Tikus Hiperkolesterolemia
Lailan Safina Nasution
Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Univeristas Muhammadiyah
Jakarta
Abstrak
Stres oksidatif ditengarai berperan penting dalam kejadian aterosklerosis. LDL rentan oksidasi,
membentuk LDL-oks yang bersifat antigen dan memicu reaksi inflamasi. Makrofag akan
memfagosit LDL-oks, terbentuk sel busa. Adanya infiltrasi monosit ke lapisan intima dan
pembentukan sel busa menyebabkan penebalan dinding pembuluh darah, dan merupakan lesi awal
dari aterosklerosis. Likopen bersifat antioksidan, menghambat kerja HMG-CoA reductase dan
antiinflamasi, sehingga diduga berperan dalam pencegahan aterosklerosis dalam keadaan
hiperkolesterolemia. Penelitian dilakukan untuk menganalisis pengaruh pemberian likopen terhadap
jumlah sel busa dan ketebalan dinding aorta abdominalis tikus hiperkolesterolemia dengan desain
penelitian Randomized Post-test only Control Group, menggunakan 28 tikus Sprague Dawley jantan
dibagi menjadi 4 kelompok, diberi pakan tinggi lemak tinggi kolesterol (PTLTK) selama 2 minggu.
Selanjutnya PTLTK disertai variasi pemberian likopen: 0, 0,36, 0,72 dan 1,08 mg/ekor/hari selama 2
minggu. Penghitungan jumlah sel busa dan ketebalan dinding aorta menggunakan preparat PA
dengan pewarnaan HE. Ketebalan dinding aorta diuji dengan ANOVA, jumlah sel busa diuji dengan
Kruskal-Wallis dan Mann-Whitney. Hasil penelitian menunjukkan jumlah sel busa pada kelompok
tanpa likopen (kontrol) tidak berbeda dengan kelompok perlakuan (Kruskal-Wallis, p=0,206).
Dijumpai perbedaan ketebalan dinding aorta abdominalis antar kelompok perlakuan (ANOVA,
p=0,000). Dinding aorta abdominalis pada kelompok kontrol dijumpai paling tebal, diikuti kelompok
pemberian likopen 0,36 mg/hari. Ketebalan paling tipis pada kelompok likopen 0,72 dan 1,08
mg/hari. Tidak dijumpai perbedaan ketebalan aorta pada kelompok 0,72 dan 1,08 mg/hari (uji T,
p=0.543). Disimpulkan bahwa jumlah sel busa pada tikus SD hiperkolesterolemia yang diberi
likopen tidak berbeda dengan yang tidak mendapat likopen, namun dinding aorta pada tikus yang
mendapat likopen lebih tipis daripada yang tidak mendapat likopen.
Kata Kunci: Likopen, hiperkolesterolemia, aterosklerosis
2
Kruskal-Wallis and Mann-Whitney. The results showed the number of foam cells in the group
without lycopene (control) did not differ by treatment group (Kruskal-Wallis, p = 0.206). Found
differences in the thickness of the wall of the abdominal aorta between the treatment groups
(ANOVA, p = 0.000). Wall of the abdominal aorta in the control group encountered the thickest,
followed by administration of 0.36 mg lycopene / day. The thickness of the thinnest in the lycopene
group 0.72 and 1.08 mg / day. There were no group differences in the thickness of the aorta at 0.72
and 1.08 mg / day (T test, p = 0.543). It was concluded that the number of foam cells in rats fed
lycopene primary hypercholesterolemic did not differ from that did not receive lycopene, but the
wall of the aorta in rats that received lycopene thinner than that did not receive lycopene.
Keyword: Lycopene, hypercholesterolemic, atherosclerosis
Pendahuluan
Kecenderungan perubahan gaya hidup
dengan pola makan yang tinggi kandungan
lemak dan kolesterol, menyebabkan kadar
lemak dan kolesterol di dalam darah menjadi
lebih tinggi dari normal. Peninggian kadar
kolesterol dalam darah, disertai peninggian
kadar Lipoprotein Densitas Rendah (LDL), di
mana 65-75% kolesterol total plasma diangkut
a. Mayor:
- Faktor-faktor
yang
tidak
dapat
dimodifikasi: pertambahan usia, pria,
riwayat keluarga, kelainan genetik.
- Faktor-faktor yang mungkin dapat
dikontrol: hiperlipidemia, hipertensi,
merokok, diabetes.
b. Minor: obesitas, inaktivitas fisik, stres,
hiperhomosisteinemia, defisiensi estrogen
penyempitan
lumen
sehingga
sering
menimbulkan berbagai komplikasi, seperti
stroke dan penyakit jantung koroner.
Aterosklerosis
Aterosklerosis
merupakan
suatu
penyakit yang sangat kompleks dan beberapa
faktor resiko ditengarai berperan dalam
terjadinya keadaan tersebut. Faktor-faktor
resiko dikelompokkan sebagai berikut:
3
teratur, stress emosional dan jarang
berolahraga. Selain itu faktor genetik (seperti
defisiensi lipoprotein lipase, defisiensi
reseptor LDL), jenis kelamin, umur dan
adanya penyakit-penyakit tertentu (diabetes
mellitus, hipotiroidisme, penyakit ginjal) juga
berpengaruh terhadap kadar kolesterol dalam
darah.8
Profil
lemak
di
dalam
darah
4
dalam tubuh, ROS bereaksi dengan
komponen-komponen
sel,
menyebabkan
kerusakan oksidatif pada biomolekul sel yang
penting seperti lipid, protein dan DNA, yang
menyebabkan perubahan struktur bahkan
fungsi dari sel yang teroksidasi.16-18
LDL sangat rentan terhadap oksidasi
karena hampir separuh komponen lipidnya
terdiri dari asam lemak tak jenuh ganda
makrofag dan sel T juga memproduksi faktorfaktor sitotoksik, yang berperan dalam
apoptosis. Makrofag akan menjadi sel busa
yang berisi lipid dan melepaskan sejumlah
besar radikal bebas (ROS). Selanjutnya ROS
akan semakin mengoksidasi lipoprotein.6,12-
antioksidan
(selenium,
copper,
zinc,
manganese), dan senyawa fitokimia (golongan
karotenoid dan flavonoid). Berbagai studi in
vitro menunjukkan bahwa bahan-bahan
makanan tersebut dapat memadamkan radikal
bebas, terutama ROS, sehingga kerusakan
jaringan dapat dicegah. 27
15,19-24
Likopen
Salah satu jenis antioksidan yang akhir-
5
non-provitamin A yang secara alamiah
terdapat pada buah dan sayur berwarna merah,
terutama dalam buah tomat dan produkproduk olahannya. Likopen terdiri dari 40
karbon rantai acyclic dengan 13 ikatan
rangkap (11 terkonjugasi dan 2 tidak
terkonjugasi), dan mempunyai beberapa
bentuk isomer in vivo. Adanya sejumlah
ikatan
rangkap
terkonjugasi
tersebut,
menurun.
6
aterosklerotik. Penelitian menggunakan tikus
Rattus norvegicus galur Sprague Dawley
jantan berumur 12 minggu dengan kadar
kolesterol total > 120 mg/dl yang diukur
setelah tikus diberi pakan tinggi lemak tinggi
kolesterol.
Pemberian perlakuan terhadap hewan
coba berlangsung selama 5 minggu, dari
tanggal 9 April 2005 sampai 13 Mei 2005.
yang bermakna.
Simpulan
1. Jumlah sel busa pada tikus Sprague
Dawley hiperkolesterolemia yang diberi
likopen 0,36 mg/hari, 0,72 mg/hari dan
1,08 mg/hari tidak berbeda dengan
kelompok yang tidak mendapat likopen.
2. Ketebalan dinding aorta abdominalis lebih
tipis pada kelompok yang mendapat
Daftar Pustaka
1. Parthasarathy
S,
Santanam
N,
Ramachandran S, Meilhac O. Oxidants
and antioxidants in atherogenesis: an
appraisal. Journal of Lipid Research. 1999;
40:2143-57.
2. Violi F, Micheletta F, Iuliano L.
Antioxidants
and
atherosclerosis.
European Heart Journal Supplements.
2002;4(Supplement B):B17-B21.
3. Diaz MN, Frei B, Vita JA, Keaney JF.
Antioxidants and atherosclerotic heart
disease. The New England Journal of
Medicine. 1997;337:6:408-16.
