FARMASI KLINIK
PRAKTIKUM KE-7
CASE STUDY
Oleh :
Golongan / Kelompok
: II / I
Minat
No
Nama Mahasiswa
NIM
1.
Ihda Yusriyya
11/314091/FA/08732
2.
Khairunisa N. S.
11/314204/FA/08733
3.
Silvia Kusuma M.
11/314334/FA/08735
Chlara Nikke D.
11/315704/FA/08737
4.
TTD
: Mawardi Ihsan
I.
TUJUAN PRAKTIKUM
Mahasiswa dapat memahami dan mengevaluasi tatalaksana terapi pada penyakit
yang berhubungan dengan jantung, mampu memahami dan mengidentifikasi rekam
medik.
II.
DASAR TEORI
Gagal Jantung Kongestif
Definisi
Gagal jantung kongestif adalah kumpulan gejala klinis akibat kelainan
struktural dan fungsional jantung sehingga mengganggu kemampuan pengisian
ventrikel dan pompa darah ke seluruh tubuh. Tanda-tanda kardinal dari gagal
jantung ialah dispnea, fatigue yang menyebabkan pembatasan toleransi aktivitas
dan retensi cairan yang berujung pada kongesti paru dan edema perifer. Gejala ini
mempengaruhi kapasitas dan kualitas dari pasien gagal jantung (AHA, 2001).
Etiologi
Beberapa etiologi dari penyakit gagal jantung kongestif ialah :
a. Penyakit Jantung Koroner
Seseorang dengan penyakit jantung koroner (PJK) rentan untuk menderita
penyakit gagal jantung, terutama penyakit jantung koroner dengan hipertrofi
ventrikel kiri. Lebih dari 36% pasien dengan penyakit jantung koroner selama 7-8
tahun akan menderita penyakit gagal jantung kongestif ( Hellerman, 2003). Pada
negara maju, sekitar 60-75% pasien penyakit jantung koroner menderita gagal
jantung kongestif (Mann, 2008). Bahkan dua per tiga pasien yang mengalami
disfungsi sistolik ventrikel kiri disebabkan oleh Penyakit Jantung Koroner
(Doughty dan White, 2007).
b. Hipertensi
Peningkatan tekanan darah yang bersifat kronis merupakan komplikasi
terjadinya gagal jantung (Riaz, 2012). Berdasarkan studi Framingham dalam
Cowie tahun 2008 didapati bahwa 91% pasien gagal jantung memiliki riwayat
hipertensi. Studi terbaru Waty tahun 2012 di Rumah Sakit Haji Adam Malik
terdiri
dari
beberapa
jenis.
Diantaranya
ialah
dilated
darah tersebut dapat didistribusi ke seluruh tubuh. Kondisi ini jika berlangsung
lama menyebabkan gagal jantung kongestif (Lip G.Y.H., Gibbs C.R., Beevers
D.G., 2000).
e. Aritmia
Artial Fibrilasi secara independen menjadi pencetus gagal jantung tanpa
perlu adanya faktor concomitant lainnya seperti PJK atau hipertensi. 31% dari
pasien gagal jantung ditemukan gejala awal berupa atrial fibrilasi dan ditemukan
60% pasien gagal jantung memiliki gejala atrial fibrilasi setelah dilakukan
pemeriksaan echocardiografi. Aritmia tidak hanya sebagai penyebab gagal jantung
tetapi juga memperparah prognosis dengan meningkatkan morbiditas dan
mortalitas (Cowie et.al., 1998).
f. Alkohol dan Obat-obatan
Alkohol memiliki efek toksik terhadap jantung yang menyebabkan atrial
fibrilasi ataupun gagal jantung akut. Konsumsi alkohol dalam jangka panjang
menyebabkan dilated cardiomiopathy. Didapati 2-3% kasus gagal jantung
kongestif yang disebabkan oleh konsumsi alkohol jangka panjang. Sementara itu
beberapa obat yang memiliki efek toksik terhadap miokardium diantaranya ialah
agen kemoterapi seperti doxorubicin dan zidovudine yang merupakan antiviral
(Cowie, 2008).
g. Lain-lain
Merokok merupakan faktor resiko yang kuat dan independen untuk
menyebabkan penyakit gagal jantung kongestif pada laki-laki sedangkan pada
wanita belum ada fakta yang konsisten (Lip G.Y.H., Gibbs C.R., Beevers D.G.,
2000).
Sementara diabetes merupakan faktor independen dalam mortalitas dan
kejadian rawat inap ulang pasien gagal jantung kongestif melalui mekanisme
perubahan struktur dan fungsi dari miokardium. Selain itu, obesitas menyebabkan
peningkatan kolesterol yang meningkatkan resiko penyakit jantung koroner yang
merupakan penyebab utama dari gagal jantung kongestif. Berdasarkan studi
Framingham disebutkan bahwa diabetes merupakan faktor resiko yang untuk
kejadian hipertrofi ventrikel kiri yang berujung pada gagal jantung (Lip G.Y.H.,
Gibbs C.R., Beevers D.G., 2000).
Other Cause Right Heart failure (RV infarct, pulmonary hypertension, pulmonary
embolism, COPD
Tricuspid incompetence
Arrhythmia (AF, Bradycardia (complete heart block, the sick sinus
syndrome))
Pericardial disease (constrictive pericarditis, pericardial effusion)
Infection (Chagas disease)
Sumber : Kumar, P., Clark, M., 2009. Cardiovascular disease. In : Clinical Medicine Ed
th
Patogenesis
Gagal Jantung Kongestif diawali dengan gangguan otot jantung yang tidak
bisa berkontraksi secara normal seperti infark miokard, gangguan tekanan
hemodinamik, overload volume, ataupun kasus herediter seperti cardiomiopathy.
Kondisi-kondisi tersebut menyebabkan penurunan kapasitas pompa jantung.
Namun, pada awal penyakit, pasien masih menunjukkan asimptomatis ataupun
gejala simptomatis yang minimal. Hal ini disebabkan oleh mekanisme kompensasi
tubuh yang disebabkan oleh cardiac injury ataupun disfungsi ventrikel kiri (Mann,
2010).
