Anda di halaman 1dari 76

Pengaruh Pemberian Likopen terhadap Perkembangan Lesi Aterosklerotik pada

Tikus Hiperkolesterolemia
Lailan Safina Nasution
Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Univeristas Muhammadiyah
Jakarta
Abstrak
Stres oksidatif ditengarai berperan penting dalam kejadian aterosklerosis. LDL rentan oksidasi,
membentuk LDL-oks yang bersifat antigen dan memicu reaksi inflamasi. Makrofag akan
memfagosit LDL-oks, terbentuk sel busa. Adanya infiltrasi monosit ke lapisan intima dan
pembentukan sel busa menyebabkan penebalan dinding pembuluh darah, dan merupakan lesi awal
dari aterosklerosis. Likopen bersifat antioksidan, menghambat kerja HMG-CoA reductase dan
antiinflamasi, sehingga diduga berperan dalam pencegahan aterosklerosis dalam keadaan
hiperkolesterolemia. Penelitian dilakukan untuk menganalisis pengaruh pemberian likopen terhadap
jumlah sel busa dan ketebalan dinding aorta abdominalis tikus hiperkolesterolemia dengan desain
penelitian Randomized Post-test only Control Group, menggunakan 28 tikus Sprague Dawley jantan
dibagi menjadi 4 kelompok, diberi pakan tinggi lemak tinggi kolesterol (PTLTK) selama 2 minggu.
Selanjutnya PTLTK disertai variasi pemberian likopen: 0, 0,36, 0,72 dan 1,08 mg/ekor/hari selama 2
minggu. Penghitungan jumlah sel busa dan ketebalan dinding aorta menggunakan preparat PA
dengan pewarnaan HE. Ketebalan dinding aorta diuji dengan ANOVA, jumlah sel busa diuji dengan
Kruskal-Wallis dan Mann-Whitney. Hasil penelitian menunjukkan jumlah sel busa pada kelompok
tanpa likopen (kontrol) tidak berbeda dengan kelompok perlakuan (Kruskal-Wallis, p=0,206).
Dijumpai perbedaan ketebalan dinding aorta abdominalis antar kelompok perlakuan (ANOVA,
p=0,000). Dinding aorta abdominalis pada kelompok kontrol dijumpai paling tebal, diikuti kelompok
pemberian likopen 0,36 mg/hari. Ketebalan paling tipis pada kelompok likopen 0,72 dan 1,08
mg/hari. Tidak dijumpai perbedaan ketebalan aorta pada kelompok 0,72 dan 1,08 mg/hari (uji T,
p=0.543). Disimpulkan bahwa jumlah sel busa pada tikus SD hiperkolesterolemia yang diberi
likopen tidak berbeda dengan yang tidak mendapat likopen, namun dinding aorta pada tikus yang
mendapat likopen lebih tipis daripada yang tidak mendapat likopen.
Kata Kunci: Likopen, hiperkolesterolemia, aterosklerosis

The Influence of Lycopene Supplementation on the Progression of


Atherosclerotic Lesion in Hypercholesterolemic Rats
Abstract
Oxidative stress is considered instrumental in the events of atherosclerosis. Susceptible LDL
oxidation, LDL-ox form that is both antigens and trigger an inflammatory reaction. Macrophages
will fagocyt LDL-oks, form foam cells. Infiltration of monocytes into the intima layer and the
formation of foam cells causes thickening of the walls of blood vessels, and is the initial lesion of
atherosclerosis. Lycopene is an antioxidant, inhibits the action of HMG-CoA reductase and antiinflammatory, so it has been implicated in the prevention of atherosclerosis in a state
hypercholesterolemic. The study was conducted to analyze the effect of lycopene on the number of
foam cells and the thickness of the wall of the abdominal aorta in hypercholesterolemic rats
randomized study design Control Post-test only group, using Sprague-Dawley male rats 28 were
divided into 4 groups, were fed a high-fat high cholesterol (PTLTK) for 2 weeks. Furthermore
PTLTK with variation of lycopene: 0, 0.36, 0.72 and 1.08 mg / head / day for 2 weeks. Calculating
the number of foam cells and the thickness of the wall of the aorta using PA preparations with HE
staining. Aortic wall thickness were tested by ANOVA, the number of foam cells was tested by
1

2
Kruskal-Wallis and Mann-Whitney. The results showed the number of foam cells in the group
without lycopene (control) did not differ by treatment group (Kruskal-Wallis, p = 0.206). Found
differences in the thickness of the wall of the abdominal aorta between the treatment groups
(ANOVA, p = 0.000). Wall of the abdominal aorta in the control group encountered the thickest,
followed by administration of 0.36 mg lycopene / day. The thickness of the thinnest in the lycopene
group 0.72 and 1.08 mg / day. There were no group differences in the thickness of the aorta at 0.72
and 1.08 mg / day (T test, p = 0.543). It was concluded that the number of foam cells in rats fed
lycopene primary hypercholesterolemic did not differ from that did not receive lycopene, but the
wall of the aorta in rats that received lycopene thinner than that did not receive lycopene.
Keyword: Lycopene, hypercholesterolemic, atherosclerosis

Pendahuluan
Kecenderungan perubahan gaya hidup
dengan pola makan yang tinggi kandungan
lemak dan kolesterol, menyebabkan kadar
lemak dan kolesterol di dalam darah menjadi
lebih tinggi dari normal. Peninggian kadar
kolesterol dalam darah, disertai peninggian
kadar Lipoprotein Densitas Rendah (LDL), di
mana 65-75% kolesterol total plasma diangkut

a. Mayor:
- Faktor-faktor
yang
tidak
dapat
dimodifikasi: pertambahan usia, pria,
riwayat keluarga, kelainan genetik.
- Faktor-faktor yang mungkin dapat
dikontrol: hiperlipidemia, hipertensi,
merokok, diabetes.
b. Minor: obesitas, inaktivitas fisik, stres,
hiperhomosisteinemia, defisiensi estrogen

oleh LDL. LDL sangat rentan terhadap


oksidasi dan membentuk LDL-teroksidasi
(LDL-oks) yang bersifat aterogenik dan
mengawali
perkembangan
penyakit
1-6
aterosklerosis. Aterosklerosis adalah suatu
penyakit yang mengenai pembuluh darah
arteri, ditengarai dengan pembentukan plak
aterosklerotik pada dinding arteri, yang
menyebabkan
penebalan
dinding
dan

postmenopause, asupan tinggi karbohidrat,


alkohol.7
Proses aterosklerosis berjalan lambat
yang mungkin sudah dapat dimulai sejak masa
anak-anak tanpa dijumpai tanda-tanda klinis.
Keluhan biasa terjadi setelah usia pertengahan
(40-60 tahun), antara lain muncul sebagai
infark miokardial. Aterosklerosis lebih sering
terjadi pada pria dan jarang pada wanita usia

penyempitan
lumen
sehingga
sering
menimbulkan berbagai komplikasi, seperti
stroke dan penyakit jantung koroner.

subur, kecuali penderita diabetes, hipertensi


berat atau hiperlipidemia. Demikian juga
dengan faktor genetik yang berpengaruh
langsung terhadap struktur dinding arteri dan
fungsinya.7
Kadar kolesterol darah yang tinggi
cenderung dipengaruhi oleh gaya hidup,
seperti pola makan yang tinggi kandungan
lemak dan kolesterol, kurang mengkonsumsi

Aterosklerosis
Aterosklerosis
merupakan
suatu
penyakit yang sangat kompleks dan beberapa
faktor resiko ditengarai berperan dalam
terjadinya keadaan tersebut. Faktor-faktor
resiko dikelompokkan sebagai berikut:

makanan berserat (sayur dan buah), kebiasaan


merokok, minum kopi, pola makan yang tidak

Nasution, Pengaruh Pemberian Likopen terhadap Perkembangan

3
teratur, stress emosional dan jarang
berolahraga. Selain itu faktor genetik (seperti
defisiensi lipoprotein lipase, defisiensi
reseptor LDL), jenis kelamin, umur dan
adanya penyakit-penyakit tertentu (diabetes
mellitus, hipotiroidisme, penyakit ginjal) juga
berpengaruh terhadap kadar kolesterol dalam
darah.8
Profil
lemak
di
dalam
darah

kolesterol total tikus normal berkisar antara


120-135 mg/dl.11
Terdapat beberapa hipotesis tentang
penyebab aterosklerosis, salah satunya yang
akhir-akhir ini banyak mendapat perhatian
adalah "hipotesis modifikasi oksidatif".3
Banyak bukti mengindikasikan bahwa radikal
bebas, terutama ROS, memegang peranan
penting sebagai penyebab awal aterosklerosis.

digambarkan oleh beberapa indikator, yaitu:


kadar kolesterol total, kolesterol HDL,
kolesterol LDL dan trigliserida. Berdasarkan
penelitian, resiko aterosklerosis terutama
berkaitan dengan kadar LDL yang tinggi dan
kadar HDL yang rendah.7,9 Menurut American
Heart Association, manusia sehat memiliki
kadar kolesterol total < 200 mg/dl, LDL < 130
mg/dl, HDL > 40 mg/dl.10 Sementara kadar

Selain itu pada lokasi lesi dijumpai suatu


rangkaian respons seluler dan molekuler yang
khas seperti gambaran penyakit inflamasi
menimbulkan perkembangan teori inflamasi
sebagai patogenesis aterosklerosis. Berbagai
mediator respons imun, baik alamiah (innate)
maupun spesifik (adaptive) terlibat dalam
berbagai tahapan proses aterosklerosis.12-15

Gambar 1 Awal proses aterogenesis 3


Belakangan ini, stres oksidatif diduga
berperanan penting dalam menimbulkan
penyakit aterosklerosis. Stres oksidatif terjadi
karena adanya ketidakseimbangan antara
oksidan dan antioksidan di dalam tubuh. Hal

(reactive oxygen species = ROS), yang


merupakan molekul oksidan yang sangat
reaktif dan tidak stabil sehingga cepat bereaksi
dengan molekul lain. Radikal bebas dapat
terjadi baik secara endogen maupun eksogen,

ini dipicu oleh peningkatan jumlah radikal


bebas, terutama oleh spesies oksigen reaktif

yang dihasilkan dari proses-proses metabolik


tubuh yang normal, gaya hidup dan diet. Di

Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Vol.9, No. 1, Januari 2013

4
dalam tubuh, ROS bereaksi dengan
komponen-komponen
sel,
menyebabkan
kerusakan oksidatif pada biomolekul sel yang
penting seperti lipid, protein dan DNA, yang
menyebabkan perubahan struktur bahkan
fungsi dari sel yang teroksidasi.16-18
LDL sangat rentan terhadap oksidasi
karena hampir separuh komponen lipidnya
terdiri dari asam lemak tak jenuh ganda

makrofag dan sel T juga memproduksi faktorfaktor sitotoksik, yang berperan dalam
apoptosis. Makrofag akan menjadi sel busa
yang berisi lipid dan melepaskan sejumlah
besar radikal bebas (ROS). Selanjutnya ROS
akan semakin mengoksidasi lipoprotein.6,12-

(PUFA), yang bila bertemu dengan ROS akan


membentuk LDL teroksidasi. LDL teroksidasi
mempunyai sifat dan struktur yang berbeda
dari LDL tidak teroksidasi (native). LDL-oks
mudah menempel dan menumpuk pada
dinding pembuluh darah dan akan direspons
sebagai suatu benda asing (antigen) dimana
tubuh akan mengerahkan sistem pertahanan
dirinya. Sel endotel pada dinding pembuluh

monosit/makrofag di intima menyebabkan


penebalan adaptif dinding pembuluh arteri,
yang dikenal sebagai lesi tipe 1 (lesi inisial),
dan merupakan perubahan paling dini yang
dapat dideteksi secara mikroskopik dan
kimiawi. Selanjutnya, sel busa akan
terakumulasi dan bergabung dengan sel miosit
membentuk garis lemak (fatty streak). Lebih
lanjut terjadi akumulasi lipid ekstra sel yang

darah yang terjejas tersebut mengalami


disfungsi, yakni sel endotel akan menampilkan
molekul adesi tertentu, yang akan mengadesi
lekosit, monosit dan limfosit. Permeabilitas
endotel meningkat dan menjadi bersifat
prokoagulan. Setelah monosit, lekosit dan
limfosit melekat pada endotel, kemudian akan
menembus ke dalam intima dengan bantuan
monosit chemoattractant protein-I (MCP-I)

massif, sehingga menyebabkan penebalan


dinding arteri secara nyata, disorganisasi dan
deformitas dinding pembuluh darah, hingga
menimbulkan berbagai komplikasi.7,25,26
Bahan makanan yang mengandung
antioksidan terbukti bersifat protektif terhadap
progresifitas aterosklerosis seperti vitamin
(vitamin E, vitamin C, -karoten), beberapa
mineral pembentuk enzim yang bersifat

dan T-cell chemoattractant. Monosit akan


berdifferensiasi menjadi makrofag dan
mengalami aktifasi. Makrofag teraktifasi dapat
mensekresikan berbagai sitokin pro-inflamasi,
kemokin (chemoattractant cytokine), faktorfaktor pertumbuhan, enzim proteolitik, dan
enzim-enzim hidrolitik yang lain. Sel T
teraktivasi juga mensekresikan sitokin yang
dapat kembali menstimulasi makrofag, sel

antioksidan
(selenium,
copper,
zinc,
manganese), dan senyawa fitokimia (golongan
karotenoid dan flavonoid). Berbagai studi in
vitro menunjukkan bahwa bahan-bahan
makanan tersebut dapat memadamkan radikal
bebas, terutama ROS, sehingga kerusakan
jaringan dapat dicegah. 27

endotel dan sel otot polos, sehingga semakin


memperkuat respons inflamasi. Selain itu,

akhir ini banyak mendapat perhatian adalah


likopen. Likopen merupakan suatu karotenoid

15,19-24

Terbentuknya sejumlah sel busa pada


lapisan sub-intima dan bertambahnya jumlah

Likopen
Salah satu jenis antioksidan yang akhir-

Nasution, Pengaruh Pemberian Likopen terhadap Perkembangan

5
non-provitamin A yang secara alamiah
terdapat pada buah dan sayur berwarna merah,
terutama dalam buah tomat dan produkproduk olahannya. Likopen terdiri dari 40
karbon rantai acyclic dengan 13 ikatan
rangkap (11 terkonjugasi dan 2 tidak
terkonjugasi), dan mempunyai beberapa
bentuk isomer in vivo. Adanya sejumlah
ikatan
rangkap
terkonjugasi
tersebut,

Berdasarkan uraian di atas, ingin


dibuktikan lebih lanjut peranan likopen dalam
perkembangan lesi aterosklerotik pada
keadaan hiperkolesterolemia. Diasumsikan
bahwa likopen melalui aktivitasnya sebagai
suatu antioksidan, penurun kolesterol dan anti
inflamasi, dapat mencegah atau mengurangi
pembentukan sel busa yang merupakan awal
dari penyakit aterosklerosis. Penelitian tentang

menyebabkan likopen merupakan pemadam


oksigen radikal yang paling kuat dibanding
karotenoid yang lain.28-33 Penelitian Agarwal
dan Rao membuktikan bahwa dengan
mengkonsumsi olahan-olahan tomat yang
mengandung minimal 40 mg likopen setiap
hari adalah cukup untuk menurunkan oksidasi
LDL.30,33
Selain aktivitas antioksidan,
likopen juga mempunyai aktivitas non-

hubungan likopen dengan perkembangan


aterosklerosis masih sangat jarang dan
memberikan hasil yang tidak konsisten.
Sejumlah studi epidemiologi membuktikan
bahwa tingginya konsentrasi likopen di
sirkulasi berassosiasi dengan penurunan
penyakit kardiovaskuler dan ketebalan intimamedia arteri carotid17,18,21 sementara penelitian
lain mengindikasikan konsentrasi likopen

oksidatif. Likopen menghambat kerja enzim


HMG-CoA reductase yang berperan dalam
sintesis kolesterol di hati sehingga berefek
hipokolesterolemik, mengaktifkan reseptor
LDL, serta dapat meningkatkan degradasi
LDL.34 Likopen juga mempunyai aktivitas anti
radang (anti-inflamasi) melalui penekanan
regulasi pengambilan monosit oleh molekulmolekul adesi pada permukaan endotel,

tidak berassosiasi dengan ketebalan intimamedia arteri carotid.36


Likopen diisolasi dari ekstrak buah
tomat lokal (Licopersicum esculentum Mill
varietas Bright Pearl F1) dengan teknik Thin
Layer Chromatography (TLC). Hasil berupa
serbuk likopen, diberikan pada tikus dengan
variasi dosis 0,36, 0,72 dan 1,08 mg/ekor/hari,
yang dilarutkan dalam minyak zaitun (olive

menurunkan ukuran lesi dan mengurangi


pembentukan fatty streak pada aterogenesis.35
Penelitian kultur sel menunjukkan bahwa
likopen merupakan karotenoid yang paling
efektif dalam menekan molekul adesi dan
adesi monosit ke sel endotel.31 Akibatnya,
jumlah monosit pada lokasi lesi menurun,
aktifitas fagosit oleh monosit-makrofag
menurun, dan pembentukan sel busa juga

oil) dengan perbandingan 1 : 0,5 berdasarkan


dosis likopen terbesar, yang diberikan melalui
sonde.
Penelitian ini merupakan bagian dari
suatu penelitian payung, yang meneliti efek
dari pemberian variasi dosis likopen yang
diberikan pada tikus hiperkolesterolemia
terhadap perubahan profil lipid, lipid
terperoksidasi, status antioksidan (vitamin C,

menurun.

vitamin E, gluthathion peroksidase) dan


peranannya
dalam
pembentukan
lesi

Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Vol.9, No. 1, Januari 2013

6
aterosklerotik. Penelitian menggunakan tikus
Rattus norvegicus galur Sprague Dawley
jantan berumur 12 minggu dengan kadar
kolesterol total > 120 mg/dl yang diukur
setelah tikus diberi pakan tinggi lemak tinggi
kolesterol.
Pemberian perlakuan terhadap hewan
coba berlangsung selama 5 minggu, dari
tanggal 9 April 2005 sampai 13 Mei 2005.

busa belum terlihat secara jelas. Seperti


diketahui, aterosklerosis merupakan suatu
proses penyakit yang berjalan lambat namun
progresif. Hasil penelitian ini menunjukkan
adanya perbedaan ketebalan dinding aorta
pada kelompok yang mendapat likopen
dibandingkan kelompok yang tidak mendapat
likopen, walaupun dari pemeriksaan jumlah
sel busa tidak dijumpai adanya perbedaan

Hasil penelitian terbukti likopen dapat


menurunkan kadar kolesterol total dan
kolesterol LDL secara signifikan.37 Selain itu,
akibat pemberian suplementasi likopen terlihat
kadar likopen serum yang meningkat, dimana
likopen
merupakan
antioksidan
yang
potensial, yang dibuktikan dengan penurunan
kadar lipid terperoksidasi secara signifikan
pada kelompok yang mendapat suplementasi

yang bermakna.

likopen dibandingkan dengan kelompok


kontrol yang hanya mendapat PTLTK.37 Hal
tersebut sejalan dengan rerata sel busa yang
paling banyak dijumpai pada P0 yaitu
kelompok yang hanya diberi PTLTK
dibanding rerata sel busa pada kelompok yang
mendapat suplementasi likopen (P1, P2, P3),
walaupun analisis statistik tidak menunjukkan
perbedaan yang bermakna. Hanya terdapat

likopen dibandingkan dengan kelompok


yang tidak mendapat likopen.
3. Ketebalan dinding aorta abdominalis tidak
berbeda pada kelompok yang mendapat
likopen 0,72 mg/hari dan 1,08 mg/hari.

perbedaan jumlah sel busa secara bermakna


pada kelompok kontrol (tanpa likopen)
dibandingkan kelompok yang mendapat
likopen dosis 0,72 mg/hari.
Lamanya
dilakukan
penelitian
berpengaruh terhadap jumlah sel busa yang
terbentuk. Penelitian ini yang hanya
berlangsung selama 5 minggu, terutama
pemberian induksi hiperkolesterol yang
berlangsung 2 minggu, dapat menyebabkan
pengaruh likopen terhadap pembentukan sel

Simpulan
1. Jumlah sel busa pada tikus Sprague
Dawley hiperkolesterolemia yang diberi
likopen 0,36 mg/hari, 0,72 mg/hari dan
1,08 mg/hari tidak berbeda dengan
kelompok yang tidak mendapat likopen.
2. Ketebalan dinding aorta abdominalis lebih
tipis pada kelompok yang mendapat

Daftar Pustaka
1. Parthasarathy
S,
Santanam
N,
Ramachandran S, Meilhac O. Oxidants
and antioxidants in atherogenesis: an
appraisal. Journal of Lipid Research. 1999;
40:2143-57.
2. Violi F, Micheletta F, Iuliano L.
Antioxidants
and
atherosclerosis.
European Heart Journal Supplements.
2002;4(Supplement B):B17-B21.
3. Diaz MN, Frei B, Vita JA, Keaney JF.
Antioxidants and atherosclerotic heart
disease. The New England Journal of
Medicine. 1997;337:6:408-16.

Nasution, Pengaruh Pemberian Likopen terhadap Perkembangan

7
4. Rong JX et al. Arterial injury by
cholesterol oxidation products causes
endothelial dysfunction and arterial wall
cholesterol accumulation. Arterioscler
Thromb Vasc Biol. 1998;1885-93.
5. Rong JX, Shen L, Chang YH, Richters A,
Hodis HN, Sevanian A. Cholesterol
oxidation products induce vascular foam
cell
lesion
formation
in

12. Ross
R.
Atherosclerosis

An
inflammatory disease. The New England
Journal of Medicine. 1999;340:115-26.
13. Hansson GK, Libby P, Schnbeck U, Yan
ZQ. Innate and adaptive immunity in the
pathogenesis of atherosclerosis. Circ Res.
2002;91:281-91.
14. Hansson GK. Immune mechanism in
atherosclerosis. Arteriosclerosis, Throm-

hypercholesterolemic New Zealand White


Rabbits. Arterioscler Thromb Vasc Biol.
1998;2180-7.
6. Osterud B and Bjorklid E. Role of
monocytes in atherogenesis. Physiol Rev.
2003;83:1069-1112.
7. Schoen FJ, Cotran RS. Blood Vessels. In:
Robbins Pathologic Basis of Disease.
Sixth Edition. Philadelphia. WB. Saunders

bosis, and Vascular Biology. 2001


;21:1876-919.
15. Anonimus. Creactive protein, inflammation and atherosclerosis: do we really
understand it yet?. European Heart
Journal. 2000;21:958-60.
16. Carr AC, Zhu BZ, Frei B. Potential
antiatherogenic mechanisms of ascorbate
(vitamin C) and -tocopherol (vitamin E).

Co. 1999;493-541.
8. Mayes PA. Sintesis, pengangkutan, dan
ekskresi kolesterol. In: Murray RK,
Granner DK, Mayes PA, Rodwell VW,
editor. Biokimia Harper. Edisi 25. Penerbit
Buku Kedokteran. EGC. 2001:270-81.
9. Schaefer EJ. Lipoprotein, nutrition, and
heart disease. Am J Clin Nutr. 2002;
75:191-212.

American Heart Association, Inc. 2000;


349-54.
17. Agarwal S, Rao AV. Tomato lycopene and
its role in human health and chronic
diseases. CMAJ. 2000;163 (6):739-44.
18. Rao AV. Lycopene, tomatoes, and the
prevention of coronary heart disease. Exp
Biol Med. 2002;227:908-13.
19. Schmitz H and Chevaux K. Defining the

10. Sargawo D. Peranan kadar trigliserida dan


lipoprotein sebagai faktor resiko penyakit
jantung koroner (studi pendahuluan).
[cited 2006 Feb 26]. Available from:
www.tempointeraktif.com/medika/arsip/07
2002/art-1.htm
11. Altman PL and Dittmer DS. Blood lipids.
Vertebrates other man. Biology data book.
2nd Ed. Federation of American Societies

role of dietary phytochemicals in


modulating human immune function. In:
Gershwin ME, German JB, Keen CL,
editor. Nutrition and Immunology
Principles and Practice. Humana Press Inc.
2000;107-119.
20. Mitchell RN, Cotran RS. Acute and
chronic inflammation. In: Kumar V,
Cotran RS, Robbins SL, editor. Basic

for Experimental
1974:1816.

Biology.

Maryland

Pathology. Sixth edition.WB Saunders


Company: 25-46.

Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Vol.9, No. 1, Januari 2013

8
21. Stokes KY and Granger DN. The
microcirculation: a motor for the systemic
inflammatory response and large vessel
disease induced by hypercholesterolaemia?. J Physiol. 2005;562.3:647-53.
22. Faxon DP et al. Atherosclerotic vascular
disease conference. Writing Group III :
Pathophysiology. Circulation. 2004;109:
2617-25.

Mar
5].
Available
from:
http://www.leffingwell.com/lycopene.htm
30. Agarwal S, Rao AV. Tomato lycopene and
low-density lipoprotein oxidation: a
human dietary intervention study. Lipids.
1998;33:981-4.
31. Rissanen TH, Voutilainen S, Nyyssnen
K, Salonen R, Kaplan GA, Salonen JT.
Serum lycopene concentrations and carotid

23. Joris I, Zand T, Nunnari JJ, et al. Studies


on the pathogenesis of atherosclerosis.
Adhesion and emigration of mononuclear
cells in the aorta of hypercholesterolemic
rats. American Journal of Pathology.
2000;133:341-58.
24. Michael A, Gimbrone Jr. Vascular
endothelium, hemodynamic forces, and
atherogenesis. American Journal of

atherosclerosis: the Kuopio Ischaemic


Heart Disease Risk Factor Study. Am J
Clin Nutr. 2003;77:133-8.
32. Arab L, Steck S. Lycopene and
cardiovascular disease. Am J Clin Nutr.
2000; 71(suppl):1691S-5S.
33. Anonimus. Lycopene info and products,
may prevent cancer and heart disease.
Bodybuilding.com: 1-2.

Pathology. 1999;155:1-5.
25. Stary HC et al. A definition of initial, fatty
streak, and intermediate lesions of
atherosclerosis. Circulation. 1994;89:
2462-78.
26. Constantinides P. The commonest causes
of anoxic necrosis.
In:
General
Pathobiology. Connecticut: Appleton &
Lange. 1994:59-116.