7
4. Rong JX et al. Arterial injury by
cholesterol oxidation products causes
endothelial dysfunction and arterial wall
cholesterol accumulation. Arterioscler
Thromb Vasc Biol. 1998;1885-93.
5. Rong JX, Shen L, Chang YH, Richters A,
Hodis HN, Sevanian A. Cholesterol
oxidation products induce vascular foam
cell
lesion
formation
in
12. Ross
R.
Atherosclerosis
An
inflammatory disease. The New England
Journal of Medicine. 1999;340:115-26.
13. Hansson GK, Libby P, Schnbeck U, Yan
ZQ. Innate and adaptive immunity in the
pathogenesis of atherosclerosis. Circ Res.
2002;91:281-91.
14. Hansson GK. Immune mechanism in
atherosclerosis. Arteriosclerosis, Throm-
Co. 1999;493-541.
8. Mayes PA. Sintesis, pengangkutan, dan
ekskresi kolesterol. In: Murray RK,
Granner DK, Mayes PA, Rodwell VW,
editor. Biokimia Harper. Edisi 25. Penerbit
Buku Kedokteran. EGC. 2001:270-81.
9. Schaefer EJ. Lipoprotein, nutrition, and
heart disease. Am J Clin Nutr. 2002;
75:191-212.
for Experimental
1974:1816.
Biology.
Maryland
8
21. Stokes KY and Granger DN. The
microcirculation: a motor for the systemic
inflammatory response and large vessel
disease induced by hypercholesterolaemia?. J Physiol. 2005;562.3:647-53.
22. Faxon DP et al. Atherosclerotic vascular
disease conference. Writing Group III :
Pathophysiology. Circulation. 2004;109:
2617-25.
Mar
5].
Available
from:
http://www.leffingwell.com/lycopene.htm
30. Agarwal S, Rao AV. Tomato lycopene and
low-density lipoprotein oxidation: a
human dietary intervention study. Lipids.
1998;33:981-4.
31. Rissanen TH, Voutilainen S, Nyyssnen
K, Salonen R, Kaplan GA, Salonen JT.
Serum lycopene concentrations and carotid
Pathology. 1999;155:1-5.
25. Stary HC et al. A definition of initial, fatty
streak, and intermediate lesions of
atherosclerosis. Circulation. 1994;89:
2462-78.
26. Constantinides P. The commonest causes
of anoxic necrosis.
In:
General
Pathobiology. Connecticut: Appleton &
Lange. 1994:59-116.
Society
for
Nutritional
Sciences.
2004;257S-61S.
36. Sesso HD, Buring JE, Norkus EP, Gaziano
JM. Plasma lycopene, other carotenoids,
and retinol and the risk of cardiovascular
disease in women. Am J Clin Nutr.
2004;79:47-53.
37. Haryanti EH. Pengaruh pemberian likopen
terhadap
profil
lipid
dan
lipid
9
hiperkolesterolemia. Tesis. Program Studi
Magister Ilmu Biomedik. Program
Pascasarjana Universitas
Semarang. 2006.
Diponegoro.
Pendahuluan
Stunting adalah keadaan gagal tumbuh
di mana tinggi badan tidak sesuai dengan usia
biologis atau berada di bawah nilai dua zscore.1 Keadaan ini biasanya mulai terjadi saat
10
11
Tenggara juga menurun, dari 47% (1990)
menjadi 26,7% (2010).3 Berbeda dengan data
di Asia Tenggara secara umum, prevalensi
stunting di Indonesia tidak banyak berubah.
Berdasarkan beberapa survei diketahui jika
prevalensi sempat meningkat di atas 40% pada
dekade 90an.4 Berdasarkan data Riskesdas,
prevalensi mencapai 36,8%5 yang kemudian
sedikit menurun pada tahun 2010 menjadi
Hasil
Berdasarkan
kriteria
penelitian
12
Tabel 1 Proporsi Kejadian Stunting
Variabel
N
51
24
75
Tidak stunting
Stunting
Total
%
67
33
100
Frekuensi diare
Kategori
Tidak bermasalah
Bermasalah
Spontan
Tidak spontan
Eksklusif
Tidak Eksklusif
Baik
Cukup
Buruk
Baik
Cukup
Kurang
< 3 kali/3 bulan terakhir
3 kali/3 bulan terakhir
n (%)
22 (30)
53 (70)
58 (77)
17 (23)
30 (40)
45 (60)
32 (43)
26 (34)
17 (23)
46 (62)
19 (25)
10 (13)
55 (73)
20 (27)
13
Tabel 3 Distribusi Asupan Zat Gizi
Variabel
Asupan Zat Gizi Makro
Asupan Karbohidrat
Asupan Protein
Asupan Lemak
Kategori
n (%)
<80% AKG
80% AKG
<80% AKG
80% AKG
<80% AKG
80% AKG
22 (29)
53 (71)
22 (29)
53 (71)
23 (30)
52 (70)
<100% AKG
100% AKG
<100% AKG
100% AKG
<100% AKG
100% AKG
<100% AKG
100% AKG
<100% AKG
100% AKG
<100% AKG
100% AKG
12 (16)
63 (84)
21 (28)
54 (72)
24 (32)
51 (68)
16 (21)
59 (79)
14 (19)
61 (81)
20 (27)
55 (73)
pada balita.
Status gizi
Tidak stunting
Stunting
P value
OR
95% RK
0,610
14
36
8
17
36
26
14
13
0,026
2,909
(1,114-7,595)
41
14
9
11
0,007*
3,605
(1,377-9,436)
4
21
14
28
5
3
0,000*
3
11
36
7
8
10
0,001*
8
41
11
14
0,004*
3,819
(1,511-9,652)
14
Dari hasil uji statistik terdapat hubungan
yang bermakna antara asupan karbohidrat
dengan kejadian stunting pada balita (p=
0,011; 95%RK (1,278-7,787)). Balita dengan
asupan karbohidrat <80% AKG berpeluang
mengalami stunting 3,1 kali lebih besar
dibandingkan
balita
dengan
asupan
Status gizi
Tidak stunting
Stunting
P value
OR
95% RK
40
11
13
11
0,011*
3,155
(1,278-7,787)
39
11
14
11
0,038*
2,554
(1,041-6,271)
39
16
14
14
0,180
45
5
18
7
0,031*
3,214
(1,075-9,611)
40
11
14
10
0,024*
2,789
(1,126-6,912)
37
13
14
11
0,043*
2,451
(1,018-5,902)
43
7
16
9
0,008*
3,683
(1,357-9,991)
44
6
17
8
0.010*
3,688
(1,311-10,370)
39
11
16
9
0,139
15
didapatkan juga berhubungan (p=0,008;
95%RK (1,357-9,991)) dengan kejadian
stunting.
Diskusi
Prevalensi stunting di Ciputat mencapai
33%, sedikit lebih rendah dibandingkan angka
nasional yang 35,6% (Riskesdas, 2010). Data
stunting untuk Provinsi Banten berbeda
dengan beberapa provinsi lainnya di
16
eksklusif masih jauh dari target nasional. Data
Riskesdas 2010 menyatakan cakupan ASI
eksklusif mencapai 27,2%. Ditjen Bina Gizi
dan KIA Kemenkes RI menyatakan cakupan
pemberian ASI eksklusif pada bayi 0-6 bulan
di Indonesia menunjukkan penurunan dari
61,5% di tahun 2010 menjadi 61,1% pada
tahun 2011. Meskipun terdapat peningkatan
pada cakupan pemberian ASI eksklusif pada
17
lebih besar (95% RK 1,1% - 7,5%)
dibandingkan dengan subjek yang lahir
spontan. Hal ini karena subjek yang lahir tidak
spontan cenderung lebih mudah mengalami
gangguan asupan zat gizi pada masa neonatus
dan selanjutnya. Terlebih lagi jika riwayat
kelahiran tidak spontan itu dikarenakan
keadaan ibu yang kurang baik. Keadaan ibu
yang kurang baik di antaranya adalah status
Berdasarkan
uji
analisis
kami
mendapatkan adanya hubungan (p=0,007)
antara riwayat pemberian ASI eksklusif
dengan kejadian stunting pada balita.
Diketahui bahwa bayi yang tidak mendapatkan
ASI eksklusif berisiko untuk mengalami
stunting 3,6x (95%RK 1,3% - 9,4%) lebih
besar pada saat balita, dibandingkan dengan
bayi yang mendapatkan ASI eksklusif.
