Anda di halaman 1dari 7

1.

A. Periode Tafsir Ulama Mutaakhirin

Tafsir Periode Ulama Mutaakhirin (7-13 H) Disebut


periode Mutaakhirin karena pada zaman ini merupakan
zaman para ulama mufassir gelombang keempat atau
bisa juga disebut periode kodifikasi kedua yang
menuliskan tafsir terpisah dari hadis. Generasi ini muncul
pada zaman kemunduran umat Islam yaitu sejak jatuhnya
Baghdad pada tahun 656 H/1258 M sampai timbulnya
kebangkitan Islam pada tahun 1286 H/1888 M (abad 7
13 H). Pada masa itu para ulama memadukan
antara tafsir bil matsur dan tafsir bir rayi. Orientasi
tafsir yang muncul dan berkembang seperti ini telah
mewarnai tafsir dengan berbagai corak yang hampirhampir menutupinya akan fungsi dasar tafsir. Kita dapat
menemukan kitab-kitab tafsir yang mencampurkan
kedalamnya ilmu-ilmu filsafat dan para penafsir
bertumpu kepada pemahaman pribadi, terminologi
ilmiah, ideologi-ideologi madzhab, dan budaya-budaya
falsafi.

1.

B.
Sumber tafsir Mutaakhirin
Dalam proses penafsiran ayat-ayat al-quran, para
mufassir Mutaakhirin kebanyakan mengambil sumber-

sumber tafsir mutaqaddimin yang disesuaikan dengan


perkembangan ilmu pada zaman itu (Mutaakhirin),
disamping itu bersumber pada al-quran dan riwayat baik
dari nabi, sahabat, tabiin maupun tabiin-tabiin dan
kaidah-kaidah bahasa arab maupun cerita Israillliyat dari
ahli kitab.

Berdasarkan landasan yang dijadikan pegangan


dalam menafsirkan ayat-ayat al-quran dan perkembangan
ilmu pengtahuan yang mempengaruhi para mufassir
Mutaakhirin, dapat dicatat bahwa sumber tafsir pada
periode ini adalah sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Al-quran
Hadis-hadis Nabi
Tafsiran sahabat, tabiin, dan tabiin-tabiin
Kaidah bahasa arab dan cabangnya
Ilmu pengetahuan yang berkembang
Kekuatan Ijtihad atau Istinbat Mufassir, dan
Pendapat para Mufassir terdahulu.[1]

Dengan hal yang semacam ini, perbedaan pendapat terus


meningkat, masalah-masalah semakin berkobar,
fanatisme madzhab menjadi serius, dan ilmu-ilmu filsafat
yang bercorak rasional bercampur baur dengan ilmu-ilmu
naqli, ini semua menyebabkan tafsir ternoda. Sehingga
tidak heran, apabila para mufassir dalam menafsirkan Alquran berpegang pada pemahaman pribadi dan mengarah
ke berbagai kecenderungan. Tegasnya, banyak diantara
mufassir menafsirkan Al-quran menurut selera mereka
sendiri dan masing-masing mufassir mengarahkan
penafsirannya sesuai keahlian mereka ke dalam cabang
ilmu yang dikuasainya, sehingga lahirlah berbagai corak
tafsir yang berbeda-beda.

Penulisan tafsir pada masa selanjutnya masih


mengikuti pola di atas, yaitu golongan mutaakhirin tidak
kreatif, hanya mampu mengambil penafsiran golongan
mutaqaddimin, dengan cara meringkasnya di satu sisi dan
memberinya komentar di sisi lain. Keadaan demikian
terus berlanjut sampai lahirnya pola baru dalam tafsir
modern, di mana sebagian mufassir memperhatikan
kebutuhan-kebutuhan kontemporer di samping upaya
menyingkap dasar-dasar kehidupan social, prinsipprinsip tasyri dan teori-teori ilmu pengetahuan dari

kandungan Al Quran sebagaimana terlihat dalam tafsir Al


Jawahir, Al Manar, dan Azh Zhilal.[2]

1.

