Anda di halaman 1dari 26

TAYAMUM

Tayammum itu mempunyai sebab-sebab yang membolehkan dan materi yang


dipergunakannya, cara-cara khusus, dan hukum-hukum yang berlaku. Sebab-Sebab
Tayammum Ulama mazhab berbeda pendapat tentang orang yang bukan musafir dan
sehat (tidak sakit), tetapi ia tidak mendapatkan air; apakah ia boleh bertayammum?
Maksudnya, bila tidak ada air, apakah hanya orang yang berada dalam perjalanan dan
sakit sajalah yang dibolehkan bertayammum, atau justru dibolehkan dalam keadaan
apapun,

sampai

pada

waktu

sehat

dan

orang

yang

bukan

berada

dalam

perjalanannya? Hanafi: Orang yang bukan berada dalam perjalanan dan ia sehat (tidak
sakit), maka ia tidak boleh bertayammum dan tidak pula shalat kalau tidak ada air. (AlBidayah wa Al-Nihayah, Ibnu Rusyd, Jilid I, halaman 63, cetakan tahun 1935, dan juga
Al-Mughni, Ibn Qudamah, Jilid I, halaman 234, cetakan ketiga). Hanafi mengemukakan
pendapatnya itu berdasarkan ayat 8, Surat Al-Maidah: .. Bila kamu sakit atau berada
dalam perjalanan, atau salah seorang di antara kamu datang dari tempat buang air besar
(jamban) atau menyentuh perempuan (menyetubuhinya), lalu kamu tidak mendapatkan
air, maka bertayammumlah Ayat di atas jelas menunjukkan bahwa tidak adanya air
saja tidak cukup untuk dijadikan alasan untuk boleh bertayammum selama orang itu
bukan musafir atau sakit. Bila tayammum itu hanya khusus bagi orang yang musafir dan
orang yang sakit, maka orang yang bukan musafir dan ia sehat dalam keadaan yang tidak
ada air, ia berarti tidak diwajibkan shalat, karena ia tidak suci. Dan shalat hanya
diwajibkan bagi orang yang suci. Mazhab-mazhab yang lain sepakat bahwa orang yang
tidak mendapatkan air wajib bertayammum dan shalat, baik ia dalam keadaan musafir
maupun bukan. Sakit maupun sehat berdasarkan hadis yang mutawatir: Tanah yang baik
itu dapat sebagai penyuci orang Islam, sekalipun tidak mendapatkan air selama sepuluh
tahun. Mereka menjelaskan bahwa dijelaskannya perjalanan (musafir) dalam ayat
tersebut karena kebiasaan, sebab biasanya orang-orang musafir tidak mendapatkan
air. Kalau betul apa yang dinyatakan Hanafi itu, maka tentu orang-orang musafir dan
orang yang sehat, yang keduanya tetap diwajibkan shalat, sedangkan orang yang bukan
musafir dan sehat tidak diwajibkan shalat; (mengapa mesti terbalik logikanya?) Syafii
dan Hambali: Kalau mendapatkan air tapi tidak cukup untuk berwudhu (menyucikan)

secara sempurna, maka ia wajib mempergunakan air itu pada sebagian anggota wudhu
yang mudah, dan sebagian yang lain boleh bertayammum. Kalau ada air hanya untuk
wajah saja, maka cucilah wajahnya kemudian yang lain ditayammuminya. Mazhabmazhab yang lain: Adanya air yang tidak cukup itu sama dengan tidak adanya air, maka
bagi orang yang demikian tidak di wajibkannya selain bertayammum. Tapi pada masa
sekarang, pembahasan tentang tidak adanya air bukan menjadi topik yang perlu
diperdebatkan secara panjang lebar, karena pada saat sekarang air sudah mencukupi bagi
setiap manusia, dimanapun saja, baik bagi orang yang musafir maupun yang mukim. Para
ahli fiqih membahas tentang wajibnya mencari air dan kadar usaha untuk mencarinya.
Kalau ia khawatir pada dirinya, hartanya, atau kehormatannya dari pencuri dan binatang
buas, atau harus mengeluarkan uang yang lebih dari biasanya, dan seterusnya, maka
semuanya itu dikarenakan mereka menemukan kesulitan yang berat untuk mendapatkan
air. Kemudharatan Demi Kesehatan Semua ulama mazhab sepakat bahwa di antara
sebab-sebab dibolehkannya bertayammum itu adanya mudharat untuk menjaga kesehatan
bila mempergunakan air, walau pun berdasarkan perkiraan saja. Maka barangsiapa yang
takut ditimpa suatu penyakit, atau penyakitnya bertambah atau memperlambat
kesembuhannya, atau justru mernpersulit cara mendiagnosanya, maka ia boleh bersuci
dengan mempergunakan debu.

(Misalnya) kalau waktunya sudah sempit untuk

mempergunakan air sebagaimana kalau ia bangun kesiangan, dan waktunya hanya tinggal
sedikit dan kalau bersuci dengan air ia akan shalat di luar waktunya, tapi bila
bertayammum ia bisa shalat pada waktunya (keburu); apakah ia wajib bertayammum atau
bersuci dengan air, bila keadaan sudah sempit seperti itu? Maliki dan Imamiyah: la
harus bertayammum dan shalat, tapi kemudian mengulanginya lagi. Syafii: Tidak boleh
bertayammum kalau pada waktu itu ada air. Hambali: Membedakan antara orang yang
musafir dengan orang yang bukan musafir. Kalau keadaan seperti itu terjadi pada waktu
musafir, ia harus bertayammum, lalu shalat dan tidak perlu mengulanginya lagi. Tapi
kalau terjadi pada orang yang bukan musafir, maka ia tidak boleh bertayammum. Hanafi:
Pada keadaan seperti itu, boleh bertayammum untuk shalat-shalat sunnah yang
mempunyai waktu, seperti shalat sunnah setelah Dzuhur dan Magrib. Sedangkan shalatshalat yang wajib, maka tidak boleh bertayammum, karena pada waktu itu ada air,
sekalipun waktunya sangat sempit, tetapi harus berwudhu dan shalat qadha

(menggantinya). Kalau ia bertayammum dan shalat pada waktu itu, maka ia wajib
mengulanginya lagi di luar waktu tersebut. Bahan Tayammum Semua ulama mazhab
sepakat bahwa bahan yang wajib dipergunakan tayammum itu adalah tanah yang suci,
bcrdasarkan firman Allah SWT: Maka bertayammumlah kalian dengan tanah yang suci
(Al-Quran, Surat Al-Maidah, ayat 6). Juga berdasarkan hadis Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Alihi wa Sallam: Bumi ini dijadikan sebagai masjid (tempat sujud) dan
suci. Suci itu adalah yang tidak terkena najis. Dan ulama mazhab berbeda pendapat
tentang arti Al-Shaid. Hanafi dan sebagian kelompok Imamiyah: Memahami arti kata
tersebut adalah bumi yang ada di permukaan. Dari itu, mereka (Hanafi) dan sebagian
kelompok Imamiyah) membolehkan bertayammum dengan debu, pasir dan batu, hanya
mereka melarang bertayammum dengan barang-barang tambang, seperti kapur, garam,
surfur, dan lain-lain. Syafii: Memahaminya adalah tanah dan pasir. Dari itu, mereka
(Syafii) mewajibkan untuk bertayammum dengan kedua benda tersebut kalau keduanya
berdebu. Tetapi kalau bertayammum dengan batu tidak boleh. Hambali: Memahami arti
shaid itu hanya tanah saja. Dari itu tidak boleh bertayammum dengan pasir dan batu.
Kebanyakan dari Imamiyah berpendapat seperti pendapat tersebut di atas, hanya
mereka (Imamiyah) membolehkan bertayammum dengan pasir dan batu bila dalam
keadaan darurat. Maliki: Memikul rata pengertian kata shaiditu baik tanah, pasir, batu,
es dan barang tambang, kalau barang tambang tersebut tidak dipindahkan dari tempatnya,
kecuali (yang dilarang) emas, perak, dan permata. Maliki melarang mempergunakan halhal tersebut (emas, perak dan permata) untuk tayammum secara mutlak. Cara-cara
Bertayammum Semua ulama mazhab sepakat bahwa tayammum itu tidaklah sah
kalau tanpa niat, sampai Hanafi berkata: Niat itu adalah merupakan syarat dalam
tayammum, bukan syarat dalam wudhu. Menurut mereka (Hanafi) bahwa tayammum itu
dapat menghilangkan hadas, seperti wudhu dan mandi. Dari itu, mereka membolehkan
untuk berniat menghilangkan hadas, sebagaimana berniat untuk dibolehkannya
melakukan shalat.