Beberapa mekanisme yang terlibat diantaranya: (1) Aktivasi ReninAngiotensin-Aldosteron (RAA) dan Sistem Syaraf Adrenergik dan (2) peningkatan
kontraksi miokardium. Sistem ini menjaga agar cardiac output tetap normal
dengan cara retensi cairan dan garam. Ketika terjadi penurunan cardiac output
maka akan terjadi perangsangan baroreseptor di ventrikel kiri, sinus karotikus dan
arkus aorta, kemudian memberi sinyal aferen ke sistem syaraf sentral di
ventrikel kiri. Remodeling ventrikel kiri berupa (1) hipertrofi miosit; (2) perubahan
substansi kontraktil miosit; (3) penurunan jumlah miosit akibat nekrosis, apoptosis dan
kematian sel autophagia; (4) desensitisasi beta adrenergic; (5) kelainan metabolisme
miokardium; (6) perubahan struktur matriks ekstraselular miosit (Mann, 2010).
Perubahan struktur jantung akibat reni yang berperan dalam modeling penurunan cardiac
output, dilatasi ventrikel kiri dan overload hemodinamik. Ketiga hal diatas berkontribusi
dalam progresivitas penyakit gagal jantung (Mann, 2010).
Grafik penurunan kompensasi tubu h pada pasien gagal jantung kongestif
Reflex hepatojugularis
Kriteria Minor
Edema pretibial Batuk
malam Dispnea saat
aktivitas Hepatomegali
Efusi pleura
Kapasitas vital paru menurun 1/3 dari maksimal
Takikardia (>120 kali/menit)
Kriteria Mayor atau Minor
Penurunan berat badan > 4.5 Kg dalam 5 hari
Sumber : Marantz et. al., 1988. The relationship between left ventricular systolic
function and congestive heart failure diagnosed by clinical criteria. In : Circulation.
Ed. 77 : 607-612.
Klasifikasi
New York Heart Association membagi klasifikasi Gagal Jantung Kongestif
berdasarkan tingkat keparahan dan keterbatasan aktivitas fisik :
Klasifikasi Gagal Jantung Kongestif
Tidak ada keterbatasan dalam aktivitas fisik. Aktivitas fisik
Kelas I
Kelas II
Kelas III
Kelas IV
Sumber : European Society of Cardiology (ESC), 2012. Guideline for the Diagnosis and
Treatment of Acute and Chronic heart Failure.
III. HASIL PEMANTAUAN PASIEN
1. IDENTITAS PASIEN
Pasien: Ny.FSa
Ruang: IMC 10
BB: 80 kg
TB:
Umur : 62 th
2. PERINCIAN PASIEN
Keluhan Utama : demam, kaki kiri bengkak nyeri, batuk terutama malam hari,
sering terbangun, harus menggunakan bantal saat tidur, nyeri perut dan ulu hati +
daerah kanan bawah, makan / minum menurun
Diagnosis: CHF cf I ec IHD
Celulitis
Dyspepsia
3. RIWAYAT
Riwayat Penyakit
Riwayat keluarga/sosial
Riwayat Pengobatan
Alergi obat
::::-
15/03/2014
06.00
Cedocard
Trombo aspilet
07.00
14.00
18.30
23.30
16/03/2014
06.00
10.35
17/03/2014
06.00
08.37
RR : 20 x / menit
Sesak berkurang, kaki masih
bengkak
TD : 110/70 mmHg
N : 76 x / menit
T : 37,1C
RR : 24 x / menit
Kaki kiri bengkak
Kondisi umum baik
TD : 100/70 mmHg
N : 76 x / menit
T : 36C
RR : 22 x / menit
Ada bercak kemerahan di
kaki kiri
Bercak 4 x 3 cm
Pasien tidak bisa tidur, 2
hari
Dada kanan sedikit nyeri
TD : 130/80 mmHg
N : 56 x / menit
T : 36,3C
RR : 18 x / menit
Setelah kerokan pasien
merasa nyaman
Tidak ada keluhan
Merah di tungkai kiri bawah
3 hari, tidak gatal, sakit
TD : 115/60 mmHg
N : 57 x / menit
T : 36,2C
RR : 20 x / menit
Perut merasa sebah
TD : 160/70 mmHg
N : 58 x / menit
T : 36,8C
RR : 24 x / menit
Perut sebah belum BAB,
nyeri
TD : 110/70 mmHg
N : 58 x / menit
T : 36C
RR : 22 x / menit
Nyeri berkurang
Tungkai bawah udem,
hangat pada perabaan
Pasien sudah enakan
Diazepam
Meixam
Fuson cream
Danalgin
Patch eritem
TD : 110/70 mmHg
N : 64 x / menit
T : 36,5C
RR : 20 x / menit
5.
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
Macam Obat
Inj.Ondansetron
O2
Infus Mikrolini RL
Sistenol
Zibac
Lasix
Aspar K
Pantoprazole
Cedocard
Trombo aspilet
Laxadyn syr
Inj. Farsix
Renapar
Meixam
Fuson Cream
Danalgin
Diazepam
Dosis
8 mg
12 tpm
1 tab
1 vial (1 g)
1A
1 tab
1 A (40 mg)
5 mg
80 mg
2 cth
1A
1 tab
1 tab
1 tab
2 mg
Rute
Pemberian
IV
1x di IGD
IV
PO
IV
IV
PO
IV
PO
PO
PO
IV
PO
PO
topical
PO
PO
Tiap 8 jam
Tiap 8 jam
Tiap 8 jam
Tiap 8 jam
Tiap 12 jam
Tiap 8 jam
Tiap 12 jam
1x (malam)
Tiap 8 jam
Tiap 12 jam
Tiap 6 jam
2x / hari
Tiap 12 jam
p.r.n
Frekuensi
Tgl.
14/03/14
di IGD
Tgl.
15/03/14
22
22
22
22
22
6, 14, 22
6, 14, 22
6, 14, 22
6, 14, 22
6, 18
16, 22
18
22
Tgl.
16/03/14
Tgl.
17/03/14
1 botol
6, 14, 22
6, 14, 22
6
6
6, 14, 22
6, 18
6, 14, 22
6, 18
22
10, 18
6, 18
18, 24
6, 16
18
6
6
6
6
6
6
6
6
24
Nilai Normal
120/80 mmHg
37 C
2,4 6
< 200
14/03/2014
120 / 80
38,9
7,7
137
Parameter
Asam urat
Kolesterol total
HDL
LDL
Trigliserid
Nilai Normal
15/03/2014
40 60
< 100
< 150
5,2
160
51
93
67
Balance Cairan
Tanggal
14/03/2014
15/03/2014
16/03/2014
17/03/2014
IV.