34. Fuhrman B, Elis A, Aviram M.


Hypocholesterolemic effect of lycopene
and -carotene is related to suppression of
cholesterol synthesis and augmentation of
LDL receptor activity in macrophages.
Biochemical and Biophysical Research
Communications. 1997;233(3):658-62.
35. Chew BP and Park JS. Carotenoid action
on the immune response. American

27. Bender DA. Diet and health: the diseases


of affluence. In: Introduction to Nutrition
and Metabolism. 2nd edition. Taylor &
Francis Ltd. 1997:11-32.
28. Anonimus. Lycopene. [cited 2006 Mar 5].
Available
from:
http://www.naturalfacts.com.au/lycopene.h
tml
29. Leffingwell JC. Lycopene The ultimate

Society
for
Nutritional
Sciences.
2004;257S-61S.
36. Sesso HD, Buring JE, Norkus EP, Gaziano
JM. Plasma lycopene, other carotenoids,
and retinol and the risk of cardiovascular
disease in women. Am J Clin Nutr.
2004;79:47-53.
37. Haryanti EH. Pengaruh pemberian likopen
terhadap
profil
lipid
dan
lipid

phytochemical nutraceutical? [cited 2006

terperoksidasi serum tikus (Rattus


norvegicus galur Sprague Dawley)

Nasution, Pengaruh Pemberian Likopen terhadap Perkembangan

9
hiperkolesterolemia. Tesis. Program Studi
Magister Ilmu Biomedik. Program

Pascasarjana Universitas
Semarang. 2006.

Diponegoro.

Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Vol.9, No. 1, Januari 2013

Analisis Faktor-Faktor yang berhubungan dengan Kejadian Stunting pada


Balita di Ciputat
Nuraini Djunet1, Tria Astika Endah Permatasari2
1
Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah
Jakarta, 2Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Jakarta
Abstrak
Stunting merupakan salah satu masalah kesehatan utama di Indonesia. Balita merupakan kelompok
rentan terjadinya stunting. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui faktor- faktor yang berhubungan
dengan stunting agar dapat dilakukan langkah pencegahan yang lebih sesuai di Ciputat. Metode
penelitian ini adalah studi cross sectional yang dilaksanakan pada April- Agustus 2013. Berdasarkan
kriteria penelitian didapatkan 75 subyek. Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara,
pengukuran antropometri. Proporsi kejadian stunting di Ciputat mencapai 33%. Pemberian ASI
eksklusif (p=0,007), riwayat makan (p<0,001), dan pengetahuan gizi ibu (p=0,001) diketahui
berhubungan. Demikian juga dengan asupan karbohidrat (p=0,011), protein (p=0,038), vitamin A
(p=0,031), vitamin C (p=0,024), dan kalsium (p=0,008). Terdapat hubungan antara pengetahuan gizi
ibu serta asupan zat gizi makro dan mikro dengan terjadinya stunting pada balita di Ciputat, sehingga
perlu digalakkan penyuluhan yang lebih atraktif dan mengedepankan pentingnya pola makan
seimbang.
Kata Kunci: Pemberian ASI eksklusif, Stunting, balita

Analysis of Factors associated with the incidence of Stunting on Toddlers in


Ciputat
Abstract
Stunting is one of the major health problems in Indonesia. Toddlers are particularly vulnerable
occurrence of stunting. The purpose of this study was to determine the factors associated with
stunting in order to do a more appropriate preventive measures in Ciputat. Methods this study was a
cross sectional study conducted in April-August 2013. Based on the criteria obtained 75 research
subjects. Data was collected through interviews, anthropometric measurements. The proportion of
stunting in Ciputat incidence reached 33%. Exclusive breastfeeding (p = 0.007), a history of eating (p
<0.001), and maternal nutrition knowledge (p = 0.001) known to be associated. Likewise, the
carbohydrate intake (p = 0.011), protein (p = 0.038), vitamin A (p = 0.031), vitamin C (p = 0.024),
and calcium (p = 0.008). There is a relationship between maternal nutrition knowledge and nutrient
intake of macro and micro with the occurrence of stunting in children under five in Ciputat, so it
needs to be encouraged education more attractive and emphasizes the importance of a balanced diet.
Keywords: Exclusive breastfeeding, stunting, toddler

Pendahuluan
Stunting adalah keadaan gagal tumbuh
di mana tinggi badan tidak sesuai dengan usia
biologis atau berada di bawah nilai dua zscore.1 Keadaan ini biasanya mulai terjadi saat

Stunting termasuk salah satu masalah


kesehatan utama di seluruh dunia terutama
negara berkembang, karena mendera 178 juta
balita di seluruh dunia.
Prevalensi stunting di Asia secara umum

bayi berusia enam bulan, karena pada saat ini


terjadi peralihan dari ASI ke MPASI.2

menurun dari 49% (1990) menjadi 28%


(2010). Sejalan dengan ini prevalensi di Asia

10

11
Tenggara juga menurun, dari 47% (1990)
menjadi 26,7% (2010).3 Berbeda dengan data
di Asia Tenggara secara umum, prevalensi
stunting di Indonesia tidak banyak berubah.
Berdasarkan beberapa survei diketahui jika
prevalensi sempat meningkat di atas 40% pada
dekade 90an.4 Berdasarkan data Riskesdas,
prevalensi mencapai 36,8%5 yang kemudian
sedikit menurun pada tahun 2010 menjadi

berusia 13-59 bulan yang diambil dari


populasi dan memenuhi kriteria penelitian
serta secara tertulis (diwakilkan oleh ibu
balita) menyatakan bersedia mengikuti
penelitian dengan menandatangani formulir
persetujuan.
Besar
sampel
dihitung
berdasarkan rumus Lameshow, ditambah
dengan 10% sebagai perkiraan drop out maka
jumlah subjek keseluruhan 75 balita. Teknik

35,6%.6 Angka ini masih cukup jauh dari


target RJPM tahun 2014 yang menargetkan
prevalensi stunting 32%.
Etiologi stunting sangat kompleks, dua
faktor utama yang berperan adalah asupan
nutrisi tidak adekuat dan infeksi.7 Terkait
nutrisi, stunting sering disebut juga malnutrisi
kronik. Infeksi dalam hal ini sangat
multifaktor, di mana terdapat peran faktor

pengambilan sampel yang digunakan adalah


consecutive sampling. Subjek penelitian
diukur tinggi badan (TB) dengan microtoise
dan BB dengan timbangan dacin. Kepada ibu
subjek diajukan beberapa pertanyaan terkait
food recall 2 x 24 jam, yang meliputi satu hari
kerja dan satu hari libur dan kemudian diambil
rerata dari keduanya, frekuensi diare, dan
karakteristik balita sesuai dengan kuesioner.

sosial- ekonomi dan lingkungan. Stunting


dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan
menetap yang selanjutnya dapat meningkatkan
risiko morbiditas dan mortalitas.8
Secara global termasuk di Indonesia
berbagai upaya pencegahan telah dilakukan.
Namun kenyataannya prevalensi stunting di
Indonesia belum sesuai dengan yang
diharapkan. Untuk itu perlu dilakukan

Ujicoba kuesioner sebelumnya dilakukan pada


10 subjek homogen di tempat berbeda.
Analisis food recall dengan program
nutrisurvey, daftar bahan makanan penukar
(DBMP), dan daftar analisis bahan makanan
(DABM). Analisis data dilakukan dengan
program SPSS v.20.

penelitian untuk mengetahui faktor- faktor


yang berhubungan dengan stunting agar dapat
dilakukan langkah pencegahan yang lebih
sesuai.
Metode
Penelitian ini merupakan penelitian
deskriptif dengan pendekatan potong lintang,
retrospektif, dan pengambilan data di beberapa
posyandu
wilayah
kerja
Puskesmas
Kecamatan Ciputat Timur periode April
Agustus 2013. Subjek penelitian adalah balita

Hasil
Berdasarkan

kriteria

penelitian

didapatkan 75 subjek penelitian. Setelah


dilakukan informed consent kepada ibu
subjek,
kemudian
dilakukan
berbagai
pengukuran terhadap subjek dan wawancara
terstruktur terhadap ibu subjek. Dari
karakteristik subjek didapatkan, 43% subjek
memiliki riwayat makan baik, 62% ibu dengan
pengetahuan gizi baik, dan 73% subjek dengan
riwayat frekuensi diare < 3x/ 3 bulan terakhir.

Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Vol.9, No. 1, Januari 2013

12
Tabel 1 Proporsi Kejadian Stunting
Variabel

N
51
24
75

Tidak stunting
Stunting
Total

%
67
33
100

Tabel 2 Karakteristik Demografi Subjek


Variabel
Riwayat kehamilan ibu
Riwayat Kelahiran
Riwayat ASI
Riwayat makan

Pengetahuan gizi ibu

Frekuensi diare

Kategori
Tidak bermasalah
Bermasalah
Spontan
Tidak spontan
Eksklusif
Tidak Eksklusif
Baik
Cukup
Buruk
Baik
Cukup
Kurang
< 3 kali/3 bulan terakhir
3 kali/3 bulan terakhir

n (%)
22 (30)
53 (70)
58 (77)
17 (23)
30 (40)
45 (60)
32 (43)
26 (34)
17 (23)
46 (62)
19 (25)
10 (13)
55 (73)
20 (27)

Secara umum asupan energi dan zat gizi

mempunyai tingkat asupan lemak <80% AKG

makro subjek adalah baik, di mana 80%


AKG. Pada penelitian ini diperoleh rerata
asupan energi subjek adalah 760 242 kkal.
Data penelitian menunjukkan sebagian besar
(71%) subjek mempunyai tingkat asupan
karbohidrat 80% AKG. Demikian juga
dengan asupan protein. Kami mendapatkan
rerata asupan protein subjek 29 8 gr. Pada
tabel 3 dapat dilihat bahwa sebagian besar

hanya sebanyak 23 orang (30).


Rerata asupan vitamin A yang kami
dapatkan pada subjek adalah 420 24 RE
Variabel asupan vitamin A dibagi atas dua
kategori yaitu <100% AKG dan 100% AKG.
Vitamin C yang berperan pada metabolisme
kalsium dan kolagen rata-rata dikonsumsi
subjek sebanyak 44 6 mg. Kami dapatkan
rerata asupan kalsium subjek sebanyak 450

(70%) subjek mempunyai tingkat asupan


lemak 80% AKG. Sedangkan subjek yang

150 mg. Sebanyak 79% subjek mengkonsumsi


kalsium 100% AKG.

Djunet & Permatasari, Analisis Faktor-Faktor yang berhubungan

13
Tabel 3 Distribusi Asupan Zat Gizi
Variabel
Asupan Zat Gizi Makro
Asupan Karbohidrat
Asupan Protein
Asupan Lemak

Asupan Zat Gizi Mikro


Asupan Vitamin A
Asupan Vitamin C
Asupan Besi
Asupan Kalsium
Asupan Yodium
Asupan Magnesium

Kategori

n (%)

<80% AKG
80% AKG
<80% AKG
80% AKG
<80% AKG
80% AKG

22 (29)
53 (71)
22 (29)
53 (71)
23 (30)
52 (70)

<100% AKG
100% AKG
<100% AKG
100% AKG
<100% AKG
100% AKG
<100% AKG
100% AKG
<100% AKG
100% AKG
<100% AKG
100% AKG

12 (16)
63 (84)
21 (28)
54 (72)
24 (32)
51 (68)
16 (21)
59 (79)
14 (19)
61 (81)
20 (27)
55 (73)

Dari beberapa karakteristik yang kami teliti,

ibu berhubungan dengan kejadian stunting

diketahui riwayat makan dan pengetahuan gizi

pada balita.

Tabel 4 Hubungan Karakteristik Subjek Dengan Kejadian Stunting


Variabel
Riwayat kehamilan
Tidak bermasalah
Bermasalah
Riwayat kelahiran
Spontan
Tidak spontan
Riwayat pemberian ASI
Eksklusif
Tidak eksklusif
Riwayat makan
Baik
Cukup
Buruk
Pengetahuan gizi ibu
Baik
Cukup
Buruk
Frekuensi diare
< 3 kali/3 bulan terakhir
3 kali/3 bulan terakhir

Status gizi
Tidak stunting
Stunting

P value

OR
95% RK

0,610
14
36

8
17

36
26

14
13

0,026

2,909
(1,114-7,595)

41
14

9
11

0,007*

3,605
(1,377-9,436)

4
21
14

28
5
3

0,000*

3
11
36

7
8
10

0,001*

8
41

11
14

0,004*

3,819
(1,511-9,652)

Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Vol.9, No. 1, Januari 2013

14
Dari hasil uji statistik terdapat hubungan
yang bermakna antara asupan karbohidrat
dengan kejadian stunting pada balita (p=
0,011; 95%RK (1,278-7,787)). Balita dengan
asupan karbohidrat <80% AKG berpeluang
mengalami stunting 3,1 kali lebih besar
dibandingkan
balita
dengan
asupan

karbohidrat 80% AKG. Demikian juga


dengan hubungan antara asupan protein
dengan kejadian stunting. Kejadian stunting
pada balita dengan asupan protein <80% AKG
2,6x lebih besar dibandingkan asupan protein
80% AKG.

Tabel 5 Hubungan Asupan Zat Gizi Dengan Kejadian Stunting


Variabel
Asupan Zat Gizi Makro
Karbohidrat
80% AKG
< 80% AKG
Protein
80% AKG
< 80% AKG
Lemak
80% AKG
< 80% AKG
Asupan Zat Gizi Mikro
Vitamin A
100% AKG
< 100% AKG
Vitamin C
100% AKG
< 100% AKG
Besi
100% AKG
< 100% AKG
Kalsium
100% AKG
< 100% AKG
Yodium
100% AKG
< 100% AKG
Magnesium
100% AKG
< 100% AKG

Status gizi
Tidak stunting
Stunting

P value

OR
95% RK

40
11

13
11

0,011*

3,155
(1,278-7,787)

39
11

14
11

0,038*

2,554
(1,041-6,271)

39
16

14
14

0,180

45
5

18
7

0,031*

3,214
(1,075-9,611)

40
11

14
10

0,024*

2,789
(1,126-6,912)

37
13

14
11

0,043*

2,451
(1,018-5,902)

43
7

16
9

0,008*

3,683
(1,357-9,991)

44
6

17
8

0.010*

3,688
(1,311-10,370)

39
11

16
9

0,139

Hasil analisis bivariat menunjukkan


adanya hubungan bermakna antara asupan
vitamin A dengan stunting (p=0,031; 95%RK
(1,075-9,611)). Kami mendapatkan balita
dengan asupan vitamin A <100% AKG

vitamin A 100% AKG. Demikian juga


dengan asupan vitamin C (p=0,024; 95%RK
(1,126-6,912)). Subjek dengan asupan besi
<100% AKG berpeluang mengalami stunting
2,4 kali lebih besar dibandingkan subjek

berpeluang mengalami stunting 3,2 kali lebih


besar dibandingkan balita dengan asupan

dengan asupan besi 100% AKG. Kalsium


yang berperan untuk pertumbuhan tulang

Djunet & Permatasari, Analisis Faktor-Faktor yang berhubungan

15
didapatkan juga berhubungan (p=0,008;
95%RK (1,357-9,991)) dengan kejadian
stunting.
Diskusi
Prevalensi stunting di Ciputat mencapai
33%, sedikit lebih rendah dibandingkan angka
nasional yang 35,6% (Riskesdas, 2010). Data
stunting untuk Provinsi Banten berbeda
dengan beberapa provinsi lainnya di

Regulasi yang diterbitkan terkait program


pemberian ASI (PPASI) di antaranya adalah
UU No.36 Tahun 2009 tentang kesehatan
dalam pasal 128 dan 129. Kepmenkes No.
450 Tahun 2004 tentang pemberian ASI
eksklusif pada bayi di Indonesia. Kepmenkes
No. 237 tahun 1997 tentang pemasaran
pengganti ASI di dalamnya antara lain diatur
bahwa sarana pelayanan kesehatan dilarang

Indonesia. Prevalensi stunting di Banten tahun


2001 mencapai 42% dan kemudian menurun
tajam menjadi 28% di tahun 2003.9 Jika
dibandingkan dengan data rerata stunting di
negara berkembang yang 39%,10 angka di
Ciputat ini memang masih lebih rendah.
Namun bila dibandingkan dengan batas non
public health problem menurut WHO untuk
stunting yang 20%, maka wilayah Ciputat

menerima sampel atau sumbangan susu


formula bayi dan susu formula lanjutan atau
menjadi ajang promosi susu formula. Pada
Pekan ASI sedunia tahun 2010, Kemenkes RI
juga meluncurkan program menyusui yaitu
Sepuluh Langkah Menuju Sayang bayi,
dengan slogan Sayang Bayi, Beri ASI.
Kemudian PP No.3 Tahun 2012 tentang
pemberian ASI eksklusif dan Permenkes No.

Timur ini masih dalam kondisi bermasalah.


Kondisi ini sangat memprihatinkan karena
dapat mengancam kualitas sumber daya
manusia di masa yang akan datang.
Berhubungan dengan kualitas sumber daya
manusia karena stunting berhubungan dengan
gangguan kognitif ireversibel. Dampak yang
ditimbulkan oleh stunting bersifat permanen,
karena subjek tidak akan dapat mengejar

15 tahun 2013 tentang cara penyediaan


fasilitas khusus menyusui dan atau memerah
ASI dan Permenkes No. 39 tahun 2013
tentang susu formula bayi dan produk bayi
lainnya. Pekan ASI sedunia tahun 2013
mengangkat tema global breastfeeding
support: close to mothers. Tema ini
menggarisbawahi
tentang
pentingnya
konseling oleh teman sebaya. Konseling oleh

ketertinggalan pertumbuhan tinggi badan yang


terhambat setelah window opportunity pada
usia 9 24 bulan tertutup.
Berdasarkan data univariat yang kami
peroleh didapatkan angka ASI eksklusif di
wilayah kerja Puskesmas Ciputat Timur
mencapai 40%. Angka ini masih jauh di
bawah target cakupan ASI eksklusif nasional
yang 80%. Beberapa regulasi telah ditetapkan

teman sebaya merupakan upaya efektif dalam


menjangkau lebih banyak ibu secara intensif.
Konselor oleh teman sebaya umumnya
seseorang yang berasal dari komunitas sekitar
ibu yang telah dilatih untuk membantu ibu
menyusui. Kunci keberhasilan menyusui
adalah melalui dukungan terus menerus dan
berkelanjutan kepada ibu menyusui baik di
rumah dan komunitas sekitarnya.

oleh pemerintah untuk meningkatkan cakupan


pemberian ASI eksklusif di Indonesia.

Walaupun regulasi dan program telah


ditetapkan namun cakupan pemberian ASI

Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Vol.9, No. 1, Januari 2013

16
eksklusif masih jauh dari target nasional. Data
Riskesdas 2010 menyatakan cakupan ASI
eksklusif mencapai 27,2%. Ditjen Bina Gizi
dan KIA Kemenkes RI menyatakan cakupan
pemberian ASI eksklusif pada bayi 0-6 bulan
di Indonesia menunjukkan penurunan dari
61,5% di tahun 2010 menjadi 61,1% pada
tahun 2011. Meskipun terdapat peningkatan
pada cakupan pemberian ASI eksklusif pada

petugas kesehatan dan di sarana kesehatan


juga menjadi hambatan dalam meningkatkan
pemberian ASI eksklusif. Penelitian mengenai
dukungan menyusui dari petugas kesehatan
menunjukkan bahwa bidan dalam melakukan
kegiatan
pemasaran
sosial
mengenai
pemberian ASI eksklusif pada ibu dan
keluarga masih kurang, dan kegiatan program
ASI eksklusif yang dilaksanakan bidan di

bayi berusia enam bulan. Di mana 33,6% pada


tahun 2010 menjadi 38,5% pada tahun 2011.
Rendahnya cakupan ASI eksklusif di
Indonesia tidak jauh berbeda dengan negara
berkembang lainnya. Penelitian Dashti di
Kuwait mendapatkan cakupan ASI eksklusif
hanya mencapai 10,5%. Data cakupan ASI
eksklusif di Kalimantan Barat tahun 2009
mencapai 35%. Meskipun belum sesuai target

puskesmas ternyata belum optimal. Padahal di


penelitian lain menunjukkan bahwa bidan
memiliki persepsi yang baik terhadap
sosialisasi program ASI eksklusif yang
dilakukan oleh pemerintah. Untuk itu perlu
dilakukan kajian dan penelitian mendalam
untuk mengetahui penyebab terjadinya
kesenjangan ini.
Penelitian ini mendapatkan tidak adanya

cakupan nasional namun setidaknya lebih


tinggi dibandingkan angka cakupan nasional,
seperti halnya yang terjadi di Ciputat Timur
ini. Kegagalan pemberian ASI eksklusif
berhubungan dengan faktor ibu serta petugas
kesehatan. Studi kualitatif tentang promosi
ASI eksklusif oleh Abba tahun 2009 di
Jabotabek menyatakan bahwa ibu dan
keluarga kurang mendapatkan informasi

hubungan (p=0,610) antara riwayat kehamilan


ibu dengan kejadian stunting pada balita. Hasil
ini tidak sejalan dengan teori yang ada. Hal ini
diduga karena sebagian besar (70%) ibu tidak
mengalami masalah yang berarti selama
kehamilan. Kehamilan bermasalah diketahui
dari riwayat mual muntah hebat selama
kehamilan sehingga menurunkan nafsu makan
subjek dan mengurangi asupan zat gizi makro

tentang ASI eksklusif dari petugas kesehatan.


Sehingga perlu ada peningkatan kegiatan
promotif oleh tenaga kesehatan secara
profesional dan pengawasan secara teratur
oleh lembaga terkait dalam upaya peningkatan
pemberian ASI eksklusif. Penelitian lain
menyatakan bahwa tingkat pendidikan, usia
ibu, status ibu bekerja, tempat melahirkan,
keluarga atau masyarakat, dan gencarnya

dan mikro. Selama kehamilan didapatkan


riwayat mual muntah yang terjadi normal
yaitu pada trimester pertama kehamilan,
sehingga tidak didapatkan penurunan asupan
zat gizi yang berarti pada ibu subjek.
Kami
mendapatkan
bahwa
ada
hubungan (p=0,026) antara riwayat kelahiran
dengan kejadian stunting pada balita. Hasil ini
sejalan dengan teori yang ada. Subjek yang

promosi susu formula oleh produsen susu


kepada konsumen yang dilakukan oleh

lahir dengan riwayat kelahiran tidak spontan


akan berpeluang mengalami stunting 2,9 kali

Djunet & Permatasari, Analisis Faktor-Faktor yang berhubungan

17
lebih besar (95% RK 1,1% - 7,5%)
dibandingkan dengan subjek yang lahir
spontan. Hal ini karena subjek yang lahir tidak
spontan cenderung lebih mudah mengalami
gangguan asupan zat gizi pada masa neonatus
dan selanjutnya. Terlebih lagi jika riwayat
kelahiran tidak spontan itu dikarenakan
keadaan ibu yang kurang baik. Keadaan ibu
yang kurang baik di antaranya adalah status

terjadinya stunting pada balita.12 Fikree dkk di


Pakistan mendapatkan hasil yang berbeda, di
mana tidak didapatkan hubungan antara
pemberian ASI dengan stunting.13 Dalam
pembahasannya Fikri dkk menyatakan hal ini
mungkin berhubungan dengan keadaan
ekonomi keluarga subjek yang tergolong
rendah dan sangat rendah. Keadaan ekonomi
keluarga yang miskin berhubungan dengan

gizi ibu. Status gizi kurang pada ibu


meningkatkan risiko kelahiran tidak spontan.
Kelahiran tidak spontan berhubungan dengan
menurunnya kesempatan bayi untuk menerima
ASI, terlebih lagi jika ibu atau bayi mengalami
penyulit pasca kelahiran. Penurunan asupan
yang berlanjut dan dalam jangka waktu lama
berhubungan dengan kejadian stunting pada
balita.

status gizi ibu dan kualitas serta kuantitas ASI,


sehingga pada populasi tersebut memang
banyak ibu yang memberikan minuman dan
makanan tambahan selain ASI.
Terdapat hubungan bermakna (p=0,001)
antara pengetahuan gizi ibu dengan kejadian
stunting pada balita. Hasil ini sejalan dengan
beberapa
penelitian
terdahulu.14,15,16
Pengetahuan gizi ibu berbanding terbalik

Berdasarkan
uji
analisis
kami
mendapatkan adanya hubungan (p=0,007)
antara riwayat pemberian ASI eksklusif
dengan kejadian stunting pada balita.
Diketahui bahwa bayi yang tidak mendapatkan
ASI eksklusif berisiko untuk mengalami
stunting 3,6x (95%RK 1,3% - 9,4%) lebih
besar pada saat balita, dibandingkan dengan
bayi yang mendapatkan ASI eksklusif.

dengan kejadian stunting.17,18,19 Bairagi16 dan


Solon dkk20 mendapatkan hasil serupa, namun
hubungan positif ini terbatas pada populasi
dengan golongan ekonomi menengah dan
menengah ke atas. Pengetahuan gizi ibu tidak
berhubungan dengan stunting pada golongan
ekonomi rendah. Keadaan ini tidak terjadi
pada populasi kami, meskipun golongan sosial
ekonomi populasi kami tergolong menengah

Sebelumnya telah kami kemukakan, jika


cakupan ASI eksklusif di Indonesia umumnya
dan di Ciputat Timur khususnya masih jauh di
bawah target nasional yang 80%. Hasil ini
sejalan dengan yang didapatkan Castillo11
tahun 1996 di Cili, di mana bayi yang tidak
mendapatkan
ASI eksklusif berisiko
mengalami stunting 1,6-1,8x lebih besar
dibandingkan dengan yang mendapat ASI

ke bawah namun didapatkan hubungan antara


pengetahuan gizi ibu dengan terjadinya
stunting pada balita.
Penelitian kami mendapatkan adanya
hubungan (p=0,004) frekuensi diare dengan
stunting pada balita. Balita yang mengalami
diare 3x/tahun berisiko mengalami diare 3,8
(95% RK 1,5% - 9,7%) kali lebih besar untuk
mengalami stunting. Hasil ini sejalan dengan

eksklusif. Taren dan Chen menyatakan lama


pemberian
ASI
berhubungan
dengan

yang didapatkan oleh Chekcley dkk,21 di


mana setiap episode diare akan meningkatkan

Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Vol.9, No. 1, Januari 2013

18
risiko stunting 1,025 (95% RK 1,01-1,04) kali.
Kemudian secara kumulatif peluang untuk
stunting akan meningkat 1,13 (95% RK 1,071,19) kali untuk setiap lima kali episode diare.
Rerata episode diare 9 kali per tahun pada
balita usia kurang dari dua tahun berhubungan
dengan ketertinggalan tinggi badan 3,6 cm
(95% RK 0,6-6,6) pada usia tujuh tahun kelak.
Hasil tidak berhubungan (p>0,05; 95%RK

tipe II merupakan zat gizi pertumbuhan


(growth nutrient) yang berperan pembentukan
jaringan dan hampir seluruh reaksi biokimia
tubuh. Sedikit defisiensi zat gizi ini akan
menyebabkan anak tidak tumbuh. Defisiensi
sedang dalam waktu lama berakibat terjadinya
stunting yang jika berlanjut terus atau bahkan
menjadi berat dapat juga menjadi wasting.
Semua jaringan membutuhkan zat gizi ini

1,23-1,26) dinyatakan dalam penelitian Lima


dkk.22 Dalam penelitiannya Lima dkk
mendapatkan hubungan negatif antara diare
dengan terjadinya wasting dan underweight
namun tidak dengan kejadian stunting.
Kami mendapatkan adanya hubungan
antara asupan zat gizi makro dengan
terjadinya stunting pada balita. Karbohidrat
merupakan sumber energi dan lipid

untuk pembelahan dan pertumbuhan sel, oleh


karena itu defisiensi zat gizi ini akan
membahayakan sel-sel tubuh yang memiliki
pertumbuhan dan atau pergantian yang sangat
cepat. Seperti halnya enterosit yang memiliki
waktu paruh tiga hari dan sel imun yang
memiliki waktu paruh hanya beberapa hari.
Oleh karena itu defisiensi protein ini dapat
berakibat pada malabsorpsi dan disfungsi

merupakan
sumber
cadangan
energi.
Keduanya diperlukan dalam jumlah cukup
agar protein yang berfungsi utama sebagai zat
pembangun dapat menjalankan fungsi
utamanya dan tidak digunakan sebagai sumber
energi. Asupan karbohidrat < 100% AKG
meningkatkan risiko mengalami stunting 3,2
kali lebih besar (95% RK 1,3% - 7,8%).
Kemudian asupan lipid < 100% AKG

sistem imun. Subjek dengan malabsorpsi dan


disfungsi sistem imun akan mudah sekali
mengalami
malnutrisi
dan
gangguan
pertumbuhan.
Zat gizi tipe II lainnya adalah
magnesium. Kami mendapatkan tidak ada
hubungan antara asupan magnesium dengan
terjadinya stunting. Belum diketahui dengan
pasti hubungan antara magnesium dengan

meningkatkan risiko stunting 2,9 kali lebih


besar (95% RK 1,2% - 7,0%). Selain itu
bagian dari lipid yang termasuk asam lemak
esensial, berperan juga dalam sistem
pertahanan tubuh. Asam lemak omega 3
berperan dalam pembentukan mediator antiinflamasi
Prostaglandin
(PG)A1.
Prostaglandin
A1
ini
menghasilkan
tromboksan (TX)A3 dan interleukin (IL)1

proses turnover tulang.23 Namun, sekresi


hormon parathormon dan kalsitonin yang
berperan pada metabolisme tulang dan
kalsium menurun secara bermakna pada
deplesi magnesium.24,25 Deplesi magnesium
diketahui sangat mempengaruhi terjadinya
osteoporosis dan osteomalasia pada penyakit
coeliac dan penyakit Crohns, yang oleh
karenanya diduga berperan pada terjadinya

yang merupakan mediator anti-inflamasi.