Mazhab-mazhab lain berpendapat bahwa tayammum itu

membolehkan, bukan menghilangkan (hadas). Bagi orang yang bertayammum hendaknya


berniat agar dibolehkan melakukan apa-apa yang disyaratkan bersuci dengannya, bukan
berniat menghilangkan hadas. Tetapi sebagian Imamiyah mengatakan bahwa boleh
berniat menghilangkan hadas, dengan catatan ia mengetahui kalau tayammum itu tidak

menghilangkan hadas, karena menurut mereka di dalam niat menghilangkan hadas


terdapat kelaziman arti dari niat kebolehannya (istibahah). Sebaik-baiknya cara untuk
mengakumulasi (mengumpulkan) semua pendapat-pendapat di atas adalah orang yang
bertayammum itu harus berniat untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan mengikuti
perintah-Nya yang berhubungan dengan masalah tayammum ini, baik ketika
memulainya, maupun lahir dari perintah shalat dan semacamnya dari beberapa tujuan
tayammum. Sebagaimana mereka (ulama mazhab) berbeda pendapat tentang arti shaid,
mereka juga berbeda pendapat tentang maksud mengusap wajah dan kedua tangan yang
dijelaskan dalam ayat Al-Quran. Empat mazhab dan Ibnu Babawaih dari Imamiyah:
Yang dimaksud dengan muka itu adalah mengusap semua wajah, yang di dalamnya
termasuk janggut, dan yang dua tangan adalah dua telapak tangan, dan pergelangan
sampai pada kedua siku-siku. Itulah batas tayammum sebagaimana batas wudhu. Dan
caranya adalah menepuk dengan dua kali tepukan, yang pertama untuk mengusap wajah;
dan yang kedua unluk mengusap kedua tangan, dengan cara dari ujung jari-jari sampai
kedua siku-siku. Maliki dan Hambali: Bahwa mengusap kedua tangan itu hanya sampai
pada pergelangan tangan, dan sampai di situlah yang diwajibkannya, sedangkan sampai
pada dua sikut-sikut itu adalah sunnah. Imamiyah: Yang dimaksud dengan muka adalah
sebagiannya bukan semuanya, karena huruf ba dalam firman Allah memberikan
pengertian hanya sebagiannya, karena menunjukkan bahwa ia masuk ke dalam maful
(obyek). Bila tidak bermakna sebagian, maka huruf ba itu berarti ba tambahan, karena
kata imsahu termasuk kata muaddi binafsihi (kata kerja yang membutuhkan obyek tanpa
huruf penghubung). Maka pada dasarnya, kata tersebut adalah tidak adanya tambahan.
Imamiyah memberikan batas bahwa yang wajib itu adalah mengusapnya dari sebagian
muka, yang dimulai dari tumbuhnya rambut sampai pada ujung hidung bagian atas, dan
termasuk di dalamnya adalah dahi dan kiri kanan dahi. Sedangkan yang termasuk dua
tangan adalah dua telapak tangan saja, karena kala alyadu dalam perkataan orang Arab
mengandung beberapa pengertian. Di antaranya: Telapak tangan itu sendiri, dan
pengertian itu inilah yang paling sering dipergunakan. (Al-Badayah wa Al-Nihayah,
karya Ibnu Rusyd,Jilid I, halaman 66). Pengertian tersebut dapat diperkuat kalau Anda
berkata: Inilah dua tangan saya dan mengerjakan suatu perbuatan dengan dua tangan
ini. Dari ungkapan tersebut tidak bisa dipahami kecuali hanya dengan telapak tangan

saja. Maka cara bertayammum menurut Imamiyah berdasarkan keterangan di atas,


seperti berikut: Kedua lelapak tangannya dipukulkan ke bumi, lalu mengusapkan kedua
tangannya pada mukanya dari tumbuhnya rambut sampai ujung hidung bagian atas.
Kemudian memukulkan kedua telapak tangannya lagi ke bumi, lalu mengusapkannya
seluruh telapak tangannya yang kanan kepada bagian belakang telapak tangannya yang
kiri, begitu juga sebaliknya. Imamiyah: Wajib dilakukan secara tertib, dan kalau
dilakukan terbalik, seperti mendahulukan pengusapan tangan dari pengusapan mukanya,
rnaka batallah tayammum. Mereka (Imamiyah) mewajibkan pula dari atas lalu ke
bawah, maka jika dibalik, batallah tayammum itu. Sebagian besar mereka berpendapat:
Wajib menepukkan kedua tangannya pada bumi. Maka kalau hanya diletakkan saja
padanya

(bumi)

tanpa

ditepukkan

(dipukulkannya),

maka

batallah

tayammumnya. Hanafi: Kalau mukanya terkena debu, lalu meletakkan tangannya


padanya (wajahnya) dan mengusapkannya, maka itu sudah cukup, serta sebagai
pengganti dari memukulkannya. Semua ulama mazhab sepakat bahwa sucinya
anggaota tayammum itu adalah merupakan syarat sahnya tayammum baik yang
diusapnya maupun yang mengusapnya, juga benda yang menjadi bahan tayammum itu
harus suci. Mereka juga sepakat bahwa bagi orang yang bertayammum wajib mencopot
(menanggalkan) cincinnya ketika bertayammum, dan tidak cukup hanya dengan
menggerakkannya, sebagaimana kalau mau berwudhu. Tetapi para ulama mazhab
berbeda pendapat tentang wajibnya muwalat (berturut-turut). Maliki dan Imamiyah:
Wajib berturut-turut antara bagian-bagian anggota tayammum itu. Maka kalau dipisahkan
(dari

jarak)

dengan

waktu

tayammumnya. Hambali:

yang

Wajib

mengurangi

berturut-turut

arti
kalau

berturut-turut,
bertayammum

batallah
untuk

menghilangkan hadas kecil, tapi kalau untuk menghilangkan hadas besar tidak wajib
berturut-turut. Syafii: Hanya wajib tertib saja, bukan berturut-turut. Hanafi: Tidak
diwajibkan

berturut-turut

dan

tidak

diwajibkan

pula

tertib. Hukum-hukum

Tayammum Di sini ada beberapa masalah:


1. Semua ulama mazhab sepakat bahwa tidak boleh bertayammum untuk shalat
sebelum masuk waktu shalat, kecuali menurut Hanafi: Sah bertayammum
sebelum masuk waktu shalat. Imamiyah: Kalau bertayammum sebelum

waktunya untuk tujuan yang dibolehkan bertayammum, kemudian masuk waktu


dan tayammumnya belum batal, maka ia boleh shalat dengan tayammum tersebut.
Imamiyah dan Hanafi: Boleh bertayammum untuk menjama dua shalat dengan satu
tayammum. Syafii dan Maliki: Tidak boleh menjama dua shalat fardhu dengan satu
tayammum saja. Hambali: Boleh menjama untuk dua shalat qadha (pengganti) bukan
untuk shalat adaan (shalat pada waktunya).
1. Setelah melaksanakan tayammum berdasarkan keterangan syara, maka
orang yang bertayammum itu hukumnya adalah suci sama seperti sucinya kalau
memakai air, dan dibolehkan mengerjakan sesuatu (apa saja) yang dibolehkan
pada wudhu dan mandi. Dan tayammum itu menjadi batal dengan apa yang
membatalkan wudhu dan mandi, baik hadas besar maupun hadas kecil, dan
dengan hilangnya udzur atau sakit.