Input
Output
IWL
Balance
500
1650
920
880
840
1910
1860
520
450
900
900
262,5
790
1160
1840
+ 97,5
Diuresis
(cc/kgBB/jam)
0,7
0,78
0,86
0,8
PEMBAHASAN
Pasien Ny. FSa dibawa IGD rumah sakit oleh keluarganya dengan keluhan
demam, kaki kiri bengkak nyeri, batuk terutama malam hari, sering terbangun, harus
menggunakan bantal saat tidur, nyeri perut dan ulu hati + daerah kanan bawah,
makan/minum menurun. Diketahui pasien tidak memiliki riwayat penyakit, riwayat
sosial dan alergi terhadap obat.
Saat di instalasi gawat darurat, pasien langsung diberikan ondansteron dosis 8
mg secara intravena. Berdasarkan
profilaksis mual muntah, diketahui pasien mengeluhkan nyeri pada ulu hati karena
produksi asam lambung yang berlebihan yang berpotensi menimbulkan mual muntah
walaupun dalam kasus ini tidak terdapat keluhan mual muntah secara langsung. Di
rumah sakit digunakan ondansetron untuk profilaksis mual muntah apapun
penyebabnya. Selain diberikan ondansetron, pasien juga diberikan oksigenasi untuk
membantu melancarkan pernafasan dan sistenol peroral untuk meredakan batuk dan
menurunkan demam. Setelah dilakukan pemeriksaan pasien didiagnosa menderita
gagal jantung kongestif (CHF) kelas fungsional I ex causa IHD (Ischemic Hearth
Disease), selulitis dan dyspepsia. Dari kondisi pasien tersebut pasien dipindahkan ke
rawat inap untuk mendapatkan pengobatan yang lebih intensif.
Obat
Indikasi pada
Dosis, Frekuensi,
pasien
Teori
Injeksi
Profilaksis
iv : 8 mg
ondansetron
mual muntah
Pemberian
8 mg
Keterangan
Efek samping
Pengatasan
Sesuai
Interaksi
Obat
-
Sistenol
Menurunkan
Jika perlu,
(Paracetamol
demam
3 kali sehari
sehari
500 mg + N-
mengurangi
1 tablet
tablet
acetilsistein
batuk
Tergantung
dan
kali
Sesuai
12 tpm
Sesuai
1 g/vial, 3
1 g/vial , 3
Sesuai
kali sehari
kali sehari
20 - 80 mg
1 ampul 3
Sesuai
Hipokalemia,
Diberikan
hipomagnesia
aspar
200 mg)
Infus
RL
mikrolini
Penambah
cairan
dan
individual
elektrolit
Zibac
Antibiotik
(ceftazidime
pentahidrat)
Lasix
Diuretik,
(furosemide
mengurangi
20 mg)
kelebihan
dan
cairan
Renapar
kali sehari
Aspar K (K I-
Suplemen
300 mg, 3
aspartat)
penambah
kali sehari 1
sehari
kalium
tablet
tablet
40 mg, 2
1 ampul (40
kali sehari
mg) 2 kali
Pantoprazole
kali
Sesuai
Sesuai
Sesuai
Sesuai
Tidak
Dosis
Sesuai
sehari
Cedocard
Anti angina
5 mg, 3 kali
5 mg, 3 kali
(isosorbid
sehari
sehari
dinitrat)
tablet
tablet
Trombo
Mencegah
80 mg, 2
80 mg, 2
aspilet
pembentukan
kali sehari 1
kali sehari
(Aspirin)
platelet
tablet
1 tablet
Laxadine
Laksatif
15-30 cc, 1-
10
kali
syrup
sendok
makan
cc,
dinaikkan
sendok teh
menjadi
kali sehari
15-30 cc
Farsix
Mengurangi
20 mg, 2
1 ampul, 2
(furosemid)
kelebihan
kali sehari
kali sehari
Sesuai
Hipokalemia,
Diberikan
hipomagnesia
aspar
cairan
dan
Renapar
Renapar (K l-
Suplemen
aspartate 300
penambah
3 kali sehari
2
sehari
kali
1
Sesuai
mg,
Mg
l-
1 tablet
tablet
500 mg, 4
(Cloxacillin
kali sehari 1
sehari-
Na)
tablet,
tablet--
aspartate 100
kalium
dan
magnesium
mg)
Meixam
Antibiotik
selama
kali
Sesuai
kali
Sesuai
kali
Tidak
hari
Fuson cream
Lesi
kulit
pada infeksi
Dioleskan
3-4
sehari
kali
sehari
Danalgin
Meringankan
3 kali sehari
(metampiron
nyeri
1 tablet
sehari
500
mg
Diazepam
Sesuai
2 mg, bila
2 mg, jika
Sesuai
perlu
perlu
tablet
mg)
Diazepam
Sedatif
Ketika di rawat inap, pasien mendapatkan obat lasix secara intravena. Lasix
berisi furosemid yang termasuk loop diuretik menghambat reabsorpsi ion natrium dan
klorida di tubulus renal proksimal dan distal serta di lengkung henle , menyebabkan
peningkatan air, kalsium, magnesium, natrium dan klorid. Pemberian lasix
diindikasikan untuk mengurangi cairan yang ada pada tubuh pasien, diketahui pasien
mengalami udem pada kaki kiri sebagai manifestasi dari gagal jantung kongestif.
Lasix diberikan selama 2 hari awal masa terapi (tanggal 14 dan 15 Maret 2014)
dengan frekuensi pemberian tiap 8 jam. Pemberian dengan frekuensi tersebut
diharapkan mempercepat hilangnya udem melalui peningkatan diuresis. Hari ke 3
dan ke 4 pasien dirawat (tanggal 16 dan 17 Maret 2014), pemberian lasix diganti
dengan farsix. Farsix sama seperti lasix yaitu berisi furosemid. Bersamaan dengan
penggantian tersebut, juga dilakukan penurunan dosis diketahui dari perubahan
frekuensi pemakaian. Semula Lasix (furosemid) diberikan tiap 8 jam berubah menjadi
farsix (furosemid) dengan frekuensi tiap 12 jam.