Protein merupakan zat gizi tipe II. Zat gizi

osteoporosis
malnutrisi.26
Magnesium
diketahui juga mempengaruhi status beberapa

Djunet & Permatasari, Analisis Faktor-Faktor yang berhubungan

19
zat gizi di dalam tubuh seperti kalium, tiamin,
dan natrium.
Selanjutnya adalah zat gizi tipe I, yang
di antaranya adalah kalsium, vitamin A,
vitamin C, besi, dan yodium. Kami
mendapatkan adanya hubungan antara semua
zat gizi tipe I ini dengan terjadinya stunting.
Meskipun tidak terkait langsung dengan
proses pertumbuhan, namun semua zat gizi ini

Daftar Pustaka
1. World Health Organization. Physical
status: the use and interpretation of
anthropometry. WHO technical report
series no. 854. Geneve:WHO, 1995
2. Caulfield LE, Richard SA, Rivera JA,
dkk. Stunting, wasting, and micronutrient
deficiency disorder. In: Disease control
priorities in developing countries.

sangat diperlukan untuk seluruh fungsi tubuh.


Kalsium termasuk salah satu regulator
parathormon dan kalsitonin. Vitamin A untuk
diferensiasi sel. Vitamin C membantu
penyerapan kalsium.

Washington DC: The world bank/ oxford


university press, 1995.
De Onis M, Blossner M, Borghi E.
Prevalence and trends of stunting among
pre-school children, 1990-2020. Public
Health Nutrition 2011;1017:1-7
Atmarita. Nutrition Problems in Indonesia
2005.
Artikel
untuk
An
IntegratedInternational
Seminar
and

Simpulan
1. Proporsi kejadian stunting pada balita di
Ciputat adalah 33%.
2. Diketahuinya beberapa faktor yang

3.

berhubungan dengan terjadinya stunting


pada balita di Ciputat adalah riwayat
kelahiran, riwayat pemberian ASI
eksklusif, riwayat makan, asupan
makronutrien, asupan mikronutrien
kecuali magnesium, frekuensi diare, dan
pengetahuan gizi ibu.
Diketahui faktor risiko yang paling
dominan dengan kejadian stunting pada

3.

4.

5.
6.
7.

balita di Ciputat adalah riwayat makan


dan pengetahuan gizi ibu.
8.
Saran
Perlu digalakkan penyuluhan gizi yang
lebih menarik atau atraktif untuk para ibu di
wilayah Ciputat. Pengetahuan gizi ibu yang
baik dapat mempengaruhi pola makan balita
dan diharapkan menurunkan kejadian
stunting pada balita di wilayah Ciputat.

9.

Workshop on Lifestyle-Related disease


2005:1-14
Departemen
Kesehatan
RI.2007.
Riskesdas
Departemen Kesehatan RI. 2010.
Riskesdas
Baqui AH, Black RE, Yunus MD, dkk.
Methodological issues in diarrhoeal
disease epidemiology: definition of
diarrhoeal episodes. Int J Epidemiol
1991;20:1057-63.
Souganidis E. Nobel Laureates in the
history of vitamin. Ann Nutr Metab
2012;61:265-9.
Hellen Keller International. Nutrition and
health surveillance in urban poor Jakarta,
key results for the period: december 1999september 2003. Ind Cris Bull
2004;10:111-21.

Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Vol.9, No. 1, Januari 2013

20
10. UNICEF. The progress of nations 2000.
New York: UNICEF 2000.
11. Castillo C. Breastfeeding and the
nutritional status or nursing children in
Chile. Bull. Pan. Am H Health
organization; 1996;30:125-33
12. Taren D, Chen J. A positive association
between extended breast-feeding and
nutritional status in rural Hubei Province,

19. Frost MB, Forste R, Haas DW. Maternal


education and child nutritional status in
Bolivia: findings the links, Social
Sciences and Medicine 1995. 60(2):395407
20. Solon FS, Florentino R, Arnold JC, Engel
RW, Aguillon DB, Tandez A, Zamora PP.
The Bulacan nutrition and health study:
part 1. Baseline socioeconomic and

Peoples Republic of China. Am J Clin


Nutr 1993;58(6):862-7.
13. Fikree F, Rahbar MH. Risk Factors for
stunting and wasting at age six, twelve
and twenty-four months for squaller
children of karachi, Pakistan, JPMA 2000;
50:341
14. Makoka D. The impact of maternal
education on child nutrition: evidence

related characteristicsof subjects families


and their impact on the nutritional health
of infants. Ecology of Food and Nutrition
1985. 16(4):299-315.
21. Checkley W, Buckley G, Gilman RH,
Assis AMO, Guerrant RL, Morris SS,
Molbak K, dkk. Multy-country analysis of
the effects of diarrhoea on childhood
stunting. Int J Epidemiol 2008;37:816-30.

from Malawi, Tanzania, and Zimbabwe.


DHS working papers 2013:84
15. Gwatkin DR, Rutstein S, Johnson K,
Suliman E, Wagstaf A, Amouzu A. Socioeconomic differences in health, nutrition,
and population within developing
countries: an overview. World Bank 2007.
16. Bairagi, R. Is Income the only constrait on
child nutrition in rural Bangladesh? Bull

22. Lima AAM, Moore SR, Barboza Jr MS,


Soares AM, Schleupner MA, Newman
RD, Sears CL, dkk. Persistent Diarrhea
Signals a Critical Period of Increased
Diarrhea Burdens and Nutritional
Shortfalls: A Prospective Cohort Study
among Children in Northeastern Brazil.
JID 2000:81:1643-81
23. Daughaday WH, Hall K, Raben MS,

World Health Organ 1980. 58(5):767-72


17. Miller JE, Rodgers YV. Mothers
education and childrens nutritional
status: new evidence from cambodia.
Asian
Development
Review
2009:26(1);131-65.
18. Mukuria, A, Cushing J, Sangha J.
Nutritional status of children: results from
the demographic and helath surveys 1994-

Salmon WD, Jr., Van den Brande JL, van


Wyk
JJ.
Somatomedin:
proposed
designation for sulphation factor. Nature
1972;235:107.
24. Suh SM, Tashjian AH, Jr., Matsuo N,
Parkinson DK, FRASER D. Pathogenesis
of
hypocalcemia
in
primary
hypomagnesemia: normal end-organ
responsiveness to parathyroid hormone,

2001. DHS comparative reports 2005:10

impaired parathyroid gland function. J


Clin Invest 1973;52:153-60.

Djunet & Permatasari, Analisis Faktor-Faktor yang berhubungan

21
25. Ralston S, Boyle IT, Cowan RA, Crean
GP, Jenkins A, Thomson WS. PTH and
vitamin D responses during treatment of
hypomagnesaemic hypoparathyroidism.

Acta Endocrinol (Copenh) 1983;103:5358.


26. Nanji AA. Symptomatic hypercalcaemia
precipitated by magnesium therapy.
Postgrad Med J 1985;61:47-8.

Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Vol.9, No. 1, Januari 2013

Nefritis Lupus
Resna Murti Wibowo
Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah
Jakarta, Residen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Program
Pasca Sarjana Magister Biomedik Universitas Sebelas Maret
Abstrak
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) merupakan penyakit autoimun yang mengenai banyak organ
dan memberikan gejala klinik yang beragam. LES juga merupakan penyakit multisistem yang
disebabkan kerusakan jaringan akibat deposisi kompleks imun berupa ikatan antibodi dengan
komplemen. Prevalensi penyakit LES di Indonesia belum dapat dipastikan secara tepat, karena
sistem pelaporan masih berupa laporan kasus dengan jumlah penderita terbatas. Nefritis lupus
merupakan salah satu dari manifestasi paling serius dari LES biasanya muncul dalam 5 tahun setelah
diagnosis. Kejadian gagal ginjal jarang terjadi sebelum kriteria klasifikasi American College of
Rheumatology (ACR) terpenuhi. Nefritis lupus (NL) tampak jelas secara histologis pada kebanyakan
pasien dengan LES, bahkan mereka yang tidak menunjukkan manifestasi klinis penyakit ginjal. Data
prevalensi LES di Indonesia sampai saat ini belum ada. Jumlah penderita LES di Indonesia menurut
Yayasan Lupus Indonesia (YLI) sampai dengan tahun 2005 diperkirakan mencapai 5000 orang.
Gejala Nefritis Lupus umumnya berhubungan dengan hipertensi, proteinuria dan gagal ginjal. NL
diklasifikasikan menjadi 6 kelas Staging yang menentukan derajat tingkbat beratnya suatu NL,
sedangkan NL klas IV Disebut juga End-stage lupus nephritis. Pengobatan medikamentosa seperti
imunosupresan diperlukan pada NL kelas I hingga V, sedangkan tindakan invasif seperti terapi
pengganti ginjal hingga transplantasi diperlukan dalam penatalaksanaan NL adalah dengan RRT
antara lain dengan Dialisis dan Transplantasi Ginjal.
Kata Kunci: Nefritis, lupus, ginjal

Nephritis Lupus
Abstract
Systemic Lupus Erythematosus (LES) is an autoimmune disease that affects many organs and
provide a variety of clinical symptoms. LES is also a multisystem disease caused by tissue damage
due to immune complex deposition in the form of a bond with complementary antibodies. LES
disease prevalence in Indonesia could not be ascertained precisely, because the reporting system is
still a case report with a limited number of patients. Lupus nephritis is one of the most serious
manifestations of the LES usually appear within 5 years after diagnosis. Incidence of renal failure
rarely occurs before the classification criteria of the American College of Rheumatology (ACR) are
met. Lupus nephritis (NL) was evident histologically in the majority of patients with LES, even those
who do not show clinical manifestations of kidney disease. LES prevalence data in Indonesia until
now has not existed. Number of patients with LES in Indonesia, according to the Lupus Foundation
of Indonesia (YLI) up to 2005 is estimated at 5,000 people. Lupus Nephritis Symptoms commonly
associated with hypertension, proteinuria and renal failure. NL Staging classified into 6 classes
which determine the degree of severity of an NL tingkbat, while class IV NL Also called End-stage
lupus nephritis. Required medical treatment as an immunosuppressant in the NL classes I to V,
whereas invasive measures such as renal replacement therapy by transplantation of NL is needed in
the management of the PRC, among others, to Dialysis and Kidney Transplant.
Keyword: Nephritis, lupus, kidney

22

23
Pendahuluan
Lupus Eritematosus Sistemik (LES)
merupakan penyakit multisistem yang
disebabkan kerusakan jaringan akibat deposisi
kompleks imun berupa ikatan antibodi dengan
komplemen.1,2,3 Nefritis lupus, merupakan
salah satu dari manifestasi paling serius dari
LES biasanya muncul dalam 5 tahun setelah
diagnosis. Kejadian gagal ginjal jarang terjadi

prevalensi LES lebih tinggi pada wanita (rasio


wanita:pria = 9:1), Nefritis Lupus juga lebih
sering dijumpai pada wanita, bagaimanapun
prognosis penyakit ginjal klinis lebih umum
pada pria dengan LES. 6,7
Kebanyakan pasien dengan LES terkena
nefritis lupus pada awal perjalanan
penyakitnya. LES lebih sering terjadi pada
wanita di dekade ketiga kehidupannya, dan

sebelum kriteria klasifikasi American College


of Rheumatology (ACR) terpenuhi. Nefritis
lupus (NL) tampak jelas secara histologis pada
kebanyakan pasien dengan LES, bahkan
mereka yang tidak menunjukkan manifestasi
klinis penyakit ginjal. Gejala Nefritis Lupus
umumnya berhubungan dengan hipertensi,
proteinuria dan gagal ginjal.1
Keterlibatan ginjal pada LES merupakan

Nefritis Lupus juga sering terjadi pada pasien


usia 20-40 tahun.8,9 Morbiditas dari Nefritis
Lupus terkait dengan penyakit ginjalnya
sendiri, selain komplikasi pengobatan dan
komorbiditas seperti penyakit kardiovaskular
dan trombosis. Gagal ginjal progresif dapat
berakhir pada anemia, uremia dan gangguan
asam basa serta elektrolit.10
Tujuan penulisan ini memaparkan

manifestasi penyakit yang umum dijumpai.


Prevalensi penyakit ginjal pada 8 studi kohort
besar yang terdiri atas 2.649 pasien LES
bervariasi antara 31-65%. Suatu studi
menganalisis insidensi tahunan dari nefritis
pada 384 pasien lupus di John Hopkins
Medical Center antara 1992-1994, dan
didapatkan insidensi penyakit ginjal akut
sebesar 10 persen.3 Berdasarkan data dari

etiopatogenesis dan pendekatan diagnosis


serta penatalaksanaan Terapi dari pasien
dengan Penyakit Ginjal Kronik dari nefritis
lupus.

Asia, keterlibatan renal berkisar antara 6100% secara keseluruhan.4 sedangkan di kota
Solo gangguan fungsi ginjal ditemukan pada
68% penderita LES dan kelainan ini
merupakan penyebab kematian yang paling
banyak. 5
LES lebih sering pada orang kulit hitam
dan ras Hispanik dibandingkan kulit pulih.
Nefritis Lupus yang berat terutama lebih

yang beragam. Penyakit autoimun adalah


setiap penyakit dimana sistim imun tubuh
terganggu dan diduga mengalami gangguan,
sehingga kehilangan kemampuan untuk
membedakan antara self dan nonself.1,2
Penyakit autoimun ditandai dengan adanya
produksi antibodi terhadap tubuh sendiri
(autoantibodi) secara berlebihan sehingga
menyebabkan kerusakan jaringan tubuh dan

sering ditemukan pada orang kulit hitam dan


ras Asia dibandingkan ras lain. Karena

menimbulkan respon inflamasi.4

Lupus Eritematosus Sistemik


A. Definisi
Lupus Eritematosus Sistemik (LES)
merupakan penyakit autoimun yang mengenai
banyak organ dan memberikan gejala klinik

Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Vol.9, No. 1, Januari 2013

24
B. Epidemiologi
Prevalensi LES di berbagai negara
sangat bervariasi, berkisar 40 kasus per
100.000 penduduk di Eropa Utara sampai
lebih dari 200 per 100.000 penduduk seperti
bangsa negro. LES lebih sering ditemukan
pada ras tertentu seperti bangsa negro, Cina
dan mungkin juga Filipina. Terdapat juga
tendensi familial. Faktor ekonomi dan

immunoglobulin dan sitokin yaitu gen yang


terdapat pada lokus Sle1, Sle2 dan Sle3.
Sistem neuroendokrin ikut berperan dalam
sistem
imun,
beberapa
penelitian
menunjukkan bahwa hormon estrogen dan
prolaktin dapat merangsang respon imun.17
Adanya satu atau beberapa faktor
pemicu (hormon seks, sinar ultraviolet,
infeksi, dll) yang tepat pada individu yang

geografi tidak mempengaruhi distribusi


penyakit.12 Prevalensi penyakit LES di
Indonesia belum dapat dipastikan secara tepat,
karena sistem pelaporan masih berupa laporan
kasus dengan jumlah penderita terbatas.
Insidensi penyakit LES di RSUPN Cipto
Mangunkusumo
Jakarta
sebesar
15
kasus/10.000 kasus dirawat (th 1971-1975)
kemudian meningkat 37,7/10.000 kasus (th

mempunyai predisposisi genetik akan


menghasilkan tenaga pendorong yang
abnormal terhadap sel T CD4, mengakibatkan
hilangnya toleransi sel T terhadap self antigen.
Sebagai akibatnya muncullah sel T autoreaktif
yang akan menyebabkan induksi serta
ekspansi sel B, baik yang memproduksi
antibodi
maupun
yang
berupa
sel
3,15,18,19
memori.
Pada LES autoantibodi yang

1988-1990).3
C. Etiologi dan Patogenesis
Etiologi dan pathogenesis LES masih
belum diketahui dengan jelas. Terdapat
banyak bukti bahwa pathogenesis LES bersifat
multifaktor, dan ini mencakup pengaruh faktor
genetik, lingkungan dan hormonal terhadap
respon imun.3,13 Sekitar 10-20 % pasien LES
mempunyai kerabat dekat (first degree

terbentuk ditujukan terhadap antigen yang


terutama terletak dalam nukleoplasma.
Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein
histon dan non histon.20 Kebanyakan
diantaranya dalam keadaan alamiah terdapat
dalam bentuk agregat protein dan atau
kompleks protein RNA yang disebut partikel
ribonukleoprotein
(RNA).
Ciri
khas
autoantigen ini ialah mereka tidak tissue

relative) yang juga menderita LES. Penelitianpenelitian terakhir menunjukkan bahwa


banyak gen yang berperan, terutama gen yang
mengkode unsur-unsur sistem imun.14 Kaitan
dengan haplotipe MHC tertentu terutama
HLA-DR2 dan HLA-DR3 serta dengan
komplemen yang berperan pada fase awal
reaksi ikatan komplemen (yaitu C1Q, C1R,
C1S, C2, C3 dan C4) telah terbukti.3,15,16 Gen

specific dan merupakan komponen integral


semua jenis sel. Antibodi ini secara bersamasama disebut ANA (anti nuclear antibody).21
Dengan antigennya yang spesifik, ANA
membentuk kompleks imun yang beredar
dalam sirkulasi. Pada LES adanya gangguan
penanganan kompleks imun berupa gangguan
klirens kompleks imun besar yang larut,
gangguan pemrosesan kompleks imun dalam

gen lain yang mulai terlihat ikut berperan ialah


gen yang mengkode reseptor sel T,

hati, dan penurunan uptake kompleks imun


pada limpa. Gangguan ini memungkinkan

Wibowo, Nefritis Lupus

25
terbentuknya deposit kompleks imun di luar
sistem fagosit mononuklear. Kompleks imun
ini akan mengendap pada berbagai macam
organ dengan akibat terjadinya fiksasi
komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini
menyebabkan aktivasi komplemen yang

menimbulkan reaksi radang. Reaksi radang


inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan
gejala pada organ atau tempat bersangkutan
seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus,
kulit dan sebagainya.20

Gambar 1 Patogenesis Lupus Eritematosus Sitemik4


Deposit komplek imun sirkulasi (CIC/

mengeluhkan nyeri sendi yang berpindah-

Circulation Imunity Complexes) tidak


sederhana karena melibatkan aktivasi berbagai
komplemen, PMN dan berbagai mediator
inflamasi lainnya yang timbul karena
kerusakan/disfungsi sel endotel pembuluh
darah. Berbagai keadaan sitokin yang terjadi
pada LES ialah: penurunan jumlah IL-1 dan
peningkatan
IL-4
dan
IL-6.
Ketidakseimbangan
sitokin
ini
dapat

pindah tanpa adanya keluhan lain. Kemudian


diikuti manifestasi klinis lainnya seperti
fotosensitifitas dan sebagainya yang pada
akhirnya akan memenuhi kriteria LES. 3,4
Manifestasi Klinis dari Lupus Eritematosus
Sistemik dapat dibagi menjadi : 3,18
1. Lupus Discoid atau Lupus Kutaneus: 10 %
2. Lupus Eritematosus Sistemik: 70 %

meningkatkan aktivasi sel B untuk membentuk


antibodi.22
D. Manifestasi dan Diagnosis Lupus
Eritematosus Sistemik
Manifestasi klinik penyakit ini sangat
beragam dan seringkali pada keadaan awal
tidak dikenali sebagai LES. Hal ini dapat
terjadi karena manifestasi klinik LES ini
seringkali tidak terjadi secara bersamaan.
Seseorang dapat saja selama beberapa lama

a. Non-Organic-Threatening Disease: 35 %
b. Organic- Threatening Disease: 35 %

3. Drug Induce Lupus Erytematosus (DILE) :


10 %
4. Crossover atau overlap syndrome dan atau
Mixed connective tissue desease (MCTD)
American College of Rheumatology
(ACR) mempunyai kriteria LES yang secara
bertahap telah mengalami revisi 3 kali, yaitu
bila seseorang memenuhi 4 dari 11 kriteria
klasifikasi yang dibuat.3,18

Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Vol.9, No. 1, Januari 2013

26
Tabel 1 Klasifikasi Kriteria diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik3
Malar rash

eritema terbatas, rata atau meninggi, biasanya tidak mengenai lipat nasolabialis

Lesi discoid

bercak eritematosus yang meninggi dengan sisik keratin yang melekat disertai
penyumbatan folikel

Fotosensitif

lesi kulit akibat reaksi abnormal terhadap matahari

Ulkus mulut

Ulserasi di mulut atau nasofaring, biasanya tidak nyeri, diketahui melalui


pemeriksaan dokter

Artritis

Non erosif yang mengenai 2 sendi perifer ditandai oleh nyeri, bengkak atau efusi

Serositis

Pleuritis atau perikarditis diperoleh dari EKG atau bunyi gesek (rub) atau efusi

Kelainan ginjal

Proteinuria > 0,5 g/hari atau 3+ atau silinder sel

Kelainan neurologis

Kejang atau psikosis tanpa penyebab lain

Kelainan hematologi

Anemia hemolitik atau lekopeni (<4000/ul) atau limfopeni (<1500/ul) atau


trombositopeni (<100,000/ul) tanpa adanya penyebab lain

Kelainan imunologi

Anti DS-DNA, anti-SM dan atau anti-phospholipid

Antibodi antinuclear

Titer abnormal antibody antinuclear (ANA)

Manifestasi klinik penyakit ini sangat


beragam dan seringkali pada keadaan awal
tidak dikenali sebagai LES. Seseorang dapat

pasien LES dewasa akan mengalami


komplikasi ginjal yang nyata, walaupun pada
fase awal LES, kelainan atau gangguan fungsi

saja selama beberapa lama mengeluhkan nyeri


sendi yang berpindah-pindah tanpa adanya
keluhan lain. Kemudian diikuti oleh
manifestasi
klinis
lainnya
seperti
fotosensitifitas dan sebagainya yang pada
akhirnya akan memenuhi kriteria LES.3,16,18
Beberapa manifestasi organ dari penyakit LES
diantaranya : manifestasi sistem nervosa, kulit,
muskuloskeletal, paru, kardiologi, ginjal,

ginjal terdapat 25%-50% kasus.24


A. Epidemiologi
Prevalensinya berkisar 25-40% kasus
pada awal LES dan berkembang menjadi 6070% kasus pada LES dewasa.36 Pada suatu
penelitian terhadap nefritis lupus (NL)
didapatkan hasil bervariasi antara 31-65%
pada 8 penelitian kohort yang diikuti 2.649

Nefritis Lupus
Nefritis lupus adalah komplikasi ginjal
pada LES. Diagnosis klinis nefritis lupus di
tegakkan bila pada LES terdapat tanda-tanda
proteinuria dalam jumlah lebih atau sama
dengan 1 gram/24 jam atau/dengan hematuria

pasien LES. Suatu studi di John Hopkins


Medical Center antara 1992-1994, dan
didapatkan insidensi penyakit ginjal akut
sebesar 10 persen pada 384 pasien.25 Di
Amerika, prevalensi LES adalah 1 kasus per
2000 penduduk pada populasi umum. Karena
kesulitan diagnosis dan kemungkinan banyak
kasus tidak terdeteksi, sebagian besar peneliti
menyarankan bahwa prevalensi mungkin lebih

(>8 eritrosit/LPB) atau/dengan penurunan


fungsi ginjal sampai 30%. Sebanyak 60%

dekat ke 1 kasus per 500-1000 populasi. Data


prevalensi LES di Indonesia sampai saat ini

hematologi, gastrointestinal dan hubungannya


dengan keganasan.4

Wibowo, Nefritis Lupus

27
belum ada. Jumlah penderita LES di Indonesia
menurut Yayasan Lupus Indonesia (YLI)
sampai dengan tahun 2005 diperkirakan
mencapai 5000 orang.26LES lebih sering pada
orang kulit hitam dan ras Hispanik
dibandingkan kulit pulih. lupus nefritis yang
berat terutama lebih sering ditemukan pada
orang kulit hitam dan ras Asia dibandingkan
ras lain. Karena prevalensi LES lebih tinggi

aviditas antibodi yang terbentuk, kelas dan


subkelas, ukuran dan valensi kompleks.
Deposit kompleks imun dapat terletak pada
mesangial,
subendotel
atau
subepitel
(terkadang pada ketiga lokasi tersebut secara
simultan).25,29 Deposit pada mesangial dan
subendotel terletak proksimal terhadap
membrane basalis glomerulus sehingga
mempunyai akses ke pembuluh darah.1,28

pada wanita (rasio wanita:pria = 9:1), NL juga


sering dijumpai pada wanita. Prognosis
penyakit ginjal klinis lebih umum pada pria
dengan LES. 15,19
B. Etiologi dan Patogenesis
NL terjadi ketika antibodi (antinuclear
antibody) dan komplemen terbentuk di ginjal
yang
menyebabkan
terjadinya
proses
peradangan.
Hal
tersebut
biasanya