1. Kalau

setelah

bertanyammum

itu

mendapatkan

air, dan

pada

waktu

menemukannya itu sebelum masuk melaksanakan shalat, maka batallah


tayammumnya itu, menurut kesepakatan semua ulama mazhab. Tapi kalau
mendapatkannnya ketika sedang shalat, maka: Sebagian Imamiyah: Kalau ia
sebelum ruku dalam rakaat pertama, maka batal tayammumnya dan shalatnya.
Tapi bila telah ruku dalam rakaat pertama, maka teruskan shalatnya dan shalat itu
sah.
Syafii, Maliki dan Hambali pada salah satu dari dua riwayatnya. dan sebagian
kelompok Imamiyah: Kalau ia telah melakukan takbiratul ihram, maka teruskan
shalatnya dan shalat itu sah, berdasarkan firman Allah:

Dan janganlah kalian

membatalkan perbuatan-perbuatan kalian (Q.S.Muhammad, 33). Hanafi: Batal


shalatnya. Kalau udzurnya. hilang setelah selesai shalat dan waktu masih luas (banyak),
maka ia tidak wajib mengulanginya lagi, menurut kesepakatan semua ulama mazhab.

1. Kalau orang yang junub bertayammum sebagai pengganti dari mandi,


kemudian ia hadas kecil, dan ia mendapatkan air yang cukup untuk berwudhu
saja; apakah ia wajib berwudhu dan bertayammum lagi sebagai ganti dari mandi?.
Maliki dan sebagian besar dari Imamiyah: Bertayammum lagi sebagai ganti dari
mandi.Hanafi, Syafii dan Hambali. serta sekelompok dari Imamiyah: Wajib
berwudhu, karena tayammum itu untuk junub. Kemudian batal karena selain junub, maka
ia tidak dianggap sebagai junub bila betul-betui tidak junub, hanya ia termasuk hadas
kecil.
1. Hambali sendiri yang menganggap bahwa tayammum itu dapat sebagai
pengganti untuk menghilangkan najis dari badan, tanpa diikuti oleh mazhabmazhab yang lain. (Al-Fiqh ala al-Madzhahib Al-Arbaah, dalam bab Arkanu altayammum).

1. Bila tidak ada yang dapat menyucikan, yaitu air dan tanah, seperti orang
yang berada dalam tahanan yang tidak tersedia di dalamnya, dan tidak ada sesuatu
yang dapat dijadikan tayammum atau karena sakit yang tidak bisa berwudhu dan
tidak bisa bertayammum, atau tidak ada seseorang yang mewudhukannya atau
mentayammumkannya; apakah ia diwajibkan shalat dalam keadaan tidak suci?
Dan kalau berdasarkan ketentuan wajibnya shalat, lalu ia shalat, tetapi apakah
wajib mengulanginya lagi setelah mampu (bisa) bersuci?
Maliki: Gugurlah kewajiban melaksanakan shalat maupun qadha nya. Hanafi dan
Syafii: Pernah untuk melaksanakan dan menggantinya itu tidak gugur. Artinya
melaksanakannya, menurut Hanafi adalah ia harus melaksanakan seperti orang yang
shalat. Sedangkan menurut Syafii: la wajib shalat yang sebenar-benarnya. Maka kalau
udzurnya telah hilang, ia wajib mengulanginya lagi sebagaimana yang dituntut
syara. Sebagian besar Imamiyah: Kewajiban melaksanakan itu gugur, tetapi wajib
mengqadhanya (menggantinya). Hambali: Bahkan diwajibkan melaksanakannya, dan
gugurlah kewajiban mengqadha nya.

Sumber : http://riwayat5imammadzahb.wordpress.com/riwayat-5-imam-madzahb/bab10-tayamum/

MAZHAB-MAZHAB DAN
AYAT TAYAMMUM
Kami telah menjelaskan tentang air, hal-hal yang dapat membatalkan wudhu, dan
tentang tayammum, bahwa beberapa mazhab dalam Islam sebagian besar berbeda
pendapat tentang pengertian kata-kata yang dipergunakan dalam ayat tayammum,
seperti: Dan jika kamu sakit atau berada dalam perjalanan, atau kembali dari tempat
buang air besar (jamban), atau menyentuh (menyetubuhi) perempuan, lalu kamu tidak
mendapatkan air, maka tayammumlah dengan tanah yang baik. Maka usaplah mukamuka kamu. (Q.S. Al Maidah, 6). Ulama fiqih berbeda pendapat tentang siapakah yang
diwajibkan bertayammum kalau tidak ada air; Apakah hanya orang yang sakit dan orang
musafir saja, atau sifatnya umum di mana orang mukim yang sehat juga termasuk di
dalamnya? Apakah yang dimaksudkan dengan menyentuh itu adalah bersetubuh atau
hanya menyentuh dengan tangan saja? Apakah yang dimaksud air hanya air muthlaq saja
atau air apa saja? Apakah yang dimaksud dengan Al-Shaid khusus debu saja, atau
termasuk juga semua yang ada dipermukaan bumi, baik debu, pasir atau batu? Apakah
yang dimaksud dengan muka adalah semuanya atau hanya sebagiannya saja? Apakah
yang dimaksud dengan tangan itu adalah telapak tangan saja atau telapak tangan dan
lengan? Di bawah ini kami ringkaskan sebagian pendapat-pendapat di atas: 1. Imam Abu
Hanifah berkata: Orang yang mukim yang sehat, yang tidak mendapatkan air tidak
dibolehkan bertayammum, dan juga tidak diwajibkan shalat, karena ayat tersebut hanya
mewajibkan bertayammum karena tidak ada air kepada orang yang sakit dan orang
musafir secara khusus. Mazhab-mazhab yang lain: Sesungguhnya menyentuh wanita
lain (yang bukan muhrim) dengan sentuhan tangan yang sempurna, maka hukumnya
sama seperti orang buang air, yaitu dapat membatalkan wudhu.Imamiyah: Bersetubuh
itulah yang membatalkan wudhu, bukan menyentuh dengan tangan. 2. Hanafi:
Sesungguhnya pengertian Kalau kamu tidak mendapatkan air, maka bertayammumlah
adalah air mutlaq, atau air mudhaf. Sedangkan menurut mazhab-mazhab yang lain:

Kata mau (air) dalam ayat tersebut hanya khusus pada air mutlaq saja bukan air
mudhaf. 3. Hanafi dan sebagian kelompok Imamiyah: Yang dimaksud dari Al-Shaid
(tanah) dalam ayat tersebut adalah debu, pasir dan batu kecil. Syafii: Yang
dimaksudkannya adalah hanya debu dan pasir saja. Hambali: Hanya debu saja.Maliki:
Mengandung pengertian yang bersifat umum, baik debu, pasir, batu kecil, es, maupun
barang

tambang. Empat

mazhab:

Yang

dimaksud

dengan

muka

adalah

semuanya. Imamiyah: Hanya sebagiannya saja. 4. Empat mazhab: Yang dimaksud


dengan dua tangan adalah dua telapak tangan dan pergelangan sampai dua sikusiku.Imamiyah:

Hanya

dua

telapak

tangan

saja.

Sebenarnya perbedaan pendapat di atas hanya menunjukkan pada hal-hal yang bersifat
interpretasi bukan pada yang substansial, pada lafadz-nya. saja bukan pada
pengertiannya. Perbedaan itu muncul karena adanya perbedaan dalam memahami suatu
kata, dan hanya terjadi pada kalangan ahli bahasa, dan para sastrawan yang berbeda
penafsiran (interpretasi) terhadap satu bait syair. Dari sini para ahli fiqih dari satu mazhab
berbeda pendapat tentang satu masalah, sebagaimana adanya perbedaan pendapat antara
satu mazhab dengan mazhab yang lain
Sumber : http://riwayat5imammadzahb.wordpress.com/riwayat-5-imam-madzahb/bab11-mazhab-mazhab-dan-ayat-tayammum/

Tayamum
dakwatuna.com Tayamum adalah menggunakan tanah yang suci dengan cara tertentu
disertai niat untuk kebolehan shalat. Firman Allah:




Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang air
atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka
bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu.
Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. (QS. An-Nisa: 43).

Tayamum dapat menggantikan wudhu dan mandi.


