Anda di halaman 1dari 10

Journal Review

From : Cities 29 (2012) 40-48


The International Journal of Urban Policy and Planning
Beyond property: Industrial Estates and Post-Suburban Transformation in Jakarta
Metropolitan Region
Delik Hudalah*, Tommy Firman
School of Architecture, Planning and Policy Development, Bandung Institute of Technology, Indonesia

Oleh :
Selfa Septiani Aulia (10610009)

Masalah Perencanaan
Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota
Fakultas Teknik dan Ilmu Komputer
Universitas Komputer Indonesia
2014

Introduction/ Pendahuluan
Studi terdahulu tentang urbanisasi di Asia Tenggara pada umumnya dan di

Indonesia pada khususnya telah mengambil tepi kota-kota besar sebagai


perpanjangan inti metropolitan dimana mengambil bentuk zona transisi kota-desa
Wilayah Metropolitan Jakarta/ Jakarta Metropolitan Region (JMR) mulai
tergabung dalam tren global pasca-pinggiran kota (post-suburbia) yang mengacu
pada desentralisasi kehidupan dari perkotaan metropolis kepinggiran
Artikel ini bertujuan untuk menyelidiki apakah transformasi perkotaan pada
pinggiran JMR yang merupakan wilayah metropolitan terbesar di Indonesia, telah
bergabung dengan tren globalisasi pasca-pinggiran kota (post-suburbia). Artikel
ini juga menjelaskan sejauh mana pembangunan industri, sebagai sektor ekonomi
utama utama di wilayah tersebut, telah memberikan kontribusi pada transformasi
ini
Beberapa pertanyaan yang ada pada artikel ini adalah : (1). Dapatkah postsuburbia diidentifikasi dalam JMR?; (2).Apakah perkembangan industri
memainkan peran dalam transformasi ini?; (3) Apa arti atau fitur unik dari postsuburbia dalam konteks industrialiasi JMR?

Post-Suburbia: A global perspective


The Drivers of Post-Suburbia
No

The Drivers of Post-Suburbia/ Pendorong Pasca-Pinggiran Kota

Perubahan dari bagian pinggiran kota menjadi pasca-pinggiran kota dimulai


pada negara berkembang
Post-suburbia/ pasca-pinggiran kota didorong oleh adanya revolusi
teknologi pada abad ke-20 (tahun 19-an)
Pengembangan teknologi mobil dan kemajuan teknologi merupakan
pendorong terjadinya post-suburbia
Di Amerika, post-suburbia bertransformasi menjadi kota sebelah luaryang
tidak hanya terdiri dari perumahan akan tetapi juga memiliki fungsi sebagai
pusat perbelanjaan dan pusat industri berteknologi tinggi, yang sebelumnya
merupakan atribut ekslusif yang dimiliki oleh inti metropolitan
Memunculkan technoburb

Post-Suburbia Global Perspective/


Pandangan Global Pasca-Pinggiran Kota

Muller, 1982 and Fishman 1989

Post-suburbanization merupakan penemuan kembali atas implikasi ruang dari


hak urbanisasi kepada produksi parameter baru dari pemutusan lokasi
Post-suburbanization didorong oleh adanya pengembangan industri, yang
membawa model produksi baru, seperti munculnya kompleks industri
Kompleks industri dipengaruhi oleh bentuk internal, termasuk perubahan
sifat dan kerjasama ekonomi politik antara pengembang dan pemerintah lokal

Lewis, 2001; Hise, 2001; and Walker &


Lewis, 2001

Transformasi pinggiran kota dibentuk oleh bentuk eksternal dari hubungan


globalisasi dari ideologi neoliberal
Pinggiran kota berkembang secara pesat dibentuk oleh tindakan
internasional dan pasar global, yaitu adanya kompetisi antarwilayah dan
internasional yang membutuhkan lokasi aktivitas ekonomi yang sangat
fleksibel
Efek globalisasi neoliberal juga terlihat kepada gaya hidup orang-orangnya,
seperti meningkatnya individualisme, simbolisme dan konsumerisme
Pada konteks Amerika Serikat, pinggiran kota baru sering dipanggil
exopolis, yang menunjukkan peran dari luar dalam pembentukan ruang kota

Kling, Olin & Poster, 1991b and Soja 2000

Post-Suburbia: A global perspective


Elements of Post-Suburbia
Elemen
Post-Suburbia Global Perspective/
Pandangan Global Pasca-Pinggiran Kota

No
Suburban/ Pinggiran Kota

Post-Suburbia/ Pasca Pinggiran Kota


Kota pinggiran tidak bisa dilihat sebagai
transisi atau istemewa antara kota tua dan
desa. Ada bentuk spasial baru yang sama
hidup, menarik, dan dinamis sebagai kota
(Young & Keil, 2010)