18
risiko stunting 1,025 (95% RK 1,01-1,04) kali.
Kemudian secara kumulatif peluang untuk
stunting akan meningkat 1,13 (95% RK 1,071,19) kali untuk setiap lima kali episode diare.
Rerata episode diare 9 kali per tahun pada
balita usia kurang dari dua tahun berhubungan
dengan ketertinggalan tinggi badan 3,6 cm
(95% RK 0,6-6,6) pada usia tujuh tahun kelak.
Hasil tidak berhubungan (p>0,05; 95%RK
merupakan
sumber
cadangan
energi.
Keduanya diperlukan dalam jumlah cukup
agar protein yang berfungsi utama sebagai zat
pembangun dapat menjalankan fungsi
utamanya dan tidak digunakan sebagai sumber
energi. Asupan karbohidrat < 100% AKG
meningkatkan risiko mengalami stunting 3,2
kali lebih besar (95% RK 1,3% - 7,8%).
Kemudian asupan lipid < 100% AKG
osteoporosis
malnutrisi.26
Magnesium
diketahui juga mempengaruhi status beberapa
19
zat gizi di dalam tubuh seperti kalium, tiamin,
dan natrium.
Selanjutnya adalah zat gizi tipe I, yang
di antaranya adalah kalsium, vitamin A,
vitamin C, besi, dan yodium. Kami
mendapatkan adanya hubungan antara semua
zat gizi tipe I ini dengan terjadinya stunting.
Meskipun tidak terkait langsung dengan
proses pertumbuhan, namun semua zat gizi ini
Daftar Pustaka
1. World Health Organization. Physical
status: the use and interpretation of
anthropometry. WHO technical report
series no. 854. Geneve:WHO, 1995
2. Caulfield LE, Richard SA, Rivera JA,
dkk. Stunting, wasting, and micronutrient
deficiency disorder. In: Disease control
priorities in developing countries.
Simpulan
1. Proporsi kejadian stunting pada balita di
Ciputat adalah 33%.
2. Diketahuinya beberapa faktor yang
3.
3.
4.
5.
6.
7.
9.
20
10. UNICEF. The progress of nations 2000.
New York: UNICEF 2000.
11. Castillo C. Breastfeeding and the
nutritional status or nursing children in
Chile. Bull. Pan. Am H Health
organization; 1996;30:125-33
12. Taren D, Chen J. A positive association
between extended breast-feeding and
nutritional status in rural Hubei Province,
21
25. Ralston S, Boyle IT, Cowan RA, Crean
GP, Jenkins A, Thomson WS. PTH and
vitamin D responses during treatment of
hypomagnesaemic hypoparathyroidism.
Nefritis Lupus
Resna Murti Wibowo
Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah
Jakarta, Residen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Program
Pasca Sarjana Magister Biomedik Universitas Sebelas Maret
Abstrak
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) merupakan penyakit autoimun yang mengenai banyak organ
dan memberikan gejala klinik yang beragam. LES juga merupakan penyakit multisistem yang
disebabkan kerusakan jaringan akibat deposisi kompleks imun berupa ikatan antibodi dengan
komplemen. Prevalensi penyakit LES di Indonesia belum dapat dipastikan secara tepat, karena
sistem pelaporan masih berupa laporan kasus dengan jumlah penderita terbatas. Nefritis lupus
merupakan salah satu dari manifestasi paling serius dari LES biasanya muncul dalam 5 tahun setelah
diagnosis. Kejadian gagal ginjal jarang terjadi sebelum kriteria klasifikasi American College of
Rheumatology (ACR) terpenuhi. Nefritis lupus (NL) tampak jelas secara histologis pada kebanyakan
pasien dengan LES, bahkan mereka yang tidak menunjukkan manifestasi klinis penyakit ginjal. Data
prevalensi LES di Indonesia sampai saat ini belum ada. Jumlah penderita LES di Indonesia menurut
Yayasan Lupus Indonesia (YLI) sampai dengan tahun 2005 diperkirakan mencapai 5000 orang.
Gejala Nefritis Lupus umumnya berhubungan dengan hipertensi, proteinuria dan gagal ginjal. NL
diklasifikasikan menjadi 6 kelas Staging yang menentukan derajat tingkbat beratnya suatu NL,
sedangkan NL klas IV Disebut juga End-stage lupus nephritis. Pengobatan medikamentosa seperti
imunosupresan diperlukan pada NL kelas I hingga V, sedangkan tindakan invasif seperti terapi
pengganti ginjal hingga transplantasi diperlukan dalam penatalaksanaan NL adalah dengan RRT
antara lain dengan Dialisis dan Transplantasi Ginjal.
Kata Kunci: Nefritis, lupus, ginjal
Nephritis Lupus
Abstract
Systemic Lupus Erythematosus (LES) is an autoimmune disease that affects many organs and
provide a variety of clinical symptoms. LES is also a multisystem disease caused by tissue damage
due to immune complex deposition in the form of a bond with complementary antibodies. LES
disease prevalence in Indonesia could not be ascertained precisely, because the reporting system is
still a case report with a limited number of patients. Lupus nephritis is one of the most serious
manifestations of the LES usually appear within 5 years after diagnosis. Incidence of renal failure
rarely occurs before the classification criteria of the American College of Rheumatology (ACR) are
met. Lupus nephritis (NL) was evident histologically in the majority of patients with LES, even those
who do not show clinical manifestations of kidney disease. LES prevalence data in Indonesia until
now has not existed. Number of patients with LES in Indonesia, according to the Lupus Foundation
of Indonesia (YLI) up to 2005 is estimated at 5,000 people. Lupus Nephritis Symptoms commonly
associated with hypertension, proteinuria and renal failure. NL Staging classified into 6 classes
which determine the degree of severity of an NL tingkbat, while class IV NL Also called End-stage
lupus nephritis. Required medical treatment as an immunosuppressant in the NL classes I to V,
whereas invasive measures such as renal replacement therapy by transplantation of NL is needed in
the management of the PRC, among others, to Dialysis and Kidney Transplant.
Keyword: Nephritis, lupus, kidney
22
23
Pendahuluan
Lupus Eritematosus Sistemik (LES)
merupakan penyakit multisistem yang
disebabkan kerusakan jaringan akibat deposisi
kompleks imun berupa ikatan antibodi dengan
komplemen.1,2,3 Nefritis lupus, merupakan
salah satu dari manifestasi paling serius dari
LES biasanya muncul dalam 5 tahun setelah
diagnosis. Kejadian gagal ginjal jarang terjadi
Asia, keterlibatan renal berkisar antara 6100% secara keseluruhan.4 sedangkan di kota
Solo gangguan fungsi ginjal ditemukan pada
68% penderita LES dan kelainan ini
merupakan penyebab kematian yang paling
banyak. 5
LES lebih sering pada orang kulit hitam
dan ras Hispanik dibandingkan kulit pulih.
