Anda di halaman 1dari 34

2

1
2

BAB I

PENDAHULUAN

3
1.1 Latar Belakang
4

Luka terbuka yang sulit sembuh akibat dari trauma paling sering

dikeluhkan oleh sebagian besar pasien dengan diabetes mellitus.


5

Luka terbagi menjadi dua yaitu luka tertutup dan luka terbuka.

Derajat luka terbuka dari ringan hingga berat, mulai dari eksoriasi, luka robek,
hingga luka patah tulang terbuka sedangkan berdasaran waktu dibagi menjadi
luka akut dan kronik. Luka terbuka disebut akut apabila luka tersebut sembuh
dalam waktu kurang dari 3 minggu. Sedangkan luka yang tidak sembuh lebih
dari 3 minggu disebut luka kronik.
6

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka,

antara lain faktor sistemik ( usia, nutrisi, trauma, penyakit metabolik, immuno
suppresan, merokok ) dan faktor lokal ( trauma, infeksi, iskemik, agen topical,
tekanan oksigen ). Pada pasien diabetes yang tidak terkontrol terjadi hambatan
proses inflamasi, angiogenesis, dan sintesa kolagen.2
7

Pada beberapa penelitian terbaru menyatakan bahwa penyebab

dari kegagalan penyembuhan luka pada pasien dengan diabetes adalah bukan
hanya penyakit mikro vascular, tetapi akibat dari didapatkannya Sorbitol yaitu
toksik bioproduk hasil dari metabolisme glukosa dan peningkatan permeabilitas
vaskular dari kulit mengakibatkan penumpukan albumin pada perikapiler. Pada
beberapa penelitian yang menggunakan hewan dengan diabetes, menunjukkan

ketika proses penyembuhan luka terdapat penurunan granulasi dan kolagen serta
kegagalan maturasi kolagen. 3
8

Berbagai

penelitian

epidemiologi

menunjukkan

adanya

kecenderungan peningkatan angka insidensi dan prevalensi Diabetes


Mellitus tipe 2 di berbagai penjuru dunia. WHO memprediksi adanya
peningkatan jumlah penyandang diabetes yang cukup besar pada tahuntahun mendatang. WHO memprediksi kenaikan jumlah penyandang
Diabetes Mellitus di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi
sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Senada dengan WHO, International
Diabetes Federation (IDF) pada tahun 2009, memprediksi kenaikan
jumlah penyandang Diabetes Mellitus dari 7,0 juta pada tahun 2009
menjadi 12,0 juta pada tahun 2030. Meskipun terdapat perbedaan angka
prevalensi, laporan keduanya menunjukkan adanya peningkatan jumlah
penyandang DM sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2030. Laporan dari
hasil penilitian di berbagai daerah di Indonesia yang dilakukan pada
dekade 1980-an menunjukkan sebaran prevalensi DM tipe2 antara 0,8%
di Tanah Toraja, sampai 6,1% yang didapatkan di Manado. Hasil
penelitian pada rentang tahun 1980-2000 menunjukkan peningkatan
prevalensi yang sangat tajam. Sebagai contoh,pada penelitian di Jakarta
(daerah urban), prevalensi Diabetes Mellitus dari 1,7% pada tahun 1982
naik menjadi 5,7% pada tahun 1993 dan meroket lagi menjadi 12,8%
pada tahun 2001. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia
tahun 2003, diperkirakan penduduk Indonesia yang berusia di atas 20

tahun sebanyak 133 juta jiwa. Dengan prevalensi DM sebesar 14,7%


pada daerah urban dan 7,2%, pada daerah rural, maka diperkirakan pada
tahun 2003 terdapat sejumlah 8,2 juta penyandang diabetes di daerah
urban dan 5,5 juta di daerah rural. Selanjutnya, berdasarkan pola
pertambahan penduduk, diperkirakan pada tahun 2030 nanti akan ada
194 juta penduduk yang berusia di atas 20 tahun dan dengan asumsi
prevalensi DM pada urban (14,7%) dan rural (7,2%) maka diperkirakan
terdapat 12 juta penyandang diabetes di daerah urban dan 8,1 juta di
daerah rural. Laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun
2007 oleh Departemen Kesehatan, menunjukkan bahwa prevalensi
Diabetes Mellitus di daerah urban Indonesia untuk usia diatas 15 tahun
sebesar 5,7%. Prevalensi terkecil terdapat di Propinsi Papua sebesar
1,7%, dan terbesar di Propinsi Maluku Utara dan Kalimanatan Barat
yang mencapai 11,1%.
9

Mengingat bahwa penanganan luka sedini dan seefektif mungkin pada


pasien Diabetes Melitus akan memberikan dampak terhadap kualitas
sumber daya manusia dan peningkatan biaya kesehatan yang cukup
besar, maka semua pihak, baik masyarakat maupun pemerintah, sudah
seharusnya ikut serta dalam usaha pengobatan alternatif

lain yang

menghemat biaya dan mudah didapat.4


10

Ageratum yang dikenal dibeberapa wilayah di Indonesia sebagai


obat untuk luka terbagi menjadi 2 spesies. Ageratum latifolium dan
Ageratum conyzoides dan dapat ditemukan di daerah tropis maupun

subtropics ( Ming, 1999)


11

Berdasarkan pengalaman pengobatan tradisional yang ada di


masyarakat yang menggunakan daun Ageratum untuk perawatan luka
dan masih sedikitnya penelitian tentang efek dari daun Ageratum
terhadap perawatan luka pada pasien diabetes, maka peneliti ingin
mengadakan penelitian tentang pengaruh daun Ageratum pada luka
terbuka akut pada tikus dengan diabetes.