2. Sebab Kebolehan Tayamum
Sebab utama diperbolehkan tayamum adalah karena ketiadaan air, seperti dalam firman
Allah, kemudian kamu tidak mendapat air (An-Nisa: 43)
Ketiadaan air itu bisa hakiki atau hukmi, dan masing-masing memiliki kondisi yang
sangat beragam, kami ringkas berikut ini:
a. Ketiadaan hakiki: yaitu dengan tidak ditemukan air setelah melakukan pencarian baik
dilakukan oleh musafir yang jauh ari perkampungan sejauh satu mil, atau di
perkampungan yang tidak ada air. Kewajiban awalnya adalah mencari air, jika ada yang
dekat,[1] atau dugaan kuat ada air di suatu tempat. Demikianlah pendapat mazhab
Hanafi. Sedang menurut mazhab Syafii dan Hambali kewajiban mencari itu berlaku jika
yakin ada air.
Atau mendapatkan air yang tidak cukup untuk bersuci, atau lebih dibutuhkan untuk
minum sendiri atau minum makhluk lain, manusia atau hewan, atau lebih dibutuhkan
untuk makan. Imam Ahmad berkata: Beberapa orang sahabat melakukan tayamum dan
menyimpan air untuk minumnya.
Ketiadaan Hukmi: yaitu keberadaan air yang cukup tetapi ia tidak dapat menggunakannya
karena sakit dan menambah sakitnya atau memperlambat kesembuhannya. Atau karena
air sangat dingin yang membahayakan manusia jika memakainya dan tidak mampu
menghangatkannya. Sahabat Amr bin Ash RA shalat Subuh dengan tayamum karena
takut celaka jika mandi dengan air dingin dalam perang Dzatussalasil, dan Rasulullah
mengiyakannya. (Ahmad, Abu Dawud, dan dishahihkan oleh Al-Hakim dan Ibnu Hibban,
Al-Bukhari memberikan catatan hadits ini, Al-Mundziri menilainya hadits Hasan, dan AlHafizh Ibnu Hajar menguatkannya).
Atau air berada di dekat, tetapi tidak dapat mengambilnya karena ada musuh atau tidak
ada alat untuk mengeluarkannya dari sumur.

c. Kehabisan waktu. Jika seseorang merasa takut kehabisan waktu shalat jika
menggunakan air, dan cukup waktu jika tayamum lalu shalat, maka tidak wajib
mengulang menurut mazhab Maliki, wajib mengulang menurut mazhab Hanafi. Tidak
boleh tayamum meskipun kehabisan waktu menurut mazhab Hambali dan Syafii.
3. Tanah Sebagai Alat Tayamum
Tanah yang digunakan adalah yang berada di permukaan bumi. Dari itulah diperbolehkan
bertayamum dengan debu dan seluruh benda suci sejenisnya yang ada di muka bumi
seperti pasir, batu, semen, dan kapur. Tetapi menurut mazhab Syafii, tayamum hanya
diperbolehkan dengan debu atau pasir yang mengandung debu.
4. Cara Tayamum
Seorang yang hendak bertayamum berniat dahulu, kemudian membaca basmalah, lalu
menepukkan telapak tangannya ke atas tanah yang suci dengan sekali atau dua kali
tepukan, kemudian diangkat tangannya dan ditiup sehingga tidak ada debu yang
membekas di tangan, kemudian mengusapkan dua tangan itu ke muka dan dua telapak
tangannya sampai ke pergelangan, seperti yang disebutkan dalam hadits Ammar bin Yasir
RA berkata,












Rasulullah saw mengutusku dalam satu hajat, lalu saya junub dan tidak menemukan air
untuk mandi, kemudian saya berguling-guling di tanah seperti hewan. Dan ketika saya
bertemu Nabi saya ceritakan peristiwa itu. Lalu Nabi bersabda, Sebenarnya kamu
cukup dengan memukulkan kedua tanganmu ke tanah dengan sekali pukulan, kemudian
tangan kiri mengusap yang kanan dan punggung telapak tangan dan wajahnya.
(Muttafaq Alaih).

Demikianlah mazhab Hambali dan Maliki. Sedangkan dalam mazhab Hanafi dan Syafii,
mereka berpendapat pengusapan tangan harus sampai ke dua siku. Mereka berpegang
dengan beberapa hadits dhaif yang tidak sampai menandingi hadits Ammar di atas. Imam
Nawawi, penulis kitab Al-Majmu Syarah Al-Muhadzdzab, dan Ash Shanani penulis
kitab Subulussalam, mentarjih/menguatkan pendapat pertama, padahal keduanya
bermazhab Syafii
5. Hal-Hal Yang Diperbolehkan Dengan Tayamum
Tayamum adalah pengganti wudhu dan mandi, maka dengan tayamum itu diperbolehkan
apa saja yang diperbolehkan oleh keduanya, seperti: Shalat, thawaf, dan memegang
mushaf. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa orang yang bertayamum dapat shalat dengan
tayamumnya itu berapa saja shalat fardhu maupun sunnah yang dia mau, sehingga hilang
penyebab pembolehan tayamum. Sedangkan menurut mazhab Syafii tayamum hanya
bisa dipakai untuk sekali shalat fardhu dan shalat sunnah tidak terbatas.
6. Hal-Hal Yang Membatalkan Tayamum
Segala yang membatalkan wudhu, membatalkan tayamum. Tayamum batal jika hilang
penyebab pembolehan, seperti sudah mendapati air atau sudah mampu menggunakan air.
Akan tetapi jika sudah shalat dengan tayamum kemudian menemukan air maka ia tidak
wajib mengulanginya[2]. Sedangkan orang yang tayamum karena junub maka ia harus
mandi ketika sudah menemukan air.[3]
Catatan Kaki:
[1] Keberadaan air dianggap jauh ketika berjarak lebih dari satu mil (1847 m) menurut
mazhab Hanafi, atau setengah farsakh sekitar satu setengah mil menurut mazhab Syafii
(2771 m) atau dua mil menurut mazhab Maliki (3694 m)
[2] Menurut mazhab Maliki dan Syafii karena hadits Rasulullah saw. terhadap orang
yang tidak mengulang shalat setelah menemukan air: Kamu sesuai dengan sunnah dan
shalatmu sudah boleh (Abu Dawud dan An Nasai).

[3] Karena hadits Imran RA berkata, Rasulullah saw. shalat bersama dengan kaum
muslimin. Ketika usai shalat, tiba-tiba ada seorang laki-laki yang menyendiri dan tidak
ikut shalat bersama kaum muslimin. Nabi menegurnya: Mengapa kamu tidak shalat
bersama kaum muslimin? Orang itu menjawab: Saya junub dan tidak ada air. Sabda
Nabi: Kamu bisa gunakan tanah, itu cukup. Kemudian Imran menyebutkan bahwa
setelah mereka menemukan air, Rasulullah memberikan air kepada orang yang junub
tadi dengan mengatakan, bawalah dan gunakan mandi. (Al-Bukhari).

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2010/10/01/9213/fiqhut-thaharahtayamum/#ixzz3MJO4w400

Rukun Tayamum
1. Niat
Diwajibkan berniat terlebih dahulu, kerana ia termasuk daripada rukun.

2. Debu yang suci


Berpandukan firman Allah SWT:
. Maka bertayammumlah kamu dengan tanah yang baik ( suci ).
( Surah an-Nisa: 43 )
Pakar bahasa bersepakat bahawa yang dimaksudkan dengan ( rujuk mushaf ) pada
ayat diatas ialah tanah yang terdapat dipermukaan bumi, sama ada tanah mahupun bendabenda lain.

Para ulama fiqh telah bersepakat bahawa tidak dibenarkan bertayammum melainkan
dengan debu yang suci kerana debu yang bernajis tidak dapat mensucikan sesuatu yang
lain.

