Anda di halaman 1dari 3

Makassar Sebagai Kota Layak Huni dan Berkelanjutan

Kota yang terus berkembang adalah tantangan bagi setiap pemerintah. Kemajuan suatu kota
sering tidak berbanding lurus dengan kenyamanan masyarakat kota.lebih sering masyarakat
kota mengeluhkan betapa tidak nyamannya lingkungan mereka tinggal. Ketidaknyamanan
tersebut dapat ditemukan dalam beberapa permasalahan seperti kemacetan, masalah
kebersihan lingkungan, dan pelayanan pemerintah yang kurang. Dalam kondisi seperti ini,
setiap masyarakat menginginkan sebuah kota yang nyaman dan layak huni, sebuah kota yang
disebut dengan Livable City.
Kota layak huni atau Livable City adalah dimana masyarakat dapat hidup dengan nyaman dan
tenang dalam suatu kota. Menurut Hahlweg (1997), kota yang layak huni adalah kota yang
dapat menampung seluruh kegiatan masyarakat kota dan aman bagi seluruh masyarakat.
Menurut Evan (2002), konsep Livable City digunakan untuk mewujudkan bahwa gagasan
pembangunan sebagai peningkatan dalam kualitas hidup membutuhkan fisik maupun habitat
sosial

untuk

realisasinya. Dalam

mewujudkan

konsep Livable

City harus

didukung

dengan sustainable city, agar perencanaan ruang kota dapat terwujud sesuai rencana.
Dalam konteks keberlanjutan adalah kemampuan untuk mempertahankan kualitas hidup yang
dibutuhkan oleh masyarakat kota saat ini maupun masa depan.
Pengertian Livable City dari perspektif orang-orang adalah kota yang layak huni dimana
masyarakat kota dapat mencari pekerjaan, mendapat kebutuhan dasar termasuk air bersih dan
sanitasi, memiliki akses untuk mendapatkan pendidikan dan kesehatan yang layak, hidup
dalam komunitas yang aman dan lingkungan yang bersih. Dapat dikatakan bahwa Livable
City merupakan gambaran sebuah lingkungan dan suasana kota yang nyaman sebagai tempat
tinggal dan sebagai tempat untuk beraktifitas yang dilihat dari berbagai aspek, baik aspek
fisik (fasilitas perkotaan, prasarana, tata ruang, dll) maupun aspek non-fisik (hubungan sosial,
aktivitas ekonomi, dll).
Kota Makassar sebagai pusat pelayanan di kawasan timur Indonesia (KTI) dituntut oleh
warganya untuk berkembang menjadi Livable City. Hal ini sejalan dengan branding kota ini
yaitu Makassar Kota Dunia. Kota yang awalnya merupakan kota tepian air kecil yang ramai,
kini bertransformasi menjadi kota megapolitan dengan jumlah penduduk 1,5 juta jiwa yang
terdiri atas berbagai suku, agama, dan ras. Dalam beberapa dekade ini, Makassar berkembang

pesat, pusat pusat perekonomian semakin besar, serta pembangunan sarana dan prasarana
kota, semua aspek berbenah diri untuk menyongsong tantangan global.

Percepatan pembangunan bukan hanya meningkatkan kesejahteraan masyarakat, namun ikut


mengubah wajah lingkungan kota Makassar. Kota yang kumuh, penuh sampah, becek,
genangan air pada musim hujan, dan di beberapa tempat menjadi langganan banjir tahunan.
Kompleksitas masalah tersebut boleh jadi diakibatkankan oleh kurangnya kesadaran
masyarakat kota untuk berpartisipasi aktif untuk membantu pemerintah atau juga boleh jadi
disebabkan kurang tanggapnya pemerintah untuk jeli melihat kebutuhan kota.