12
1.2 Rumusan Masalah
13 Masalah penelitian ini dirumuskan sebagai berikut :
14 Apakah perawatan luka terbuka akut pada pasien diabetes dengan
menggunakan ekstrak daun Ageratum dapat mempercepat penyembuhan luka
terbuka
15
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian
16

Maksud Penelitian ini adalah untuk menilai pengaruh perawatan

luka terbuka menggunakan ekstrak daun Ageratum secara topikal terhadap


penyembuhan luka terbuka akut.
17

Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai pembentukan jaringan

granulasi tikus pada perawatan dengan ekstrak daun Ageratum secara topikal.
18
1.4 Kegunaan Penelitian
1.4.1

Secara Teoritis

19

Mengetahui pengaruh perawatan menggunakan ekstrak daun

Ageratum terhadap proses penyembuhan luka akut terbuka pada pasien diabetes
melalui penilaian jaringan granulasi.
20
21
22
1.4.2

Secara Praktis
23

Dengan mengetahui pengaruh perawatan luka terbuka

menggunakan ekstrak daun Ageratum terhadap penyembuhan luka


terbuka akut pad pasien diabetes maka dapat :
1) Memberikan dasar pemikiran rasional dalam perawatan menggunakan
ekstrak daun Ageratum pada pasien luka terbuka akut dengan diabetes.
2) Memberikan wacana baru dalam pilihan terapi alternatif untuk kasus luka
terbuka akut dengan diabetes.
24
25
26
27
28
29
30
31
32

33
34
35
36
37
38 BAB II
39 KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, PREMIS DAN
HIPOTESIS
40
41 2.1 Kajian Pustaka
42 2.1.1 Anatomi Kulit
43

Kulit adalah suatu organ pembungkus seluruh permukaan luar tubuh,


merupakan organ terberat dan terbesar dari tubuh. Seluruh kulit beratnya sekitar
16 % berat tubuh, pada orang dewasa sekitar 2,7 3,6 kg dan luasnya sekitar 1,5
1,9 meter persegi. Tebalnya kulit bervariasi mulai 0,5 mm sampai 6 mm
tergantung dari letak, umur dan jenis kelamin. Kulit tipis terletak pada kelopak
mata, penis, labium minus dan kulit bagian medial lengan atas. Sedangkan kulit
tebal terdapat pada telapak tangan, telapak kaki, punggung, bahu dan bokong.
Secara embriologis kulit berasal dari dua lapis yang berbeda, lapisan luar adalah
epidermis yang merupakan lapisan epitel berasal dari ectoderm sedangkan
lapisan dalam yang berasal dari mesoderm adalah dermis atau korium yang
merupakan suatu lapisan jaringan ikat.7

44

2.1.1.1 Lapisan Epidermis


45

Epidermis adalah lapisan luar kulit yang tipis dan avaskuler.


Terdiri dari epitel berlapis gepeng bertanduk, mengandung sel melanosit,
Langerhans dan merkel. Tebal epidermis berbeda-beda pada berbagai
tempat di tubuh, paling tebal pada telapak tangan dan kaki. Ketebalan
epidermis hanya sekitar 5 % dari seluruh ketebalan kulit. Terjadi
regenerasi setiap 4-6 minggu.

46 Epidermis terdiri atas lima lapisan (dari lapisan yang paling atas sampai
yang terdalam):
47 1. Stratum Korneum
48 Terdiri dari sel keratinosit yang bisa mengelupas dan berganti.
49 2. Stratum Lusidum
50 Berupa garis translusen, biasanya terdapat pada kulit tebal telapak kaki
dan telapak tangan. Tidak tampak pada kulit tipis.
51 3. Stratum Granulosum
52 Ditandai oleh 3-5 lapis sel polygonal gepeng yang intinya ditengah dan
sitoplasma terisi oleh granula basofilik kasar yang dinamakan granula
keratohialin yang mengandung protein kaya akan histidin. Terdapat sel
Langerhans.
53 4. Stratum Spinosum
54 Terdapat berkas-berkas filament yang dinamakan tonofibril, dianggap
filament

filamen

tersebut

memegang

peranan

penting

untuk

mempertahankan kohesi sel dan melindungi terhadap efek abrasi.

Epidermis pada tempat yang terus mengalami gesekan dan tekanan


mempunyai stratum spinosum dengan lebih banyak tonofibril. Stratum
basale dan stratum spinosum disebut sebagai lapisan Malfigi. Terdapat
sel Langerhans.
55 5. Stratum Basale (Stratum Germinativum)
56 Terdapat aktifitas mitosis yang hebat dan bertanggung jawab dalam
pembaharuan sel epidermis secara konstan. Epidermis diperbaharui
setiap 28 hari untuk migrasi ke permukaan, hal ini tergantung letak, usia
dan faktor lain. Merupakan satu lapis sel yang mengandung melanosit.
57 Fungsi Epidermis : Proteksi barier, organisasi sel, sintesis vitamin D dan
sitokin,
58 pembelahan dan mobilisasi sel, pigmentasi (melanosit) dan pengenalan
alergen (sel Langerhans).
59 2.1.1.2 Lapisan Dermis
60

Merupakan bagian yang paling penting di kulit yang sering


dianggap sebagai True Skin. Terdiri atas jaringan ikat yang
menyokong epidermis

dan menghubungkannya dengan jaringan

subkutis. Tebalnya bervariasi, yang paling tebal pada telapak kaki sekitar
3 mm.
61 Dermis terdiri dari dua lapisan :
62 Lapisan papiler; tipis mengandung jaringan ikat jarang.
63 Lapisan retikuler; tebal terdiri dari jaringan ikat padat.
64 Serabut-serabut kolagen menebal dan sintesa kolagen berkurang dengan

bertambahnya usia. Serabut elastin jumlahnya terus meningkat dan


menebal, kandungan elastin kulit manusia meningkat kira-kira 5 kali dari
fetus sampai dewasa. Pada usia lanjut kolagen saling bersilangan dalam
jumlah besar dan serabut elastin berkurang menyebabkan kulit terjadi
kehilangan kelemasannya dan tampak mempunyai banyak keriput.
65 Dermis mempunyai banyak jaringan pembuluh darah. Dermis juga
mengandung
66 beberapa derivat epidermis yaitu folikel rambut, kelenjar sebasea dan
kelenjar keringat.
67 Kualitas kulit tergantung banyak tidaknya derivat epidermis di dalam
dermis.
68 Fungsi Dermis : struktur penunjang, mechanical strength, suplai nutrisi,
menahan shearing forces dan respon inflamasir.
69
70 2.1.1.3 Hipodermis (Subkutis)
71

Merupakan lapisan di bawah dermis atau hipodermis yang terdiri dari


lapisan lemak. Lapisan ini terdapat jaringan ikat yang menghubungkan kulit
secara longgar dengan jaringan di bawahnya. Jumlah dan ukurannya berbedabeda menurut daerah di tubuh dan keadaan nutrisi individu. Berfungsi
menunjang suplai darah ke dermis untuk regenerasi.