Tayammum hanya khusus dilakukan dengan debu, sedangkan bertayammum dengan


menggunakan objek selainnya tidak dianggap memadai menurut pendapat Imam Ahmad
dan Imam Syafii. manakala menurut mazhab Maliki, dibolehkan bertayammum dengan
apa-apa yang termasuk jenis tanah dengan syarat tidak dibakar. Imam Abu Hanifah dan
Imam Ahmad mengatakan bahawa tayammum sah dengan menggunakan semua benda
suci yang termasuk jenis tanah, iaitu segala sesuatu yang tidak menjadi abu dan tidak
lembek apabila dibakar dengan api, seperti debu, pasir dan batu. Jika sesuatu itu menjadi
abu apabila dibakar seperti kayu dan daun kering, dan sesuatu menjadi lembek apabila
dibakar dengan api seperti besi dan timah, maka tayammum tidak sah dengan
menggunakan benda tersebut apabila tidak terdapat debu yang melekat padanya. Abu
Yusuf, salah seorang ulama mazhab Hanafi, mengatakan bahawa tidak sah bertayammum
kecuali menggunakan debu dan pasir. [1]

3. Tepukan pertama ke atas debu yang suci


Manakala tepukan yang kedua, mengikut imam Malik dan jumhur ulama fiqh hukumnya
adalah sunat. Manakala menurut Imam Syafii hukumnya adalah fardhu, berpandukan
kepada hadis Ibn Umar ( r.a ), bahawa Nabi SAW bersabda:
Tayammum itu ( dilakukan ) dengan dua kali tepuk ( keatas tanah ). Satu tepukan
untuk muka dan satu tepukan lagi untuk kedua tangan hingga ke siku. [2]
Imam Ahmad mengatakan bahawa apa yang diwajibkan ialah sekali pukulan kerana
berlandaskan kepada hadis Ammar ibn Yasir ( r.a ) yang menceritakan:
Aku pernah bertanya kepada Nabi SAW mengenai cara bertayammum. Baginda
memerintahkan kepadaku melakukan sekali pukulan untuk mengusap wajah dan
kedua telapak tangan. [3]
4. Menyapu wajah dan dua tangan
Didalam mazhab syafii tatacara bertayammum adalah berpandukan kepada hadis Ibnu
Umar yang diriwayatkan oleh ad-Daruqutni ( rujuk nombor 3 ) iaitu menyapu wajah dan
tangan hingga ke siku.
Manakala pendapat jumhur ulama, adalah menyapu wajah kemudian kedua-dua
tangannya hingga ke pergelangan. Hal ini berpandukan kepada hadis daripada Ammar
( r.a ), katanya:
Aku junub dan tidak mendapatkan air, maka aku pun bergelimang dengan tanah,
lalu mengerjakan solat. Kemudian aku menceritakan hal itu kepada Nabi SAW,
maka sabdanya:

Sebenarnya kamu cukup melakukan seperti ini; Beliau meletakkan kedua-dua


telapak tangannya ke tanah, lalu meniup kedua-dua tangan yang dipenuhi dengan
debu dan kemudian menyapu bahagian muka dan disusuli dengan debu dan
kemudian menyapu bahagian muka dan disusuli dengan menyapu pada kedua-dua
telapak tangannya. [4]
Menurut satu riwayat lagi, ditegaskan:
Sebenarnya kamu cukup melekatkan kedua-dua telapak tangan ke tanah, lalu
meniup kedua-dua tangan yang sudah dipenuhi dengan tanah. Setelah itu, kamu
menyapukannya pada muka dan kedua-dua tanganmu hingga ke pergelangan. [5]
Hadis ini menerangkan bahawa mengambil tanah itu cukup satu kali tepukan sahaja dan
menyapu tangan itu hanya sampai ke pergelangan sahaja. Di samping itu, seseorang yang
bertayammum dengan tanah disunatkan menepuk dan menghembus kedua belah telapak
tangan yang sudah dipenuhi dengan tanah agar wajahnya tidak kotor ekoran tanah yang
begitu banyak.

5. Muwalat ( berturut-turut )
Mengikut Imam Malik, berturut-turut dalam bertayammum termasuk rukun, sama ada
bertayammum kerana hadas kecil ataupun besar, sebagaimana yang dijelaskan dalam
masalah wuduk dan mandi. Manakala mengikut mazhab Hanbali berturut-turut hanya
termasuk rukun pada hadas kecil kerana berturut-turut ketika mandi tidaklah wajib.

6. Tertib
Mengikut Imam Syafii, tertib termasuk salah satu rukun tayammum, hal ini diqiyaskan
dengan pelaksanaan wuduk.

Tayammum untuk setiap kali solat fardhu


Didalam mazhab Syafii ( juga merupakan pendapat kebanyakan ulama ), ditegaskan
bahawa satu tayammum hanya untuk satu solat fardhu sahaja. Contohnya tidak boleh
mengerjakan solat Asar dengan tayammum yang dilakukan pada waktu Zohor. Oleh itu,
seseorang yang hendak menunaikan solat fardhu yang lain dikehendaki untuk
bertayammum semula sekalipun dia belum berhadas selepas tayammum yang pertama
itu. Pendapat ini bersandarkan kepada hadis Ibnu Umar ( r.a ), bahawa dia berkata:

Hendaklah seseorang itu bertayammum untuk setiap kali sembahyang, sekalipun


tidak berhadas. [6]
Walau bagaimanapun, masalah ini tidak terikat dengan solat sunat dan solat jenazah.
Maksudnya, seseorang itu dibolehkan mengerjakan solat sunat sebanyak mana yang
seseorang itu mampu untuk mengerjakannya. Tetapi, sekiranya seseorang itu
bertayammum untuk mengerjakan solat sunat dan apabila dia ingin mengerjakan solat
fardhu hendaklah dia bertayammum semula.

Manakala pendapat dikalangan mazhab Abu Hanifah pula menyatakan tayammum


membolehkan apa yang dicegah oleh hadas, sama halnya dengan air. Jadi, seseorang yang
bertayammum boleh mengerjakan solat fardhu dan solat sunat seberapa banyak yang dia
kehendaki selagi belum berhadas atau belum menjumpai air, kerana tayammum baginya
merupakan pengganti air secara mutlak. [7]
Sumber : https://ashabulyaminblog.wordpress.com/2013/04/25/rukun-tayammum/

BERSUCI (TAYAMMUM)
Apa makna tayammum?
Tayammum bermaksud menyapu debu tanah yang bersih ke muka dan dua tangan
sebagai ganti wudhuk dan mandi wajib ketika ketiadaan air atau tidak mampu
menggunakan air kerana sakit, terlalu sejuk atau sebagainya.[1] Keharusan tayammum
telah sabit dengan al-Quran, as-Sunnah dan Ijmak ulamak. Firman Allah di dalam alQuran (bermaksud);
Dan jika kamu sakit (tidak boleh kena air), atau dalam pelayaran, atau salah seorang dari
kamu datang dari tempat buang air, atau kamu menyentuh (atau mensetubuhi)
perempuan, sedang kamu tidak mendapat air (untuk berwuduk atau untuk mandi), maka
hendaklah kamu bertayamum dengan tanah yang bersih, iaitu: sapulah muka kamu dan
kedua belah tangan kamu dengan tanah itu. (al-Maidah: 6).
Bila diharuskan tayammum?
Secara dasarnya, ada dua sebab yang mengharuskan tayamumm;
1. Kerana keputusan air; sama air tidak ada langsung atau ada sedikit dan tidak cukup
untuk mengambil wudhuk.
2. Kerana tidak mampu menggunakan air
[

Apakah dalil keharusan bertayammum apabila keputusan air?