Pemakaian obat diuretik, sangat berpotensi menyebabkan tubuh kehilangan
elektrolit seperti kalium (K) dan magnesium (Mg) bersamaan dengan keluarnya
cairan dari tubuh. Untuk mengatasi hal tersebut, pasien diberikan suplemen kalium
yaitu Aspar K yang berisi K-I aspartat. Aspar K diberikan dengan frekuensi tiga kali
sehari selama masa perawatan (tanggal 14 s/d 17 Maret 2014). Kemudian pada
tanggal 16 Maret pasien juga diberikan Renapar yang berisi K-I aspartat dan Mg
Aspartat. Pemberian kedua obat tersebut secara bersamaan termasuk DRP kategori
tidak perlu obat yaitu terjadi terapi multiple drug dimana seharusnya dapat diberikan
single drug. Hal tersebut dapat diatasi dengan dilakukan pemberian Aspar K pada hari
pertama dan kedua kemudian dilanjutkan pemberian Renapar atau diberikan Renapar
dari awal hingga akhir. Namun pemberian Aspar K dan Renapar bersamaan bisa juga
bukan merupakan DRP, mengingat dalam catatan medis pasien tidak tertulis
pemantauan elektrolit. Bisa saja kondisi yang terjadi pada pasien adalah masih
kekurangan kalium meskipun sudah mendapatkan Aspar K sehingga perlu
ditambahkan suplemen K lagi, dalam hal ini diberikan Renapar.
Hari ke 2 dirawat, pasien mengeluh tidak bisa tidur selama dua hari. Namun
tidak dijelaskan penyebab pasien susah tidur. Berdasarkan keluhan tersebut, pasien
diberikan obat diazepam dengan dosis 2 mg. Diazepam bekerja sebagai sedatif
dengan mekanisme memodulasi efek postsinaptik dari transmisi GABA-A,
menghasilkan peningkatan dalam penghambatan presinaptik serta menginduksi efek
menenangkan pada thalamus dan hipotalamus. Pemberian diazepam diasumsikan
sudah efektif mengatasi keluhan pasien yang tidak dapat tidur. Hal ini karena pada
catatan medis tidak disebutkan lagi bahwa pasien susah tidur.
Pada hari ke 3 dirawat, pasien menyatakan merasa nyeri, tetapi dalam catatan
medis tidak disebutkan bagian mana yang mengalami nyeri. Kemungkinan nyeri
pasien di bagian kaki karena diketahui bahwa pasien udem pada kaki, udem di kaki
karena adanya penumpukan cairan dapat menekan saraf/ reseptor pada bagian
tersebut sehingga menyebabkan timbulnya rasa nyeri akibat pengeluaran mediator
inflamasi. Untuk mengatasi nyeri pasien diberikan Danalgin yang berisi metampiron
dan diazepam. Metampiron bekerja sebagai analgetik non-narkotik, mengurangi
produksi prostaglandin sehingga mengurangi impuls nyeri yang diterima saraf.
Diazepam berfungsi sebagai sedatif. Pemberian Danalgin yang berisi metampiron dan
diazepam dapat digolongkan sebagai DRP kategori tidak perlu obat. Dikategorikan
menjadi DRP karena adanya diazepam. Diazepam sebagai sedatif dirasa tidak
diperlukan lagi oleh pasien karena pasien yang sebelumnya mengeluhkan tidak bisa
tidur sudah tidak mengeluhkan lagi susah tidur setelah diberi diazepam dengan dosis
2 mg. Masalah tersebut dapat diatasi dengan pemberian Metampiron dalam bentuk
sediaan tunggal untuk mengatasi nyeri.
Pasien juga didiagnosis mengalami selulitis, dimana berdasarkan gejalanya
yaitu merah pada kaki dan mengalami pembengkakan. Adanya warna merah pada
kulit disebabkan karena adanya infeksi. Infeksi pada selulitis disebabkan oleh
berbagai bakteri, jadi harus dilakukan kultur. Pada catatan rekam medik pasien tidak
dilakukan kultur untuk mengetahui secara khusus bakteri penyebab selulitis. Oleh
karena itu dokter memberikan zybac sebagai antibiotic spektrum luas. Pasien awalnya
diberikan zybac yang juga diindikasikan untuk infeksi. Zybac berisi ceftazidim
pentahidrat yang merupakan antibiotika sefalosporin semisintetik yang bersifat
bakterisidal, mempunyai spektrum luas yang sangat stabil terhadap sebagian besar
beta laktamase, plasmid dan kromosomal yang secara klinis dihasilkan oleh kuman
gram negatif. Zybac diberikan sebagai pencegahan supaya infeksi yang terjadi tidak
semakin parah. Dosis yang diberikan yaitu 8 mg secara injeksi intravena tiap 8 jam
selama 4 hari, dosis ini sudah sesuai dengan teori bahwa untuk ceftazidim yang
merupakan sefalosporin generasi tiga untuk terapi selulitis diberikan secara injeksi
intravena dosis 8 mg tiga kali sehari dengan durasi 4 atau 16 hari. Pemberian zybac
tidak ada interaksi dengan obat lain yang juga diberikan pada pasien.
Selain zybac, pasien juga diberikan meixam pada tanggal 16. Meixam
diindikasikan juga untuk infeksi kulit, dalam hal ini ada selulitis. Meixam berisi
kloksasilin Na turunan penisilin yang merupakan bakterisidal, dengan mengikat
penisilin-mengikat protein spesifik (PBP) terletak di dalam dinding sel bakteri,
menonaktifkan sehingga melemahnya dinding sel bakteri dan lisis. Pasien diberikan
meixam karena pada kaki pasien masih menunjukkan adanya warna merah dan sakit
yang kerjanya lebih spesifik daripada zybac. Berdasarkan guideline management
selulitis disebutkan bahwa untuk terapi selulitis menggunakan meixam yang berisi
kloksasilin dosis yang diberikan sebesar 500 mg secara per oral 4 kali sehari, hal ini
sesuai dengan dosis yang diberikan kepada pasien yaitu sebesar 500 mg secara per
oral 4 kali sehari.
Dalam catatan medis disebutkan bahwa pasien mengalami bercak kemerahan
pada kaki dengan ukuran 4 x 3 cm. Pada bercak tersebut tidak terasa nyeri tetapi
gatal. Munculnya lesi tersebut karena pasien mengalami selulitis, sehingga selain
diberikan antibiotic untuk mengobati kondisi tersebut diberikan juga obat topical
yaitu Fuson Cream. Fuson cream berisi asam fusidat berfungsi mengatasi lesi akibat
infeksi oleh streptococcus atau staphylococcus. Diketahui bahwa cellulitis banyak
disebabkan oleh streptococcus atau staphylococcus, sehingga pemberian fuson cream
sudah sesuai indikasi pada pasien. Fuson cream ini juga diberikan sebagai obat yang
dibawa pulang untuk durasi penggunaan selama 7 hari.