72 Fungsi Subkutis / hipodermis : melekat ke struktur dasar, isolasi panas, cadangan


kalori,

10

73 kontrol bentuk tubuh dan mechanical shock absorber.


74 2.1.2 Vaskularisasi Kulit
75

Arteri yang memberi nutrisi pada kulit membentuk pleksus


terletak antara lapisan papiler dan retikuler dermis dan selain itu antara
dermis dan jaringan subkutis. Cabang kecil meninggalkan pleksus ini
memperdarahi papilla dermis, tiap papilla

76 dermis punya satu arteri asenden dan satu cabang vena. Pada epidermis
tidak terdapat pembuluh darah tapi mendapat nutrient dari dermis
melalui membran epidermis
77 2.1.3 Fisiologi Kulit
78 Kulit merupakan organ yang berfungsi sangat penting bagi tubuh
diantaranya adalah memungkinkan bertahan dalam berbagai kondisi
lingkungan,

sebagai

barrier

infeksi,

mengontrol

suhu

tubuh

(termoregulasi), sensasi, eskresi dan metabolisme. Fungsi proteksi kulit


adalah melindungi dari kehilangan cairan dari elektrolit, trauma
mekanik, ultraviolet dan sebagai barier dari invasi mikroorganisme
patogen. Sensasi telah diketahui merupakan salah satu fungsi kulit dalam
merespon rangsang raba karena banyaknya akhiran saraf seperti pada
daerah bibir, puting dan ujung jari. Kulit berperan pada pengaturan suhu
dan keseimbangan cairan elektrolit. Termoregulasi dikontrol oleh
hipothalamus. Temperatur perifer mengalami proses keseimbangan
melalui keringat, insessible loss dari kulit, paru-paru dan mukosa bukal.
Temperatur kulit dikontrol dengan dilatasi atau kontriksi pembuluh darah

10

11

kulit. Bila temperature meningkat terjadi vasodilatasi pembuluh darah,


kemudian tubuh akan mengurangi temperatur dengan melepas panas dari
kulit dengan cara mengirim sinyal kimia yang dapat meningkatkan aliran
darah di kulit. Pada temperatur yang menurun, pembuluh darah kulit
akan vasokontriksi yang kemudian akan mempertahankan panas.
79

2.1.4 Penyembuhan Luka

80

Penyembuhan luka secara alami akan mengalami fase-fase seperti


dibawah ini :

81

a. Fase inflamasi

82

Fase ini dimulai sejak terjadinya luka sampai hari kelima.

Segera setelah terjadinya luka, pembuluh darah yang putus mengalami


konstriksi dan retraksi disertai reaksi hemostasis karena agregasi trombosit yang
bersama jala fibrin membekukan darah. Komponen hemostasis ini akan
melepaskan dan mengaktifkan sitokin yang meliputi Epidermal Growth Factor
(EGF), Insulin-like
83

Growth Factor (IGF), Plateled-derived Growth Factor (PDGF)

dan Transforming
84

Growth Factor beta (TGF-) yang berperan untuk terjadinya

kemotaksis netrofil, makrofag, mast sel, sel endotelial dan fibroblas. Keadaan
ini disebut fase inflamasi. Pada fase ini kemudian terjadi vasodilatasi dan
akumulasi lekosit Polymorphonuclear (PMN). Agregat trombosit akan
mengeluarkan mediator inflamasi Transforming Growth Factor beta 1 (TGF

11

12

1) yang juga dikeluarkan oleh makrofag. Adanya TGF 1 akan mengaktivasi


fibroblas untuk mensintesis kolagen.
85

b. Fase proliferasi atau fibroplasi

86

Fase ini disebut fibroplasi karena pada masa ini fibroblas sangat

menonjol perannya. Fibroblas mengalami proliferasi dan mensintesis kolagen.


Serat kolagen yang terbentuk menyebabkan adanya kekuatan untuk bertautnya
tepi luka. Pada fase ini mulai terjadi granulasi, kontraksi luka dan epitelialisasi
87

c. Fase remodeling atau maturasi

88

Fase ini merupakan fase yang terakhir dan terpanjang pada

proses penyembuhan luka. Terjadi proses yang dinamis berupa remodelling


kolagen, kontraksi luka dan pematangan parut. Aktivitas sintesis dan degradasi
kolagen berada dalam keseimbangan. Fase ini berlangsung mulai 3 minggu
sampai 2 tahun . Akhir dari penyembuhan ini didapatkan parut luka yang matang
yang mempunyai kekuatan 80% dari kulit normal.
89

Tiga fase tersebut diatas berjalan normal selama tidak ada

gangguan baik faktor luar maupun dalam.8


90
91
92

93

2.2.1 Daun Ageratum


94

Tanaman Bandotan merupakan sejenis tanaman pengganggu,

yang banyak ditemukan di pinggir jalan, hutan, ladang, dan tanah terbuka.
Tanaman ini dikenal sebagai tanaman hias dari Amerika, banyak ditemukan di
Pasifik Selatan, dan negara beriklim hangat lainnya (Prasad 2011, p. 8). Di

12

13

Indonesia, bandotan merupakan tumbuhan liar dan lebih dikenal sebagai


tumbuhan pengganggu(gulma) di kebun dan di ladang (Retno 2009, hal. 1).
Tumbuhan ini ditemukan juga di pekarangan rumah, tepi jalan, tanggul, di
sekitar saluran air, dan di ketinggian 1-2.100 m di atas permukaan laut (Izah
2009, hal. 26).
95
96

97

Gamb

ar 1.2 Daun
Ageratum
(Badan POM
RI - Direktorat
Obat Asli
Indonesia 2008)
98
99

Tanaman bandotan telah digunakan di Afrika sebagai tanaman

obat untuk berbagai macam penyakit. Tanaman bandotan merupakan family


Asteraceae. Tanaman ini berasal dari Asia Tenggara, Amerika Tengah, Karibia,
Florida, China Selatan, Australia, dan Amerika Selatan. Daun bandotan biasanya
digunakan untuk pengobatan demam, pneumonia, flu, rematik, spasma, sakit
kepala, dan pengobatan luka, selain itu juga sebagai anti inflamasi, analgesik
dan antipiretik (Adebayo et al. 2010, pp. 2264, 2265).