Nefritis Lupus yang berat terutama lebih
24
B. Epidemiologi
Prevalensi LES di berbagai negara
sangat bervariasi, berkisar 40 kasus per
100.000 penduduk di Eropa Utara sampai
lebih dari 200 per 100.000 penduduk seperti
bangsa negro. LES lebih sering ditemukan
pada ras tertentu seperti bangsa negro, Cina
dan mungkin juga Filipina. Terdapat juga
tendensi familial. Faktor ekonomi dan
1988-1990).3
C. Etiologi dan Patogenesis
Etiologi dan pathogenesis LES masih
belum diketahui dengan jelas. Terdapat
banyak bukti bahwa pathogenesis LES bersifat
multifaktor, dan ini mencakup pengaruh faktor
genetik, lingkungan dan hormonal terhadap
respon imun.3,13 Sekitar 10-20 % pasien LES
mempunyai kerabat dekat (first degree
25
terbentuknya deposit kompleks imun di luar
sistem fagosit mononuklear. Kompleks imun
ini akan mengendap pada berbagai macam
organ dengan akibat terjadinya fiksasi
komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini
menyebabkan aktivasi komplemen yang
a. Non-Organic-Threatening Disease: 35 %
b. Organic- Threatening Disease: 35 %
26
Tabel 1 Klasifikasi Kriteria diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik3
Malar rash
eritema terbatas, rata atau meninggi, biasanya tidak mengenai lipat nasolabialis
Lesi discoid
bercak eritematosus yang meninggi dengan sisik keratin yang melekat disertai
penyumbatan folikel
Fotosensitif
Ulkus mulut
Artritis
Non erosif yang mengenai 2 sendi perifer ditandai oleh nyeri, bengkak atau efusi
Serositis
Pleuritis atau perikarditis diperoleh dari EKG atau bunyi gesek (rub) atau efusi
Kelainan ginjal
Kelainan neurologis
Kelainan hematologi
Kelainan imunologi
Antibodi antinuclear
Nefritis Lupus
Nefritis lupus adalah komplikasi ginjal
pada LES. Diagnosis klinis nefritis lupus di
tegakkan bila pada LES terdapat tanda-tanda
proteinuria dalam jumlah lebih atau sama
dengan 1 gram/24 jam atau/dengan hematuria
27
belum ada. Jumlah penderita LES di Indonesia
menurut Yayasan Lupus Indonesia (YLI)
sampai dengan tahun 2005 diperkirakan
mencapai 5000 orang.26LES lebih sering pada
orang kulit hitam dan ras Hispanik
dibandingkan kulit pulih. lupus nefritis yang
berat terutama lebih sering ditemukan pada
orang kulit hitam dan ras Asia dibandingkan
ras lain. Karena prevalensi LES lebih tinggi
28
Sintesis
Kolagen
Podosit
Aktivasi
komplemen
C5b-6+C7-9
Kerusakan jaringan
Sel Mesangial
IL-1
PGE
Leukosit
Sel Mesangial
Trombosit
PGE
Tromboxan
29
Tabel 2 Klasifikasi Nefritis Lupus berdasar ISN/RPS 2003.3
Kelas I
Kelas II
Kelas III
Kelas III(A)
Kelas III(A/C)
Kelas III (C)
Kelas IV
Kelas VI
30
Tabel 3 Klasifikasi Nefritis Lupus menurut WHO 2003.3
Kelas
I
II
III
IV
VI
Deskripsi
Glomerulus normal (dengan pemeriksaan mikroskop cahaya, imunofluoresen, mikroskop electron)
Perubahan pada mesangial
a. Normal dengan mikroskop cahaya, deposit pada mesangial dengan imunofluoresen dan
atau mikroskop electron
b. Hiperseluleritas mesangial dan terdapat deposit pada imunofluoresen dan atau mikroskop
electron
Focal segmental glomerulonephritis
a. Lesi nekrotik aktif
b. Leso sklerotik aktif
c. Lesi sklerotik
Glomerulonefritis difus (proliferasi luas pada mesangial, endokapiler atau mesangiokapiler dan
atau deposit luas sub endotel)
a. Tanpa lesi segmental
b. Dengan lesi nekrotik aktif
c. Dengan lesi aktif dan sklerotik
d. Dengan lesi sklerotik
Glomerulonefritis membranosa difus:
a. Glomerulonefritis membranosa murni
b. Berhubungan dengan lesi kelas II (a atau b)
Glomerulonefritis sklerotik lanjut
D. Gejala Klinis
Manifestasi kelainan ginjal pada NL
yang ditemukan berupa proteinuri yang
didapatkan pada semua pasien, sindrom
nefrotik pada 45-65% pasien, hematuri
mikroskopik pada 80% pasien, gangguan
31
Tabel 4 Gambaran klinis NL menurut histopatologi2,30
Kelas I
Kelas II
Protein urin
+
+
+
++
++
++
+
hematuria
+
++
+++
+
+/-
Hipertensi
+
++
+/+/-
Sindrom
nefrotik
+
++
++
+/-
Fungsi ginjal
N
N
N
N/
N/
lambat
dari
ginjal.25
Medikamentosa
berupa
kortikosteroid dan agen imunosupresif.
Dialisis dapat dilakukan untuk mengontrol
gejala gagal ginjal. Transplantasi ginjal juga
direkomendasikan (pasien dengan lupus yang
aktif tidak boleh dilakukan transplantasi
ginjal). 37
32
Tabel 6 Terapi Nefritis Lupus33
NL kelas I
NL kelas II
NL kelas VI
Bila pada hasil biopsy ginjal didapatkan tipe campuran NL kelas V dengan kelas III atau
IV, maka terapi diberikan sesuai kelas III dan IV
Pada NL kelas V diberikan prednisone dosis 1 mg/kg/hari selama 6-12 minggu. Prednisone
kemudian diturunkan menjadi 10-15 mg/hari selama 1-2 tahun.
Pengobatan ditujukan untuk manifestasi ekstra renal. Untuk memperlambat penurunan
fungsi ginjal diberikan terapi suportif seperti restriksi protein, terapi hipertensi, pengikat
fosfor dan vitamin D.
Tabel 7. Penggunaan imunosupresan dalam dosis penyesuaian nefritis lupus kelas VI. 4
Azatioprin (AZA)
Mycophenolat
mofetil (MMF
Siklofosfamide
Siklosporin
CrCl 10 sampai 50 mL / menit: Dosis harus dikurangi sampai 75% dari dosis normal
sehari-hari. CrCl kurang dari 10 mL / menit: Dosis harus dikurangi menjadi 50% dari
dosis normal sehari-hari
CrCl kurang dari 25 mL / menit: Dosis tidak boleh lebih besar dari 1 gram / hari
Perhatian dianjurkan bila digunakan pada pasien dengan disfungsi ginjal. Namun,
tidak ada modifikasi dosis tertentu sedang dianjurkan.pemberian dua kali sehari
harus dihindari
Pemantauan yang teliti terhadap konsentrasi darah atau plasma siklosporin
diperlukan untuk menghindari eksaserbasi gangguan ginjal
33
Penatalaksanaan Nefritis Lupus Stadium
Akhir
NL kelas VI adalah tahap akhir dari
ginjal kerusakan yang dihasilkan oleh penyakit
imunologi. Klasifikasi histologis NL kelas VI
untuk kasus-kasus yang berada di tahap akhir
penyakit dari sudut pandang fungsi ginjal
sesuai dengan tahap 5 pada skala KDOQI
untuk klasifikasi penyakit ginjal kronis (PGK)
Terapi
Pengganti
Ginjal
(RRT/Renal
Replacement Therapy) yang dimulai pada
bentuk dialisis atau transplantasi ginjal.39
Penderita dengan LES sebanyak 60%
akan juga menderita NL, dimana 20% pasien
dengan NL selama 10 tahun mendatang akan
menjadi End Stage Renal Disease (ESRD).
Pada dasarnya ada beberapa hal yang perlu
dalakukan dalam penatalaksanaan ESRD pada
pasien
nondialisis
dengan
ESRD
membutuhkan asupan natrium 2 gr/hari
dan asupan cairan sehari-hari 1-2 liter atau
disesuaikan keseimbangan cairan. 2,37
3. Restriksi kalium
Restriksi kalium diperlukan jika LFG
dibawah 10-20 ml/menit, pasien haris
mengetahui makanan yang mengandung
tinggi kaliumdan membatasi asupannya
34
5. Restriksi magnesium
Magnesium diekskresikan melalui ginjal,
kejadian hipermagnesemia dilaporkan
hampir jarang terjadi kecuali pasien
menerima preparat magnesium,semua
magnesium termasuk laksatif maupun
antacid relatif tidak diperkenankan pada
PGK ESRD. 2,37
Pasien dengan ESRD dengan NL untuk
B. Transplantasi ginjal
Transplantasi
ginjal
juga
direkomendasikan (pasien dengan lupus yang
aktif tidak boleh dilakukan transplantasi
ginjal).35 Semua pasien dengan ESRD karena
LES
harus
dipertimbangkan
untuk
transplantasi ginjal. Sebagian besar pasien
Simpulan
Lupus Eritematosus Sistemik merupakan
penyakit multisistem yang disebabkan
kerusakan jaringan akibat deposisi kompleks
imun berupa ikatan antibodi dengan
komplemen. Nefritis lupus merupakan salah
satu dari manifestasi paling serius dari LES
A. Dialisis
Pada NL kelas VI dimana pasien dengan
ESRD memerlukan dialisis dan merupakan
kandidat yang baik untuk transplantasi ginjal.
Pasien dengan ESRD sekunder terhadap LES
mewakili 1,5% dari seluruh pasien dialisis di
Amerika. Angka survival pasien dengan
dialisis sebanding dengan pasien dialisis yang
transplantasi
diperlukan
dalam
penatalaksanaan NL adalah dengan RRT
35
antara lain dengan dialisis dan transplantasi
ginjal.
