atau penurunan refleks tendo
- Lesi bersifat LMN
- Gangguan saraf kranial, terutama saraf fasialis bilateral
- Arefleksia
- Kelemahan pada kedua tungkai dan lengan
- Oftalmoplegi
- Disfungsi otonom : aritmia, hipotensi, retensi urin, pupil anisokor
- telah terkena maka akan terjadi distress respiratory yang ditandai dengan
penurunan respiratory rate.
c. Kriteria diagnosis menurut Asbury & Cornblath (Gold Standard)
Tanda yang dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis
- Kelemahan kedua lengan dan tungkai
- Arefleksia
Tanda yang menyokong diagnosis
-

Progresifitas gelaja dalam beberapa hari sampai 4 minggu


Gejala relatif simetri, gangguan sensorik ringan, disfungsi autonomik
Gangguan saraf kranial, terutama saraf fasialis bilateral
Perbaikan dalam 2 4 minggu setelah masa progresif
Saat awitan tanpa panas
Kenaikan protein LCS tanpa kenaikan sel (< 10 sel/mm3)
Gangguan elektrofisiologik yang tipikal

d. Laboratorium : kenaikan LCS tanpa kenaikan sel (<10 sel/mm3)


e. CT Scan : CT Scan mungkin terlihat normal
3. Diagnosis banding
- Myelitis transversa : Perjalanan penyakit akut, ekstremitas melemah, disertai
gangguan sensibilitas dan fungsi otonom.
- Porfiria intermitten akut : neuropati berat, herediter (autosomal dominan),
kelumpuhan ascendence, kadang asimetri. Gangguan sensibilitas pada 50%
penderita. Saraf kranial dapat terkena.
- Periodik paralisis hipokalemia : EKG terdapat T wave yang flat dan T inversi, U
wave meninggi dan ST elevasi.

4. Pemeriksaan Penunjang
- Laboratorium : lumbal pungsi dan LCS
5. Konsultasi
:6. Perawatan Rumah sakit
: rawat inap
7. Penatalaksanaan
A. Suportif :
- Oksigen 3-4 L/menit
- Jika terjadi gagal napas dilakukan intubasi
B. Kausal
- Kortikosteroid : metil prednisolon 500 mg/hari selama 5 hari. Diberikan dalam
dosis tinggi dan diturunkan secara perlahan.
- Plasma exchange : mengganti komponen darah yang terlarut termasuk komplemen
imunoglobulin, kompleks imun, sitokin, interleukin.
- Intravenous Immune Globulin (IVIG) : dosis 0,4 mg/kgBB/hari selama 5 hari
dimana setiap dosis diberikan dengan selang waktu 3 4 jam didahului oleh IV
dimenhidramin dan ibuprofen oral.
Kecepatan infus :
- 0 15 menit : 8 tetes/menit = 30 ml/jam
- 15 30 menit : 16 tetes/ menit = 60 ml/jam
- Sesudahnya 32 tetes/ menit = 120 ml/jam
- Pada keganasan dan infeksi kronik tidak boleh lebih dari 60 ml/jam.
C. Pemantauan
- Keadaan umum
- Sesak nafas
8. Penyulit
- Gagal nafas
- Sepsis
9. Lama perawatan
- Untuk penyembuhan total memerlukan waktu 3 bulan.
10. Masa perawatan
:11. Output
:12. Inform Consent
: perlu apabila dilakukan intubasi
13. PA
: tidak perlu
14. Autopsi
: tidak perlu
MIASTENIA GRAVIS
1. Nama penyakit/diagnosis
: Miastenia Gravis
2. Kriteria diagnosis
:
a. Anamnesa
- Penderita mengeluh mata tidak bisa membuka ketika beraktivitas dan membaik
ketika beristirahat.
- Diplopia dan penglihatan kabur
- Kesulitan menelan atau mengunyah (penderita tidak dapat makan dalam porsi
yang banyak)
- Bicara tidak jelas