Pasien juga mengeluhkan demam dan batuk, oleh dokter diberikan sistenol.
Pemberian obat ini sudah sesuai dengan keluhan pasien, dimana sistenol ini berisi
parasetamol dan asetilsistein, parasetamol mempunyai mekanisme bekerja pada
daerah hipotalamus yang menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan aliran darah
perifer, sehingga menurunkan suhu tubuh sedangkan asetilsistein memiliki efek
mukolitik yang dapat mengurangi viskositas sekresi paru sehingga mudah
dikeluarkan melalui batuk. Penggunaan sistenol ini jika perlu, dalam kasus pasien
diberikan sistenol selama di rawat inap karena berdasarkan catatan rekam medis suhu
pasien belum stabil masih mengalami kenaikan dan penurunan. Dosis yang diberikan
sudah sesuai yaitu digunakan 3 kali sehari tablet, setiap tablet mengandung
paracetamol 500 mg dan N-acetylcystein 200 mg.
Pasien didiagnosa terkena penyakit Congestive Heart Failure (CHF) yakni
kondisi ketika jantung tidak mampu memompa cukup darah untuk memenuhi
kebutuhan tubuh. Untuk mengatasi penyakit tersebut, diberikan Cedocard yang
berisi Isososorbid Dinitrat. Isosorbid dinitrat merupakan suatu obat golongan nitrat
yang memiliki mekanisme aksi dengan menginduksi relaksasi otot polos vaskular
perifer, sehingga ada pelebaran arteri dan vena. Hal ini dapat mengurangi aliran balik
vena darah (mengurangi preload) ke jantung. Selain itu, obat golongan nitrat juga
dapat meningkatkan pasokan oksigen miokard dengan dilatasi arteri koroner besar
dan mendistribusikan aliran darah sehingga dapat meningkatkan suplai oksigen ke
daerah iskemik. Pemberian obat tersebut untuk tujuan pencegahan serangan angina
dimana gejalanya ditandai dengan dada terasa sesak. Pemberian Cedocard dirasa
sudah tepat dan sudah sesuai dengan kondisi pasien. Dosis Cedocard yang
direkomendasikan yaitu sebesar 5 mg diminum 3 kali sehari. Ketika pasien keluar
dari rumah sakit, Cedocard dilanjutkan pemakaiannya selama seminggu kemudian
diperiksakan ke dokter.
Selama dirawat di rumah sakit, pasien mengeluh susah buang air besar.
Pemberian laxadine syrup efektif digunakan untuk mengatasinya karena laxadine
syrup memiliki mekanisme aksi yaitui dengan menghambat penyerapan air dan
melancarkan jalan feses. Namun pemberian obat tersebut termasuk DRP dikarenakan
dosis yang digunakan terlalu rendah yaitu sebesar 10 cc diminum 2 sendok teh 1 kali
sehari. Hal tersebut dapat diatasi dengan meningkatan dosis Laxadine syrup menjadi
15 sampai 30 cc diminum 1 sampai 2 kali sehari.
Infus mikrolini ringer laktat juga diberikan kepada pasien untuk memenuhi
kebutuhan cairan dan elektrolit tubuh secara fisiologis. Infus ini diberikan pada pasien
saat mulai masuk IGD, karena kondisi umum pasien saat pertama kali masuk rumah
sakit dalam kondisi lemah. Dosis yang diberikan sesuai dengan kondisi individual,
dalam kasus ini diberikan dosis 12 tpm. Kecepatan infus yang diberikan kepada
pasien harus sesuai yang dibutuhkan oleh tubuh, jika terlalu cepat pasien bisa
mengalami nyeri hebat akibat penumpukan jumlah cairan yang terlalu banyak.
Keluhan lain yang dirasakan pasien adalah nyeri di ulu hati sehingga diberikan
pantoprazol. Pemberian pantoprazol sudah sesuai karena pantoprazol digunakan
untuk mengobati gastroesophageal reflux disease (GERD), yaitu kondisi dimana
terjadi aliran kembali asam dari perut yang menyebabkan nyeri ulu dan dapat
menyebabkan luka pada esofagus. Pantoprazole termasuk proton-pump inhibitors
yang kerjanya dengan menurunkan jumlah asam yang ada di perut. (Medline, 2014)
Penggunaan pantoprazol selama masa perawatan di rumah sakit dari tanggal 14 Maret
2014 hingga 17 Maret 2014dengan dosis 40 mg (1 ampul) dan digunakan 2 kali
sehari sudah sesuai dengan literatur. Efek samping yang dapat terjadi bila
menggunakan
pantoprazol
misalnya
sakit
kepala,
mual,
kembung,
gatal,
dengan hal itu, menurut percobaan SAVE aspirin signifikan mengurangi resiko
terjadinya stroke sebanyak 56%. Dari percobaan SOLVD menunjukkan keuntungan
efek aspirin, terkhusus pada wanita, karena penggunaan agen antplatelet dihubungkan
dengan pengurangan resiko kejadian tromboembolik sebesar 23% pada pria (p =
0.06) dan 53% pada wanita (p = 0.03).Penggunaan Thrombo Aspilet ini masih dapat
dikatakan sesuai dengan indikasi. Dosis Thrombo Aspilet 80 mg dan digunakan 2
kali sehari sudah sesuai karena aspirin dosis rendah secara ireversibel mengasetilasi
residu serine di posisi 530 padaenzim siklooksigenase-1 (COX-1) trombosit sehingga
memblokade sintesis prostaglandin G2/H2. Reaksi ini merupakan langkah pertama
dalam serangkaian reaksi yang memungkinkan transformasi asam arakidonat menjadi
agonis trombosit yang poten, yaitu tromboksan A2. Thrombo Aspilet harus ditelan
utuh, jangan dikunyah atau dihancurkan.
Pada pasien dengan kondisi gagal jantung, penting dilakukan pengukuran
balance cairan untuk mengetahui kemampuan diuresis pasien. Nilai balance cairan
ditentukan oleh banyaknya input cairan, output serta insensible water loss
(kehilangan cairan yang tidak disadari/ sulit dihitung; missal berkeringat). Balance
cairan pada pasien gagal jantung sebaiknya bernilai negatif, yang artinya output/
pengeluaran cairan lebih besar daripada input. Dengan balance cairan yang negatif
dimana output lebih besar daripada input, diharapkan tidak terjadi penumpukan cairan
di dalam tubuh yang dapat menyebabkan udem; atau bila pasien mengalami udem
dapat segera hilang.