Daftar Pustaka
1. Brent LH, Hamed FA. Lupus Nephritis. In:
James
K,
Blom,
(eds).
Lupus
Erythematosus. 12th ed. Washington, PA:
Lippincott Williams and Wilkins; 2008:
p.849-67.
2. Lahita RG, Systemic Lupus Eritematous,
2010.
12. Alarcon G.S, Alen J.C, Mc Gwin G, Uribe
A.G, Toloza S.M.A, Roseman J.M, et al.
Systemic Lupus Erythematosus in a
multiethnic cohort : LUMINA XXXV.
Predictive factors of high disease activity
over time. Ann Rheum Dis. 2006:
p.65:1168-1174.
13. Clatworthy M.R, Smith K.G. Systemic
36
Lupus Erythematosus : recent advances.
Trends Mol Med. 2010.16(2): p.45-57.
18. Adnan Z.A. Lupus dan Penyakit Autoimun
lain. Dalam: Reumatologi Praktis, Klinis,
Diagnosis dan Terapi. Jilid 2. Sebelas
Maret University Press. Surakarta.
2009.p.31-46
19. Cook H.T, Lightstone L. Systemic Lupus
Erythematosus : Renal Involvement. In:
Hypertension.
Pernefri,
Jakarta
2005:p.37-41.
25. Dooley M.A. Clinical and Laboratory
Features of Lupus Nephritis. In: Wallace
DJ, Hahn BH, (eds). Dubois Lupus
Erythematosus. 7th ed. Philadelphia, PA:
Lippincott Williams & Wilkins; 2007:
p.1112-1130
26. Sukmana
N.
Manajemen
Lupus
Epidemiology
of
Systemic
Lupus
Erythematosus. In: Wallace DJ, Hahn BH,
eds. Dubois Lupus Erythematosus. 7th ed.
Philadelphia, PA: Lippincott Williams &
Wilkins; 2007: p.34-44.
22. Lee H.M, Sugino H, Nishimoto N..
Cytokine Network in Systemic Lupus
Erythematosus. Journal of Biomedicine
and Biotechnology. Hindawi publishing
37
of systemic lupus erythematosus. Arthritis
Rheum 1982;25:p.1271-7.
33. Dharmeizar. Diagnostic dan pengobatan
nefritis lupus. Dalam : Naskah Lengkap :
Annual Meeting 2009 Perhimpunan
Nefrologi
Indonesia
(Update
in
Nephrology for Better Renal Care).
Surabaya. 2009: p.205-215
34. Wiesen K, Mindel G, Dialysis treatment in
Transplant.www.surgeryencyclopedia.com
40. Ruiz-Irastorza G, Espinosa G, Frutos MA,
Jimenez-Alonso J, Praga M, et al.
Diagnosis and Treatment of Lupus
Nephritis.
Nefrologia
2012;32(Suppl.1):p.1-35
41. Mojcik CF, Klippel JH. End-stage renal
disease and systemic lupus erythematosus.
Am J Med 1996; 101: p.100107
38
49. Lochhead KM, Pirsch JD, DAllesandro
AM et al. Risk factors for renal allograft
loss in patients with systemic lupus
erythematosus. Kidney Int 1996; 49:
p.512517
50. Roman MJ, Shanker BA, Davis A et al.
Prevalence and correlates of accelerated
atherosclerosis
in
systemic
lupus
erythematosus. N Engl J Med 2003; 349:
p.23992406
51. Goral S, Ynares C, Shappell S et al.
Recurrent lupus nephritis in renal
39
40
students at the high school. This study was conducted on 11 classes of SMAN 73 Cilincing
subdistrict of North Jakarta. The goal is to assess the effect of the drug on the child's education in
high school. This study used a quasi-experimental one group pre-test post. The sample of this study
entire class of 11 students enrolled in the District Cilincing SMAN 73 totaling 218 students and is
taken with consecutive non probability sampling technique. Knowledge and attitudes of the students
after the intervention or drug counseling increased, with an increase in knowledge before the
intervention were 44 respondents (57.9%) and after the intervention were 51 respondents (67.1%). It
shows the increase of knowledge by 9.19%. As for the attitude of an increase of 44 respondents
(57.9%) and after the intervention by 47 respondents (61.8%). It does not show an increase in
attitude toward intervention. Based on the research conducted, it can be concluded that the extension
of the drug can only enhance the student's knowledge of the drugs but did not improve students'
attitudes toward drugs. Thus, the extension is expected to be a routine program to increase students'
knowledge about drugs.
Keyword: drug, counseling, students
Pendahuluan
Berdasarkan hasil Survey Nasional oleh
41
sebanyak 108 tersangka. Ketidaktahuan
tentang narkoba adalah awal penyalahgunaan
narkoba. Banyak penyalahguna narkoba yang
ternyata tidak tahu bahwa yang dikonsumsikan
sesungguhnya adalah narkoba. Karena
kurangnya informasi di dapat melalui
pendidikan formal maupun informal. Salah
satu contoh informasi yang didapatkan dari
pendidikan informal ialah penyuluhan.
Metode
Jenis penelitian ini menggunakan quasi
experiment dengan rancangan One Group pre
dan pos test design. Penelitian ini
dilaksanakan pada April 2013 sampai dengan
Mei 2013, di daerah Kecamatan Cilincing
yang merupakan wilayah kerja puskesmas
Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara. Populasi
yang akan diteliti adalah seluruh siswa/i kelas
Hasil
Berdasarkan tabel 1 dapat diketahui
bahwa dari 12 pertanyaan yaitu 9 pertanyaan
42
Tabel 1 Selisih Nilai Pertanyaan Penelitian Sebelum dan Sesudah Diberikan Penyuluhan
Yang menjawab benar (n=76)
Pertanyaan
Pretest
Posttest
Keterangan
59
Naik
40
65
Naik
27
62
Naik
51
72
Naik
75
73
Turun
37
63
Naik
68
74
Naik
27
63
Naik
61
71
Naik
31
61
Naik
76
76
Tetap
39
33
Turun
Sebelum
Sesudah
Pengetahuan
Tinggi
Rendah
44
32
57,9
42,1
51
25
67,1
23,9
Sikap
Baik
Kurang
44
32
57,9
42,1
47
29
61,8
38,2
43
Tabel 3 Perbedaan Pengetahuan Sebelum dan Sesudah Penyuluhan
Variabel
Mean
SD
P value
Pengetahuan
Sebelum
Sesudah
7,04
10,16
1,553
1,532
0,000
Sikap
Sebelum
Sesudah
7,30
7,41
0,497
0,489
0,32
dibutuhkan
metode
lain
untuk
menilai
mengenai Narkoba
dan mungkin juga
responden telah mendapatkan informasi
mengenai Narkoba dari lingkungan sekitarnya.
Dengan pengetahuan tersebut responden dapat
Diskusi
Uji statistik yang dilakukan untuk
mengetahui perbedaan rata-rata pengetahuan
dan sikap sebelum dan sesudah intervensi
mendapatkan p value 0,000 dan 0.32. Hasil uji
tersebut
menunjukan
bahwa
terdapat
perbedaan yang bermakna antara pengetahuan
sebelum dan sesudah diberikan intervensi.
Namun angka yang didapat untuk sikap siswa
Simpulan
Pengetahuan dan sikap siswa/i sesudah
dilakukan intervensi atau penyuluhan Narkoba
terjadi peningkatan, dengan peningkatan
pengetahuan sebelum intervensi sebanyak 44
responden (57.9%) dan sesudah intervensi
44
menunjukan kenaikan pengetahuan sebesar
9,19 %. Sedangkan untuk sikap tidak
mengalami peningkatan dari 44 responden
(57.9 %) dan sesudah intervensi sebanyak 47
responden (61.8 %).
Hal tersebut tidak
menunjukan terjadinya peningkatan sikap
terhadap intervensi.
Daftar Pustaka
1. Badan Narkotika Nasional Republik
Indonesia,
Pedoman
pencegahan
penyalahgunaan narkoba bagi remaja.
November; 2010.
Pembentukkan
45
46
bertambah dan kebutuhan gizinya meningkat
sejalan dengan bertambahnya aktivitas fisik
anak. Selama masa prasekolah inilah proses
belajar berlangsung cepat, kemampuan
berbahasa sangat membantu anak dalam
meningkatkan
kemampuannya
seperti
mempelajari kebiasaan makan keluarganya.2
Pertumbuhan anak sangat dipengaruhi
oleh faktor keluarga dan lingkungan. Faktor
pengukuran.
