PELECEHAN SEKSUAL
Case report :
Seorang wanita berumur 20 tahun datang ke instalasi gawat darurat
dengan laporan telah mengalami tindakan pelecehan seksual pada 24 jam yang
lalu. Ia melaporkan bahwa lelaki yang ditemuinya pada pertemuan universitas
tersebut menemaninya pulang ke apartemen dimana dia diserang dan
mengalami pemerkosaan termasuk invasi kedalam alat kelamin. Pasien tidak
melaporkan kasus tersebut ke polisi dan seorang temannya yang mengetahui
kejadian tersebut menyuruh pasien untuk pergi ke rumah sakit. Bagaimana
tindakan evaluasi dan manajemen pada pasien ini?
Permasalahan klinis
Penyerangan atau pelecehan seksual merupakan istilah luas yang
termasuk pemerkosaan, pemaksaan sentuhan pada alat kelamin hingga
pemaksaan untuk melihat film porno. Pemerkosaan adalah istilah legal dan di
Amerika, termasuk juga pelecehan seksual didalmnya seperti penetrasi pada
rongga tubuh (mulut, vagina, atau anus) termasuk pemaksaan dengan
menggunakan kekerasan atau faktor sosial lain (contohnya pada yang lebih
muda atau tua, orang dengan gangguan fisik dan kognitif juga pada pengguna
narkoba dan alkohol). Definisi dari pemerkosaan termasuk spousal rape
walaupun pembuktian akan jenis pemerkosaan ini tergantung dari barang bukti
yang lebih banyak. Penyerangan seksual merupakan permasalahan yang
kompleks dengan masalah medis, psikologi dan aspek legal. Survey yang
melibatkan populasi yang luas mengindentifikasikan prevalensi seumur hidup
akan orang yang mengalami penyerangan seksual mencapai hingga 13-39%
pada perempuan dan 3% pada laki-laki.
Data ini masih kurang dikarenakan sebagian besar studi populasi tidak
memasukkan populasi yang gampang mengalami hal tersebut (seperti
tunawisma). Populasi tertentu mengalami peningkatan resiko untuk dilakukan
pelecehan seksual termasuk pada orang dengan gangguan fisik atau mental,
tunawisma, homoseksual, transgender, pengguna alkohol dan obat-obatan,
mahasiswa dan dewasa muda berusia dibawah 24 tahun. Kekerasan seksual
biasanya dilakukan oleh pengguna obat-obatan dan alkohol.
Hanya 16-38% dari korban perkosaan melaporkan kasusnya pada pihak
yang berwenang dan hanya 17-43% yang hadir pada evaluasi medis setelah
pemerkosaan. 1/3 dari korban pemerkosaan tidak pernah melaporkan kekerasan
seksual pada dokter. Walaupun review ini memfokuskan evaluasi terhadap
korban perempuan, namun terdapat juga korban kekerasan seksual pada lakilaki. Laki-laki yang melaporkan luka fisik biasanya lebih enggan untuk
melaporkan komponen seksual dari kekerasan yang dialaminya. Bahkan bila
korban tidak mengalami luka fisik, kebanyakan korban biasanya mengalami
ketakutan dan trauma mental dan juga perasaan malu. Mereka sering takut
bahwa mereka tidak akan dipercaya dan informasi pemerkosaan yang dialami
mereka akan di publikasikan. Selain itu, mereka juga takut akan keselamatan
mereka bila mereka mengatakan identitasnya. Sebagian besar korban perkosaan
ragu bahwa kasus mereka akan diproses dengan baik terutama pada negara
amerika dimana sebagian kasus pemerkosaan tidak di eksekusi dengan baik.
Klinisi juga harus mengerti bahwa bukan tugas mereka apakah kekerasan
seksual telah terjadi atau tidak karena hal tersebut tidak dapat diketahui hanya
dari pemeriksaan medis saja namun juga proses pengadilan. Bila dalam kasus
tersebut terdapat narkoba dan alkohol, proses skrining harus dilakukan dan
dikirim ke laboratorium kriminal. Indikasi dari pemeriksaan berupa amnesia dan
hilangnya motor control. Batas waktu dari pemeriksaan tergantung dari pihak
berwenang. Biasanya 72 hingga 96 jam. Pasien juga harus mengerti bahwa
proses skiring dapat menemukan ingesti dari obat medis dan non medis. Hasil
dapat diajukan sebagai bukti di persidangan.
Prevention of STI
Semua pasien harus diberikan profilaksis di IGD untuk resiko STI. CDC
telah mengeluarkan rekomendasi untuk tatalaksa termasuk gonorrhea, klamidia,
trikomonas dan hepatitis B *lihat table 1). Sifilis umumnya jarang terjadi dan
profilaksis gonorea dapat diberikan juga untuk sifilis. Para ahli biasanya tidak
merekomendasi test untuk STI di IGD kecuali terdapat gejalanya. Salah satu
pengecualiannya pada kasus kekerasan seksual pd anak. Bila pelaku positif HIV,
CDC juga merekomendari profilaksis post-exposure HIV.
Pregnancy prevention
Resiko dari kehamilan setelah pemerkosaan terdapat hingga 5% kasus.
Kontrasepsi darurat berupan 1.5mg levonorgestrel diberikan pada dosis sekali
pakai dalam 120 jam setelah proses seksual terjadi. Hal ini efektif dalam
pencegahan kehamilan hingga 98.5%. obat ini tidak boleh diberikan pada korban
yang telah hamil karena tidak akan menyebabkan terjadinya aborsi. Efek
samping yang umum terjadi berupa nausea, fatigue, nyeri abdomen dan
perdarahan vagina.
Dukungan emosional pada korban
Tidak ada reaksi yang normal terhadap pemerkosaan. Reaksi yang
umumnya terjadi bervariasi dari distres emosional hingga ketawa tanpa ekspresi,
kemarahan dan penyangkalan dari korban. Banyak korban mengalami rasa malu,
penyalahan diri sendiri dan keraguan diri. Para penyedia medis harus
memberikan empati pada korban untuk tidak menyalahkan diri sendiri. suatu
data menyatakan bahwa korban kekerasan seksual yang selamat mengalami
peningkatan resiko untuk PTSD hingga 30%, depresi hingga 30% dan percobaan
bunuh diri 33% hingga bunuh diri 13%. Faktor resiko PTSD setelah pemerkosaan
termasuk depresi sebelumnya, dan penggunaan alkohol. Para korban yang
selamat juga memiliki resiko akan masalah medis yang kronik termasuk chronic
pelvic pain, fibromyalgia dan gangguan gastrointertinal.