- Suara hilang/ sengau


b. Pemeriksaan fisik
- Droopy eye : mata yang tidak bisa naik akibat ptosis
- Senyum yang datar
- Respon pupil terhadap cahaya berkurang
- Kelemahan pada otot ekspirasi
- Kelemahan yang bersifat fokal
- Tidak dapat menutup mulut disebut dengan tanda rahang menggantung (hanging
jaw sign)
- Penderita diminta untuk bersuara yang keras kemudian apabila suara makin
menghilang penderita disuruh istirahat
c. Tanda khas Miastenia Gravis
- Kelemahan otot voluntar berfluktuasi, terutama otot wajah dan ekstraikular
- Kelemahan otot meningkat dengan aktivitas
- Kekuatan otot meningkat setelah istirahat
- Kekuatan otot meningkat sebagai respon terhadap pengobatan (antikolinesterase)
d. Krisis pada Miastenia
- Krisis miastenik : keadaan ketika pasien membutuhkan lebih banyak obat
antikolinesterase. Bila terjadi krisis miastenik pasien dipertahankan dengan
respirator. Obat anti kolinesterase tidak dapat diberikan karena obat itu
meningkatkan sekresi pernapasan dan dapat mencetuskan krisis kolinergik.
Pemberian obat dimulai lagi bertahap dan seringkali dosis dapat diturunkan
setelah krisis.
- Krisis kolinergik : keadaan yang terjadi akibat kelebihan obat
antikolinesterase. Pada krisis ini pasien mungkin telah meminum obat secara
berlebihan karena kesalahan atau dosisnya berlebihan karena terjadi remisi
spontan. Pada krisis kolinergik pasien dipertahankan dengan ventilasi buatan.
Obat anti kolinergik tidak dapat diberikan dan 1 mg atropin diberikan secara
intravena dan dapat diulang bila perlu
3. Diagnosis banding
- Congenital myastenic syndromes
- Drug induced myastenia penicillamine
- Lambert Eaton syndrome
- Hipertiroid
- Graves disease
- Botulism
- Progressive esternal ophtalmoplegia
4. Pemeriksaan Penunjang
- Uji Tensilon : terdapat kelemahan pada otot mata (ptosis) yang akan hilang
dengan sendirinya
- Uji prostigmin (neostigmin) : terdapat kelemahan otot yang akan hilang dengan
sendirinya
- Uji klinin : terdapat kelemahan otot yang akan hilang dengan sendirinya

5. Konsultasi
: ke Sp.M : konfirmasi jika ada kelainan pada mata.
6. Perawatan Rumah sakit
: rawat inap
7. Penatalaksanaan
a. Obat antikolinesterase :
Meningkatkan respon otot terhadap impuls saraf memperbaiki kekuatan otot
Neostigmin : 7,5 mg 45 mg (2 6 jam sekali)
Piridostigmine (mestinon) : 60 mg 180 mg (2 4 kali sehari)
Ambenonium (mytelase) : 5 25 mg (3 4 jam sekali)
b. Terapi imunosupresif dan imunomodulasi yang dikombinasikan dengan pemberian
antibiotik dan penunjang ventilasi mampu menghambat terjadinya mortalitas dan
menurunkan morbiditas pada penderita.
c. Jika terjadi krisis kolinergik terapi dengan atropin.
d. Pemantauan
- Keadaan umum
- Vital sign (respiratory rate)
e. Penyulit
- Gagal napas
8. Lama perawatan : 9. Masa perawatan
:10. Output
:
11. Inform Consent
: perlu apabila dilakukan intubasi
12. PA
: tidak perlu
13. Autopsi
: tidak perlu

SPINAL CORD INJURY


1. Nama penyakit/diagnosis
: Spinal Cord injury
2. Kriteria diagnosis
:
a. Anamnesa
- Riwayat trauma pada tulang belakang
- Apabila penderita sadar mengeluhkan hilangnya kemampuan untuk menggerakan
lengan atau tungkai, atau keduanya
b. Pemeriksaan fisik
- Hilangnya fungsi motorik pada saat injury tetraplegia dengan lesi C4 C5 atau
di atasnya dan paraplegia dengan lesi T1 T10.
- Hilangnya gerakan otonom langsung kandung kemih dan usus. Lambung
mengalami atoni.
- Hilangnya fungsi sensorik di bawah tingkat yang sesuai dengan lesi medulla
spinalis
c. Fase syok spinal
- 0 1 hari : arefleksia/ hiporefleksia
- 1 3 hari : kembalinya beberapa refleks superficial
- 1 4 minggu : hiper refleksia (awal)

3.

4.
5.
6.
7.