47
Indeks antropometri yang tepat untuk
menilai status gizi pada anak usia prasekolah
adalah Indeks Massa Tubuh/Umur (IMT/U).
Indeks Massa Tubuh merupakan alat yang
sederhana untuk memantau status gizi orang
dewasa khususnya yang berkaitan dengan
kekurangan dan kelebihan berat badan.3 Pada
awalnya disepakati bahwa IMT digunakan
untuk orang dewasa (yang sudah selesai masa
48
menuju sehat (KMS) sudah menunjukkan
kenaikan yang kontinu setiap bulan sesuai
lengkung grafik pada KMS dan berada pada
pita berwarna hijau maka anak tersebut
memiliki berat badan sehat.5 Lebih-lebih kalau
anak menunjukkan perkembangan mental
yang normal, artinya perkembangan motorik,
bahasa, intelektual, emosional dan sosial
sesuai dengan umurnya, maka anak tersebut
Tipe-tipe Obesitas
Klasifikasi indeks massa tubuh (IMT)
pada anak berbeda dengan klasifikasi IMT
pada dewasa. Indek Massa Tubuh atau IMT
dihitung dari berat badan dibagi dengan tinggi
badan kuadrat (kg/m2). Untuk anak-anak,
menggunakan Center for Disease Control and
Prevention (CDC) dengan mengeluarkan
grafik BMI berdasarkan usia dan jenis kelamin
IMT/U
Underweight
Health weight
Overweight
Obese
49
dari normal. Kegemukan tipe ini terjadi
pada usia dewasa. Usaha untuk
menurunkan berat badan pada kondisi ini
lebih mudah dibandingkan kegemukan tipe
hyperplastik.
c. Tipe Hiperplastik dan Hipertropik
Kegemukan terjadi karena jumlah
dan ukuran sel lemak melebihi normal.
Pembentukan sel lemak baru terjadi segera
anaknya.
Pemberian makanan tambahan
dengan kalori tinggi pada bayi pada
usia yang terlalu dini.
50
dapat menikmatinya. Fast food itu sendiri
merupakan makanan yang mengadung
tinggi lemak dan tinggi garam, rendah
serat, dan vitamin. Seperti hamburger,
Pizza, Fried Chicken, French fries, es
krim, dan lain-lain.
Penelitian di Amerika menunjukkan
bahwa
anak-anak
yang
disekitar
sekolahnya terdapat restoran cepat saji
atau fast food akan cenderung memiliki
kelebihan berat atau kegemukan. Ini
adalah faktor yang sangat menentukan.
Anak akan memiliki kecenderungan untuk
jarang mengkonsumsi buah dan sayur,
mereka lebih sering makan jenis fast food
bila terdapat satu restoran cepat saji di
sekolah mereka.8
c. Faktor Genetik
Menurut Mumpuni, kegemukan
cenderung diturunkan, sehingga diduga
memiliki penyebab genetik. Anggota
keluarga tidak hanya berbagai gen tetapi
juga makanan dan gaya hidup, yang bisa
mendorong
terjadinya
kegemukan.8
Seringkali sangat sulit untuk memisahkan
faktor antara gaya hidup dengan faktor
genetik. Penelitian baru menunjukkan
menjadi berkurang.
51
atas. Mereka yang termasuk golongan ini
sering kali kurang memperhatikan pola
makan karena kesibukannya. Mereka lebih
sering memesan makanan dari restoran
daripada menyiapkan makanan sendiri di
rumah, padahal makanan dari restoran itu
sebagian besar mengandung kadar lemak
yang cukup besar. Karena kesibukan
pekerjaan dan terbatasnya waktu untuk
berolahraga, mereka jadi beresiko tinggi
mengalami obesitas.
f. Tingkat pendidikan
Pendidikan pada hakekatnya adalah
usaha
sadar
manusia
untuk
mengembangkan
kepribadiannya.
Di
dalam pendidikan ada tiga macam yaitu,
pendidikan formal, pendidikan informal,
dan pendidikan non formal. Pendidikan
pencari nafkah.
52
Hormon insulin yang diproduksi
oleh pankreas dipicu secara berlebihan
(hiperinsulinisme)
karena
konsumsi
makanan sehari-hari dalam jumlah yang
berlebihan khususnya makanan berkadar
kalori tinggi. Peningkatan hormon insulin
menyebabkan sintesis lemak dalam tubuh
juga
meningkat
sebagai
penyebab
terjadinya kegemukan.
(sindrom
cushing),
ternyata
dapat
menyebabkan kegemukan yang sering
terjadi pada anak-anak.8
i. Faktor Psikologis
Faktor psikologis mempengaruhi
kebiasaan makan anak, misalnya kepuasan
anak mengkonsumsi makanan yang sedang
trend yaitu fast food (fried chicken, pizza,
hamburger). Tentu saja kegemaran anak-
televisi,
permainan
dengan
menggunakan remote control, play
station, atau game dikomputer.
Televisi berdampak cukup besar dalam
mempengaruhi kebiasaan makan anak.
Hal ini dikarenakan sangat intensifnya
anak-anak berada didepan TV.
Lamanya waktu anak menonton TV
diperkirakan hanya dikalahkan oleh
53
rata-rata
menonton
TV
26,3
jam/minggu, 3 jam diantaranya adalah
acara iklan.10
Menurut Fretaig, salah satu
faktor resiko yang paling kuat untuk
menyebabkan
seseorang
menjadi
gemuk artinya semakin sering kita
menonton televisi, kemungkinan untuk
menjadi
gemuk
akan
semakin
meningkat.9 Alasannya adalah karena
pada saat seseorang menonton TV, dia
tidak hanya menikmati program
intinya tetapi juga terkondisi untuk
mengkonsumsi berbagai makanan
cemilan yang tanpa disadari kebiasaan
ngemil pada anak dapat memicu
terjadinya kenaikan berat badan anak.
Kebiasaan
mengkonsumsi
menghabiskan
banyak
waktu,
membuat anak malas bergerak dan
cenderung
enggan
bersosialisasi
dengan teman sebayanya. Dalam
jangka waktu panjang kebiasaan anak
yang minim gerak ini berdampak
buruk
bagi
kesehatan
karena
berpotensi menimbulkan kegemukan
dan obesitas.
Resiko Kegemukan Pada Anak
Menurut Agoes, D dan Poppy, M,
kegemukan yang terjadi pada anak balita dapat
menimbulkan berbagai masalah antara lain5:
a. Resiko Terserang Penyakit
Anak balita mengalami kegemukan
memiliki risiko tinggi terserang berbagai
penyakit. Berikut ini beberapa risiko
penyakit yang sering menyerang anak-
pertumbuhan
dan
perkembangan
tulang dan sendi.
Kematangan seksual dapat terjadi lebih
awal atau dini, menstruasi bisa terjadi
pada anak perempuan yang usianya
kurang dari sembilan tahun.
Terjadi infeksi saluran pernafasan
bagian bawah karena kegemukan
mempengaruhi kapasitas paru-paru.
menunjukkan
bahwa
modern semacam ini
permainan
cenderung
54
Daftar Pustaka
1. Papalia, Diane E., et. al. Human
development (psikologi perkembangan).
Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
2008.
2. Arisman. Gizi dalam daur kehidupan.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
2004.
3. Supariasa, I.D.N, dkk, Penilaian status
gizi, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC. 2001.
4. Misnadiarly. Obesitas sebagai faktor
resiko beberapa penyakit. Jakarta: Pustaka
obor popular. 2007.
5. Agoes, D dan Poppy, M. Mencegah dan
mengatasi kegemukan pada balita. Jakarta:
55
56
terbaik dan yang telah diberikan beasiswa
sejak masa pendidikan kedokteran, dan saat ini
berstatus dosen kader. Jumlah staf pengajar
yang cukup banyak pada tingakt S1 dan S2,
menyebabkan
diperlukan
strategi
dan
rancangan yang baik untuk mengembangkan
potensi staf agar dapat meningkat sesuai
dengan
harapan
pimpinan
institusi.
Peningkatan kemampuan staf pengajar akan
pelatihan
dan
pendidikan
profesional
berkelanjutan yang harus diikuti oleh seluruh
staf pengajar.
Pandangan Objektif pada pendidikan
kedokteran bermuara pada World Federation
Medical Education (WFME) tahun 2003
dengan Global Stardart Undergraduate
Medical Education dan Standar Kompetensi
Dokter Indonnesia (SKDI, 2006). Peran dan
ESBED serta
setiap lima tahun akan
dievaluasi melalui portfolio kegiatan dosen.