Deposit pada daerah ini akan mengaktifkan


komplemen, yang kemudian membentuk
kemoatraktan C3a dan C5a. Selanjutnya
terjadi influks sel netrofil dan sel
mononuklear. Deposit pada mesangium dan
subendotel secara histopatologis memberikan
gambaran mesangial, proliferatif fokal, dan
proliferatif difus; secara klinis memberi
gambaran sedimen urin yang aktif (ditemukan

mengakibatkan terjadinya sindrom nefrotik


(eksresi protein yang besar) dan dapat progresi
cepat menjadi gagal ginjal. Produk nitrogen
sisa terlepas kedalam aliran darah. LES
menyerang berbagai struktur internal dari
ginjal, meliputi nefritis interstitial dan
glomerulonefritis menbranosa. NL mengenai 2
dari 10 ribu orang.3,22
Gambaran klinik kerusakan glomerulus

eritrosit, lekosit, silinder sel dan granuler),


proteinuria, dan sering disertai penurunan
fungsi ginjal. Sedangkan deposit pada
subepitelial tidak mempunyai hubungan
dengan pembuluh darah karena dipisahkan
oleh membran basalis glomerulus sehingga
tidak terjadi influks netrofil dan sel
mononuklear.
Secara
histopatologis
memberikan gambaran nefropati membranosa

berhubungan dengan letak lokasi terbentuknya


deposit kompleks imun. Lokasi kompleks
imun ditentukan oleh spesifisitas, afinitas, dan

dan secara klinis hanya memberi gambaran


proteinuria.5,29

Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Vol.9, No. 1, Januari 2013

28

Sintesis
Kolagen

Podosit
Aktivasi
komplemen

Kompleks imun yang


mempengaruhi

Proliferasi dan Pelepasan


TGF dan TNF

C5b-6+C7-9

Kerusakan jaringan

Sel Mesangial

IL-1

PGE

Leukosit

Oksigen radikal bebas

Sel Mesangial

Trombosit
PGE
Tromboxan

Gambar 2 Patofisiologi nefritis lupus23


C. Histopatologi
Histologi
ginjal
dapat
dilihat
menggunakan
mikroskop
cahaya,
imunofluoresen atau mikroskop electron.
Pemeriksaan histopatologi menggambarkan
secara pasti kelainan ginjal. World Health
Organization ( WHO) tahun 1974 pertama kali

Wibowo, Nefritis Lupus

mengumumkan beberapa bentuk kerusakan


glomeruler terkait lupus, yang kemudian
direvisi pada tahun 1982. Tahun 2003
International Society of Nephrology (ISN)
bekerjasama dengan Renal Pathology Society
(RPS) memperbarui klasifikasi tersebut.3

29
Tabel 2 Klasifikasi Nefritis Lupus berdasar ISN/RPS 2003.3
Kelas I

Kelas II

Kelas III

Kelas III(A)
Kelas III(A/C)
Kelas III (C)
Kelas IV

Kelas IV-S (A)


Kelas IV-G (A)
Kelas IV-S (A/C)
Kelas IV-S (C)
Kelas IV-G (C)
Kelas V

Kelas VI

Nefritis Lupus Mesangial Minimal


Normal glomerulus dengan mikroskop cahaya dengan deposit imun mesangial
pada imunofluoresensi
Nefritis Lupus Mesangial Proliferatif
hiperselularitas mesangial murni setiap gelar atau ekspansi matriks mesangial
dengan mikroskop cahaya, didapatkan deposit imun mesangial. Dapat pula sedikit
deposit pada subepitel atau subendothelial yang terisolasi dan dapat terlihat oleh
immunofluorosence atau mikroskop elektron.
Nefritis Lupus Fokal
fokal Aktif atau tidak aktif, segmental atau keseluruhan baik endo atau
glomerulonefritis extracapillary yang melibatkan <50% dari semua glomerulli
biasanya dengan fokal deposit imun subendothelial, dengan atau tanpa perubahan
mesangial
Lesi Aktif : nefritis lupus proliferasi fokal
Lesi Aktif dan kronis : Nefritis Lupus fokus proliferasi dan sclerosing
Lesi Kronis aktif dengan bekas luka glomerulus: focal sclerosing lupus nephritis
Nefritis Lupus Difus
Difus Aktif atau tidak aktif baik segmental atau keseluruhan endo-atau
extracapillary glomerulonefritis yang melibatkan 50% dari semua glomeruli,
biasanya menyebar dengan deposit imun subendothelial, dengan atau tanpa
perubahan mesangial. Kelas ini dibagi menjadi difus segmental (IV-S) Nefritis
lupus ketika 50% dari glomerulus yang terlibat memiliki lesi segmental, dan difus
global (IV-G) Nefritis Lupus ketika 50% dari glomerulus yang terlibat memiliki lesi
global. Segmental diartikan sebagai lesi glomerulus yang melibatkan kurang dari
setengah dari bagian glomerulus. Kelas ini termasuk kasus dengan deposito diffuse
wire loop tetapi dengan glomerulus sedikit atau tidak sama sekali proliferasi
glomerolus
Lesi Aktif : difus segmental proliferatif nefritis lupus
Lesi Aktif : Difus Global proliferatif nefritis lupus
Lesi aktif dan kronik : difus global dan sklerosing nefritis lupus
Lesi Aktif dan Kronik : Difus global proliferatif dan sklerosing nefritis lupus
lesi kronik aktif dengan scars : difus segmental sklerosing nefritis
lesi kronik inaktif dengan scars : difus sklerosing global nefritis lupus
Nefritis Lupus membranosa
deposit imun sub epitelial global atau segmental atau morfologi gejala sisa dengan
mikroskop cahaya dan mikroskop imunofluoresensi atau elektron, dengan atau
tanpa perubahan mesangial. Nefritis lupus Kelas V dapat terjadi dalam kombinasi
dengan kelas III atau IV dalam hal ini kedua akan didiagnosis Kelas V lupus nefritis
menunjukkan sclerosis lanjut
Nefritis lupus tahap lanjut
90% odari glomerolus mengalami seklrosis tanpa aktifitas residual

Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Vol.9, No. 1, Januari 2013

30
Tabel 3 Klasifikasi Nefritis Lupus menurut WHO 2003.3
Kelas
I
II

III

IV

VI

Deskripsi
Glomerulus normal (dengan pemeriksaan mikroskop cahaya, imunofluoresen, mikroskop electron)
Perubahan pada mesangial
a. Normal dengan mikroskop cahaya, deposit pada mesangial dengan imunofluoresen dan
atau mikroskop electron
b. Hiperseluleritas mesangial dan terdapat deposit pada imunofluoresen dan atau mikroskop
electron
Focal segmental glomerulonephritis
a. Lesi nekrotik aktif
b. Leso sklerotik aktif
c. Lesi sklerotik
Glomerulonefritis difus (proliferasi luas pada mesangial, endokapiler atau mesangiokapiler dan
atau deposit luas sub endotel)
a. Tanpa lesi segmental
b. Dengan lesi nekrotik aktif
c. Dengan lesi aktif dan sklerotik
d. Dengan lesi sklerotik
Glomerulonefritis membranosa difus:
a. Glomerulonefritis membranosa murni
b. Berhubungan dengan lesi kelas II (a atau b)
Glomerulonefritis sklerotik lanjut

Dengan pemeriksaan imunofluorescence

tubuler pada 60-80% pasien, hipertensi pada

dapat ditemukan deposit imun pada semua


kompartemen ginjal (glomerulus, tubulus,
interstitium dan pembuluh darah) biasanya
ditemukan
lebih
dari
satu
kelas
immunoglobulin.
Terbanyak
ditemukan
deposit IgG dengan ko-deposit IgM dan IgA
pada sebagian besar sediaan. Juga bisa
diidentifikasi komplemen C3, C4 dan C1q.3,14

15-50% pasien, gangguan fungsi ginjal pada


40-80% pasien, dan penurunan fungsi ginjal
yang cepat pada 30% pasien.5,35 Hahn 2008
menyebutkan manifestasi klinis NL yang
berupa proteinuria 500 mg/hari disertai
silinder seluler pada urinalisa sebesar 30-50%
pasien, dalam bentuk sindrom nefrotik 25%
dan end stage renal disease 5-10%.4
Keterlibatan renal umumnya berkorelasi
dengan derajat kerusakan glomerulus.

D. Gejala Klinis
Manifestasi kelainan ginjal pada NL
yang ditemukan berupa proteinuri yang
didapatkan pada semua pasien, sindrom
nefrotik pada 45-65% pasien, hematuri
mikroskopik pada 80% pasien, gangguan

Wibowo, Nefritis Lupus

Gambaran klinis ini lebih sesuai dengan


klasifikasi histopatologi menurut WHO
dibandingkan ISN/RPS.5,35

31
Tabel 4 Gambaran klinis NL menurut histopatologi2,30
Kelas I
Kelas II

belum ada kelainan atau ringan


kelainan ringan atau minimal, antibodi anti-dsDNA mungkin meningkat, kadar komplemen
turun, sedimen urin inaktif, hipertensi jarang, proteinuria <1 gram/24 jam, kreatinin serum dan
GFR biasanya normal.
Kelas III sering terdapat hipertensi dan sedimen urin aktif. Proteinuria >1 gram/24 jam, 25-30%
menunjukkan sindrom nefrotik. Mayoritas pasien menunjukkan peningkatan serum kreatinin
Kelas IV gambaran klinis lebih berat dan aktif dengan proteinuria >1 gram/24 jam. Hampir 50% pasien
menunjukkan sindrom nefrotik.
Kelas V didapatkan 40% pasien dengan proteinuria <3 g/24 jam dan 20% proteinuria <1 gram/24 jam.
60% pasien memiliki kadar komplemen yang rendah dan peningkatan titer antibody antidsDNA. Sedimen urin aktif, hipertensi dan disfungsi renal pada hamper seluruh pasien.
Nefropati membranosa dapat muncul dengan manifestasi proteinuria berat dan sindrom nefrotik
idiopatik sebelum munculnya gejala klinis dan laboratoris yang lain.
Kelas VI Disebut juga End-stage lupus nephritis, disebabkan kerusakan yang terjadi sudah kronis dan
jumlah nefron yang berfungsi sudah banyak berkurang. Pasien terkadang masih menunjukkan
mikrohematuria dan proteinuria. Mayoritas pasien terdapat hipertensi dan penurunan Laju
Filtrasi Glomerolus (LFG). Kadar antibodi anti-dsDNA dan komplemen serum biasanya justru
normal.

Pasien dengan gambaran histopatologi


nefritis lupus tetapi secara klinis tidak
menunjukkan bukti adanya keterlibatan renal

seperti sedimen urin aktif, penurunan GFR


ataupun serologis lupus negative, disebut
silent lupus nephritis.25

Tabel 5 Hubungan klasifikasi histopatologi WHO dan manifestasi klinis NL.23


Gejala Klinis
Klasifikasi
Kelas I
Kelas Iia
Kelas IIb
Kelas III
Kelas IV
Kelas V
Kelas VI

Protein urin
+
+
+
++
++
++
+

hematuria
+
++
+++
+
+/-

E. Terapi Nefritis Lupus


Prinsip dasar pengobatan adalah
menekan reaksi inflamasi lupus, memperbaiki
fungsi ginjal atau setidaknya mempertahankan
fungsi ginjal agar tidak bertambah buruk.
Pengobatan sebaiknya diberikan setelah
didapatkan hasil pemeriksaan histopatologi

Hipertensi
+
++
+/+/-

Sindrom
nefrotik
+
++
++
+/-

Fungsi ginjal
N
N
N
N/

N/
lambat

dari
ginjal.25
Medikamentosa
berupa
kortikosteroid dan agen imunosupresif.
Dialisis dapat dilakukan untuk mengontrol
gejala gagal ginjal. Transplantasi ginjal juga
direkomendasikan (pasien dengan lupus yang
aktif tidak boleh dilakukan transplantasi
ginjal). 37

Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Vol.9, No. 1, Januari 2013

32
Tabel 6 Terapi Nefritis Lupus33
NL kelas I
NL kelas II

Tidak perlu terapi spesifik


Jika tidak disertai proteinuria >1g/24 jam dan sedimen tidak aktif, tidak perlu terapi
spesifik.
Jika disertai proteinuria >1g/24 jam, titer anti dsDNA tinggi, hematuri, diberikan
prednisone 0,5-1,0 mg/kg/hari selama 6-12 minggu. Kemudian dosis diturunkan perlahan
(5-10 mg) tiap 1-3 minggu.
NL kelas III Terapi induksi
dan IV
a. Pulse glukokotikoid (diberikan pada NL dengan Acute Kidney Injury, rapidly
progressive glomerulonephritis dan kelainan ekstrarenal yang berat diberikan pulse
metilprednisolon 500-1000 mg iv/hari selama 3 hari. Dilanjutkan prednisone 0,5-1,0
mg/kg/hari)
b. Siklofosfamid (dosis 750 mg/m2 tiap bulan selama 6 bulan. Diberikan bersama
prednisone dosis 0,5 mg/kg/hariyang diturunkan perlahan sampai dosis 0,25
mg/kg/hari)
c. Mikofenolat mofetil (dosis 1 g, 2kali sehari (total 2 g/hari) selama 6 bulan) lalu dosis
diturunkan jadi 500 mg 2 kali sehari selama 6 bulan berikutnya.
d. Azatioprin (dosis 2 mg/kg/hari dikombinasikan dengan prednisone 0,5 mg/kg/hari.
Dosis prednisone kemudian diturunkan perlahan sampai 0,25 mg/kg/hari. Pemberian
azatioprin selama 6 bulan)
e. Siklosporin (dosis 5 mg/kg/hari selama 6 bulan lalu diturunkan menjadi 2,5 mg/kg/hari
selama 2 tahun)
f. Obat lain (Imunoglobulin iv, siklosporin
Terapi pemeliharaan
a. Siklofosfamid (dosis 750 mg iv setiap 3 bulan sampai 2 tahun)
b. Mikofenolat mofetil (dosis 1-2 g/hari minimal selama 2 tahun)
c. Azatioprin (dosis 2 mg/kg/hari selama minimal 2 tahun)
d. Siklosporin (dosis 2-2,5 mg/kg/hari selama 2 tahun)
NL kelas V

NL kelas VI

Bila pada hasil biopsy ginjal didapatkan tipe campuran NL kelas V dengan kelas III atau
IV, maka terapi diberikan sesuai kelas III dan IV
Pada NL kelas V diberikan prednisone dosis 1 mg/kg/hari selama 6-12 minggu. Prednisone
kemudian diturunkan menjadi 10-15 mg/hari selama 1-2 tahun.
Pengobatan ditujukan untuk manifestasi ekstra renal. Untuk memperlambat penurunan
fungsi ginjal diberikan terapi suportif seperti restriksi protein, terapi hipertensi, pengikat
fosfor dan vitamin D.

Tabel 7. Penggunaan imunosupresan dalam dosis penyesuaian nefritis lupus kelas VI. 4
Azatioprin (AZA)

Mycophenolat
mofetil (MMF
Siklofosfamide

Siklosporin

CrCl 10 sampai 50 mL / menit: Dosis harus dikurangi sampai 75% dari dosis normal
sehari-hari. CrCl kurang dari 10 mL / menit: Dosis harus dikurangi menjadi 50% dari
dosis normal sehari-hari
CrCl kurang dari 25 mL / menit: Dosis tidak boleh lebih besar dari 1 gram / hari
Perhatian dianjurkan bila digunakan pada pasien dengan disfungsi ginjal. Namun,
tidak ada modifikasi dosis tertentu sedang dianjurkan.pemberian dua kali sehari
harus dihindari
Pemantauan yang teliti terhadap konsentrasi darah atau plasma siklosporin
diperlukan untuk menghindari eksaserbasi gangguan ginjal

Wibowo, Nefritis Lupus

33
Penatalaksanaan Nefritis Lupus Stadium
Akhir
NL kelas VI adalah tahap akhir dari
ginjal kerusakan yang dihasilkan oleh penyakit
imunologi. Klasifikasi histologis NL kelas VI
untuk kasus-kasus yang berada di tahap akhir
penyakit dari sudut pandang fungsi ginjal
sesuai dengan tahap 5 pada skala KDOQI
untuk klasifikasi penyakit ginjal kronis (PGK)

penurunan Laju Filtrasi Glomerolus (LFG)


dan harus mempertimbangkan risiko
kakeksia atas inisiasi dyalisis. Rendahnya
kadar serum albumin pada saat awal
dialisis merupakan salah satu pencetus
utama tingginya angka mortalitas. Pada
umuumnya asupan protein tidak boleh
melebihi 1 gr/kh/hr, dan jika restriksi
protein terbukti baik maka dapat

berdasarkan laju filtrasi glomerulus. Pada


PGK tahap V, ginjal tidak dapat mencapai
memadai dengan fungsional tujuan, meskipun
aktivasi efektif kompensasi dan adaptasi
mekanisme, yang menyebabkan suatu sindrom
klinis yang dikenal sebagai uremia. Pada titik
ini, hampir semua organ dan sistem yang
terpengaruh dan tubuh cepat memburuk ke
dalam keadaan yang mengancam jiwa kecuali

diturunkan menjadi 0,6-0,8 gr/kg/hari. 2,37


2. Restriksi garam dan cairan :
Pada penyakit Ginjal Kronik dimana ginjal
tidak dapat menyesuakin tingginya supan
natrium, maka asupan yang melebihi 3-4
gr/hari dapat menjadikan edema, hipertensi
dan Gagal Jantung Kongestif. Akan tetapi
asupan yang kerang dari 1 gr/hari dapat
menjadikan hipotensi. Sehingga pada

Terapi
Pengganti
Ginjal
(RRT/Renal
Replacement Therapy) yang dimulai pada
bentuk dialisis atau transplantasi ginjal.39
Penderita dengan LES sebanyak 60%
akan juga menderita NL, dimana 20% pasien
dengan NL selama 10 tahun mendatang akan
menjadi End Stage Renal Disease (ESRD).
Pada dasarnya ada beberapa hal yang perlu
dalakukan dalam penatalaksanaan ESRD pada

pasien
nondialisis
dengan
ESRD
membutuhkan asupan natrium 2 gr/hari
dan asupan cairan sehari-hari 1-2 liter atau
disesuaikan keseimbangan cairan. 2,37
3. Restriksi kalium
Restriksi kalium diperlukan jika LFG
dibawah 10-20 ml/menit, pasien haris
mengetahui makanan yang mengandung
tinggi kaliumdan membatasi asupannya

NL yang hampir sama dengan ESRD lainnya.


Penatalaksanaan non medikamentosa seperti
manajeme pola makan, merupakan hal yang
harus diperhatikan serta mengevaluasi nutrisi
dari ginjal.hal yang utama diperhatikan antara
lain protein, garam, cairan natrium dan
fosfat:37
1. Restriksi protein.
Modifikasi diit pada beberapa penlitian

dengan kadar kurang dari 50-60 mEq/hari.


Dimana asupan normal sekitar 100
mEq/hari. 2,37
4. Restriksi fosfor
Kadar fosfor harus berada dalam batas
normal untuk predialisi membutukan
asupan <4,6 mg/dl, sedangkan saat dialisi
membutuhkan 3,5-5,5 mg/dl disertai
dengan pembatasan diit 800-1000 mg/hari.

nyatakan bahwa keuntungan dari restriksi


protein adalah memperlambat laju

Jika LFG dibawah 20-30 ml/menit akan


memerlukan pengikat fosfor.2,37

Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Vol.9, No. 1, Januari 2013

34
5. Restriksi magnesium
Magnesium diekskresikan melalui ginjal,
kejadian hipermagnesemia dilaporkan
hampir jarang terjadi kecuali pasien
menerima preparat magnesium,semua
magnesium termasuk laksatif maupun
antacid relatif tidak diperkenankan pada
PGK ESRD. 2,37
Pasien dengan ESRD dengan NL untuk

T-helper. Umumnya LES lebih tenang pada


pasien dengan hemodialisis.1,30

terapi medika mentosa memerlukan terapi


dengan
Renal
Replacement
Therapi
(RRT)/Terapi Pengganti Ginjal. Hal ini
diperlukan untuk memaksimalkan kualitas
hidup dan memperpanjang usia penderita.
Beberapa penelitian melaporkan bahawa
antara pasien LES dan non-LES akan
memberikan hasil yang hampir serupa pada
pasien dengan ESRD dan melakukan terapi

ESRD telah menerima terapi imunosupresi dan


sering terjadi .36

RRT. 36 RRT dibagi atas dua antara lain:

B. Transplantasi ginjal
Transplantasi
ginjal
juga
direkomendasikan (pasien dengan lupus yang
aktif tidak boleh dilakukan transplantasi
ginjal).35 Semua pasien dengan ESRD karena
LES
harus
dipertimbangkan
untuk
transplantasi ginjal. Sebagian besar pasien

Simpulan
Lupus Eritematosus Sistemik merupakan
penyakit multisistem yang disebabkan
kerusakan jaringan akibat deposisi kompleks
imun berupa ikatan antibodi dengan
komplemen. Nefritis lupus merupakan salah
satu dari manifestasi paling serius dari LES

A. Dialisis
Pada NL kelas VI dimana pasien dengan
ESRD memerlukan dialisis dan merupakan
kandidat yang baik untuk transplantasi ginjal.
Pasien dengan ESRD sekunder terhadap LES
mewakili 1,5% dari seluruh pasien dialisis di
Amerika. Angka survival pasien dengan
dialisis sebanding dengan pasien dialisis yang

biasanya muncul dalam 5 tahun setelah


diagnosis. Kejadian gagal ginjal jarang terjadi
sebelum kriteria klasifikasi American College
of Rheumatology (ACR) terpenuhi. Nefritis
lupus (NL) tampak jelas secara histologis pada
kebanyakan pasien dengan LES, bahkan
mereka yang tidak menunjukkan manifestasi
klinis penyakit ginjal. Data prevalensi LES di
Indonesia sampai saat ini belum ada. Gejala

tidak punya LES (5 year survival rate 6070%).


Hemodialisis
lebih
disukai
dibandingkan dialisis
peritoneal.
Dari
beberapa studi mendapatkan data pada pasien
ESRD akibat LES yang dilakukan dialisis
peritoneal dengan level anti-dsDNA yang
lebih
tinggi,
banyaknya
kejadian
trombositopenia dan kebutuhan steroid yang
lebih tinggi. Hemodialisis juga memiliki efek

Nefritis Lupus umumnya berhubungan dengan


hipertensi, proteinuria dan gagal ginjal. NL
diklasifikasikan menjadi 6 kelas Staging yang
menentukan derajat tingkat beratnya suatu NL,
sedangkan NL klas IV Disebut juga End-stage
lupus nephritis. Pengobatan medikamentosa
seperti imunosupresan diperlukan pada NL
kelas I hingga V, sedangkan tindakan invasif
seperti terapi pengganti ginjal hingga

anti-inflamasi dengan penurunan level limfosit

transplantasi
diperlukan
dalam
penatalaksanaan NL adalah dengan RRT

Wibowo, Nefritis Lupus

35
antara lain dengan dialisis dan transplantasi
ginjal.
Daftar Pustaka
1. Brent LH, Hamed FA. Lupus Nephritis. In:
James
K,
Blom,
(eds).
Lupus
Erythematosus. 12th ed. Washington, PA:
Lippincott Williams and Wilkins; 2008:
p.849-67.
2. Lahita RG, Systemic Lupus Eritematous,

of systemic lupus erythematosus. Arthritis


Rheum 1982: p.25:1271-7.
10. Hochberg MC. Updating the American
College of Rheumatology revised criteria
for the classification of systemic lupus
erythematosus [Letter]. Arthritis Rheum
1997: p.40:1725.
11. Guntur H. Autoimmune Diseases. Temu
Ilmiah Nasional Rematologi, Surakarta,

4th Edition, Jersey City, 2003


3. Isbagio H. Albar Z. Kasjmir I.J. Setiyohadi
B.. Lupus Eritematosus Sistemik. Dalam:
Sudoyo A.W. Setiyohadi B. Alwi I.
Simadibrata M. Setiati S. (eds). Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV.
2007: p.1214-1221.
4. Hahn
B.H.
Systemic
Lupus
Erythematosus. In: Fauci AS, Kasper DL,

2010.
12. Alarcon G.S, Alen J.C, Mc Gwin G, Uribe
A.G, Toloza S.M.A, Roseman J.M, et al.
Systemic Lupus Erythematosus in a
multiethnic cohort : LUMINA XXXV.
Predictive factors of high disease activity
over time. Ann Rheum Dis. 2006:
p.65:1168-1174.
13. Clatworthy M.R, Smith K.G. Systemic

Braunwald E, Hauser SL, Longo DL,


Jameson JL. (eds.) Harrinsons Principles
of Internal Medicine. 17th ed. Mc GrawHill. New York. 2008.p: 1123-1145
5. Guntur A, Perspektif masa depan
Imunologi-Infeksi, Solo. 2006: p.172-76
6. Gloor JM. Lupus nephritis in children.
Lupus. 1998;7(9):p.639-43.
7. Brunner HI, Gladman DD, Ibaez D,

Lupus Erythematosus : Mechanisms. In:


Mason J, Charles P (Eds). Handbook of
Systemic Autoimun Disease (Volume 7) :
The Kidney in Systemic Autoimune
Disease. 2008.p.:285-310.
14. Wenner M.H, Mannik M. Immune
Complexes. Lahita R.G (ed). In: Systemic
Lupus
Erythematosus.
Elsevier.
2004:p.377-399.