13

100

14

2.2.1.1 Klasifikasi

101
102

Berdasarkan Natural Resources Conservative Service


(Kartesz, 2012) tanaman bandotan diklasifikasikan sebagai berikut:

103

Kingdom

: Plantae

104

Subkingdom

: Tracheobionta

105

Superdivisi

: Spermatophyta

106

Divisi

: Magnoliophyta

107

Kelas

: Magnoliopsida

108

Subkelas

: Asteridae

109

Order

: Asterales

110Family

: Asteraceae

111 Genus

: Ageratum Linn

112Spesies

: Ageratum conyzoides Linn

113
114
1152.2.1.2 Morfologi Tanaman Bandotan
116

Tanaman bandotan ketinggiannya bisa mencapai 1 meter, dengan

ciri daun yang mempunyai bulu berwarna putih halus. Bunga berukuran kecil,
berwarna putih agak keunguan pucat, berukuran seperti bunga matahari kecil
dengan diameter 5-8 mm. Batang dan daun ditutup oleh bulu halus berwarna
putih, dan daunnya bisa mencapai panjang 7.5 cm. Buahnya mudah tersebar,
sedangkan bijinya ringan dan mudah terhembus angin (Prasad 2011, p. 8).

14

15

117
1182.2.1.3 Manfaat Daun Bandotan
119
120

Tanaman bandotan merupakan rumput-rumputan liar yang umum

ditemukan di India dan daunnya dikenal sebagai antiseptik dan dapat


menyembuhkan luka dengan cepat. Hal ini disebabkan karena peran daun
bandotan sebagai antimikroba dan hemostatik (Sachin et al. 2009, p. 137).
Penelitian yang dilakukan oleh Mustafa (2005, p. 406) daun bandotan secara
umum mempunyai efek antimikroba yang bisa membuat luka menjadi steril dan
mempercepat penyembuhan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek
penyembuhan luka pada ekstrak methanol daun bandotan diteliti pada tikus
Wistar. Luka disiapkan dengan melakukan eksisi pada kulit kemudian
dibalutkan ekstrak daun bandotan dan dilakukan pengamatan histologis setelah
10 hari, dengan hasil jumlah sel inflamasi yang lebih sedikit dan lebih banyak
fibrosis daripada kelompok kontrol. Daun bandotan sering digunakan pada luka
terbuka. Terdapat sejumlah penelitian yang menyatakan efeknya terhadap luka
sayat dan luka bakar, hal ini karena salah satu perannya sebagai hemostasis
(Bamidele et al. 2010, pp. 2075, 2076).
121

Daun bandotan mempunyai efek hemostatik dengan menurunkan


pendarahan, prothrombin dan clotting time serta meningkatkan
konsentrasi plasma fibrinogen yang berpengaruh terhadap percepatan
koagulasi darah. Clotting time akan mempengaruhi jalur intrinsik,
sedangkan prothrombine time akan mempengaruhi jalur ekstrinsik

15

16

koagulasi darah. Konsentrasi fibrinogen yang meningkat dapat


membantu pembentukan bekuan fibrin yang stabil (Bamidele et al. 2010,
pp. 2077, 2078).
122

Tanaman bandotan merupakan tanaman herbal di daerah tropis


dan subtropis dan digunakan sebagai obat tradisional untuk luka sayat,
luka bakar, dan pengobatan pada infeksi karena bakteri. Diketahui
ekstrak tanaman ini dapat menghambat pertumbuhan Staphylococcus
aureus, Bacillus subtilis, Eschericia coli, Pseudomonas aeruginosa, H.
pylori (Ndip et al. 2009, p. 586).

123
124

2.2.1.4 Kandungan Kimia Daun Bandotan

125
126

Kandungan fitokimia pada tanaman bandotan menunjukkan

adanya senyawa sebagai berikut: steroid, terpenoid, fenol, saponin, asam lemak,
dan alkaloid (Kamboj & Saluja 2010, p. 94). Dalam studi fitokimia yang lain,
yang dilakukan oleh Dash & Murthy (2011, p. 376), ekstrak daun bandotan
menunjukkan beberapa kandungan antara lain: steroid, sterol, triterpenoid,
alkaloid, flavonoid, saponin, tannin, fenolik, karbohidrat, dan protein. Namun
perlu diketahui juga menurut Ndip et al. (2009, p. 590) bahwa tanaman bandotan
mempunyai kandungan fitokimia yang berbeda-beda tergantung dari kondisi
iklim tempat tanaman ini tumbuh.
1. Flavonoid
127

Flavonoid termasuk kelompok senyawa fenol terbesar yang

16

17

ditemukan di alam. Senyawa ini merupakan zat warna merah, ungu dan
biru, dan sebagian zat warna kuning yang ditemukan dalam tumbuhtumbuhan. Flavonoid mempunyai kerangka dasar karbon yang terdiri
dari 15 atom karbon. Dua cincin benzena (C6) terikat pada suatu rantai
propan (C3) sehingga membentuk suatu susunan C6-C3-C6. Susunan ini
dapat menghasilkan tiga jenis struktur, yakni 1,3-diarilpropan atau
flavonoid, 1,2-diarilpropan atau isoflavonoid, dan 1,1-diarilpropan atau
neoflavonoid (Okunade 2002, pp. 5,)
2. Tannin
128

Tannin disebut sebagai polifenol tanaman, yang mempunyai

peran dalam pengikatan protein, pembentuk pigmen, sebagai ion metal,


dan mempunyai susunan molekul yang besar, serta sebagai aktivitas
antioksidan. Tannin memiliki rumus molekul C76H52O46, ada yang
tidak berwarna tetapi ada juga yang berwarna kuning atau cokelat
(Okuda & Ito 2011, p. 2192). Dua kelas besar tannin dikenal berdasarkan
reaksi hidrolitik dan asal fenoliknya. Kelas pertama disebut sebagai
hydrolysable tannin dan yang lain disebut tanni terkondensasi. Disebut
sebagai tannin hydrolysable karena mudah larut dalam asam mineral atau
enzim seperti tannase, strukturnya diantaranya adalah asam gallat,
hexahydrodiphenic atau ellagic acid. Sedangkan tannin terkondensasi
tidak dapat larut dalam asam mineral dan enzim sehingga disebut juga
nonhydrolysable tannin, salah satu contohnya adalah katekin (Rangari
2007,pp. 2, 3)