Dalil keharusan bertayammum kerana keputusan air ialah hadis dari Said bin
Abdurrahman bin Abza yang meriwayatkan dari bapanya yang menceritakan; Seorang
lelaki datang berjumpa Umar r.a. dan bertanya; Aku telah berjunub dan aku tidak
menemui air (untuk mandi). Umar menjawab; Janganlah kamu mengerjakan solat
(hingga kamu menemui air). Namun Ammar bin Yasir r.a. (yang ada bersama Umar
ketika itu) berkata kepada Umar; Tidakkah engkau ingat ketika kita sama-sama dalam
satu musafir di mana kita berdua telah berjunub dan kita tidak menemui air (untuk
mandi). Adapun kamu, maka kamu memilih untuk tidak menunaikan solat. Adapun aku,
maka aku telah berguling di atas tanah (untuk bertayammum) dan kemudian aku
menunaikan solat. Apabila diceritakan kepada Nabi s.a.w., maka baginda berkata
(kepada Ammar); Sesungguhnya memadai kamu menepuk dua tapak tangan kamu ke
tanah, kemudian kamu hembusnya (untuk menipiskan sedikit debu di tapak tangan itu)
dan seterusnya kamu sapukan debu ke muka dan ke dua tangan kamu (hingga
pergelangannya).[2]
Apakah dalil keharusan bertayammum kerana tidak mampu menggunakan air?
Dalilnya ialah hadis dari Amru bin al-As r.a. yang menceritakan; Semasa dalam
peperangan Zatus-Salasil, aku telah bermimpi (hingga keluar mani) pada malam yang
bersangatan sejuk, lalu aku bimbang jika aku mandi mungkin akan membawa kebinasaan
kepadaku. Maka aku pun bertayammum dan kemudian aku menunaikan solat Subuh
bersama sahabat-sahabatku (tentera-tentera Islam). Apabila kami tiba di Madinah (setelah
selesai perang), mereka mengadu kepada Rasulullah s.a.w. tentang apa yang telah aku
lakukan (yakni bertayammum). Maka Rasulullah bertanya kepadaku; Wahai Amru!
Apakah kamu menunaikan solat bersama sahabat-sahabatmu sedangkan kamu
berjunub?. Lalu aku menjawab; Aku teringat firman Allah; Dan janganlah kamu
membunuh diri kamu sendiri. Sesungguhnya Allah sentiasa mengasihani kamu. (anNisa; 29).
Maka kerana ayat itu aku pun bertayammum dan kemudian mengerjakan solat.
Mendengar peneranganku, Rasulullah s.a.w. ketawa dan baginda tidak berkata apaapa.[3]
Imam ad-Daruqutni menceritakan bahawa Saidina Ali ditanya berkenaan seorang lelaki
yang berada dalam musafir, lalu ia ditimpa junub sedang air yang ada padanya hanya
sedikit di mana ia bimbang jika air itu digunakan untuk mandi wajib menyebabkan ia
kehausan. Jawab Saidina Ali; Hendaklah ia bertayammum. Imam Ahmad pernah
menceritakan; Beberapa orang sahabat bertayammum dan mereka menyimpan air untuk
minuman mereka.[4]
Apakah contoh-contoh keadaan yang mengharuskan tayammum kerana tidak
mampu menggunakan air?
[
[
[

1. Tidak mampu menggunakan air kerana sakit, atau bimbang bertambah sakit, atau
bimbang lambat sembuh. Hal tersebut diketahui dengan pengalaman atau makluman dari
doktor.
2. Air yang ada diperlukan (untuk minum dan sebagainya) pada ketika itu atau akan
datang.
3. Terdapat sangkaan yang kuat dalam dirinya bahawa akan ditimpa sakit jika ia
menggunakan air.
4. Takut kepada musuh yang menghalangnya dari mendapat air sama ada musuh itu
manusia atau binatang buas.
5. Air diperlukan untuk minuman haiwan yang bersamanya seperti kudanya atau
sebagainya.
6. Air diperlukan untuk menguli tepung, untuk memasak dan sebagainya.
7. Air diperlukan untuk membasuh najis yang tidak dimaafkan (yakni mesti dibersihkan).
8. Bimbang kepada sejuk yang bersangatan jika musim sejuk luar biasa.
Apakah syarat-syarat sah tayammum?
Untuk sahnya tayammum, para ulamak telah menggariskan syarat-syarat berikut;[5]
Pertama; Hendaklah orang yang bertayammum mempunyai keuzuran yang
menghalangnya dari menggunakan air iaitu kerana keputusan air atau tidak mampu
menggunakan air.
Kedua; Berusaha mencari air terlebih dahulu jika tayammum dilakukan kerana keputusan
air.
Ketiga; Hendak lah tayammum itu dengan menggunakan tanah yang bersih
Keempat; Hendaklah bertayammum setelah masuk waktu
Syarat pertama telahpun kita huraikan tadi iaitu tatkala memperkatakan tentang bilakah
harus kita bertayammum. Untuk berikutnya kita huraikan syarat-syarat selebihnya iaitu
yang bersangkutan dengan kewajipan mencari air, bahan tayammum (iaitu tanah menurut
jumhur ulamak) dan waktu dilakukan tayammum.
Apa maksud mencari air?
[

Seseorang yang ingin bertayammum kerana ketiadaan air, wajib ia berusaha mencari air
terlebih dahulu di kawasan sekitarnya. Jika air tiada di rumah, hendaklah ia pergi ke
masjid umpamanya atau ke rumah berdekatan moga-moga menemui air. Jangan sematamata tiada air di rumah, lalu ia pun bertayammum. Setelah pasti benar-benar tidak ada
air, barulah bertayammum. Mencari air itu wajib diulangi setiap kali hendak
bertayammum.[6] Tidak cukup dengan pencarian ketika kali pertama bertayammum
sahaja.
Bagaimana jika ada air, namun tidak mencukupi untuk bersuci, adakah digunakan
air baru tayammum atau terus tayammum?
Ada dua pandangan ulamak bagi masalah ini;[7]
Pandangan pertama; wajib digunakan air yang ada itu, kemudian barulah
bertayammum bagi anggota yang tidak dapat dicuci dengan air. Pandangan ini merupakan
mazhab Imam Ahmad dan Imam Syafiie (dalam qaul jadidnya).
Pandangan kedua; hendaklah terus bertayammum dan tinggalkan air itu. Pandanagn ini
adalah pandangan jumhur ulamak yang terdiri dari al-Hasan, az-Zuhri, Hammad, Malik,
Imam Abu Hanifah, Imam Syafiie (dalam qaul qadimnya), Ibnu al-Munzir dan alMuzanie (murid Imam Syafiie).
Kalau seseorang itu lupa bahawa dalam kenderaannya ada air atau ia lupa ada
menyimpan air di satu tempat, lalu ia pun bertayammum dan mengerjakan solat;
bagaimana hukumnya?
Ada dua pandangan ulamak bagi masalah ini;
Pertama; menurut Imam Syafiie dan Imam Ahmad; tidak dipakai tayammum itu, yakni
solatnya wajib diulangi semua setelah mengambil wudhuk dengan air tersebut. Hujjah
mereka ialah; thoharah dengan air adalah perintah yang wajib. Ia tidak gugur sematamata kerana lupa.
Kedua; menurut Imam Abu Hanifah; dipakai tayammum itu, yakni solatnya sah kerana
lupa adanya air membawa ia kepada tidak dapat menggunakan air, maka halnya sama
seperti orang yang ketiadaan air.
Adakah tayammum hanya harus dengan tanah sahaja? Bolehkah bertayammum
dengan selain tanah?
Ada beberapa pandangan ulamak dalam masalah bahan yang harus digunakan untuk
bertayammum;
Pertama; jumhur ulamak (mazhab Imam Syafiie, Imam Ahmad, Ishaq, Abu Yusuf dan
[
[

Daud az-Dzahiri) mensyaratkan tayammum hendaklah dengan tanah, tidak harus dengan
pasir, batu, kapur dan sebagainya yang tidak dikategorikan sebagai tanah. Dan
disyaratkan tanah itu pula hendaklah berdebu (yakni dapat melekat pada tangan bila
ditepuk) dan bersih.
Kedua; Imam Malik dan Imam Abu Hanifah pula berpendapat; tidak khusus kepada
tanah sahaja. Harus tayammum dengan segala yang ada di atas permukaan bumi; tidak
hanya tanah, tetapi juga pasir, kapur, batu dan seumpamanya. Malah menurut Imam
Malik; harus tayammum dengan salji dan setiap yang melapisi permukaan bumi. Imam
Malik dan Imam Abu Hanifah juga tidak mensyaratkan bahan-bahan untuk bertayammum
itu berdebu. Oleh itu, pada pandangan mereka; harus bertayammum di atas batu yang
tidak ada debu atau di atas tanah licin yang tidak ada debu yang melekat di tangan apabila
ditepuk di atasnya.
Adakah harus bertayammum dengan menepuk di dinding, di atas permaidani, di
pakaian, di belakang binatang kenderaan atau sebagainya?
Ada dua pandangan ulamak;
Pertama; mengikut pandangan mazhab Syafiie dan Ahmad; harus jika di atas tempattempat yang ditepuk itu ada terdapat debu yang dapat melekat di tangan sebagaimana
yang disyaratkan tadi. Jika tidak terdapat debu padanya, tidak harus tayammum.
Kedua; mengikut Imam Malik; tidak harus melakukan tayammum dengan menepuk ke
atas debu yang terdapat di atas pakaian, permaidani dan sebagainya itu. Menurut beliau,
tayammum hendaklah dengan menepuk terus ke atas bumi.
Adakah harus bertayammum dengan tanah bernajis?
Tidak harus kerana tayammum wajib dengan tanah atau bahan yang bersih kerana Allah
menyebutkan di dalam ayat ( shaid yang bersih). Begitu juga, Nabi s.a.w.
juga bersabda; Shaid (tanah) yang bersih adalah alat bersuci bagi seorang muslim jika
ia tidak mendapati air sekalipun selama sepuluh tahun. Jika ia telah menemui air,
hendaklah ia menyapu air (yakni membasuh) badannya. Demikian itu lebih baik
baginya.[8] Menurut Abu Hamid; hukum tersebut telah disepakati oleh sekelian
ulamak.[9]
Adakah disyaratkan masuk waktu sahnya tayammum?
Ada dua pandangan ulamak;
Pertama; jumhur ulamak (terdiri dari mazhab Imam Malik, Syafiie, Ahmad dan lainlain) berpandangan; tidak sah tayammum melainkan setelah masuk waktu solat sama ada
tayammum kerana keputusan air atau kerana tidak mampu menggunakan air. Maksud
[
[