Urowitz MD, Silverman ED. Difference in


disease features between childhood-onset
and
adult-onset
systemic
lupus
erythematosus. Arthritis Rheum. Feb
2008;58(2):p.556-62.
8. Bartels CM, Muller D. The Systemic
Lupus Erythematosus (Rheumatology).
Arthritits Rheum 1998: p.239: 1856-9
9. Tan EM, Cohen AS, Fries JF, Masi AT,

15. Rahman A, Isenberg D.A.. Mechanisms of


Disease Systemic Lupus Erythematosus :
Review Article. NEJM. 2008: 358:p.929937.
16. Bartels CM, Muller D. The Systemic
Lupus Erythematosus (Rheumatology).
Arthritits Rheum 1998; p.239: 1856-9
17. Crispin J.C, Liossis S.N, Kis-Toth K,
Lieberman L.A, Kyttaris V.C, Juang Y.T

McShane DJ, Rothfield NF, et al. The


1982 revised criteria for the classification

et al. Pathogenesis of Human Systemic

Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Vol.9, No. 1, Januari 2013

36
Lupus Erythematosus : recent advances.
Trends Mol Med. 2010.16(2): p.45-57.
18. Adnan Z.A. Lupus dan Penyakit Autoimun
lain. Dalam: Reumatologi Praktis, Klinis,
Diagnosis dan Terapi. Jilid 2. Sebelas
Maret University Press. Surakarta.
2009.p.31-46
19. Cook H.T, Lightstone L. Systemic Lupus
Erythematosus : Renal Involvement. In:

Hypertension.
Pernefri,
Jakarta
2005:p.37-41.
25. Dooley M.A. Clinical and Laboratory
Features of Lupus Nephritis. In: Wallace
DJ, Hahn BH, (eds). Dubois Lupus
Erythematosus. 7th ed. Philadelphia, PA:
Lippincott Williams & Wilkins; 2007:
p.1112-1130
26. Sukmana
N.
Manajemen
Lupus

Mason J, Charles P (Eds). Handbook of


Systemic Autoimun Disease (Volume 7) :
The Kidney in Systemic Autoimune
Disease. 2008.p:311-323.
20. Toong C, Adelstein S, Phan T.G.. Clearing
the complexity : immune complexes and
their treatment in lupus nephritis. IJNRD.
2010.14:p.17-28.
21. Rus V, Maury EE, Hochberg MC..

Erythematosus Sistemik. Dalam :


Wahjudi R, Dewi S, Pramudiya R, (eds).
Reumatologi
Klinik.
Sub
Bagian
Reumatologi-Bagian
Ilmu
Penyakit
Dalam FK Padjadjaran RSUP dr. Hasan
Sadikin Bandung, 2008; p.89-91.
27. Schur PH. General symptomatology and
diagnosis of systemic lupus erythematosus
in adults. (Letter). 2005:p.60: 125

Epidemiology
of
Systemic
Lupus
Erythematosus. In: Wallace DJ, Hahn BH,
eds. Dubois Lupus Erythematosus. 7th ed.
Philadelphia, PA: Lippincott Williams &
Wilkins; 2007: p.34-44.
22. Lee H.M, Sugino H, Nishimoto N..
Cytokine Network in Systemic Lupus
Erythematosus. Journal of Biomedicine
and Biotechnology. Hindawi publishing

28. Gill JM et al. Diagnosis of systemic lupus


erythematosus. Am Fam Physician.
(Journal).2003;68:p.2179-86.
29. Rus V, Maury EE, Hochberg MC.
Epidemiology
of
Systemic
Lupus
Erythematosus. In: Wallace DJ, Hahn BH,
(eds). Dubois Lupus Erythematosus. 7th
ed. Philadelphia, PA: Lippincott Williams
& Wilkins; 2007:p.34-44.

Corporation. 2010: 676284:p.1-5


23. Bawazier L.A, Dharmeizar, Markum
H.M.S. Nefritis Lupus. Dalam : Sudoyo
A.W. Setiyohadi B. Alwi I. Simadibrata
M. Setiati S. (eds). Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV.
2007:p.537-545.
24. Siregar P. Pengobatan mutakhir nefritis
lupus. In : The 5 th Jakarta Nephrology &

30. Sidiropoulos PI et al. Lupus nephritis


flares. Lupus 2005;14: p.49-52
31. Austin HA III, Muenz LR, Joyce KM, et
al. Diffuse proliferative lupus nephritis:
identification of specific pathologic
features affecting renal outcome. Kidney
Int 1984; 25: p.689-95
32. Tan EM, Cohen AS, Fries JF, Masi AT,
McShane DJ, Rothfield NF, et al. The

Hypertension Course and Symposium on

1982 revised criteria for the classification

Wibowo, Nefritis Lupus

37
of systemic lupus erythematosus. Arthritis
Rheum 1982;25:p.1271-7.
33. Dharmeizar. Diagnostic dan pengobatan
nefritis lupus. Dalam : Naskah Lengkap :
Annual Meeting 2009 Perhimpunan
Nefrologi
Indonesia
(Update
in
Nephrology for Better Renal Care).
Surabaya. 2009: p.205-215
34. Wiesen K, Mindel G, Dialysis treatment in

renal disease treated by hemodialysis.


Intern Med 2001; 40: 598602
43. Nossent HC, Swaak TJG, Berden JHM.
For the Dutch Working Party on Systemic
Lupus Erythematosus. Systemic lupus
erythematosus: analysis of disease activity
in 55 patients with end-stage renal failure
treated with hemodialysis or continuous
ambulatory peritoneal dialysis. Am J Med

CKD stage 5 in adult. In: Gray LDB,


Burrowes JD, Chertow GM, (eds).
Nutrition in Kidnet Disease, 2008 : p.231270
35. Fernandez LS, Sanches JLA, Ginzler EM.
Treatment of lupus nefritis, Reumatologi
Clinic, 2008 (4) : p.140-51
36. Magee CC, An Update on Systemic Lupus
Erythematosus-Related Kidney Disease,

1990; 89: p.169174


44. Odama U, Shih DJ, Korbet SM. Sclerosing
peritonitis
and
systemic
lupus
erythematosus: a report of two cases. Perit
Dial Int 1999; 19: p.160164
45. Huang JW, Hung KY, Yen CJ et al.
Systemic lupus erythematosus and
peritoneal
dialysis:
outcomes
and
infectious complications. Perit Dial Int

Nefrology Round, November 2006, vol 4.


37. McPhee SJ, Papadakis MA, Current
Medical Diagnosis and Treatment 2011,
Mc Graw Hill Lange, 2011:p 878-85
38. Rietvald A, Berden JHM, Renal
Replacement Therapy in Lupus Nephritis,
Nephrol Dial Transplant 2008; 23: p.30563060
39. Kidney

2001; 21: p.143147


46. Siu YP, Leung KT, Tong MKH et al.
Clinical outcomes of systemic lupus
erythematosus
patients
undergoing
continuous ambulatory peritoneal dialysis.
Nephrol Dial Transplant 2005; 20:
p.27972802
47. Nossent HC, Swaak TJ, Berden JH. For
the Dutch Working Party on Systemic

Transplant.www.surgeryencyclopedia.com
40. Ruiz-Irastorza G, Espinosa G, Frutos MA,
Jimenez-Alonso J, Praga M, et al.
Diagnosis and Treatment of Lupus
Nephritis.
Nefrologia
2012;32(Suppl.1):p.1-35
41. Mojcik CF, Klippel JH. End-stage renal
disease and systemic lupus erythematosus.
Am J Med 1996; 101: p.100107

Lupus Erythematosus. Systemic lupus


erythematosus after renal transplantation:
patient and graft survival and disease
activity. Ann Int Med 1991; 114: p.183
188
48. Bunnapradist S, Chung P, Peng A et al.
Outcomes of renal transplantation for
recipients with lupus nephritis: analysis of
the organ procurement and transplantation

42. Okano K, Yumura W, Nitta K et al.


Analysis of lupus activity in end-stage

network database. Transplantation 2006;


82: p.612618

Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Vol.9, No. 1, Januari 2013

38
49. Lochhead KM, Pirsch JD, DAllesandro
AM et al. Risk factors for renal allograft
loss in patients with systemic lupus
erythematosus. Kidney Int 1996; 49:
p.512517
50. Roman MJ, Shanker BA, Davis A et al.
Prevalence and correlates of accelerated
atherosclerosis
in
systemic
lupus
erythematosus. N Engl J Med 2003; 349:

transplant recipients revisited: it is not


rare. Transplantation 2003; 75: p.651656
52. Moroni G, Tantardini F, Galleli B et al.
The long-term prognosis of renal
transplantation in patients with lupus
nephritis. Am J Kidney Dis 2005; 45:
p.903911
53. Wibowo AS, Aspek Medik Transplantasi
Ginjal di HUT ke-4 IKCC, 2008.

p.23992406
51. Goral S, Ynares C, Shappell S et al.
Recurrent lupus nephritis in renal

54. Juliana IM, Loekman JS, Komplikasi


Paska Transplantasi Ginjal, Jurnal Ilmu
Penyakit Dalam FK Unud Sanglah, Bali
vol.8, 2007: p.79-91

Wibowo, Nefritis Lupus

Pengaruh Penyuluhan terhadap Pengetahuan dan Sikap Siswa Kelas II SMAN


73 Jakarta tentang Narkoba 2013
Tri Ariguntar
Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah
Jakarta
Abstrak
Masalah penyalahgunaan Narkoba di Indonesia saat ini cenderung bertambah dari tahun ke tahun.
Pada situasi dimana jumlah korban penyalahgunaan Narkoba terus meningkat, maka diperlukan
suatu upaya penanggulangan secara komprehensif dengan melibatkan sektor pemerintah terkait dan
seluruh komponen masyarakat, baik secara organisasi maupun lembaga masyarakat yang terdiri dari
individu dan tokoh masyarakat. Berdasarkan Laporan Tahunan Satuan Resort Narkoba Jakarta Utara
2011 terdapat peningkatan kerawanan wilayah Narkoba di daerah Cilincing yaitu tahun 2010 berada
di peringkat ke empat dari enam dengan jumlah kasus 48 tersangka. Pada tahun 2011 terjadi
peningkatan sebanyak 81 tersangka dengan menduduki peringkat pertama daerah kerawanan
Narkoba dari 6 wilayah kecamatan yang ada di Jakarta Utara. Ban (1999) menyatakan bahwa
penyuluhan merupakan sebuah intervensi sosial yang melibatkan penggunaan komunikasi informasi
secara sadar untuk membantu masyarakat membentuk pendapat mereka sendiri dan mengambil
keputusan dengan baik. Sasaran dari upaya ini juga termasuk orang-orang dengan resiko tinggi salah
satunya ialah siswa pada Sekolah Menengah Atas. Penelitian ini dilakukan pada kelas 11 SMAN 73
Kecamatan cilincing Jakarta Utara. Tujuannya untuk menilai pengaruh penyuluhan tentang Narkoba
pada anak SMA. Penelitian ini menggunakan desain quasi experimental one group pre post-test.
Sampel dari penelitian ini seluruh siswa kelas 11 yang terdaftar di SMAN 73 Kecamatan Cilincing
yang berjumlah 218 siswa dan diambil dengan teknik non probability sampling consecutive.
Pengetahuan dan sikap siswa sesudah dilakukan intervensi atau penyuluhan Narkoba terjadi
peningkatan, dengan peningkatan pengetahuan sebelum intervensi sebanyak 44 responden (57.9%)
dan sesudah intervensi sebanyak 51 responden (67.1%). Hal tersebut menunjukan kenaikan
pengetahuan sebesar 9,19 %. Sedangkan untuk sikap tidak mengalami peningkatan dari 44
responden (57.9 %) dan sesudah intervensi sebanyak 47 responden (61.8 %). Hal tersebut tidak
menunjukan terjadinya peningkatan sikap terhadap intervensi. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa penyuluhan tentang Narkoba hanya dapat meningkatkan
pengetahuan siswa terhadap Narkoba tetapi tidak meningkatkan sikap siswa terhadap Narkoba.
Sehingga, diharapkan penyuluhan bisa menjadi program rutin guna meningkatkan pengetahuan siswa
tentang Narkoba.
Kata kunci: penyuluhan, narkoba, siswa

Effect of Extension of the Knowledge and Attitude of Students of Class II SMAN


73 Jakarta on Drugs 2013
Abstract
The problem of drug abuse in Indonesia today are likely to increase from year to year. In situations
where the number of victims of drug abuse continues to rise, it would require a reduction in a
comprehensive manner by involving relevant government sectors and the entire community, both
public organizations and institutions are made up of individuals and community leaders. Based on
the Annual Report Drug Unit Resort North Jakarta 2011 there was an increase in insecurity in the
region Cilincing Drugs which in 2010 was ranked fourth out of six the number of cases of 48
suspects. In 2011 an increase of 81 suspects in the first rank of Drug susceptibility region 6 region
districts in North Jakarta. Ban (1999) states that education is a social intervention that involves the
conscious use of communication of information to help people form their own opinions and make
decisions well. The objective of this effort also includes those with a high risk of one of them being

39

40
students at the high school. This study was conducted on 11 classes of SMAN 73 Cilincing
subdistrict of North Jakarta. The goal is to assess the effect of the drug on the child's education in
high school. This study used a quasi-experimental one group pre-test post. The sample of this study
entire class of 11 students enrolled in the District Cilincing SMAN 73 totaling 218 students and is
taken with consecutive non probability sampling technique. Knowledge and attitudes of the students
after the intervention or drug counseling increased, with an increase in knowledge before the
intervention were 44 respondents (57.9%) and after the intervention were 51 respondents (67.1%). It
shows the increase of knowledge by 9.19%. As for the attitude of an increase of 44 respondents
(57.9%) and after the intervention by 47 respondents (61.8%). It does not show an increase in
attitude toward intervention. Based on the research conducted, it can be concluded that the extension
of the drug can only enhance the student's knowledge of the drugs but did not improve students'
attitudes toward drugs. Thus, the extension is expected to be a routine program to increase students'
knowledge about drugs.
Keyword: drug, counseling, students

Pendahuluan
Berdasarkan hasil Survey Nasional oleh

kalangan pelajar dan mahasiswa yakni sebesar


90%, penyalah guna narkoba kelompok teratur

Badan Narkotika Nasional berkerja sama


dengan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas
Indonesia pada tahun 2008, menunjukkan
terjadinya peningkatan jumlah penyalah guna

pakai sebagian besar berasal dari kalangan


bukan siswa dan mahasiswa yakni sebesar
60%, dan penyalah guna narkoba kelompok
pecandu sebagian besar juga berasal dari

narkoba di Indonesia, yakni berjumlah


3.362.519 orang atau tingkat prevalensi
meningkat dari 1,55% pada tahun 2004
menjadi 1,9% dari total populasi. Sebanyak
874.255 orang sebagai kelompok coba pakai,
907.880 orang sebagai kelompok teratur pakai,
dan 1.580.384 orang sebagai kelompok
pecandu. Jumlah penyalah guna narkoba
tersebut dipetakan sebanyak 1.355.050 orang

kalangan bukan siswa dan mahasiswa yakni


sebesar 88%. Baik kelompok penyalah guna
narkoba coba pakai, teratur pakai, dan
pecandu sebagian besar berasal dari kalangan
laki-laki yaitu 88% dan kalangan perempuan
hanya sebesar 12%.1
Dilaporkan
pengungkapan
kasus
Narkoba diwilayah hukum Polres Metro
Jakarta Utara Tahun 2010 didapatkan data

dari kalangan siswa dan mahasiswa dan


2.007.469 orang dari kalangan bukan siswa
dan mahasiswa.1
Jumlah
penyalah
guna
narkoba
mencapai 1,99% dari populasi penduduk usia
10 - 59 tahun atau sekitar 3,2 - 3,6 juta jiwa,
yang terdiri dari 26% kelompok coba pakai,
27% kelompok teratur pakai, 40% kelompok
pecandu bukan suntik dan 7% kelompok

pengguna narkoba yang terungkap 356


tersangka, diantaranya 5 orang berasal dari
kalangan pelajar.2 Pada tahun 2011 data
pengguna narkoba yang terungkap 371
tersangka dengan 13 orang berasal dari
kalangan pelajar.3
Serta
tahun 2012 data pengguna
narkoba yang terungkap 329 tersangka, 12
orang diantaranya berasal dari kalangan

pecandu suntik. Jumlah penyalah guna


narkoba coba pakai sebagian besar berasal dari

pelajar.4 Dari 329 tersangka pada tahun 2012


dengan latar belakang pendidikan SLTA

Ariguntar, Pengaruh Penyuluhan terhadap Pengetahuan dan Sikap

41
sebanyak 108 tersangka. Ketidaktahuan
tentang narkoba adalah awal penyalahgunaan
narkoba. Banyak penyalahguna narkoba yang
ternyata tidak tahu bahwa yang dikonsumsikan
sesungguhnya adalah narkoba. Karena
kurangnya informasi di dapat melalui
pendidikan formal maupun informal. Salah
satu contoh informasi yang didapatkan dari
pendidikan informal ialah penyuluhan.

inklusi ialah yang seluruh siswa kelas 11 yang


masih aktif dan hadir pada saat penelitian dan
bersedia mengikuti penelitian yang dibuktikan
dengan inform consent. Sedangkan untuk
kriteria eklusinya adalah siswa/i kelas 11 yang
pulang sebelum penyuluhan selesai.

Metode
Jenis penelitian ini menggunakan quasi
experiment dengan rancangan One Group pre
dan pos test design. Penelitian ini
dilaksanakan pada April 2013 sampai dengan
Mei 2013, di daerah Kecamatan Cilincing
yang merupakan wilayah kerja puskesmas
Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara. Populasi
yang akan diteliti adalah seluruh siswa/i kelas

pengetahuan mengalami peningkatan jumlah


jawaban yang benar, sedangkan ada satu
pertanyaan yang nilai jawabannya tetap yaitu
tentang pertanyaan Badan Perlindungan
Negara secara nasional untuk penanganan
NARKOBA sedangkan terdapat juga nilai
jawaban yang justru berkurang sesudah
diberikan intervensi
yaitu pertanyaan
mengenai dampak bagi pengguna Narkoba

11 yang terdaftar di SMAN 73 Kecamatan


Cilincing yang berjumlah 218 siswa. Junlah
sampel sebanyak 76 responden diambil dari
siswa/i kelas 11 SMAN 73 dengan kriteria

jarum suntik khususnya pemakaian jarum


suntik bergantian dan pertanyaan Apa yang
disebut dengan pencegahan sekunder.

Hasil
Berdasarkan tabel 1 dapat diketahui
bahwa dari 12 pertanyaan yaitu 9 pertanyaan

Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Vol.9, No. 1, Januari 2013

42
Tabel 1 Selisih Nilai Pertanyaan Penelitian Sebelum dan Sesudah Diberikan Penyuluhan
Yang menjawab benar (n=76)
Pertanyaan

Pretest

Posttest

Keterangan

1. Pengertian NARKOBA yang menurut Anda benar


adalah
2. Apa contoh dari golongan Zat adiktif

59

Naik

40

65

Naik

3. Apa contoh jenis psikotropika

27

62

Naik

4. Apa contoh jenis Narkotika

51

72

Naik

5. Apa dampak bagi pengguna Narkoba jarum suntik


khususnya pemakaian jarum suntik bergantian
6. Penyebab dari dalam diri dan kepribadian remaja,
yang biasa disebut faktor disposisi adalah
7. Dampak penyalahgunaan Narkoba bagi pelakunya
adalah
8. Tempat yang rawan untuk praktik perdagangan
Narkoba adalah
9. Gejala dini penyalahgunaan Narkoba adalah

75

73

Turun

37

63

Naik

68

74

Naik

27

63

Naik

61

71

Naik

10. Pencengahan penyalahgunaan Narkoba untuk para


remaja yang bersangkutan adalah
11. Apakah nama badan perlindungan negara secara
nasional untuk penanganan NARKOBA
12. Apa yang disebut dengan pencegahan sekunder

31

61

Naik

76

76

Tetap

39

33

Turun

Berdasarkan hasil univariat tabel 2


didapatkan bahwa sebelum intervensi pada
pengetahuan tinggi tentang Narkoba diketahui
sebanyak 44 responden (57.9%) dan
berpengatahuan tinggi sesudah intervensi
sebanyak 51 responden (67.1%). Analisis

univariat variabel sikap menunjukan sebelum


dilakukan intervensi responden yang memliki
kategori sikap baik sebanyak 44 responden
(57,9%) dan kategori baik sesudah intervensi
sebanyak 47 responden (61,8%)

Tabel 2 Gambaran Pengetahuan dan Sikap Sebelum dan Sesudah Penyuluhan


Variabel

Sebelum

Sesudah

Pengetahuan
Tinggi
Rendah

44
32

57,9
42,1

51
25

67,1
23,9

Sikap
Baik
Kurang

44
32

57,9
42,1

47
29

61,8
38,2

Ariguntar, Pengaruh Penyuluhan terhadap Pengetahuan dan Sikap

43
Tabel 3 Perbedaan Pengetahuan Sebelum dan Sesudah Penyuluhan
Variabel

Mean

SD

P value

Pengetahuan
Sebelum
Sesudah

7,04
10,16

1,553
1,532

0,000

Sikap
Sebelum
Sesudah

7,30
7,41

0,497
0,489

0,32

Hasil uji statistik yang didapat pada

dibutuhkan

metode

lain

untuk

menilai

tabel 3 menunjukan adanya perbedaan yang


bermakna tentang ngetahuan responden pada
saat sebelum dan sesudah intervensi.
Perbedaan yang bermakna tersebut ditunjukan
oleh nilai p value yang lebih kecil dari 0,05.

perubahan sikap siswa/i.


Secara teori adanya perubahan prilaku
didasarkan kepada sikap dan pengetahuan
seseorang terhadap suatu hal.5 Pada penelitian
ini responden telah mendapatkan penyuluhan

Sedangkan tidak ada perbedaan bermakna


pada tentang sikap responden pada saat
sebelum dan sesudah intervensi. Hal tersebut
telihat pada p value yang lebih besar dari 0,05.

mengenai Narkoba
dan mungkin juga
responden telah mendapatkan informasi
mengenai Narkoba dari lingkungan sekitarnya.
Dengan pengetahuan tersebut responden dapat

Diskusi
Uji statistik yang dilakukan untuk
mengetahui perbedaan rata-rata pengetahuan
dan sikap sebelum dan sesudah intervensi
mendapatkan p value 0,000 dan 0.32. Hasil uji
tersebut
menunjukan
bahwa
terdapat
perbedaan yang bermakna antara pengetahuan
sebelum dan sesudah diberikan intervensi.
Namun angka yang didapat untuk sikap siswa

memilih apa yang akan dilakukan. Sehingga


bila sebelum dilakukan penelitian responden
belum memahami tentang dampak dari
penggunaan Narkoba maka sesudah penelitian
ini diharapkan responden memahami dari
segala dampak yang akan terjadi apabila
mengonsumsi Narkoba.
Pengetahuan seseorang dapat bertambah
melalui berbagai cara. Salah satu cara yang

disini lebih besar dari nilai 0,05 sehingga ini


menunjukan bahwa tidak ada perbedaan yang
bermakna antara sikap sebelum dan sesudah
dilakukan intervensi.
Berdasarkan hasil tersebut peneliti
berasumsi bahwa penyuluhan mengenai
pengetahuan Narkoba yang diberikan telah
mempengaruhi pengetahuan responden namun
tidak pada sikapnya. Ini mungkin dikarenakan

dapat diterapkan untuk meningkatkan


pengetahuan
pelajar
adalah
dengan
mengadakan penyuluhan yang rutin.

oleh variabel sikap yang sulit dinilai hanya


dengan kuesioner saja. Sehingga mungkin

sebanyak 51 responden (67.1%). Hal tersebut

Simpulan
Pengetahuan dan sikap siswa/i sesudah
dilakukan intervensi atau penyuluhan Narkoba
terjadi peningkatan, dengan peningkatan
pengetahuan sebelum intervensi sebanyak 44
responden (57.9%) dan sesudah intervensi

Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Vol.9, No. 1, Januari 2013

44
menunjukan kenaikan pengetahuan sebesar
9,19 %. Sedangkan untuk sikap tidak
mengalami peningkatan dari 44 responden
(57.9 %) dan sesudah intervensi sebanyak 47
responden (61.8 %).
Hal tersebut tidak
menunjukan terjadinya peningkatan sikap
terhadap intervensi.
Daftar Pustaka
1. Badan Narkotika Nasional Republik
Indonesia,
Pedoman
pencegahan
penyalahgunaan narkoba bagi remaja.
November; 2010.

2. Polres Metro Jakarta utara. Laporan


Tahunan Sat Resnarkoba. Polres jakarta
Utara. 2010.
3. Polres Metro Jakarta utara. Laporan
Tahunan Sat Resnarkoba. Polres jakarta
Utara. 2011.
4. Polres Metro Jakarta utara. Laporan
Tahunan Sat Resnarkoba. Polres jakarta
Utara. 2012
5. Notoatmodjo Soekidjo. Promosi kesehatan
dan ilmu perilaku. Jakarta: Rineka Cipta.
2007.