Kurangnya informasi dan koneksi


perjalanan

Adanya kecepatan informasi, koneksi


perjalanan dan globalisasi

Kegiatan perkotaan terpusat di pusat/ inti


kota

Desentralisasi penataan ruang dimana


kegiatan perkotaan berbeda dilakukan di
tempat yang berbeda dan semakin
terhubung dengan kendaraan mobil
pribadi. Pergerakan orang tidak
mengikuti pola konsentris atau radial
seperti wilayah metropolitan tradisional
yang monocentric

Tidak semua kegiatan perkotaan


terkonsentrasi di sekitar tertentu titik
lokasional. Sebaliknya terdiri dari lowdensity perkotaan bentuk tata ruang, yang
secara struktural terfragmentasi, ekonomis
khusus dan dipisahkan secara sosial
(Borsdorf, 2004)

Mendukung kebebasan individu dan


fungsi pemerintah pusat atau institusi
kurang terlihat akan tetapi pemerintah
daerah cukup berperan dengan
bekerjasama dengan swasta

Kaburnya kesenjangan konseptual kota-desa


yang mengubah hubungan antara kota dan
pedesaannya (Kling et al., 1991)

Bentuk spasial yang dihasilkan tidak


selalu menggantikan pusat kota
tradisional tetapi lebih melengkapi
struktur yang ada

Kebebasan individu tidak terlihat

Bentuk spasial yang dihasilkan


menggantikan pusat kota tradisional

Bentuk spasial yang dihasilkan tidak selalu


menggantikan pusat kota tradisional tetapi
lebih melengkapi struktur yang ada. Oleh
karena itu, di Eropa diistilahkan city-edge

Urban and industrial development in the Jakarta Metropolitan Region (JMR)

Luas wilayah JMR adalah 5.897 km2.


Terdiri dari DKI Jakarta dan dikelilingi
oleh wilayah pinggiran yang dikenal
sebagai Bodebek (Bogor-DepokTangerang-Bekasi)
Bodebek terdiri dari tiga kabupaten dan
lima kota, yaitu Kabupaten Bogor,
Kabupaten Tangerang, dan Kabupaten
Bekasi. Serta Kota Bogor, Kota Depok,
Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan,
dan Kota Bekasi.

Pada tahun 1960-an dan 1970-an,


setengah dari populasi terkonsentrasi di
inti kota, yaitu Jakarta
Pada akhir tahun 1980-an, konsentrasi ini
mulai menurun. Pengembangan properti
telah mengalami kemajuan pesat di
pinggiran kota
Puncak konversi lahan pertanian menjadi
lahan yang terbangun di pinggiran kota
terjadi pada periode 1992-2000, sekitar
90.760 ha terdapat lahan yang
dikonvensi (Rustiadi, 2007)
Pada saat krisis ekonomi Asia tahun
1997, menahan ekspansi fisik ini
Setelah 3 tahun bergejolak, ekonomi
secara bertahap pulih dan ekspansi
perkotaan dilanjutkan dengan konversi
sekitar 22.873, 04 ha lahan pada tahun
2000-2005 saja (Rustiadi, 2007)
Suburbanization mempengaruhi struktur
ekonomi JMR, yaitu dengan berubahnya
kontribusi sektor manufaktur yang pada
tahun 1985-1990 dari hanya 24,6%
menjadi 59,8% pada tahun 2000-2005
Peran utama dari pinggiran kota dalam
restrukturisasi ekonomi regional lebih
jelas dalam penyerapan FDI (Foreign
Direct Investation), yaitu dari tahun
1998-2009 kontribusi pinggiran kota dari
sektor tersebut sebesar 84-87%

Industrial estate development in Cikarang, Kabupaten Bekasi

Kabupaten Bekasi berperan sebagai pusat industri utama di JMR

Kegiatan industri, khususnya manufaktur, menyumbang 79,73% dari PDRB Kabupaten Bekasi (2009)

Untuk investor swasta, Kabupaten Bekasi dianggap lokasi yang paling sesuai untuk kawasan industri swasta
(Shahab, 2010) karena memiliki akses langsung ke Jakarta dan relatif dekat dengan pusat kota dan Pelabuhan
Tanjung Priok serta ketersediaan sumberdaya air yang cukup

Kawasan industri di kabupaten Bekasi sebagian besar terkonsentrasi di Cikarang, bagian tengah sub-region
dan ada tujuh kawasan industri di Cikarang dengan luas total 14.620 ha dan sebagian besar didirikan pada
tahun 1989

Ada tiga kawasan industri yang tidak hanya dikembangkan sebagai kawasan industri, tetapi juga terintegrasi
perumahan dan fungsi perkotaan lainnya, yaitu Jababeka, Lippo Cikarang dan Deltamas

Jababeka adalah kawasan industri terbesar yang berada di Cikarang dan Asia Tenggara, dengan luas
perencanaan sebesar 5.600 ha

Jababeka saat ini memiliki lebih dari 1200 tenant dengan lebih dari 300.000 pekerja. Penyewa/ tenant
setidaknya berasal dari 25 negara (Provinsi Jawa Barat, 2009)