C. Bentuk metode, sistematika dan


ruang lingkup tafsir Mutaakhirin.
Dilihat dari sumber penafsiran, kebanyakan tafsir
Mutaakhirin berbentuk Izdiwaj, yaitu perpaduan antara
bentukmatsur dengan rayu yang menurut istilah Sayid
Rasyid RidhoShahih al-Manqul wa sarih almajul memadukan antara warisan yang ditemui
berupa asar (pemikiran-pemikiran, ide-ide, peradaban,
dan budaya)
Dari segi metode tafsir dan cara menjelaskan
maksud ayat serta tertib ayat yang ditafsirkan, metode
mutaakhirin tidak jauh berbeda dari metode tafsir
Mutaqaddimin, yaitu memakai
coraktahlili dan muqarin sebagaimana yang telah
dijelaskan.
Dalam hal sistematika penafsiran, tafsir
Mutaakhirin tampak lebih baik yaitu memiliki pola
penafsiran yang terdiri atas beberapa uraian dan masingmasing terpisah dari yang lainnya dengan memberi judul

dan subjudul, tetapi masih tetap diurutkan sesuai dengan


urutan ayat-ayat di dalam Mushaf.
Ruang lingkup penafsiran ulama Mutaakhirin
sudah lebih mengacu pada spesialis Ilmu, Seperti lubab at
tawil fi maani al-tanzil (Tafsir al-Khozin) karangan alKhozin (w.741 H) dalam bidang sejarah dan al-Jami li
ahkamil-quran (Tafsir al-Qurtubi)karangan al-Qurtubi
(w.671 H) dalam bidang fiqih. Selain itu ada pula
kitab Tafsir bil-matsur, antara lain tafsir alquranul-Azim, karangan Ibnu katsir (w.774 H) yang
popular dengan tafsir Ibnu katsir dan ad-Durr al-Mansur
fii tafsir bil Matsur karangan as-Suyuthi (w.911 H).[3]
1. D. Para Mufassir Mutaakhirin
Diantara Mufassir Mutaakhirin selain yang telah
disebutkan diatas adalah sebagi berikut :
1.

Al-Bardawi (w.692 H), pengarang tafsir anwar


al-tanzil wa Asrur al-Tawil (Tafsir al-Badawi)
2. Fakhrud-Din ar-Razi (w.606 H), pengarang
tafsir Mafaatihul Ghaib (al-Tafsir al-Kabir)
3. Imam Ibrahim bin Umar al-biqai (w.885 H),
pengarang tafsir Nazmud durar fii tanasubil ayat
wa suwar.
4. 4.
Imam al-Alusi (w.1270 H),
pengarang Ruhul Maani.

Mereka itulah diantara tokoh-tokoh Mufassir pada zaman


Mutaakhirin. Kebanyakan kitab tafsir mereka difokuskan
pada ilmu pengetahuan sesuai dengan bidang mereka
masing-masing, setelah mereka mempelajari dan
mendalami ilmu tersebut seperti bahasa, fiqih, filsafat,
dan tasawuf.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Yang dimaksud periode Mutaakhirin disini
adalah zaman para Ulama Mufassir gelombang
keempat atau disebut juga generasi kedua yang
menuliskan tafsir terpisah dari Hadis. Generasi ini
muncul pada zaman kemunduran Islam, yaitu
sejak jatuhnya Baghdad pada tahun 656 H/1258 M
sampai timbulnya gerakan kebangkitan Islam pada
tahun 1286 H/1888 M atau dari abad VII sampai
XIII H.
Usaha keras yang dilakukan oleh Ulama
Mutaqaddimin dalam menafsirkan ayat al-quran

yang telah menghasilkan kitab tafsir yang cukup


lengkap, banyak dan besar.
Keadaan seperti itu menyebabkan orangorang yang datang kemudian merasa puas dengan
tafsir yang telah ada. Akibatnya, tidak banyak
Ulama yang mau berusaha menafsirkan sendiri.
Disamping karena mereka yang benar-benar
memenuhi syarat sebagai seorang Mufassir tidak
sebanyak pada periode Mutaqaddimin. Oleh sebab
itu, pada zaman Mutaakhirin itu produksi baru
kitab tafsir lebih sedikit jika dibandingkan dengan
zaman sebelumnya. Akan tetapi Syarah, ulasan,
atau komentar(hasyiyah) terhadap penafsiran atau
pemikiran ulama-ulama Mutaqaddimin tampak
lebih menonjol.

[1]Nasruddin Baidan, Tafsir al-Quran di


Indonesia (Solo: Tiga serangkai, 2003), 18.
[2]Pengantar Studi Ilmu Al Quran, Hlm. 430

[3]Nasruddin Baidan, Tafsir al-Quran di


Indonesia (Solo: Tiga serangkai, 2003), 19.

Anda mungkin juga menyukai