Drug
Related
Problem
Tanggal
14/3
15/3
Problem
Pengatasan
16/3
17/3
Butuh Obat
Tidak Perlu
Obat
bentuk tunggal.
Obat Salah
Dosis
Terlalu
Rendah
Dosis
Terlalu
Tinggi
Reaksi Obat
Tidak
Diinginkan
Compliance
Dalam kasus ini terjadi Drug Related Problem (DRP) dalam pemberian Aspar K
dan Renapar. Diketahui bahwa pasien gagal jantung dapat mengalami hipokalemia
dan hipomagnesia akibat pemberian diuretik sehingga diperlukan pemberian
suplemen K dan Mg. Aspar K merupakan suplemen vitamin K pada penyakit jantung
sedangkan Renapar merupakan suplemen K dan Mg pada penyakit jantung.
Pemberian kedua obat tersebut secara bersamaan termasuk DRP multirug dimana
seharusnya dapat diberikan single drug. Hal tersebut dapat diatasi dengan dilakukan
pemberian Aspar K pada hari pertama dan kedua kemudian dilanjutkan pemberian
Renapar atau diberikan Renapar dari awal hingga akhir.
Selain itu, terjadi DRP yang lain yaitu pada pemberian Danalgin yang berisi
metampiron dan diazepam dimana metampiron berfungsi sebagai analgetik dan
diazepam sebagai sedatif. Pasien sebelumnya mengeluhkan tidak bisa tidur kemudian
oleh dokter diberikan diazepam. Setelah itu, pasien tidak mengeluhkan lagi susah
tidur, tetapi dokter memberikan Danalgin yang didalamnya terdapat diazepam, dalam
hal ini pasien tidak membutuhkan lagi diazepam. Masalah tersebut dapat diatasi
dengan pemberian Metampiron dalam bentuk sediaan tunggal.
Ditemukan juga DRP dalam pemberian Laxadine Syrup dimana obat ini
diberikan 2 sendok teh 1 kali sehari sebanyak 10 cc. Hal tersebut termasuk DRP dosis
yang rendah dimana seharusnya dosis lazim yang digunakan adalah 15-30 ml.
Pengatasannya dosis Laxadine Syrup dinaikkan menjadi 15-30 ml diminum 1-2
sendok makan 1 kali sehari.
Pada tanggal 17 dilakukan pengukuran tekanan darah, nadi, dan respiration rate,
hasil yang didapat yaitu semua sudah normal. Selain itu output cairan sudah lebih
besar dari input, hal ini menandakan bahwa cairan yang dikeluarkan sudah banyak
sehingga bisa mengurangi udem yang terjadi. Pada pemeriksaan EKG juga sudah
menunjukkan pada bentuk normal, sehingga dapat diasumsikan bahwa obat yang
diberikan bisa menguramgi gejala CHF. Pengobatan yang diberikan juga dapat
mengatasi keluhan-keluhan pasien, sehingga dapat dikatan kondisi pasien sudah
membaik dan diperkenankan untuk kembali ke rumah.
VI.
1.
2.
Sistenol
Isi : Paracetamol 500 mg, N-acetylcystein 200 mg
Mekanisme : Parasetamol bekerja pada daerah hipotalamus yang menyebabkan
vasodilatasi dan peningkatan aliran darah perifer, sehingga menurunkan suhu tubuh.
Acetylcystein memiliki efek mukolitik yang dapat mengurangi viskositas sekresi
paru sehingga mudah dikeluarkan melalui batuk.
3.
(MIMS, 2013)
Thrombo Aspilet
Isi : Acetylsalicylic Acid
Mekanisme : Inhibisi sintesis prostaglandin. Studi klinis dan eksperimental
selanjutnya
menunjukkan
bahwa
aspirin
dosis
rendah
secara
ireversibel
4.
(MIMS, 2013)
Meixam
Isi : Cloxacillin Na
Mekanisme : Bakterisida, menghambat sintesis dinding sel bakteri. Dengan
mengikat penisilin-mengikat protein spesifik (PBP) terletak di dalam dinding sel
bakteri, PBP (termasuk transpeptidases, carboxypeptidases, dan endopeptidases)
adalah enzim-enzim yang terlibat dalam tahap terminal perakitan dinding sel bakteri
5.
(MIMS, 2013)
Laxadine Syrup
Komposisi : Per 5 mL Phenolphthalein 55 mg, liquid paraffin 1,200 mg, glycerin
378 mg
Mekanisme : Merangsang peristaltik dari usus besar, menghambat penyerapan air
Aspar K
Komposisi
: K I-aspartat
Indikasi
: Suplemen vitamin K pada penyakit jantung
Dosis
: 300 mg (tablet salut selaput)
Frekuensi
: 3 kali sehari 1 tablet diminum setelah makan
Kontra indikasi : Penyakit Addison yang tidak diterapi, hiperkalemia
Efek Samping : Gangguan GI (anoreksia dan gangguan lambung), rasa penuh pada
ulu hati
Interaksi obat : Tidak ada interaksi dengan obat lain yang diberikan
(MIMS,2013)
7.
Fuson Cream
atau Staphylococcus.
Frekuensi : Oleskan 3-4 kali sehari, umumnya selama 7 hari
Kontra indikasi : Efek Samping : Reaksi hipersensitivitas.
Interaksi obat : Tidak ada interaksi dengan obat lain yang diberikan
(MIMS,2013)
8. Infus Microlini RL
Komposisi : Per 1000 mL Na 130 meq, Cl 109 meq, K 4 meq, Ca 2.7 meq, lactate
28 meq, (NaCl 6 g, KCl 0.3 g, CaCl2 0.2 g, Na lactate 3.1 g). Osmolaritas: 273
mOsm.
Indikasi : Terapi untuk mengatasi depresi volume berat saat tidak dapat diberikan
rehidrasi oral.
Dosis : Dosis tergantung individual.
Kontra indikasi : Hipernatremia.