masuk waktu ialah tiba waktu yang mengharuskan suatu solat itu dilakukan.
Disyaratkan masuk waktu kerana tayammum adalah toharah darurat seperti mana toharah
wanita yang istihadhah di mana kedua-duanya tidak menghilangkan hadas, akan tetapi
dilakukan hanya untuk mengharuskan solat sahaja. Maka sebagaimana wanita yang
istihadhah tidak harus mengambil wudhuk melainkan setelah masuk waktu, begitu juga
orang yang ingin melakukan tayammum juga tidak harus melakukannya melainkan
setelah masuk waktu solat.
Kedua; Imam Abu Hanifah berpandangan; tayammum tidak terikat dengan waktu, yakni
harus melakukan tayammum sekalipun belum masuk waktu. Beliau mengkiaskannya
dengan wudhuk dan toharah-toharah yang lain (mandi, menyapu khuf, menghilangkan
najis). Sebagaimana wudhuk harus dilakukan sebelum masuk waktu solat, maka
tayammum juga sedemikian kerana ia disyariatkan sebagai ganti kepada keduaduanya.[10]
Apakah syarat tayammum bagi orang sakit atau luka?
Tidak semua jenis sakit atau luka mengharuskan tayammum. Sakit atau luka yang
mengharuskan tayammum ialah sakit atau luka yang penggunaan air ditakuti akan
menyebabkan at-talaf (kematian atau kemusnahan anggota) atau mendatangkan mudarat
pada badan. Ia merangkumi;[11]
1. Akan menyebabkan kematian atau kerosakan pada aggota ( ;)lumpuh dan
sebagainya.
2. Penggunaan air menimbulkan penyakit yang membawa kematian atau kerosakan
anggota.
3. Menyebabkan sakit bertambah teruk atau penyakit semakin melarat.
4. Menyebabkan lambat sembuh
5. Menyebabkan kesakitan yang tidak tertanggung.
6. Menimbulkan kecacatan dan kejelikan yang ketara pada badan; seperti kulit menjadi
hitam atau sebagainya.
Kesan-kesan yang dibimbangi tersebut dari penggunaan air hendaklah disahkan oleh
pengalaman sendiri atau berdasarkan makluman dari doktor yang mahir. Menurut mazhab
Syafiie; doctor itu hendaklah muslim dan adil (tidak fasiq). Tidak diterima pengakuan
atau pengesahan dari doctor kafir atau fasiq.[12] Namun menurut mazhab Imam Malik;
harus memakai pandangan atau makluman dari doktor kafir jika tidak ada doktor
muslim.[13]
Apakah syarat tayammum bagi orang yang kesejukan?
Syaratnya ialah tidak ada sebarang ikhtiar lagi yang dapat dilakuka bagi menggunakan
air. Jika mampu berikhtiar sama ada dengan memanaskan air atau sebagainya, wajiblah
[
[
[
[

dilakukan ikhtiar itu. Jika tidak mampu, barulah diharuskan tayammum. [14]
Sejauhmanakah ibadah yang harus dilakukan dengan tayammum?
Tayammum mengharuskan apa yang diharuskan dengan wudhuk dan mandi.[15] Seorang
yang bertayammum harus mengerjakan solat fardhu, solat sunat, sujud tilawah, sujud
syukur, membawa mushaf, membaca al-Quran dan beriktikaf. Hukum ini telah disepakati
oleh ulamak.[16]
Namun para Fuqahak berikhtilaf dalam menentukan bilangan solat fardhu yang harus
dikerjakan dinisbahkan kepada satu tayammum yang dilakukan. Di sana ada tiga
pandangan; [17]
Pandangan pertama; tayammum sama seperti wudhuk iaitu tidak terikat dengan
bilangan solat. Selagi tayammum tidak batal iaitu dengan menjumpai air atau dengan
berlakunya hadas-, maka harus untuk melakukan dengan tayammum itu seberapa banyak
solat yang dikehendaki sama ada fardhu atau sunat dan tanpa mengira waktu. Pandangan
ini merupakan pendapat Said bin al-Musayyab, al-Hasan, az-Zuhri, as-Tsauri, Imam Abu
Hanifah, al-Muzani dan ar-Ruyani.
Pandangan kedua; Jumhur ulamak yang terdiri dari Saidina Ali, Ibnu Umar, Ibnu
Abbas, as-Syabi, an-Nakhaie, Qatadah, Yahya al-Ansari, Rabiah, Malik, Syafiie, alLaits, Ishaq dan Imam Ahmad. Mereka berpendapat; satu tayammum hanya untuk satu
solat fardhu atau satu ibadah wajib sahaja. Oleh demikian, tidak harus menjamakkan dua
solat dengan satu tayammum atau melakukan dua tawaf atau melakukan satu solat fardhu
dengan satu tawaf fardhu, menghimpunkan dua solat nazar atau antara satu solat fardhu
dengan satu solat nazar. Hendaklah diperbaharui tayammum untuk setiap solat fardhu
yang hendak dilakukan setelah dipastikan tidak air terlebih dahulu. Adapun solat sunat,
harus dilakukan seberapa banyak yang dikehendaki.
Pandangan ketiga; Imam Abu Tsur dan fuqahak mazhab Hanbali.[18] Mereka
berpandangan; Tayammum terikat dengan waktu di mana satu tayammum hanya bagi
satu waktu solat fardhu sahaja. Seorang yang bertayammum boleh melakukan apa sahaja
solat yang dikehendaki sama ada solat fardhu dalam waktu, solat fardhu yang luput,
menjamakkan dua solat dan seberapa banyak solat sunat yang diingini selama belum
masuk waktu lain. Apabila masuk waktu lain, batallah tayammum dan wajib diulangi
semula tayammum bagi mengharuskan solat kembali. Kedaaannya menyamai seorang
wanita istihadhah atau orang-orang lainnya yang melakukan toharah darurat.[19]
Apakah anggota-anggota tayammum?
[
[
[
[
[
[