1 12 bulan : hiper refleksia, spastisitas


Lesi UMN menimbulkan gejala arefleksi dan flaccid pada fase awal yang
kemudian dilanjutkan dengan fase hiperrefleksia dan spastis.
Kondisi arefleksia atau flaccid belum tentu merupakan gejala lesi LMN
namun dapat merupakan fase 1 syok spinal pada lesi UMN.
d. Cedera medulla spinalis servikal
- Defisit berat pada C1 biasanya berakibat fatal. Pasien pasien dengan cedera
ini memiliki sedikit atau tidak memiliki kontrol motorik pada kepala sehingga
bergantung pada ventilator.
- Penderita dengan cedera C2 atau C3 masih dapat mengendalikan lehernya.
Persarafan otot otot pernapasan tambahan (sternokleidomastoideus dan
skalenus) sebagian masih dapat dipertahankan sehingga penderita tetap
bergantung pada ventilator tetapi kadang mampu bertahan tidak memakai
ventilator untuk beberapa saat (kuadriplegia respiratorius).
- Penderita dengan cedera C4 akan membutuhkan ventilator karena pusat
pernapasan pada medulla spinalis terletak di C4.
- Penderita pada C5 dapat mengendalikan kepala, leher, bahu, diafragma, dan
kadang kadang dapat mengendalikan siku.
- Penderita pada C6 pengendalian pergelangan tangan masih dapat
dipertahankan sebagian. C7 penderita dapat melakukan ekstensi siku dengan
sempurna, fleksi pergelangan tangan. C8 T1 dapat mengendalikan jari
tangannya dengan cukup baik.
e. Cedera medulla spinalis torakal lumbal sakral
- Penderita dengan cedera setinggi T2 T12 tetap dapat mengendalikan
anggota gerak atas dengan sempurna.
- Pada cedera setinggi L1 L5 penderita mungkin masih dapat mengendalikan
tungkainya dengan sempurna, bergantung pada tingkat cederanya, penderita
ini dapat mengendalikan panggul, lutut, pergelangan kaki, dan kaki, sehingga
penderita dapat berjalan dengan bantuan tongkat.
- Pada cedera setinggi S1 S5 penderita dapat cukup mengendalikan kaki
tetapi mengalami disfungsi kandung kemih dan usus.
Diagnosis banding
- Paraparese
- Tetraparese
- Hemiparese
Pemeriksaan Penunjang
- Foto polos vertebra/ CT Scan/ MRI untuk mengetahui letak lesi
Konsultasi
: ke Sp.BS apabila memungkinkan untuk dilakukan operasi
Perawatan Rumah sakit
: rawat inap
Penatalaksanaan di IGD
a. Management pertama di IGD adalah dimulai dengan A, B, C. Pada lesi cervical
bagian atas ventilasi spontan akan hilang sehingga perlu intubasi. Atasi syok bila ada
kemudian teliti apakah ada cedera medulla spinalis. Bila dicurigai adanya cedera

cervical maka lakukan imobilisasi, imobilisasi dapat dilakukan dengan memasang


collar neck.
b. Penangan awal pada curiga medulla spinalis adalah pada jalan napas, ventilasi,
oksigenasi, dan dukungan sirkulasi sebelum resusitasi dan evaluasi neurologik. Jaw
trust telah dirancang untuk memperkecil gerakan leher sewaktu dilakukan resusitasi.
Prioritas utama adalah untuk membuka jalan napas yang efektif.
c. Pemeriksaan radiologi diawali dengan foto polos cervical kemudia lakukan CT scan
atau MRI.
d. Bila cedera terjadi sebelum 8 jam pemberian steroid dengan dosis tinggi (seperti
metil prednisolon 30 mg/KgBB) intra vena perlahan selama 15 menit, kemudian
disusul infus 5 - 4 mg/KgBB/jam selama 24 jam.
e. Untuk mengobati edema medulla spinalis dapat diberikan manitol 0,25-1,0 gr/KgBB
f. Jika tonus kandung kemih menghilang oleh karena syok spinal, lakukan pemasangan
kateter foley guna observasi fungsi ginjal.
8. Penyulit
- Gagal napas
- Sepsis
14. Lama perawatan : 15. Masa perawatan
:16. Output
:
17. Inform Consent
: perlu apabila dilakukan intubasi
18. PA
: tidak perlu
19. Autopsi
: tidak perlu

Anda mungkin juga menyukai