Efek Samping : Interaksi obat : Tidak ada interaksi dengan obat lain yang diberikan
(MIMS,2013)
9. Lasix (Furosemid)
Mekanisme kerja : Loop diuretik; menghambat reabsorpsi ion natrium dan klorida
di tubulus renal proksimal dan distal serta di lengkung Henle; dengan
mengintervensi sistem ko-transport ikatan klorida yang menyebabkan peningkatan
dan afterload, dan juga kebutuhan oksigen miokardial; juga memperbaiki sirkulasi
koroneri kolateral,menurunkan tekanan darah,meningkatkankecepatan detak
jantung dan kadang-kadang menyebabkanbradikardia
Indikasi : Angina pektoris
Efek samping : Kardiovaskuler: hipertensi (jarang), angina tak stabil,
11.
12.
(MIMS, 2013)
Zibac
Komposisi : ceftazidime pentahidrat
Indikasi : Infeksi saluran pernafasan bagian bawah, ISK, infeksi kulit dan struktur
kulit, infeksi abdominal & bilier, infeksi tulang & sendi, dialysis
Dosis : 1 g/ vial
Frekuensi : tiap 8 jam
Durasi : 4 hari
Mekanisme aksi : merupakan sefalosporin generasi ke 3, berpspektrum luas
pada bakteri gram negative termasuk pseudomonas, efikasi terhadap bakteri gram
13.
14.
15.
16.
hiponatremia, hipotensi.
Interaksi obat : Tidak ada interaksi dengan obat lain yang diberikan
Diazepam
Mekanisme kerja : Memodulasi efek postsinaptik dari transmisi GABA-A,
menghasilkan peningkatan dalam penghambatan presinaptik. Muncul untuk
bertindak atas bagian dari sistem limbik, serta pada thalamus dan hipotalamus,
untuk menginduksi efek menenangkan
Indikasi : Untuk sedasi.
Efek samping : Ataksia (3%), euforia (3%), inkoordinasi (3%), ruam (3%), diare,
hipotensi, lelah, lemah otot, depresi respirasi, retensi urin, depresi, penglihatan
kabur, disartria, sakit kepala, ruam kulitm perubahan dalam salivasi, jaundice,
neutropenia
Dosis : 2 mg
Frekuensi
: bila perlu (saat tidak bisa tidur)
Interaksi obat : Tidak ada interaksi dengan obat lain yang diberikan
Adverse Reaction yang Terjadi
Laxadine Syrup
Problem : Dosis yang digunakan terlalu rendah yaitu sebesar 10 cc digunakan
dengan cara diminum 2 sendok teh satu kali sehari sedangkan menurut MIMS dosis
lazim yang digunakan 15 30 cc diminum 1-2 sendok makan satu kali sehari
Pengatasan : Dosis dinaikkan menjadi 15-30 cc diminum 1-2 sendok makan satu
kali sehari
Aspar K
Problem : PemberianAspar K (suplemen K) dan Renapar (suplemen K dan Mg)
termasuk multidrug.
Pengatasan : diberikan single drug, renapar saja atau aspar K ditambah suplemen
Mg dalam bentuk tunggal
Problem :
Danalgin berisi metampiron dan diazepam, dimana metampiron berfungsi sebagai analgetik
diazepam sebagai sedatif. Pasien sebelumnya mengeluhkan tidak bisa tidur, kemudian oleh
dokter diberikan diazepam. Setelah itu pasien tidak mengeluhkan lagi susah tidur, tapi
dokter memberikan danalgin yang didalamnya terdapat diazepam, dalam hal ini pasien
tidak membutuhkan lagi diazepam.
Furosemid 20 mg 1 x sehari
Cedocard 3 x sehari 5 mg
14/03/2014
15/03/2014
16/03/2014
17/03/14
Tekanan
120/80
100/70
100/70
110/70
darah
Nadi
RR
mmHg
102/menit
24/menit
mmHg
76/menit
22/menit
mmHg
58/menit
24/menit
mmHg
64/menit
20/menit
pemantauan
Balance
cairan
EKG
Interpretasi
Normal
Normal
Normal
Rata-rata
output
790
1160
1840
+ 97,5
cairan lebih
besar dari
Iskemik
anteroseptal
input
Obat dapat
Normal
Normal
mengurangi
gejala CHF
Pasien diberitahu bahwa obat untuk nyeri dada selalu dibawa kemana saja.
Pasien diinformasikan untuk sebisa mungkin menghindari pencetus nyeri dada
seperti aktivitas berat, stress, emosi, dingin, dan lain sebagainya.
Jika timbul nyeri dada segera berhenti kalau sedang melakukan sesuatu. Segera
duduk atau berbaring. Tunggu beberapa menit sampai keluhan tersebut diatas
hilang, lalu bekerja lagi tetapi dalam tempo yang lebih perlahan. Segera
beritahukan kejadian tersebut pada dokter dan farmasis.
Pasien diminta membuat catatan berapa kali terjadinya serangan.
Menerapkan gaya hidup sehat dengan senam ringan, yoga, berjalan.
Mengurangi komsumsi air (< 8 gelas sehari), disarankan 5 gelas saja sehari
Fuson dioleskan tipis-tipis pada bagian yang terkena selulitis.
Meixam diminum 4 kali sehari, furosemid 1 kali sehari pagi hari setelah makan,
cedocard 3 kali sehari.
Antibiotik diminum sampai habis
Hindari asupan garam natrium
Pasien disarankan untuk mengurangi berat badan, istirahat yang cukup termasuk
setelah olahraga, makan, dan aktivitas yang lain.
IX. JAWABAN PERTANYAAN
1. Rizki 08765 Injeksi ondansetron jadi diberikan tidak? Indikasinya untuk apa?
Kenapa pasien diberi zybac? Apakah pasien terkena infeksi?
Injeksi ondansetron jadi diberikan, berdasarkan rekam medis injeksi ondansetron
diberikan 1 kali pada saat pasien masuk IGD yaitu tanggal 14 Maret 2014 sore.
Kemudian malamnya pasien sudah dipindahkan ke ruang rawat inap.
Indikasi digunakan ondansetron adalah untuk mencegah terjadinya mual muntah,
walaupun keluhan mual muntah secara langsung tidak ada namun pasien
mengeluhkan nyeri ulu hati, nyeri ulu hati ini berkaitan atau berpotensi
menyebabkan mual muntah sehingga diberikan profilaksis mual muntah yaitu
ondansetron. Setelah diberikan injeksi ondansetron pasien tidak lagi mengeluhkan
ada nyeri lagi sehingga ondansetron hanya diberikan 1 kali saat di IGD.