Tak dapat dipungkiri, akibat pembangunan, banyak kawasan yang dulunya berfungsi sebagai
daerah resapan, kawasan lindung, dan ruang terbuka berganti wujud menjadi kawasan
komersial. Daerah resapan tersebut berganti menjadi rumah toko (ruko), permukiman,
pertokoan, dan fasilitas umum lainnya. Sejumlah kawasan komersial dan bangunan-bangunan
berupa ruko dan rumah kantor (rukan) bertebaran di mana-mana dan memenuhi seluruh
penjuru kota, wajah kota telah berganti wujud menjadi kota ruko, akses penerapan sistem
neo-liberalisme (melepaskan ke sistem pasar) dalam pengelolaan kota yang tidak efektif
mengakibatkan penataan ruko tidak lagi berada di kawasan peruntukannya, melainkan berada
di antara rumah-rumah penduduk atau tempat lain yang sebenarnya peruntukannya bukan
untuk ruko atau rukan.
Pihak swasta yang begitu intensif melakukan pembangunan memberi dampak pada penataan
lingkungan. Kawasan-kawasan komersial misalnya, hanya menyisakan sangat sedikit bagian
berupa tanah bebas atau terbuka. Padahal sesuai aturan tata ruang, di mana pun bangunan
berada, dari seluruh luas tanah, setidaknya 20 persen harus disisakan untuk kawasan terbuka
yang berfungsi sebagai tempat meresapnya air, taman, parkir, parit, dan lainnya. Sisanya
sebanyak 80% adalah bangunan.
Aturan tersebut pada pelaksanaannya ternyata berbanding terbalik dengan kenyataan yang
ada. Banjir telah akrab bagi warga kota setiap kali musim hujan datang, parahnya lagi hujan
setengah hari pun sudah cukup untuk menggenangkan air. Hal ini misalnya dapat dilihat di
kawasan pelabuhan Soekarno-Hatta, Perumnas Panakkukang, Perumahan Bumi Tamalanrea
Permai, Ujung-pandang Baru, dan sejumlah kawasan permukiman lainnya. Selain banjir,

persoalan lainnya adalah semakin berkurangnya ruang terbuka dan hilangnya daerah resapan
air. Hal ini misalnya bisa dilihat di sepanjang Sungai Tallo yang sebagiannya berada di dalam
kota. Seharusnya sesuai dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 32 Tahun 1990
tentang Kawasan Lindung, setidaknya paling sedikit 30 meter dari air harus dibiarkan sebagai
ruang terbuka dan tidak boleh ada bangunan. Tapi nyatanya, di sepanjang Sungai Tallo,
rumah- rumah dan bangunan lainnya sangat dekat dengan air.
Beberapa musibah yang menimpa kota Makassar memang dipengaruhi oleh perubahan iklim
di tingkat regional. Tapi harus diperhatikan pula bahwa perubahan iklim dalam 10 hingga 20
tahun terakhir tak lepas dari kerusakan lingkungan yang terjadi di darat. Berkurangnya
kawasan hutan lindung dan daerah resapan air, kebakaran hutan, dan penggunaan zat kimia
rumah tangga yang merusak ozon, sedikit banyak menjadi penyebab perubahan iklim.
Masalah lain yang tinggal menunggu waktu adalah dampaknya terjadi kesenjangan sosial.
Kawasan yang sudah pasti akan dihuni dan dinikmati kelompok ekonomi menengah atas ini
dikelilingi oleh permukiman warga kota berpenghasilan buruh atau nelayan miskin di
Makassar. Bisa dibayangkan dampak sosial apa yang bakal muncul ketika daerah elite
dikelilingi oleh kawasan yang dihuni oleh kelompok masyarakat prasejahtera. Kesenjangan
sosial terjadi akibat ketimpangan pendapatan berubah menjadi kecemburuan sosial bisa saja
terjadi. Berbagai masalah tersebut adalah sebuah tantangan bagi pemerintah selaku pengelola
kota, pengusaha, akademisi, profesional, dan masyarakat untuk menciptakan Makassar yang
lebih baik. Kita perlu berbenah diri dalam berbagai aspek agar kota kita tercinta dapat
menjadi kota yang layak huni, aman, dan nyaman bagi warganya.

Anda mungkin juga menyukai