Ariguntar, Pengaruh Penyuluhan terhadap Pengetahuan dan Sikap

Obesitas pada Usia Prasekolah


Siti Riptifah Tri Handari
Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Jakarta
Abstrak
Obesitas pada anak terdapat pada semua umur, akan tetapi lebih sering pada anak dibawah satu
tahun, lima sampai enam tahun dan pada anak yang sudah mendekati masa akil baligh atau pubertas.
Bila obesitas yang mulai timbul pada anak berlanjut sampai dewasa biasanya sukar diatasi,
munculnya masalah obesitas kepermukaan sementara penyakit gizi lain masih belum teratasi
membuat banyak orang prihatin. Oleh karena itu diperlukan kesadaran dari berbagai pihak untuk bisa
memahami hal ini terutama bagaimana memberikan gizi yang baik mulai dari usia bayi dan pada
perkembangan berikutnya. Faktor penyebab obesitas pada anak meliputi faktor makanan, kebiasaan
konsumsi fast food, faktor genetic, faktor lingkungan, faktor sosial ekonomi, tingkat pendidikan,
pekerjaan, faktor hormonal atau metabolisme, faktor psikologis, dan faktor aktifitas fisik.
Kegemukan yang terjadi pada anak balita dapat menimbulkan berbagai masalah yaitu resiko
terserang penyakit dan resiko terhadap aspek psikologis. Balita yang gemuk akan bergerak lebih
lambat (kurang lincah) dari teman seusianya. Kegemukan pada anak balita dan berlanjut terus pada
masa remaja akan berisiko terjadinya gangguan psikologis.
Kata Kunci: Obesitas, prasekolah, gizi

At the age of Preschool Obesity


Abstract
Obesity in children, of all ages, but is more frequent in children under one year, five to six years, and
in children who are already nearing puberty or the legal age of puberty. When the nascent obesity in
children continues into adulthood is usually difficult to overcome, the emergence of the obesity
problem to the surface while the other nutritional diseases remains unsolved make a lot of people are
concerned. Therefore we need awareness of the various parties to be able to understand this,
especially how to provide good nutrition from infant age and in the next stage. Factors causing
obesity in children include dietary factors, consumption of fast food habits, genetic factors,
environmental factors, socioeconomic factors, education level, occupation, hormonal or metabolic
factors, psychological factors, and physical activity factors. Obesity that occurs in young children
can cause various problems, namely the risk of disease and risk of psychological aspects. Toddlers
who are obese will move more slowly (less agile) from friends of his age. Obesity among children
and teens continues to be at risk of psychological disorders.
Keyword: Obesity, preschool, nutrient
Pendahuluan
Masa
prasekolah
adalah
masa
pembentukan fisik dari bayi tumbuh menjadi
anak. Pada masa ini, tubuh mereka menjadi
lebih kuat, kemampuan motor dan mental
mereka lebih tajam dan kepribadian serta

dipengaruhi oleh faktor gizi selain itu juga


aktivitas fisik dan status kesehatan.1
Tahap pertama pertumbuhan dalam
kehidupan seorang anak adalah pada masa
bayi dimana pertumbuhan berlangsung sangat
cepat. Tahap kedua adalah perpindahan dari

hubungan mereka menjadi lebih kompleks.

masa bayi kemasa anak-anak, pada masa ini

Pembentukkan

organ-organ tubuh bagian dalam telah tumbuh


sempurna,
kemampuan
makan
telah

fisik pada masa prasekolah

45

46
bertambah dan kebutuhan gizinya meningkat
sejalan dengan bertambahnya aktivitas fisik
anak. Selama masa prasekolah inilah proses
belajar berlangsung cepat, kemampuan
berbahasa sangat membantu anak dalam
meningkatkan
kemampuannya
seperti
mempelajari kebiasaan makan keluarganya.2
Pertumbuhan anak sangat dipengaruhi
oleh faktor keluarga dan lingkungan. Faktor

berhubungan dengan berbagai macam


pengukuran dimensi tubuh dan komposisi
tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat
gizi. Berbagai jenis ukuran tubuh antara lain:
berat badan, lingkar lengan atas, tebal lemak
di bawah kulit.3 Metode antropometri
merupakan metode yang paling sering
digunakan dalan penilaian status gizi di
masyarakat, karena mempunyai keunggulan

keluarga yang mempengaruhi pertumbuhan


adalah faktor genetik, pendidikan, sosial
ekonomi, kebiasaan dalam keluarga serta
peranan orang tua dalam memilih makanan
yang baik untuk memenuhi kecukupan
gizinya.2
Status Gizi Usia Prasekolah
Gizi adalah suatu proses organisme
menggunakan makanan yang dikonsumsi

antara lain : 1. Prosedurnya sederhana, aman


dan dapat dilakukan dalam jumlah sample
yang besar, 2. Relatif tidak membutuhkan
tenaga ahli, tetapi cukup dilakukan oleh tenaga
yang sudah dilatih dalam waktu singkat dapat
melakukan pengukuran antropometri, 3.
Alatnya murah, mudah dibawa, tahan lama,
dapat dipesan dan dibuat di daerah setempat,
4. Metode ini tepat dan akurat, karena dapat

secara normal melalui proses digesti, absorpsi,


transportasi, penyimpanan, metabolisme dan
pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan
untuk
mempertahankan
kehidupan,
pertumbuhan dan fungsi normal dari organorgan, serta menghasilkan energy.3 Keadaan
gizi merupakan keadaan akibat dari
keseimbangan
antara
konsumsi
dan
penyerapan zat gizi dan penggunaan zat-zat

dibakukan, 5. Dapat mendeteksi atau


menggambarkan riwayat gizi di masa lampau.
Sedangkan kelemahan antropometri gizi
adalah 1. tidak sensitive, metode ini tidak
dapat mendeteksi status gizi dalam waktu
singkat. 2. Faktor diluar gizi (penyakit,
genetik, dan penurunan penggunaan energi)
dapat menurunkan spesifikasi dan sensitivitas
pengukuran antropometri. 3. Kesalahan yang

gizi tersebut atau keadaan fisiologi akibat dari


tersedianya zat gizi dalam seluler tubuh
sedangkan status gizi adalah suatu kondisi
tubuh sebagai akibat keseimbangan dari intake
makanan dan penggunaannya oleh tubuh yang
dapat diukur dari berbagai dimensi.3

terjadi pada saat pengukuran dapat


mempengaruhi presisi, akumurasi, dan
validitas pengukuran antropometri
gizi.
Kesalahan ini terjadi karena pengukuran,
perubahan hasil pengukuran baik fisik maupun
komposisi jaringan, analisis dan asumsi yang
keliru. Dan kesalahan, biasanya berhubungan
dengan latihan petugas yang tidak cukup,
kesalahan alat atau tidak ditera, dan kesulitan

Penilaian Status Gizi Pada Usia Prasekolah


Metode penilaian status gizi yang paling
sering digunakan untuk menilai status gizi di
masyarakat
adalah
Antropometri.
Antropometri adalah ukuran tubuh yang
Handari, Obesitas pada Usia Prasekolah

pengukuran.

47
Indeks antropometri yang tepat untuk
menilai status gizi pada anak usia prasekolah
adalah Indeks Massa Tubuh/Umur (IMT/U).
Indeks Massa Tubuh merupakan alat yang
sederhana untuk memantau status gizi orang
dewasa khususnya yang berkaitan dengan
kekurangan dan kelebihan berat badan.3 Pada
awalnya disepakati bahwa IMT digunakan
untuk orang dewasa (yang sudah selesai masa

karena faktor penyebab yang telah menahun


dan sel-sel lemak terus bertambah banyak
disamping ukuran tubuh yang bertambah
besar. Obesitas membahayakan kesehatan
karena mempermudah terjadinya penyakit lain
dan juga mempersulit penyembuhan beberapa
penyakit seperti artrithis, hipertensi dan
sebagainya.4
Munculnya
masalah
obesitas

pertumbuhan), akan tetapi karena sudah mulai


terjadi masalah gizi ganda, maka disepakati
IMT bisa digunakan untuk semua golongan
umur.
Indek Massa Tubuh atau IMT dihitung
dari berat badan dibagi dengan tinggi badan
kuadrat (kg/m2). IMT ini biasanya hanya
digunakan untuk mengidentifikasi obesitas
pada dewasa, bukan pada anak-anak. Untuk

kepermukaan sementara penyakit gizi lain


masih belum teratasi membuat banyak orang
prihatin. Oleh karena itu diperlukan kesadaran
dari berbagai pihak untuk bisa memahami hal
ini terutama bagaimana memberikan gizi yang
baik mulai dari usia bayi dan pada
perkembangan
berikutnya.
Tahun-tahun
pertama kehidupan seorang anak merupakan
kurun waktu yang sangat penting dan kritis.

anak-anak, Center for Disease Control and


Prevention (CDC) mengeluarkan grafik BMI
berdasarkan usia dan jenis kelamin (BMI for
Age) atau di Indonesia menjadi IMT/U. Hal
tersebut disebabkan karena IMT berubah
secara substansial pada anak-anak sesuai
pertambahan umur.
Obesitas Pada Anak
Obesitas pada anak adalah berat badan

Tumbuh kembang fisik dan mental


psikososialnya berjalan cepat sehingga akan
sangat menentukan masa depannya.1
Obesitas merupakan keadaan patologis,
yang ditandai dengan terjadinya penimbunan
lemak yang berlebihan daripada yang
diperlukan untuk fungsi tubuh. Sering
dihubungkan dengan overweight (kelebihan
berat badan. Pada dasarnya gizi lebih tidak

yang relatif berlebihan bila dibandingkan


dengan umur atau tinggi badan anak yang
sebaya, sebagai akibat terjadinya penimbunan
lemak yang berlebihan dalam jaringan lemak
tubuh. Obesitas pada anak terdapat pada
semua umur, akan tetapi lebih sering pada
anak dibawah satu tahun, lima sampai enam
tahun dan pada anak yang sudah mendekati
masa akil baligh atau pubertas. Bila obesitas

selalu identik dengan obesitas. Tetapi masih


banyak pendapat dimasyarakat yang mengira
bahwa anak yang gemuk adalah sehat.
Memang, anak-anak balita yang gemuk akan
telihat lebih montok dan menggemaskan. Saat
ini masih ada anggapan yang keliru bahwa
anak yang gemuk berarti sehat. Namun, bukan
berarti anak balita yang tidak gemuk itu tidak
sehat. Kekecewaan orangtua akan anaknya

yang mulai timbul pada anak berlanjut sampai


dewasa biasanya sukar diatasi. Mungkin

yang tidak gemuk tidaklah beralasan sebab


jika grafik pertumbuhan anak pada kartu

Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Vol.9, No. 1, Januari 2013

48
menuju sehat (KMS) sudah menunjukkan
kenaikan yang kontinu setiap bulan sesuai
lengkung grafik pada KMS dan berada pada
pita berwarna hijau maka anak tersebut
memiliki berat badan sehat.5 Lebih-lebih kalau
anak menunjukkan perkembangan mental
yang normal, artinya perkembangan motorik,
bahasa, intelektual, emosional dan sosial
sesuai dengan umurnya, maka anak tersebut

Tipe-tipe Obesitas
Klasifikasi indeks massa tubuh (IMT)
pada anak berbeda dengan klasifikasi IMT
pada dewasa. Indek Massa Tubuh atau IMT
dihitung dari berat badan dibagi dengan tinggi
badan kuadrat (kg/m2). Untuk anak-anak,
menggunakan Center for Disease Control and
Prevention (CDC) dengan mengeluarkan
grafik BMI berdasarkan usia dan jenis kelamin

walaupun tidak terlalu gemuk, tetapi secara


fisik, sosial maupun mental adalah sehat.

(BMI for Age) atau di Indonesia menjadi


IMT/U .

Tabel 1 Kategori Status Berat Anak


Kategori

IMT/U

Underweight

Kurang dari persentil ke-5

Health weight

Persentil ke-5 sampai kurang dari persentil ke-85

Overweight

Persentil ke-85 sampai kurang dari persentil ke-95

Obese

Persentil ke-95 atau lebih tinggi

Sumber : CDC, 2002 US Growth Chart6


Menurut Damayanti, kegemukan atau
obesitas pada anak dapat dikelompokkan
menjadi beberapa macam.7 Pengelompokkan
tersebut berdasarkan pada letak timbunan
lemak dalam tubuh dan kondisi sel lemak
dalam tubuhnya. Dilihat dari bentuk tubuh
atau timbunan lemak, obesitas dapat
dibedakan menjadi tiga, yaitu:

sekitar perut, pinggul, paha dan pantat.


Tipe buah pir disebut juga tipe ginoid.
c. Intermediate, yaitu bentuk pertengahan
atara kedua tipe tersebut.

a. Apple shape body atau tipe buah apel


Penumpukkan lemak tipe ini lebih banyak
berada di bagian atas tubuh, yaitu muka,
leher, pundak, dada dan pinggang. Tipe
buah apel disebut juga tipe android.
Bentuk tubuh ini beresiko lebih besar
terkena penyakit kardiovaskular, hipertensi
dan diabetes.
b. Pear shape body atau tipe buah pir

Kegemukan tipe ini terjadi karena


jumlah sel lemak yang lebih banyak
dibandingkan keadaan normal tetapi
ukuran sel-selnya tidak bertambah besar.
Kegemukan ini sering terjadi pada anakanak.
b. Tipe Hipertropik
Kegemukan ini terjadi karena ukuran
sel
lemak
menjadi
lebih
besar

Penumpukkan lemak pada tipe ini lebih


banyak di bagian bawah tubuh, yakni

dibandingkan dengan keadaan normal,


tetapi jumlah sel tidak bertambah banyak

Handari, Obesitas pada Usia Prasekolah

Menurut Mumpuni, berdasarkan kondisi sel


lemak di dalam tubuh, obesitas dibedakan
menjadi tiga tipe, yaitu8:
a. Tipe Hiperplastik

49
dari normal. Kegemukan tipe ini terjadi
pada usia dewasa. Usaha untuk
menurunkan berat badan pada kondisi ini
lebih mudah dibandingkan kegemukan tipe
hyperplastik.
c. Tipe Hiperplastik dan Hipertropik
Kegemukan terjadi karena jumlah
dan ukuran sel lemak melebihi normal.
Pembentukan sel lemak baru terjadi segera

menarik, iklan-iklan makanan di TV


tidak jarang menonjolkan karakteristik
fisik dari makanan seperti rasa yang
renyah, rasa manis dan rasa coklat.
Anak-anak TK seringkali tidak bisa
membedakan antara iklan dengan
acara/program inti yang sedang
ditontonnya. Merekalah sasaran iklan
pangan yang paling potensial. Iklan

setelah derajat hypertropik mencapai


maksimal dengan perantaraan suatu sinyal
yang dikeluarkan oleh sel lemak yang
mengalami hypertropik. Kegemukan ini
bisa dimulai pada anak-anak dan
berlangsung terus sampai dewasa. Upaya
menurunkan berat badan paling sulit dan
resiko tinggi untuk terjadi komplikasi
penyakit.

tersebut ternyata punya andil yang


cukup besar sehingga mempengaruhi
perilaku makan anak sehari-hari dengan
kadar gizi tidak seimbang.
2. Pengetahuan Gizi
Kurangnya
pengetahuan
ibu
tentang makanan anak balita yang
seimbang
sesuai
dengan
angka
kecukupan gizinya. Hal ini berdampak

Faktor Penyebab Obesitas Pada Anak


a. Faktor Makanan
Jika seorang anak mengkonsumsi
makanan dengan kandungan energi sesuai
yang dibutuhkan oleh tubuhnya maka tidak
akan ada energi yang disimpan.
Sebaliknya, jika anak mengkonsumsi
energi melebihi yang dibutuhkan tubuh
maka kelebihan energi akan disimpan

pada perilaku ibu dalam pemberian


makanan pada anaknya. Berikut ini
beberapa contohnya :
Bayi diberikan susu/makan/minum
setiap kali menangis. Padahal, bayi
yang menangis belum tentu merasa
lapar. Oleh karena itu, seorang ibu
harus tau kapan waktu yang tepat
untuk memberikan makanan pada

sebagai cadangan energi.


Cadangan
energi
secara
berkesinambungan ditimbun setiap hari
yang akhirnya akan menimbulkan
kegemukan. Konsumsi zat energi yang
berlebihan pada anak balita dapat
dipengaruhi oleh beberapa hal berikut.

anaknya.
Pemberian makanan tambahan
dengan kalori tinggi pada bayi pada
usia yang terlalu dini.

1. Promosi Produk Makanan


Dampak promosi di media massa

b. Kebiasaan Konsumsi Fast Food


Pada zaman sekarang fast food sudah
merupakan bagian dari kehidupan
masyarakat baik perkotaan maupun di
pedesaan. Restoran yang menyajikan

cukup berpengaruh, baik cetak maupun


elektronik berupa iklan-iklan yang

makanan siap saji sudah semakin


merajalela dan semua lapisan masyarakat

Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Vol.9, No. 1, Januari 2013

50
dapat menikmatinya. Fast food itu sendiri
merupakan makanan yang mengadung
tinggi lemak dan tinggi garam, rendah
serat, dan vitamin. Seperti hamburger,
Pizza, Fried Chicken, French fries, es
krim, dan lain-lain.
Penelitian di Amerika menunjukkan
bahwa
anak-anak
yang
disekitar
sekolahnya terdapat restoran cepat saji
atau fast food akan cenderung memiliki
kelebihan berat atau kegemukan. Ini
adalah faktor yang sangat menentukan.
Anak akan memiliki kecenderungan untuk
jarang mengkonsumsi buah dan sayur,
mereka lebih sering makan jenis fast food
bila terdapat satu restoran cepat saji di
sekolah mereka.8
c. Faktor Genetik
Menurut Mumpuni, kegemukan
cenderung diturunkan, sehingga diduga
memiliki penyebab genetik. Anggota
keluarga tidak hanya berbagai gen tetapi
juga makanan dan gaya hidup, yang bisa
mendorong
terjadinya
kegemukan.8
Seringkali sangat sulit untuk memisahkan
faktor antara gaya hidup dengan faktor
genetik. Penelitian baru menunjukkan

sel lemak dalam tubuh. Sering didapati,


anak yang obesitas biasanya berasal dari
keluarga yang obesitas. Bila kedua orang
tua obese, sekitar 80% anak-anak mereka
akan menjadi obese. Bila salah satu orang
tua obese, menjadi 40% dan bila orang
tuanya tidak obese, prevalensi obese untuk
anak turun menjadi 14%.
d. Faktor Lingkungan
Lingkungan
seseorang
juga
memegang peranan yang cukup berarti.
Lingkungan ini termasuk perilaku atau
pola gaya hidup. Cukup alamiah bila anakanak mengadopsi kebiasaan orang tua
mereka. Pola perilaku orang tua tentang
belanja, memasak, makan dan olahraga,
memiliki
penngaruh
penting
pada
keseimbangan energi anggota keluarga.
Seorang anak yang orang tuanya gemuk
yang terbiasa makan makanan berkalori
tinggi dan tidak aktif kemungkinan besar
anak tersebut akan mewarisi kebiasaan
yang serupa dan menjadikannya kelebihan
berat badan. Sebaiknya, jika keluarga
mengadopsi makanan yang sehat dan
aktifitas fisik yang baik, kesempatan anak
untuk kelebihan berat badan atau obesitas

bahwa rata-rata faktor genetik memberikan


pengaruh sebesar 33% terhadap berat
badan seseorang.
Kegemukan dapat diturunkan dari
generasi sebelumnya pada generasi
berikutnya di dalam sebuah keluarga.
Itulah sebabnya seringkali orang tua yang
gemuk cenderung memiliki anak-anak
yang gemuk pula. Dalam hal ini

e. Faktor Sosial Ekonomi


Di Indonesia, kasus kegemukan atau
obesitas banyak ditemukan pada golongan
masyarakat menengah ke atas, sementara
pada masyarakat dengan tingkat sosial
ekonomi rendah, banyak ditemukan kasus
anak mengalami gizi buruk akibat
ketidakmampu untuk membeli makanan

tampaknya faktor genetik telah ikut


campur dalam menentukan jumlah unsur

yang sehat dan bergizi. Hal ini berbeda


pada masyarakat golongan menengah ke

Handari, Obesitas pada Usia Prasekolah

menjadi berkurang.

51
atas. Mereka yang termasuk golongan ini
sering kali kurang memperhatikan pola
makan karena kesibukannya. Mereka lebih
sering memesan makanan dari restoran
daripada menyiapkan makanan sendiri di
rumah, padahal makanan dari restoran itu
sebagian besar mengandung kadar lemak
yang cukup besar. Karena kesibukan
pekerjaan dan terbatasnya waktu untuk
berolahraga, mereka jadi beresiko tinggi
mengalami obesitas.

yang baru berkaitan dengan pemeliharaan


kesehatan anak.
g. Pekerjaan
Dengan
asumsi
pertumbuhan
ekonomi yang semakin baik, semakin
banyak para wanita bekerja sehingga
semakin
mendorong
peningkatan
konsumsi makanan. Pada saat ini wanita
banyak yang bekerja diluar rumah

f. Tingkat pendidikan
Pendidikan pada hakekatnya adalah
usaha
sadar
manusia
untuk
mengembangkan
kepribadiannya.
Di
dalam pendidikan ada tiga macam yaitu,
pendidikan formal, pendidikan informal,
dan pendidikan non formal. Pendidikan

sehingga untuk menyiapkan makanan bagi


anak berkurang, dalam hal ini ibu adalah
orang tua yang paling banyak terlibat
sehingga pengaruhnya sangat besar bagi
perkembangan anak dan status gizi anak.
Pendidikan dan pekerjaan ibu melalui
interaksi sosial ibu anak berpengaruh
terhadap kualitas tumbuh kembang anak.
Pekerjaan orang tua berkaitan pula

formal adalah pendidikan yang sadar


tujuan, isi, metode, sarana, dan prasarana
yang telah dirumuskan pada institusional
disebut sekolah. Sedangkan pendidikan
informal adalah pendidikan yang diperoleh
dari pengalaman sehari-hari dengan sadar
atau tidak sadar.
Pendidikan
orang
tua
akan
mempengaruhi status gizi anak. Semakin

dengan pola pemberian makan keluarga.


Pekerjaan yang berhubungan dengan
pendapatan merupakan faktor paling
penting menentukan tentang kualitas dan
kuantitas makanan. Status pekerjaan ibu
sangat mempengaruhi perilaku makan
anak. Terdapat perbedaan pembentukan
kebiasaan makan anak bila ibu memiliki
peran ganda sebagai ibu rumah tangga dan

tinggi tingkat pendidikan orang tua


cenderung memiliki anak berstatus gizi
baik. Tingkat pendidikan berkaitan atau
sejalan dengan pengetahuan yang dimiliki.
Semakin tinggi tingkat pengetahuan gizi,
semakin baik pula tingkat pemilihan bahan
makanan. Anak dari ibu berpendidikan
tinggi akan memiliki pertumbuhan baik.
Hal ini disebabkan karena keterbukaan

pencari nafkah.

dalam menerima perubahan atau hal-hal

h. Faktor Homonal Atau Metabolisme


Kegemukan bisa juga disebabkan
oleh
faktor
homonal,
misalnya
menurunnya fungsi kelenjar tiroid dalam
tubuh. Akibatnya, metabolisme dalam
tubuh menjadi lambat, artinya kalori atau
energi yang dikeluarkan tubuh berkurang
sehingga terjadi peningkatan timbunan
lemak dalam tubuh. Berat badan pun
bertambah.

Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Vol.9, No. 1, Januari 2013

52
Hormon insulin yang diproduksi
oleh pankreas dipicu secara berlebihan
(hiperinsulinisme)
karena
konsumsi
makanan sehari-hari dalam jumlah yang
berlebihan khususnya makanan berkadar
kalori tinggi. Peningkatan hormon insulin
menyebabkan sintesis lemak dalam tubuh
juga
meningkat
sebagai
penyebab
terjadinya kegemukan.

j. Faktor Aktifitas Fisik


Penurunan aktivitas fisik juga terjadi
pada hampir semua jenis pekerjaan dan hal
ini terjadi secara drastis. Beberapa jenis

Penurunan aktivitas kelenjar kelamin


atau
disebut
hipogonadisme
juga
menyebabkan lambatnya metabolisme
tubuh. Hal ini berarti tubuh sangat hemat
dalam mengeluarkan kalori sehingga
terjadi peningkatan timbunan lemak tubuh.
Hiperaktivitas/hiperfungsi
dari
kelenjar
adrenal
kortikal
juga
menunjukkan
kelainan
metabolisme

perangkat teknologi juga dapat menarik


manusia menjadi lebih pasif dari
sebelumnya. Semakin majunya fasilitas
hiburan seperti video games, televisi, dan
DVD akan semakin membuat manusia
menjadi males dan semakin banyak waktu
yang terbuang. Sebagai salah satu media
informasi dan hiburan, televisi memang
cukup mempengaruhi kehidupan manusia

(sindrom
cushing),
ternyata
dapat
menyebabkan kegemukan yang sering
terjadi pada anak-anak.8
i. Faktor Psikologis
Faktor psikologis mempengaruhi
kebiasaan makan anak, misalnya kepuasan
anak mengkonsumsi makanan yang sedang
trend yaitu fast food (fried chicken, pizza,
hamburger). Tentu saja kegemaran anak-

dalam cakupan yang cukup luas. Aktivitas


yang berkaitan dengan produk makanan
rumahan juga telah bergeser ke arah
mekanisme atau menggunakan mesin.9
1. Menonton televisi
Dampak kemajuan teknologi
menyebabkan anak-anak cenderung
menggemari permainan yang kurang
menggunakan energi, seperti menonton

anak mengkonsumsi fast food yang tinggi


kalori
secara
berlebihan
dapat
menyebabkan kenaikan berat badan
disertai dengan kenaikan timbunan lemak
tubuh.8
Aspek psikologis dari orang tua juga
dapat memicu terjadinya kegemukan pada
anak, misalnya ada anggapan bahwa anak
yang gemuk adalah anak yang sehat dan

televisi,
permainan
dengan
menggunakan remote control, play
station, atau game dikomputer.
Televisi berdampak cukup besar dalam
mempengaruhi kebiasaan makan anak.
Hal ini dikarenakan sangat intensifnya
anak-anak berada didepan TV.
Lamanya waktu anak menonton TV
diperkirakan hanya dikalahkan oleh

menunjukkan keadaan sosial ekonomi


disamping
itu,
anggapan
bahwa

lamanya waktu tidur. Survei di AS


menunjukkan, anak-anak prasekolah

Handari, Obesitas pada Usia Prasekolah

mengkonsumsi fast food menjadi bagian


gaya hidup dan dapat meningkatkan gengsi
sehingga cenderung membiarkan anakanaknya menggemari bahkan menjadi pola
makan sehari-hari.8

53
rata-rata
menonton
TV
26,3
jam/minggu, 3 jam diantaranya adalah
acara iklan.10
Menurut Fretaig, salah satu
faktor resiko yang paling kuat untuk
menyebabkan
seseorang
menjadi
gemuk artinya semakin sering kita
menonton televisi, kemungkinan untuk
menjadi
gemuk
akan
semakin
meningkat.9 Alasannya adalah karena
pada saat seseorang menonton TV, dia
tidak hanya menikmati program
intinya tetapi juga terkondisi untuk
mengkonsumsi berbagai makanan
cemilan yang tanpa disadari kebiasaan
ngemil pada anak dapat memicu
terjadinya kenaikan berat badan anak.
Kebiasaan
mengkonsumsi

menghabiskan
banyak
waktu,
membuat anak malas bergerak dan
cenderung
enggan
bersosialisasi
dengan teman sebayanya. Dalam
jangka waktu panjang kebiasaan anak
yang minim gerak ini berdampak
buruk
bagi
kesehatan
karena
berpotensi menimbulkan kegemukan
dan obesitas.
Resiko Kegemukan Pada Anak
Menurut Agoes, D dan Poppy, M,
kegemukan yang terjadi pada anak balita dapat
menimbulkan berbagai masalah antara lain5:
a. Resiko Terserang Penyakit
Anak balita mengalami kegemukan
memiliki risiko tinggi terserang berbagai
penyakit. Berikut ini beberapa risiko
penyakit yang sering menyerang anak-

makanan padat kalori dan banyaknya


waktu
yang
digunakan
untuk
menonton TV membuat anak-anak
rawan terhadap obesitas. Menonton TV
tergolong kedalam aktifitas fisik
ringan. Ini berarti tidak banyak energi
tubuh yang terpakai.
2. Bermain Games
Sebagian besar waktu anak

anak balita yang mengalami kegemukan:


Sering menderita lecet pada lipatanlipatan kulit karena adanya gesekangesekan ketika melakukan aktivitas.
Anak mudah berkeringat, bisa disertai
biang keringat dan jamur pada lipatan
lipatan kulit.
Gerakan anak balita menjadi lambat
sehingga
dapat
mengganggu

dihabiskan dengan bermain. Bermain


bagi anak semestinya bukan sekedar
aktifitas fisik biasa melainkan dapat
menjadi
sarana
belajar
yang
menyenangkan dan berolahraga secara
tidak langsung bagi anak. Video games
dan
games
online
merupakan
permainan yang cenderung minim
gerak.
Beberapa
penelitian

pertumbuhan
dan
perkembangan
tulang dan sendi.
Kematangan seksual dapat terjadi lebih
awal atau dini, menstruasi bisa terjadi
pada anak perempuan yang usianya
kurang dari sembilan tahun.
Terjadi infeksi saluran pernafasan
bagian bawah karena kegemukan
mempengaruhi kapasitas paru-paru.

menunjukkan
bahwa
modern semacam ini

permainan
cenderung

Adanya hipertopi tonsil dan adenoid


mengakibatkan anoksia dan saturasi

Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Vol.9, No. 1, Januari 2013

54

oksigen rendah, yang disebut syndrom


Chubby Puffer. Hal ini akan
mengakibatkan gangguan tidur, nafas
pendek, gejala-gejala jantung dan
kadar oksigen dalam darah yang
abnormal.
Perkembangan penyakit diabetes tipe
dua pada usia muda.
Berisiko terkena penyakit jantung

Daftar Pustaka
1. Papalia, Diane E., et. al. Human
development (psikologi perkembangan).
Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
2008.
2. Arisman. Gizi dalam daur kehidupan.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

koroner pada usia relatif muda.