17

18

3. Saponin
129

Saponin merupakan glikosida dengan berat molekul yang tinggi,

yang dikarakteristikkan dengan strukturnya yang mengandung steroid


dengan satu atau lebih rantai gula. Saponin menunjukkan spektrum luas
dalam aktivitas biologis dan digunakan dalam obat-obatan herbal (Laufer
2005, p. 20).Beberapa

saponin

menunjukkan

antibakteri,

antifungal, dan dapat meningkatkan sistem imun (Kerem, Shashoua, &


Yarden 2005, p. 406).
4. Triterpenoid
130

Lebih dari 4000 jenis triterpenoid telah diisolasi dengan lebih

dari 40 jeniskerangka dasar yang sudah dikenal dan pada prinsipnya


merupakan proses siklisasi dari skualen. Triterpenoid terdiri dari
kerangka dengan 3 siklik 6 yang bergabung dengan siklik 5 atau berupa
4 siklik 6 yang mempunyai gugus fungsi pada siklik tertentu (Lenny
2006, hal 14).
131
132
133
134
135
136

2.2.1.5 Gel Ekstrak Daun Bandotan


Dalam penelitian ini digunakan bentuk sediaan gel
dengan menggunakan bahan dasar CMC Na (Carboxyl Methyl Selulose
Natrium), yaitu merupakan derivat selulose yang sering digunakan dalam

18

19

industri makanan. CMC Na mudah larut dalam air panas atau dingin, jadi
sangat mudah digunakan sehingga sering digunakan sebagai stabilisator,
selain itu harganya juga terjangkau (Khoswanto,2010, p. 33). Gel ekstrak
daun bandotan diaplikasikan langsung luka eksisional pada tikus sprague
dawley (Rattus norvegicus L. ). Bentuk sediaan gel dipilih karena mudah
diaplikasikan, tidak mempengaruhi zat yang dikentalkan, sehingga tidak
berpengaruh terhadap hasil penelitian yang dilakukan. Pembuatan gel
dalampenelitian ini menggunakan bahan dasar CMC Na 0.5%, karena
berdasarkan standar farmakope, konsentrasi 0.5% paling sering
digunakan. Penggunaan konsentrasi gel ekstrak daun bandotan dalam
penelitian ini adalah 2% dan 4%. Sesuai dengan penelitian yang
dilakukan Prasad (2011, p. 8), bahwa aktivitas penyembuhan luka dilihat
dari penggunaan ekstrak daun bandotan dengan mencampurkannya
dalam bahan dasar salep dengan konsentrasi 2% dan 4%. Sedangkan
dalam penelitian ini ekstrak daun bandotan akan dicampurkan dengan
CMC Na 0.5% untuk dibuat dalam bentuk sediaan gel.
137
138
139
140

2.3 Premis - Premis

1. Ekstrak daun Ageratum mengandung methanol dan ethanol6


2. Ekstrak Ageratum mampu meningkatkan regenerasi jaringan6

19

20

3. Ekstrak daun Ageratum mengandung ethanol yang bersifat sebagai


antibakteri6
4. Methanol dan ethanol yang terkandung dalam Agertum dapat
mempersingkat waktu penyembuhan luka terbuka akut 7
141
142

2.4 Hipotesis
143

Ekstrak daun Ageratum dapat mempercepat penyembuhan luka akut

terbuka dengan diabetes (Premis 1 4)


144
145

20

147

146
BAB III
OBYEK DAN METODE PENELITIAN

148
149
150
151

3.1. Obyek dan Bahan Penelitian


Penelitian bersifat eksperimental laboratorik secara in vivo

dengan mengunakan tikus jantan Sprague Dawley (Rattus norvegicus L.) model
Diabetes Mellitus type II sebagai obyek penelitian. Daun Ageratum yang diperoleh
dari Kebun Tanaman Obat Departemen Biologi ITB, Indonesia
152
153
3.1.1. Obyek Penelitian
154
Tikus yang digunakan adalah tikus jantan bergalur Wistar Sprague
Dawley (Rattus norvegicus L.) model Diabetes Mellitus type II dengan Berat Badan
antara 150 200 gram yang didapat dari PT Bio Farma Bandung. Perawatan tikus
selama penelitian dilakukan di Bagian Farmakologi FK UNPAD. Binatang yang
digunakan dalam penelitian ini adalah tikus Wistar, karena tikus Wistar merupakan
salah satu model binatang percobaan yang paling umum digunakan untuk penelitian
yang berkaitan dengan penyembuhan luka (Gal et al. 2006, p. 109). Tikus Wistar
jantan dipilih dalam penelitian ini untuk menghindari adanya kemungkinan variasi
hormonal yang dapat terjadi pada tikus Wistar jenis kelamin betina.
155
156
157
3.1.2. Besar Sampel
158
Rumus yang digunakan berdasarkan Ferderer : RAL = (t-1) (n-1) > 15.
159
t = Jumlah perlakuan
160
n = Jumlah sampel
161
(n-1) > 15 n = 16
162
Jumlah sampel selanjutnya ditambah 20% dengan tujuan sebagai
cadangan sampel bila terjadi drop-out.
163
n1 = n/1-y
5
6
7
8

164
n = Jumlah sampel
165
n1 = Jumlah sampel kontrol dengan drop out
166
y = prosentase drop out
167
n1 = 16/ 1-0.2
168
n1 = 20 (jumlah sampel untuk kontrol)
169
n2 = 20 (jumlah sampel untuk perlakuan)
170
3.1.3 Kriteria Inklusi dan Eksklusi
171
Kriteria pemilihan sampel sebagai berikut :
1) Kriteria Inklusi :
a. Tikus bergalur Wistar Sprague Dawley (Rattus norvegicus L.) umur
12-16 minggu
b. Jenis kelamin jantan.
c. Berat badan 150 -200 gram.
d. Kondisi sehat dan tidak ada kelainan anatomik Sehat, ditandai dengan
gerakan yang aktif dan memungkinkan untuk dijadikan sampel
penelitian
e. Tikus memiliki kadar gula darah >250 mg/dl
2) Kriteria Ekslusi :
a. Tikus gagal menjadi tikus Diabetes Mellitus type II setelah dinduksi
STZ
b. Memiliki luka atau infeksi ditempat yang akan dibuat eksisi
3) Kriteria drop out
172
Tikus sakit atau mati. Dapat dinilai dengan menilai tikus yang
tampak kurang aktif dan memisahkan diri dari kelompoknya
173
174
3.1.4 Alat dan Bahan
175
Penelitian ini memerlukan beberapa bahan dan alat seperti
yang disebutkan berikut ini :
1. Alat
176