Pada kegaiatan akreditasi yang dilakukan oleh
Badan Akreditasi Nasional, maka porsi
aktifitas staf pengajar memiliki nilai yang
tinggi. Tuntutan stakeholder menyebabkan
institusi harus mengembangakan bentuk
bentuk
kegiatan
untuk
peningkatan
kemampuan dokter layanan kesehatan yang
bekerja dimasyarakat dan dokter yang bekerja
sebagai staf pengajar di institusi pendidikan
kedokteran dan kesehatan.
57
Gambar 1 Dua belas peran staf pengajar kedokteran (Harden dan Crosby, 2000) (disitasi dari
Mclean et al., 2008)
Peran-Peran tersebut diatas tidak
langsung dapat dimiliki oleh staf pengajar
pada saat awal menjadi staf pengajar. Namun
peran-peran tersebut diatas dapat dimiliki oleh
staf pengajar setelah melalui proses
pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan
dan dalam waktu yang cukup panjang. Peranperan tersebut merupakan kemampuan dasar
yang harus dimilki oleh staf pengajar institusi
58
-
yaitu,
professional
knowledge
base,
59
competence in professional action dan the
development of reflection, Cohen (1981) dan
Ramsden et a.,l (1995) (disitasi dari MClean et
al 2008) memberikan contoh kemampuan
dalam peningkatan profesionalitas pengajaran
dan pembelajaran (Gambar 3). Sedangkan
Darling (1992) (disitasi dari Campbell et al.,
2004) memberikan 10 kemampuan yang harus
dimiliki oleh staf pengajar, yakni :
9. Professional
commitment
and
Resposibility
10. Partnerships
Kemampuan dan peran yang harus
dimiliki oleh seorang staf pengajar sangat
banyak dan bervariasi sehingga perlu waktu
dalam pencapain
kemampuan dan peran
tersebut. Namum harus dipahami dalam
pencapaian kemampuan terdapat perbedakan
Kemampuan operasional
Know how
pragmatically
Outcomes
metaoperations
experiential
strategic
economic
Economic survival
Organizational norms
For better practical effectiveness
Kemampuan akademik
Know what
Define intellectual field
propositions
Metacognition
Propositional
Disciplinary
truthfulness
Disciplinary strength
Norms of intelectual field
For better cognitives
understanding
60
Gambar 3 Kemampuan Staf pengajar yang baik dan efektif dari Cohen (1981) dan Ramsden
et al (1995) (disitasi dari Mclean et al 2008)
Berdasarkan pertimbangan diatas maka
pengembangan profesional di PSPD FKKUMJ dapat dijabarkan sebagai berikut :
1. Kemampuan pengembangan profesional
pengajaran dan pembelajaran di arahkan
untuk
memperoeh
kemampuan
operasional
2. Pelatihan Kemampuan dasar tentang teoriteori pengajaran dan pembelajaran
(gambar 3), melatih kemampuan seperti
peran dari Harden, seperti mentor, dan
fasilitator, communication skills, adapting
Instruction for individual needs dan
khusus untuk spesialis menjadi medical
expertice seperti teaching role model, on
the job role model, lecturer dan teaching
61
student feedback and assessment, clinical
teaching assessment (Spesialis), Bioethics
and humanism, Instruction planning skills,
Instruction multiple strategies, Instruction
for individual needs,
curriculum
evaluator, study guide producer, IPE,
lecturer, transformative conception of
learning, distance learning web-based
learning dan E-learning. Kegiatan CPD
62
Leadership
Kepemimpinan merupakan salah satu
aspek yang akan dikembangkan menjadi
kemampuan yang dimiliki oleh seluruh staf
pengajar, karena diharapkan staf pengajar
menjadi pemimpin pada setiap bentuk
pengajaran dan pembelajaran, seperti kegiatan
tutorial, praktikum, CSL dan kegiatan pleno.
Pelatihan Kepemimpinan pada institusi
63
Proses memperoleh jiwa dan perilaku
kepemimpinan memerlukan waktu dan
bertahap seperti yang dipaparkan oleh Carter
dan Jackson (2009) (Gambar 6). Hasil dari
pelatihan kepemimpinan, diperoleh staf
pengajar yang mampu memiliki sebagian
besar dari kompetensi kepemimpinan yang
nantinya diharapkan dapat memimpin pada
posisi struktural yang ada di organisasi.
Broad
scanning
Setting
direction
political
astetuness
Intelectual
flexibilty
Drive for
result
Personal qualities
Seizing the
future
Self belief
self awareness
self management
Drive for improvemnet
leading
change
throug to
people
personal integrity
holding
the
account
empoweing
others
delivering
the service
collabotarive
working
effective
and
strategic
influencing
64
transformational
trait
charismatic
Situational
Behavioural
can build.
65
pelayanan
profesinal
seorang
dokter
berpraktek.
Peran dan kompetensi yang harus
dimiliki staf pengajar kedokteran menuntut
Professor.
Sehingga untuk mendukung
scholarship diperlu pengayaan atau pelatihan
yang berkaitan dengan medical educatio
research, research methodology, research
ethics, writing grand proposal, managing
research funding, how to publish, web based
education, e learning, distance learning dan
reward and award system. Hasil pelatihan
tetap diperlukan sertifikasi terutama tingkat
Simpulan
Pendidikan dan pelatihan profesional
berkelanjutan merupakan kegiatan yang juga
harus selalu hadir dalam intitusi pendidikan
kedokteran, selain yang telah ada pada tingkat
terbarukan.
66
Daftar Pustaka
1. Bordage. G et al, (2000). Skill and
attributes of director of educational
programmes. Medical Education. Vol 34.
206-10.
2. Gaither. G. H, (2005). Developing
Leadership Skills in Academia. Academic
Leadership. Org.
3. Campbell D.R, Cignetti. P.B, Melenyzer.
Eating Disorder
Tria Astika Endah Permatasari
Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Jakarta
Abstrak
Perilaku makan menyimpang atau eating disorder merupakan masalah kesehatan yang dapat
memberikan dampak negatif terhadapm pertumbuhan remaja khususnya remaja putri. Kondisi eating
disorder bersumber pada masalah gizi dan psikologis. Dua kriteria yang paling sering terjadi pada
eating dosorder adalah Anorexia nervosa dan Bulimia nervosa. Secara umum penderita anorexia dan
bulimia memiliki citra tubuh yang menyimpang dimana mereka menggunakan standar kecantikan
dengan melihat tingkat kekeurusan yang dimilikinya. Penderita eating disorder ini menganggap
semakin kurus tubuh yang mereka miliki maka mereka akan semakin tampak cantik. Oleh karena itu
mereka sangat membatasi asupan makanan yang berdampak tidak terpenuhinya kecukupan gizi
terutama sehingga akan menghambat proses pertumbuhan yang optimal jika terjadi mada masa
remaja.
Kata Kunci: Eating disorder, Anorexia Nervosa, Bulimia Nervosa, remaja putri
Abstract
Deviant eating behavior or eating disorder is a health problem that can negatively impact the growth
terhadapm especially teenage girls. Conditions eating disorder rooted in nutrition and psychological
problems. Two criteria are most common in eating dosorder is Bulimia Nervosa and Anorexia
Nervosa. In general, people with anorexia and bulimia have a distorted body image where they use a
standard of beauty by looking at its kekeurusan level. People with eating disorder is considered more
skinny bodies they have, they will increasingly look beautiful. Therefore, they severely limit food
intake does not affect the fulfillment of nutritional adequacy, especially so that it will inhibit the
growth of the optimal process in case mada adolescence.
Keywords: Eating disorder, Anorexia Nervosa, Bulimia Nervosa, teenage daughter
Pendahuluan
Makanan
dapat
menjadi
simbol
kesenangan karena dapat menstimulasi
pelepasan neurotransmitters (seperti serotonin)
dan endorphin yang menimbulkan euphoria
wanita.
67
68
menonjol, yaitu anorexia nervosa dan bulimia
nervosa. Lebih dari 5 juta orang di Amerika
Utara mengalami PMM dengan perbandingan
perempuan dan laki adalah 5:1. Penderita
anorexia nervosa di Amerika Serikat sebesar
0.5% pada perempuan. Prevalensi di Jepang
sebesar 0.025 sampai 0.030%. Sebanyak 85%
kejadian PMM dimulai sejak masa remaja
hingga menjadi dewasa.