Jababeka dikembangkan oleh PT Jababeka tbk dan pada tahun 1996 mengembangkan kota mandiri

Jababeka memiliki kegiatan usaha Movieland (36 ha), Medical City (74 ha), Kota Cyber (240 ha) dan dry
port internasional (75-150 ha)

Jababeka juga dilengkapi dengan fasilitas kota besar, yaitu 300.000 rumah, 8 hotel dan apartemen, 16
universtitas dan lembaga-lembaga pendidikan tinggi, rumah sakit internasional, 24 mal dan pusat
perbelanjaan, taman golf internasional dan taman botani dan dihuni lebih dari 958.000 orang dan 2.450
ekspatriat termasuk didalamnya

Socio-economic and spatial implications and governance adaptation


Kabupaten Bekasi secara administratif dibagi menjadi 21 kecamatan dan berdasarkan

struktur ekonomi, kecamatan di kabupaten Bekasi dapat diklasifikasikan ke dalam tiga


kelompok
Kelompok pertama yaitu tiga kecamatan yang merupakan lokasi utama dari kawasan

industri. Kelompok kedua adalah 12 kecamatan yang berfungsi sebagai hinterland kawasan
industri dan kelompok ketiga adalah enam kecamatan yang cenderung terisolasi, karena
kebanyakan warga bekerja sebagai petani
Kesenjangan pendapatan yang jelas antara kelompok-kelompok tersebut dapat dilihat. Tiga

kecamatan industri Cikarang memiliki pendapatan lebih dari 100 juta rupiah per kapita dan
kecamatan yang menjadi hinterland dan pedesaan hanya memiliki pendapatan seperlima
dan sepersepuluh dari angka teresebut
Dari sudut pandang neoklasik, konsentrasi besar industri di satu lokasi dapat menciptakan

skala ekonomi, sehingga meningkatkan efisisensi ekonomi, misalnya melalu berbagi


tanggung jawab penyediaan infrastruktur. Akan tetapi hal ini belum terjadi di Cikarang.
Akibatnya infrastruktur yang dibangun oleh kawasan industri terputus satu sama lain
Maka dibuat zona ekonomi khusus di Cikarang yang bertujuan untuk mempertahankan

investor di bidang manufaktur, memperluas akses ke pasar global, merangsang industri


lokal dan menciptakan lapangan pekerjaan lebih banyak (Provinsi Jawa Barat, 2009)

The end of desakota regions?

Pada akhir abad ke-20 daerah urbanisasi Asia Timur ditandai dengan munculnya desakota, yaitu
berbeda zona antara kota dan pedalaman pedesaan
Desakota merupakan transformasi bertahap yang dari sebelumnya merupakan daerah pertanian
menjadi daerah yang terbangun. Desakota merupakan bagian dari wilayah metropolitan yang paling
dinamis dan berkembang kebetulan di sepanjang koridor utama antara kota (McGee, Ginsburg,
Koppel, & McGee, 1991)
Pola spasial yang berada di JMR menandakan tahap awal yang disebut dengan istilah barat sebagai
post-suburbia, yang melibatkan dekonsentrasi industri hi-tech dan perusahaan-perusahaan
multinasional, yang mengkonversi lahan di pedesaan menjadi kawasan industri yang direncanakan
pinggiran kota
Beberapa kawasan industri di pinggiran kota yang ditemukan di Cikarang dan Bekasi berubah menjadi
pusat-pusat perkotaan baru yang dilengkapi dengan komersial utama, rekreasi dan fasilitas budaya
dengan rasa Barat yang kuat
Pada awalnya transformasi pasca-pinggiran kota di JMR merupakan implikasi spasial ekonomi
regional restrukturisasi dari pertanian ke sektor manufaktur dan di masa depan dominasi sektor
manufaktur secara bertahap akan diikuti oleh sektor jasa (proyek ambisius di luar pengembangan
tanah dan properti bisnis seperti Movieland, Kota Medikal dan Kota Cyber di cikarang)
Kelangsungan pertumbuhan dan integrasi dengan kapitalisme global, ditambah dengan desentralisasi
atribut pemerintahan, telah membuat pembangunan pasca-pinggiran menjadi sebuah fenomena yang
tak terelakkan dalam JMR
Transformasi pasca-pinggiran kota sebagian besar memberikan kontribusi terhadap perbaikan kinerja
ekonomi JMR. Namun, tedapat beberapa isu-isu keberlanjutan yang juga muncul dalam transformasi
ini, yaitu ketidakseimbangan regional, mismatch infrastruktur, fragmentasi fisik, segregasi sosial, dan
degradasi lingkungan
Isu-isu ini menyiratkan butuhnya akan instrumen kebijakan yang lebih inovatif, yaitu perencanaan
yang lebih baik, koordinasi di tingkat daerah, dan meningkatkan kapasitas untuk pemerintah lokal

Anda mungkin juga menyukai