1. Kandang hewan coba berupa bak plastik berukuran

60x50x50 cm dan di

5
6
7
8

177

atasnya diberi penutup berupa jaring-jaring yang terbuat dari

kawat serta
178

diberi alas sekam

179

2. Tempat makanan dan minuman tikus Wistar

180

3. Gunting bedah

181

4. Pinset anatomi

182

6. Scalpel no 15. Untuk membuat luka eksisional

183

7. Needle holder

184

8. Jarum jahit dan benang

185

9. Syringe

186

10. Kotak kaca untuk pembiusan

187

11. Toples kaca untuk fiksasi dan dekalsifikasi

188

12. Peralatan untuk pembuatan sediaan

189

13. Mikroskop cahaya Olympus BX-50 Pentax optio 230

190

14. Kamera digital

191

15. Alas kerja

192

16. Spuit 10 cc dan 5 cc

193 17. Pola luka menggunakan karton dengan lubang di tengahnya berukuran
2,5

x 2,5 cm.

194 18. Zat anestesi : ketamin (150 mg/kgBB), Phenobarbital (100 mg/kgBB
Analgetik: Tramadol 1- 4 mg/kgBB dibagi 2 dosis.
5
6
7
8

195

19. Antiseptik: betadine 10%.


196

Instrumen ganti balutan dengan kassa steril, perban, adhesive

steril drape merk 3M.


197

20.NaCl 0,9% dan akuades.

198
199
200
2. Bahan
201
1. Ekstrak daun bandotan dengan konsentrasi 2% dan 4%
202
2. Gel CMC Na (Carboxyl Methyl Selulose Natrium) 0.5%
203
3. Methanol, sebagai pelarut
204
4. Makanan tikus Wistar (berbahan dasar jagung)
205
5. Air putih untuk minum tikus Wistar setiap harinya
206
6. Obat general anestesi (ether 10%)
207
7. Larutan Formalin 10% untuk fiksasi jaringan
208
8. Larutan HNO3 5%, 10%, 15%, untuk dekalsifikasi
209
9. Alkohol 70%, 95%, 100% untuk dehidrasi
210
10. Larutan xylol
211
11. Parafin
212
12. Larutan Haematoxylin dan Eosin untuk pengecatan
213
13. Air
214
14. Kapas
215
15. Streptozotocin cat.#572201 dari Calbiochem
216
217
218
219
3.2.2 Identifikasi Variabel
220
Variabel penelitian ini terdiri dari variable :
1) Variabel Bebas
221
Ekstrak daun Ageratum dengan konsentrasi 2%-4%
2) Variabel Tergantung ( dependen )
222
Variabel Dependen dari penelitian ini adalah:
223
Gambaran Klinis pada obyek penelitian meliputi: keadaan umum
tikus, ,kemerahan pada luka tikus, ketebalan jaringan granulasi luka pada tikus
5
6
7
8

224

Gambaran Histopatologis pada luka eksisi tikus :


Microscopis : Angiogenesis ( Densitas vascular tube, Morphologi

endotel ), Fibroangenosis ( Mitosis fibroblast )


Macroscopis : Ketebalan jaringan granulasi
3) Variabel Terkendali
225
a. Jenis kelamin hewan percobaan jantan
226
b. Umur hewan percobaan 2-3 bulan
227
c. Berat badan hewan percobaan 150-200 gram.
228
d. Kesehatan hewan percobaan.
229
f. Cara pemberian topikal dengan memasukkan gel ekstrak daun
bandotan pada luka eksisi.
230
g. Volume pemberian gel ekstrak daun bandotan 0.1 ml
231
i. Tempat pemeliharaan hewan coba dalam kondisi yang sama (dalam
sebuah kandang hewan berupa bak plastik berukuran 60x50x50 cm, dan di
atasnya diberi penutup berupa jaring-jaring yang terbuat dari kawat, serta
diberi alas berupa sekam).
232
j. Makanan yang berbahan dasar jagung dan diberi minum air putih.
4) Variabel Perancu
233

Variabel perancu adalah analisis histopatologi yang bersifat

subjektif. Dapat diminimalkan dengan sampel yang diberikan penomeran


sehingga penilai tidak mengetahui jenis perlakuan pada data yang dinilainya.
234

Variabel perancu yang lain adalah luas penutupan luka

dengan adhesive steril drape.


235
236
237

3.2.3 Definisi Operasional


1. Ekstrak daun bandotan merupakan hasil dari pengolahan daun

bandotan dengan cara soxhlet extraction menggunakan methanol.


5
6
7
8

238

2. Dosis gel ekstrak daun bandotan yang digunakan dalam penelitian

ini adalah 2% dan 4%. Pembuatan gel ekstrak daun bandotan diperoleh dari
pembuatan ekstrak di Laboratorium Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran
239
3. Teknik pemberian ekstrak daun bandotan dengan cara topikal pada
soket pasca pencabutan gigi tikus Wistar dengan menggunakan syringe
sampai soket penuh, yaitu 0.1 ml.
240
4. Jumlah sel fibroblas adalah banyaknya sel fibroblas pada hari ke-3
melalui pemeriksaan HPA, yang ditandai dengan peningkatan jumlah sel
fibroblas yang tampak pada lapang pandang dengan menggunakan mikroskop
cahaya dengan pembesaran 100x kemudian ditingkatkan 1000x.
241
5. Luka eksisional adalah luka buataan untuk penelitian dengan
melakukan pembuangan jaringan lunak yang signifikan untuk simulasi
kondisi luka yang diinginkan.31
242
243
3.3.1. Cara Kerja dan Pengumpulan Data
244
3.3.1 Pembuatan gel dari ekstrak daun bandotan
245
Pembuatan gel dari ekstrak daun bandotan, terdiri dari 3 tahap yaitu:
246
1. Persiapan Sampel
247
Sampel berupa daun bandotan, dikumpulkan, dicuci, dan dikeringkan
dengan temperatur ruang selama 7 hari. Pengeringan bertujuan agar mendapatkan
berat tetap dari daun bandotan sesuai berat yang digunakan untuk ekstrak. Sampel
yang sudah kering dibuat menjadi potongan kecil kemudian dihaluskan dengan
electric blender (Prasad 2011, p. 9).
248
2. Proses Ekstraksi Daun Bandotan
249
Sebanyak 25 gram serbuk kering daun bandotan, diekstraksi dengan
methanol dengan soxhlet extractor selama 8 jam. Ekstrak tersebut dipekatkan
dalam pelarut dengan rotary flash evaporator (rotavapour) selama 24 jam. Ekstrak
5
6
7
8