Berdasarkan ayat al-Quran tadi dan hadis-hadis Nabi s.a.w. (sebahagiannya telah kita
sebutkan tadi), anggota tayammum hanya dua sahaja (sama ada tayammum bagi
menggantikan wudhuk atau bagi menggantikan mandi) iaitu;
1. Muka
2. Dua tangan
Mengenai muka tidak ada khilaf di kalangan ulamak bahawa keseluruhan kawasan muka
yang wajib dibasuh ketika mengambil wudhuk, maka ketika tayammum kawasan muka
tersebut wajib diratai dengan debu. Adapun tangan, maka para ulamak berbeza
pandangan tentang kawasan yang wajib disapui debu;
Pertama; mengikut jumhur atau majoriti ulamak iaitu Saidina Ali, Ibnu Umar, alHasan al-Basri, as-Syabi, Salim bin Abdullah, Imam Malik, al-Laits, Imam Abu Hanifah
dan Syafiie; kawasan tangan yang wajib disapui debu adalah sama sebagaimana yang
wajib dibasuh ketika mengambil wudhuk iaitu bermula dari hujung jari hinggalah ke
siku.[20] Mereka berdalilkan antaranya- sabda Nabi s.a.w.; Tayammum itu dua kali
tepukan, sekali untuk disapu ke muka dan sekali untuk di sapu ke kedua tangan hingga ke
siku.[21]
Kedua; sekumpulan ulamak yang terdiri dari Atho, Makhul, al-Auzaie, Imam Ahmad,
Ishaq, Imam Syafiie (mengikut qaul qadimnya sebagaimana diceritakan oleh Abu
Tsur)[22] dan disokong oleh Ibnu al-Munzir berpandangan; kawasan tangan yang wajib
disapui debu ketika tayammum hanyalah sampai ke pergelangan tangan sahaja.[23]
Mereka berdalilkan hadis kisah Ammar (yang telah kita kemukakan tadi) di mana
Rasulullah s.a.w. bersabda kepadanya; Sesungguhnya memadai kamu menepuk dua
tapak tangan kamu ke tanah, kemudian kamu hembusnya (untuk menipiskan sedikit debu
di tapak tangan itu) dan seterusnya kamu sapukan debu ke muka dan ke dua tangan kamu
(hingga pergelangannya).[24] Adapun hadis yang dijadikan hujjah oleh jumhur tadi ia
adalah dhaif. Sebenarnya ia hanyalah pandangan Ibnu Umar, bukan sabda Nabi s.a.w..
Menurut Imam Nawawi; pandangan kedua di atas adalah kuat dari segi dalilnya dan lebih
hampir kepada kehendak as-Sunnah.[25]
Berapakah bilangan tepukan yang wajib semasa melakukan tayammum?
Rentetan dari khilaf di atas, berlaku pula khilaf dalam menentukan berapakah bilangan
tepukan ke tanah yang mesti dilakukan oleh orang yang melakukan tayammum?
Mengikut jumhur ulamak tadi; tayammum wajib dengan sekurang-kurangnya dua kali
[
[
[
[
[
[

tepukan ke tanah; satu tepukan untuk disapu ke muka dan satu tepukan lagi untuk disapu
kepada dua tangan hingga ke siku. Jika dua kali tepukan itu mencukupi untuk menyapu
keseluruhan kawasan muka dan tangan (hingga ke siku), tidak perlu lagi ditambah. Jika
tidak, wajiblah tepukan itu ditambah hingga debu meratai seluruh kawasan yang wajib
disapu itu.[26]
Adapun pandangan kedua di atas (Atho, Makhul, al-Auzaie, Imam Ahmad, Ishaq dan
disokong oleh Ibnu al-Munzir), mereka menegaskan; yang wajib ialah sekali tepukan
sahaja untuk kedua-dua anggota tayammum iaitu muka dan dua tangan hingga
pergelangannya.[27]
Bilakah batalnya tayammum?
1. Tayammum adalah bersuci gantian bagi wudhuk. Apabila berlaku kepada orang yang
bertayammum perkara-perkara yang boleh membatalkan wudhuk sebagaimana yang telah
kita jelaskan dalam tajuk yang lalu (contohnya, ia telah terkentut atau tersentuh kemaluan
atau sebagainya), maka batallah tayammumnya. Kesimpulannya, perkara-perkara yang
membatalkan wudhuk juga akan membawa kepada batalnya tayammum.
2. Bagi orang yang bertayammum kerana ketiadaan air, tayammumnya batal apabila telah
bertemu air. Sebaik bertemu air, dengan sendiri tayammumnya terbatal. Apabila hendak
solat semula, wajib ia mengambil wudhuk, yakni tidak cukup dengan tayammumnya tadi
sekalipun ia tidak melakukan perkara-perkara yang membatalkan tayammumnya. Jika ia
bertayammum tadi kerana ganti mandi wajib, hendaklah ia mandi wajib sebelum
mengerjakan solat berikutnya.
3. Jika seorang bertayammum, kemudian belum sempat mengerjakan solat ia telah
menemui air, tidak harus ia menunaikan solat dengan tayammum itu, akan tetapi
hendaklah mengambil wudhuk, kemudian baru tunaikan solat. Ini kerana tayammumnya
dengan sendiri terbatal dengan kerana bertemu air sekalipun belum sempat mengerjakan
solat. Jika air ditemui semasa sedang solat (seperti ada orang memberitahunya semasa
sedang solat itu), jika ia ingin meneruskan solatnya diharuskan dan solatnya sah. Namun
sebaik-baiknya ialah ia menghentikan solatnya, kemudian mengambil wudhuk dan
melakukan semula solat. Jika air ditemui setelah selesai solat, sah lah solat yang
ditunaikan sebelum bertemu air itu dan tidak perlu diulangi semula sekalipun waktu
masih ada.
4. Jika bertayammum kerana keuzuran (seperti sakit, sejuk keterlaluan dan sebagainya),
tayammum dikira terbatal sebaik sahaja hilang keuzuran. Contohnya; jika seseorang
bertayammum kerana sakit, maka sebaik ia sembuh dari sakit, batallah tayammumnya.
Nota Kaki

[
[

1] Lihat takrif Tayammum di dalam; Al-Mughni, 1/180.


2] Riwayat Imam al-Bukhari dan Muslim.
[
3]Riwayat Imam Ahmad, Abu Daud dan Daruqutni. Lihat hadis ini dalam Nailul-Autar.
[
4] As-Solah Ala Mazahib al-Arbaah, hlm. 91.
[
5] Al-Mughni, 1/182-184, al-Majmu, 2/269.
[
6] At-Tahzib, Imam al-Baghawi, 1/375.
[
7] Al-Majmu, 2/294-295, al-Mughni, 1/183.
[
8] Riwayat Imam at-Tirmizi dari Abu Zar r.a.. Kata beliau; hadis ini hasan soheh.
Dalam riwayat yang lain, lafaz hadis berbunyi;
.
Shaid yang baik adalah wudhuk seorang muslim ketika ia tidak menemui air sekalipun
sepuluh tahun. Jika ia telah menemui air, hendaklah ia bertakwa kepada Allah dan
sapulah kulitnya dengan air (yakni ratakanlah anggota wudhuknya dengan air). Demikian
itu lebih baik baginya. (Riwayat al-Bazzar dari Abu Hurairah r.a.. Menurut Imam Ibnu
Hajar; perawi-perawi hadis ini adalah soheh. Lihat; Faidhul-Qadier, hadis no. 5154).
Sabda Nabi s.a.w.; demikian itu lebih baik baginya, bermaksud; bersuci dengan air
itu lebih baik baginya dari segi keberkatan dan pahala. (Lihat; Faidhul-Qadier, hadis no.
5154).
[
9] Al-Majmu, 2/248.
[
10] Al-Mughni, 1/182, al-Majmu, 2/272.
[
11] Al-Mughni, 1/195, at-Tahzib, 413-414, Tafsir Ibnu Kathir, 1/550 (Surah an-Nisa,
ayat 43).
[
12] At-Tahzib, 1/414.
[
13] As-Solah Ala Mazahib al-Arbaah, hlm. 90.
[
14] Al-Mughni, 1/197.
[
15] At-Tahzib, 1/396.
[
16] At-Tahzib, 1/402.
[
17] Al-Mughni, 1/198-199, al-Majmu, 2/317-318, at-Tahzib, 1/396-402.
[

[
[
[
[
[
[
[
[
[
[
[
[
[
[
[
[
[

18] Pandangan yang masyhur dalam mazhab Hanbali berbeza dengan pandangan yang
dinaqalkan dari Imam Ahmad. Lihat; al-Majmu, 2/318.
[
19] Al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu, 1/413, al-Mughni, 1/198. Pandangan Abu Tsur;
lihat dalam al-Mughni, 1/199 dan al-Majmu, 2/318.
[
20] Al-Majmu, 2/242, al-Mughni, 1/189.
[
21]Riwayat Imam al-Hakim dan at-Thabrani dari Ibnu Umar r.a..
[
22] Al-Majmu, 2/241.
[
23] Al-Majmuk, 2/242.
[
24] Riwayat Imam al-Bukhari dan Muslim.
[
25] Al-Majmu, 2/242.
[
26] Al-Majmu, 2/241-242, al-Mugnni, 1/187.
[
27] Al-Majmu, 2/242, al-Mughni, 1/187.
Sumber : http://fiqh-am.blogspot.com/2008/06/bersuci-tayammum.html

[
[
[
[
[
[
[
[
[
[

Anda mungkin juga menyukai