69
dan menarik dibutuhkan untuk dapat
bertahan dalam bidang model. Untuk dapat
mencapai hal tersebut seringkali model
melakukan perilaku yang salah seperti
PMM. Sedangkan pada profesi yang
berhubungan dengan olahraga menuntut
atlet untuk mempertahankan berat badan
tertentu untuk dapat menampilkan
permainan terbaik. Faktor lain yang
menyebabkan atlet untuk mengalami
PMM adalah tuntutan pelatih untuk tetap
kurus. Hal ini adalah salah satu hal yang
mendorong terjadinya PMM pada atlet
(McCombs, 2001).
70
bahwa
berdasarkan
jenis
kelamin
diperoleh data sebesar 83 (38.6%)
responden
perempuan
mengalami
kecendrungan PMM, dan 65 (35.7%)
responden
laki-laki
mengalami
kecendrungan PMM.
5. Sosial ekonomi
Penelitian klinik telah menunjukkan
bahwa penderita PMM memiliki insiden
71
terhadap makanan. Kondisi ini ditandai
dengan gejala psikologis sebagai berikut:
- keinginan memiliki tubuh kurus
- ketakutan
berlebihan
terhadap
kegemukan
- penolakan untuk mempertahankan berat
badan yang normal
1. BMI <17.5
2. Menghindari makanan yang banyak mengandung
lemak dan gula dan penderita memiliki pengetahuan
mengenai kalori yang dikandung dalam makanan
untuk menghitung banyaknya kalori yang masuk.
3. Ketakutan yang berlebihan terhadap lemak
Amenorrhea (wanita) dan impoten (pria);
disebabkan oleh perubahan hormon tiroid dan
sekresi yang tidak abnormal dari insulin.
4. Prepubertal dapat tertundan atau bahkan tidak ada.
Sumber: DSM IV (1994) dan Internal Classification of Diseases-10 th edition (WHO) (Reijonen, 2008)
2. Bulimia Nervosa
Secara harfiah artinya sindrom obat
pencahar. Pada awalnya disebut buliarexia,
gangguan makan tipe ini lebih banyak
ditemukan dibandingkan anorexia nervosa.
Definisi lain mengatakan bulimia nervosa
merupakan jenis penyimpangan perilaku
makan yang dicirikan oleh periode makan
terus menerus (binge) yang frekuen dan
pemuntahan (purging) berkaitan dengan
makan berlebih (overeating) karena hilang
kendali dan terlalu memperhatikan berat
kenaikan berat badan.
Gejala umum:
-
72
Gambaran klinis: Pembengkakan kelenjar
ludah akibat muntah berulang, amenore, atau
menstruasi tidak teratur, dilatasi lambung akut,
diikuti dengan nyeri abodemen. Gejala lain
seperti sakit kepala, insomnia, dan gejala lain
yang tidak spesifik.
Karakteristik psikososial:
- Rasa percaya diri sangat rendah
Tabel 2 Perbedaan Tanda-Tanda dan Karakteristik antara Penderita Anorexia Nervosa dan
Bulimia Nervosa
Anorexia Nervosa
Bulimia Nervosa
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
1.
2.
3.
4.
5.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
Menjauhi makanan
Introvert
Menghindari kedekatan
Tidak mendukung peranan feminis
Perfeksionis
Penyimpangan citra tubuh
Menyangkal dirinya menderita
penyimpangan/sakit
Kehilangan berat badan sampai 25% atau lebih
Ketakutan berlebih akan kenaikan berat badan
Penurunan konsumsi makanan, menyangkal
perasaan lapar, dan penurunan konsumsi
makanan yang mengandung lemak
Terjadi amenorrhea pada perempuan
Melakukan olahraga secara berlebihan
Adanya kebiasaan tertentu dalam menangani
makanan
Beberapa mengalami periode bulimia
Adanya tanda-tanda ketidakseimbangan
elektrolit tubuh, anemia, dan disfungsi
endokrin dan imunitas tubuh
Kematian karena kelaparan, hypotermia, atau
gagal jantung.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
Mencari makan
Ekstrovert
Mencari kedekatan
Mendukung peranan feminis
Kehilangan kendali-mencuri, menggunakan obatobatan
Penyimpangan citra tubuh secara tidak tentu
Mengakui dirinya mengalami penyimpangan/sakit
Berat badan berada antara 10 sampai 15 lb berat
badan normal
Khaatir akan berat badannya dan mengatasi
dengan diet, muntah, menyalahgunakan laksatif
dan diuretik.
Pola makan berganti-ganti antara binge dan puasa
Kebanyak penderita merahasiakan mengenai
binge dan muntah
Pada saat binge mengkonsumsi makanan dengan
kalori tinggi
Terjadinya depresi
Kematian akibat hipokalemia (level potasium
darah yang rendah) dan bunuh diri.
Pencegahan
Dengan
terjadinya
pandangan
masyarakat mengenai citra tubuh dan
informasi lain yang berhubungan dengan berat
badan, yang mendukung bahwa memiliki
73
2. Memberikan
informasi
mengenai
perubahan yang normal terjadi pada saat
puber
3. Membetulkan
asumsi
yang
keliru
mengenai gizi, berat badan yang sehat dan
pendekatan untuk mengurangi berat badan
4. Berhati-hati
dalam
memberikan
pernyataan yang berhubungan dengan
rekomendasi yang berhubungan dengan
berat badan
5. Jangan terlalu memberi penekanan pada
angka di timbangan, melainkan lebih
mempromosikan pola makan yang sehat
dan berhubungan dengan berat badan
6. Mendukung penyaluran emosi yang
normal.
7. Mendukung anak-anak untuk makan hanya
jika mereka merasa lapar.
74
Tabel 3 Kriteria Diagnostik Anoreksia Nervosa
Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders
Body weight less than 85% normal weight for age
Intense fear of gaining wight or becoming fat
althoug underweight.
Disturbance in perception of body weight or shape
or denial of seriousness of current low body
weight.
In postmenarcheal women, amenorrhea (at least
three concecutive menstrual cycles).
Sumber: Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (4th ed., text rev.) Copyright 2000 American
Psychiatric Association dan Menurut International Classification of Diseases-10th edition WHO 1993 dalam
Reijonen, 2008
75
Tabel 4 Kriteria Diagnostik Bulimia Nervosa
Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders
Recurrent episodes of binge eating characterized by
a. eating in a discreate period of time (2 hours)
an excessive amount of food for time period
and circumstances and
b. lack of control over eating during period the
episode.
Specify type
Purging type: current episode includes regular
sel-induced vomiting, laxative, diuretics, or
enemas.
Nonpurging type: current episode include
fasting or excessive exercise but no regular
self-induced vomiting, laxative, diuretics, or
enemas.
Differential diagnosis: anorexia nervosa, bingeeating or purging type, Kleine-Levin syndrome,
major depressive disorder with a typical features,
borderline personality disorder
Sumber: Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (4th ed., text rev.) Copyright 2000 American
Psychiatric Association dan Menurut International Classification of Diseases-10th edition WHO 1993 dalam
Reijonen, 2008
Simpulan
Perilaku
makan
menyimpang
disebabkan oleh beragam faktor terutama
faktor psikologi.
Hal yang paling perlu
diperhatikan dalam menganggulangi masalah
perilaku menyimpang yang terdiri dari dua
kriteria yang paling umum terjadi yaitu
Anorexia nervosa dan Bulimia nervosa adalah
Saran
Pencegahan sejak dini terjadinya
perilaku makan menuimpang sangat penting
dilakukan dengan cara memberikan edukasi
khusunya kepada kelompok remaja putri
tentang perlunya pola makan seimbang dalam
76
Daftar Pustaka
1. McComb, Jacalyn J. Robert. Eating
Disorder in Women and Children:
Prevention Stress Management, and
Treatment. 2001. CRC Press: Washington.
2. Krummel DA and Penny M Kris-Etherton.
1996. Nutrition in Womens Health. An
Aspen
Publication.
Gaithersburg,
Maryland.
2004;80:5608
8. Wahlquist, Mark L. (ed). Food and
Nutrition: Australia, Asia, and Pacific.
1997. Allen and Umwin Pty. Ltd,
Australia.
9. Wardlaw, Gordon M., Margareth Kessel.
2007. Perspective in Nutrition 7thed,
McGraw-Hill: New York.