yang terkonsentrasi dievaporasi untuk proses pengeringan di dalam vacuum oven


pada temperatur lebih dari 500C. Ekstrak kering yang dihasilkan sejumlah 13.3%
dari berat semula. disimpan dalam lemari es bersuhu 2-80C dan dijaga dalam botol
tertutup (Prasad et al. 2011, p. 9).
250
3. Pembuatan Sediaan Gel
251
Pada penelitian ini ekstrak daun bandotan dibuat dalam bentuk sediaan
gel. Hal ini karena gel bersifat tahan lama, tidak berbau, dan mempunyai penampilan
yang menarik (Juniantito & Prasetyo 2006, hal. 19). Ekstrak akan lebih mudah
diaplikasikan dalam bentuk sediaan gel pada luka pasca pencabutan gigi karena
sifatnya yang semisolid, lembut, dan elastik. Sediaan gel mempermudah substansi
ekstrak dapat mudah masuk dalam soket (Khoswanto 2010, p. 33). Bahan gel yang
akan digunakan adalah CMC Na 0.5%. Bahan gel ini dikembangkan terlebih dahulu
dengan aquadest, sehingga didapatkan CMC Na 20 kali berat semula (Adi & Linus
2012, hal. 18). Pembuatan sediaan gel dilakukan menurut pembuatan sediaan farmasi
252
yang sudah baku. Untuk menjaga stabilitas, sediaan tersebut disimpan
di dalam lemari es bersuhu 40C (Juniantito & Prasetyo 2006, hal. 19). Konsentrasi
yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
253
a. Konsentrasi 2% merupakan campuran antara ekstrak ethanol daun
bandotan 2 gram dengan bahan dasar gel CMC Na 0.5% sebanyak 100 gram.
254
b. Konsentrasi 4% merupakan campuran antara ekstrak ethanol daun
bandotan 4 gram dengan bahan dasar gel CMC Na 0.5% sebanyak 100 gram.
255
3.3.2. Prosedur Perlakuan:
256
257
3.3.2.1 Pemeliharaan hewan tikus percobaan :

5
6
7
8

258

Pemeliharaan tikus percobaan dilakukan di Laboratorium Hewan

Bagian Farmakologi FK UNPAD Bandung.dengan memperhatikan hal-hal sebagai


259

berikut:
1.
Tikus dipelihara dalam ruangan yang berventilasi cukup, dikandangkan secara

261

individual dalam kandang metabolik.


260
2.
Suhu ruangan berkisar 28-32 C.
3.
Makanan dan minuman diberikan ad libitum dalam bentuk pellet dan pakan

263

tikus.
262
4.
Kesehatan tikus, setiap hari dilakukan pembersihan kandang.
5.
Penerangan diatur dengan siklus 12 jam terang dan 12 jam gelap (siklus
terang dimulai jam 06.00 pagi s/d 18.00 petang.)

264
265
267
268

3.3.2.2. Perlakuan Pemberian Streptozotocin (STZ) :


266
Tikus menjadi hiperglikemia, diperlakukan:
1.
Berat badan tikus Sprague Dawley jantan ditimbang.
2.
Tikus yang terpilih dilakukan aklimatisasi untuk penyesuaian iklim dan

269
270

keadaan lingkungan barunya.


3.
Hewan dipuasakan 10-12 jam, periksa kadar gula darah.
4.
Tikus dikelompokkan, diinduksi STZ 40 mg/kg BB dilarutkan dalam 10 mM

271

sodium sitrat, pH 4,5; dengan cat.#572201 dari Calbiochem


5.
Lakukan randomisasi dan dikelompokkan sesuai dengan perlakuan dan

272
273

dilakukan uji kadar gula darah , MAU dan VEGF.


6.
Tikus menjadi nefropati diabetes setelah minggu ke 8.
7.
Tikus dipelihara sampai minggu ke 10 dan diperiksa (post test only) kadar
gula darah

274
275
276
277

3.3.2.3 Prosedur Pengumpulan Data


1) Persiapan
Delapan belas ekor tikus jenis wistar dipelihara dalam kandang

(masing masing kandang maksimal 2 ekor tikus) dan diberikan paparan


cahaya matahari selama 12 jam/hari, hewan coba tersebut diberi makan
5
6
7
8

berupa pelet gandum seberat 20 gram/ekor sebanyak 3 kali sehari. Hewan


tersebut di pelihara minimal 2 minggu sebelum dilakukan percobaan.
278
279
2) Pembuatan luka eksisi
280
a) Dilakukan anestesi umum dengan menyuntikkan ketamin 150
mg/kgBB intramuskular.
281
b) Dilakukan pencukuran bulu pada punggung dan perut tikus pada
area yang akan dieksisi.
282
c)
Dilakukan penentuan batas daerah yang akan dieksisi
menggunakan pola yang terbuat dari karton dengan lubang ditengahnya
berukuran 2,5x 2,5 cm dan ditandai dengan spidol.
283
d) Dilakukan prosedur antiseptik pada daerah punggung tikus dengan
betadine 10%. Dilakukan eksisi kulit full thickness dengan scalpel no 15 pada
punggung tikus dengan ukuran 2,5 x 2,5 cm.. Prosedur eksisi kulit seluruh
hewan coba dilakukan oleh operator yang sama.
284
e) Luka dicuci dengan akuades mengalir sebanyak 100 cc hingga
mengenai seluruh permukaan luka. Perdarahan dirawat dengan penekanan
kasa selama 1 menit. Setelahnya jika masih terdapat perdarahan aktif, maka
dilakukan penekanan kembali menggunakan kasa hingga perdarahan berhenti.
285
286
3) Perlakuan dan perawatan
287
a) Sampel dibagi menjadi 2 kelompok menggunakan metode simple
randomized. Pada kelompok I dilakukan perawatan dan penggantian verban
menggunakan kassa lembab NaCl 0,9% setiap hari. Sebelum diganti verban
luka dicuci menggunakan NaCl 0,9% mengalir sebanyak 100 cc.