Indikasi penggunaan zybac adalah untuk mengobati infeksi kulit dan struktur kulit
sesuai dengan kondisi pasien yang mengalami celulitis
2. Shofy 08745 Apa arti hasil balance cairan tadi yang ada minus ada yang positif
maksudnya bagaimana?
Tanggal
Input
Output
IWL
Balance
14/03/2014
15/03/2014
16/03/2014
17/03/2014
500
1650
920
880
840
1910
1860
520
450
900
900
262,5
790
1160
1840
+ 97,5
Diuresis
(cc/kgBB/jam)
0,7
0,78
0,86
0,8
Input / Cairan Masuk : mulai dari cairan infus, minum, kandungan cairan dalam
makanan pasien, volume obat-obatan, termasuk obat suntik, obat yang di drip,
albumin dll.
Output / Cairan keluar : urine dalam 24 jam, biasanya ditampung di botol air
mineral dengan ukuran 1,5 liter, kemudian feses.
IWL (insensible water loss) : jumlah cairan keluarnya tidak disadari dan sulit
dihitung, yaitu jumlah keringat, uap hawa nafas.
Balance cairan = Input cairan Output Cairan (Output + IWL)
Input / cairan masuk = Output / cairan keluar + IWL (Insensible Water Loss)
Nilai negatif pada balance menandakan bahwa nilai output lebih besar dari pada
input. Hal ini disebabkan CHF yang berpotensi penumpukan cairan dan pada pasien
juga ada udem di kaki sehingga digunakan diuretik yang dapat berfungsi untuk
mengeluarkan cairan.
3. Dian 08774 Apa alasan pasien pulang? Untuk memastikan kepatuhan pasien
menggunakan obat yang dibawa pulang bagaimana?
Di rekam medis dituliskan pada tanggal 17 Maret 2014 kondisi pasien sudah enakan
atau membaik. Keluhan utama sudah teratasi jadi pasien diperbolehkan pulang.
Untuk memastikan kepatuhan pasien menggunakan obat yaitu dengan cara
diberikan edukasi kepada keluarga pasien untuk selalu mengingatkan pasien
meminum obat. Bisa juga dibuatkan jadwal minum obat jika pasien mengalami
kesulitan dalam mengingat untuk menggunakan obat. Cara yang lain adalah ketika
pasien kontrol lagi ke rumah sakit diminta membawa bungkus obatnya lalu dilihat
sesuai dengan aturan dan sisa obat yang seharusnya.
4. Lusiana 08761 Untuk mencegah hipokalemia kenapa diberi 2 macam suplemen
kalium? Apakah kaliumnya masih rendah jika hanya diberikan 1 macam suplemen?
KESIMPULAN
1. Pasien didiagnosa menderita gagal jantung kongestif, selulitis, dan dyspepsia.
2. Semua obat yang diberikan sesuai dengan indikasi.
3. Drug related problem yang potensial terjadi yaitu terjadinya multi drug pada
Danalgin yang pengatasannya diberikan metampiron dalam bentuk tunggal.
4. Drug related problem yang terjadi yaitu multidrug pada aspar K dan dosis laxadin
yang terlalu rendah.
5. Pengatasannya yaitu pemberian aspar K ditambah suplemen Mg bentuk tunggal
atau diberikan Renapar saja.
6. Dosis laxadin dinaikkan menjadi 15-30 ml diminum 1-2 sendok makan 1 kali
sehari.
7. Monitoring dilakukan terhadap ketaatan pengobatan, berat badan, detak jantung,
tekanan darah, pemeriksaan respiration rate, kadar elektrolit, fungsi ginjal pasien.
8. Pasien diberikan informasi lengkap tentang obat yang dibawa pulang.
9. Pasien diberitahu bahwa obat untuk nyeri dada selalu dibawa kemana saja.
10. Pasien diinformasikan untuk sebisa mungkin menghindari pencetus nyeri dada,
membuat catatan berapa kali terjadinya serangan, menerapkan gaya hidup sehat
dan mengurangi berat badan.
Cowie, M.R., Dar, Q., 2008. The Epidemiology and Diagnosis of Heart Failure. In: Fuster,
th
V., et al., Ed. Hursts the Heart. 12 ed. Volume 1. USA: McGraw-Hill, 713
Cowie, M.R., Wood, D.A., Coats, A.J.S., Thompson, S.G., Poole-Wilson, P.A., Suresh, V.,
Sutton, G.C., 1998. Incidence and Aetiology of Heart Failure. Available from :
http://eurheartj.oxfordjournals.org/content/20/6/421.full.pdf
Dipiro, Joseph T, et all, 2009, Pharmacotherapy 7th edition, McGraw Hill, United States
Doughty, R.M., White, H.D., 2007. Epidemiology of Heart Failure, University of Auckland
New
Zealand.
Available
from:
http://spinger.com/cda/content/document/cda_downloaddocument/978184800101 5c3.pdf.
European Society of Cardiology (ESC). 2012. Guideline for the Diagnosis and Treatment
of
Acute
and
and
Chronic
Heart
Failure.
Available
from
http://eurheartj.oxfordjournals.org/content/33/14/1787.full.pdf.
Hellermann, J.P., Goraya, T.Y., Jacobsen, S.J., Weston, S.A., Reeder, G.S., Gersh, B.J.,
Redfield, M.M., Rodheffer, R.J., Yawn, B.P., Roger, V.L., 2003. Incidence of heart
failure after myocardial infarction: is it changing over time?. Am. J. Epidemiology
157
(12):
11011107.
Available
from
http://m.aje.oxfordjournals.org/content/157/12/1101.long?view=long&pmid=127
96046.
th
Kumar, P., Clark, M., 2009. Cardiovascular Disease. In : Clinical Medicine 7 Ed. Spain :
Saunders Elvesier. 681-810.
Lip, G.Y.H., Gibbs, C.R., Beevers, D.G. 2001. Aetiology. In: ABC of Heart Failure.
MIMS, 2013, MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi Edisi 12, PT Medidata, Jakarta.
Mann, D.L., 2008. Heart Failure and Cor Pulmonale. In: Fauci, A.S., et al., Ed. Harrisons
th
Medicine Ed. 17 .
Riaz, K., 2012. Hypertensive Heart Disease, Wright State University. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/162449-overview.
Scoote M., Purcell I.F., Poole-Wilson P.A. 2005. Pathophysiology of Heart Failure. In :
th