Kelainan
metabolik,
seperti
hiperinsulisme dan hiperlipidemia.
Anak sering merasa ngantuk sehingga
konsentrasi anak berkurang, akibatnya
prestasi belajar menurun, jika anak
sudah memasuki sekolah taman kanakkanak.
Gemuk saat usia balita akan berisiko

2004.
3. Supariasa, I.D.N, dkk, Penilaian status
gizi, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC. 2001.
4. Misnadiarly. Obesitas sebagai faktor
resiko beberapa penyakit. Jakarta: Pustaka
obor popular. 2007.
5. Agoes, D dan Poppy, M. Mencegah dan
mengatasi kegemukan pada balita. Jakarta:

kegemukan pada usia remaja, bahkan


dewasa.

Puspa Swara. 2003.


6. Center For Disease Control and
Prevention. 2000. 2000 CDC Growth
Charts For The United States: Methods
and
Development.
Washington:
Departement Of Health and Human
Services.
7. Dutika Damayanti, Ayu. cara pinter
mengatasi kegemukan anak. Yogyakarta:

b. Resiko Terhadap Aspek Psikologis


Selain berisiko tinggi terserang
penyakit, kegemukan pada anak balita bisa
berpengaruh pada aspek psikologis akibat
kegemukan.
Balita yang gemuk akan bergerak lebih
lambat (kurang lincah) dari teman

seusianya dengan berat badan yang


normal sehingga sering merasa kurang
percaya diri dalam bersosialisasi.
Kegemukan pada anak balita dan
berlanjut terus pada masa remaja akan
berisiko
terjadinya
gangguan
psikologis, seperti rasa rendah diri atau
kurang percaya diri karena ada

Handari, Obesitas pada Usia Prasekolah

anggapan orang gemuk tampak tidak


menarik.

Curvaksaara Yogyakarta. 2008.


8. Mumpuni, Yekti. Cara jitu mengatasi
kegemukan. Yogyakarta: C.V Andi Offset.
2010.
9. Freitag, Harry. Bebas obesitas tanpa diet
menyiksa. Yogyakarta: PT. MED PRESS.
2010.
10. Wahyu, Genis Ginanjar. Obesitas pada
anak.Yogyakarta. 2009.

Professional Development, Leadership and Scholarship at


Medical and Health Faculty Universitas Muhammadiyah Jakarta
Amir Syafruddin
Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah
Jakarta
Abstrak
Sumber daya manusia yang baik dan efektif merupakan kunci dari keberhasilan suatu institusi
pendidikan tinggi. Peningkatan kemampuan staf pengajar akan berkorelasi dengan peningkatan
kualitas pengajaran (pembelajaran) sehingga mempengaruhi peningkatan belajar mahasiswa
Pemerintah Indonesia melihat pentingnya peningkatan kualitas staf pengajar di perguruan tinggi
sehingga setiap staf pengajar harus memiliki sertifikat dosen dan setiap semester melaporkan
aktifitas staf pengajar melalui ESBED. Setiap lima tahun kegiatan akan dievaluasi melalui portfolio
kegiatan dosen. Pada kegaiatan akreditasi yang dilakukan oleh Badan Akreditasi Nasional, maka
porsi aktifitas staf pengajar memiliki nilai yang tinggi. Tuntutan stakeholder menyebabkan institusi
harus mengembangakan bentuk pelatihan dan pendidikan profesional berkelanjutan yang harus
diikuti oleh seluruh staf pengajar. Oleh karena itu perlu dilakukan pengembangan profesi,
(professioanl development) kepemimpinan (leadershisp), herta peningkatan kualitas akademik
melalui penyediaan beasiswa pendidikan (schoolarship) bagi dosen di lingkungan perguruan tinggi
khususnya di Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Kata Kunci: professional development, leadership, scholarship, Universitas Muhammadiyah
Jakarta
Abstract
Both human resources and effectively is the key to the success of an institution of higher education.
Increased capability faculty will correlate with an increase in the quality of teaching (learning) and
thus affects the increase in student learning Indonesian government saw the importance of improving
the quality of teaching staff in higher education so that each faculty must have a certificate of each
semester faculty and faculty activity report via ESBED. Every five years will be evaluated through a
portfolio of activities faculty activities. In kegaiatan accreditation conducted by the National
Accreditation Board, the portion of faculty activity has a high value. Stakeholder demands lead
institution must develop the form of training and continuing professional education to be followed by
the entire faculty. Therefore it is necessary for professional development, (professioanl development)
leadership (leadershisp), herta academic quality improvement through the provision of educational
scholarships (schoolarship) for lecturers in universities, especially in the Faculty of Medicine and
Health, University of Muhammadiyah Jakarta.
Keyword: professional development, leadership, scholarship, Universitas Muhammadiyah Jakarta
Pendahuluan
Institusi pendidikan dapat berjalan baik,
bila didukung dengan sumber daya manusia
yang
baik
dan
efektif.
Keefektifan
pembelajaran
terlihat
dari
kualitas
pembelajaran dan hasil dari pembelajaran

Kedokteran dan Kesehatan Universitas


Muhammadiyah Jakarta (FKK-UMJ) yang
berdiri sejak 2003, telah memiliki staf
pengajar sebanyak 58 orang dengan kualifikasi
dari S1 hingga S3 dan juga spesialis.
Komposisi terbanyak pada staf pengajar PSPD

(Dornan et al.,2011). Program Studi


Pendidikan
Dokter
(PSPD)
Fakultas

FKK-UMJ adalah tingkat S2. Sebagian besar


staf pengajar tingkat S1 berasal dari lulusan

55

56
terbaik dan yang telah diberikan beasiswa
sejak masa pendidikan kedokteran, dan saat ini
berstatus dosen kader. Jumlah staf pengajar
yang cukup banyak pada tingakt S1 dan S2,
menyebabkan
diperlukan
strategi
dan
rancangan yang baik untuk mengembangkan
potensi staf agar dapat meningkat sesuai
dengan
harapan
pimpinan
institusi.
Peningkatan kemampuan staf pengajar akan

pelatihan
dan
pendidikan
profesional
berkelanjutan yang harus diikuti oleh seluruh
staf pengajar.
Pandangan Objektif pada pendidikan
kedokteran bermuara pada World Federation
Medical Education (WFME) tahun 2003
dengan Global Stardart Undergraduate
Medical Education dan Standar Kompetensi
Dokter Indonnesia (SKDI, 2006). Peran dan

berkorelasi dengan peningkatan kualitas


pengajaran
(pembelajaran)
sehingga
mempengaruhi peningkatan belajar mahasiswa
(Dent dan Harden, 2009). Pemerintah
Indonesia melihat pentingnya peningkatan
kualitas staf pengajar di perguruan tinggi
sehingga setiap staf pengajar harus memiliki
sertifikat dosen dan setiap semester
melaporkan aktifitas staf pengajar melalui

kompetensi staf pengajar pada institusi


pendidikan kedokteran dan kesehatan pada
saat ini telah meningkat menjadi 12 peran
(Dent dan Crosby, 2000) (disitasi dari MClean
et al. 2008) (Gambar 1). Pendidikan dan
pelatihan profesional kedokteran berkelanjutan
(PPPKB) atau dalam dunia pendidikan
kedokteran lebih sering disebut continuing
profesional development (CPD), merupakan

ESBED serta
setiap lima tahun akan
dievaluasi melalui portfolio kegiatan dosen.
Pada kegaiatan akreditasi yang dilakukan oleh
Badan Akreditasi Nasional, maka porsi
aktifitas staf pengajar memiliki nilai yang
tinggi. Tuntutan stakeholder menyebabkan
institusi harus mengembangakan bentuk

bentuk
kegiatan
untuk
peningkatan
kemampuan dokter layanan kesehatan yang
bekerja dimasyarakat dan dokter yang bekerja
sebagai staf pengajar di institusi pendidikan
kedokteran dan kesehatan.

Syafruddin, Professional Development, Leadership and Scholarship

57

Gambar 1 Dua belas peran staf pengajar kedokteran (Harden dan Crosby, 2000) (disitasi dari
Mclean et al., 2008)
Peran-Peran tersebut diatas tidak
langsung dapat dimiliki oleh staf pengajar
pada saat awal menjadi staf pengajar. Namun
peran-peran tersebut diatas dapat dimiliki oleh
staf pengajar setelah melalui proses
pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan
dan dalam waktu yang cukup panjang. Peranperan tersebut merupakan kemampuan dasar
yang harus dimilki oleh staf pengajar institusi

dengan menghasilkan staf pengajar yang


memiliki kemampuan dalam leadership dan
staf pengajar yang inovatif serta kreatif
(Dornan et al., 2011). Dalam peningkatan
kemampuan pengajaran Dornan et al (2011)
memberikan karateristik CPD bagi staf
pengajar yakni :
- Memiliki kesempatan untuk dapat
menerapkan kemampuan staf dalam tehnik

pendidikan kedokteran dan kesehatan.


Pentingnya CPD bagi staf pengajar diharapkan
dapat menghasilkan staf yang bekerja sebagai
pengajar dengan kemampuan mengajar yang
memuaskan (Dent dan Harden, 2009). Selain
untuk meningkatkan peforma personal staf
pengajar dengan kualitas mengajar yang baik
seperti pada kegiatan tatap muka, memberikan
umpan balik, sebagai tutor, instruktur, dan

atau metode pengajaran dan pembelajaran


yang terbarukan
Staf pengajar dapat melakukan evaluasi
atau umpan balik terhadap kemampuan
secara mandiri dalam penerapan tehnik
pengajaran dan pembelajaran.
Iklim kerjasama dalam memberikan
evaluasi oleh teman sejawat

evaluator, juga untuk kepentingan institusi,

Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Vol.9, No. 1, Januari 2013

58
-

Memadukan beberapa bentuk pengejaran


dan pembelajaran dalam rangka inovasi
pengajaran.
Peranan penting CPD yang lain adalah
timbulnya semangat dan keinginan staf
pengajar untuk melakukan penelitian yang
berkaitan dengan pengembangan pengajaran
dan pembelajaran (Teaching and Learning)
sehingga berguna untuk peningkatan kualitas

kegiatan CPD memiliki nilai dalam akreditasi


dan sertifikasi dosen. Kegiatan CPD di PSPD
FKK UMJ direncanakan dalam 3 kelompok
besar, yakni 1) Teaching and learning
Professional development, 2) Leadership, dan
3) Scholarship.

pengajaran dan pembelajaran di instuisi


tersebut ( Dornan et al., 2011).
Peningkatan kapasitas staf pengajar
melalui kegiatan CPD merupakan kegiatan
yang harus dilakukan oleh setiap dosen,
namum institusi mempunyai tanggungjawab
agar kegiatan tersebut terlaksana dan
terdokumentasi dengan baik, mengingat

adalah proses yang dinamis pada kemampuan


karir profesi seseorang yang diawali dengan
persiapan dan pelaksanaan sampai mencapai
batas tertinggi sebelum mengundurkan diri
(Nicholls, 2001). Dalam Pengembangan
Profesional melibatkan beberapa unsur
(Gambar 2)

Teaching and Learning Professional


Development
Pengertian pengembangan profesional

Gambar 2 Pengembangan Profesional dan individu (Nicholls, 2001)


Adapun peningkatan kemampuan dalam
pengajaran dan pembelajaran merupakan
kemampuan dasar yang harus dikembangkan
oleh seluruh staf pengajar mulai dari tingkat
dosen kader S1, dosen tetap S1, S2 atau
spesialis dan S3. Kemampuan tersebut
didapatkan
secara
berjenjang
dan
berkelanjutan agar setiap staf dari jenjang

Peningkatan kemampuan dari S1 hingga S3


dalam disiplin ilmu tertentu harus dilalui
melalui pendidikan formal di program paska
sarjana (post undergarduate). Sedangkan
kemampuan pengajaran dan pembelajaran staf
dari jenjang S1 hingga S3 dilakukan dalam
bentuk kegiatan yang terstruktur pada internal
dan eksternal kampus. Pengembangan

dosen kader akan meningkat menjadi dosen

profesional dipengaruhi oleh 3 aspek penting

tetap dan seterusnya hingga mencapai S3.

yaitu,

professional

Syafruddin, Professional Development, Leadership and Scholarship

knowledge

base,

59
competence in professional action dan the
development of reflection, Cohen (1981) dan
Ramsden et a.,l (1995) (disitasi dari MClean et
al 2008) memberikan contoh kemampuan
dalam peningkatan profesionalitas pengajaran
dan pembelajaran (Gambar 3). Sedangkan
Darling (1992) (disitasi dari Campbell et al.,
2004) memberikan 10 kemampuan yang harus
dimiliki oleh staf pengajar, yakni :

9. Professional
commitment
and
Resposibility
10. Partnerships
Kemampuan dan peran yang harus
dimiliki oleh seorang staf pengajar sangat
banyak dan bervariasi sehingga perlu waktu
dalam pencapain
kemampuan dan peran
tersebut. Namum harus dipahami dalam
pencapaian kemampuan terdapat perbedakan

1. Knowledge of subjec matter


2. Knowledge of Human development
learning
3. Adapting Instruction for individual needs
4. Multiple Instructional strategies
5. Classroom motivation and management
skills
6. Communication skill
7. Instructional Planning skills

pencapaian kemampuan akademik ataukah


pencapaian kemampuan operasional seperti
yang dituangkan oleh Barnetts (1994) (Tabel
1). Dengan demikian perancang CPD pada
tingkat institusi dapat menjelaskan tujuan
akhir dari proses CPD yang diselengarakan
oleh institusi. Pencapaian kemampuan dalam
operasional yang menjadi tujuan akhir dari
kegiatan CPD.

8. Asessment of student learning


Tabel 1 Dua kemampuan dari Barnetts (1994) (disitasi dari Nicholls, 2001)
Bentuk kemampuan
Epistemology
Siatuation
Focus
Transferability
Learning
Communication
Evaluation
Value orientation
Boundary Condition
Critique

Kemampuan operasional
Know how
pragmatically
Outcomes
metaoperations
experiential
strategic
economic
Economic survival
Organizational norms
For better practical effectiveness

Kemampuan akademik
Know what
Define intellectual field
propositions
Metacognition
Propositional
Disciplinary
truthfulness
Disciplinary strength
Norms of intelectual field
For better cognitives
understanding

Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Vol.9, No. 1, Januari 2013

60

Gambar 3 Kemampuan Staf pengajar yang baik dan efektif dari Cohen (1981) dan Ramsden
et al (1995) (disitasi dari Mclean et al 2008)
Berdasarkan pertimbangan diatas maka
pengembangan profesional di PSPD FKKUMJ dapat dijabarkan sebagai berikut :
1. Kemampuan pengembangan profesional
pengajaran dan pembelajaran di arahkan
untuk
memperoeh
kemampuan
operasional
2. Pelatihan Kemampuan dasar tentang teoriteori pengajaran dan pembelajaran
(gambar 3), melatih kemampuan seperti
peran dari Harden, seperti mentor, dan
fasilitator, communication skills, adapting
Instruction for individual needs dan
khusus untuk spesialis menjadi medical
expertice seperti teaching role model, on
the job role model, lecturer dan teaching

practical harus dimiliki oleh seluruh staf


pengajar mulai dari dosen kader hingga S3
yang pertama kali menjadi staf, dengan
bentuk pelatihan dapat berupa workshop,
peer mentoring dan pertemuan caracter
building, dan memperoleh sertifikat dasar
pengajaran dan pembelajaran. Mengikuti
kegiatan-kegiatan dari asosiasi atau dari
pemerintah
yang
berhubungan
pembelajaran. Monitoring dalam bentuk
portfolio, student questionnares dan
observasi
3. Pelatihan tahap berikut adalah bagi S2,
spesialis dan S3, dengan jenis kegiatan
yang bertujuan meningkatkan kemampuan
dalam pengajaran dan pembelajran yang
telah di dapatkan pada tahap dasar seperti,

Syafruddin, Professional Development, Leadership and Scholarship

61
student feedback and assessment, clinical
teaching assessment (Spesialis), Bioethics
and humanism, Instruction planning skills,
Instruction multiple strategies, Instruction
for individual needs,
curriculum
evaluator, study guide producer, IPE,
lecturer, transformative conception of
learning, distance learning web-based
learning dan E-learning. Kegiatan CPD

harus tersertifikasi secara nasional, agar


standar staf pengajar di PSPD FKK-UMJ,
telah memilki kualifikasi standar nasional
dan bila ternyata dapat melakukan
kegiatan
tersertifikasi
internasional
merupakan nilai tambah bagi institusi.
Monitoring hasil kegiatan dalam bentuk
portfolio, observation,

Gambar 4 Teori-teori pengajaran dan pembelajaran (disitasi MClean, 2008)

Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Vol.9, No. 1, Januari 2013

62
Leadership
Kepemimpinan merupakan salah satu
aspek yang akan dikembangkan menjadi
kemampuan yang dimiliki oleh seluruh staf
pengajar, karena diharapkan staf pengajar
menjadi pemimpin pada setiap bentuk
pengajaran dan pembelajaran, seperti kegiatan
tutorial, praktikum, CSL dan kegiatan pleno.
Pelatihan Kepemimpinan pada institusi

transformatif, merupakan pemimpin yang


dapat membawa institusi pada perubahan yang
baik (agent of change) dan mampu melibatkan
seluruh potensi yang ada pada institusi
tersebut untuk ikut merasakan tanggung jawab
atas keberhasilan institusi. Morrison dan
Jackson (2009) mengutarakan pembagian teori
kepemimpinan berdasarkan sejarah yang
terbagi atas 3 yakni, 1) the hero, 2) the

pendidikan kedokteran merupakan kegiatan


yang sangat penting untuk dilaksanakan,
karena dengan terbentuknya kepemimpinan
yang baik dan efektif, maka staf pengajar yang
memiliki jiwa kepemimpinan akan mencapai
kinerja yang sesuai dengan masalah-masalah
yang akan dihadapai (McCaffery, 2010). Jiwa
dan perilaku kepemimpinan yang visoner dan
bertindak sebagai manager dapat membawa

startegist, dan 3) the fasicilitator, dan PSPD


FKK-UMJ menganut teori fasilitator, yang
memiliki multi peran, seperti perancang,
pelaksana dan evaluator. Kerangka untuk
pengembangan kemampuan kepemimpinan
telah diperkenalkan oleh NHS (2002)
(Gambar 5) (Bolden dan Gosling (2003)
(disitasi dari dan Carter dan Jackson, 2009)
membagi lebih luas terhadap karakteristik staf

isntitusi atau lembaga ke arah yang baru


dengan pencapaian yang maksimal (Gaither,
2005., McCaffery.P ,2010., Bordage et al.,
2000.).
Terobosan baru dengan tidak terhalangi
oleh resiko menjadi modal utama sebagai
pemimpin institusi pada saat ini, mengingat
perkembangan persaingan global dalam
peningkatan kualitas personal dan kerja

pengajar di institusi kedokteran yakni :


1. Integrity and moral courage
2. Self awarness and humility
3. Empathy ang emotional engagement
4. Tansparancy and openness
5. Clarity of vision
6. Adaptability dan flexibility
7. Energy and resilience
8. Deisiveness in the face of uncertainty

lembaga (Gaither, 2005). Kepemimpinan yang


baik menjadi kunci suatu perubahan pada
institusi, dan menyebabkan adanya perubahanperubahan dengan inovasi baru dalam
pendidikan sehingga berjalan lancar dan
mencapai hasil yang diinginkan. Kretifitas,
Keberanian
dan
Komunikasi
menjadi
kemampuan utama yang harus dimiliki oleh
pemimpinm suatu lembaga pendidikan yang

9. Judgement, consistency, and fairness


10. Ability to inspire, motivate and listen
11. Respect and trust
12. Knowledge and expertise
13. Delivering result.
14. Commitment to developing learning
community (MClean et al., 2008)
15. Commitment to encouraging partisipation
in higher education, promoting equalityof

terus berinovasi dalam proses pendidikan pada


institusi. Pemimpin yang visioner dan

opportunity (Mclean et al., 2008)

Syafruddin, Professional Development, Leadership and Scholarship

63
Proses memperoleh jiwa dan perilaku
kepemimpinan memerlukan waktu dan
bertahap seperti yang dipaparkan oleh Carter
dan Jackson (2009) (Gambar 6). Hasil dari
pelatihan kepemimpinan, diperoleh staf
pengajar yang mampu memiliki sebagian
besar dari kompetensi kepemimpinan yang
nantinya diharapkan dapat memimpin pada
posisi struktural yang ada di organisasi.

Broad
scanning

Berdasarkan pertimbangan di atas maka


bentuk kegiatan CPD dalam kepeminpinan
seperti, networking, pengambilan keputusan,
good governace, effective leadership, effective
management, funding, policy and procedure
development dan partnership. Hasil kegiatan
diharapkan selain dalam bentuk sertifikat tapi
juga pengakuan dari pemerintah.

Setting
direction
political
astetuness

Intelectual
flexibilty
Drive for
result

Personal qualities
Seizing the
future

Self belief
self awareness
self management
Drive for improvemnet

leading
change
throug to
people

personal integrity

holding
the
account
empoweing
others

delivering
the service

collabotarive
working

effective
and
strategic
influencing

Gambar 5 Kerangka pengembangan kemampuan kepemimpinan

Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Vol.9, No. 1, Januari 2013

64

transformational

trait
charismatic

Situational

Behavioural

Gambar 6 Tahapan perkembangan Kepemimpinan


Scholarship
Kegiatan pengembangan kemampuan
scholarship terutama pada kemampuan staf
pengajar untuk mengembangkan pengajaran

Pengembangan tehnik dan metode dalam


pengajaran dan pembelajaran di institusi
pendidikan kedokteran telah berkembang
dengan cepat dan dikuatkan dengan kehadiran

dan pembelajaran melalui pendidikan formal


seperti master medical education atau dalam
bentuk penelitian-penelitian yang pada
akhirnya
menghasilkan
metode-metode
pembelajaran yang telah melalui peer review
dan akhirnya hasil penelitian tersebut dapat
digunakan pada institusi tersebut atau juga
pada institusi lainnya ( Dent dan Harden,
2009; Nicholls, 2001). Boyer (1990) ( disitasi

dari Best Evidence Medical Education


(BEME) yang telah digunakan oleh sebagian
besar fakultas kedokteran dunia. Boyer (1990)
(disitasi dari Dent dan Harden, 2009)
memaparkan ruang lingkup dari scholarship
yang terdiri dari; 1) Discovery, yang
digunakan untuk kepentingan institusi sendiri
atau internal, 2) Integration, berhubungan
dengan multidisplin untuk mendapatkan

dari Dent dan Harden, 2009; Nicholls, 2001)


membagi scholarship menjadi 4 kriteria yaitu :
- Educational activities be informed by both
the latest idea in the subject field and the
most current ideas in the field of teaching.
- Be open and accessible to the public
- Be subject to peer review critique and
evaluation using acceptable criteria
- Be accessible in a form upon which other

mendapatkan data yang jelas dan melakukan


interpretasi hasil bersama, 3) Application,
berhubungan dengan asosiasi pendidikan
kedokteran untuk digunakan bersama, 4)
Teaching,
dengan
mengajarkan
atau
memberikan informasi dengan institusi
lainnya. Keempat ruang lingkup tersebut
dalam bentuk bagan dapat digambarkan
sebagai berikut (Gambar 7).

can build.

Syafruddin, Professional Development, Leadership and Scholarship

65

Gambar 7 Ruang lingkup Scholarship


Pengembangan
pengajaran
dan
pembelajaran di PSPD FKK-UMJ menjadi
tanggung jawab seluruh staf pengajar, dari
dosen kader hingga ke tingkat tertinggi S3 dan

pelayanan
profesinal
seorang
dokter
berpraktek.
Peran dan kompetensi yang harus
dimiliki staf pengajar kedokteran menuntut

Professor.
Sehingga untuk mendukung
scholarship diperlu pengayaan atau pelatihan
yang berkaitan dengan medical educatio
research, research methodology, research
ethics, writing grand proposal, managing
research funding, how to publish, web based
education, e learning, distance learning dan
reward and award system. Hasil pelatihan
tetap diperlukan sertifikasi terutama tingkat

secara personal dan institusi untuk melakukan


CPD secara terus menerus, baik yang
diselengarakan secara internal dan eksternal,
lokal maupun nasional dan internasional.
PSPD FKK-UMJ menitik beratkan pada
tiga kemampuan yang harus dimilki oleh
seluruh staf pengajar, yaitu profesional dalam
teaching and learning, kepemimpinan, dan
scholarship.

nasional sehingga staf PSPD FKK-UMJ akan


terlibat aktif dalam scholarship hingga tingkat
asosiasi dan nasional. Monitoring kegiatan
dengan portfolio, wawancara, hasil penelitian
dan hasil publikasi.

Kegiatan CPD dilakukan secara bertahap


berjenjang, terukur dan berkelanjutan, sejak
staf pengajar menjadi dosen kader hingga ke
tinggkat tertinggi S3 dan Profesor.
Integrasi informasi dalam perkembangan
pengajaran dan pembelajaran, menjadi
kegiatan yang harus dikembangkan terus
untuk tetap menjaga kualitas pengajaran dan
pembelajaran
berdasarkan
bukti
yang

Simpulan
Pendidikan dan pelatihan profesional
berkelanjutan merupakan kegiatan yang juga
harus selalu hadir dalam intitusi pendidikan
kedokteran, selain yang telah ada pada tingkat

terbarukan.

Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Vol.9, No. 1, Januari 2013

66
Daftar Pustaka
1. Bordage. G et al, (2000). Skill and
attributes of director of educational
programmes. Medical Education. Vol 34.
206-10.
2. Gaither. G. H, (2005). Developing
Leadership Skills in Academia. Academic
Leadership. Org.
3. Campbell D.R, Cignetti. P.B, Melenyzer.