5
6
7
8

288

b) Kelompok II dilakukan perawatan dengan Dilakukan ganti verban

1x/hari. Kemudian diberikan krim ekstrak Ageratum secara topikal. Sebelum


penggantian verban luka dicuci dengan NaCl 0,9% mengalir sebanyak 100 cc.
289
290
4) Pengambilan sampel
291
a) Pada hari ke 7, semua tikus disakrifasi menggunakan phenobarbital
IM dengan dosis 100 mg/kgBB IM
292
b) Diambil jaringan luka dengan pisau nomer 15 seluruh jaringan
granulasi dengan menyertakan 1 cm dari tepi luka. Sampel dimasukan ke
dalam botol berisi formalin 10% dan dikirim ke Bagian Patologi Anatomi RS.
Hasan Sadikin Bandung untuk dilakukan pemeriksaan histopatologi.
293
294
5) Pembuatan Preparat Patologi Anatomi
295
a) Sediaan dibuat dalam blok parafin lalu disimpan dalam freezer
sampai dingin. Kemudian dipotong dengan menggunakan mikrotom setebal 4
mikron. Sediaan ditempelkan dalam kaca objek, kemudian dilakukan
pewarnaan menggunakan Hematoksilin-Eosin (HE)
296
b) Prosedur pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE) sebagai berikut:30
297
Deparafinisasi dengan cara memasukkan preparat ke dalam larutan
xilol I selama 5 menit dan xilol II selama 5 menit.
298
Celupkan dalam larutan etanol selama 3 menit, alkohol 90% selama
3 menit, alkohol 80% selama 3 menit, dan alkohol 70% selama 3 menit.
299
Bilas dengan air mengalir selama 2 menit.
300
Masukkan dalam larutan HE selama 5 menit.
301
Bilas dengan air mengalir selama 2 menit.
302
Celupkan dalam larutan litium 0,5% selama 4-5 celup.
303
Bilas dengan air mengalir selama 1 menit, lalu sisa air dikeringkan.
304
Celupkan dalam alkohol 80% sebanyak 20 celup.
305
Masukkan ke dalam larutan eosin selama 1 menit.
306
Bilas dengan air mengalir selama 2 menit.
5
6
7
8

307

Celupkan dalam alkohol 70%, 80%, 90%, etanol pada tempat yang

berbeda berturut-turut sebanyak 20 celup.


308
Masukkan dalam larutan karboksilol selama 20 celup.
309
Masukkan dalam larutan xilol selama 1 menit pada dua tempat.
310
Tetesi dengan entelan dan ditutup dengan kaca penutup.
311
312
6) Penilaian dan Interpretasi Histopatologi
313
a) Preparat yang sudah jadi dilakukan penilaian dan interpretasi oleh
seorang dokter Spesialis Patologi Anatomi tanpa memberitahukan jenis
perlakuan sampai dengan sistem penomoran.
314
315
7) Analisis dan Penarikan Kesimpulan
316
a) Dilakukan pengumpulan data dan tabulasi
317
b) Dilakukan pengujian normalitas data dengan uji KolmogorovSmirnov
318
c) Jika data yang didapat berdistribusi normal maka dilakukan analisis
statistik dengan uji t tidak berpasangan dan jika data yang didapat
berdistribusi abnormal maka dilakukan uji statistik dengan Mann-Whitney.
Prosedur kerja digambarkan seperti pada Gambar 3.1.
319

5
6
7
8

320
321
322

323

324
325
326
327
328
329
330
331
333
334

332
Gambar 3.1
3.4 Metode Analisis
Data-data tersebut diuji dengan uji parametrik Mann Whitney dan

uji t tidak berpasangan dalam menetapkan nilai p dengan menggunakan


program komputer SPSS versi 19.0. Kebermaknaan ditentukan berdasarkan
nilai p < 0,2.
5
6
7
8

335
336
337

3.5 Aspek Etik Penelitian


Pada penelitian ini dilakukan eksperimen dan intervensi pada

binatang coba, sehingga diperlukan suatu ethical clereance dengan


menerapkan prinsip 3R (Refinement, Reduction, Replacement).
338
Refinement: Pada saat eksisi kulit, dilakukan pemberian ketamin
intramuskular 150 mg/kgBB. Selama percobaan tikus diberikan analgetik oral
berupa tramadol 1- 4 mg/kgBB dibagi 2 dosis. Pada saat akan disakrifasi
diberikan phenobarbital intramuskular sehingga tikus coba tidak mengalami
nyeri.
339
Reduction: Perhitungan jumlah sampel pada penelitian ini
menggunakan rumus Federer dan didapatkan 18 ekor tikus, sehingga tidak
memungkinkan dilakukan pengurangan jumlah sampel.
340
Replacement: Pada penelitian ini menggunakan tikus galur wistar
dengan berat 150 200 gram pada penelitian ini adalah karena lebih tahan
terhadap stres luka. Penelitian ini tidak dapat menggunakan hewan coba lain
seperti kelinci karena kurang tahan terhadap stres luka.
341
342
3.6 Lokasi Penelitian
343
344
a.Lokasi penelitian dalam pemeliharaan dan perlakuan pada hewan
coba dilakukan di Laboratorium Hewan Bagian Farmakologi RSHS.
345
b.Bagian Patologi Anatomi FKUP/RSHS. Sebagai tempat dalam
melakukan pembuatan sediaan preparat serta penilaian kualitas jaringan
granulasi.
346
347
3.7 Personalia
348
a. Peneliti
5
6
7
8

349

b.

Staf

Laboratorium

FKUP/RSHS
350
c. Konsultan

Patologi

Hewan,
Anatomi,

FKUP/RSHS
351
352
353

5
6
7
8

Bagian
Bagian

Farmakologi
Patologi

Klinik
Anatomi

Anda mungkin juga menyukai