3th.ed. Toronto. Elseiver Churchill


Livingstone.
6. Farmer Elizabeth. A. (2004) Faculty
Devevlopment for Problem Based
Learning. European Journal of Dental
Education. No.8. pp. 59-66
7. McCaffery. P, (2010). The Higher
Education Managers handbook: Effective
leadreship and management in university

B.J, Nettles.D.H, Wyman, Jr. R.M (2004)


How to develop professional portfolio, A
manual for teacher. 3rd ed. Pearson
education. USA.
4. Carter. Yvonne, Jackson. Neil (2009)
Medical Education and Training. From
theory to delivery. Oxford University
Press.New York.USA.
5. Dent, J.A. & Harden, R.M. (2009)

& colleges. 2 nd ed. Routldge. UK.


8. Mclean. Michelle, Cilliers. Francois, Van
Myk J.M. (2008). AMME Guide No 36.
Faculty Development : Yesterday,Today,
And Tomorrow. Medical Teacher. No.30.
pp 555-584.
9. Nicholls. Gill. (2001) Professional
Development in Higher Education. Kogan
Page limited. London.

Practical Guide for Medical Teachers

Syafruddin, Professional Development, Leadership and Scholarship

Eating Disorder
Tria Astika Endah Permatasari
Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Jakarta
Abstrak
Perilaku makan menyimpang atau eating disorder merupakan masalah kesehatan yang dapat
memberikan dampak negatif terhadapm pertumbuhan remaja khususnya remaja putri. Kondisi eating
disorder bersumber pada masalah gizi dan psikologis. Dua kriteria yang paling sering terjadi pada
eating dosorder adalah Anorexia nervosa dan Bulimia nervosa. Secara umum penderita anorexia dan
bulimia memiliki citra tubuh yang menyimpang dimana mereka menggunakan standar kecantikan
dengan melihat tingkat kekeurusan yang dimilikinya. Penderita eating disorder ini menganggap
semakin kurus tubuh yang mereka miliki maka mereka akan semakin tampak cantik. Oleh karena itu
mereka sangat membatasi asupan makanan yang berdampak tidak terpenuhinya kecukupan gizi
terutama sehingga akan menghambat proses pertumbuhan yang optimal jika terjadi mada masa
remaja.
Kata Kunci: Eating disorder, Anorexia Nervosa, Bulimia Nervosa, remaja putri
Abstract
Deviant eating behavior or eating disorder is a health problem that can negatively impact the growth
terhadapm especially teenage girls. Conditions eating disorder rooted in nutrition and psychological
problems. Two criteria are most common in eating dosorder is Bulimia Nervosa and Anorexia
Nervosa. In general, people with anorexia and bulimia have a distorted body image where they use a
standard of beauty by looking at its kekeurusan level. People with eating disorder is considered more
skinny bodies they have, they will increasingly look beautiful. Therefore, they severely limit food
intake does not affect the fulfillment of nutritional adequacy, especially so that it will inhibit the
growth of the optimal process in case mada adolescence.
Keywords: Eating disorder, Anorexia Nervosa, Bulimia Nervosa, teenage daughter
Pendahuluan
Makanan
dapat
menjadi
simbol
kesenangan karena dapat menstimulasi
pelepasan neurotransmitters (seperti serotonin)
dan endorphin yang menimbulkan euphoria

Untuk dapat memiliki tubuh yang kurus,


kaum perempuan mulai melakukan berbagai
upaya yang salah satunya adalah dengan
berdiet. Pada saat yang bersamaan, para
pemilik modal juga melirik kesempatan untuk

dalam diri manusia. Namun, pada sebagian


orang, dapat terjadi kebalikannya. Makanan
menjadi sesuatu yang sangat menakutkan. Hal
ini lah yang kemudian berkembang menjadi
perilaku makan menyimpang (PMM) pada
beberapa orang. (Wardlaw, 2007). Kelompok
yang paling berdampak adalah kaum
perempuan karena memiliki tubuh indah dan
menawan merupakan dambaan dari setiap

mengambil kesempatan dari bisnis penurunan


berat badan ini. Salah satunya adalah dengan
menyediakan berbagai metode diet yang diberi
label paling efektif (Sizer dalam Tantiana,
2007).
Perilaku makan menyimpang (PMM)
adalah suatu pola makan yang abnormal yang
dihubungkan dengan rasa ketidakpuasaan atau
stres pada seseorang yang secara umum sehat

wanita.

(Read dalam Wahlquist, 1997). Ada beberapa


tipe dari PMM ini. Dua tipe yang paling

67

68
menonjol, yaitu anorexia nervosa dan bulimia
nervosa. Lebih dari 5 juta orang di Amerika
Utara mengalami PMM dengan perbandingan
perempuan dan laki adalah 5:1. Penderita
anorexia nervosa di Amerika Serikat sebesar
0.5% pada perempuan. Prevalensi di Jepang
sebesar 0.025 sampai 0.030%. Sebanyak 85%
kejadian PMM dimulai sejak masa remaja
hingga menjadi dewasa.

Faktor-Faktor yang memengaruhi Perilaku


Makan

Di Indonesia, prevalensi kecenderungan


PMM di Jakarta adalah 37.3% (dengan
menggunakan kuesioner Sarafino, 1994),
kecenderungan mengalami anorexia nervosa
sebesar 11.6% dan kecenderungan bulimia
nervosa sebesar 27% (dengan menggunakan
kuesioner Stice, 2000) (Wardlaw, 2001; Lee
dan Holmes dalam Tantiana, 2007; Tantiana
2007).

Terjadinya PMM biasanya dimulai sejak


masa remaja. Rata-rata penderita anorexia
nervosa mulai menahan diri untuk tidak
makan sejak usia 17 tahun. Beberapa data
menunjukkan mulainya PMM adalah pada
usia 13 sampai 18 tahun. Kelompok ini
merupakan kelompok yang berisiko karena
terjadinya perubahan fisik dan mental pada
saat puber dan juga perubahan diri dan

Hasil dari penelitian kualitatif di Jakarta


menunjukkan
bahwa
semua
informan
memiliki
masalah
dengan
anggota
keluarganya, memiliki pengaruh pola asuh
keluarga yang cukup besar, memiliki citra
tubuh dan konsep diri yang terdistorsi, dan
berada di lingkungan yang tidak mendukung
adanya orang gemuk (Tantiana 2007).
Prevalensi PMM meningkat dari tahun

lingkungan pada saat pergantian masa


anak-anak menjadi dewasa. Persepsi diri
dan lingkungan tentang tubuh yang kurus
dibarengi dengan penambahan berat badan
dan lapisan lemak tubuh karena
pertumbuhan normal, akan menambah rasa
tertekan dari penderi (McComb, 2001).
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh
Tantiana (2007) dengan menggunakan

ke tahun terutama di negara maju, namun


sering tidak terdeteksi karena kurang menjadi
perhatian. Etiologi dan patogenesis gangguan
makan baik Anorexia Nervosa maupun
Bulimia Nervosa sampai saat ini belum
diketahui dengan pasti, namun faktor
psikososial merupakan faktor berkaitan
dengan etiologi dan patogenesis PMM.
Konsep terkini yang diajukan sebagai

kuesioner Sarafino (1994) menunjukkan


ada 36 orang (35%) yang berusia dibawah
14 tahun mengalami kecenderungan PMM
dan 112 orang (38.1%) yang berusia 14
tahun ke atas mengalami kecendrungan
PMM.
2. Pekerjaan
Pekerjaan yang berhubungan erat dalam
mempengaruhi PMM ini adalah pekerjaan

penyebab adalah konsep multifaktor atau multi


dimensi.

yang berhubungan dengan model dan


olahraga. Tuntutan untuk menjadi kurus

Permatasari, Eating Disorder

Berdasarkan teori yang dikemukakan


oleh Krummel (1996), Mc Combs (2001), dan
Logue
(1998)
faktor-faktor
yang
mempengaruhi perilaku makan menyimpang
dibagi lebih khusus lagi (Tantiana, 2007)
diantaranya:
1. Usia

69
dan menarik dibutuhkan untuk dapat
bertahan dalam bidang model. Untuk dapat
mencapai hal tersebut seringkali model
melakukan perilaku yang salah seperti
PMM. Sedangkan pada profesi yang
berhubungan dengan olahraga menuntut
atlet untuk mempertahankan berat badan
tertentu untuk dapat menampilkan
permainan terbaik. Faktor lain yang
menyebabkan atlet untuk mengalami
PMM adalah tuntutan pelatih untuk tetap
kurus. Hal ini adalah salah satu hal yang
mendorong terjadinya PMM pada atlet
(McCombs, 2001).

tidak dimakan, dan berat badannya


(sesuatu yang dapat selalu di kontrol)
(McCombs, 2001).
4. Jenis Kelamin
Penderita
perilaku
makan
yang
menyimpang
lebih
banyak
pada
perempuan. 9 dari 10 orang penderita
anorexia nervosa adalah perempuan,
sedangkan pada penderita bulimia nervosa

3. Ketakutan menjadi dewasa


Keadaan ini mempengaruhi penderita
terutama mereka yang masih remaja. Para
remaja takut dalam menghadapi perubahan

90%nya adalah perempuan. Kemungkinan


hal tersebut terjadi karena lebih tingginya
tuntutan masyarakat terhadap perempuan
untuk menjadi kurus. Baru pada beberapa
tahun belakangan ini pria penderita PMM
mulai mendapatkan perhatian (Bowman,
2000).
Tuntutan media terhadap perempuan
adalah untuk memiliki bentuk tubuh yang

yang terjadi pada dirinya. Perubahan yang


terjadi selain pada fisik juga secara mental.
Secara fisik perubahan tubuh yang paling
terlihat adalah bertambahnya berat badan
dan semakin matangnya organ-organ
seksual pada seorang individu. Jika pada
waktu anak-anak mereka memiliki tubuh
yang besar maka untuk dapat mengurangi
berat badan akan merupakan suatu

kurus dan menarik. Hal ini akan


menambah tekanan pada perempuan untuk
tetap memiliki tubuh sesuai dengan
tuntutan massa. Sejak kecil perempuan
telah belajar menjadi menarik akan
menjadikan
mereka
aman
dalam
percintaan, sehingga bagi perempuan
penampilan lebih penting dibandingkan
anggapan pria terhadap penampilannya.

keberhasilan pertama yang berhasil


diraihnya tanpa tergantung dengan orang
lain. Semakin bertambah usia individu
semakin tinggi pula tekanan dan
kemampuan mengambil keputusan sendiri.
Individu kemudian akan melakukan PMM
untuk mengatasi tekanan ini. Mereka
melarikan diri dari tekanan yang ada
dengan melakukan diet. Dunie mereka

Secara genetik perempuan memang


dirancang untuk memiliki persen lemak
tubuh yang lebih besar dibanding dengan
pria. Karena tuntutan yang mengharuskan
perempuan untuk tetap menjadi kurus
dengan lemak tubuh yang lebih besar
daripada pria, menyebabkan perempuan
lebih berisiko menderita PMM (McCombs,
2001). Dari penelitian yang dilakukan oleh

berputar antara dirinya sendiri dan


makanan. Apa yang dimakan, apa yang

Tantiana (2007) dengan menggunakan


kuesioner Sarafino (1994) menunjukkan

Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Vol.9, No. 1, Januari 2013

70
bahwa
berdasarkan
jenis
kelamin
diperoleh data sebesar 83 (38.6%)
responden
perempuan
mengalami
kecendrungan PMM, dan 65 (35.7%)
responden
laki-laki
mengalami
kecendrungan PMM.
5. Sosial ekonomi
Penelitian klinik telah menunjukkan
bahwa penderita PMM memiliki insiden

dengan pasien yang memiliki masalah


kesehatan lainnya, penderita PMM
cenderung berasal dari keluarga dengan
status sosial ekonomi menengah ke atas.
Pada studi lain ditemukan juga bahwa
penderita bulimia nervosa memiliki status
sosial ekonomi yang lebih tinggi dari pada
penderita anorexia nervosa (McCombs,
2001).

rate yang lebih tinggi pada kelompok


sosial ekonomi menengah ke atas. Salah
satu studi menyatakan, jika dibandingkan

Secara umum gambaran penyebab PMM


adalah:

Jenis-Jenis Perilaku Makan Menyimpang


1. Anorexia Nervosa (AN)
Anorexia nervosa adalah penyimpangan
perilaku makan yang dicirikan oleh upaya
melaparkan diri dengan cara tidak makan.
Salah satu penyebab utama terjadinya AN
adalah rasa rendah diri yang terlalu berlebihan.

dan merasa hidup tidak dapat dikendalikan.


Sebuah riset menunjukkan bahwa, aspek
genetik dapat menjadi faktor yang sangat
berperan dan kemudian akan dipicu oleh
faktor lingkungan.
Orang yang menderita AN sangat
sensitif terhadap kegemukan, sehingga

Hal ini akan menimbulkan konflik internal dan


eksternal, seperti tekanan, ketidakbahagiaan,

mengendalikan reaksi dan emosi mereka

Permatasari, Eating Disorder

71
terhadap makanan. Kondisi ini ditandai
dengan gejala psikologis sebagai berikut:
- keinginan memiliki tubuh kurus
- ketakutan
berlebihan
terhadap
kegemukan
- penolakan untuk mempertahankan berat
badan yang normal

terlalu berlebihan menghitung kalori


dalam makanan
- menyembuyikan atau sengaja membuang
makanan
Kriteria anorexia nervosa menurut American
Psyciatric
Association
dengan
WHO,
perbedaannya sebagai berikut:

Tabel 1 Perbedaan Kriteria Anorexia Nervosa


DSM IV/American Psychiatric Association
(1994)

Internal Classification of Diseases-10 th edition (WHO)

1. BB/U < 85% dari normal. Merasa takut


kelebihan berat badan ataupun menjadi
gemuk meskipun sudah berada dalam kondisi
berat badan dibawah normal.
2. Distorsi pengalaman persepsi citra tubuh dan
penyangkalan BB yang rendah.
3. Pada perempuan yang postmenarcheal akan
terjadi ammenorhea, tidak mengalami
menstruasi selama tiga bulan berturut-turut.
4. Tipe spesifik:
Tipe restricting: tidak mengalami binge
eating ataupun purging.
Tipe Binge eating atau purging: mengalami
binge eating ataupun purging.

1. BMI <17.5
2. Menghindari makanan yang banyak mengandung
lemak dan gula dan penderita memiliki pengetahuan
mengenai kalori yang dikandung dalam makanan
untuk menghitung banyaknya kalori yang masuk.
3. Ketakutan yang berlebihan terhadap lemak
Amenorrhea (wanita) dan impoten (pria);
disebabkan oleh perubahan hormon tiroid dan
sekresi yang tidak abnormal dari insulin.
4. Prepubertal dapat tertundan atau bahkan tidak ada.

Sumber: DSM IV (1994) dan Internal Classification of Diseases-10 th edition (WHO) (Reijonen, 2008)

2. Bulimia Nervosa
Secara harfiah artinya sindrom obat
pencahar. Pada awalnya disebut buliarexia,
gangguan makan tipe ini lebih banyak
ditemukan dibandingkan anorexia nervosa.
Definisi lain mengatakan bulimia nervosa
merupakan jenis penyimpangan perilaku
makan yang dicirikan oleh periode makan
terus menerus (binge) yang frekuen dan
pemuntahan (purging) berkaitan dengan
makan berlebih (overeating) karena hilang
kendali dan terlalu memperhatikan berat
kenaikan berat badan.
Gejala umum:
-

Kerusakan bibir, gigi, tenggorokan,


esophagus (dikarenakan exposure atau

ketiadaan pelindung jaringan dari


muntah yang bersifat asam
Kerusakan jari (karena kontak dengan
gigi saat digunakan untuk menstimulasi
muntah).
Kerusakan kelenjar ludah (karena bahan
bersifat asam atau stimulasi yang
konstan)
Kerusakan pembuluh darah diwajah
karena tekanan saat muntah
Pendarahan anus karena penyalahgunaan
obat pencahar
Dehidrasi
dan
ketidakseimbangan
elektrolit
Penyakit ginjal

Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Vol.9, No. 1, Januari 2013

72
Gambaran klinis: Pembengkakan kelenjar
ludah akibat muntah berulang, amenore, atau
menstruasi tidak teratur, dilatasi lambung akut,
diikuti dengan nyeri abodemen. Gejala lain
seperti sakit kepala, insomnia, dan gejala lain
yang tidak spesifik.

Karakteristik psikososial:
- Rasa percaya diri sangat rendah

Merasa diri tidak menarik, meski


sebenarnya ia normal bahkan menarik
secara fisik
Pada umumnya mereka mempunyai
jadwal sosial yang berat tetapi memiliki
sangat sedikit teman dekat
Biasanya mereka melakukan sosial
isolation karena takut rahasianya akan
diketahui orang lain.

Tabel 2 Perbedaan Tanda-Tanda dan Karakteristik antara Penderita Anorexia Nervosa dan
Bulimia Nervosa
Anorexia Nervosa

Bulimia Nervosa

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

1.
2.
3.
4.
5.

8.
9.
10.

11.
12.
13.
14.
15.

16.

Menjauhi makanan
Introvert
Menghindari kedekatan
Tidak mendukung peranan feminis
Perfeksionis
Penyimpangan citra tubuh
Menyangkal dirinya menderita
penyimpangan/sakit
Kehilangan berat badan sampai 25% atau lebih
Ketakutan berlebih akan kenaikan berat badan
Penurunan konsumsi makanan, menyangkal
perasaan lapar, dan penurunan konsumsi
makanan yang mengandung lemak
Terjadi amenorrhea pada perempuan
Melakukan olahraga secara berlebihan
Adanya kebiasaan tertentu dalam menangani
makanan
Beberapa mengalami periode bulimia
Adanya tanda-tanda ketidakseimbangan
elektrolit tubuh, anemia, dan disfungsi
endokrin dan imunitas tubuh
Kematian karena kelaparan, hypotermia, atau
gagal jantung.

6.
7.
8.
9.

10.
11.
12.
13.
14.

Mencari makan
Ekstrovert
Mencari kedekatan
Mendukung peranan feminis
Kehilangan kendali-mencuri, menggunakan obatobatan
Penyimpangan citra tubuh secara tidak tentu
Mengakui dirinya mengalami penyimpangan/sakit
Berat badan berada antara 10 sampai 15 lb berat
badan normal
Khaatir akan berat badannya dan mengatasi
dengan diet, muntah, menyalahgunakan laksatif
dan diuretik.
Pola makan berganti-ganti antara binge dan puasa
Kebanyak penderita merahasiakan mengenai
binge dan muntah
Pada saat binge mengkonsumsi makanan dengan
kalori tinggi
Terjadinya depresi
Kematian akibat hipokalemia (level potasium
darah yang rendah) dan bunuh diri.

Sumber: Guhtrie, 1995

Pencegahan
Dengan
terjadinya
pandangan
masyarakat mengenai citra tubuh dan
informasi lain yang berhubungan dengan berat
badan, yang mendukung bahwa memiliki

orang-orang yang berada disekitar penderita,


khususnya orang tua terhadap anak
remajanya., Panduan tersebu seperti ditulis
pada wardlaw 2002
1. Tidak menyarankan (melarang) diet keras

bentuk badan yang kurus dan langsing adalah


yang terbaik, maka dibutuhkan panduan bagi

(restrictive diet), menghindari makanan


dan berpuasa

Permatasari, Eating Disorder

73
2. Memberikan
informasi
mengenai
perubahan yang normal terjadi pada saat
puber
3. Membetulkan
asumsi
yang
keliru
mengenai gizi, berat badan yang sehat dan
pendekatan untuk mengurangi berat badan
4. Berhati-hati
dalam
memberikan
pernyataan yang berhubungan dengan
rekomendasi yang berhubungan dengan

8. Mengajarkan dasar ilmu gizi yang tepat


serta aktivitas fisik regular di sekolahsekolah dan di rumah
9. Memberikan kebebasan yang bertanggung
jawab pada remaja
10. Meningkatkan
penerimaan
dan
penghargaan kepada diri sendiri
11. Meningkatkan toleransi pada perbedaan
berat tubuh, bentuk tubuh serta pilihan

berat badan
5. Jangan terlalu memberi penekanan pada
angka di timbangan, melainkan lebih
mempromosikan pola makan yang sehat
dan berhubungan dengan berat badan
6. Mendukung penyaluran emosi yang
normal.
7. Mendukung anak-anak untuk makan hanya
jika mereka merasa lapar.

makanan khas daerah masing-masing


12. Membangun lingkungan yang saling
menghargai dengan hubungan yang
suportif satu dengan yang lainnya
13. Meningkatkan kesensitifan para pelatih
terhadap citra tubuh serta maslah berat
tubuh diantara para atlit yang dilatihnya
14. Menekankan bahwa tubuh yang kurus
tidak selalu berhubungan dengan performa
atlet yang lebih baik.

Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Vol.9, No. 1, Januari 2013

74
Tabel 3 Kriteria Diagnostik Anoreksia Nervosa
Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders
Body weight less than 85% normal weight for age
Intense fear of gaining wight or becoming fat
althoug underweight.
Disturbance in perception of body weight or shape
or denial of seriousness of current low body
weight.
In postmenarcheal women, amenorrhea (at least
three concecutive menstrual cycles).

Specify type: During the current episode of


anorexia nervosa
Restricting tyoe: No regular binge eating or
purging.
Binge eating or purging type: Regular binge
eating or purging.
Differential diagnosis: general medical conditions,
superior mesenteric artery syndrome, major
depressive disorder, schizophrenia, social
phobia, obsessive-compulsive disorder, body
dysmorphic disorder, and bulimia nervosa.

International Classification of Diseases


Body weight less than 15% or body mass index is 17.5
or less.
Weight loss self-induced by avoidance of lattening
foods (self-induced vomiting or purging or excessive
or appetite suppressants or diuretics).
Psychopathological dread of fatness; persistent,
intrusive, overvalued idea and self-imposed lowweight threshold.
Amenorrhea (women) and loss of sexual interest and
potency (men): may heve elevated levels of growth
hormone or cortisol, changes in the peripheral
metabolism of the thyroid hormone, and
abnormalities of insulin secretion.
Onset of prepubertal: sequence of pubertal events
delayed or arrested.

Differential diagnosis: depressive or obsessive


symptoms, features of a personality disorder, brain
tumors, intestinal disorders (Crohns disease or a
malabsorption syndrome).

Sumber: Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (4th ed., text rev.) Copyright 2000 American
Psychiatric Association dan Menurut International Classification of Diseases-10th edition WHO 1993 dalam
Reijonen, 2008

Permatasari, Eating Disorder

75
Tabel 4 Kriteria Diagnostik Bulimia Nervosa
Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders
Recurrent episodes of binge eating characterized by
a. eating in a discreate period of time (2 hours)
an excessive amount of food for time period
and circumstances and
b. lack of control over eating during period the
episode.
Specify type
Purging type: current episode includes regular
sel-induced vomiting, laxative, diuretics, or
enemas.
Nonpurging type: current episode include
fasting or excessive exercise but no regular
self-induced vomiting, laxative, diuretics, or
enemas.
Differential diagnosis: anorexia nervosa, bingeeating or purging type, Kleine-Levin syndrome,
major depressive disorder with a typical features,
borderline personality disorder

International Classification of Diseases


There is a persistent preoccupation with eating and an
irresistible craving for food, the patient succumbs to
episodes or overeating in which large amounts of food
are consumed in short period of time.

A typical bulimia nervosa: Researches studying


atypical forms of bulimia nervosa are recommended to
make their own decisions about the number and type of
criteria tobe fulfilled.

Differential diagnosis: Upper gastrointestinal disorders


leading to repeated vomiting (the characteristic
psycopathology is absent) generally anormality, and
depressive disorder.

Sumber: Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (4th ed., text rev.) Copyright 2000 American
Psychiatric Association dan Menurut International Classification of Diseases-10th edition WHO 1993 dalam
Reijonen, 2008

Simpulan
Perilaku
makan
menyimpang
disebabkan oleh beragam faktor terutama
faktor psikologi.
Hal yang paling perlu
diperhatikan dalam menganggulangi masalah
perilaku menyimpang yang terdiri dari dua
kriteria yang paling umum terjadi yaitu
Anorexia nervosa dan Bulimia nervosa adalah

keseimbangan pola makan, bukan pada tingkat


kekurusan seseorang.

perpaduan antara penanganan secara medis


dan psikologis. Selain dokter, ahli gizi serta
psikolog yang membantu proses penanganan
penderita Anorexia dan Bulimia, dukungan
keluarga dan teman dekat sangan membantu
memulihkan kondisi kesehatan penderita
perilaku menyimpang terutama dalam
mengembalikan kepercayaan diri pasien
terhadap bentuk tubuh ideal serta citra tubuh

masa pertumbuhan. Citra tubuh yang baik


juga perlu dibangun sejak dini sehingga
remaja tidak menganggap bahwa kecantikan
seseorang dilihat dari seberapa kurus orang
tersebut.
Kerjasama antara orangtua dan
lingkungan pendidikan serta tenaga kesehatan
maupun masyarakat sangat membantu proses
pencitraan diri yang positif pada seseorang
terutama kelompok remaja putri.

Saran
Pencegahan sejak dini terjadinya
perilaku makan menuimpang sangat penting
dilakukan dengan cara memberikan edukasi
khusunya kepada kelompok remaja putri
tentang perlunya pola makan seimbang dalam

yang baik yang didasarkan pada unsur

Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Vol.9, No. 1, Januari 2013

76
Daftar Pustaka
1. McComb, Jacalyn J. Robert. Eating
Disorder in Women and Children:
Prevention Stress Management, and
Treatment. 2001. CRC Press: Washington.
2. Krummel DA and Penny M Kris-Etherton.
1996. Nutrition in Womens Health. An
Aspen
Publication.
Gaithersburg,
Maryland.

6. Tantiani T. 2007. Perilaku Makan


Menyimpang pada Remaja di Jakarta.
[Tesis]. Program Pascasarjana Fakultas
Kesehatan
Masyarakat
Universitas
Indonesia, Depok.
7. Wadden TA, et al. Dieting and the
Development of Eating Disorder in Obese
Women: results of a randomized
Controlled Trial. Am J Clin Nutr

3. Pratt HD, et al. Eating Disorder in the


Adolescent Population: Future Directions.
Journal of Adolescent Research 2003; 18;
297
4. Reijonen JH, et al. Eating Disorders in the
Adolescent Population: An Overview.
Journal of Adolescent Research 2003; 18;
209
5. Sarafino, Edward P. Health Psychology:

2004;80:5608
8. Wahlquist, Mark L. (ed). Food and
Nutrition: Australia, Asia, and Pacific.
1997. Allen and Umwin Pty. Ltd,
Australia.
9. Wardlaw, Gordon M., Margareth Kessel.
2007. Perspective in Nutrition 7thed,
McGraw-Hill: New York.

Biopsychosocial Interactions. 2006. John


Wiley &Sons, Inc: Washington.

Permatasari, Eating Disorder

Anda mungkin juga menyukai